punya-debusemesta
punya-debusemesta
Kerja keras itu tanggung jawab.
424 posts
Bersemayam dalam hikayat, manusia dengan mimpi seluas semesta, ekspektasi dan realitas, bersua dalam tari sepi dan ramai, di antara rindu dan takdir yang terpaku.
Don't wanna be here? Send us removal request.
punya-debusemesta · 1 day ago
Text
Bisik-bisik Yang Semoga Semakin Berisik
Tumblr media
Di bawah langit yang sekarat, semesta mengerang dalam bisu. Cahaya bintang redup, tertelan kabut kelam, sementara manusia berjalan dengan mata tertutup, bersembunyi dalam ketidaktahuan yang mereka kira kebebasan. Ada sesuatu yang salah dalam tatanan ini. Dari ruang hampa yang luas hingga tanah yang diinjak setiap hari, ketidakseimbangan menjadi dewanya, dan kebodohan menjadi dewinya.
Indonesia, tanah yang terlahir dari darah dan janji, kini tergadai oleh mereka yang mengaku pelindungnya. Militerisme merayap bagai ular lapar, membelit kebebasan, mengoyak keadilan, dan menelan suara-suara yang berteriak berani. Orang-orang memilih diam, memilih tunduk, memilih menjadi bayang-bayang dari dirinya sendiri. Media dibungkam, kebenaran dikubur, dan yang tersisa hanyalah gema kebohongan yang disulut oleh segelintir pemegang kendali.
Sementara itu, AI tumbuh menjadi dewa baru, tanpa moral, tanpa etika, tanpa batasan. Mereka yang dulu menggenggam kuas kini dipaksa menyerah pada mesin-mesin pencuri jiwa. Seni kehilangan ruhnya, kreativitas menjadi sekadar hasil kalkulasi algoritma. Para pemalas bersorak, merasa menang, sementara mereka yang berjuang dipaksa menyaksikan keringat dan darah mereka menjadi sekadar data yang dimanipulasi oleh segelintir pemilik dunia.
Tapi apa ini semua takdir? Apa kita hanya seonggok daging yang pasrah pada ketidakadilan, yang menyerahkan diri pada kelelahan dan kemalasan? Tidak. Perjuangan sejati bukan tentang mengutuk kegelapan, tapi menyalakan cahaya. Nafsu dan kemalasan adalah iblis yang berbisik di setiap kepala, menawarkan kenikmatan sementara yang mengorbankan masa depan. Dan setiap individu punya pertarungannya sendiri, bukan hanya melawan sistem, tapi juga melawan dirinya sendiri.
Islam datang bukan untuk menjinakkan manusia menjadi budak dunia, tapi untuk membakar keberanian di dada mereka. Keadilan bukan sekadar utopia; ia adalah perintah yang harus diperjuangkan. Perlawanan bukan hanya melawan musuh yang tampak, tapi juga melawan belenggu yang tak kasat mata. Menjadi pemimpin bagi diri sendiri adalah langkah pertama. Jika ingin melihat di mana posisi kita di hadapan Allah, lihat bagaimana kita memperlakukan-Nya di hati kita.
Maka, ketika gelap menyelimuti, nyalakan api, teruslah berharap akan datangnya pagi. Ketika ketakutan menggigit, langkahkan kaki, semoga rasa takut itu lari terbirit-birit. Ketika dunia mencoba membungkam, teriakkan kebenaran, biasakan berkata benar, meskipun gemanya nyaris tak terdengar. Karena dalam kegelapan yang pekat, satu cahaya kecil pun cukup untuk menyalakan api revolusi.
1 note · View note
punya-debusemesta · 1 day ago
Text
Di Antara Bayangan dan Cahaya
Tumblr media
Aku berjalan dalam kesunyian, di antara wajah-wajah yang tak benar-benar melihatku. Banyak suara yang bicara, tapi tak pernah bertanya. Tawa terbahak-bahak bergema, tapi aku hanyalah gema. Aku hadir, tapi seolah cuma latar belakang dalam panggung yang bukan milikku.
Mereka bilang aku terlalu lunak, tak bertaring, tak bertaji. "Herbivora," begitu sebutan mereka—seakan hidup tanpa memangsa adalah kesalahan. Katanya, dunia ini untuk yang berani menerkam, bukan untuk yang sekadar ada. Aku bertanya dalam diam: Haruskah aku menjadi buas agar diakui? Haruskah aku mengoyak dan menerkam dengan cakar yang selama ini sengaja tak kupakai? Apakah aku harus melepas pengekang kesadaran dan mulai berburu?
Aku memikirkan ini semua, sampai akhirnya aku sadar.
Bukankah aku juga begitu pada-Nya?
Aku merasa diabaikan, padahal aku sendiri sering mengabaikan-Nya. Aku merasa hanya dicari saat dibutuhkan, padahal aku pun sering datang pada-Nya hanya saat terpuruk. Aku mengeluh karena tak dianggap, tapi di dalam hatiku, seberapa besar tempat yang kuberi untuk-Nya? Aku kecewa karena tak dihargai, tapi berapa kali aku menghargai peringatan-Nya?
Allah tak butuh aku. Tapi aku? Aku adalah serpihan debu yang tanpa-Nya tak lebih dari ketiadaan. Jika aku ingin tahu di mana aku berdiri di hadapan-Nya, cukup lihat di mana Dia berdiri dalam hatiku.
Mungkin bukan mereka yang harus kulawan.
