Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Dunia Rana (Bagian 5)
Waktu terus berlalu, dunia Rana terus berubah. Warna-warni kehidupan Rana semakin beragam. Jiwa Rana sudah lebih tegar daripada sebelumnya. Masalah yang silih berganti mendewasakan diri Rana. Rana tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan kuat.Â
Sesuai janji Rana pada dirinya sendiri, ia menjadi seorang guru yang kreatif dan inovatif. Ia menciptakan beragam media dan metode ajar yang disenangi oleh para siswanya. Ia menjadi sosok guru yang ditunggu-tunggu oleh siswanya. Hal itu juga yang mengantarkannya menjadi penerima beasiswa magister.Â
Ia juga menepati janjinya kepada bapaknya. Ia membiayai seluruh biaya pendidikan adik-adiknya. Hidupnya didedikasikan untuk keluarganya. Sekali pun ia tak pernah memikirkan tentang pasangan hidup. Hanya kebahagian ibu dan adik-adiknya yang memenuhi pikirannya.Â
Satu per satu teman Rana menikah, tidak terkecuali Tika. Tika akan menikah dengan salah satu teman sekolah mereka. Pagi itu, Rana sudah berada di hotel, tempat Tika melangsungkan pernikahannya. Ia mendampingi sahabat kecilnya menuju meja akad. Rasa haru menyelimuti ruangan itu.Â
"Tik, kamu deg-degan gak?" bisik Rana di telinga Tika.Â
"Ga usah tanya-tanya Ran," jawab Tika sambil melempar senyum kepada para tamu undangan yang menyambut kedatangannya. Rana pun ikut menahan tawa, melihat tingkah Tika. Rana masih tidak percaya, sahabatnya akan menikah.Â
Prosesi akad nikah Tika selesai. Rana sudah duduk di kursi VIP sambil menikmati makanan yang tersedia di mejanya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang ia kenal.
"Raaaan… . Akhirnya ketemu, dari tadi aku cari kamu!" suara Farraz bersahutan dengan suara musik di dalam gedung.Â
"Hay, Raz. Apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, Raz."
Mereka pun asik bertukar cerita sampai acara pernikahan Tika selesai. Mereka sudah lama tidak bertemu padahal rumah mereka tidak terlalu jauh. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi Farraz sekarang sudah menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.Â
Farraz mengantar Rana pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka masih asik bercerita. Bagi mereka, waktu terasa singkat sekali hingga cerita pun berlanjut sampai di rumah Rana.Â
"Sudah lama ya aku tidak ke sini. Kapan-kapan aku boleh ke rumah lagi, Ran?"
"Ya bolehlah, main aja."
Farraz pun berpamitan kepada Rana dan ibunya. Kemudian Rana mengantarkan Farraz ke mobil. Sebelum Farraz menginjak pedal gas, ia menatap Rana dan berkata, "Ran, kamu mau jadi rumahku?"
Rana terdiam.Â
***
3 notes
·
View notes
Text
Dunia Rana (Bagian 5)
Satu tahun terakhir masa kuliah terasa sangat berat bagi Rana. Tidak ada lagi sosok bapak yang bisa diajak berdiskusi atau dimintai pendapat. Rana sangat tertatih-tatih menyelesaikan masa kuliahnya sambil bekerja, sedangkan ibunya menjadi lebih sibuk mencari nafkah. Entah karena memang butuh uang atau karena menyibukkan diri saja. Yang jelas, semenjak kepergian sang kepala keluarga, dunia mereka berubah, bukan hanya dunia Rana.
Setelah sidang skripsi, akhirnya Rana lulus. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya selama delapan semester dengan predikat cum laude. Tiga bulan kemudian, Rana dan teman-temannya diwisuda. Akhirnya Rana merasa lega karena sudah berhasil menuntaskan kewajibannya. Sepulang dari wisuda, Rana pergi ke makam bapaknya. Ia memanjatkan doa untuk bapaknya. Di sana juga ia berfoto dengan makan sang bapak.
“Pak, hari ini Rana diwisuda. Kalau Bapak masih ada, pasti Bapak akan senang sekali. Terima kasih ya, Pak, untuk kasih saying Bapak selama ini. Maafkan Rana karena Rana belum sempat membalas cinta Bapak selama ini. Bapak tidak perlu khawatir, Rana akan menjaga ibu dan adik-adik. Rana akan berjuang seperti perjuangan Bapak dahulu. Doakan Rana juga ya, Pak,” Rana menangis tersedu-sedu di atas makam bapaknya. Lama ia duduk di samping pusaran makam bapaknya, tak peduli betapa panasnya cuaca saat itu. Rana hanya ingin menangis dan menceritakan semua kisahnya kepada bapaknya.
Ibunya sangat khawatir karena Rana tak kunjung pulang, telepon genggam miliknya pun mati. Akhirnya sang ibu menghubungi Tika. Ibunya meminta bantuan Tika untuk mencari Rana di makam bapaknya. Kebetulan saat itu, Tika sedang berada di luar kota, akhirnya Tika menelepon Farraz dan meminta bantuannya. Farraz yang saat itu baru selesai kuliah, bergegas mengendarai mobilnya menuju makam. Ternyata benar, Rana masih memeluk makam bapaknya sore itu.
“Ran, pulang yuk,” ajak Farraz seraya memegang Pundak Rana.
“Aku masih mau sama Bapak, Raz. Aku kangen Bapak,” tangis Rana kembali pecah.
“Ran, kapan-kapan ke sini lagi, sekarang pulang dulu, kasian ibu kamu sudah menunggu di rumah. Yuk, kita pulang sekarang, sebentar lagi juga asar.”
Rana pun beranjak dan membersihkan debu dan rumput yang menempel di kebayanya. Farraz segera membereskan toga dan tas Rana. Mereka pun pulang dengan suasana kaku, mereka diam seribu basa. Farraz tidak tahu harus mulai dari mana, begitu pun dengan Rana yang memang tak tahu harus bicara apa. Keheningan di antara mereka membuat perjalanan terasa sangat panjang.
Sesampainya di rumah, Rana langsung duduk di kursi tamu sederhana yang sudah ada sejak Rana kecil. Farraz dipersilakan masuk. Tak lama berselang, ibunya keluar dari dapur membawa baki minuman. Namun, Rana dan Farraz masih tak berkata sepatah kata pun.
