Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kotak Pandora
Saat membaca mitologi Yunani, ada satu cerita yang cukup membekas untukku. Zeus suatu kali pernah dibuat gusar oleh umat manusia yang mencuri api dari Gunung Olimpus. Lalu sang dewa petir menghukum manusia dengan menurunkan kotak pandora ke bumi.
Sewaktu kotak pandora dibuka segala hal buruk keluar dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Rasa sakit, ketakutan, keserakahan, dusta, cemburu semua dengan cepat menjangkiti manusia. Namun di saat terakhir ada satu hal yang tertinggal di dasar kotak yaitu harapan. Ya, harapan lah yang membuat manusia bisa bertahan menghadapi setiap kegetiran hidup.
Cerita ini banyak dituturkan dan dijadikan motivasi oleh banyak orang yang sedang mengalami kesulitan dalam hidup, bahwa jika kamu punya harapan niscaya kamu akan dapat melewati segala kesusahan. Tentu tidak ada yang salah dengan itu, dan aku pikir dalam kadar tetentu motivasi semacam itu memang dibutuhkan.
Aku sendiri juga sering melakukannya. Saat hal-hal buruk datang berbarengan, mengatakan kepada diri sendiri bahwa esok akan selalu lebih baik adalah cara yang cukup ampuh untuk memberi sedikit ketenangan hati.
Namun di sisi lain harapan bagai pedang bermata dua, bisa menenangkan atau justru menyakitkan. Jika apa yang kita citakan berujung kenyataan pastilah kegembiraan yang datang. Namun jika apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang dibayangkan kekecewaan yang menghadang.
Dan semakin tinggi harapan semakin dalam pula rasa sakit yang bisa ditimbulkan. Dalam salah satu dialog di serial The Witcher, Nenneka pernah berkata people think the worst because they fear to hope. Betapa menakutkan bahkan untuk sekadar memiliki harapan.
Dengan demikian tak salah kiranya jika ada yang beranggapan bahwa hal terakhir dalam kotak pandora yang dianggap sebagai satu-satunya 'harapan' hidup umat manusia justru adalah kutukan terburuk. Kutukan yang dapat melipatgandakan rasa sakit dan kekecewaan.
2 notes
·
View notes
Text
Merawat Ingatan
Rerata manusia memiliki ingatan pertamanya pada usia tiga tahun, namun semakin berumur ingatan tersebut juga akan semakin samar. Saya sendiri tidak terlalu ingat apa yang terjadi di usia balita, hanya cerita-cerita berulang dari kerabat yang jadi gambaran masa itu. Misalnya ketika saya bayi pernah menggemparkan keluarga karena tetiba hilang setelah dimandikan dan ternyata bersembunyi di kolong tempat tidur. Kejadian tersebut membuat simbah yang waktu itu kebagian jatah menjaga saya panik hingga teriak. Di lain waktu saya berulah dengan meminta mainan sambil menangis di pasar atau tempat perbelanjaan, dan momen seperti itu bukan hanya sekali kata ibu yang menceritakannya dengan agak sebal.
Lahir dan tumbuh di lingkungan yang homogen membuat saya hampir tidak mengenal perbedaan. Semua orang seragam dengan agama Islam dan adat jawanya. Meskipun ada minoritas lain tapi jumlahnya tidak signifikan. Bukan bermaksud mendiskreditkan, namun kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada pemahaman saya tentang perbedaan. Meski demikian masa kecil saya tetap penuh dengan kegembiraan.
Beruntung setelah lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA) saya mendapat kesempatan belajar di luar daerah. Hal yang membuat pola pikir saya berubah, bertemu dengan berbagai orang, perspektif, hingga budaya baru. Layaknya remaja pada umumnya, perkenalan dengan sesuatu yang baru itu selalu menyenangkan, membuat berdebar. Lalu romantisme itu lama kelamaan memudar dihadapkan realitas kehidupan.
