Bersemayam dalam hikayat, manusia dengan mimpi seluas semesta, ekspektasi dan realitas, bersua dalam tari sepi dan ramai, di antara rindu dan takdir yang terpaku.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
7 Cara Biar Kita Cinta Sama Sholat
1. Kenali Allah, bukan cuma tahu gerakan sholatnya
Sholat itu bukan sekadar berdiri-rukuk-sujud. Itu adalah pertemuan sama Zat yang paling sayang sama kamu.
Kalau kamu tahu Allah itu Maha Pengampun, Maha Lembut, dan selalu mendengarkan… kamu bakal rindu buat "ngobrol" sama Dia.
Coba tanya ke dirimu:
"Siapa Allah buatku?"
"Kenapa aku mau nyambung sama Dia?"
Kenalan dulu, baru sayang, kan?
2. Bikin sholat jadi ruang intim, bukan sekadar tugas dan kewajiban
Sholat itu waktu paling jujur.
Jangan mikir ‘aku harus sempurna dulu baru sholat’ — justru sholat itu buat yang lagi kacau.
Pas kamu sujud, coba bilang dalam hati:
“Ya Allah, ini aku... capek. Tapi aku dateng. Karena cuma sama-Mu aku boleh selemah ini.”
Bangun rasa aman itu. Biar sholat jadi tempat kamu bisa pulang tanpa takut dihakimi.
3. Hias sholatmu dengan makna
Pas baca Al-Fatihah, jangan asal baca. Coba renungi:
“Segala puji bagi Allah...”
“Iya ya... meski banyak hal nyebelin, aku masih hidup, masih bisa nafas.”
“Tunjukilah aku jalan yang lurus...”
“Aku lagi galau banget ya Allah... tolong arahkan.”
Koneksi emosional ini yang bikin hati leleh.
4. Perbaiki lingkungan & rutinitasmu
Sholat itu gampang kalau sekitarmu juga mendukung. Coba deh:
Punya teman yang ngajak sholat bareng
Set reminder adzan pakai suara yang bikin hati tenang
Rapikan tempat sholat, kasih aromaterapi, pakai mukena/sarung/alat sholat favorit
Bikin suasana sholat jadi cozy dan nyaman kayak kencan pribadi.
5. Cari "Momen Sakral" sama Allah
Ada waktu-waktu sholat yang punya rasa beda:
Tahajud: waktu paling sunyi, paling syahdu
Sholat di masjid pas hujan
Sholat maghrib di alam terbuka
Sujud sambil nangis karena lagi hancur banget
Momen-momen kayak gini bikin kamu ketagihan dan ngerasa lebih deket sama Allah.
6. Jangan perfeksionis
Jangan nunggu “khusyuk total” atau “ikhlas banget” dulu. Mulai aja.
“Cinta itu kadang tumbuh dari kebiasaan. Kebiasaan yang kita rawat dengan niat.”
Kayak kamu rutin nyapa orang, lama-lama sayang. Gitu juga dengan sholat.
7. Berdo'a dan minta tolong sama Allah
Minta ke Allah, kayak gini:
"Ya Allah, tolong ajari aku buat jatuh cinta sama sholat. Biar aku kangen sama waktu berduanku dengan diri-Mu. Biar hatiku tenang di hadapan-Mu."
"Ya Allah, aku belum kuat. Tapi aku pengen dicintai-Mu. Genggam aku, tuntun aku."
Kalo do'a ini bisa bikin kamu nangis. Itu pertanda hati kamu mulai lunak. Dan dari situlah cinta itu perlahan tumbuh.
0 notes
Text
Kenapa Harus Sholat?
1. Karena kita butuh Allah
Bukan Allah yang butuh sholat kita. Bukan Allah yang jadi lebih besar karena kita ruku. Tapi kita-lah yang kecil, rapuh, dan hilang arah kalau nggak nyambung sama Dia.
"Wahai manusia, kalian semua fakir (butuh) kepada Allah, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
(QS. Fathir: 15)
Sholat itu charger hati. Kita kayak HP yang dipakai terus tiap hari: ngerasa, mikir, kecewa, jatuh, semangat lagi, lalu capek lagi.
Kalau nggak disambung ke sumber energi yang bener, kita bakal ngedrop, stres, bahkan lost.
2. Karena sholat itu obat
Kadang hidup nyakitin, kadang hati capek, kadang dunia kayak nggak adil. Tapi Allah ngasih cara buat kita bisa sembuh:
"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu."
(QS. Al-Baqarah: 45)
Sholat itu ruang curhat terenkripsi. Kamu bisa nangis, marah, jujur banget di hadapan Allah—tanpa dihakimi. Di situ, kamu bener-bener boleh jadi diri sendiri.
3. Karena sholat itu pengingat jati diri
Di luar sana kamu mungkin ngerasa harus jadi “seseorang” buat diakui. Tapi dalam sholat, kamu cukup jadi hamba.
Kamu boleh nggak sempurna. Kamu boleh lemah. Kamu nggak harus punya pencapaian buat dicintai Allah.
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepada-Ku."
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Sholat itu ngingetin kita: kita ini makhluk yang dicipta, ada yang ngatur, dan hidup kita ada arahnya.
4. Karena sholat menjaga kita dari keburukan
Tanpa disadari, sholat itu ngebentengin. Kayak spiritual shield.
"Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar."
(QS. Al-Ankabut: 45)
Kalau kita konsisten sholat—meski kadang masih malas, masih berdosa—sholat itu perlahan akan membentuk hati kita.
Bukan cuma soal gerakan, tapi soal kesadaran di dalamnya.
5. Karena sholat itu wujud cinta
Kalau kamu cinta seseorang, kamu pasti pengen nyambung terus kan?
Sholat itu hubungan dua arah: kita ngomong ke Allah, dan Allah juga “jawab” lewat ayat-Nya yang kita baca.
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seorang hamba berdiri untuk shalat, maka Allah menghadapkan wajah-Nya kepada hamba tersebut selama ia tidak berpaling...”
(HR. Bukhari)
Gimana nggak meleleh, kalau tahu… Allah ngelihatin kita waktu kita sholat. Allah ngedengerin setiap keluh dan harap kita.
Jadi, kenapa harus sholat?
Karena di dunia yang penuh kebisingan ini, sholat adalah tempat paling sunyi yang bisa kamu pakai buat pulang.
Karena di hati yang penuh luka, sholat adalah ruang paling hangat untuk sembuh.
Karena di antara semua kewajiban, sholat adalah bentuk cinta paling nyata dari dan untuk Rabb-mu.
6 notes
·
View notes
Text
Khusyuk: Yang kupelajari diantara distraksi
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, manusia sering kehilangan dirinya sendiri. Kita terlempar dari satu aktivitas ke aktivitas lain, dari notifikasi ke distraksi, dari target ke target, namun di balik semua itu, ada kehampaan yang sulit dijelaskan. Hampa yang tak bisa diisi oleh apapun selain kesadaran. Hampa karena kehilangan khusyuk.
Keesadaran dan perhatian manusia adalah komoditas paling mahal. Setiap notifikasi, iklan, dan konten di media sosial berlomba-lomba merebutnya. Bahkan tanpa sadar, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam memandangi hidup orang lain, membandingkan diri, merasa tertinggal, merasa kurang. Padahal hati kita sebenarnya hanya ingin satu hal: merasa utuh. Dan ironisnya, yang membuat kita terpecah belah adalah ketika perhatian kita tidak lagi berada pada tempat yang semestinya.
