Text
Bukankah sudah terbiasa menjadi udara?
Jawabannya: tentu tidak.
Sesering apapun menjadi sesuatu yang tidak nampak, ternyata tetap menyakitkan ya. Tetap terasa menyesakkan. Setidaknya, udara lebih berguna.
Terlintas di pikiran yang dangkal ini, mungkinkah aku juga berguna?
Semua impian dan keinginan yang berhenti.
Tidak memiki ambisi. sama sekali.
Melihat di sekelilingku saling mencurahkan segala hal untuk mencapai yg mereka ingini.
Aku disini.
Terlihat mati.
Tapi belum. Hanya saja sedang menjadi udara. Mengikuti kemana arah angin berhembus dan menjatuhkanku ke suatu tempat yg baik.
Kuharap begitu.
0 notes
Text
Selesai.
Aku terikat dengan ragaku sendiri.
Mendorong jauh jauh semua orang yang mungkin benar-benar berupaya untukku.
Menjadi gila sendiri bukanlah hal yang tidak wajar.
Lumrah. Buatku.
Apa yang harus dipertahankan dari manusia ini yang bahkan seperti tidak ada harapan?
0 notes
Text
Apa yang terbersit di benakmu tentang sosok ayah? Yg katanya cinta pertama putrinya?
Buatku, dia adalah orang yang mementingkan makan bersama teman-teman dibanding anaknya.
Orang yang selalu lari dari masalah.
Orang yang selalu menggertak.
Orang yang keras, sama sepertiku.
Orang yang menjadi patah hati terbesar.
Orang yang tidak pernah menjadi cinta pertama anaknya.
Saking banyaknya, aku bahkan muak untuk mengingatnya satu per satu.
Banyak ketakutan yang kemudian terbentuk. Menjadi aku yang sekarang. Menjadi orang yang sepertinya banyak dibenci banyak orang.
Dulu, aku akan mati-matian mempertahankan orang2 yang baik kepadaku. Kurasa sekarang, aku hanya akan membiarkan nya. Untuk yg ingin tinggal dengan segala emosi yang belum sama sekali mereda karena sosok itu akan kupersilakan, atau ingin pergi dengan sukarela menurutku bukan hal yg buruk. Bukankah selama ini juga aku memikul kekacauan ini sendirian?
0 notes
Text
Aku menyadari di detik ini, apakah aku pernah membuat keputusan yang tepat untuk diriku sendiri?
Atau apakah aku pernah membuat keputusan yang salah?
Atau apakah aku menyesali segala hal keputusan yg aku ambil sampai saat ini?
Lalu, apa yang kuinginkan sejauh ini? Ketika segala hal sangat baik-baik saja?
0 notes
Text
Aku mulai takut..
Ketika aku mulai bahagia dengan diriku sendiri
Nyaman dengan diriku sendiri
Terlalu jatuh cinta dengan diriku sendiri
Terlalu asik bercengkrama seorang diri
Aku terlalu takut
mulai bahagia tanpa siapa-siapa
Tertawa tanpa manusia
Bersedih tanpa ada yang merasa.
Aku mulai takut
Bahagiaku hanya kunikmati dengan diriku sendiri...
2 notes
·
View notes
Text
Bagaimana jika, rumah yang selama ini tempat untuk meletakkan lelah dan dapat bersenandung dengan sukacita menjadi asing. Masih dihuni oleh manusia-manusia yang sama.
Lengkap.
Hanya saja saat ini,
Terlalu lelah untuk kembali ke 'rumah'.
Jujur, aku mulai takut. Kehilangan makna pulang. Kehilangan kata rumah yang selalu ku sorak sorai setiap saatnya...
0 notes
Text
Juni yang Mengancam
Hujan turun.
Persis menggenangi seluruh isi pikiran. Mereka membabi buta, menghentak ke segala penjuru. Saat tersadar, sel-sel tubuh tidak menghendaki apa yang ingin kulakukan. Semuanya mati. Bahkan tanpa aba-aba.
Aku mematung.
Tepat di sudut ruangan kamar. Memandang hiasan bintang yang berpendar dengan hijau yang menyala-nyala. Sesekali, membenturkan kepala ke tembok. Membuat dentuman yang hampir mengaburkan pandangan.