“Farraz, terima kasih ya sudah menjemput Rana,” ucap ibunya sambil mempersilakan Farraz minum.
“Iya, Bu, sama-sama. Kebetulan Farraz lewat jalan itu dari kampus.”
“Gimana skripsi kamu, Raz?” tiba-tiba Rana bersuara. Ibunya pun kembali ke dalam, meninggalkan putrinya bersama Farraz, salah satu sahabatnya sejak sekolah dasar.
“Alhamdulillah sudah selesai, Ran.”
“Setelah wisuda, berarti kamu koas ya?”
“Iya, Ran. Doain ya semoga kuliahku juga lancar. Oh iya, Ran, rencana kamu setelah ini apa? Sudah dapat kerja?”
“Aku sudah kerja di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Alhamdulillah sambil menunggu wisuda, aku sudah bekerja di sekolah itu.”
“Wah, kamu keren, Ran, langsung kerja sebelum wisuda.”
Mereka pun akhirnya larut dalam obrolan. Banyak cerita yang mereka bagi satu sama lain karena mereka memang sudah lama tidak bertemu dan berbagi cerita. Mereka sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak terasa azan magrib berkumandang, Farraz pun berpamitan kepada Rana dan keluarganya. Kebetulan rumah Farraz juga tidak jauh dari rumah Rana, tepatnya di kompleks perumahan yang terletak di sekitar tempat tinggal Rana.
***
4 notes
·
View notes
Text
Dunia Rana (Bagian 4)
Rana memulai kehidupan barunya di kampus sebagai mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru, ia sibuk beradaptasi dengan lingkungan, suasana, dan cara belajar yang baru. Selain beradaptasi dengan ilmu baru, ia juga beradaptasi dengan teman-teman baru. Teman-temannya berasal dari sekolah yang berbeda. Bahkan berasal dari kota atau pulau yang berbeda. Tidak seperti Rana yang berasal dari kota yang sama dengan kampusnya.
Rana dikenal sebagai anak yang aktif di kelas. Ia selalu menanyakan materi-materi yang belum ia pahami. Tak jarang ia bertanya kepada dosen atau langsung mencari jawabannya di perpustakan. Ia sangat dikenal di kalangan mahasiswa seangkatannya maupun di kalangan senior. Ia sangat giat belajar sampai tidak pernah mementingkan hal-hal lain. Ia sudah bertekad akan selesai kuliah tepat waktu dan membantu perekonomian keluarganya.
 “Ran, lagi sibuk?” sapa Kak Seto.
“Hah? Eh? Enggak, Kak. Aku cuma lagi rapihin catatan. Kenapa, Kak?” jawab Rana sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.
“Kamu mau ngajar di Bimbel Elite? Dekat kok dari kampus tinggal naik metromini sebentar.”
“Oh, yang ada di perempatan dekat rumah sakit ya, Kak?”
“Nah, iya betul. Di sana kekurangan pengajar biologi.”
“Emang bisa, Kak? Aku kan baru semester tiga.”
“Bisa kok, kamu part-time aja, paling ngajar jam empat sore sampai tujuh malam. Nanti harinya disesuaikan sama jadwal kuliahmu. Gimana?
“Hmmm… aku izin bapak dulu ya, Kak. Boleh?”
“Oke, besok kasih jawaban ya soalnya butuh cepat nih.”
“Iya, Kak. Terima kasih ya, Kak, atas tawarannya.”
“Santai, Ran. Ditunggu ya. Daaah…”
Rana sebenanrnya ingin langsung menerima tawaran kak Seto. Namun, ia harus meminta izin kepada bapaknya. Rana memang selalu meminta izin kepada orang tuanya, apa pun kegiatan yang akan ia lakukan.
Sepulang kuliah, Rana menghampiri ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Kemudian ia mencuci tangan dan segera membantu ibunya di dapur. Setiap ada kesempatan untuk membantu pekerjaan ibunya, Rana selalu berusaha membantu karena ia sudah jarang membantu pekerjaan rumah semenjak kuliah. Setelah makanan tersaji di meja, mereka langsung berkumpul di meja makan, seperti hari-hari sebelumnya.
“Bu, Pak, Rana boleh mengajar di bimbel?” Rana membuka pembicaraan tanpa ada ragu sedikit pun. Ia sudah pasrah dengan apa pun jawaban dari kedua orang tuanya.
“Loh, memang Rana kekurangan uang jajan, Sayang?” jawab sang bapak dengan lembut sambil menatap wajah anak gadisnya.
“Tidak, Pak. Uang jajan cukup kok, tetapi Rana tadi dapat tawaran dari kakak kelas Rana, katanya mereka kekurangan pengajar biologi. Setelah Rana piker-pikir, lumayan juga, Pak, sebagai batu loncatan untuk Rana. Di sana juga bisa menambah pengalaman Rana dalam mengajar. Hitung-hitung latihan, Pak.”
“Oh, begitu. Bapak tidak melarang Rana untuk mengambil kesempatan itu, tetapi Rana tetap harus memprioritaskan kuliah ya. Jangan sampai terlalu asik bekerja sampai lupa dengan kewajiban utama. Janji?”
“Insyaallah, Pak. Kalau Rana tidak bisa mengatur waktu dengan baik dan belajar Rana terganggu, Rana akan segera mengundurkan diri.”
Keluarga Bahagia itu pun melanjutkan obrolan mereka malam itu dengan penuh kebahagiaan. Satu per satu anggota keluarga saling bercerita tentang perjalanan mereka hari itu. Seperti itulah pemandangan setiap hari di keluarga Rana. Keluarga yang penuh keharmonisan.
*
Rana pun menerima tawaran mengajar tersebut. Baginya itu adalah kesempatan untuk menambah pengalaman mengajarnya. Selain itu, ia juga bisa mendapat uang tambahan untuk meringankan beban orang tuanya. Rana pun semakin sibuk dengan seluruh kegiatannya di kampus maupun di bimbel. Penghasilan yang ia peroleh dari mengajar juga sengaja ia simpan sebagian dan sebagian lagi terkadang digunakan untuk membeli buku referensi, pakaian, atau membelikan jajan untuk adik-adiknya. Sedikit pun tidak ada perubahan pada diri Rana, ia justru semakin menampakkan auranya menjadi wanita dewasa yang kuat.
