Text
Bobroknya Birokrasi Indonesia Hari Ini.
Wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk menunjuk dua jenderal Polri menjadi Pelaksana tugas (Plt) atau Penjabat Gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara menjadi polemik. Alasan yang disampaikan oleh Mendagri bisa dibilang dibuat-buat, penunjukan ini semata-mata untuk menjaga stabilitas di daerah-daerah rawan konflik pilkada. Aneh memang birokrasi kita hari ini, bagaimana bisanya seorang jenderal polisi yang seharusnya bekerja di ruang lingkup keamanan malah dipercaya untuk memimpin birokrasi di suatu provinsi.
Menyalin UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Apakah Perwira-Perwira yang diangakat ini menganggur sehingga diangkat menjadi Plt Gubernur. Fungsi birokrasi dan pemerintahan daerah adalah mengatur distribusi sumber daya negara, pilihan yang diambil oleh Mendagri ini tentu juga akan berkaitan dengan anggaran negara.
Bagaimanapun tugas seorang Pemimpin daerah tidak hanya berbicara tentang keamanan dan stabilitas, tentu Pemimpin di daerah butuh kompetensi dalam bidang pemerintahan demi menyukseskan program nasional dan hal ini tentu harus dimiliki oleh Plt Gubernur. Ketika menjadi Plt ia akan bertanggung jawab terhadap penggunaan APBD yang berdampak pada kepentingan warga. Pembangunan agak mandek ketika tidak dikelola dengan benar, Plt gubernur tentu harus mengatur seluruh para Aparatur Sipil Negara (ASN) agar bekerja dengan benar.
Budaya kerja birokrasi dan kepolisian tentu berbeda, di dalam budaya kerja birokrasi mereka tidak memiliki garis komando sentralistis, tetapi di dalam budaya kerja kepolisan memiliki budaya tersebut. Hal lainnya yaitu aturan-aturan yang ada di birokrasi cenderung dinamis, tidak seperti budaya kerja di Kepolisian.
Bila mengacu pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya, maka diatur mengenai darurat sipil dengan menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). PDSD itu terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut. Padahal daerah Jabar dan Sumut saat ini dalam keadaan baik-baik saja.
Tetapi dengan alasan-alasan yang disampaikan Mendagri terdapat beberapa hal yang janggal karena keputusan yang dibuat terkesan mengamankan kepentingan Pilkada mengingat bahwa Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan 2 daerah yang memiliki jumlah pemilih terbanyak. Alasan dari Mendagri adalah jumlah pejabat madya setara Eselon I (satu) di Kemendagri sangat terbatas. Tentu seharusya Mendagri juga bisa meminta eselon I dari Kementrian lain yang relevan, seperti : Kementrian Bappenas, Kemetrian Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementrian Bappenas dan Kementrian Desa.
Sudah seharusnya Presiden Jokowi menolak wacana yang diajukan Mendagri karena akan merusak marwah dari Eksekutif, Kepolisan dan Presiden, selain itu hal ini tentu mencederai nilai-nilai dari semangat reformasi. Amanah reformasi tegas menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Sebagai catatan, sebelum reformasi, Polri masih tergabung dalam ABRI yang setelah reformasi diubah menjadi TNI dan kemudian Polri memisahkan diri. Makna menghapuskan dwifungsi ABRI itu tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.
Penunjukan Polisi jadi Plt Gubernur merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Sebab, Polri sekali lagi harus netral dalam kehidupan politik sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dalam pasal itu disebutkan, apabila terdapat anggota Polisi yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya bila Tjahjo ingin mengusulkan Polisi sebagai Plt Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau yang sudah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. "Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan 'dwifungsi' Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru,"
Jika Pemerintah masih bersikukuh untuk tetap menaruh Para Pejabat Kepolisian untuk mengisi posisi tersebut, lantas peran apa lagi yang bisa dilakukan oleh para aparatur sipil negara? Ketika Pemerintah Pusat tidak memberika kepercayaan kepada mereka, tentu masyarakat nantinya tidak juga percaya kepada mereka.
0 notes