Mei, adalah bulan yang berisik. Penuh dengan manusia-manusia yang gemar mengusik.
Aku berlari. Menjadi manusia yang gemar mengusik. Seperti mereka. Seperti kamu. Seperti kalian. Melemparkan emosi ke segala penjuru, meskipun dihujani cacian banyak orang yang penuh telisik.
Juni akan datang, seolah mengancam.
Padahal dia tahu, kepalaku sedang dihujam air hujan bertubi-tubi. Belum ada tanda-tanda bahwa sel dalam tubuhku akan menyala. Yang pasti, Aku sedang tidak bercanda.
Sebab Juni akan datang.
Dan aku, ketakutan.
(27 Mei 2023)
6 notes
·
View notes
Text
Dirundung Februari
Memasuki bulan ke dua di tahun 2021 sedikit lebih baik, meskipun masih dilanda pandemi dan masih harus terkurung di rumah sendiri. Aku mulai terbiasa dengan aktifitas yang mengharuskan segalanya dilakukan dari rumah, mulai belajar untuk bertanya hal apapun meskipun aku bukanlah penanya yang baik, mulai menulis di blog pribadi secara rutin, dan mulai serius memikirkan masa depan yang awalnya masih di awang-awang. Beberapa waktu lalu aku memeriksa nama-nama kontak yang tertera di ponsel. Siapa kiranya yang bisa menemaniku makan dan bisa diajak sedikit bercengkrama. Mulai kulayangkan pesan ke beberapa nama yang kiranya kuanggap ‘teman’. Dan, balasan-balasan yang datang ke ponselku adalah penolakan. Tepat di hari yang sama, seseorang yang dulunya mengharap pertemuan denganku melangsungkan pernikahan, ditambah naskah yang kuajukan ke salah satu penerbit bahkan tidak lolos di 100 besar.
Hari itu cukup kacau. Pikiranku yang dangkal merajuk mengatakan bahwa aku ‘tidak pernah diinginkan’. Aku tahu, bahwa aku tidak sendiri. Banyak orang yang memiliki pemikiran serupa. Namun, aku tidak tahu bagaimana mereka menanganinya. Setiap orang memiliki cara yang berbeda meski harus bertaruh dengan luka. Pikiran itu sebenarnya sering datang, dan kali ini pikiran itu menjejali lagi. Sebenarnya aku adalah manusia yang pemikir. Bukan memikirkan hal-hal berfaedah seperti bagaimana cara menemukan bola lampu, namun aku hanya seorang yang suka bertanya-tanya kenapa tanpa pernah mendapatkan jawabannya. Aku memang terbiasa mandiri, dan aku menyesalinya kini. Saking terbiasanya, aku pandai menyembunyikan hal-hal yang seharusnya diketahui. Semisal, ketika aku mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu, dan tidak ada satupun keluarga yang menyadari, karena setelahnya aku bersembunyi di dalam kamar berhari-hari. Kupikir semua akan baik-baik saja, namun tidak. Diriku tidak pernah baik-baik saja. Semua akan berbeda jika ada yang mengatakan bahwa hal yang kulalui selama ini adalah hal yang wajar lalu merengkuhku ke dalam pelukan. Malam itu, aku menenggelamkan wajahku ke kedua lutut, menumpahkan semuanya ke dalam pelukanku sendiri.
Sebenarnya, itulah alasan kenapa aku lebih suka berdiam diri. Di kamar berhari-hari bahkan sanggup tidak bertemu matahari. Aku terlalu takut menghadapi banyak penolakan meskipun sudah seringkali terjadi. Aku hanya ingin ditemani, apa salahnya? Hal-hal yng dianggap remeh oleh orang-orang, namun untukku, itu menjadi bahan pemikiran yang panjang.
Melodi La Fotografia Milik Yiruma kuulang berkali-kali sebagai pengiring tulisan ini. Februari memang hampir usai, dan aku masih akan belajar menata hati, mulai tidak membenci hujan, melayangkan harapan-harapan meskipun tahu akan dikecewakan. Seperti sebuah fotografi yang acak, semua hal baik dan buruk yang terabadikan akan dikenang dengan bijak. Aku memang bukan orang baik, bukan juga dewi matahari yang sanggup memberikan cahaya bagi manusia di bumi, namun setidaknya aku bisa bersinar dalam kegelapanku sendiri.