Tidak terasa Rana sudah berada di tahun terakhir kuliahnya. Ia tidak sabar untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada semester tujuh ini, Rana dan teman-temannya malakukan kegiatan praktik mengajar selama enam bulan di sekolah. Kegiatan wajib ini dilakukan untuk memberi kesan mengajar sesungguhnya kepada para mahasiswa keguruan. Para mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok mengajar. Setiap kelompok terdiri atas 4 – 6 orang. Setiap kelompok akan ditugaskan di sekolah yang sama. Â
Rana dan ketiga temannya, Nana, Lita, dan Saka, ditugaskan di sebuah SMA di daerah Duren Sawit. Kebetulan rumah Rana berada di daerah Cempaka Putih. Setiap hari, Rana harus sudah berada di sekolah sebelum pukul tujuh pagi. Akhirnya sang bapak selalu mengantarnya ke sekolah setiap pagi agar Rana tidak terlambat ke sekolah dan tidak memberi kesan kurang baik.
Suatu hari, setelah mengantarkan Rana sampai ke depan gerbang sekolah, bapaknya bergegas pergi ke pabrik –tempat ia bekerja– di daerah Pulogadung. Namun, bapak Rana mengalami kecelakaan di tengah perjalanan. Motor yang ia tumpangi oleng setelah tak sengaja masuk ke lubang. Ia tak bisa mengendalikan laju sepeda motornya dan akhirnya terjatuh. Kepalanya menghantam aspal. Darah mengalir deras dari kepalanya karena helm yang ia gunakan terlepas dari kepalanya saat menghantam aspal. Bapak Rana segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawanya tak tertolong. Seorang Bapak dengan empat anak itu wafat tanpa berpamitan kepada istri dan empat anaknya. Kejadian itu pun seperti petir di siang bolong. Istri dan keempat anaknya tak pernah membayangkan kepergian kepala keluarga mereka akan secepat itu. Rana histeris memeluk sang Bapak yang sudah tak bernyawa itu. Rana tidak percaya bahwa pagi itu adalah kenangan terakhir antara ia dan bapaknya. Banyak andai-andai yang ia pikirkan, tetapi itu semua sudah terjadi dan tidak mungkin kembali.
Dunia Rana runtuh. Dunia Rana berubah. Dunia Rana berantakan. Ia tidak tahu bagaimana cara melalui dunianya yang baru ini. Dunia yang secara mendadak datang menghampirinya. Dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia kembali menangisi kepergian cinta pertamanya, bapak yang sangat ia cintai.
“Bapaaaaaak, kenapa tidak menunggu Rana lulus, Pak. Sebentar lagi Rana lulus kuliah, Pak. Bapak belum melihat Rana diwisuda, Pak!” tangis Rana pecah di atas gundukan tanah yang mengubur jasad bapak dan dunianya. Teman-teman dan kerabat yang menghadiri pemakaman itu turut menangis melihat kepedihan Rana sore itu. Tika memeluk Rana, ia mencoba memahami kepedihan yang Rana rasakan.
*
“Ran, bapak kamu selalu mendukung pilihan hidup kamu kan?” suara Farraz di telepon.
“Iya.”
“Apa syarat dari bapakmu?”
“Aku harus tanggung jawab dengan pilihanku.”
“Nah, berarti kamu harus menyelesaikan tanggung jawabmu sekarang, Ran. Ini pilihan kamu untuk jadi guru, kamu harus selesaikan kuliahmu dan jadilah guru hebat seperti yang kamu cita-citakan. Bapak kamu pasti sedih kalau tahu kamu terus terpuruk seperti ini.”
Awalnya Rana tidak memikirkan ucapan Farraz atau Tika. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan bapaknya. Bapaknya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menangis menatap Rana. Sejak saat itu, Rana menata kembali dunianya. Ia kembali ke kampus dan menyelesaikan praktik mengajar di sekolah setelah hampir dua minggu ia tidak datang sama sekali. Rana telah kembali meski bukan Rana yang dahulu. Dunia Rana kembali tertata meski berbeda dengan dunia Rana sebelumnya.
***
2 notes
·
View notes
Text
Dunia Rana (Bagian 3)
Hari yang dinantikan Rana pun tiba. Bukan hanya Rana, melainkan juga seluruh siswa yang mengikuti seleksi melalui jalur Penelurusan Minat dan Bakat (PMDK). Dua minggu lalu, hati Rana dibuat karuan oleh Ujian Nasional (UN) dan pikiran Rana juga disibukkan dengan segudang materi yang diujikan. Hari ini, ia akan mendapat hasil dari seleksi penerimaan mahasiswa. Waktu terasa begitu cepat dan saling berkejaran.
Sepulang sekolah, Rana dan Tika meminjam komputer sekolah untuk melihat pengumuman PMDK. Beberapa siswa lain yang mengikuti seleksi itu juga melakukan hal yang sama dengan Rana. Jari-jari Rana bergantian menekan setiap huruf pada papan tombol komputer. Â Ia buka situs universitas yang ia pilih. Kemudian ia buka laman pengumuman hasil seleksi. Bergetar hati Rana.
Ia sangat berharap bisa mendapatkan jurusan dan kampus impiannya. Sebuah kampus negeri di ibu kota negara yang terkenal dengan jurusan keguruan. Beberapa guru di sekolah Rana merupakan lulusan dari kampus itu. Rana ingin sehebat guru-gurunya dalam mengajar.
Beberapa saat kemudian, Rana terperanjat melihat namanya menjadi salah satu calon mahasiswa pendidikan biologi. Rana hampir saja berteriak kegirangan. Namun, Rana langsung mengubah rasa syukurnya dengan bersujud di lantai ruang komputer. Teman-teman yang melihat Rana, langsung menghampirinya dan mengucapkan selamat. Setelah Rana, beberapa temannya juga menyusul mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa karena diterima di kampus pilihan mereka, salah satunya Tika. Tika diterima di universitas yang terletak di Jawa Barat. Kebahagiaan Rana dan teman-temannya juga diiringi dengan kesedihan beberapa temannya yang tidak lulus seleksi, termasuk Farraz yang memilih jurusan kedokteran. Rana dan Tika langsung menghampiri Farraz untuk menghiburnya.