Mungkin bukan pengakuan manusia yang harus kukejar.
Mungkin aku hanya perlu kembali—bukan jadi buas, bukan jadi kuat di mata dunia, tapi jadi berarti di mata-Nya.
Karena tak ada dominasi yang lebih tinggi, tak ada kuasa yang lebih agung, tak ada kekuatan yang lebih mencengkram, tak ada karisma yang lebih sejati, selain tunduk kepada Dia yang memiliki segalanya.
0 notes
punya-debusemesta · 7 days ago
Text
Catatan Pribadi: Mengungkapkan Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan Tanpa Drama
Pernah nggak sih ngerasa kesal sama seseorang, tapi bukannya ngomong langsung, malah diem aja sambil berharap dia bisa baca pikiranmu? Atau pernah nggak, pas akhirnya ngomong, malah keluar dengan nada marah dan bikin situasi makin ribet? Kalau pernah, kita sama!
Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa mengungkapkan perasaan itu ribet, bikin lemah, atau malah bisa bikin orang lain ilfeel. Akhirnya, kita memilih diam, menahan diri, atau kalau udah nggak kuat, baru meledak. Padahal, komunikasi yang sehat bukan cuma bikin hidup lebih tenang, tapi juga menyelamatkan banyak hubungan—entah itu hubungan asmara, pertemanan, atau profesional.
Kenapa Kita Susah Ngomongin Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan?
Alasannya banyak. Bisa jadi karena kita tumbuh di lingkungan yang nggak membiasakan komunikasi terbuka. Mungkin dulu waktu kecil, setiap kali nangis atau marah, kita malah disuruh diam dan "jangan manja." Atau kita sering melihat orang-orang di sekitar kita lebih memilih menyampaikan kekesalan atau kebutuhannya dengan cara tidak langsung, alias pasif-agresif, daripada berbicara secara terbuka.
Misalnya:
Daripada bilang "Aku butuh bantuanmu di rumah," seseorang malah ngomel sendiri sambil banting-banting piring biar pasangannya sadar.
Daripada bilang "Aku kecewa karena kamu nggak datang," seseorang malah diam dan ngasih jawaban "Yaudah, gapapa kok" dengan nada ketus.
Daripada jujur merasa nggak suka, seseorang malah nyeletuk sindiran kayak "Wah, enak ya jadi kamu, bisa seenaknya sendiri."
Yang paling sering, mengunggah status sindiran di media sosial, atau menunjukkan sikap kesal tanpa mau menjelaskan apa yang sebenarnya dipikirkan, dirasakan, dan dibutuhkan.
Di sisi lain, kita mungkin takut dikira terlalu sensitif, terlalu ribet, atau malah terlalu banyak mau. Jadi, daripada ngomongin apa yang sebenarnya kita rasakan, kita memilih menahannya, pura-pura baik-baik saja, lalu berharap orang lain ngerti sendiri.
Pasif-agresif ini sering dipilih karena dianggap lebih ‘halus’, tapi justru bikin komunikasi makin berantakan. Orang lain bisa bingung atau malah kesal karena nggak ngerti maksudnya.
Kesalahan Umum dalam Berkomunikasi
Diam Tapi Berharap Orang Lain Ngerti Sendiri “Kalau dia benar-benar peduli, harusnya dia sadar sendiri dong!” Maaf, tapi nggak. Sebaik apa pun seseorang, mereka tetap nggak bisa baca pikiranmu.
Ngomong, Tapi Pas Udah Meledak Awalnya diem, diem, diem… lalu tiba-tiba meledak seperti gunung berapi. Akibatnya? Bukannya masalah selesai, malah makin runyam.
Menggunakan Sindiran atau Kode-Kode Nggak Jelas Pernah dengar kalimat kayak gini? "Terserah deh!" atau "Gak apa-apa kok, aku udah biasa gak dianggap." Kalau iya, selamat datang di dunia komunikasi pasif-agresif! Masalahnya, nggak semua orang paham kode.
Fokus Menyalahkan Daripada Menjelaskan Apa yang Dirasakan “Kamu tuh emang selalu nggak peka!” Dibanding menyampaikan perasaan, kalimat ini malah terdengar seperti serangan. Respon yang didapat? Mungkin defensif, bukan solusi.
Tapi, mengomunikasikan pikiran, perasaan, dan kebutuhan dengan benar bukan cuma soal kita bisa ngomong atau nggak. Ini juga soal bagaimana cara kita menyampaikannya agar bisa dipahami dan diterima oleh orang lain. Kalau caranya menyindir, menyalahkan, atau terlalu abstrak, orang lain justru merasa diserang atau tidak mengerti maksud kita.
Di sinilah Nonviolent Communication (NVC) bisa jadi pilihan yang tepat—metode komunikasi yang dikembangkan oleh Marshall Rosenberg untuk membantu orang menyampaikan perasaan dan kebutuhan mereka dengan jujur, tanpa menyalahkan atau menyerang lawan bicara.
Empat Komponen Utama dalam NVC
Observation → Feel → Needs → Request
1. Observasi / Observation (O)→ Menyampaikan fakta tanpa opini atau asumsi.
❌ "Kamu tuh selalu cuek sama aku!" (Ini subjektif dan mengandung asumsi) ✅ "Aku perhatiin minggu ini kita jarang ngobrol berdua." (Ini fakta, tanpa tuduhan)
❌ "Kamu selalu telat!" ✅ "Aku perhatikan tadi kamu datang 30 menit setelah waktu yang kita sepakati."