Melewati seperempat abad kehidupan dengan segudang pencapaian, itu yang dulu saya bayangkan. Ternyata tidak seindah di angan. Saya bukan Kento Motota yang menjadi pebulutangkis pria nomer satu dunia saat usia 25. Bukan pula Mark Zuckerberg yang punya kekayaan 1 juta USD di usia 23. Apalagi Malala Yousafzai yang mendapatkan penghargaan nobel perdamaian saat masih 17 tahun. Saya hanya mas-mas biasa yang berusaha menjalani hidup dengan semangat walau kadang malas-malasan, hari ini nonton anime besok nonton drama korea, pagi dengar musik religi malam koplo pantura.
Hidup seorang medioker seperti saya mungkin tidak banyak berpengaruh terhadap lingkungan secara luas. Namun saya tetap percaya, ada hal-hal yang bisa saya lakukan untuk setidaknya membawa kegembiraan kepada beberapa orang, karena tanpa orang-orang itu tidak mungkin saya bisa menulis di sini dengan kondisi sehat jasmani dan rohani.
Tentu saya tidak sempurna dan masih banyak ruang untuk berbenah. Tulisan ini bukan ditujukan untuk mengglorifikasi pencapaian yang jelas tidak seberapa. Catatan ini saya buat untuk diri sendiri semoga di masa depan ia mau mambacanya lagi sembari mengingat alasan ia ada di titik ini.
2 notes
·
View notes
Text
Jam Tangan Bunga
Langit tak kuasa lagi menahan air yang memaksa jatuh ke bumi. Pun dengan tangisan Bunga yang sudah tak terbendung. Sekuat tenaga ia tahan agar air matanya tak menetes dan saat langit menangis pertahanannya pun seketika runtuh.
Bersama ibu dan adiknya, mereka beranjak dari pusara yg masih baru itu. Ayahnya telah meninggalkan mereka bertiga untuk selamanya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika harus menjalani hidup tanpa kepala keluarga yang bukan saja mereka cintai tapi juga hormati.
Hujan mereda, namun mendung di hatinya tetap tak mau pergi juga. Betapa hidup sebegitu kejam kepadanya, pikir Bunga. Saat semua terasa amat sempurna satu peristiwa bisa menghancurkan segalanya.
Seminggu lalu ia genap berusia 14 tahun dan ayahnya memberikan sebuah jam tangan merah muda dengan sedikit ornamen bunga di atasnya.
“Jam ini punya kekuatan tersembunyi. Saat Bunga sedang sedih lihatlah jam ini. Jarumnya akan berputar lebih lambat dari biasanya karena ia menyerap kesedihan yang Bunga rasakan,” jelas ayahnya dengan penuh keyakinan.
“Kalo Bunga lagi senang yah?”
“Ia akan berputar lebih cepat hingga Bunga engga sempat untuk lihat jamnya.”
Gadis itu selalu memercayai perkataan ayahnya. Dan kepercayaan itu tumbuh berkat apa yang ia rasakan dan alami selama ini. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana lelaki itu menggendongnya semalaman untuk mencarikan rumah sakit saat ia demam tinggi di usia 7 tahun.
Ayahnya juga lah yang menjadi penonton dengan tepuk tangan paling keras saat Bunga selesai membacakan puisi WS Rendra dalam acara pentas seni sekolah. Lalu saat Bunga sedang mengalami hari yang buruk, lelaki itu akan selalu ada walau hanya untuk mendengarkan keluh kesahnya.
***
Bunga menatap kembali jam tangan itu, berharap semua perkataan ayahnya benar. Jarumnya memang berputar lebih lambat namun tetap tak mengurangi kesedihannya.
Seminggu berselang kini ia lebih sering menghabiskan waktu di taman dekat rumahnya. Dengan melihat banyak orang ia berharap dapat mengembalikan semangatnya.
Seorang lelaki paruh baya tetiba menepuk pundaknya. “Dek, sapu tangannya jatuh,” sambil mengulurkan sepotong kain.
“Terima kasih, pak.”
“Maaf dek, sekarang jam berapa kalau boleh tau?” Tanya pria itu.