“Raz, mungkin jalur ini belum mengantarkan kamu ke jurusan impianmu, tetapi masih ada jalur lain untuk sampai di sana. Semangat terus ya, Raz!” ucap Rana kepada Farraz untuk menghiburnya.
“Iya, Ran. Doakan aku ya agar bisa masuk kedokteran seperti yang orang tuaku harapkan.”
Ucapan Farraz terdengar getir. Farraz memilih jurusan yang sebenarnya tidak ia inginkan. Namun, Farraz pernah berkata bahwa itu adalah salah satu baktinya kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya sangat ingin Farraz menjadi dokter, sehingga Farraz tidak dibiarkan untuk memilih jurusan yang ia minati. Diam-diam Rana mendoakan kebaikan untuk Farraz.
*
“Pak, alhamdulillah Rana diterima,” ucap Rana sambil mencium tangan bapaknya yang baru pulang bekerja.
“Alhamdulillah ya Allah, Bapak bangga sama kamu, Ran!” jawab bapaknya sambil memeluk anak sulungnya.
“Kapan daftar ulang, Ran?” sahut ibunya.
“Akhir April, Bu, Pak.”
“Nanti Bapak akan ambil cuti, Bapak akan mengantar kamu daftar ulang ke kampus impian kamu!”
“Terus Rana tetap daftar sekolah kedinasan, Pak?”
“Terserah Rana, apa pun pilihan Rana, Bapak akan selalu mendukung Rana. Yang penting kamu bertanggung jawab atas pilihan kamu. Kamu tidak perlu khawatir masalah biaya, Bapak sudah menabung untuk biaya kuliah kamu.
“Terima kasih ya, Pak, Bu. Rana akan berusaha sebaik mungkin. Rana akan buat Bapak dan Ibu bangga, insyaallah.”
“Bapak tidak mengharapkan apa pun dari Rana. Bapak ingin menyekolahkan semua anak Bapak setinggi-tingginya agar memiliki masa depan yang cerah.”
Rana pun memutuskan untuk tidak mendaftarkan dirinya ke sekolah kedinasan karena hatinya sangat mantap untuk menjadi guru. Ia ingin mencetak calon-calon pemimpin masa depan agar negaranya bisa maju seperti negara lain.
*
Rana diantar oleh bapaknya saat melakukan daftar ulang. Mereka melintasi ibu kota dengan sepeda motor tua. Sepeda motor tua itu adalah barang berharga satu-satunya di rumah Rana. Sepeda motor tua itulah yang mengantarkan mereka ke mana pun selama ini. Tidak ada perasaan malu sedikit pun di hati Rana. Rana bangga dibonceng oleh bapaknya.
Serangkaian proses daftar ulang dilalui Rana dengan ditemani bapaknya. Sebotol air mineral dipegangnya. Saat rasa lapar datang, ia langsung menenggak air mineral yang dipegangnya. Azan zuhur berkumandang, bapak mengajak Rana untuk salah zuhur di masjid yang terletak di tengah kampus. Masjid yang cukup besar dengan cat putih. Beberapa anak tangga menyambut Rana dan bapaknya di muka masjid. Mereka pun meletakkan sepatu di rak yang sudah tersedia dan berjalan memasuki masjid.
Selesai salat zuhur, Rana diajak oleh bapaknya untuk makan siang di pinggir jalan depan kampus. Mereka memesan dua mangkuk mi ayam dan dua botol air mineral. Rasa lelah mulai menghampiri Rana, begitu pun dengan bapaknya. Setelah menghabiskan makan siang, mereka bergegas mengurus pembayaran ke bank milik negara yang terletak di depan kampus. Rana melihat bapaknya mengeluarkan uang dari dalam amplop cokelat yang diletakkan di dalam jaket lusuhnya. Bapak Rana mengeluarkan tumpukan uang lima puluh ribuan dan beberapa lembar uang dengan nominal yang lebih kecil. Petugas bank mulai menghitung jumlah uang tersebut. Setelah selesai, petugas bank mengeluarkan bukti pembayaran. Kemudian Rana kembali menyetorkan bukti pembayaran tersebut ke bagian administrasi kampus.
“Haaah… selesai juga ya, Pak.”
“Alhamdulillah. Kita pulang sekarang ya.”
“Iya, Pak. Terima kasih ya, Pak, sudah menemani Rana seharian.”
“Ini kan tugas bapak. Yuk, pulang!” ajak bapak sambil menggandeng tangan Rana.
***
2 notes
·
View notes
Text
Dunia Rana (Bagian 2)
Setelah percakapannya dengan Tika pada siang kemarin, Rana mulai semangat lagi menjalani hari-harinya di sekolah. Ia kembali aktif menyimak penjelasan guru dan mencatatnya dengan rapi. Ia juga semakin rajin mempelajari soal-soal latihan persiapan ujian masuk universitas sambil menunggu hasil penerimaan mahasiswa jalur prestasi.
“Ya ampun, Ran, belajar terus sih kamu? Kamu kan juara umum di sekolah, terus kamu juga pilih jurusan yang enggak muluk-muluk, pasti diterima, Ran!” ucap Farraz kepada Rana. Farraz selalu ingin merebut posisi juara umum, tetapi Rana masih bertahan sampai di akhir masa sekolah.
“Apaan sih, Raz! Belum tentu aku dapat. Saingan di universitas dan jurusan itu kan seluruh Indonesia.”
“Yaaahhh kita lihat aja nanti. Eh, kamu itu kenapa ambil jurusan guru biologi sih?”
“Ya karena aku mau jadi guru, terus aku suka pelajaran biologi, ya sudah aku pilih jurusan itu. Emang salah, Raz?”
“Engga sih, Cuma heran aja anak sepintar kamu kok malah masuk jurusan yang biasa aja, bukan jurusan bergengsi kayak kedokteran atau teknik gitu.”
“Memangnya menurut kamu guru-guru kita sekarang itu dulunya bukan anak pintar di sekolah? Justru orang-orang yang akan jadi guru itu harus dari siswa yang pintar supaya bisa mencetak anak-anak pintar seperti kamu yang nantinya jadi dokter atau presiden!” Rana kesal dengan ucapan Farraz. Ia meninggalkan Farraz yang masih membatu di ruang kelas setelah mendengar jawaban Rana. Farraz tidak menyangka kalau ucapannya menyinggung Rana.