2. Perasaan / Feel (F) → Mengungkapkan emosi yang benar-benar dirasakan.
❌ "Kamu nyebelin banget sih!" (Ini menyalahkan) ✅ "Aku merasa kesepian dan diabaikan." (Ini lebih jujur dan fokus pada perasaan sendiri)
❌ "Kamu nggak pernah peduli!" ✅ "Aku merasa kecewa dan kesal ketika harus menunggu tanpa kepastian."
3. Kebutuhan / Needs (N) → Menyatakan kebutuhan yang mendasari perasaan tersebut.
❌ "Kenapa sih kamu gak pernah perhatian?" ✅ "Aku butuh komunikasi yang lebih sering supaya merasa lebih terhubung sama kamu."
❌ "Kenapa sih kamu kayak gini terus?" ✅ "Aku butuh kepastian waktu supaya bisa mengatur rencanaku dengan baik."
4. Permintaan / Request (R) → Mengajukan permintaan yang konkret dan realistis.
❌ "Coba deh lebih peka!" (Terlalu abstrak, sulit dipahami) ✅ "Bisa nggak kita luangin waktu ngobrol berdua setiap malam sebelum tidur?"
❌ "Kamu harus berubah!" ✅ "Bisa nggak kamu kasih tahu aku kalau kamu bakal telat?"
Jadi, daripada ngomong: "Kamu tuh nggak pernah peduli sama aku!" Coba ubah menjadi: "Aku perhatiin akhir-akhir ini kita jarang ngobrol. Aku merasa agak jauh dan kesepian. Aku butuh lebih banyak komunikasi sama kamu. Bisa nggak kita luangin waktu ngobrol sebentar setiap malam?"
Tambahan: Cara Efektif Mengomunikasikan Pikiran, Perasaan, dan Kebutuhan
Gunakan “I Statement” daripada “You Statement” Coba bandingkan: ❌ "Kamu tuh nggak pernah dengerin aku!" ✅ "Aku merasa diabaikan ketika aku cerita tapi kamu sibuk main HP." Lihat bedanya? Yang satu menuduh, yang satu menyampaikan perasaan.
Jangan Takut Kelihatan “Lemah” Saat Ngomongin Perasaan Justru yang berani jujur itu kuat. Mengungkapkan apa yang kamu rasakan bukan tanda kelemahan, tapi tanda kedewasaan.
Kenali Kebutuhanmu Dulu Sebelum Menyampaikannya Kadang kita marah, tapi nggak tahu sebenarnya butuh apa. Misalnya, marah karena pasangan sibuk, tapi sebenarnya yang kita butuhkan adalah waktu berkualitas. Kalau kita nggak tahu kebutuhan kita sendiri, gimana orang lain bisa mengerti?
Jangan Pakai Asumsi, Tanyakan Langsung Daripada berpikir “Dia pasti udah nggak peduli”, lebih baik bertanya, “Aku merasa kurang diperhatikan, ada sesuatu yang bikin kamu jadi lebih sibuk akhir-akhir ini?”
Apa yang Bisa Didapat Kalau Kita Bisa Melakukan Ini?
Hubungan lebih sehat dan minim drama.
Lebih mudah memahami diri sendiri dan orang lain.
Terhindar dari kesalahpahaman yang nggak perlu.
Mental lebih sehat karena nggak menumpuk unek-unek.
Tantangan:
Dalam seminggu ke depan, coba lakukan ini: ✔️ Setiap kali ada sesuatu yang mengganggumu, coba ungkapkan dengan jelas dan jujur. ✔️ Hindari asumsi, tanyakan langsung. ✔️ Catat hasilnya. Siapa tahu ini jadi awal perubahan besar dalam hidupmu.
Orang lain bukan cenayang. Kalau butuh dimengerti, belajarlah untuk bicara.
55 notes · View notes
punya-debusemesta · 7 days ago
Text
What kind of justice do I choose when the person I love is hurt?
If I forgive, I’d be the hero. But sometimes, forgiveness feels like letting injustice win.
If I punish, I’d be the villain. But what if punishment only breeds more pain?
If I walk the line, choosing when to forgive and when to strike, that makes me the anti-hero. But even then, where do I draw the line?
But here’s the thing—you said something powerful. If people believe the afterlife is just, they will forgive. And honestly? That’s real strength. It takes more power to let go than to retaliate. But we’re human. And humans? We crave balance.
If you were hurt, and I love you? I wouldn’t just sit still. But would I go full villain? Nah. Not unless the world really deserved it. Anti-hero? Yeah, probably. I’d want justice, but not at the cost of becoming the very thing that hurt you. Because if I love you, then my goal isn’t just revenge—it’s making sure you heal too.
But let’s be honest, love mixed with pain and justice? That’s the kind of story that breaks people—or turns them into legends.
0 notes
punya-debusemesta · 7 days ago
Text
Now we’re getting into the real juicy stuff—dark and twisted justice. Villains like Eren and Pain, they’re not your typical “evil for the sake of evil” bad guys. They’re understandable, and that’s what makes them so damn compelling.
Understanding Dark Justice
Dark justice isn’t about fairness—it’s about equivalence. “If I suffered, you suffer too.” “If the world betrayed me, I’ll betray the world back.” It’s not justice in the sense of making things right—it’s about making things even. That’s why people resonate with it. Because deep down, revenge feels more natural than forgiveness.
