Text
Banyak baca buku tentang kesetaraan gender, pro LGBT, eksistensi Tuhan, teori alam semesta. Merasa diri sudah berdaya, merasa diri telah terbuka. Perlahan mulai berhenti menghakimi kaum-kaum yang minor, kaum-kaum yang sepi. Agama mulai pudar, keimanan mulai terkikis sampai benar-benar kritis. Merasa diri sudah menjadi manusia cerdas, terbuka, dan tidak menghakimi.
Datanglah suatu masa ketika melihat perempuan-perempuan bercadar, yang meninggalkan pekerjaannya demi mencurahkan segenap kasih sayangnya untuk anak dan suaminya di rumah. Atau lelaki bercelana cungklang, dengan jenggotnya yang panjang, yang disebut-sebut mirip seperti kambing. Manusia-manusia yang sedang berupaya taat dalam beragama.
Manusia cerdas, terbuka, dan tidak menghakimi pun berkata: Dasar onta! Manusia kolot! Nyusahin diri sendiri! Ora umum!
Apakah open-minded dan toleransi hanya berlaku pada hal-hal seputar kesetaraan gender, pro LGBT, dan eksistensi Tuhan?
2 notes
·
View notes
Text
Peliknya Berperang Melawan Kartel Narkoba

¿Plata o Plomo? - Pablo Escobar Salah satu serial favorit! Bagi yang "muak" dengan film-film Holywood, serial yang terdiri dari tiga season ini bisa jadi alternatif. Mengambil latar utama di Kolombia, serial ini cukup dapat memberikan suasana baru bagi saya dengan menyajikan keindahan alam, kota, bahasa, dan budaya Amerika Latin, lebih khususnya Kolombia, di tengah kepelikan perang melawan narkoba. Sebelum menonton Narcos, sosok Pablo Escobar adalah sosok yang masih samar bagi saya. Saya mengetahui Pablo Escobar hanya sekedar bahwa dia adalah seorang kartel narkoba. Namun demikian, melalui serial ini, saya dapat lebih mengenal sosok Pablo Escobar, kegilaanya, dan kecintaannya terhadap keluarganya. Dan yang lebih penting dari sosok Pablo Escobar adalah serial ini mengemukakan betapa rumitnya mengatasi peperangan melawan narkoba. Serial ini memang tidak betul-betul fokus pada sosok seorang Pablo Escobar semata. Buktinya, ketika Escobar telah tiada, serial ini masih saja menyuguhkan sajian yang sangat menarik. Namun demikian, tentu sosok Escobar adalah daya tarik tersendiri bagi saya. Ada banyak kegilaan yang membuat saya "takjub" dengannya. Dia adalah seorang narcotrafficker yang pernah menjadi anggota parlemen, pernah menjadi top 10 orang terkaya di dunia, dan mendekam di "penjara" yang dibangunnya sendiri, yakni penjara "La Catedral" yang lebih tepat disebut sebagai hotel super mewah. Narcos cukup cerdas mengemas alasan-alasan yang membuat perang melawan narkoba dan organisasi kriminal merupakan sebuah hal yang sangat pelik. Salah satu penyebabnya adalah pejabat-pejabat yang korup, mulai dari polisi, tentara, menteri, bahkan sampai seorang presiden yang ternyata bekerja sama dengan kartel narkoba. Ditambah lagi dengan aksi-aksi terorisme jaringan kartel narkoba yang tak segan membombardir masyarakat sipil yang tidak bersalah, selebriti, tokoh politik dan semua pihak yang menentang keberadaan mereka.
Selain itu, nampak begitu sulit memutus mata rantai bisnis narkoba. Ketika si pemimpin tiada, maka akan muncul suksesor-suksesor yang lain. Seperti perang yang tak berkesudahan. Narcos sangat kuat memainkan emosi para penonton dengan "dramatisasi" yang kuat. Terlebih di season 3 yang memunculkan tokoh Jorge Salcedo, seorang terpelajar dan mantan tentara yang terjebak dalam dunia perdagangan narkoba. Setelah season 1 dan season 2 berfokus pada Escobar, season 3 menaruh perhatian lebih pada sosok Jorge Salcedo dan upayanya keluar dari lingkaran setan bisnis narkoba.
Meskipun ada beberapa bagian yang fiktif, serial ini tetap berpedoman pada kisah yang sebenarnya. Bahkan, pemilihan tokoh dan adegan mulai dari alur cerita, latar, baju, dan peralatan yang digunakan benar-benar hampir serupa dengan kejadian nyata.
0 notes
Text
Mengenal Lebih Dekat Bagian Kecil dari Kesusastraan Korea

Novel ini mengambil latar di Korea dan ditulis oleh Han Kang, seorang perempuan yang sebelum saya membaca lebih lanjut mengenai profilnya saya kira dia adalah laki-laki. Mungkin saya harus lebih rajin menonton drama korea agar insting saya untuk menebak nama laki-laki dan nama perempuan Korea semakin terasah.