Semenjak kejadian itu, Rana enggan menyapa Farraz. Terkadang ia menjawab sapaan Farraz pun seadanya saja. Farraz pun menyadari sikap Rana yang berubah kepadanya. Ia benar-benar menyesal dengan ucapannya tempo hari kepada Rana. Farraz pun membuka telepon genggamnya yang mungil dan menulis pesan singkat.
“Ran, maaf ya atas ucapanku beberapa hari yang lalu,” Farraz mengirim pesan itu dari bawah meja. Tak lama kemudian Rana membalas pesannya dengan satu huruf saja, “Y.” Farraz pun menyadari bahwa Rana masih menyimpan rasa kesal kepadanya. Ia pun tidak melanjutkan pesannya dan kembali menyimak penjelasan guru fisikanya, bu Irawati.
*
Sepulang sekolah, Rana merebahkan tubuhnya di kasur. Ia begitu kelelahan setelah 30 menit naik angkot dan berjalan kurang lebih satu kilometer ke rumahnya. Biasanya ia langsung berganti pakaian, tetapi sore itu ia terlelap dengan seragam yang masih melekat pada tubuhnya.
“Ya Allah, Gusti…. Ranaaa kenapa tidur pakai seragam?” suara ibunya berhasil menyadarkan Rana dari tidur lelapnya.
“Iya, Bu. Tadi capek sekali jadi ketiduran.”
“Sudah azan magrib, Ran. Ayo, mandi terus salat.”
“Iya, Bu,”jawab Rana sambil melangkah ke kamar mandi.”
Selesai salat, Rana dan keluarganya sudah berkumpul di meja makan. Mereka sellau menyempatkan makan malam bersama. Di meja makan itulah mereka saling bertukar cerita. Di meja makan itulah terjalin kehangatan di keluarga Rana. Sesekali kedua orang tua Rana memberikan wejangan kepada keempat anak gadisnya, Rana, Rena, Resa, dan Ranti. Keempat bersaudara itu pun terkadang berebut bercerita. Sungguh keluarga yang penuh kehangatan meski dalam kesederhanaan.
“Ran, kapan pengumuman kuliah?” bapaknya mulai membuka pembicaraan.
Rana menatap wajah ibu dan bapaknya bergantian sebelum bersuara, “Insyaallah dua hari lagi, Pak.”
“Kamu jadi ambil jurusan guru biologi?”
“Iya, Pak.”
“Oh, iya kemarin teman Bapak cerita, katanya ada kampus yang gratis dan dijamin jadi PNS pas lulus. Apa ya Namanya, Bapak kok lupa!”
“Sekolah kedinasan, Pak? Ada STAN, ada STIS, dan masih banyak lagi.”
“Lah, iya itu maksud Bapak. Kamu mau coba? Lumayan kalau lulus, kamu langsung jadi PNS, biar kamu tidak seperti Bapak dan Ibu, cuma jadi buruh, tidak ada harganya di hadapan orang.”
“Buat apa Pak mikir kata orang. Bagi Rana, Bapak dan Ibu sangat berharga. Meski Bapak dan Ibu hanya buruh, tetapi Bapak dan Ibu selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk Rana dan adik-adik. Rana bangga sama Bapak dan Ibu.”
Kedua orang tua Rana saling berpandangan lalu bersama-sama memandang anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya yang dahulu mereka timang-timang, sekarang sudah dewasa.
“Pak, memang ada uang untuk beli formulir pendaftaran? Kalau tidak salah, guru Rana pernah bilang harga formulirnya Rp150.000.”
“Inysaallah ada, Ran. Jangan khawatir masalah biaya. Bapak akan pastikan kamu bisa sekolah tinggi.”
Rana tersenyum menahan haru di hatinya. Ia merasa sangat beruntung lahir dan tumbuh di keluarga ini. Kalaupun ia bisa menukar untuk dilahirkan di keluarga lain yang lebih berkecukupan, Rana tetap akan memilih dilahirkan di tengah keluarganya sekarang. Rana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan belajar sekeras mungkin dan menjadi apa yang diharapkan kedua orang tuanya. Rana juga bertekad untuk mengangkat perekonomian keluarganya dan kelak membantu perjuangan bapaknya dalam memberikan pendidikan terbaik untuk ketiga adiknya.
*
Mentari pagi menyergap wajah Rana. Pagi itu, seperti biasa Rana berjalan kaki menuju pemberhentian angkot. Setelah berjalan sekitar 15 menit, Rana sampai di pinggir jalan raya. Tak lama berselang, angkot yang akan ia tumpangi pun dating. Ia segera menundukkan tubuhnya untuk masuk ke dalam angkot dan duduk di belakang kursi sopir. Sepanjang perjalanan, pikiran Rana berlanglang buana. Ia mulai memikirkan pilihan yang diberikan bapaknya. Kalau ia diterima di sekolah kedinasan, tentu bapaknya tidak perlu mengeluarkan biaya kuliah. Ia mulai bimbang. Di sisi lain, Rana ingin sekali menjadi guru.
“Kiri ya, Bang!” hampir saja sekolah Rana terlewat karena ia asik dengan pikirannya.
Setelah turun dari angkot, Rana melihat sosok kecil mungil seperti sahabatnya, Tika. “Tik, Tika, tunggu!” teriak Rana dari seberang jalan.
“Ada apa sahabatku? Ceria banget pagi ini? Semalam ada yang dating melamar ya?” goda Tika kepada Rana.
“Hush, ngaco ya si unyil nih. Eh, Tik menurut kamu kalau akau daftar sekolah kedinasan gimana?”
“Ya, enggak gimana-gimana sih, Ran. Emang maunya gimana?”
“Bisa serius enggak? Aku lagi serius nih, Tik.”
“Coba aja, Ran. Aku selalu bilang coba. Rezeki itu sudah ada yang ngatur kok.”
Entah mengapa Rana selalu bercerita kepada sahabatnya, Tika, meskipun terkadang jawaban Tika sama dengan apa yang ada dipikirannya. Rana hanya merasa butuh penguatan dari orang sekitarnya terhadap keputusannya.