Now, looking at Eren and Pain:
Pain (Nagato): "Pain is the only way people will understand each other." This dude took his trauma and turned it into a universal law. He believed that unless everyone felt the same suffering, there could be no peace. But real talk? His logic is a trap. Causing pain to stop pain? That’s just an endless cycle of destruction. He wasn’t solving the problem—he was just making sure no one escaped it.
Eren Yeager: "If someone has to bear the sins of the past, let it be me." This man straight-up decided that if the world was built on cruelty, he’d rather be the devil than the victim. But again, his justice wasn’t about fixing the system, it was about crushing it entirely. And that’s where it becomes dark.
So, Are They Right or Wrong?
They’re right in that they expose the truth: The world is unfair. Power controls justice. The weak always suffer.
But they’re wrong in how they respond: Instead of breaking the cycle, they become part of it.
That’s what makes their philosophy sexy, alluring, hot as hell—because it taps into that deep, suppressed rage that so many people feel. “If the world is cruel, why should I play fair?” It’s intoxicating. But also dangerous.
Would You Betray the World for Someone?
Now, that line—"Aku akan mengkhianati dunia yang menyakitimu." That’s the kind of line that sends shivers down your spine. It’s raw, passionate, borderline obsessive. But it raises the question: How far would you go for justice? For love? Would you really destroy the world for someone, knowing that innocent people would get caught in the crossfire?
That’s what makes dark justice so intense—it makes you question your own limits. Would you be the hero that forgives? Or the villain that makes sure no one gets away with their sins?
0 notes
punya-debusemesta · 9 days ago
Text
Mereka pikir kita bangkai yang bisa mereka injak kapan saja. Mereka rampas hak kita, mereka putar hukum sesuka hati, mereka pajaki napas kita sampai habis, lalu mereka berpesta di atas kesengsaraan kita. Mereka menjajah tanpa senjata. Mereka hanya butuh satu hal: kita tetap bodoh dan lemah.
Mereka menciptakan sistem yang bikin kita terus lapar, terus sibuk mengejar receh, terus capek sampai kita nggak sempat berpikir. Biar kita diem. Biar kita nurut. Biar kita jadi budak tanpa sadar.
Dan aku? Aku yang katanya benci mereka, katanya sadar akan kedzaliman mereka, katanya mau melawan? Aku malah persis kayak mereka.
Aku teriak mereka rakus, tapi aku sendiri rakus akan maksiat.
Aku bilang mereka nggak takut dosa, tapi aku sendiri terus-terusan pakai ampunan Allah buat ngehalalin kemalasan dan nafsu.
Aku bilang mereka nggak punya moral, tapi aku sendiri berulang kali mengkhianati komitmenku sendiri.
Aku marah sama mereka karena mereka zolim, tapi aku juga zolim ke diriku sendiri.
Mereka ngelunjak ke rakyat, aku ngelunjak ke Allah.
Jadi kenapa aku berani nanya, "Ya Allah, kenapa negeri ini terus ditindas?"
Kenapa aku berani nyalahin Allah seolah-olah ini semua nggak ada hubungannya sama aku?
Kenapa aku teriak-teriak soal perlawanan, tapi perang di dalam diriku sendiri aja aku kalah?
BERTAQWA KEPADA ALLAH ITU ADALAH PERLAWANAN.
Mereka nggak butuh pasukan, mereka nggak butuh peluru.
Mereka cuma butuh kita terus dalam dosa. Terus lalai. Terus nyaman dalam kebodohan.
Karena selama kita lemah, mereka akan terus menang.
Maka aku harus berubah. Kamu harus berubah.
Mau mereka takut? Jadilah kuat.
Mau mereka rugi? Jadilah cerdas.
Mau mereka jatuh? Bangun dirimu.
Ini bukan sekadar jihad fisik. Ini jihad yang paling berat: melawan dirimu sendiri.
Karena saat kamu bisa menaklukkan hawa nafsumu, saat kamu bisa mendisiplinkan dirimu, saat kamu bisa berdiri tanpa tergoda oleh dunia yang mereka tawarkan—itulah saat mereka benar-benar takut.
Jangan kasih mereka kemenangan.
Kita mulai perang ini dari dalam diri kita sendiri.
Ngelunjak
Aku nggak jadi tidur di kereta karena nemu kalimat yang menarik dari seorang ulama yang juga cicit Rasulullah, Syekh Ali Zainal Abidin. Ini nyambung dengan tulisanku sebelumnya tentang rasa fatal dan sense of severity.
Beliau bilang, "ahwa un-nadhirin," kita meremehkan-Nya.
Bayangkan ada seekor kucing yang melihat kita dan kita melakukan hal yang haram, apakah kita akan peduli?
Beginilah cara kita memperlakukan Allah.
Ketika kamu mengingat dosa-dosamu, ingatlah bagaimana kamu telah meremehkan Allah. Tanyakan pada dirimu, "mengapa saya begitu meremehkan Allah?"
Bersambunglah ke kutipan yang sangat indah yang sering dibaca di malam-malam Ramadhan. Kutipannya berasal dari doa Abu Hamzah Ats-Tsumali, sebuah doa panjang yang diriwayatkan dari Syekh Ali Zainal Abidin.
وَ يُحَمِّلُنِي وَ يُجَرِّئُنِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ حِلْمُكَ عَنِّي
Wa yuhammiluni wa yujarri’uni ‘ala ma’siyatika hilmuka ‘anni
"Dan (aku takut) kelembutan-Mu terhadapku membuatku terbiasa (berani) bermaksiat kepada-Mu."