Perhatian manusia bukan diciptakan untuk menjelajah tanpa arah. Ia diciptakan untuk tertuju, terarah, untuk menyembah, mencinta, dan hadir. Tapi dalam dunia yang penuh distraksi ini, kita sering kali lupa bahwa fokus kita adalah anugerah spiritual yang sangat bernilai, dan jika tidak dijaga... kita akan kehilangan arah.
Maka kita pun perlu bertanya: ke mana perginya fokus kita hari ini? Kepada siapa atensi kita diberikan? Apakah hati ini masih punya ruang untuk hadir sepenuhnya? Atau hanya jadi ruang transit bagi konten-konten yang berlalu begitu cepat?
Khusyuk adalah Fitrah Manusia
Khusyuk bukan hanya tentang shalat. Ia adalah keadaan jiwa yang hadir penuh dalam setiap aktivitas, mindfulness dalam istilah modern, atau hudhur al-qalb dalam istilah tasawuf. Manusia diciptakan untuk khusyuk, karena khusyuk adalah bentuk tertinggi dari kehadiran diri di hadapan realitas yang sesungguhnya: Allah, dirinya, dan makna hidup.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
"Sungguh beruntung orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya."
(QS. Al-Mu’minun: 1-2)
Shalat menjadi contoh utama, namun bukan satu-satunya tempat khusyuk berlaku. Khusyuk adalah kesadaran spiritual yang bisa menjiwai setiap hal: belajar, bekerja, berbicara, bahkan diam.
Kita Harus Melatih Diri untuk Khusyuk
Namun, khusyuk bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia harus dilatih. Dan awal dari latihan adalah... memaksakan diri.
"Awalnya terpaksa, lama-lama terbiasa, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi kebutuhan jiwa."
Seringkali, ketika ingin mulai hidup disiplin, menjalani ibadah secara konsisten, atau meninggalkan kebiasaan buruk, kita menolak memaksa diri. Kita bilang, “Aku mau ikhlas dulu,” padahal seringkali keikhlasan justru tumbuh setelah kita memaksakan diri untuk tetap hadir dan mencoba.
Namun, ada satu catatan penting di sini:
Paksakan, tapi harus dalam keadaan sadar.
Ini bagian yang sangat penting. Karena memaksa diri tanpa kesadaran hanya akan menciptakan rutinitas kosong. Kita bisa rajin, tapi tetap hampa. Kita bisa sibuk, tapi tetap merasa kosong. Atau alih-alih disiplin kita malah merasa dipaksa orang lain berkegiatan dengan banyak tuntutan, bukan murni hasil inisiatif diri yang timbul dari pertanyaan "kenapa".
“Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Artinya, kesadaran atas “kenapa” kita melakukan sesuatu adalah ruh dari amal. Kita harus terus bertanya:
Kenapa aku harus shalat tepat waktu?
Kenapa aku harus bekerja sungguh-sungguh?
Kenapa aku belajar ini?
Untuk siapa aku melakukan semua ini?
Dengan itulah kita me-recharge khusyuk kita. Kita isi ulang kesadaran kita yang bisa habis karena rutinitas dan distraksi.
"Disiplin adalah bentuk cinta tertinggi pada diri sendiri."
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Penutup: Kita Harus Kembali ke Kesadaran
Jadi, jangan takut untuk memaksakan diri di awal. Tapi ingat: paksakan dengan sadar. Sadari maknanya, niatnya, dan tujuan akhirnya.
“Kalau kamu tidak bisa melakukan amal karena kamu sedang tidak ikhlas, maka lakukan saja amalnya. Karena keikhlasan sering datang setelah amal dikerjakan, bukan sebelumnya.”
Khusyuk adalah jalan pulang ke dalam diri sendiri. Jalan pulang ke arah Allah. Jalan pulang menuju hidup yang tidak cuma sibuk, tapi juga bermakna. Kita semua bisa memulainya hari ini. Sekarang.
3 notes
·
View notes
Text
Mungkin aku memang sedang kehilangan nyawa dalam kata-kata, menulis bukan karena ingin bicara, tapi karena takut tenggelam di dalam diam yang tak menjanjikan apa-apa.
Tapi, bukankah ada saat-saat di mana kata bukan lagi jembatan, melainkan tembok yang menjauhkan aku dari makna?
Maka aku berhenti membangun kalimat, dan mulai menata napas satu-satu, pelan-pelan, agar jiwaku bisa pulang meski tanpa kompas dan tempat menetap.
Ruang hampa ini, yang dulu kutakuti sebagai kehampaan, ternyata justru memantulkan suara-suara yang paling jujur, yang tak terdengar jika aku terlalu sibuk menjelaskan segalanya kepada dunia.
Karena kadang, jujur itu bukan soal seberapa lengkap menceritakan isi kepala, tapi seberapa tulus aku berani diam tanpa topeng.
Dan hari ini, aku ingin diam…
bukan karena tak ada yang bisa kukatakan, tapi karena semua sudah terwakili oleh desahan kecil yang tidak memaksa untuk dimengerti.
Toh Allah tahu, bahkan ketika hatiku tidak tahu harus bilang apa.
Aku tidak sedang mencoba terdengar dalam, aku hanya sedang terlalu penuh untuk berbicara.
Dan jika ia benar adanya, ia akan tetap tinggal di sana, meskipun aku tak lagi berkata-kata, meskipun sunyiku panjang, dan gelapku lebih jujur dari cahaya.
Talk is overrated, katanya.
Tapi keheningan juga bukan sesuatu yang bisa dimaknai semua orang.
Mungkin karena yang paling indah dari sebuah tautan bukan selalu bicara tanpa henti, tapi tahu bahwa ketika kita diam, yang lain tetap tinggal.
0 notes
Text
Aku minum es campur, ternyata kecampuran kecap manis cap anggur yang kentel terus ternyata cuka tiba-tiba turun dari langit, eh wasabi baru aja diimpor terus harus dicoba sekarang juga sama es campurnya, katanya jangan terlalu terpengaruh asing, jadi harus pakai juga cabai rawit juga, oh! Kamu gak boleh lupa juga masukin perasan buah pare ke esnya yah! Pernah gak minum es campur kaya gitu?
Aku baru aja minum itu, rupanya rasanya bukan enak tapi, unik. Aku ngerasa hidup kembali, lebih hidup lagi setelah minuman super absurd itu. Aku rasa Allah ngasih kesempatan lagi ke aku. Rupanya istighfar yang seringnya tanpa sadar, selalu Allah dengar, taubat terus menerus yang sulit serius juga Allah perhatikan. Terimakasih, aku mensyukuri segala nikmat-Mu. Aku menikmati segala takdir-Mu.
0 notes
Text
Agar Kamu Tidak Bersedih
Ternyata di Qur'an tuh banyak banget kalimat-kalimat yang "aneh" dalam artian, "pasti ada maksudnya nih, ini mah bukan buatan manusia."
Jadi tadi aku notice potongan ayat, bagus banget.
"— karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu—"
Respons pertama saat baca kalimatnya adalah: Hah? 😧 Bentar.. nggak salah nih? Kesedihan demi kesedihan supaya nggak sedih? Hah? Gimana ceritanya? Memang istilah bahasa Arab yang dipakainya apa?
Ternyata untuk kesedihan demi kesedihan diksinya tuh "غَمًّا بِۢغَمٍّ" , sementara untuk bersedih hati pakai diksi "تَحْزَنُوْا". Berarti ada kesedihan yang berbeda kan?
Apa perbedaan antara: الحزن (al-huzn), الغمّ (al-ghamm), dan الهمّ (al-hamm)?
Huzn (الحزن) berkaitan dengan hal-hal yang telah berlalu (masa lalu).