***
4 notes
·
View notes
Text
Dunia Rana (Bagian 1)
Rana memalingkan wajahnya ke jendela kelas. Tatapannya kosong dan jauh berlanglang buana. Dari jendela, ia hanya bisa melihat lapangan sekolah yang kosong. Jelas saja kosong, semua siswa masih berada di dalam kelas, sama halnya dengan Rana. Rentetan pelajaran juga masih tersisa setengah. Rana menarik bibirnya ke dalam, tak sedikit pun senyum terukir di wajahnya.
“Huuuh….!” embusan napasnya yang panjang memecah keheningan kelas.
“Ada apa, Rana?” tanya bu Darwati, guru matematika.
“Oh, eee…tidak apa-apa, Bu. Saya boleh izin ke toilet, Bu?”
“Iya, silakan.”
Rana pun bernapas lega karena menemukan alasan yang tepat saat ia tak sengaja mengembuskan napas panjang yang membelah kesunyian kelas itu. Ia pun bergegas ke toilet di ujung lorong kelas. Sesampainya di toilet, ia hanya membasuh dan menatap wajahnya di cermin. Sejenak ia berusaha menenangkan pikirannya yang kusut. Setelah merasa sedikit tenang, ia kembali ke kelas.
“Kriiiiing….. Kriiiiing….. Kriiiing….!” suara bel berbunyi. Semua guru keluar dari setiap kelas, begitu pun dengan siswa. Namun, Rana masih saja duduk di kursinya. Entah apa yang merasuki pikirannya, sampai tak bergeming dengan suara bel. Biasanya ia akan ikut berlari menyerbu kantin sekolah dengan teman-temannya, tetapi kali ini ia hanya mematung di kursinya.
“Ran…. Ranaaaaa….!” teriak Tika sambil memukul meja Rana.
“Astaghfirullah! Kenapa, Tik?”
“Aduh, kamu yang kenapa? Dari pagi sampai siang bengong terus. Mau salat zuhur atau makan siang dulu?”
“Hmmm, aku mau salat dulu. Kamu?”
“Ya, aku ikut kamu deh salah dulu. Terus nanti mau makan siang apa?”
“Lihat nanti deh.”
Setelah salat zuhur, Rana mengangkat kedua tangannya. Ia bersimpuh di hadapan Sang Khalik. Ia panjatkan doa-doanya dengan khusyuk. Tika tak berani mengganggu Rana sedikit pun. Ia pura-pura tak memperhatikan Rana. Perlahan, Tika mundur dari barisan dan membiarkan Rana menuntaskan doa-doanya. Ia paham, pasti ada yang Rana pikirkan. Rana memang tampak tak biasa selama beberapa hari ini. Tika pun menunggu Rana di depan musala dengan sabar dan membiarkan sahabatnya lebih lama memohon kepada Yang Maha Esa.
“Ran, aku boleh tanya?” Tika membuka suara kepada Rana yang telah duduk di sampingnya sambil memakai sepatu.
“Tanya apa? Biasanya langsung tanya, tumben pakai izin segala?” Rana menjawab dengan senyuman manisnya. Sepasang lesung pipi terukir indah di pipi Rana saat ia tersenyum.
“Kamu lagi ada masalah ya, Ran? Aku lihat kamu melamun beberapa hari ini.”
“Yah, aku memang sedang banyak pikiran, Tik. Kamu tahu kan kalau ibuku cuma tukang cuci, sedangkan bapak cuma buruh pabrik. Adikku ada tiga. Sebentar lagi kita lulus, tetapi apa aku bisa lanjut kuliah?” suara Rana mulai bergetar menahan getir di hatinya.
Rana pun melanjutkan ceritanya, “Semalam ibu cerita bahwa penghasilan bapak tidak akan cukup kalau aku kuliah di luar kota, sulit untuk biaya hidup di sana nanti, Tik. Adikku juga tahun ini masuk SMP, butuh biaya juga. Aku bingung, Tik. Apa aku kuliah tahun depan saja ya?”
“Memangnya kamu mau ambil jurusan apa?”
“Aku mau ambil jurusan pendidikan guru sepertinya,” Rana menjawab dengan ragu.
“Kok sepertinya?”
“Soalnya aku tanya-tanya kakak kelas yang kuliah keguruan, katanya kuliah keguruan itu biayanya paling murah dibandingkan jurusan lain.”
“Ran, lebih baik kamu coba saja daftar kuliah dahulu. Kalau misalnya dapat, baru deh kamu tahu pasti berapa biaya kuliah di jurusan itu. Setelah itu, kamu coba diskusi lagi sama orang tuamu. Oh, ya abang pernah bilang juga di kampus itu banyak besiswa, Ran. Yang penting diterima saja dulu, Ran. Biaya dipikirin nanti saja.”
“Iya, juga ya, Tik. Kita juga tidak tahu kan nanti akan diterima atau tidak di kampus itu. Hehehe..” Rana pun sedikit lega mendengar saran dari sahabatnya.
***
2 notes
·
View notes
Text
Pernikahan Impian Bunda
"Pokoknya bunda ga setuju ya kamu berhubungan sama perempuan ga jelas itu!" bentak bunda pada mas Agha.
"Tapi ma... ," belum selesai mas Agha berbicara, bunda sudah mengomel lagi.
"Pokoknya sekali enggak, tetap enggak. Kalau kamu masih mau sama dia, jangan anggap bunda sebagai ibu kamu lagi," bunda semakin serius mengancam mas Agha. Bunda memang teguh pada pendiriannya. Tak ada satu pun yang bisa melawan bunda, termasuk ayah.
Ayah pun hanya bisa menghela napas panjang melihat perdebatan antara putra kesayangannya dengan istri yang dicintainya. Ayah tahu bahwa mas Agha akan kalah, sekuat apa pun melawan bunda. Sudah hampir dua tahun mas Agha terus merayu bunda dengan segala cara agar merestui hubungannya dengan wanita yang ia cintai, Sagita. Sekeras mas Agha mencoba menerobos benteng pertahanan bunda, sekeras itu pula bunda bertahan. Aku pun tak bisa membantu apa-apa selain menghibur mas Agha.