Bunga melihat ke arah jam tangannya. “Jam setengah lima pak.”
“Waktu menjadi lambat saat kita sedih, dan sebaliknya, menjadi cepat saat kita bahagia,” kata lelaki itu.
Saat Bunga kembali dari lamunannya lelaki itu telah hilang dari pandangannya.
2 notes
·
View notes
Text
Pantai
Sudah sepuluh menit aku duduk hanya ditemani secangkir cappuccino dengan latte berbentuk bunga di atasnya. Tak biasanya kamu terlambat. Namun pesanmu tadi sedikit membuatku lega kamu baik-baik saja.
Cappuccino dengan bunga adalah kesukaanmu yang tak butuh waktu lama untuk jadi kesukaanku juga. Ya harus berbentuk bunga. Katamu bunga di atas cappucino bisa memperkuat rasa, walaupun tentu saja tidak ada bukti ilmiah yang menjelaskannya namun aku dengan senang hati mengamini klaimmu itu.
Sesaat sebelum aku kecup cangkir di depanku, derit pintu terdengar pertanda ada seseorang yang memasuki cafe. Kamu terlihat dari kejauhan memakai setelan baju serta rok panjang berkelir biru. Kamu pernah bilang kalau ada dua warna di dunia ini yang paling kamu suka, biru dan jingga.
“Maaf aku telat, tadi macet banget soalnya, kamu udah lama nunggu ya?”
“Iya gapapa. Kamu mau aku pesenin minum?”
“Engga usah nanti aja.”
“Oiya aku udah milihin konsep buat foto prewed nanti.”
Aku buka tas ransel hitam yang sedari tadi kuletekkan di samping tempat duduk. Lalu aku ambil buku foto yang telah aku persiapkan untukmu.
Kamu melihat foto-foto itu dengan saksama dan dengan wajah berbinar yang menandakan ketertarikanmu. Aku sengaja memilih latar pantai untuk foto nanti karena kamu tak mungkin tak menyukainya.
Dari dulu setiap ada kesempatan liburan, list paling atas destinasi yang ingin kamu tuju adalah pantai.
“Tau gak kenapa aku selalu ingin ke pantai?” Tanyamu dulu. “Kenapa?”
“Pantai itu menenangkan. Angin, ombak, pasir adalah perpaduan sempurna yang menenangkan.”
Meski tak selalu seiya sekata, namun sangat jarang ada pertengkaran antara kita berdua.
“Jadi kapan kita bisa mulai fotonya?” Tanyamu memecah lamunanku.
“Minggu depan.”
“Good.”
“Sudah siap dengan pernikahannya?”
Kamu hanya membalas dengan anggukan dan senyum yang ganjil.
Sejenak suasana menjadi hening dan canggung.
“Akhirnya ya,” gumamku.
Kamu hanya menunduk, lalu terucaplah pertanyaan yang tak pernah aku siapkan jawabannya, “dulu kita pacaran berapa lama?”
“Empat tahun dua bulan, kurang lebih,” jawabku ragu.
Suasana kembali menjadi hening. Kali ini lebih lama.
“Hai maaf terlambat, ada sedikit kendala pekerjaan tadi. Sudah sampai mana?” Tetiba suara itu menyahut dari arah jam dua belas. Lelaki itu lalu duduk tepat di sampingmu.
“Kita baru mulai kok mas,” katamu membalas.
“Satrio udah ngasih konsep buat foto prewed kita dan aku suka banget.”
“Oh pantai kelihatan menarik. Terima kasih Sat.”
—————
2 notes
·
View notes
Text
Red Wedding di Masa Pandemi
Malam itu Robb, Talisa, dan Catelyn Stark beserta pasukannya bersiap menuju sebuah perjamuan makan malam. Acara itu digagas oleh Lord Walder Frey untuk merayakan pernikahan putrinya dengan salah satu anggota keluarga Stark.
Seremoni yang semestinya dihiasi suka cita tersebut mendadak penuh dengan darah. Seluruh keluarga Stark dan pasukannya dibantai di malam pesta pernikahan mereka sendiri. Ironisnya otak di balik pembantaian itu adalah antagonis utama dalam perang yang sedang mereka lakukan.
