Text
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, aku dipaksa menjadi solusi untuk setiap masalah orang-orang di sekitarku. Seolah takdir tak memberikanku ketenangan, aku yang tak ada, dipaksa untuk ada. Pikiran terus berputar untuk menyelesaikan masalah mereka, memenuhi ekspektasi yang tak seharusnya dipikul pundakku.
Aku tak bisa mengeluh, takdir seolah memaksaku menerima semua ini. Tak bisa berkata tidak, dunia menuntutku berkata iya, meskipun sebenarnya tak ingin. Sampai kapan aku akan seperti ini? Tak bisakah takdir berbaik hati kepadaku, untuk tidak mempersulit setiap jalanku? Hidupku selalu sulit, tapi tak pernah sekalipun aku membenci takdirku. Aku selalu berusaha untuk menerima kenyataan bahwa ini jalanku. Namun, sebagai manusia, aku punya rasa lelah dan letih. Ingin seperti mereka yang hidupnya dipermudah, bukan untuk tidak diberikan masalah, tapi untuk tidak selalu dibebani dengan beban yang tak seharusnya.
0 notes
Text
Seperti ingin pulang tapi harus pulang kemana.
Seperti tidak ada tempat untuk pulang sekalipun sedang di rumah.
Seperti terjebak di lingkaran hitam sendirian dengan berbagai ketakutan.
0 notes
Text
Jika diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu..
orang pertama yang akan aku temui adalah orang yang meninggalkanku pulang ke surga sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih dan memeluknya erat.
Karena di masa depan, aku tidak akan bisa menemukan sosok sepertinya lagi.
0 notes
Text
Setelah menikah, aku hanya memiliki suamiku, dan selalu merasa takut untuk kehilangannya. Aku selalu khawatir Tuhan akan menjemputnya dariku. Meskipun aku sangat membutuhkan Tuhan dalam hidupku, namun aku juga sangat membutuhkan kehadiran suamiku. Kadang-kadang, terlintas pikiran apakah Tuhan akan begitu kejam mengambilnya dariku setelah melewati perjuangan panjang yang begitu sulit. Namun, aku yakin Tuhan tidak akan begitu kejam untuk menyakiti hamba-Nya.Tuhan adalah Maha Baik, namun aku merasa cemas bahwa Tuhan mungkin merasa cemburu karena aku begitu mencintai suamiku.
Surat singkat untukmu tuhan:
"Tanpa Engkau, Tuhan, hatiku tidak akan mampu mencintai seseorang. Biarlah aku mengalami kegagalan dalam percintaan di masa lalu, namun kali ini aku berharap agar tidak mengalami kegagalan. Aku sangat takut ditinggalkan oleh suamiku, dan berharap agar hatiku tidak rapuh karena ketakutan yang sebenarnya belum tentu terjadi. Tolong, jangan ambil suamiku sebelum Engkau menjemputku. Suamiku mungkin bisa hidup tanpaku, namun aku tidak bisa hidup tanpanya. Jika memang Engkau tidak mengizinkan kami bersama selamanya, izinkanlah aku pergi bersamamu terlebih dahulu, janganlah Engkau menjemput suamiku sebelum Engkau menjemputku, ya Allah."
0 notes
Text
Senang sekali bisa bertemu dengan banyak orang yang hangat, termasuk Abah penjual roti yang biasa singgah di warung saat menjelang magrib. Meskipun dari segi penampilan mungkin berbeda, namun beliau menyerupai seseorang dalam cara berbicara, memberi nasehat, bercerita, dan mengobrol beliau begitu mirip dengan seseorang. Abah penjual roti selalu menceritakan tentang cucu perempuannya dengan penuh kebahagiaan. Mendengar ceritanya membuat hati hangat, terutama bagaimana beliau sangat mengistimewakan cucu perempuannya, meskipun memiliki cucu laki-laki juga. Bahkan, beliau rela tidak membeli apa pun hanya untuk memberikan gelang kepada cucu perempuan kecilnya.
Saat mendengar cerita tersebut, aku juga merasa ingin berbagi kisah tentang abahku yang sangat menyayangiku. Aku juga selalu diperlakukan dengan penuh kasih sayang, diberikan anting emas, cincin, bahkan dianggap sebagai anak bungsunya oleh semua orang. Rapotku masih memiliki tanda tangan beliau, karena beliau membiayai masa kecilku dan tidak pernah membuatku kekurangan. Abah sangat mengistimewakan aku, sama seperti abah penjual roti yang mengistimewakan cucu perempuannya.
Namun, abah yang ingin aku ceritakan kini sudah berada di surga. Bahkan untuk mengingat kenangan bersama beliau, rasanya sulit bagiku, dan mungkin hanya air mata yang dapat menjadi saksi betapa berharganya beliau dalam hidupku. Terlebih lagi, setiap kali Abah penjual roti mengatakan "Neng, t kenging diluar wae magrib gera indit kejero," karena beliau mengetahui bahwa aku sedang mengandung. Terkadang, karena terlalu senang, beliau meminta bantuan, dan aku terlalu terburu-buru untuk mengambil sesuatu yang diminta, beliau selalu berkata, "Neng, ntos calik we, besing ragag."
Mungkin jika abahku masih ada, beliau akan memperlakukan aku dengan kasih sayang yang sama seperti abah penjual roti memperlakukan aku. Abah, cucu kecilmu sekarang akan segera menjadi ibu, dan abah akan memiliki cicit lagi. Meskipun dulu saat abah dan ema pergi, aku selalu ingin menyusul mereka, namun kini aku telah bertahan hingga saat ini. Abah dan ema, jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini, dan menjalani hidup dengan baik seperti apa yang kalian mau🥰
2 notes
·
View notes