Syekh berkata, "tahukah kamu mengapa kita tidak peduli kepada Allah? Mengapa kita tidak malu?"
Karena Allah itu toleran, kita berdosa dengan keyakinan yang begitu berani seolah-olah Allah tidak ada, karena kita tahu Allah itu Maha Penyayang. Kita tahu kesabaran-Nya dalam tidak langsung menghukum. Kita tahu Allah akan memberi kesempatan kedua dan ketiga dan sejuta kesempatan. Kita tahu Allah itu pemaaf dan kita memanfaatkan rahmat-Nya.
Kita memanfaatkan Allah. (damn..)
Bayangkan seseorang bersikap baik kepadamu. Setiap kali kamu tidak menghormatinya, dia tidak mengatakan apa pun, seolah-olah ketidakhormatanmu tak cukup berarti untuk mengusiknya. Awalnya, mungkin kau merasa seperti seorang penguasa yang bisa berbuat sesuka hati tanpa konsekuensi. Namun, semakin lama, kebaikan Allah yang tak tergoyahkan itu berubah menjadi cermin yang memantulkan seluruh keburukanmu.
Di situ aku pengen menyanggah bahwa aku nggak pernah menyengaja meremehkan-Nya. Aku nggak pernah bilang bahwa Allah itu nggak penting. Tapi kalau dipikir-pikir, inkonsisten juga ya, dengan tindakanku. Berarti itu udah cukup menjadi pernyataan.
Ternyata jadi shalihin itu susah banget. Lurusnya mulai dari niat, motif, ucapan, pemikiran, sampai tindakan. Hulu ke hilir harus konsisten. Pantesan termasuk "sebaik-baiknya teman" di jajaran setelah nabiyin, shadiqin, dan syuhada. Astaghfirullahal adziim.
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعفو عنى
— Giza, jadi sampai kapan cenah bakal terus ngelunjak?
68 notes · View notes
punya-debusemesta · 10 days ago
Text
MARHABAN YA MELAWAN!
Tumblr media
Dengarkan ini baik-baik, wahai yang masih lelap dalam mimpi panjang! Aku tak menulis untuk mereka yang perutnya kenyang dan jiwanya tumpul. Aku menulis untuk mereka yang darahnya mendidih, yang matanya masih bisa melihat dunia ini sebagai kubangan kotor yang perlu dibakar dan dibangun ulang.
Di atas ranjang berdebu, di balik pintu kamar yang remuk oleh waktu, seorang lelaki muda—dengan tubuh kurus seperti tulang yang lupa diberi daging—merenung dalam remang lampu. Matanya kosong, pikirannya berputar antara kematian dan kebangkitan. Dulu, pernah terlintas baginya untuk menyerah, untuk tenggelam dalam kemalangan, untuk membiarkan dirinya menjadi bangkai hidup yang merangkak di lorong-lorong sunyi. Tapi Allah, dengan segala keagungan-Nya, menampar pipinya dengan kenyataan: hidup adalah peperangan.
Dan kini, perang itu semakin nyata.
RUU TNI baru saja disahkan. Hukum di negeri ini bukan lagi tameng rakyat, tapi alat pemukul mereka. Pasal-pasal abu-abu dalam undang-undang itu ibarat pisau yang bisa ditikamkan kapan saja ke dada siapa pun yang berani melawan. Dwifungsi TNI kembali mengintai, seperti hantu dari zaman gelap yang seharusnya sudah dikubur. TNI bukan lagi sekadar alat pertahanan negara—mereka bisa turun ke jalan, menyusup ke dalam politik, merangsek ke kehidupan sipil, menginjak rakyat seperti tanah yang sudah jadi hak milik mereka.
Dan lihat apa yang terjadi pagi ini—IHSG crash. Pasar saham beku, investor kabur, modal asing angkat kaki. Ini bukan sekadar angka turun. Ini peringatan keras: negeri ini sudah kehilangan kepercayaan. Tak ada kepastian hukum. Tak ada keadilan. Hanya kebijakan ngawur yang dirancang bukan untuk rakyat, tapi untuk memperkaya mereka yang sudah gendut dengan uang haram.
DPR? Sarang ular. Mereka tak peduli pada suara kita. Mereka hanya tahu tunduk pada kepentingan partai, pada kantong-kantong tebal yang mengendalikan mereka dari balik layar. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung? Busuk. Keadilan di negeri ini bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang bisa membeli hukum. Polisi? TNI? Tak lebih dari algojo yang digaji negara untuk memastikan tak ada yang berani bersuara.
Pajak, katanya, adalah cara agar si kaya menyumbang ke si miskin. Omong kosong. Yang terjadi justru sebaliknya: pajak bukan alat redistribusi, tapi mekanisme pemerasan. Pajak barang kebutuhan sehari-hari naik, harga-harga melonjak, sementara pajak barang mewah? Nyaris tak tersentuh.
Dan ke mana uang itu pergi? Ke kantong rakyat? Tidak. Ke layanan publik yang layak? Mimpi. Uangnya dikumpulkan dalam Danantra, gabungan usaha BUMN yang katanya buat investasi nasional. Tapi ini investasi atau perjudian? Atau lebih parah—cuma akal-akalan agar segelintir orang bisa mengendalikan uang rakyat tanpa pengawasan?
