Text

Hei…
Kau tak harus memaksakan semua hal selesai sebelum usia 30. Tak perlu merasa gagal hanya karena temanmu sudah punya jabatan tetap di umur 26, atau menikah di 27, atau beli rumah pertama di 28.
Dunia memang pandai menanam angka-angka di kepalamu—umur 17 harus tahu cita-cita, 21 harus lulus, 25 harus menikah, 30 harus mapan.
Tapi… siapa yang menetapkan semua itu? Siapa yang bilang hidupmu harus dicetak dalam jadwal seragam?
Kau tak pernah menyetujui aturan itu, bukan?
Sejak kecil kau dijejali target yang bukan punyamu. Disuruh cepat-cepat jadi “seseorang” bahkan sebelum sempat tahu siapa dirimu sendiri. Seolah hidup hanya tentang pencapaian demi pencapaian, seperti tangga tak terlihat yang harus kau naiki satu per satu sebelum “terlambat”.
Tapi bagaimana mungkin hidup dibatasi oleh angka? Kau bukan alarm. Kau bukan produk gagal hanya karena belum “sukses” di umur yang mereka anggap ideal.
Lihat sekelilingmu..
Ada yang baru menemukan cinta sejatinya di usia 35. Ada yang ganti karier total di usia 40. Ada yang baru pulih dari trauma masa kecilnya setelah ulang tahun ke-33. Dan ada pula yang memulai dari nol setelah kehilangan segalanya di usia 45.
Apakah mereka terlambat? Tidak. Mereka hidup. Mereka berani.
Aku tahu, ada malam-malam ketika kau diam-diam membandingkan dirimu. Melihat stories orang lain yang kelihatan sudah “sampai.”
Sementara kau masih di sini, mencoba berdamai dengan luka, mencoba menata mimpi yang belum jadi apa-apa. Kau merasa aneh. Terlambat. Tertinggal.
Tapi percayalah… Kau tidak terlambat.
Karena hidup bukan lomba lari. Ia adalah perjalanan—dengan jalan memutar, henti sejenak, dan arah yang sering kali berubah.
Kita semua punya musim sendiri.
Ada yang mekar di usia 22, ada yang baru berani bersuara di 33. Ada yang menemukan panggilannya di 19, ada yang baru menemukan makna hidupnya di 51. Dan semuanya sah. Semuanya indah.
Jadi pelan saja…
Tak apa kalau hari ini kau belum menikah. Tak apa kalau tabunganmu belum cukup. Tak apa kalau kau masih belajar mencintai tubuhmu sendiri setelah bertahun-tahun merasa asing dengannya. Tak apa kalau kau merasa hampa, meski dunia menyebutmu “berhasil”.
Hidup bukan tentang kecepatan, tapi tentang kejujuran. Kejujuran pada dirimu sendiri.
Apa yang kau mau? Apa yang kau rasa? Apa yang benar-benar ingin kau kejar? Dan selama kau terus berjalan, perlahan tapi setia, maka percayalah…
Kau tidak pernah benar-benar terlambat. Tidak di usia 22, tidak di 33, bahkan tidak di 58. Karena hidup yang utuh bukan tentang sampai lebih cepat—tapi tentang tetap pulang ke dirimu, kapan pun waktunya.
142 notes
·
View notes
Text
Arti Menikah - Saling Mengupayakan.
nasihat ini aku dapatkan sehari sebelum adik laki-lakiku menikah. adik laki-laki yang dulu selalu mengantarkan kakak perempuannya ini kemanapun. ada satu momen dia sangat bersemangat mengantarkan kakak perempuannya ini pergi ke kajian. ada satu momen aku sangat bahagia ketika dia bersemangat ikut hadir dalam setiap jadwal pengajian. semoga semangat ini selalu anugerahlan kepadanya sekalipun ia telah menikah.
di keluarga ku, selalu ada momen dimana semua anggota berkumpul dan saling bercerita tentang hal apapun. entah nantinya berujung sebuah kesepakatan, kebahagiaan atau bahkan pertengkaran. bagiku ini wajar, normal. tidak ada keluarga yang sempurna kan ya? semua keluarga pasti akan mengalami fase seperti ini. namun yang membedakan adalah Bapak selalu mengingatkan kami untuk selalu jujur, dan selalu jangan tinggalkan sholat agar hidup tetap terarah entah gimanapun lika likunya.