Ghamm (الغمّ) berkaitan dengan hal-hal yang sedang terjadi (masa kini).
Hamm (الهمّ) berkaitan dengan hal-hal yang akan datang (masa depan).
Secara literal, "غَمّ" berarti menutupi, menyelubungi, atau menekan. Dalam konteks emosional, "ghamm" menggambarkan perasaan yang menutupi hati seseorang dengan beban berat.
Di ayat lain, "غَمّ" juga berarti awan/kabut yang meliputi. Cukup masuk akal, ketika di dalamnya kita jadi tidak dapat melihat ke depan maupun ke belakang. Di ayat lainnya lagi, bentuknya "غُمَّةً" artinya dirahasiakan. Masuk akal juga, karena ketika kita mengalaminya, kita nggak pengen dunia tau apa yang terjadi pada kita. Kita akan merahasiakannya serapat mungkin and act like everything is fine.
Aku menemukan bahwa "غَمّ" digunakan di 4 cerita di dalam Qur'an:
Nabi Musa setelah membunuh seseorang secara tidak sengaja dan menyadari dampak serius dari tindakannya yaitu menjadi buronan dan menghadapi risiko yang besar serta konsekuensi yang mungkin timbul.
Nabi Yunus setelah menyadari bahwa meninggalkan misi dakwah dan melarikan diri dari tanggung jawabnya telah menyebabkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit, yaitu dalam perut ikan. Perasaannya mencekam dan tertekan akibat kesadaran atas kelalaian dan dampaknya terhadap tugas yang diberikan Allah.
Pasukan pemanah Uhud yang meninggalkan posisi mereka di medan perang Uhud menyadari bahwa ketidakdisiplinan mereka menyebabkan kekalahan yang fatal bagi seluruh pasukan dan mereka cemas terhadap hasil dari tindakan mereka.
Penghuni neraka yang merasakan cambuk dari besi dan berusaha keluar dari siksaan neraka.
Ada pola menarik dalam penggunaan ghamm di 4 cerita itu:
Semua terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri (baik disengaja atau tidak). Jadi ghamm datang sebagai wake-up call dari Allah setelah tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Kayak.. membangkitkan rasa fatal.
Gham muncul saat sadar akan akibatnya. Ghamm lebih dari sedih atau takut biasa, yang muncul karena "aku melakukan sesuatu, dan sekarang aku harus menanggungnya". Berarti ghamm hanya dapat terjadi pada orang yang taklif dan memahami konsekuensi atau hukum sebab-akibat.
Gham membuka jalan untuk reframing, taubat, dan perubahan (kecuali yang di neraka). Musa dan Yunus segera memohon ampun dan berdoa. Pasukan Uhud menerima koreksi dan pelajaran keras dari Allah. Bahkan penghuni neraka ingin keluar, tapi sudah terlambat.
Gham adalah kemurahan Allah sebelum hukuman akhir. Allah izinkan ghamm menimpa seseorang agar ia tidak terus terbuai, agar hatinya mencicipi "penyempitan" sebelum terlambat. Tapi jika tidak direspons dengan sadar dan taubat, barulah ia bisa berujung pada hukuman.
Jadi bayangin, ghamm itu kayak, "damn moment" yang rembetan konsekuensinya gede dan fatal.
"Gue udah ngelakuin ini, dan sekarang semuanya runtuh."
"Gue sadar banget salahnya, tapi gue juga belum tau harus gimana."
"Ini bukan sekadar sedih. Ini dada gue sempit, kalut, gelap, dan berat."
"Gue menyesal, tapi ga ada waktu untuk menyesal di tengah-tengah himpitan ini."
Dia beda dari Huzn (sedih karena masa lalu) yang lebih lembut, reflektif. Dan beda juga dari Hamm (cemas akan masa depan) yang lebih ngawang, belum terjadi. Tapi dia bisa jadi adalah gabungan dari Huzn dan Hamm 🤯
Terus gimana ceritanya ghamm dapat mencegah huzn?
Jawabannya satu kalimat: luka lama dilampaui oleh luka kini. Sejujurnya meringis sih pas ngetiknya, kayak.. tega banget 😅 tapi dipikir-pikir cukup masuk akal.
Allah menggantikan luka yang membeku dengan luka yang bergerak. Huzn membuat kita stuck, menyesal, menoleh ke belakang, dan menyalahkan diri, sementara Gham membuat kita sadar, bangkit, bergerak, bertahan, dan berserah. Allah lebih memilih menimpakan kesedihan yang "aktif" agar kita selamat dari kesedihan yang "membeku."
Menariknya, Menurut Lazarus & Folkman, coping dibagi dua:
Problem-focused coping: usaha menyelesaikan masalah.
Emotion-focused coping: usaha mengelola perasaan.
Kalau huzn mungkin fokusnya di emosi dan masih punya keluangan mental dan waktu untuk mendalami rasa sesal. Kalau ghamm benar-benar harus switch ke problem focused coping. Jadi, kesedihan baru (ghamm) yang mengharuskan seseorang bergerak, ternyata bisa mengaktifkan mekanisme coping yang sebelumnya tidak muncul saat larut dalam huzn.
Selain itu, dalam psikologi kognitif, ada konsep Cognitive Load Theory yang menyatakan bahwa otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi atau emosi secara bersamaan. Dalam tekanan yang aktual dan mendesak (ghamm), otak akan secara otomatis mengalihkan sumber daya mentalnya ke situasi itu. Alhasil, grief (huzn) yang tadinya mendominasi bakal terdorong ke latar belakang karena otak sedang sibuk survive di "sekarang". Kayak.. untuk bersedih pun tidak sempat.
Tapi, karena Allah Maha Mengetahui cara jiwa bekerja lebih dari siapa pun, maka penempaan jiwa melalui penimpaan ghamm itu hakikatnya adalah penyelamatan. Allah mungkin nggak serta merta hapus luka dalam waktu cepat secara ajaib. Allah lebih pilih menempa kita, saking bangga dan percayanya Dia, bahwa kita bisa lebih kuat. Dan akan ada saatnya "ketenangan" Dia turunkan sebagai imbalan, di kondisi kita yang semakin pantas untuk menerima ketenangan itu.
— Giza, masih terus mencoba melakukan pendekatan lewat jalur apapun. Mungkin pendekatannya selama ini ada aja yang keliru, tapi bisa dianulir seiring bertambahnya iman dan ilmu.
219 notes
·
View notes
Text
Aku tetap bersyukur... bahkan di hari-hari tak selalu berpihak pada diri—saat dunia terasa sempit, dan pagi datang tanpa semangat.
Saat alarm berbunyi hanya sebagai nada, bukan panggilan hidup. Saat langkah terasa berat, seolah seluruh dunia menumpuk dalam tubuh kecilku yang rapuh.
Tapi aku tetap berjalan. Tetap bangun meski mata masih berat, tetap menulis meski hati kosong, tetap hidup meski tak tahu pasti untuk siapa. Dan itu… sudah cukup heroik. Sudah layak dipeluk.
Karena siapa pun yang memilih bertahan di tengah luka, tahu: hidup bukan tentang sempurna, tapi tentang setia. Setia untuk mencoba. Setia untuk jujur.
Dan setiap kali aku berkata jujur pada diriku—meski gemetar, meski pelan—itu adalah kemenangan yang gemilang! Progres bukan soal pengakuan orang lain, tapi soal aku... yang perlahan berani memandang diriku sendiri dengan jujur tanpa menghakimi.