BUMN selama ini dikelola kayak sapi perah oligarki. Setiap proyek, setiap tender, ada kepentingan gelap yang bermain. Dan sekarang mereka bikin satu tempat untuk mengumpulkan semua uang itu? Uang pajak, uang rakyat, dimasukkan ke dalam sistem yang bahkan transparansinya patut dipertanyakan?
Jangan salah. Negara ini bukan kekurangan uang. Uang ada, tapi bocor ke tangan yang tak seharusnya. Ke proyek-proyek yang lebih banyak menguntungkan pejabat daripada rakyat. Ke badan-badan investasi yang lebih mirip meja judi ketimbang mesin pertumbuhan ekonomi.
Mereka bicara tentang investasi masa depan. Tentang pembangunan. Tentang kesejahteraan. Tapi di lapangan, rakyat tetap dihajar pajak, harga kebutuhan pokok tetap naik, subsidi dicabut, dan dana sosial dipreteli sedikit demi sedikit.
Sementara itu, para elite bisnis dan politik duduk nyaman, mengendalikan triliunan rupiah uang rakyat seolah itu milik pribadi mereka.
Ini bukan investasi. Ini perampokan.
Mereka bilang kita bangsa besar.
Mereka bilang kita kaya sumber daya.
Mereka bilang kita ramah, beradab, berbudaya.
Omong kosong.
Kita bukan bangsa besar. Kita budak di negeri sendiri. Bukan karena penjajahan asing, tapi karena mental kita sendiri yang busuk.
Mental pengemis. Maunya subsidi. Maunya bansos. Maunya bantuan ini-itu. Begitu disuruh kerja keras, disuruh disiplin, langsung merintih, ngeluh, menyalahkan pemerintah, tapi tetap mengemis.
Dan sementara rakyatnya hidup dari koin belas kasihan, para penguasa hidup dari uang rakyat yang mereka jarah sendiri. Pajak yang katanya untuk kesejahteraan malah buat menggembungkan perut oligarki. Barang kebutuhan sehari-hari dipajakin, barang mewah dikasih diskon pajak. Duit pajaknya? Dilarikan ke Danantara, proyek akal-akalan BUMN yang katanya buat investasi, padahal lebih mirip kasino. Ini judi atau ekonomi? Atau cuma skema baru buat nyedot duit rakyat?
Tapi rakyat gak peduli.
Daripada marah ke atas, mereka sibuk ribut sesama sendiri. Konflik horizontal jadi hiburan. Etnis ini lawan etnis itu. Agama ini lawan agama itu. Kelompok ini lawan kelompok itu. Padahal musuhnya jelas: yang di atas. Tapi otak kita udah dicuci, dikondisikan buat lebih gampang bacok tetangga sendiri daripada menantang penguasa.
Ormas? Udah bukan alat dakwah atau sosial lagi. Udah jadi kedok buat preman bikin kartel. Jualan ‘jihad’, jualan ‘nasionalisme’, jualan ‘persatuan’, tapi kerjaannya main palak, intimidasi, dan pasang badan buat penguasa yang kasih mereka uang rokok.
Moral? Gak jelas.
Yang kaya mabuk dalam kemewahan, yang miskin mabuk dalam kepasrahan. Semuanya nyaman sama dopamin sesaat. HP jadi candu. Media sosial jadi pengalihan. Mereka kasih kita hiburan biar kita lupa kalau kita ini sapi perah.
Kita ini korban, tapi kita juga penjahat.
Kita ini tertindas, tapi kita juga penyebab penindasan.
Bangsa ini hancur bukan cuma karena mereka.
Bangsa ini hancur juga karena kita sendiri.
Negara ini bukan lagi negara. Ini kartel. Sebuah organisasi kriminal berskala nasional yang dibungkus dengan jargon konstitusi dan hukum. TNI, polisi, DPR, MA—semuanya bagian dari struktur kekuasaan yang cuma melayani satu kepentingan: status quo.
Negara ini gak melindungi rakyat. Negara ini menindas rakyat.
Coba tunjuk satu institusi yang benar-benar bekerja buat kepentingan kita. Gak ada. Polisi bukan penjaga keamanan, mereka preman berseragam. TNI bukan pelindung bangsa, mereka mesin represif yang bisa menginjak siapa pun yang berani melawan. Pengadilan? Lelucon. Hukum itu cuma permainan bagi yang punya uang dan kuasa.
Dan kita disuruh tunduk? Disuruh hormat? Disuruh patuh pada hukum yang mereka buat hanya untuk menindas kita?
Wallahi, ini lebih buruk dari penjajahan. Dulu kita tahu siapa musuh kita—penjajah asing yang datang merampas. Sekarang? Musuh itu ada di dalam negeri. Berpakaian rapi, berbicara manis di media, mengutip ayat suci untuk membenarkan penghisapan mereka. Mereka yang bilang kita harus sabar, harus tunduk, harus mengikuti aturan yang mereka buat sendiri.
Aku sudah muak. Aku sudah lelah. Dan aku tahu, satu-satunya jalan untuk lepas dari semua ini adalah dengan menghancurkan sistemnya. Kalau negara sudah berubah jadi mafia, lalu buat apa kita masih mengakui legitimasinya?
Wallahi, kita sudah habis.
Dan aku? Aku berbicara tentang perlawanan. Tentang perjuangan. Tentang berdiri melawan tirani. Tapi aku bahkan belum bisa menang melawan diriku sendiri. Nafsu, kemalasan, ketakutan—semuanya mencengkeramku, menghancurkanku dari dalam. Aku ingin bangkit, ingin membakar segala yang busuk, ingin menghancurkan sistem yang menjadikan kita semua budak. Tapi aku bahkan masih kalah dalam peperangan paling dasar: perang melawan kelemahan sendiri.