"kamu mau menikah, dek. sholatnya dijaga. kamu akan jadi kepala rumah tangga, kamu yang nantinya akan dicontoh oleh istrimu dan anak-anakmu. sing sabar, banyakin mendoakan kebaikan buat pasanganmu dan keturunanmu. pada akhirnya yang merekatkan rumah tangga hanya Allaah bukan karena usahamu, atau cintamu kepada pasanganmu. namun harus terus saling mengupayakan satu sama lain." ujar Bapak kepada calon manten (adik laki-lakiku)
adikku hanya tersenyum, barangkali ia tersipu malu karena mau menikah.
aku penasaran dengan nasihat bapak yang mengatakan "sing sabar". urusan sabar sejauh yang aku tahu selama jadi anak di keluarga ini adalah Bapak. Bapak Masya Allaah luar biasa sekali sabarnya, hal yang dulu aku doakan dalam-dalam sebelum menikah salah satunya (aku ingin suamiku kelak, kesabarannya bisa seluas sabarnya bapak.)
"kenapa sing sabar, pak?" tanyaku penasaran.
"iya, sabar, kalau mudah marah gak Nemu ujungnya nanti. tingi-tinggian suara, siapa yang mau dengar."
aku paham maksud bapak, tapi aku masih merasa belum puas dengan jawaban bapak.
"kalau Bapak sendiri selama rumah tangga itu sabar apa ngempet (menahan diri)?" tanya kakak Perempuanku yang juga sudah menikah.
aku dan adikku saling memandang, sepertinya kita semua penasaran dengan jawaban bapak.
"ya sabar. kan Allaah yang perintahkan buat sabar. pada sabar ada sebuah ketenangan, pada sabar ada sebuah solusi. jika kita bisa bersabar, kita bisa jadi lebih tenang, kita bisa menangkan diri dengan sholat. dan Allaah akan datangkan pertolongan. mungkin nggak saat itu juga, tapi dari sebuah ketenangan bukankah itu adalah salah satu pertolongan Allaah?
Ada momen Bapak nggak sabar ke Ibu, Bapak nggak sabar ke kalian bertiga. kalau Bapak nggak sabar, Ibu yang sabar. kalau Bapak nggak sabar, kalian bertiga yang sabar. Ada momen juga dimana Bapak sabar, Ibu nggak sabar ke Bapak. ada dimana Bapak sabar ke kalian bertiga, salah satu dari kalian ada yang nggak sabar, ada yang protes, ada yang boikot juga kan ya.
tapi intinya apa? kan ada yang sabar salah satunya. tidak ada manusia yang sabar tanpa emosi. sabar sendiri artinya bukan menahan diri tidak melakukan apa-apa. sabar sendiri artinya tetap bergerak meski dengan menahan pergelokan dalam jiwa.
rumah tangga itu akan ada fase saling mencintai, saling menyayangi, saling berkorban, saling membahagiakan satu sama lain. namun ada juga akan ada fase lelah, ingin berhenti, bosan, jatuh dan hal-hal buruk yang tidak diinginkan. namun sholat dan sabar tidak boleh ditinggalkan ketika mengarungi bahtera rumah tangga itu.
ada banyak rumah tangga yang hancur ketika salah satu pasangan meninggalkan sholat. ada juga rumah tangga yang kandas meski keduanya menegakkan sholat atau bahkan keduanya orang yang shalih. pada akhirnya saling mengupayakan dengan saling mendoakan yang paling penting. bergantung hanya kepada Allaah, bukan kepada makhluk sekalipun itu pasangan kita.
karena yang menyatukan hati kita Allaah, yang menggerakkan hati kita juga Allaah. itulah mengapa untuk jangan tinggalkan sholat, sing sabar dan terus saling mengupayakan dalam mendoakan satu sama lain. biar Allaah yang akan terus menyatukan hati-hati kita, merekatkan hati kita dan pasangan kita untuk merasakan sakinah, mawaddah, dan rohmah.
