a fictional blog by raina i. syam; where i write fictional romantic stories you might enjoy // mostly in indonesian.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
w e l c o m e
a greeting from Raina Islamita as the owner of this blog. I write crappy fictions; creating universes that I’d enjoy.
0 notes
Text
Rabu yang Kelabu
Terkadang Kai menatap jalanan tanpa diikuti oleh kesadarannya. Pikirannya melayang, menjauh, mengarungi waktu pada beberapa minggu yang lalu. Hari Rabu yang kelabu. Kai menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Begitu bodohnya ia hari itu, pikirnya.
Padahal Kai orang yang negatif, ia senantiasa berpikiran mengenai hal terburuk dalam setiap situasi. Ia selalu siap untuk kemungkinan terburuk.
Namun Rabu itu ada yang berbeda.
Cuacanya amatlah baik, langit birunya cerah, suhu udaranya amatlah nyaman. Kai bahkan tertawa melewati batasnya di hari itu; ia bahkan pulang lebih dini karena pekerjaannya telah selesai lebih cepat. Kai merasa senang, sehingga ia pun tahu ada yang salah pada hidupnya. Hidupnya tidak harus semembahagiakan saat itu. Ia merasa Tuhan tidak pernah memberikan hari bahagia yang amat membahagiakan selain Rabu itu.
Kai takkan lupa.
Hari itu hari ulang tahunnya.
Ia amat tidak sabar untuk segera pulang ke rumah, dan disambut kekasihnya yang mungkin telah menyiapkan kejutan untuknya. Kai pada beberapa bulan yang lalu mengulum senyumnya sepanjang jalan menuju rumah; memikirkan sang kekasih yang mungkin saat itu sudah siap duduk di hadapan piano dekat jendela, kekasihnya akan tersenyum senang padanya, kemudian memainkan sebuah melodi indah; mungkin ciptaan kesekiannya yang dipersembahkan hanya pada Kai, setelah mengatakan, “Happy birthday, Love.”
Kai tidak tahu apakah ia memang bodoh atau Tuhan memang sengaja untuk tidak menunjukkan tanda-tandanya.
Dalam memori Kai masih amat jelas bagaimana ia pulang, tanpa prasangka buruk sedikit pun, ia melangkah ke lantai terasnya, tidak mengetuk pintu karena tidak ingin membuat kekasihnya mengetahui mengenai kepulangannya ke rumah dahulu.
Pemandangan rumah yang tenang membuat Kai tersenyum.
Untuk yang terakhir kalinya.
“I’m home.” Adalah kalimat terakhir sebelum hidup Kai berubah sepenuhnya, sebelum senyum bahagianya terenggut untuk selamanya, sebelum prasangka buruknya kembali. Ia menjadi orang yang negatif lagi.
Kai mengitari pandangannya ke sekitar isi rumahnya. Kaos. Serpihan vas bunga yang pecah berceceran di lantai, letak sofa di ruang televisi tidak beraturan, televisinya pun menghilang.
Kai menoleh ke sebuah piano yang tersimpan di dalam rumah mereka, dekat jendela, tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada senyum dari kekasihnya, tidak ada ucapan selamat pertambahan umur dari orang paling istimewa untuknya, tidak ada sang kekasih.
“Raina?” adalah yang hanya ada dalam pikiran Kai. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai hadir, ia tidak tahu harus merasakan apa saat itu selain ketakutan. Prasangka buruk memenuhi pikirannya, Kai rasanya ingin membunuh dirinya sendiri demi menghentikan pikiran mengenai kemungkinan yang terjadi pada Raina.
Meski Kai orang paling negatif yang pernah rekan-rekannya temui, paling pesimis di antara yang lain, tetapi ia tidak pernah memiliki gagasan bahwa dalam hidupnya akan terjadi hal seperti itu. Kai berlalu ke dapur, dan berhenti di tempat sebelum ia benar-benar memasukinya. Ia bergeming pada ambang pintu terbuka dapur ketika pandangannya dipertemukan dengan noda kemerahan di lantai, noda yang asing.
Sehingga Kai pun membisu, tidak berani mengeluarkan sedikit pun suara selain langkah kakinya. Kai tidak pernah merasa setakut itu dalam hidupnya. Sebelum ia benar-benar melangkahkan kakinya, ia berharap—berdoa—agar apa pun yang saat itu menghantui pikirannya tidak dikabulkan.