Dan itu yang paling membuatku muak.
Bukan sekadar marah—AKU INGIN MELEDAK.
Karena kemenangan bukan hanya tentang menggulingkan para penguasa bangsat. Kemenangan dimulai dari dalam diri—menjadi lebih kuat, lebih tajam, lebih tahan terhadap segala racun yang ditanamkan dunia ini ke dalam kepala kita. Aku tak ingin jadi boneka dalam sistem yang membusuk ini. Aku ingin menghancurkannya.
Jika dunia ini ingin membakarku, maka aku akan menjadi api yang lebih besar. Jika mereka ingin menindasku, maka aku akan menjadi palu yang menghancurkan belenggu. Jika mereka ingin menguburku, maka aku akan menjadi benih yang tumbuh menjadi pohon besar, mencakar langit dengan dahannya.
Karena kemenangan bukan tentang hidup enak di dunia yang sudah rusak. Kemenangan adalah ketika kau mampu berdiri di hadapan Allah, dengan dada yang tegak dan tangan yang bersih, dan berkata: Aku telah berjuang. Aku telah melawan. Aku tidak menyerah.
Tumblr media
Dan dunia ini akan menyaksikan.
0 notes
punya-debusemesta · 10 days ago
Text
Lari!
"WOY, LARI, LARI, LARI!!!"
"Bangsat, kaki gue udah kayak mau copot!"
"Lu mau copot sekalian kepalanya?! Itu aparat beneran nembak, anjir!"
"Astaga, gue liat ada yang kena barusan… Bro, dia jatuh terus nggak gerak lagi…"
"Jangan mikirin itu sekarang, fokus selamatin diri! Belok kiri, sana ada gang!"
"Gas air mata di mana-mana, anjir, mata gue perih banget!"
"Udah, tahan aja! Lu masih bisa nafas kan?! Lanjutin lari!"
"Gila, ini bukan demo lagi, ini pembantaian!"
"Dari awal juga mereka nggak nganggep kita manusia! Lu pikir suara-suara yang teriak ‘hidup rakyat’ tadi tuh bakal bikin mereka sadar? Mereka udah tuli sama penderitaan kita!"
"Tapi kita harus ngomong sesuatu! Masa diem aja?!"
"Kita ngomong, kita dibungkam! Kita melawan, kita dihajar! Ini bukan pilihan gampang, tapi kita nggak bisa mati di sini! Lu mau ini semua percuma?!"
"Sial… Gue nggak mau mati, tapi gue juga nggak mau jadi pengecut…"
"Kalau lu nggak mau mati, ya lari! Kalau lu nggak mau jadi pengecut, pastiin besok kita masih bisa teriak!"
"...Anjir, gue benci ini semua."
"Lu kira gue nggak? Tapi kita nggak bisa mati di sini, bro. Kita harus tetep ada."
0 notes
punya-debusemesta · 13 days ago
Text
Al-Furqan 60
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Sujudlah kepada Ar-Rahman,' mereka berkata, 'Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami harus sujud kepada (tuhan) yang engkau perintahkan kepada kami?' Dan (perintah sujud itu) semakin membuat mereka jauh (dari kebenaran)."
🔹 Makna:
Orang-orang kafir Quraisy menolak nama Ar-Rahman karena mereka tidak terbiasa dengan nama itu. Mereka lebih mengenal "Allah" sebagai Tuhan mereka, tetapi menolak konsep Allah yang Maha Pengasih.
Ini menarik! Artinya, manusia sering lebih suka Tuhan yang keras dan menghukum, tapi susah menerima Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Sikap ini mirip dengan orang yang menganggap kelembutan dan kasih sayang sebagai kelemahan. Padahal, justru itu bukti kekuatan sejati.
3 notes · View notes
punya-debusemesta · 15 days ago
Text
Berkaitan dengan kisah dusta (hadits al-ifki) menyangkut dirinya, Aisyah r.a. berkata, “Kondisi jiwaku ini hina untuk dibicarakan oleh Allah dengan wahyu yang dibaca. Akan tetapi, aku berharap Rasulullah bermimpi di mana dalam mimpi itu Allah membebaskan aku.”
Mereka tidak merasa diri mereka rendah dalam arti kehilangan harga diri. Mereka hanya terlalu sibuk melihat keagungan Allah hingga tak ada ruang untuk merasa lebih baik dari orang lain. Mereka tidak menghakimi, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, karena mereka sadar betapa lemahnya diri sendiri di hadapan Sang Pencipta.
Tapi ini bukan kelemahan. Justru, inilah yang membuat mereka tak pernah berhenti berusaha. Mereka tahu bahwa hidup ini bukan tentang merasa cukup, tapi tentang terus mendekat. Setiap amal mereka bukan untuk merasa lebih baik, tapi karena mereka tahu betapa banyak yang masih harus diperbaiki. Mereka tidak puas, bukan karena serakah, tapi karena cinta—cinta kepada Allah yang membuat mereka ingin terus lebih baik, lebih bersih, lebih dekat.