“You can be strong in your weakness, and shine in your darknes.”
-Pluto-
5 notes
·
View notes
Text
Bao.
Adalah salah satu penghuni rumah kami. Dia yang paling unik diantara dua anabul lainnya. Bao paling gak peka sama suara, paling penasaran sama segala hal, paling anti sama sentuhan, paling suka tidur di kamar mandi, paling suka jilat dan endus2 apapun dan paling galak pastinya.
Bao juga tidak terlalu suka bersosialisasi, suka jalan2 sendiri, muterin rumah lalu balik lagi. Pernah bawa oleh-oleh burung sampai tercabik2 karena tidak mau di lepas sama sekali. Pernah juga makan tokek disisain ekornya aja. Kalo dipanggil dia gak akan pernah bersuara, ataupun menoleh, bahkan ketika suara klakson menggema Bao akan tetap di tempatnya. Dia suka sekali menyendiri di antara yang lain. Kalau lagi hujan, suka duduk di atas jok motor dan diam saja disitu.
Hari ini, aku mendapat kabar yang paling tidak ingin didengar, Bao tiba-tiba tidak bernyawa. Sekujur tubuhnya kaku. Suara isak tangis lewat ponsel dari adikku yang merawatnya setiap hari terdengar sangat jelas. Disusul suara tangisku yang kutahan sekuat mungkin.
Setelahnya, aku benar benar merasakan kehilangan. Perasaan hampa dan sesak yang menyergap sedemikian kuatnya.
Ah, Bao..
Ternyata liburan tahun baru kemarin adalah moment terakhir kita ya.
Lebaran kali ini akan seperti apa ya tanpa rusuhnya kamu di rumah?
Kamu yang tenang disana ya, kuharap kita berkumpul lagi di kehidupan mendatang...
2 notes
·
View notes
Text
Kupikir, menangis adalah jalan terakhir yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan segala hal.
Kupikir juga, menangis di pundak seseorang akan menghapuskan segala keresahan.
Kupikir lagi, semua tetap berulang pada ritme yang sama.
Semua tetap berjalan pada garis yang sudah ditetapkan. Tidak semena-mena bisa disamarkan dengan hal2 indah yang masih diramu.
Banyak sekali yang memenuhi kepala menjadi sebuah gumpalan raksasa dengan denyutan yang menyakitkan. Sesekali, ketika dihempas ke dinding akan lebih baik. Namun, saat itu juga diriku hilang kendali.
Musim panas begitu singkat, menghadirkan percikan hujan setelahnya. Aku ingin bergantung, dan selalu begitu. Tapi, ketika hal-hal diluar dugaan ini muncul, kamupun juga tidak tahu harus berbuat apa. Begitupula aku.
Seringkali, aku ingin menyampaikan tentang gelembung-gelembung yang berdesakan dalam kepala. Membaginya sekaligus denganmu. Namun, aku takut terlalu serakah dan membuatmu ikut menanggung hal yang bahkan seharusnya tidak kamu pikul.
Jadi, aku akan membaginya sedikit demi sedikit denganmu. Sehingga aku bisa bergantung lebih lama, menangis di pundakmu lebih dari sehari. Menurutku itu hal yang sepadan kan?
0 notes
Text
Terkadang..
Ah, bukan terkadang. Tapi seringkali aku berpikir, kelak jika aku menghilang, siapa yang akan mencariku? Atau bertahan menungguku? Atau bertahan untuk mengenang ku? Atau mungkin berjuang untuk menemukanku?
Atau bahkan tidak seorangpun kecuali orang tuaku, Dan aku yakin itu.
Bahkan anak berbulu kesayanganku mungkin tidak akan begitu peduli hahaha
Tidak ada seorangpun yang tahu, siapapun, bahwa kerapkali hal hal remeh sangat mengusikku. Bahkan sekedar bunyi jam yang berdetak.
Ah,lupakan. mungkin memang otakku saja yang kesulitan mencerna semuanya.
1 note
·
View note
Text
Ketika kata demi kata disini mengudara, melawan beberapa kekalutan yang dipaksa menghilang, detik itu juga aku berharap ditemukan.