“Raina,” Kai memanggilnya sekali lagi meski ia telah dapat melihat sedikit pandangan figur Raina yang terbaring tak jauh dari sebuah kursi patah, mungkin untuk memastikan bahwa Raina yang sesungguhnya saat itu terbaring membeku dengan sebuah pisau yang menancap di dadanya hanyalah khayalannya saja.
Kai pasti sedang berpikiran negatif lagi.
Semua ini hanyalah mimpi buruk.
Tolong, seseorang, bangunkan Kai.
“No.” Namun rasa nyeri di hatinya terlalu nyata untuk disebut sebagai bagian dari mimpi buruk. Kai menghampiri Raina, ia masih belum bangun dari mimpinya. Kai membawa tubuh Raina untuk direngkuh, ia masih tidak dapat membuka matanya. Kai menangis, air matanya sungguh nyata. “Please, Raina, no.”
Kemudian Kai panggil nama kekasihnya, berulang kali, mengguncangkan tubuh yang masih tak memberi respon. Kejam, pikir Kai. Hari itu adalah ulang tahunnya, dan sang kekasih tidak menyambutnya seperti yang ada dalam bayangan.
Sudah berapa kali sudah dikatakan bahwa cuaca hari itu amatlah cerah? Kai bahkan tidak membutuhkan penerangan tambahan untuk melihat jelas wajah Raina yang tidak kunjung memberikan tanda-tanda kehidupan. Rupa wajah manis Raina terlihat berbeda; wajahnya pucat pasi, rona bibirnya begitu gelap.
Meski begitu, tetap saja Kai menghubungi ambulans, ia hanya ingin memiliki harapan. Ia hanya ingin menunda kepergian sang kekasih.
I will miss you so much.
Kedua mata Raina tertutup rapat, bahkan di saat seperti itu Raina tetap begitu rupawan. Kai menangis.
Pikirnya bahwa dengan ambulans, Raina akan lebih dapat cepat ditangani, diberikan pertolongan. Setidaknya dengan mengetahui ada pihak lain yang memberikan bantuan pada mereka membuat Kai dapat membagi rasa takutnya; rasa takut seperti, I’m scared, I’m so scared, my lover is leaving me.
Pada detik di mana pandangan Kai bertemu orang-orang yang membantu Raina untuk dipindahkan ke dalam mobil ambulans, ia membaca raut wajah mereka yang meneriakan dukacita.
Jangan, belum saatnya. Raina is fine. She will be fine. Kai menjerit-jerit dalam hati, ia mengulang tanpa henti kalimat tersebut seperti sebuah mantra agar sang kekasih benar adanya akan baik-baik saja. Raina is not leaving.
“Raina,” tenggorokan Kai tercekat, ia tanpa sadar telah membanjiri kedua pipinya dengan air mata. Kai tidak berani menengadahkan kepalanya dan terus memandang wajah sang kekasih untuk yang terakhir kali di hari itu karena tidak ingin melihat orang-orang yang menatapnya iba.
Tidak usah diberitahu, Kai sudah tahu.
Raina is gone now.
Katanya perampokan. Sekelompok perampok yang kini sudah tertangkap dan mendekap di sel tahanan merenggut harta milik Kai dan Raina, merenggut Raina dari Kai.
Kemarahan Kai takkan pernah padam. Ia takkan pernah mengampuni orang-orang yang sudah merenggut Raina darinya.
Tanpa sang kekasih, kini Kai seperti mati rasa. Seluruh hal yang ada di rumahnya terus mengingatkannya pada Raina. Raina yang akan menghabiskan waktunya di studio pribadinya berjam-jam demi menulis sebuah lagu baru, Raina yang berbaring terlelap menghadapnya, Raina yang tertawa pada acara di televisi dengannya, Raina yang berbicara padanya; seperti sebuah kalimat terakhir yang Raina ucapkan pada Kai pada Rabu itu sebelum akhirnya Kai meninggalkannya, “Don’t be late tonight, love you!”
Oh, Tuhan. Kai bahkan kini merindukan suaranya. Ingatan Kai mengenai Raina mulai mengabur, dan ia tidak ingin Raina pergi dari ingatannya setelah Raina pergi meninggalkannya dari dunia ini.