Salah satu episode paling epik dalam magnum opus serial TV Game of Thrones itu masyhur dengan sebutan Red Wedding.
Saat mereka datang dengan kegembiraan justru yang didapat sebaliknya. Menurunkan kewaspadaan di saat perang memang bukan pilihan yang bijak.
Tak terkecuali perang kali ini. Manusia tidak lagi melawan manusia lain dengan pedang dan panah ataupun persenjataan yang lebih canggih lainnya. Lawan manusia sekarang adalah makhluk berukuran 0,12 mikron yang tak kasat mata.
Mereka ahli dalam bergerilya bersembunyi tanpa gejala. Kemampuannya menggandakan diri adalah yang paling berbahaya. Jika sampai di tubuh musuhnya mereka bisa melakukan apa saja.
Dan di tengah peperangan ini umat manusia tidak boleh sampai terlena. Pelonggaran pembatasan di beberapa daerah mulai terlihat dampaknya. Objek wisata ramai seperti hari biasa. Protokol kesehatan pun berkurang dengan sendirinya.
Perekonomian memang perlu untuk dihidupkan kembali. Tentu saja dengan perhitungan yang teliti. Dalam kondisi kurva belum ada tanda-tanda menurun, sangat riskan untuk memulai relaksasi.
Kita telah melihat belakangan ini sekelompok manusia yang sudah mulai jengah dengan keadaan. Perang yang berkepanjangan menimbulkan banyak korban.
Istilah new normal, normal baru atau kelaziman baru mulai ramai diperbincangkan. Manusia dipaksa untuk beradaptasi dengan keadaan. Sayangnya beberapa orang menyalahartikannya sebagai kemenangan setelah perang. Mereka berbondong-bondong kembali memenuhi pusat keramaian tanpa memperhatikan lagi protokol kesehatan.
Saat kita telah abai lalu menganggap semua sudah usai dan liburan, “malam berdarah” itu bisa saja datang. Kelaziman baru berubah menjadi kezaliman baru. Kita zalim terhadap diri kita dan membahayakan orang di sekitar kita.
Kemenangan semu di depan mata bisa jadi jalan menuju malapetaka. Menurunkan kewaspadaan bisa saja nyawa taruhannya.
2 notes
·
View notes
Text
Pahlawan Tak Diperlukan di Masa Pandemi
Selain mendatangkan banyak kematian secara singkat, perang dan pandemi juga sama-sama kerap menghidupkan imaji tentang (ke)pahlawan(an).
Kisah para dokter dan perawat yang wafat karena terpapar COVID-19 tidak pernah tidak memantik keharuan. Sulit untuk tidak hormat kepada Dr. Michael Robert Marampe yang merelakan agenda pertunangannya ditunda, mula-mula sementara karena hendak fokus menangani pandemi, dan akhirnya selamanya karena ia meninggal. Rekaman-rekaman yang memperlihatkan tenaga medis yang kelelahan, yang dengan APD tebal dan bikin gerah masih berusaha menghibur diri dengan menari atau bernyanyi, kian mempertebal imajinasi tentang tenaga medis serupa prajurit yang tiarap dalam sepi no man’s land.
Tindakan-tindakan menggugah seperti itu sangat berlimpah, dan itu bukan monopoli para tenaga medis.
Sebuah keluarga berstatus ODP di Minahasa Utara memilih pergi ke hutan untuk mengisolasi diri karena enggan merepotkan atau membuat cemas tetangganya. Belum lama saya membaca suami istri yang baru punya bayi, keduanya bekerja sebagai ojol, tak punya tempat tinggal karena tak sanggup membayar kontrakannya di Jakarta. Mereka terlunta-lunta di sekitar Sarinah, dan rekan-rekannya sesama ojol membawa mereka ke salah satu basecamp komunitas. Seorang ojol perempuan kemudian berbaik hati menyediakan kamar kosnya untuk bayi dan ibunya itu.