rumah tangga yang tenang itu karunia, rumah tangga yang membahagiakan didalamnya itu karunia yang amat besar. capek kerja seharian, pulang dengan rumah yang tenang itu sungguh anugerah yang harus selalu disyukuri dan hanya Allaah yang bisa memberikan karunia itu. maka upaya kita adalah untuk bergantung hanya kepada Allaah saja. mewujudkannya dengan usaha, bagi laki-laki yaitu dengan bekerja dan mencukupkan diri dengan yang halal saja, bagi perempuan berkhidmat dengan penuh kasih sayang kepada suami dengan baik, dan mendoakan satu sama lainnya."
aku menjadi saksi betapa sabarnya bapak selama ini, yang jarang sekali aku dengar suara keras dirumah, yang tidak pernah aku menghirup asap rokok selama aku menjadi anak bapak. yang sejak kecil aku selalu melihat pemandangan bapak dan ibu sholat tahajud berdampingan. ada satu momen bapak marah kepada adikku, karena waktu itu adikku membawa potongan besi jemuran baju yang entah punya siapa kerumah. bapak marah sekali, bapak memukul adikku hingga kami bertiga menangis karena merasa takut. tapi semenjak itu kita menjadi paham untuk tidak boleh memasukkan/mengambil barang yang bukan milik kita.
kini, kami bertiga sudah menemukan pasangannya masing-masing. selalu dalam doaku, "mohon kepada Allaah agar menganugerahi kami hati yang lembut satu sama lain agar tetap akur, saling menyayangi, dan menolong satu sama lain sesama saudara. kehidupan masing-masing rumah tangga kita bahagia, sehidup sesurga dengan pilihannya yang melalui restu bapak ibu dan jalan yang baik.
terimakasih ya, Pak. hanya Allaah yang bisa membalas kebaikan, cinta, kasih sayang Bapak dan Ibu kepada kami bertiga dengan banyak kebaikan yaitu Surga Allaah. terimakasih sudah menjadi teladan yang baik bagaimana harus menjadi orangtua nantinya. tidak ada orangtua yang sempurna, tidak ada keluarga yang sempurna. semua berproses, bertumbuh untuk terus belajar menjadi baik setiap waktunya.
aku menuliskannya disini, aku ingin menjadikan setiap momen indah ini. barangkali momen ini adalah momen yang kelak aku rindukan. segala puji hanya bagiMu ya Allaah. Maha Suci Engkau yang telah menganugerahiku orangtua yang cintanya begitu tulus kepada kami. jadikan kami semua menjadi anak-anak yang sholih, berbakti, berkhidmat untuk kedua orangtua kami.
ruang syukur || 01 Agustus 2025
164 notes
·
View notes
Text
"larangan bapak-umaak itu, ternyata adalah larangan Allah"
sebagai anak SMP (duluuuu), selalu sanksi kenapa bapak-umaak selalu melarang aku pacaran: apa salahnya? itu kan sering dilakuin anak-anak remaja?
bahkan, kemudian menjadi topik diskusi panjang ketika pulang sekolah aku dengan suemangat bilang, "maak, umaak, temenku tuh ya, ada yang pacaran islami tau, maaak!"
wkwkwk ya Allah, kenapalah 😅
dan, respons mereka apa? yups, murka! ini baru emak-bapak yang murka yaaa.
mana ada pacaran islami, sedang dari segala sisi yang namanya pacaran sebelum halal ya semuanya zina.
lalu, pada akhirnya datanglah ultimatum setelah adu kata panjang-lebar: mba, kamu pilih pacaran atau sekolah?
yaaa, tentu saja sekolah lah, enakan sekolah!
dan alhamdulillah, hari Allah masih mengizinkan untuk terus belajar, untuk terus menemukan jawaban tentang "oh, inilah, yang dulu bapak-umaak larang, ternyata memang benar Allah larang."
masyaaAllah, barakallahu fiik, bapak-umaak 🌻🤍
*sesungguhnya ini ditulis karena lagi kangen rumah (juga) hehe
masih gerimis, 20.01.2025 19:39.