Novel yang diterbitkan pada tahun 2007 ini bukan bercerita tentang pola hidup bersih dan sehat dengan menjadi vegetarian. Novel ini berfokus pada perubahan yang dilakukan oleh Yeong-Hye, seorang perempuan yang sudah menikah yang tetiba memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian dan efek yang terjadi. Menurut keawaman saya, Korea adalah negara yang cukup banyak mengonsumsi daging. Bahkan di sana terdapat makanan berupa gurita yang dimakan hidup-hidup. Makanan yang cukup ekstrem dan mungkin saya dapat membuat orang-orang yang memakannnya tersedak (keselek gurita).
Tentu keputusan Yeong-Hye yang dinilai bertentangan dengan budaya dan paradigma di sana mendapat banyak protes dan akhirnya menyebabkan banyak kekacauan terjadi. Apalagi, motif Yeong-Hye menjadi vegetarian didasari oleh sesuatu yang absurd: mimpi yang tak jelas. Bahkan sampai saya selesai membaca novel ini saya pun belum menemukan kejelasan atas mimpi yang tak jelas itu. Nampaknya penulis ingin menyampaikan bahwa perubahan yang tak jelas asal-usulnya juga dapat berpengaruh pada kehidupan sedemikian besar. The Vegetarian yang hanya terdiri dari tiga bab ini banyak membawa adegan vulgar tentang seksualitas yang disajikan dengan gamblang dan berani. Adegan-adegan tersebut mengingatkan saya dengan Norwegian Wood karya Haruki Murakami yang bagi sebagian orang nampak seperti "cerita bokep". Selain itu, The Vegetarian juga cukup vulgar dalam menyajikan bagian-bagian yang cenderung sadis. Bagi saya, novel yang meraih penghargaan Man Booker Prize 2016 ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kesusastraan di Korea yang nampaknya masih sangat asing bagi masyarakat luas. Bahkan, mungkin saja kesusastraan Korea dapat ikut mendunia seperti dua saudara tuanya: K-Pop dan drakor.
0 notes
Text
Yang Tak Pernah Tidur
Pasar Minggu tetap hidup meskipun bukan di hari Minggu. Hari ini Kamis, beberapa jam sebelum azan subuh berkumandang di corong-corong pengeras suara dari berbagai tempat ibadah umat islam yang berjejalan di Jakarta Raya. Tempat ini masih terjaga. Pasar Minggu adalah bagian dari Kota Jakarta yang benar-benar tak pernah tidur. Diskotik-diskotik dan hiburan-hiburan yang menyemarakan ibukota saat malam bukan tak pernah tidur. Ketika pagi-siang datang, mereka beristirahat, lalu bangun ketika malam telah turun. Pasar ini masih tetap terjaga dan tak pernah redup, sepanjang pagi-siang-malam selalu hidup. Tempat ini adalah harapan bagi para insan yang memburu kehidupan, atau sebagian insan yang diburu kehidupan.
Pasar Minggu ini justru semakin ramai dipenuhi pelaku-pelaku ekonomi ketika subuh semakin dekat. Alas mulai banyak digelar, lampu-lampu dipasang, barang dagangan ditumpahruahkan dan ditata sedemikian rupa menggoda para calon pembeli. Tangan-tangan yang kasar dengan sigap mengangkut barang-barang itu dari tempat persembunyiannya. Tukang jagal makin semangat mengayunkan goloknya memotong daging-daging untuk dijajakan. Jalan-jalan yang lembab menjadi semakin becek dan bergemuruh dipenuhi derap langkah kaki yang semakin banyak menyerbu. Celoteh-celoteh jenaka dan percakapan serius tawar-menawar harga menggumam semakin keras di udara selatan Jakarta ketika Subuh akan tiba.
Pagi datang, hiruk-pikuk Pasar Minggu memang berkurang, namun ia tak juga menutup mata. Ia masih terjaga, sampai malam kembali menghampirinya.

0 notes
Text
Cermin
“Halo cermin, sahabat terbaikku, senang bisa bertemu kembali denganmu setelah sekian waktu”, celoteh seorang lelaki paruh baya di hadapan sebongkah cermin yang terpasang di lemari pakaian. Secercah cahaya menyelimuti wajahnya yang sebelumnya murung, sepotong senyum mengalun lembut pada bibirnya sembari menarik pipinya yang mulai keriput mengikuti bentuk senyum yang terbentuk. Si cermin mengikuti dengan sempurna gerakan lelaki itu. Kini si lelaki mulai tertawa keras. Bibirnya yang hanya terbuka sedikit kini telah terbuka dengan lebar. Terlihat jelas gigi-giginya yang tersusun tak beraturan berderet di sepanjang atap dan dasar gusi yang kemerahan. Suara tawanya kini memenuhi ruangan tempatnya tinggal selama 4 tahun itu. Si cermin kembali mengikuti dengan sempurna gerakan lelaki itu.