—
Banyak kemenangan kecil yang datang tanpa musik, tanpa sorotan, tanpa ucapan selamat. Mereka datang dalam wujud sepele: ketika aku tidak membenci diri sendiri setelah gagal. Ketika aku bisa berkata "aku lelah," tanpa merasa bersalah. Ketika aku tidak iri, meski hidup orang lain tampak lebih mudah.
Aku selalu cepat memberi selamat untuk orang lain, tapi begitu pelit untuk merayakan diriku sendiri. Padahal aku tahu persis, seberapa keras aku bertahan selama ini.
Mungkin sudah saatnya aku berhenti menunggu dunia menyadari, dan mulai memberanikan diri untuk mengucap: “Terima kasih ya, sudah bertahan sejauh ini.”
—
Oh iya, aku juga sering mencintai orang lain terlalu dalam, terlalu duluan, tergesa-gesa—bahkan sebelum sempat menjenguk hatiku sendiri. Padahal, cinta yang utuh lahir dari pengenalan, pemahaman, penerimaan, pengorbanan dan makna pada hati sendiri.
Namun, aku bahkan belum cukup mengenal siapa yang tinggal dalam tubuh ini. Belum cukup sabar memahami luka-luka yang tersembunyi di balik senyum. Belum cukup rela berkorban untuk memulihkan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa mencintai orang lain dengan sehat, jika aku sendiri belum mencintai diriku dengan utuh?
—
Saat hari raya tiba, aku banyak mengucap “maaf lahir batin” dengan hangat. Aku selalu berusaha memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti, bahkan tanpa mereka minta. Tapi pernahkah aku benar-benar memaafkan diri sendiri?
Pernahkah aku menatap cermin, lalu berkata dengan tulus: “Aku memaafkan kamu. Karena kamu sudah berjuang. Karena kamu sudah mencoba sebisamu.” Ini bukan tentang membenarkan kesalahan dengan dalih “Allah Maha Pemaaf,” tapi tentang membuka ruang agar aku bisa benar-benar pantas untuk diampuni. Bagaimana aku bisa berharap pengampunan, jika hatiku masih penuh benci pada diri sendiri?
—
Allah mencintai hamba yang kembali. Tapi untuk bisa kembali, kita harus percaya bahwa kita masih bisa pulang. Bahwa kita masih layak dicintai.
Pulang itu dimulai dari memeluk diri sendiri, lalu menghadap Rabb yang tak pernah menutup pintu-Nya. Allah tak ingin aku mengorbankan diriku demi semua orang, lalu lupa memberi makan hatiku sendiri. Dia tak ingin aku jadi pejuang yang kehabisan tenaga karena menolak istirahat.
Sebelum aku menjaga keluarga, menjaga mimpi, menjaga dunia… aku harus belajar menjaga diriku. Karena tubuh dan jiwa ini bukan milikku sepenuhnya—mereka adalah titipan yang harus kupelihara.
—
Hari ini, aku mencintai diriku. Bukan karena aku selalu benar, bukan karena aku hebat. Tapi karena Allah mencintaiku… lebih dari siapa pun di dunia ini.
Dan jika Allah tak pernah menyerah padaku, lalu mengapa aku begitu mudah menyerah pada diriku sendiri? Aku janji akan bangkit lagi. Dan lagi. Karena surga terlalu indah untuk ditinggalkan. Dan cinta Allah… terlalu mulia untuk diabaikan.
—
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
1 note
·
View note
Text
Berbagi setelah merasa cukup atau berbagi bahkan saat merasa belum cukup?
Kadang kita nanya ke diri sendiri:
"Aku belum punya banyak, pantaskah aku berbagi?"
Atau…
"Aku masih struggling, boleh gak sih sedekah? Ntar aku sendiri gimana?"
Dan di sinilah letaknya qana’ah (القناعة)—rasa cukup dalam hati, bukan di dompet.
"Qana’ah bukan saat kita punya segalanya, tapi saat kita sadar bahwa yang kita punya… sudah lebih dari cukup untuk bersyukur."
Berbagi itu bukan nunggu kaya dulu.
Tapi nunggu hati bisa bilang: “Aku gak harus punya semuanya, cukup aku bisa memberi meski sedikit.”
Rasulullah SAW bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah walaupun dengan separuh kurma.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Karena ukuran memberi bukan besar kecilnya harta… tapi seberapa lapangnya hati.
Dan justru… banyak orang baru merasa cukup setelah dia belajar memberi.
Karena ternyata saat kita memberi, kita sadar:
Kita masih punya.
Catatan tambahan:
Memberi dan berbagi tidak harus tentang harta, sekedar berbagi vibe positif lewat senyum, menyingkirkan halangan di jalan, membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah organik dan anorganik, menyapu halaman depan rumah, mendengarkan orangtua/saudara/teman dengan seksama dan masih banyak hal kecil lainnya yang bisa kita sebut sebagai memberi dan berbagi.
Oh iya, keutamaan amal baik dalam Islam didahulukan untuk lingkaran terkecil, mulai dari diri sendiri hingga berikutnya keluarga dan kerabat dekat.
1 note
·
View note
Text
"Apa bagian tersulit dalam menyadari diri sendiri?"
"Mempertahankannya lebih dari sesaat."
Coba deh pas lagi ngumpul sama orang-orang, iseng tanya, “Kamu sadar nggak sama diri kamu sekarang?”
Hampir pasti mereka jawab, “Sadar.” Karena ya, berkat pertanyaan kita, saat itu juga mereka benar-benar sadar. Tapi itu cuma sebentar. Beberapa detik kemudian, mereka balik lagi ke mode autopilot: ngobrol, ketawa, mikirin hal lain. Sadar dirinya cuma lewat.
Hal yang sama juga terjadi di diri sendiri. Coba deh sadari betapa lemahnya cengkeraman kita pada kesadaran diri kita, betapa singkatnya kontak itu, dan seberapa cepat kita (khususnya perhatian kita) tersapu kembali ke arus pikiran. Bahkan saat kita berpikir, "aku menyadari diriku sendiri," pada kenyataannya kita hanya menyadari pikiran itu, bukan keseluruhan diri kita.
Setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri, aku tiba pada satu kesimpulan bahwa bagian tersulit dari menyadari diri bukanlah kembali atau menemukannya, melainkan bertahan di sana lebih lama, tetap tinggal, dan tidak langsung pergi ketika dunia mengetuk pintu dengan segala distraksinya.
Mungkin itulah kenapa, kita diminta buat terus berdzikir. Zikir di sini bukan dalam konteks ucapan, melainkan zikir sebagai cara buat kembali. Kembali ke kesadaran, ke momen ini, ke keberadaan yang sering banget kita tinggalkan tanpa sadar.
Karena kesadaran itu gampang banget lepas. Kita bisa niat hadir penuh, lalu satu notifikasi saja cukup buat menculik perhatian kita entah ke mana. Zikir bisa jadi adalah jangkar mindfulness. Satu cara buat kembali ke sini, ke sekarang, ke tubuh ini yang sedang duduk, yang sedang bernapas, yang sedang hidup.
Aku juga jadi ngerti, kenapa zikir dan khusyuk tuh nggak betah. Yang bikin nggak betahnya bukan karena mengingat Allahnya, melainkan karena ketika pertama mengucap kalimat zikir, kita malah dihadapkan langsung pada diri sendiri. Dan ternyata, kita belum siap menemui Allah dalam kondisi menyadari diri yang banyak kurangnya.
Kita jadi sadar: "Oh, ternyata aku belum benar-benar jujur hari ini. Belum sabar. Belum ikhlas. Belum utuh," dan belum belum lainnya. Dan itu berat soalnya nggak ada tempat buat sembunyi. Semua yang biasanya bisa ditutupi sama sibuk dan suara, jadi muncul ke permukaan.