1 note
·
View note
Text
salah sendiri!
siapa yang menyuruhmu jatuh cinta sebelum halal?
bukankah sudah pernah kukatakan?
konsekuensi jatuh cinta sebelum halal itu ya patah hati sendirian.
planet lain, 10:57, 21.11.2024
4 notes
·
View notes
Text
Hari ini melalui 'x', salah satu teman kuliah mengirimkan sebuah tweet tentang anak sekolah menengah yang belum bisa membaca lalu disalahkanlah guru sekolah dasarnya.
Hati saya 'tercubit' membaca kiriman pesan tersebut. Tentunya saya tidak berhak membahas siapa yang seharusnya disalahkan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab, siapa yang seharusnya andil besar dalam hal ini. Sebab, saya sendiri tidak tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya.
Namun, sebagai seseorang yang tentunya masih perlu banyak belajar, izinkan saya menyampaikan sesuatu yang harus selalu kita ingat (sebagai orang tua atau calon orang tua, sebagai guru maupun calon guru):
"Pendidikan seorang anak tidak bisa berjalan maksimal bila hanya mengandalkan salah satu arah saja (sekolah). Karena keberhasilan belajar seorang anak bisa terjadi apabila ada kerja sama yang baik antara rumah dan sekolah, antara guru dan orang tua. Peluang berhasil insyaaAllah akan lebih tinggi jika ada komunikasi yang baik antara sekolah, orang tua dan anak."
Jadi, mari kita menyikapi segala sesuatu dengan menilai dari segala sisi. Sebab, seringkali kita lupa satu hal sehingga mudah sekali menyalahkan orang lain, padahal seharusnya kitalah yang harus banyak refleksi dan belajar.
Kota Timah, 03082024
1 note
·
View note
Text
Aku patah, sendirian.
Salahku hanya diam, padahal memang dalam penantian panjang seringkali tidak ada kepastian.
Seandainya, aku mengatakan lebih dulu, apakah semuanya akan berubah? Bahwa dia dan aku akan menjadi satu?
Tidak! Aku tak akan mengantongi 'seandainya', karena seringkali, 'seandainya' dipenuhi oleh angan-angan yang menetaskan kecewa.
0 notes
Text
Ya Allah, maaf.
Begitu banyak keluhku sedang betapa banyak nikmat dan kemudahan yang Engkau limpahkan kepadaku.
Aku titip diriku, ya Rabb. Agar padanya selalu penuh rasa terima, agar ia tiada pernah luput dalam bersyukur.
0 notes
Text
Menjadi pendidik itu luar biasa hebatnya, ya?
Ia mengajar, juga belajar. Ia mendidik agar anak didiknya memiliki bekal adab yang baik.
Ia mengajar. Ilmu yang dipelajari sekian tahun lamanya ia olah sedemikian sederhana agar bisa dipahami oleh siswa-siswinya. Dibuatnya dengan bahasa yang ramah di telinga anak-anaknya meskipun malam sebelumnya ia rela belajar lebih dulu, mengulang lebih dulu.
Ia belajar. Kelasnya ialah tempat ia belajar. Ditelitinya anak didiknya satu-satu, bagaimana cara belajarnya, bagaimana polah darn perilakunya, bagaimana tata kelola emosinya. Diotak-atiknyalah segala materi, dipelajarinya cara mengajar agar berbekas apa yang ia sampaikan.
Maka tak heran bila sosok guru mahir di segala bidang, sudah menjadi tuntutan di lapangan, di medan perangnya, di kelas yang ia kelola. Bila hari ini ia menjadi ibu yang mengayomi, esoknya ia menjadi teman yang menyenangkan. Bila hari ini ia menjadi guru BK yang menegangkan, esok bisa saja ia menjadi psikolog yang siap mendengarkan segala keluhan.
Luar biasa, terpujilah kepada guru-guru hebat di luar sana.
Teringat nasehat salah satu guruku, Ibu Mai Hafidzahullah: "Belajarlah, Nak. Kemudian mengajarlah! Dimanapun, mengajarlah, bahkan jika engkau hanya punya sebuah batu dan kapur, mengajarlah dengannya. Meski sedikit, tidak ada sesuatu yang sia-sia."