Rasa puas dan bangga kini menyelimuti tawa yang awalnya kurang lepas itu. Tiba-tiba kini ia murung, tawanya yang lepas lenyap seiring dengan munculnya kesedihan yang membalut wajahnya. Matanya bergetar berkaca-kaca. Bagian bawah matanya yang tua telah penuh oleh air yang tinggal menunggu giliran akan jatuh mengalir membasahi segala yang terterjang. Mulutnya tertutup sembari berkomat-kamit mengucapkan berbagai keluhan akan kehidupan yang menurutnya tak pernah memberinya keadilan. Air matanya telah jatuh, sebagian membasahi wajahnya yang layu dan sebagian yang lain membasahi lantai kamarnya setetes demi setetes. Kalimat keluh dan kesah tak henti-henti keluar dari mulut lelaki itu, bahkan keluh-kesah itu berubah menjadi hujatan dan kutukan pada hidup yang menurutnya adalah pembohongan besar-besaran.
Ia menengok gambar dirinya pada cermin yang sedari tadi berdiri tegak di depannya. Ia memandang dirinya sangat menyedihkan. Namun, gambar di cermin itu belumlah cukup untuk menggambarkan kesedihan yang sesungguhnya ia rasakan. Kutukan-kutukan itu kini dibarengi dengan suara tangis kebencian yang sedu-sedan dan suara seruputan ingus yang tiba-tiba keluar dari dalam hidungnya yang sebelumnya bersih tak berlendir. Srrrtt…ssrrtttt…srrtttt. Ia pandangi cermin itu dan ia temukan si cermin mengikuti dengan sempurna setiap gerakannya.
“Memang, kau adalah sahabat terbaiku, cermin. Aku bahagia kau pun bahagia, aku tersenyum dan kau ikut tersenyum, aku menangis kau juga menangis”. “Tapi, apakah ketika aku mati, kau juga akan mati?”, si lelaki bertanya-tanya dalam hati.
Bayangan di cermin itu kini bergerak tak mengikuti si lelaki dan tiba-tiba bayangan lelaki di cermin itu berbicara.
“Dasar keparat! Beruntung aku telah berdoa kepada Tuhan dan Dia mengabulkan doaku untuk dapat berbicara kepadamu wahai pecundang yang selalu kalah oleh pikiranmu sendiri. Sepanjang hidupku bertemu denganmu, tak ada hal lain yang kau lakukan selain berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain atas kesengsaraan yang kau alami sementara kau tak melakukan sesuatu. Kau pikir aku sudi menjadi temanmu? Aku muak menjadi bayanganmu. Aku muak dipaksa berkeluh-kesah sepanjang hidupku dengan tingkah lakumu di depanku yang penuh dengan kutukan. Aku bukan sahabatmu, aku tak ingin hanya sekadar tertawa saat kau tertawa dan aku tak ingin sekadar menangis karena kau menangis di hadapanku. Aku ingin kau merawatku dengan merawat segala tindak-tanduk yang kau lakukan terhadap dirimu sendiri. Aku tak ingin menjadi sahabatmu jika kau hanya memperbudakku dengan memperbudak dirimu sendiri.”
Lelaki itu tidur semakin nyenyak dan kata-kata si cermin sayup-sayup menghilang dengan perlahan. Tatkala ia bangun, kata-kata si cermin meninggalkan tanda tanya di kepalanya. Ia segera menegakkan punggungnya dan memandang cermin yang ada di dekatnya dan mencoba mengingat-ingat ingatannya tatkala tidur. Tak dapat memperoleh sesuatu, ia kembali melanjutkan kehidupan dengan senyum dan harapan yang tertananam kuat dalam pikiran. “Apakah yang sebenarnya terjadi, kenapa aku jadi sebahagia ini?”
0 notes
Quote
Apa yang ada di hari ini syukurilah, nikmatilah. Hari esok adalah kisah yang lain.
0 notes
Quote
Don't depend too much on anyone in this world because even your own shadow leaves you when you are in darkness
Ibnu Taimiyah
0 notes
Conversation
Dopokan sore ini
X: Teman2, mohon doanya ya ibuku lagi sakit semoga cepat sembuh
Y: Amin, ya X semoga lekas pulih kembali ibune
Z: Semoga cepet sembuh ibune X
A: Aminnn, semoga ndaaang matiiii. #mari maksude. Maaf kieh keyboarde gemblung maaf ya mas X. Sumpah kieh keyboarde maaf ya
0 notes
Quote
Panas, gerah, tur akeh lemud. Jakarta (lan sekitare) balik maning maring bentuk asline.
0 notes
Quote
Gimana mau ngasih lha wong diri sendiri aja ga punya sesuatu yang bisa dikasih? Mau ngasih ketidakpunyaan?
2 notes
·
View notes
Quote
Memasuki semester ketika mahasiswa menjadi serigala bagi mahasiswa lain, memasuki fase kehidupan manusia dewasa (?)
0 notes