Mas Agha pun akhirnya menyerah. Ia relakan wanita yang ia cintai untuk menikahi pria lain. Mas Agha tak sampai hati membuat mba Sagita menunggunya terus. Mas Agha juga tak ingin bertengkar terus dengan bunda. Meski hati mas Agha terluka, ia tak pernah menampakkannya di hadapan bunda. Aku tahu, diam-diam mas Agha sering menangisi kepergianmu wanita yang ia cintai itu. Namun, lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Tahun silih berganti. Pernikahan mas Agha pun akan segera tiba. Bunda tak sabar menantikan hari itu. Bunda begitu menyukai wanita itu. Cantik, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan penting, dan berasal dari keluarga yang setara dengan kami. Bunda pun merencanakan pernikahan ini dengan sebaik-baiknya. Inilah pernikahan yang bunda impikan selama ini. Sayangnya, ini hanyalah mimpi bunda. Mimpi yang tak akan pernah terjadi karena Mas Agha sudah menghadap Sang Khalik.
Mas Agha memilih mengakhiri hidupnya karena tak ada satu pun wanita pilihannya yang diterima bunda. Setelah kejadian itu, bunda pun masuk rumah sakit jiwa. Bunda terus saja membicarakan Mas Agha dan calon menantu yang bunda impikan.
0 notes
Text
Haruskah Jujur?
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam, eeeh Mas udah pulang," kusambut kepulangan suamiku di muka pintu.
"Aku udah masak, kamu mandi dulu atau makan dulu?" sambungku sambil mencium tangan lelaki yang menikahiku enam tahun silam.
"Aku mandi dulu deh, biar enak makannya."
Saat suamiku mandi, tiba-tiba ada notifikasi di ponselnya. Aku pun membuka notifikasi dari toko hijau di ponsel suamiku. Kami memang terbiasa membuka ponsel pasangan karena khawatir ada sesuatu yang penting saat salah satu di antara kami sedang mandi atau masak. Aku tercengang saat membuka isi pesan itu. Aku tidak menyangka suami yang aku cintai bisa melakukan ini. Aku pun meletakkan kembali ponsel suamiku di tempat semula dan berpura-pura tidak tahu.
Detik demi detik, menit demi menit, sampai hari berganti, kami tak pernah membahas isi pesan yang kulihat dari ponsel Mas Dipta. Sampai suatu malam, saat aku terlelap tidur, tiba-tiba lampu kamar mengeluarkan cahayanya, aku begitu terkejut. Dengan wajah yang masih kusut, rambut yang kusut, aku terpaksa bangun dari tidurku dan melihat Mas Dipta sudah duduk di samping tempat tidur. Ia membawa sebuah kue dengan tulisan "Happy Anniversary Sayangku". Aku tersipu malu. Senyum pun terukir indah di pipiku.
Kemudian Mas Dipta meberikan sebuah kotak. Aku pun tak sabar untuk membukanya. Aku memeluk suamiku setelah melihat isi kotak itu.
"Makasih ya, Mas. Aku suka hadiah dari kamu."
"Alhamdulillah kalau kamu suka, ini yang selama ini kamu mau kan?"
"Iya, Mas. Makasih ya, Mas," jawabku lembut seraya memeluk suamiku.
Sebenarnya aku ingin jujur kepada Mas Dipta tentang apa yang aku lihat di ponselnya. Namun, aku mengurungkan niat itu karena khawatir mengkhawatirkan perasaan Mas Dipta. Bagaimana perasaannya kalau dia tahu aku sudah tahu rencana kejutannya? Hehe
0 notes
Text
Sempurna
Tahun ini pernikahan Kaivan dan Asha memasuki usia lima tahun. Pernikahan mereka sudah dikaruniai dua putra yang tampan dan cerdas. Ketampanan mereka merupakan perpaduan ketampanan Kaivan dan kecantikan Asha. Semua yang melihat pasangan ini akan terkesima dan berkomentar, "Pasangan sempurna." Memang benar, mereka pasangan yang sempurna. Mereka sama-sama memiliki wajah rupawan, sama-sama lulusan kampus terfavorit di Jakarta, dan sama-sama berasal dari keluarga sempurna. Mereka pun hidup berkecukupan dan anak-anak mereka pun cerdas bukan main.
Setelah menikah, Asha memilih menjadi ibu rumah tangga agar bisa fokus mendidik anak-anaknya. Itu semua terbukti dari perilaku dan kecerdasan anak-anaknya. Keputusannya pun didukung oleh suaminya, Kaivan. Kaivan tidak ingin istrinya lelah bekerja di luar sehingga anak tak terurus. Untuk mengisi waktu di rumah dan menambah tabungan pendidikan anak, Asha membuka usaha sampingan di rumah. Ia menerima pesanan makanan maupun camilan. Kebetulan ia pintar memasak. Kaivan pun mendukung keinginan istrinya, asal istrinya bahagia. Sungguh potret keluarga bahagia.
Pagi itu, seperti biasa Kaivan, Asha, dan kedua anaknya sarapan pagi sebelum beraktivitas.
"Bunda, aku ke Bandung ya Jumat ini karena ada pertandingan sepak bola antarcabang di sana, ujar Kaivan kepada Asha sambil menyantap nasi goreng buatan sang istri.
"Oke, Pah. Nanti aku siapin ya baju untuk di sana. Papa pulang hari apa?" jawab Asha sambil memasukkan kotak bekal suaminya ke dalam tas.
"Pah, aku boleh ikut gak?" sambung Kenzie dan Najandra yang sedari tadi duduk di meja makan.
"Kapan-kapan kita liburan keluarga ya ke Bandung, besok Papa pergi sama teman kantor dulu ya, oke?"
"Janji ya, Pah?" jawab kedua anak itu bersamaan.
"Iya, Papah janji liburan sekolah nanti kita ke Bandung."
"Oh iya, Ma, paling hari Minggu malam juga udah pulang, Ma, soalnya Senin harus ngantor lagi."
"Kamu naik apa, Pah?"
"Aku naik mobil dari kantor, Ma. Biar kuat pas tanding, aku harus menang, soalnya hadiahnya lumayan hehehe."
Kaivan pun bergegas pergi ke kantor dan tak lupa menciun kening istrinya sebelum pergi.
Keesokan pagi, Kaivan berpamitan kepada istri dan kedua anaknya sebelum pergi ke Bandung. Asha dan kedua anaknya mengantar sampai depan rumah sambil melambaikan tangan. Kaivan naik taksi daring ke kantornya karena usai bekerja langsung ke Bandung.