Kebanyakan kisah hangat seeprti yang menghangatkan hati seperti itu tak pernah kita ketahui karena tidak dicatat wartawan atau diceritakan mereka sendiri di media sosial. Boleh jadi karena mereka tak menganggap dirinya, juga tindakannya, sebagai istimewa. Barangkali bahkan mereka melakukannya nyaris tanpa alasan: memangnya butuh alasan untuk membelikan nasi bungkus kepada orang yang sedang kelaparan?
Keep reading
311 notes
·
View notes
Text
Ramadan, Mudik dan Lebaran
Beberapa waktu lalu ibu mengirim sebuah pesan melalui whatsapp. Sesuatu yang jarang dilakukannya. Biasanya saya lah yang akan memulai percakapan atau sekadar bertanya kabar.
Isi pesannya adalah sebuah pertanyaan. “Lebaran nanti pulang mas?”
Saat itu saya tidak bisa memberi kepastian jawaban. Balasan singkat yang sanggup saya berikan hanya, “belum tau buk.”
Pertanyaan semacam itu bagi sebagian orang di luar sana mungkin merupakan hal yang mafhum dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Namun tidak demikian dengan ibu saya. Ibu adalah sosok yang memiliki cara berkomunikasinya sendiri. Ia tidak akan secara langsung mengatakan apa yang dirasakannya.
Dan ketika ia telah mengungkapkan secara langsung pertanyaan itu—melalui pesan whatsapp tentunya, suatu kekhawatiran yang besar mungkin sudah menyelimuti dirinya.
Di masa krisis seperti ini, sangat wajar jika seseorang merasakan kekhawatiran lebih besar dari biasanya. Betapapun orang itu mencoba untuk tetap tenang, selalu ada ruang di sudut perasaan untuk khawatir dengan keadaan.
Ramadan tahun ini akan jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pun demikian dengan lebaran. Tak ada tarawih di masjid atau musala, salat ied, buka bersama dengan teman sejawat dan mungkin tradisi sungkeman.
Pandemi yang terjadi mengubah banyak hal dalam kehidupan. Untuk mengurangi penyebaran kita diharuskan menjaga jarak fisik dan bahkan tidak keluar rumah. Pola beribadah pun menjadi berubah dan kita harus memaknai ulang ramadan serta lebaran.
Pada dasarnya puasa ramadan mengajarkan kita untuk menahan nafsu. Dalam kondisi saat ini menahan nafsu itu bisa dimaknai dengan tidak melakukan sesuatu yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Salah satu implementasinya yaitu dengan meminimalkan kontak fisik dengan orang lain, tetap berada di rumah jika tidak ada keperluan genting di luar serta menunda untuk mudik ke kampung halaman.
Yang terakhir ini menjadi pantangan terberat bagi saya pribadi. Selama enam tahun di perantauan, mudik adalah peristiwa penting yang tak pernah saya lewatkan. Perjalanan kembali ke kampung halaman adalah momen untuk merefleksi diri serta penegasan sejauh mana pun saya pergi, saya punya tempat untuk kembali.
Tak pernah terlintas sedikitpun sebelumnya—dalam kondisi orang tua yang masih sehat—akan melewati lebaran tanpa mencium tangan mereka. Tangan-tangan yang mulai keriput pertanda betapa keras hidup menempanya.
Menatap guratan wajah yang mulai menua dan lelah diterpa masalah—yang mana saya adalah penyumbang terbesar masalah dalam hidup mereka. Lalu mendengarkan rapalan doa dari mulut rentanya adalah momen-momen magis yang bahkan tidak bisa diganti dengan bantuan teknologi sekalipun.
Jika lebaran diasosiasikan dengan kemenangan. Maka kali ini kemenangan itu harus didapatkan dengan berkali lipat pengorbanan. Termasuk memberanikan diri mengangkat telepon memanggil ibu dan bilang, “maaf tahun ini tidak bisa merayakan idul fitri bersama.”