Terkadang Kai berangan-angan, bila ia dapat memutar kembali waktu. Kembalikan Kai pada Rabu itu, Kai terlalu merindukan kekasihnya saat ini. Ia tidak dapat dihantui oleh Rabu yang kelabu terus menerus begini—
Kemudian Kai dapat merasakan dirinya sendiri dihantam sesuatu yang amat keras. Rusuknya mungkin patah. Serpihan kaca mobilnya melayang, ia pun melayang. Ingin berteriak tapi tidak ada waktu. Kai hanya memejamkan matanya erat-erat, tubuhnya terasa dibanting ke sana kemari, ia pun mati rasa.
.
.
.
Kai terbangun kembali hanya untuk mendengar gemuruh dari pekarangan rumahnya—rumahnya. Ia spontan membuka kedua matanya, tidak sadar bahwa ia sedari tadi sedang duduk di kursi di dapurnya. Ia dihadapkan pada sebuah piring dengan remah roti di atasnya. Jantung Kai berdegup kencang, seluruh indranya terlalu mengenal adegan ini.
“Mau tambah rotinya?” Kai menoleh pada sumber suara terlalu cepat, dan ia berusaha untuk tidak berteriak. Kai pun diam di tempat, ia memandang figur manusia di dekatnya dengan raut wajah terkejut. Perlahan bangkit dari kursi. “Kenapa?” katanya lagi. “Kau melihatku seolah aku ini hantu—gosh, Kai, aku ini masih hidup.”
Kai tidak ingin mempertanyakan mengapa ia ada di sini. Di dapur rumahnya, menatap figur Raina yang sedang tersenyum padanya karena baru saja bergurau. Raina terlihat sungguh manis, tidak ada yang berubah darinya.
“You’re here.”
Raina hanya terkekeh geli, pipinya yang merona membuat Kai ingin mengecupnya. “Obviously.”
“You’re here.” Kai mengernyitkan keningnya, raut wajahnya yang dibuatnya ketika berusaha untuk menahan tangis. Ia berjalan mendekati sang kekasih, kemudian tanpa ragu memeluk tubuhnya erat. Kai dapat mendengar Raina mengerang tapi ia tidak terlalu peduli, Kai hanya amat merindukan Raina. “I missed you.”
Raina hanya tetap membiarkan Kai merengkuh tubuhnya, sebelum kemudian menyuarakan, “Kai ...?”
“Raina, I love you so much.”
Raina tertawa lagi, dan Kai ingin mengingat momen ini baik-baik. “Okay. I love you, too.” Kemudian membalas dekapan Kai, ia menyandarkan pipinya pada bahu Kai. “By the way, aku harus menyiapkan sesuatu.”
“Menyiapkan sesuatu?”
“Hm. Untuk yang akan bertambah usianya, aku harus memberikanmu hadiah.” Raina kemudian perlahan melepaskan dirinya dari tubuh Kai, ia berjalan menjauh. Kini pemandangan ini terlalu akrab di ingatannya.
17 April. Beberapa minggu yang lalu.
“Apa ini hari Rabu?”
“Hmm, terlalu antusias untuk kejutanmu?” Raina menggodanya, ia terlihat sedang mengaduk sesuatu di dekat panggangan. Sebuah senyum terukir di wajahnya.
“Aku sedang serius.”
Raina melirik Kai sekilas, senyumnya menghilang perlahan, tetapi ia tidak begitu menghiraukan Kai yang terdengar aneh. “Ya, ini hari Rabu. Kenapa memangnya—oh, ya! aku lupa sesuatu.” Raina kemudian meletakkan kembali apa yang ada di tangannya sebelumnya, kemudian berjalan cepat meninggalkan tempat dan terlihat buru-buru. Ia berhenti tepat di hadapan Kai hanya untuk berkata, “Don’t be late tonight,” kemudian mengecup pipi Kai cepat dan berseru, “love you!” ketika sudah jauh dari pandangan Kai.
Bila benar hari ini adalah hari Rabu itu, maka ia akan mendengar bunyi klakson—kemudian Kai mendengar bunyi klakson kendaraan dari luar rumahnya, mungkin tetangganya. Lalu Kai akan mendengar dentuman pintu yang tertutup; Raina kembali ke pekarangan. Kai mendengar dentuman pintu. Semuanya terasa, terlihat, dan terdengar terlalu sama seperti Rabu itu. Kai merasa ketakutan.
Namun pada Rabu itu Kai tidak mengetahui apa pun, tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi berjam-jam setelah dentuman pintu menuju pekarangan tertutup karena ia tidak terlalu peduli, dan tetap pergi dari rumah menuju gedung kantornya.