Pengennya kan menemui-Nya dalam kondisi terbaik, tapi sehari-hari kita ternyata memang belum kasih yang terbaik. Zikirnya sih nggak salah. Kitanya yang kurang berani. Karena kita sedang digiring pelan-pelan untuk melihat diri sendiri apa adanya. Dan ternyata, melihat diri sendiri juga butuh keberanian.
Yang perlu di-reframe adalah bahwa kita nggak harus menunggu sempurna dulu untuk hadir. Dalam proses kembali ke kesadaran itu, pelan-pelan kita dibentuk untuk menjadi lebih layak. So, datanglah meski dengan rasa malu, meski dengan diri yang masih compang-camping. Kita sedang belajar pulang sebelum kepulangan sebenarnya. Siapa tahu di tengah perjalanan itu, kita akhirnya bisa betah.
Tapi ya, mari kita jujur. Kemungkinan besar setelah baca ini, kamu juga akan langsung balik ke mode default: mikirin notifikasi, doomscrolling, dan tersapu ke rutinitas harian. Hahaha, aku juga begitu. Memang begitu siklusnya: sadar sebentar, hilang lagi, sadar lagi, hilang lagi. Yang penting jangan lupa sholat untuk reconnect.
— Giza, bahkan pas nulis ini aja nggak sadar telah melewatkan tukang sayur yang sebelumnya lagi ditunggu.
104 notes
·
View notes
Text
Saat rizki terasa gak mencukupi, bisa jadi itu adalah rasa cukup yang belum kita mengerti
Kita sering ngeluh,
“Ya Allah, kenapa gini terus?”
“Kenapa rizkiku sedikit?”
Padahal… bisa jadi “kecil” itu justru yang nyelametin kita.
Kadang Allah gak tambahin rizki kita bukan karena karena kita gak pantas, tapi karena Dia tau: yang kita butuh bukan yang lebih, tapi cukup yang gak bikin kita lupa sama Allah.
Contoh?
Kita dapet kerjaan yang gajinya pas-pasan, tapi di situ kamu ketemu mentor yang nuntun kamu ke jalan hijrah.
Usaha kita gak meledak sukses, tapi justru kita dapet waktu buat rawat orang tua yang udah sepuh—dan itu jadi jalan surga buat kita.
Uang kita pas-pasan, tapi anak kita sehat, keluarga kita utuh, dan hati kita mudah bersyukur.
Itu semua hikmah, sayang.
Yang gak bisa diukur pakai angka. Tapi nilainya… gak bisa dibeli pakai harta.
Allah gak pernah salah takaran
“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Kalau kita merasa kekurangan, bisa jadi…
Allah lagi ngajarin kita sabar.
Allah lagi ngasih kita perlindungan dari sombong.
Allah lagi menunda untuk memurnikan niat kita.
Allah lagi ngejaga kita dari dunia yang kita belum siap tanggung jawabnya.
Ingat, sayang...
Allah gak pernah kehabisan. Tapi Dia selalu memilih waktu dan cara terbaik.
Kita pernah ngerasa gak dapet apa-apa? Bisa jadi saat itu Allah lagi ngasih semuanya.
Waktu kita ngerasa kosong,
Allah mungkin lagi secara bertahap ngasih kita dengan pemahaman.
Waktu kita ngerasa gagal,
Allah mungkin lagi ngasih kita pelajaran yang akan kita syukuri di tahun-tahun berikutnya.
Dan waktu kita ngerasa gak punya apa-apa…
Allah mungkin sedang melatih kita, supaya suatu hari nanti kita bisa pegang banyak—tanpa kehilangan arah.
Ridho Sama Rizki: Menerima Tanpa Menyerah, Berserah Tanpa Berhenti
Kadang kita udah ikhtiar, udah doa, udah kerja keras…
Tapi hasilnya gak sesuai harapan.
Yang datang bukan keberhasilan, tapi penundaan.
Bukan peluang besar, tapi ujian kecil yang datang bertubi-tubi.
Dan di situ…
Ridho diuji.
Ridho itu bukan pas semuanya sesuai mau kita, tapi pas hati kita bisa berkata “Inilah yang terbaik dari Allah, walau belum kumengerti sekarang.”
Karena Allah itu Ar-Razzaq, yang Maha Memberi Rizki—
tapi juga Al-Hakim, yang Maha Bijaksana—
Dia ngasih bukan cuma berdasarkan mau kita, tapi berdasarkan ilmu dan kasih sayang-Nya.
Allah tahu kita sedang berjuang.
Dan kita pantas dapet yang terbaik.
Tapi jangan lupa, yang terbaik itu… kadang gak langsung indah.
Kadang bentuknya proses panjang yang penuh luka, tapi di ujungnya: kita tumbuh.
1 note
·
View note
Text
Lagi di fase belajar cari uang dan memahami rizki
Ada satu hal yang ingin aku pahami lebih dari sekadar teori ekonomi atau motivasi hustle—tentang rizki.
Bukan sekedar “cara dapat uang”, tapi tentang bagaimana Allah menciptakan rizki dan membaginya, hubungan antara manusia, bumi dan langit… antara harapan dan tangan yang tetap mencari dan bergerak.
Rizki itu sudah dijatah, tinggal pilih cara dapetinnya
Rizki itu udah ada. Udah ditulis. Sebelum kita lahir.
"Wa fi as-samā’i rizqukum wa mā tū‘adūn."
Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. (QS Adz-Dzariyat: 22)
Artinya?
Uang satu miliar yang didapat koruptor sebenarnya bisa ia peroleh juga kalau dia mau ikhtiar lewat jalan halal. Tapi dia pilih jalan yang tidak diridhai Allah.
Karena di dunia ini, cara mendapatkan rizki adalah ujian. Bukan soal dapat atau tidak dapatnya.
Kita semua bakal dapat bagian kita. Tapi lewat jalan apa? Itulah yang mencerminkan siapa kita sebenarnya.
Rizki itu bukan sekadar angka
Rizki bukan cuma soal isi dompet, saldo rekening, atau berapa digit yang kita bawa pulang bulan ini. Kadang, rizki datang dalam bentuk seseorang yang mengerti tanpa perlu kita jelaskan panjang lebar.
Kadang rizki datang dalam bentuk ketenangan hati, atau waktu luang di antara kesibukan dunia.
Rizki adalah segala yang membuat kita tetap hidup, bukan hanya terlihat hidup.
Mungkin ada malam-malam yang kita lalui dengan tangis yang tulus, dan tiba-tiba esok paginya kita bangun dengan rasa lapang—itu adalah rizki.
Ada pertemuan tak terduga yang mengubah arah hidup kita ke jalan yang lebih baik—itu pun juga rizki.
Dan saat kita merasa tidak punya apa-apa, tapi ternyata masih bisa memberi—itu adalah rizki yang paling mahal.
Manusia yang mencari, Allah yang memberi
Kita diajarkan untuk bekerja. Berusaha. Berikhtiar. Tapi tidak pernah diajarkan untuk menggenggam hasilnya terlalu erat. Karena hasil itu milik Allah.
Rizki itu amanah dan titipan dari Allah
Katanya, “Rizkimu tak akan tertukar.” Tapi sering juga kita merasa kalau cara mendapatkan harta itu harus rebutan. Padahal, rizki itu seperti bayangan kita sendiri. Ia selalu datang ketika kita berjalan ke arah yang benar. Sesuai jatah yang telah Allah tuliskan.