Berada di ruangan yang begitu luas dan gelap tanpa bisa melihat apapun, meraba-raba sekeliling dan tak menemukan kehadiran siapapun, membuatku merinding. Sementara aku terus menelungkupkan kepala, menenggelamkannya diantara kedua lutut yang tertekuk, yang mulai terasa kebas.
Di satu sisi, berharap aku ditinggalkan saja di sini.
Di sisi lainnya, berharap sebuah tangan terulur dan meraihku pergi dari tempat ini.
Keadaan yang membingungkan.
Semua perkataan yang terdengar, menjelma sayatan dan melukai dengan samar di sekujur tubuh.
Meskipun tak lagi utuh, aku masih mencoba sekuat tenaga berdiri di pijakanku semula. Sendiri.
0 notes
Text
39
Kusudahi pandanganku pada sebuah buku milik Haruki Murakami yang belum sempat tersentuh. Ada keengganan untuk membaca setelah menyelesaikan satu buku sebelumnya. Aku menatapnya lekat-lekat, kosong. Seperti rutinitas belakangan yang kerap kulakukan, yaitu (mencoba) mengosongkan pikiran di satu titik. Tapi rupanya, tidak ada celah untuk sekedar membuatnya kosong.
Waktu berjalan cukup lambat.
Hari demi hari seperti siksaan, jam tidur yang sudah terbiasa berantakan sekarang ditambah keadaan fisik yang makin tidak memungkinkan. Seringkali aku menemui kontemplasi secara tidak sengaja. Saat itu juga aku melarikan diri.
Sebelum Jumat sore, aku mendatangi kalian, entah hanya untuk bercengkrama atau aku memang membutuhkan seseorang untuk percaya dengan cerita-cerita yang kubawa. Namun, kebosanan yang tercermin di masing-masing raut wajah yang kusambut.
Kuhela nafas panjang, menyisakan celah untuk oksigen bersih yang sekiranya akan menjalari seluruh tubuh dan membuatku kembali waras.
Aku kembali bercerita hal yang sama. Berulang-ulang. Mencari pembuktian bahwa ‘manusia juga butuh tempat untuk bercerita meringankan beban mereka’. Pembuktian yang sia-sia. Nyatanya, dia tetap melekat dan sebesar punuk unta lebih sedikit.
“Ternyata tidak sebesar yang kubayangkan, namun kenapa begitu berat?” lagi-lagi batinku menggerutu.
Aku membawanya setiap hari, membuat langkah menjadi gontai dan senyum mulai enggan mampir. Satu persatu dari kalian bertanya ‘kenapa? apa yang sudah terjadi?’ rasanya sudah kuceritakan berkali-kali hingga muak dan cerita itu bahkan meluncur dengan sendirinya dengan runut tanpa perlu konfirmasi dari otak.
Aku mulai menciut, punuk unta itu masih bertengger dengan gagah dan menekan setiap pergerakan yang mulai terbatas. Pagi kemarin, hingga tadi, air liurku terasa pahit. Anehnya, aku tetap menyukai makanan, meskipun setelahnya hanya rasa pahit yang tersisa. Kue-kue manis, dan eskrim kesukaan yang tersaji, habis tidak tersisa namun lagi-lagi diakhiri dengan rasa pahit yang luar biasa.
Setiap kali alarm pagi berbunyi, saat itu juga alarm pada otakku bekerja dan menyuruh hal lain untuk bekerja. Mataku yang masih terpejam, dengan degup jantung yang makin lama makin kencang, disusul dengan keringat dan pusing yang luar biasa hebat. Aku akan merasa mual hari itu.
Tibalah hari Jumat sore, di penghujung bulan Juli 2022.
Aku memasuki sebuah lobi dengan grand piano yang terletak di tengah-tengah dikelilingi mini cafe dan apotek. Ada dua eskalator di depannya beserta manusia-manusia yang berlalu lalang dengan perasaan kecamuknya.
Lift meluncur menuju lantai 6.
Resepsionist memintaku memasuki sebuah ruangan kecil berukuran sekitar 3x3 meter.
Ruangan 39.
Aku menekan engsel pintu dan membukanya, sebuah kaca besar menghadap ke jalanan. Sementara itu di dalam sudah ada seseorang dengan kaos hijau tua dan masker putih. Keriput di bagian wajahnya menandakan bahwa dia sudah cukup berumur.