17 notes
·
View notes
Text
Apa salah ya kalau belum hamil?


Atas pertolongan Allaah sudah memasuki pernikahan empat tahun. Memasuki tahun keempat pertanyaan yang menghampiri lebih tajam dibandingkan dengan awal-awal pernikahan. Di awal aku tidak terlalu memikirkan, namun selalu saja aku jatuh perihal bagaimana dengan perasaan suami, orangtuaku, dan juga mertuaku. aku pikir seiring berjalannya waktu pertanyaan itu akan hilang dengan sendirinya, rupanya tidak .
Ada satu hari dimana aku dinyatakan hamil, saat memasuki pernikahan satu tahun sepuluh bulan. aku tahu benar bagaimana perasaan dan wajah-wajah bahagia dari suami, orangtua, dan mertua. Lalu sampai pada titik, Allaah berkehendak lain. Janin tersebut gugur.
Lalu hamil kembali saat usia pernikahan dua tahun sembilan bulan. Qadarullaah harus gugur dan menjalani kuretase.
"Gugur mulu" komentar yang pernah ku dapatkan..
Sedih? Jelas. aku sangat terpukul. Dan komentar lebih sangat tajam bila dibandingkan dengan sebelum hamil.
aku pikir tidak hanya yang belum hamil saja yang mendapatkan pertanyaan demikian. Yang belum menikah dan bertemu jodohnya juga sering mendapatkan pertanyaan yang kurang lebih sama. Kapan?
Hanya karena Allaah menetapkan sebuah takdir sampai detik ini masih menunggu perihal anak. Dulu pun tak luput dari pertanyaan "Kapan menikah" seolah semua keadaan harus sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Menatap kasian, mencibir dibelakang, bahkan menanyai didepan umum dengan kondisi diiringi dengan tawa agar tidak terlihat menyakitkan kemudian memberi nasehat-nasehat yang tidak perlu. Kalau tidak diabaikan dilabeli orang yang tidak bisa menerima nasihat.
Ditatap kasihan lalu sejurus pertanyaan pamungkas, kasihan ya belum jua ketemu jodohnya. Kasihan ya belum jua punya anak nanti siapa yang akan mendoakan kita kalau kita telah tiada. Dan sebagainya, dan sebagainya yang terlalu panjang untuk dituliskan kembali
Sebetulnya ini sedikit kurang nyaman. Apa yang harus dikasiani ? Hanya karena masih sendiri? Hanya karena belum punya anak? Kedua keadaan bukan berarti diri ini kekurangan kasih sayang. Ada Allaah yang Maha Penyayangnya tidak bisa diukur dengan apapun yang senantiasa menyayangi hambanya tiada batas, ada kedua orang tua yang dengan izin Allah menyayangi dengan tulus tanpa tapi.
Hanya karena Allaah mengehendaki sebuah takdir belum menikah atau belum punya anak bukan berarti Allah tidak sayang. Melainkan setiap orang diuji dengan ujiannya masing-masing. Setiap orang sedang berusaha berdamai dengan takdir yang telah ditetapkan untuknya.
Kini, memasuki usia pernikahan empat tahun lebih sembilan bulan. aku berada di titik biar Allaah yang menentukan jalan doa kita, agar kita paham bagaimana rasanya menyerah menjadi seorang hamba. aku hanya ingin menjalani kehidupan ini dengan tenang bersama orang-orang yang ku sayangi. Kehidupan yang mungkin tidak semua orang berada dititik ini. Kehidupan yang tenang..
Menikah, dan mempunyai anak tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Sungguh, ini bukan semata karena pembelaanku saja. Menikah dan mempunyai anak adalah salah satu anugerah Allaah yang patut diupayakan dan disyukuri dengan penuh syukur.
Keduanya bukan tolak ukur untuk bahagia. Karena pada hari ini ada yang menikah namun berpisah, ada yang memiliki anak juga berpisah. Rumah tangga sakinah mawadah warahmah adalah sebuah karunia Allaah. Dan tolak ukurnya bukan dengan ukuran dunia.