Saat saat kita menengadah tangan ke langit, bukan berarti kita menyerah—tapi kita sedang mengetuk pintu yang paling pasti. Meminta rizki dari sumber absolutnya.
Menjadi seorang yang patut dikasihani di hadapan Allah Sang Maha Pengasih, adalah suatu kemuliaan dan bentuk ketaatan pada-Nya. Berbeda jika di hadapan manusia.
Bukan tentang kaya atau miskin, tapi tentang cukup dan gak cukup
Dalam Islam, standar hidup bukan soal kaya atau miskin, tapi soal qana'ah (القناعة)—merasa cukup.
Orang bisa punya miliaran tapi gak pernah merasa puas. Terus lapar. Terus kosong.
Tapi ada juga yang makan nasi sama garam tapi hatinya penuh syukur dan lapang.
"Laisal ghina ‘an katsratil ‘arad, walakin al-ghina ghina an-nafs."
Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa. (HR. Bukhari & Muslim)
Jadi yang perlu dikejar bukan lebih, tapi cukup. Karena kalau hatimu gak pernah merasa cukup, segunung emas pun takkan mengenyangkan.
Ikhtiar dan tawakkal: dua sayap menuju langit
Bayangin kita mancing ikan.
Kita bawa joran, umpan, dan pergi ke danau yang kita tahu banyak ikannya di situ. Itu ikhtiar.
Tapi kita gak bisa maksa ikannya langsung nyantol atau numpuk di ember. Itu tawakkal.
Ikhtiar itu usaha—kerja keras, belajar, bangkit dari gagal.
Tawakkal itu percaya—bahwa Allah tahu kapan dan seberapa kamu butuh.
Dan antara dua itu, ada adab yang paling mahal: sabar.
Rizki itu gak pernah salah alamat
Kadang kita iri.
Lihat orang lain sukses, punya uang lebih banyak, hidupnya kelihatan nyaman. Tapi kita lupa:
Apa yang kita lihat di tangan orang lain belum tentu mereka bawa ke akhirat.
Dan apa yang kita perjuangkan hari ini, dengan penuh kejujuran dan peluh, mungkin terasa lambat… tapi akan sampai. Tepat waktu. Tanpa harus menipu waktu atau hati nurani.
Uang bisa dikejar, tapi rizki harus diyakini
Jangan habiskan hidup kita hanya untuk mengejar yang bisa habis.
Karena rizki itu bukan hasil dari kepintaran dan usaha kita semata, tapi rahmat dari Yang Maha Kaya, Yang Maha Memiliki.
Bahkan ketika kita merasa tidak layak, Allah tetap beri.
Bahkan ketika kita lupa bersyukur, Allah tetap cukupkan.
Maka jangan ukur diri kita dengan uang kita, tapi ukur hati kita dengan sejauh apa kita percaya bahwa Allah tidak pernah salah memberi.
Catatan untuk diriku sendiri
Rizki bukan soal pantas atau tidak.
Kadang kita yang banyak dosa pun Allah tetap diberi.
Karena Allah tidak menilai dengan logika dunia, tapi dengan kasih-Nya yang lebih luas dari semesta dan isinya.
Jadi kalau kamu sedang berjuang, jangan cuma fokus sama hasilnya.
Fokuslah untuk menjadi pribadi yang pantas dititipi.
Karena Allah tidak menitipkan rizki besar pada hati yang sempit dan rakus.
Teruslah bekerja, berdoa, dan berserah.
Bukan karena kamu ragu, tapi karena kamu yakin.
Bahwa rizki yang halal, cukup, dan berkah…
Selalu datang pada mereka yang tetap bergerak, walau langkahnya pelan,
Yang tetap percaya, walau langit sedang mendung, angin sedang kencang dan ombak mengguncang.
2 notes
·
View notes
Text
Kamu ingin seorang Khadijah.
Tapi sedikit bertanya: "Sudahkah aku menjadi Muhammad?"
Kamu ingin Khadijah…
Perempuan yang setia di tengah badai,
yang tinggal saat dunia membelakangimu,
yang tidak bertanya tentang apa yang bisa kau beri,
Namun menakar langkahmu: jujurkah kamu, menuju Rabb-mu?
Kamu ingin perempuan,
yang kuatnya memeluk lelah,
yang diamnya memberi pengertian,
yang sabarnya memanggil pulang.
Yang cintanya bukan tentang hasilmu,
Namun karena nilai yang tak pernah kamu jual.
Tapi kamu lupa…
Khadijah jatuh cinta bukan pada lelaki yang mendaki dunia,
tapi pada lelaki yang telah menaklukkan dirinya sendiri.
Yang tidak sibuk merangkai kata manis,
tapi merangkai akhlak dalam diam.
Yang tak sibuk menjanjikan surga,
tapi menanamkan iman dalam-dalam, diam-diam di setiap perjuangan.
Khadijah tidak mencari lelaki yang gagah di hadapan manusia,
melainkan yang tunduk pada Rabb-nya, tanpa perlu disaksikan siapa pun.
Sedangkan kamu…
Masih meninggikan suara pada ibumu,
masih keras kepala di hadapan kebenaran,
masih memakai agama sebagai kutipan pamer,
bukan sebagai peta untuk pulang.
Masih bangga duduk di kursi pemimpin rumah,
padahal belum mampu memimpin satu pun sujudmu,
belum mampu memimpin dirimu sendiri.
Kamu ingin Khadijah?
Tapi masih enggan bertarung dengan syahwatmu sendiri.
Masih sibuk menuntut kesetiaan pada perempuan,
padahal dirimu sendiri belum setia pada prinsip yang kamu ucapkan.
Khadijah memilih Muhammad,
karena ia melihat seorang lelaki yang tahu arah hidupnya.
Bukan lelaki yang sibuk mencari,
tetapi lelaki yang sibuk dalam perjalanan.
Dan ketahuilah:
Perempuan seperti Khadijah tidak jatuh cinta pada mimpi-mimpi kosong.
Dia membuka pintu hanya untuk jiwa yang matang,
yang lelah karena berjuang,
bukan lelah karena malas menata diri.
Cinta Khadijah bukan hadiah untuk peminta-minta,
tetapi anugerah untuk pejuang yang bertahan.
Kalau kamu ingin Khadijah,
berhentilah meratap tentang sepinya.
Berhentilah sibuk mencari siapa yang pantas untukmu,
sementara dirimu sendiri masih asing terhadap pantas itu.
Bertumbuhlah.
Benahi sepi-sepimu, hadapi sakit-sakitmu.
Bukan supaya dicintai,
tapi supaya akhirnya kamu tahu:
Cinta sejati bukan tentang ditemukan,
tetapi tentang menjadi.
Karena Khadijah tidak menunggu pangeran dalam dongeng.
Dia menunggu lelaki yang dalam sunyi,
sudah selesai dengan dirinya sendiri,
dan sudah rindu pulang — kepada Allah.
0 notes
Text
Sayangku...
Kerja keras itu bukan tentang menyiksa kamu.
Aku nggak pernah mau lihat kamu memaksa diri sampai lupa bernapas.
Kerja keras itu karena kamu cinta...
Cinta sama mimpi kecilmu yang kamu peluk waktu dunia terasa terlalu dingin.
Cinta sama janji diam-diammu dulu —
bahwa kamu mau jadi tempat berlindung, buat dirimu sendiri,
dan buat orang-orang yang kamu sayangi nanti.
Sayang...
Boleh kok, kamu capek.
Boleh kok, kamu pelan-pelan.
Boleh banget, kamu sesekali berhenti, duduk di pinggir jalan,
nangis sebentar,
ngelus-ngelus pundakmu sendiri,
bilang, "Aku udah sejauh ini."