1 note
·
View note
Text
Perihal Menunggu
Kamu melirik lagi jam dinding di pojok kamarmu. Mungkin sudah 8 kali kamu melakukannya dalam setengah jam ini. Pukul sembilan tepat dan waktu terasa begitu lambat.
Sesekali kamu lihat juga layar hp untuk mengecek. Masih tak ada pesan masuk. Kamu beralih ke aplikasi musik streaming, mencari lagu yang mewakili kegundahanmu. Musik mengalun mengiringi penantianmu yang masih panjang.
Tiga lagu telah habis kamu dengarkan dan masih tak ada bunyi notifikasi yang kamu rindukan. Semua pikiran suram berkelindan menambah pelik persoalan.
Tetiba kamu ingat apa yang pernah aku katakan. Menunggu adalah proses spiritual yang tak kalah menguras energi dari berlari mengelilingi lapangan sepak bola tujuh kali.
“Manusia cenderung takut dengan ketidakpastian serta ketidaktahuan bukan?”
Akal manusia akan selalu mencari pembenaran atas apa saja yang tidak ia ketahui. Tapi jika pembenaran itu tidak didapat, rasa takut dan kecemasan akan bekerja sama mengambil alih kerja akal.
Kamu hanya bisa menunggu. Ketidakpastian dan ketidakberdayaan adalah kombinasi yang sempurna untuk meruntuhkan semua harapanmu.
Dan saat ini kamu telah rasakan bagaimana perasaanmu remuk redam. Namun kamu masih menunggu. Menunggu pesan sialan itu dariku.
2 notes
·
View notes
Text
Menjadi Dewasa
Malam itu hujan, sangat lebat. Ratna berteduh di sebuah angkringan pinggir jalan yang selalu ia lewati selepas bekerja. Remang cahaya dari lampu lima watt yang jadi satu-satunya sumber penerangan di tempat itu menerpa mukanya yang lusuh. Guratan wajah yang menunjukkan betepa beratnya hari yang telah dilaluinya terlihat jelas.
Dentuman air hujan yang menghantam terpal biru tempat ia berteduh beradu dengan lengkingan merdu Freddy Mercury membawakan lagu Bohemian Rhapsody terdengar dari speaker kecil milik penjaga angkringan. Tak ada siapapun selain ia, penjaga angkringan serta segelas wedang jahe yang ia pesan untuk menemaninya.
Sekelebat ingatannya kembali ke masa kanak-kanak di mana masalah terbesar yang ia harus hadapi hanyalah PR matematika. Pikirnya saat itu menjadi dewasa adalah hal paling menyenangkan di dunia. Ia bebas mengatur hidupnya sendiri, berhenti dari rutinitas sekolah yang membosankan dan bekerja menghasilkan uang, serta berkeluarga. Semua tampak indah sejak dalam pikiran.
Membayangkannya saja sudah menyenangkan, memakai setelan putih dengan stetoskop di leher. Sebuah cita-cita yang mungkin juga dimiliki sebagian besar anak seumurannya dulu. “Kelak kamu harus jadi orang sukses, jangan seperti bapak ibumu,” kalimat itu diucapkan ibunya saat ia bahkan masih belum bisa bicara. Terkadang wejangan itu menjadi dorongan terkuatnya untuk melakukan sesuatu, tapi di lain waktu bisa menjadi tembok tinggi yang menghalangi langkahnya.
Kata orang waktu menyembuhkan luka. Tetapi yang tidak banyak orang katakan adalah waktu juga bisa menyebabkan luka. Keyakinan-keyakinanya pada janji masa depan pun perlahan-lahan menguap.
Saat hujan mulai mereda hanya tersisa suara Freddy Mercury menyanyikan bait terakhir lagunya.
Nothing really matters
Anyone can see
Nothing really matters
Nothing really matters to me
Any way the wind blows.
Ratna melihat jam tangan yang melilit di tangan kirinya, pukul 20:55. Ia harus segera bergegas pulang ke rumah indekosnya untuk beristirahat. Besok ia akan memulai lagi harinya sebagai buruh pabrik garmen seperti biasa.
1 note
·
View note