Pada akhirnya tak lupa pada setiap do'a apa pun selalu menyertakan "Terbaik menurut engkau Ya Allaah". Jadi ketika sesuatu yang aku minta belum Allaah kabulkan. Hal itu tak lantas membuat ku berburuk sangka pada Allaah.
Sebagaimana buku pertama lahir karena telah banyak kesedihan yang terlewatkan. Dalam Sedihmu Berbaik Sangkalah Kepada Allaah. Semoga pada akhirnya hanya rasa syukur yang akan dilangitkan. Tidak ada didunia ini yang abadi, sekalipun itu kesedihan dan beratnya sebuah penantian. Jangan jauh-jauh dari Allaah, biar Allaah yang kuatkan saat semua orang telah menyerah dan berhenti berupaya.
Lalu kalau ditanyai sebuah pertanyaan yang diawali dengan kapan? Apa yang harus dijawab?
Setiap kali merasa capek sama pertanyaan kapan ini kapan itu, aku yakin, aku belum seberapa dibandingkan dengan mereka yang penantiannya jauh lebih lama. Perihal jodoh ataupun buah hati.
Maka jawabku, tidak semua takdir harus kita pahami maksud dan tujuannya mengapa Allaah menguji kita dengan demikian dan demikian. Pada akhirnya tidak mengurangi sedikitpun kemuliaan ibunda Maryam meski beliau tidak menikah. Dan tidak mengurangi sedikitpun kemuliaan ibunda Aisyah radhiyallahu anha meski beliau tidak memiliki buah hati.
Urgensi hidup bukanlah perihal pencapaian melainkan beribadah kepada Allaah sebagaimana para Nabi, para sahabat yang tetap beriman sekalipun takdir itu terasa tidak menyenangkan. Manisnya sebuah takdir tidak terletak pada apa yang telah kita capai, melainkan keridhoan Allaah.
Tak selamanya hujan akan terus turun, tak selamanya malam akan terus bergulir. Kehidupan ini pun demikian, tidak selamanya. Sebab Allaah yang telah menetapkan semuanya sesuai dengan kadar kemampuan kita sebagai seorang hamba..
Menuju penghujung, 21 Desember 2023
279 notes
·
View notes
Text
Tadi di kantor tanpa sengaja mendengar seorang rekan berkata, kurang lebih:
"Sabar ya, terkadang setiap apa-apa yang menimpa kita pasti ada sesuatu yang baik dibaliknya. Selalu ada hikmah yang Allah siapkan di baliknya."
Setelah beberapa menit kemudian seseorang menghubungiku, katanya ada salah transfer di rekeningku sehingga mengharuskanku datang ke bank. Aku berpikir ini penipuan sedang di seberang seseorang masih meminta tolong agar aku datang memberi bantuan: supaya uangnya bisa dikembalikan.
Ya Allah, nominalnya cukup besar. Maka di sela sibukku yang amat siang ini, berbekal rasa ingin menolong dan menunaikan hak hamba-Nya aku ke tempat tersebut. Sebenarnya dengan sedikit keluh dan gerutuan, astaghfirullah.
Sampai di sana semua diproses dengan lancar sampai tiba-tiba kepikiran, mumpung di sini gimana kalau bikin e-banking sekarang (qodarullah, aku memang mau bikin tapi belum ada waktu) dan alhamdulillah CS-nya mempersilakan, selesai dengan mudah, tanpa kartu, tanpa buku tabungan, hanya berbekal rekening yang salah transfer tadi. Sungguh e-banking ini mungkin entah kapan kubuat kalau tidak ada kejadian ini.
Maka, di sepanjang perjalanan pulang aku masih takjub:
Demikiankah ya Allah? Dengan sedikit niatku mempermudah urusan orang lain Engkaupun langsung membalasnya kontan, menyelesaikan satu urusanku. Engkau hadirkan satu masalahnya yang ternyata Engkau selipkan kebaikan di dalamnya. MasyaaAllah.
Dalam Takjub; PKP, 12122023.
1 note
·
View note
Text
Hai,
Jangan buru-buru lantaran terlalu sering 'didahului', ya.
Kita adalah kita. Kamu adalah milikmu. Ada garis waktu yang telah dilukis-Nya, hanya untuk dirimu. Khusus. Istimewa dengan kejutan-kejutan di baliknya. Jadi, jangan khawatir.