Aku tahu...
Kadang kamu merasa tertinggal.
Kadang kamu merasa dunia berlari terlalu cepat.
Tapi, sayangku... kerja keras itu bukan tentang siapa yang tercepat.
Bukan tentang siapa yang lebih dulu dapat tepuk tangan.
Kerja kerasmu itu tentang ketulusan.
Tentang kamu yang tetap jalan, meski kakimu gemetar.
Tentang kamu yang tetap percaya, meski hari ini rasanya hampa.
Kamu nggak harus selalu kuat.
Kamu nggak harus selalu benar.
Yang kamu perlu, cuma satu:
jangan berhenti sepenuhnya.
Mindset kita, sayang...
Bukan "Aku harus sukses,"
tapi "Aku ingin jadi orang yang tetap bertahan, walaupun aku pernah pengen nyerah."
Bukan "Aku harus cepat dapet semuanya,"
tapi "Aku mau terus menanam, walaupun hari ini tanahnya keras,
walaupun hari ini hujannya belum datang."
Rezeki kamu...
hasil kamu...
kebahagiaan kamu...
itu semua Allah yang atur.
Bukan dunia.
Bukan jam tangan.
Bukan ekspektasi orang lain.
Tugasmu cuma:
Terus menanam.
Terus berjalan.
Terus percaya.
Aku bangga sama kamu.
Beneran.
Bangga banget.
Terima kasih ya... udah mau tetap bertahan sampai hari ini.
Kalau kamu lelah,
aku di sini kok,
pelan-pelan, nemenin kamu.
Sampai kamu kuat lagi.
Sampai kamu mau tersenyum lagi.
Sampai kamu mau bermimpi lagi.
Aku sayang banget sama kamu.
Selalu.
0 notes
Text
Akhirnya kutemukan jawaban yang paling masuk akal atas pertanyaan, "Kenapa ya orang yang dzalim hidupnya enak-enak saja?"
Dulu aku melupakan rumus ini; Allah menaikkan derajat hamba-Nya setelah diuji. Apabila menjalaninya dengan sabar, maka ia akan mendapat pahala dan dihapuskan dosa-dosanya.
Sakit, kelaparan, kesusahan, bahkan tertusuk jarum saja bisa menggugurkan dosa kita.
Maka inilah jawabannya; orang dzalim hidupnya enak sebab Allah tak menaikkan derajatnya dan tidak menggugurkan dosanya.
Ingat lagi rumus ini; lawan dari mencintai bukanlah membenci, tapi tidak peduli.
Apakah ada yang lebih menyakitkan selain diabaikan Allah?
Wallahu'alam
65 notes
·
View notes
Text
“Sensitif itu bukan salahmu, tapi gak semua harus dipikirin”
(Belajar biar gak gampang baper tanpa ngelawan diri sendiri)

Aku tuh dulu gampang banget baper.
(Sekarang juga masih kayanya haha)
Ada temen yang jawab chat singkat doang, langsung overthinking.
Ada orang ngejawab sinis dikit, langsung ngerasa gak disuka.
Denger orang kritik kerjaanku, langsung pengen kabur dan ngilang.
Dan aku mikir… kenapa sih aku kayak gini?
Ternyata… gak ada yang salah sama jadi sensitif.
Itu justru bukti kalau kamu punya hati, kamu peduli, kamu empatik.
Tapi…
kalau tiap hal kecil bikin kamu ngerasa diserang, disalahin, atau gak dihargai…
lama-lama capek juga, kan?
Aku mulai belajar: gak semua hal harus dipikirin, dan gak semua omongan harus dimasukin ke hati.
Dan lucunya, proses belajarnya malah datang dari hal random:
jadi wasit futsal.
Yap, aku yang gak terlalu jago main bola ini, malah nyemplung jadi wasit.
Bukan karena passion, tapi karena pengen latihan sabar…
dan jujur aja: buat latihan gak gampang baper.
Bayangin ya, kamu udah usaha ngambil keputusan adil, eh dibilang “wasit buta.”
Kamu diem, tetap senyum, padahal dalem hati-nya pengen bilang,
“Bro, ini futsal kampus, bukan Piala Dunia…”
Tapi dari situlah aku belajar:
gak semua kritik itu tentang kita.
Kadang orang lagi capek, lagi malu, atau… emang lagi pengen nyari pelampiasan aja.
Dan yang lebih dalam lagi, aku sadar:
rasa baper itu sering datang dari bagian diri kita yang belum berdamai.
Mungkin kamu baper karena takut ngerasa gak cukup.
Karena pernah dibandingin.
Karena pernah gagal dan belum sempat maafin diri sendiri.
Jujur deh…
Pernah gak sih kamu dapet nilai 9, terus bukan dipuji, malah ditanya,
“Kok gak 10 sekalian?”
Atau kamu udah bantu banyak, tapi yang disorot justru satu kesalahan kecil?
Dari kecil kita tumbuh dalam ekspektasi tinggi,
dan seringkali… bukan tumbuh dalam penerimaan.
Tumbuh dalam keadaan bersyarat, dicintai dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Akhirnya, kita tumbuh jadi pribadi yang haus validasi,
takut salah, takut kecewain, takut gak cukup baik buat disayang.
Makanya sekarang, ketika ada yang kritik atau bercanda dikit aja…
Kita langsung defensive.
Bukan karena kita lemah, tapi karena luka lama itu ke-trigger.
Tapi berita baiknya: kamu, aku, kita bisa ngelatih ulang cara pikir dan berperasaan itu.
Bukan dengan mematikan perasaan, tapi dengan ngobrol sama diri sendiri dengan jujur.
1. Pause dulu, jangan langsung nelen mentah-mentah
Setiap kamu dapet respon yang bikin dada cenat-cenut, coba tahan 3 detik.
Hitung aja dalem hati: "satu... dua... tiga... oke, bukan akhir dunia."
Kadang perasaan pertama itu cuma reaksi, bukan refleksi.
Kalo kamu balas langsung, bisa jadi kamu nyerang pake luka, bukan logika. (Damn, itu kata berima, kamu yang baca kudu ngeh, haha)
2. Tanyain: “Ini tentang aku… atau tentang dia?”
Kadang orang ngomong nyelekit bukan karena kamu, tapi karena mereka lagi kacau.
Orang ngeluh, nyindir, atau sinis tuh sering jadi bentuk self-defense yang ngenes.
Atau sesederhana pengen dianggap bener aja gitu, kalo di kasus wasit sih biasanya karena mereka pengen timnya menang.
Jadi sebelum kamu jadi korban dramanya, mundur dikit dan pikir:
"Mereka lagi bawa badai sendiri, jangan aku ikutan kehujanan."
3. Validasi perasaan sendiri dulu, jangan langsung ngacir ke overthinking
Gak apa-apa ngerasa gak enak.
Tapi kasih ruang buat ngerasain tanpa nge-judge.
Coba ngomong gini ke diri sendiri:
"Aku ngerasa sakit hati, tapi itu bukan berarti aku lemah. Aku manusia."
Gengs, ini bukan cheesy, lemah, manja, cengeng—ini self-compassion. Dan itu powerful.
4. Ubah kalimat batin dari “Aku diserang” jadi “Aku lagi belajar”
Ini mindshift yang ngaruh banget.
Jangan-jangan niat mereka baik.
Misal kamu dikritik, daripada mikir: “Duh aku gagal”, coba ganti jadi:
"Oke, ini ruang belajar. Bukan sidang vonis."
Karena kalo kamu hidup buat terus bener, kamu bakal capek, dan kamu gak bakal belajar dari kesalahan.