Tanpa diminta, aku memposisikan diri duduk di hadapannya namun, aku tergiur oleh hal-hal yang berada di luar jendela. Lalu lintas yang padat, MRT yang sedang beroprasi, dan penjaja makanan di depan gedung lantai paling bawah. Entah kenapa, pikiran yang kemarin-kemarin sulit dikosongkan saat itu semuanya nyaris lindap hanya dengan sekali tatap. Bahkan ketika seseorang di hadapanku menyapa dan mengajak berbincang dengan hati-hati. Percakapan yang cukup canggung selama 40 menit. Kupikir, punuk unta yang selama ini menyertaiku, akan mengikis sedikit, tapi....
Sampai saat ini aku tidak bisa mendefinisikan perasaan itu seperti apa.
Aku hanya ingin segera menyudahi percakapan itu lalu keluar dan kembali mengantre di lobi bawah sambil memandang grand piano yang seolah menginginkanku untuk menyentuhnya. Aku berhasil, melarikan diri dari tempat yang cukup pengap itu sambil membawa selembar kertas dan beberapa hal.
Aku tidak kembali pulang setelahnya. Mencoba mencari-cari kewarasan yang tersisa. Apa yang kuputuskan saat itu, sia-sia. Aku merasa, semua sama saja. Tetap, hanya aku yang bisa mendefinisikan segala kewajaran dan kewarasanku, mereka, pun kalian tidak. Pada akhirnya, tidak ada jemari-jemari yang dapat kuraih supaya aku bisa segera beranjak pergi.
Secangkir hot matcha tersaji untuk sekedar menjernihkan pikiran, mencerna apa yang terjadi barusan. Hari mulai gelap, makin gelap. Diiringi lagu ciptaan Barsena dengan airbuds yang tersumpal di kedua telinga, aku sedang menikmati kesunyian.
4 notes
·
View notes
Text
Ketika berbicara tentang impian, kurasa aku tidak cukup layak.
Langkah apa yang telah aku capai, dan dimana aku memijakkan kedua kakiku.
Begitu sulit untuk melangkah ke depan.
Sebab, melangkahkan kaki ke segala arah lebih mudah, dan berjalan ke depan dengan perlahan.
Tidak banyak yg bisa ditemukan, dan juga dilakukan.
Semuanya berhenti tepat dalam satu waktu.
Jiwaku pun juga ikut berhenti. Begitulah, aku hanya kemudian bisa meratapi dan kembali mengurai satu persatu spa yg telah tercerai berai dari dalam diri.
Tujuan, kurasa aku sudah memikirkannya.
Namun bukan itu sepertinya yang mengganggu.
Sepertinya aku sedang malas bermimpi, memiliki mimpi dan mewujudkannya.
Dan disinilah, aku kembali.
Kosong.
1 note
·
View note
Text
What i looking for?
Nothing.
Just, wanna enjoy the voice of waves.
Look around, so many places that waiting you~
1 note
·
View note
Text
Boleh tidak?
Jujur saja ya, Aku tidak pernah tau bagaimana caranya berambisi.
Terlihat seperti kebohongan ya?
Namun, begitulah. Seumur hidupku, hingga detik ini aku bahkan tidak pernah memiliki ambisi. Apapun.
Kulihat sekeliling, kawan-kawan sedang mengerahkan segala usaha untuk sebuah hal yang ingin sekali mereka raih, sesuatu yang ingin diperjuangkan dengan baik.
Tak sedikit yang sampai terseok, terjatuh, tersayat, dan meihatnya bangkit dengan penuh percaya diri.
Sebenarnya, aku tidak ingin membandingkan antara diriku dan mereka.
Karena yaa tidak ada yang bisa dibandingkan.
Sebab aku tidak pernah berambisi.
Sudah dikatakan di awal kalimat kan, dan ini kutegaskan sekali lagi.
Seringkali, terlintas di dalam pikiran yang terlalu rumit ini, bagaimana rasanya memiliki sesuatu untuk diraih? Bagaimana rasanya berjuang mati-matian untuk sesuatu? Bagaimana rasanya hidup untuk sebuah ambisi? Dan bagaimana caranya?
Beri tahu, apa yang harus dilakukan?
Kalau ada yang bertanya ‘apa yang aku inginkan kemudian?’