Karena kamu berhak berdiri di atas takdir dengan percaya diri.
0 notes
Text
Bila 'duniamu' terlalu berisik, menulislah. Bila tak usai juga, sujudlah. Allah selalu hadir sebagai tempat terbaik ketika engkau ingin menceritakan banyak hal.
meredam riuh,
Pangkalpinang, 22/10/2023.
0 notes
Text
Biar Kuceritakan Tentang Bapak
Bapak adalah sosok yang tak terlalu pandai mengungkapkan rindunya, bahkan saat kutanya lewat telfon,"Bapak ndak rindu aku, tha?" Ia hanya tertawa dan menyaut, "Lha ngopo rindu-rindu, anak elek ae ok, ora". Plis, muanise polll gini dibilang 'elek', guys! Wkwk.
*elek: jelek; ora: tidak.
Terkadang, kalau lama tidak mengabari rumah beliau hanya bertanya ke Ibu, "Orang jauh ndak telfon tha, Bu?" Dan kuartikan ini sebagai bahasa rindu dari Bapak.
Bapak pun tak pandai mengungkapkan sayang, tetapi Bapak yang amat cemas kalau mendengar kabar aku sakit atau sekadar demam ringan.
Bapak tidak selincah Ibu yang tetiba jadi dokter dadakan ketika anak-anaknya sakit, Bapak hanya segera bergegas memanasi motor/mobil lalu (memaksa) mengantar ke dokter disertai ceramah panjang nan lebar, biasanya sih mengkambinghitamkan air es atau air hujan.
Maka, itulah, Bapak. Lelaki tangguhku yang tak pernah mengeluh, pandai menyimpan rasa yang diam-diam hatinya penuh cinta.
Semoga Allah menjaga Ibu, juga Bapak, barakallahu fiik 🤍
Di antara gemericik air;
Teduh, 25.09.2023
30 notes
·
View notes
Text
Tahap Persiapan Menikah
"Membentuk keluarga harus melalui proses pernikahan secara matang. Bukan accident. Bukan coba-coba. Bukan coba-coba. Bukan iseng. Bukan sekadar untuk senang-senang."
Beberapa waktu lalu saya mendapati curhatan seorang teman saya yang boleh dibilang memilih menikah di usia muda. Di tahun pertama, ia menceritakan betapa senangnya memiliki sosok yang begitu perhatian, menjadi penyemangat di dalam keterpurukannya, dsb. Seoalah menjadi 'warna-warni' kehidupan di kehidupan hambar sebelumnya, katanya. (Mendengarnya agak geli, can't relate. Crayon kalik😌).
Yah, pun kata banyak orang memang di usia jagung pernikahan memang saat-saat dimana romansa yang dahulu sekian lama ditanam, kini ranum dan tinggal dinikmati buah penantiannya.
Sampai akhirnya dia bercerita, di tahun-tahun selanjutnya muncul perasaan hambar, datar. Gairah yang dulu begitu berkobar, perlahan mulai meredup dan dingin tiada kehangatan. Angan hidup bahagia bersama sampai tua yang dulu diagung-agungkan, perlahan ciut menuju utopia belaka.
Kurang lebih satu jam saya diam menyimak ia berbicara, sampai akhirnya dia mengizinkan saya memberi tanggapan. Saya langsung ajukan pertanyaan, "Kamu masih ingat dahulu kamu memilih menikah di waktu (usia) itu? Dan kenapa dia?". Seketika dia terdiam.
Saya mengajukan pertanyaan itu bukan tanpa dasar, melainkan mencoba untuk menggali akar masalah, melalui hipotesis bahwa persoalan itu terjadi karena faktor kesiapan yang belum sepenuhnya matang.
Jika untuk urusan berkendara saja kita butuh SIM, masa untuk kebutuhan yang sangat mendasar bagi hajat manusia dalam menjalani rumah tangga tidak ada sertifikat kelayakan menikah?
Disinilah letak proses persiapan begitu fundamental. Baik itu kesiapan mental, spiritual, moral, finansial, medikal, lebih lagi hal yang paling dasar yaitu konseptual, meliputi keteguhan visi yang akan diperjuangkan.