Tapi kalo kamu hidup buat terus belajar, kamu bakal bertumbuh.
Karena kritik tuh gak bisa dihindari, kritik itu bisa jadi tempat buat kita belajar dan berkembang.
5. Praktek jadi wasit dalam hidup sendiri
Iya, kamu boleh sensi, tapi kamu juga bisa netralin konflik.
Kayak wasit, kamu liat dua sisi: si kamu dan si dia.
Siapa yang pelanggaran duluan?
Siapa yang cuma acting biar dapet free kick?
(Pssst, kadang... kamunya yang diving duluan, pura-pura jadi korbannya wkwk)
Jujur aja sama diri sendiri secara objektif tapi tetep pake self compassion.
Oke?
6. Kalo gak yakin, tanya baik-baik—bukan nyusun skrip marah di kepala
Daripada overthinking 2 jam, mending tanya 2 menit:
"Eh, tadi kamu ngomong gitu maksudnya gimana ya? Aku agak kepikiran."
Bukan baper, tapi berani klarifikasi.
Percaya deh, banyak kesalahpahaman selesai bukan karena siapa pinter debat, tapi siapa yang mau ngobrol dengan hati.
Karena jadi sensitif itu bukan kelemahan.
Tapi gimana kita merespon rasa itu—itu yang nentuin siapa kita.
Kamu tahu?
Kamu boleh banget punya perasaan itu.
Tapi jangan biarkan semua perasaan itu nyetir arah hidupmu.
Kamu tetap punya kendali. Kamu tetap berharga.
Dan kamu tetap pantas dimengerti, tanpa harus ngerasa kamu “terlalu sensitif” atau terlalu apapun.
#personal growth#positive change#self improvement#productivity#reminder#mindset#islamic#prosa#sajak#quotes
6 notes
·
View notes
Text
Keyakinan Ini Milikku
Keyakinan bukan sekadar sesuatu yang kusimpan diam-diam di dalam hati. Ia bukan rahasia yang hanya aku genggam tanpa tindakan. Jika aku meyakini sesuatu, maka aku harus berjuang untuknya. Aku harus menyuarakannya, menjelaskannya, meski dunia tak selalu mau mendengar.
Ada dinding kekhawatiran yang harus kuhancurkan, ada restu yang harus kudapatkan, ada keteguhan yang harus kubuktikan—bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada diriku sendiri.
Aku tahu jalan ini tidak akan mulus. Akan ada tatapan ragu, pertanyaan yang menyelidik, bisikan yang mempertanyakan apakah aku benar-benar tahu apa yang kulakukan. Mungkin mereka tak mengatakannya langsung, tapi aku bisa merasakannya. Tapi aku tak akan mundur hanya karena itu.
Aku tidak butuh perlawanan, yang kubutuhkan adalah kepercayaan. Tidak ingin membantah, hanya ingin menenangkan.
Aku berbicara dengan segala ketulusan yang kupunya. Dengan hati yang percaya bahwa seiring waktu, mereka akan melihat. Bahwa ini bukan sekadar keinginan sesaat, bukan angan-angan kosong yang akan hancur ketika diuji.
Aku ingin mereka tahu—aku bisa bertahan, aku bisa istiqomah, aku bisa berjuang sampai garis akhir.
Dan jika jalanku harus berliku, biarlah. Aku tidak takut. Hidup tidak pernah dirancang untuk berjalan lurus tanpa rintangan. Jika harus memutar, aku akan tetap melangkah. Jika harus jatuh, aku akan bangkit lagi. Aku tidak akan menyerah, tidak pada keadaan, tidak pada diriku sendiri.
Karena ini bukan sekadar pilihan. Ini adalah keyakinanku. Dan aku akan mewujudkannya, satu langkah, satu usaha, satu doa—hari demi hari, sampai aku sampai.
2 notes
·
View notes
Text
Kadang, kita ngerasa udah tau semua jawaban. Tapi lupa nanya ke diri sendiri: “Sebenernya, aku siapa sih?”

Kita sering kejebak dalam misi-misi besar:
- Mau bantu banyak orang,
- Mau benerin lingkungan,
- Mau jadi inspirasi, panutan, agent of change,
Tapi lupa… diri sendiri belum dipeluk. Belum dipahami. Belum diselamatkan.
Kita semangat kasih motivasi:
“Yuk healing, yuk self-love!”
Tapi... kita bahkan gak sanggup duduk sendirian lima menit tanpa distraksi, tanpa buka HP, tanpa scroll.
Karena kalau sunyi terlalu lama, semua pikiran yang kita hindari bakal muncul satu-satu.
- Kenangan.
- Kekecewaan.
- Pertanyaan besar yang belum dijawab.
- Rasa sakit yang udah kita “bungkus rapi” tapi gak pernah sembuh betulan.
Rasulullah SAW pun begitu?
Beliau bukan lahir langsung sebagai pemimpin.
Beliau lahir sebagai yatim. Kehilangan sosok ayah bahkan sebelum bisa melihat wajahnya.
Ibunya pun wafat saat beliau masih kecil.
Dititip-titipkan dari satu keluarga ke keluarga lain.
Ngerasain sendiri rasanya gak punya pegangan.
Dan mungkin, kalau kita di posisi itu, kita udah tumbuh dengan luka yang bikin pahit.
Tapi Rasulullah? Beliau belajar.
Beliau memelihara luka itu jadi kelembutan.
Dari situ lahir empati. Kesabaran. Kepekaan luar biasa.
Makanya beliau bisa nangis waktu lihat orang lain kelaparan,
Gemetar saat wahyu pertama turun karena takut salah menyampaikan,
Dan masih mikirin orang lain bahkan ketika dilempari batu dan berdarah-darah di Thaif.
Beliau gak cuma tahu kebenaran. Beliau menyebarkan dan mengaplikasikan kebenaran.
Dan itu proses.
Perjalanan batin.
Gak instan. Gak mewah.
Tapi jujur.
Kita, atau siapapun, para jiwa pencari makna,
kadang merasa dunia ini terlalu bising dan kita terlalu kecil.
Tapi juga… kita merasa kita ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar.
Dan itu bikin hati kita ribut.
Satu sisi pengen menghilang.
Tapi sisi lain pengen diingat karena kebaikan.
Satu sisi pengen hidup tenang aja.
Tapi sisi lain pengen berjuang habis-habisan.
Dan kita terus galau, terus mikir, terus merasa "belum jadi siapa-siapa."
Tapi tenang, diriku.
Rasulullah juga mengalami fase-fase itu.
Dan justru dari kekosongan itulah beliau diisi oleh wahyu.
Dari rasa “aku gak mampu” itulah Allah bilang: “Kamu mampu, karena Aku bersamamu.”
Jadi kalau hari ini kamu ngerasa kosong,
Ngerasa gagal,
Ngerasa belum jadi apa-apa,
Itu bukan akhir.
Itu mungkin Gua Hira versi hidupmu.
Tempat kamu sendiri. Sunyi. Takut.
Tapi juga tempat Allah menyiapkan kamu untuk sesuatu yang lebih besar.
Selama 40 tahun pertama, beliau bukan langsung jadi Nabi yang bawa risalah.
Beliau bertahun-tahun memikirkan manusia, merenung, mempertanyakan, menyendiri.
Mulailah dari berdamai.
Dengan masa lalu. Dengan harapan yang gak tercapai.
Dengan ekspektasi yang gak realistik.
Dengan luka-luka yang masih kamu tutupin dari diri sendiri.
Biar nanti, saat kamu bicara, orang lain bisa denger hatimu. Bukan cuma kata-katamu.
0 notes