Kali ini, Kai tidak begitu. Ia tidak menjadi dirinya di masa lalu. Ia segera mengejar Raina ke pekarangan, memaksanya berhenti memotong rumput, dan membawanya ke halaman depan rumah. Mereka berpegangan tangan, syukurlah, sehingga Raina tidak dapat melihat bagaimana kedua tangan Kai kini bergetar hebat. Ia amat ketakutan hingga tidak berpikir untuk mengunci rumahnya. Lagipula mereka akan tetap kerampokan.
“Kai? What’s wrong?” meski Raina terdengar benar-benar kebingungan, tetapi ia tidak protes mengenai aksi yang dilakukan Kai. Menyeretnya paksa menuju kendaraan pribadi mereka. Pada akhirnya Kai dan Raina sudah duduk di dalamnya, tanpa basa-basi, Kai yang ada di kursi kemudi segera menghidupkan mesin kendaraannya.
“Kita harus pergi.” Kata Kai dengan napas terengah.
“Eh? Kenapa? Kau tidak pergi ke kantor?”
“Raina,” Kai menoleh pada Raina, meraih tangannya untuk digenggam erat, “apa kau percaya padaku?”
“Kai, ada apa?”
Kai berdecak kesal, ia mencoba untuk tidak menyentak Raina yang kunjung memberikan jawaban, “Jawab saja,” ucapnya berusaha tenang, “kau percaya padaku?”
Raina terlihat ragu untuk beberapa saat, ia menggigiti bibirnya dahulu sebelum kemudian mengangguk dan menggumamkan, “Hm.”
“I love you so much.”
Raina nampak memiliki banyak pertanyaan mengenai perilaku aneh Kai di pagi ini, tetapi ia lebih memilih untuk diam saja. Raina semakin terlihat kebingungan, ia mengeratkan genggamannya pada tangan Kai dan tidak berkomentar apa pun lagi.
“Aku sangat menyayangimu, aku tidak ingin kaupergi.” Kata Kai terdengar buru-buru. Masih ada beberapa jam lagi, tetapi Kai tidak tahu kapan para perampok itu akan sampai di rumah mereka. menghubungi polisi pasti percuma, karena peristiwanya belum terjadi dan dengan alasan paranoid tentulah tidak menjamin kepercayaan pihak yang berwajib. “Jadi kita pergi dari sini saja, kita berdua, kau dan aku, okay?”
Raut wajah Raina memperlihatkan kenaifan serta ketakutan. “Okay ....” katanya, ia juga tidak tahu mengapa namun ia merasa takut. Dan tanpa ragu Kai mencium bibir Raina cukup lama hingga napas mereka memburu. Kemudian mereka berpisah, namun wajah tetap berdekatan.
“Hey, Kai. Kalau ada sesuatu, katakan saja.” Raina menangkup pipi Kai, ibu jarinya membuat gerakan melingkar di pipinya. Menenangkan.
“I just missed you so much.”
“Kita selalu bertemu, Kai.” Raina terkekeh pelan untuk mencairkan suasana.
“Hm, I know.” Kai kemudian mengecup pelipis Raina. “Aku senang kau ada di sini.”
Tidak menanggapi pernyataan tak keruan Kai, Raina malah tersenyum dan merespon kekasihnya dengan, “Happy birthday, Love.” untuk yang kedua kalinya pada umur Kai yang ke-32.
Selama perjalanan, Raina tidak berhenti mengoceh mengenai apa pun yang ada di pikirannya—dan ini merupakan hal biasa. Kai biasanya akan mengeluh bila Raina begitu cerewet, tetapi tidak kali ini. Kai membiarkan Raina terus berceloteh ditemani lagu-lagu pop dari radio di dalam mobil sebagai latar belakangnya, kemudian gemuruh hujan yang meredam kebisingan jalan raya selama seharian itu. Sesekali mereka berhenti di bahu jalan bila pemandangannya indah.
Kai tidak menghitung berapa kali ia mencuri pandang pada Raina pada hari itu di dalam mobil dan ia tidak peduli, yang penting Kai kini dapat menghabiskan Rabu ini bersama kekasihnya.
Meski langit begitu gelap, Rabu ini cuacanya kelabu. Kai tertawa dalam hati karena kali ini dirinya membuat alam semesta menangis. Rabunya tidak kelabu; begini, berduaan, ditemani sang kekasih yang tidak pergi darinya.
fin
1 note
·
View note