Aku yakin, kamu tidak akan mendapatkan jawaban apapun dariku. Mungkin, cuma sekedar seringai tipis yang terkesan tidak menghargai.
Banyak rentetan keinginan-keinginan, dan kujalani sedemikian rupa. Tanpa ambisi. Tanpa perjuangan. Hanya sebatas, ‘jalani’.
Dan begitulah mereka tercipta, meskipun perlahan, karena aku tak pernah membuat mereka sebagai tujuan dari ambisiku.
Sebab, ketika ditetapkan sebuah hal untuk dicoba diperjuangkan, saat itu juga kecemasan datang tanpa aba-aba.
Dan aku pastikan, serentetan mimpi buruk tanpa jeda datang setiap hari, setiap kali, setiap saat bahkan saat aku hanya terlelap barang semenit.
Dulunya, kupikir dengan bersandar kepada seseorang akan menghapuskan segala kekhawatiran itu. Namun, rupanya salah.
Semua tetap terletak pada diriku sendiri.
Aku bersyukur, mendapatkan pundak ketika aku sudah mulai goyah dan tidak lagi memiliki pijakan. Ada seseorang yang akan merengkuhku ke dalam pelukan.
Hanya saja, masalahnya tetap pada diriku.
Kupikir, ini adalah sebuah fase baru. Dulu, aku melewatinya sendiri dan menyisakan fase ini. Yang makin hari, makin kututupi dan semakin menjadikan hal buruk terepresentasi ke dalam mimpi.
Sungguh, itu membuat kepalaku pening setelah membuka mata.
Begitulah.
Sehingga seringkali, aku takut untuk tidur.
Takut untuk bermimpi hal-hal yang buruk.
Takut untuk meghadapinya ketika kembali ke kenyataan. Karena, mimpi buruk itu akan membekas bahkan sampai sekarang.
Aku takut, aku jadi manusia yang kosong. Bernyawa namun tak ada ambisi yang tersisa.
Cuma sekelumit pikiran bodoh yang terus membentuk benang tidak beraturan dalam kepala.
Kalian akan melihatnya seperti sebuah senyuman yang sering dipaksakan. Itu adalah representasi dari sekelumit pikiran itu.
Jadi, boleh tidak kalau aku tidak berambisi?
2 notes
·
View notes
Text
Pusaran Mimpi
Wanita itu selalu tidur tepat waktu, kali ini dia terlelap cukup lama. Entah apa yang membuatnya lelah dan tersesat akhir-hair ini. Yang pasti, dia seperti menikmati rutinitas tidurnya di sepanjang hari libur yang dinanti. Dia tidak terlihat lelah, ataupun memiliki masalah. Wanita itu, bisa mengatasinya dengan hati-hati. Dalam satu tahun terakhir bisa dibilang, hidupnya cukup berubah, Beberapa resolusinya bahkan terkabul dengan cepat. Dia selalu menggaungkan hal itu dengan bangga.
Pagi ini hingga siang hari, dia terdengar sedang bercengkrama atau lebih tepatnya sedang bertengkar.
“Kenapa kamu kembali lagi?” Terdengar suara lengkingan si wanita.
“Aku tidak bermaksud...” Suara itu terdengar samar dan lemah, namun tidak bisa dikenali asal suara itu darimana.
“Kapan kamu akan berhenti mengusikku?” Suara wanita itu terdengar sendu.
“Bukankah kamu yang mengundangku? Begitulah caraku datang menyapamu, bukan?” Tidak ada sahutan dari wanita itu.
Aku yang sedari tadi hanya berdiam diri di sisi lain ruangan sangat penasaran dengan siapa wanita itu berbincang dan kenapa tiba-tiba dia berhenti berbicara. Kuberanikan diri untuk mengintip, dan melihat Mimpi sedang berbaring di sisi ranjang tempat wanita itu merebahkan badannya. Kulihat, wanita itu terdiam memejamkan mata namun tidak bisa dipungkiri, aku bisa melihat airmata yang mengalir dari sisi mata kanannya, jatuh membasahi pipi. Sementara di samping tempat tidurnya, Mimpi terlihat sedang merenung, tak lagi membicarakan hal-hal pelik seperti sebelumnya, kemudian pusaran hitam muncul mengitari keduanya.
Sampai saat ini.
2 notes
·
View notes