Setiap calon pengantin harus memiliki kemampuan untuk memverbalkan visi pernikahan mereka, sehingga pernikahan mereka benar-benar visioner. Sebab, bagian yang sangat penting bagi para calon pengantin adalah bab penguatan dan pelurusan motivasi menikah.
Akhir kata biar nggak kepanjangan. Sekarang Alhamdulillah sudah banyak fasilitas sekolah pra nikah yang setidaknya bisa jadi teman dalam proses persiapan itu. Yah memang, tidak ada sekolah/kursus yang mampu menjamin utuh kesiapan dalam menghadapi renak-renik kehidupan berumahtangga.
Akan tetapi, paling tidak kompetensi/keterampilan dasar diajarkan, yang darinya memberikan bekal dalam menghadapi dinamika berumahtangga.
308 notes
·
View notes
Text
Ada saat dimana kamu berada dalam riuh namun air matamu luruh atau ada waktu dimana kamu diam namun isi kepalamu berisik tak karuan.
Kamu hendak bercerita, tapi entah kepada siapa. Lalu kamu memilih bercerita kepada dirimu sendiri, memupuk tabah agar tetap diberi kekuatan untuk melangkah.
Maka semoga air mata serta cerita yang kamu simpan sendiri masih dapat menjadi pegangan agar kamu terus berusaha mampu. Meski berat, semoga kamu selalu terjaga dalam keadaan baik-baik saja.
Merengkuh Tenang, 21:25.
0 notes
Text
Look,
U'r just 'twenty three' or 'twenty four' then 'twenty five', it's okay, its doesn't matter.
Entah siapa yang menciptakan standar: kamu harus lulus kuliah di usia 21th, kamu harus kerja di 22th, kamu harus nikah di 23th or sometimes di 24th. Entah standar dari mana bahwa belum nikah di 30th itu tua dan meninggal di 25th itu muda. Sungguh, masih menyisakan tanya.
Tetapi, bukan berarti kamu boleh santai-santai saja, ya. Setiap waktu yang kamu lalui akan ada pertanggung jawabannya di hadapan Allah.
Kamu punya target? Itu bagus, berusahalah memenuhinya. Kamu belum bisa bertarget, melalui waktu sebaik-baiknya saja? Ngga apa-apa, itu juga boleh.
Yang harus digarisbawahi adalah, setiap kamu sudah punya 'kapan-mu' masing-masing, Allah sudah mempersiapkannya dengan amat sempurna.
Tenangkan hatimu, manusia bebas membeberkan standar mereka, tetapi kamu punya 'planner' terbaik yang bisa kapan saja mematahkan standar itu dengan hasil yang jauh lebih baik dari perkiraanmu sendiri.
-----------------------------------------------------------
Bisa jadi kamu merasa sedang terlambat, tapi percayalah Allah punya alasan yang tepat kenapa kamu ngga boleh terlalu cepat.
________________________________________
Setelah Menyembunyikan Senja, 09.08.2023.
1 note
·
View note
Text
Listen,
Tugas seorang perempuan itu menjaga dirinya, menutup auratnya dengan sempurna, kemudian belajar agama lebih dalam lagi agar semakin sempurna Islamnya, insyaaAllah.
Dan tugas laki-laki adalah menjaga padangannya, menundukkan matanya, menyabarkan hati dan dirinya, memperdalam agamanya sebab bagaimanapun ia calon pemimpin bukan yang akan dipimpin.
Bilamana, wanita sudah menjaga dirinya, kemudian laki-laki kurang mawas diri karena membiarkan 'liar' pandangannya sehingga 'terpecik api' hatinya, yang disalahkan jangan melulu perempuannya. Ittaqillah!
Yang menjaga itu, keduanya, bukan salah satunya saja. Wallahu a'lam.
Semoga Allah jaga kita semua dari fitnah hamba Allah, baik dari makhluknya yang dinamai laki-laki ataupun fitnah terdahsyat yang Ia ciptakan dengan segala keindahannya, yaitu perempuan.
7 notes
·
View notes