Sesampainya di Bandung, Kaivan langsung menghubungi Asha. Mereka berdua menyempatkan panggilan video sebelum tidur untuk berbagi cerita. Memang ini bukan kali pertama Kaivan ikut turnamen, tetapi tetap saja Asha merasakan kerinduan saat Kaivan tak ada di tempatnya berbaring.
Keesokan hari, Asha mengajak kedua anaknya berenang untuk membunuh rasa bosannya di rumah. Kedua anaknya pun menyambut ide Asha dengan riang. Memang mereka sangat suka berenang. Setelah memarkirkan mobil, kedua anaknya bergegas turun dan berlari ke loket tiket, sedangkan Asha berjalan di belakang mereka sambil membawa tas berisi pakaian dan handuk. Namun, sesaat ia tertegun ketika melihat seseorang di dalam minimarket. Kepalanya penuh tanda tanya.
Ia pun menghampiri wanita dan pria yang bersamanya. Sedangkan anaknya diminta menunggu dititipkan ke satpam.
"Hai, Mba Sasha!" Asha menyapa wanita itu.
"Eeeh Mba Asha, sama siapa?" jawab wanita itu sambil bersalaman.
"Sama anak-anak, Mba. Mereka ingin renang katanya. Oh iya Mba, suamimu ga ikut ke Bandung? Tim sepak bola kantor kurang satu dong."
Wanita itu dan pria di sampingnya berpandangan.
"Hah? Ga ada pertandingan kok bulan ini, bulan depan acaranya," jawab pria itu.
"Oh, gitu ya. Ya udah Mba, Mas, aku duluan ya, kasian anakku nunggu di luar."
Asha pun segera meninggalkan pasangan itu dan meraih kedua tangan anaknya. Sambil mengucapkan terima kasih kepada satpam yang menjaga anaknya, Asha dan kedua anaknya melangkah ke dalam area kolam renang.
Deg
Pikiran Asha tidak karuan. Hatinya penuh tanya. Ia terus melamun, menatap kosong ke arah yang ia pun tak tahu apa yang ia lihat. Setelah itu, ia mengetik sebuah pesan whatsapp kepada suaminya, "Sungguh sempurna kebohonganmu, Pah."
1 note
·
View note
Text
Haruskah?
Jam makan siang sudah tiba. Aku dan teman-teman kantorku sibuk memilih makanan pada aplikasi daring. Saat melihat menu makanan, tiba-tiba aku teringat suamiku yang menyukai yakiniku. Aku pun segera meraih ponselku untuk menanyakan menu makan siangnya. Namun, saat jariku baru saja membuka kunci ponsel, masuk pesan dari suamiku, "Mau sampai kapan kita LDM?"
Aku terdiam.
Aku hanya membaca pesan itu, lalu jariku membeku. Aku bukan tak ingin ikut dengannya di Pulau Sumatera, hanya saja aku masih memiliki tanggung jawab pada keluargaku. Sudah berkali-kali suamiku memintaku untuk menetap di pulau itu, tetapi aku masih tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Ketiga adikku masih bersekolah, kedua orang tuaku sudah tiada. Tidak mungkin aku menghidupi adik-adikku hanya dengan meminta kepada suamiku.
Di sisi lain, suamiku ingin aku menemaninya. Ia juga ingin segera memiliki keturunan. Sudah enam bulan kami tidak bertemu karena kondisi keuangan yang masih belum stabil.
Aku pun memilih pergi dari sekumpulan reman-temanku. Aku tidak ingin mereka melihat kerapuhan hatiku. Aku memilih untuk memendamkan diri di toilet. Di sana aku menangis tersedu-sedu sambil berpikir.
Haruskah aku?
Apakah harus?
1 note
·
View note
Text
Apa Kabar?
Hari ini begitu melelahkan. Tumpukan dokumen yang perlu diverifikasi menumpuk di mejaku. Aku pun terpaksa pulang lebih larut dari biasanya. Rasanya ingin berteriak dan berhenti melakukan rutinitas ini di kantor. Aku merasa rutinitasku begitu monoton dan membosankan. Andai aku tak butuh pekerjaan ini, sudah kutinggalkan sekarang juga. Setelah dokumen terakhir aku verifikasi, aku merapikan mejaku dan bergegas ke halte bus di depan kantor.
Lima belas menit aku menunggu, bus tujuanku pun datang. Kulangkahkan kakiku menaiki bus itu dan memasang earbuds di telingaku. Sambil menikmati perjalanan di bus, aku berselancar di media sosial. Tiba-tiba muncul cerita di instagram dari nama yang kukenal, Kirana. Kulihat ceritanya.
"Wah, makin cantik ya Kirana. Sepertinya ia sudah mapan," gumamku dalam hati sambil terus melihat ceritanya.
Aku pun asyik melihat cerita yang ia bagikan di instagram. Lalu aku klik profilnya. Aku pun memainkan jari-jariku di profil miliknya. Aku melihat kiriman-kiriman yang ia bagikan di instagram. Tiba-tiba muncul pikiran untuk menyapanya melalui pesan langsung. Hanya sekadar menanyakan kabarnya. Baru saja pikiran itu terbesit di otakku, muncul foto wanita yang kunikahi lima tahun lalu di layar ponselku.
"Halo Ma, ada apa?" kujawab telepon istriku dengan ketus.
"Aku cuma mau tanya, kamu sampai di mana?" jawab Ayana dengan lembut. Meski aku berbicara ketus, tetap saja dia lembut seperti biasanya. Ia masih sama seperti pertama kali kami bertemu. Tutur katanya lembut. Hal itulah yang membuatku mantap menikahinya.
"Aku baru aja naik bus. Ada apa, Ma?" jawabku sedikit melembut.
"Oh, ya sudah hati-hati ya, Mas! Aku sudah masak makanan kesukaanmu," jawaban dari mulutnya memberi ketenangan di hati.
Seketika niatanku sebelum telepon berdering hilang. Aku hanya ingin segera sampai di rumah dan memeluk dan mengecup kening istriku. Aku ingin bertanya, "Apa kabar, Sayang?" Aku juga ingin mengucapkan terima kasih kepada wanita yang selalu bersabar dengan perangaiku ini. Wanita yang telah melahirkan dua orang putri yang menggemaskan.
5 notes
·
View notes
Text
Langit, salah satu tanda kebesaran Allah.
2 notes
·
View notes