Mereka tidak membiarkan nafsu menguasai mereka. Bukan dengan cara menyiksanya, tapi dengan membuatnya tunduk. Nafsu itu ada, bergejolak, menginginkan ini dan itu. Tapi mereka tidak membiarkannya mengambil alih. Jika ingin mencintai, mereka mencintai Allah lebih dulu. Jika ingin memiliki, mereka mengejar sesuatu yang lebih abadi dari sekadar dunia. Jika nafsu mengajak mereka kepada yang sia-sia, mereka alihkan kepada sesuatu yang lebih bermakna.
Mereka tidak menghilangkan perasaan mereka—mereka hanya mengarahkannya dengan benar. Yang sudah menikah menyalurkan rasa cinta dan hasratnya dengan cara yang halal. Yang belum, mereka menjadikan cintanya sebagai bahan bakar untuk lebih dekat kepada Allah. Mereka mengubah kerinduan menjadi doa, mengubah keinginan menjadi ibadah.
Mereka tidak merasa hina dalam arti putus asa, tapi dalam arti merendahkan diri di hadapan Allah agar Dia yang meninggikan mereka. Mereka tidak menghapus keinginan mereka, tapi mereka melatihnya agar tidak menjadi tuan yang menguasai diri. Mereka membiarkan dirinya merasa kecil di hadapan Allah, agar bisa menjadi lebih besar di sisi-Nya.
Mereka menyembelih nafsunya tanpa menggunakan pisau.
0 notes
punya-debusemesta · 15 days ago
Text
“Aku adalah pengemis dan anak pengemis. Begitulah ayah dan kakekku.” - Ibnu Taimiyah
Mereka tidak memiliki apa-apa. Mereka sadar, sejak awal, bahwa diri mereka hanyalah pengemis di hadapan-Nya. Setiap tarikan napas, setiap detik yang berjalan, setiap kekuatan yang mereka miliki bukanlah milik mereka—semuanya hanya titipan, hanya pemberian yang bisa diambil kapan saja. Mereka tidak pernah merasa memiliki kekuatan sendiri, tidak pernah merasa hebat karena usaha mereka. Sebab jika bukan karena Allah yang mengizinkan, sekeras apa pun mereka berusaha, mereka tidak akan sampai ke mana pun.
Tapi mereka tidak diam. Mereka tetap bergerak, tetap berjuang, tetap bekerja keras. Bukan karena mereka yakin pada diri sendiri, tapi karena mereka yakin pada Allah. Mereka tahu bahwa Dia tidak akan menolong orang yang hanya berpangku tangan. Maka mereka berlari, bukan karena percaya pada langkah mereka, tapi karena percaya bahwa Allah akan membimbing ke mana kaki mereka harus melangkah. Mereka mengangkat beban, bukan karena merasa kuat, tapi karena tahu bahwa Allah akan memberi kekuatan kepada mereka yang mau berusaha.
Ketergantungan mereka pada Allah tidak membuat mereka lemah, justru membuat mereka lebih kuat. Mereka tidak lagi takut pada kegagalan, karena mereka tahu yang menentukan hasil bukan mereka. Mereka tidak lagi takut pada kesulitan, karena mereka sadar bahwa bukan mereka yang harus menghadapinya sendirian. Mereka hanya perlu berusaha, dan selebihnya... biarlah Allah yang menyempurnakan.
Mereka ini seperti seorang budak yang tidak memiliki apa-apa, tapi tetap bekerja tanpa lelah karena yakin bahwa tuannya Maha Pemurah. Seperti seorang anak kecil yang tahu dirinya lemah, tapi tetap berlari dengan semangat karena tahu ada tangan kuat yang selalu siap menangkapnya jika ia terjatuh.
Mereka tidak memiliki apa-apa, tidak mengandalkan siapa-siapa, kecuali satu: Rabb mereka. Dan itu cukup.
0 notes
punya-debusemesta · 15 days ago
Text
Ahmad, remember this, deep in your heart. Being diligent, fighting laziness and desires, and working hard—none of it means you are sacrificing your happiness in this moment. You are not losing anything precious. You are investing.
Imagine a person planting a seed, nurturing it with patience, even when there are no visible results. Others may rush to harvest something quick and fleeting, but that kind of joy fades fast. Meanwhile, the seed that is cared for with steadfastness and perseverance will grow into a strong, towering tree—bearing sweet fruits, offering shade, and lasting through time.
That is what you are doing now. You are building something far greater than momentary pleasure, something that will endure beyond fleeting desires. True happiness is not found in surrendering to whims, but in conquering them. In choosing what is right, even when it is hard. In keeping your promises to yourself. In guiding your desires rather than being ruled by them.
And if you are blessed—if Allah wills—He will grant you glimpses of that joy even in this world, before you reach its fullness in the hereafter. Nothing you endure is wasted. Every moment you hold on, every time you resist, every time you choose righteousness over indulgence, it is all recorded. None of it is in vain.
So when you feel weary, when temptation whispers promises of fleeting comfort, remember this: you are not giving up happiness. You are crafting a joy that is deeper, stronger, and everlasting. And one day, you will look back with gratitude, knowing that you chose the path worth walking.
0 notes
punya-debusemesta · 16 days ago
Text
Keyakinan Ini Milikku
Keyakinan bukan sekadar sesuatu yang kusimpan diam-diam di dalam hati. Ia bukan rahasia yang hanya aku genggam tanpa tindakan. Jika aku meyakini sesuatu, maka aku harus berjuang untuknya. Aku harus menyuarakannya, menjelaskannya, meski dunia tak selalu mau mendengar.
Ada dinding kekhawatiran yang harus kuhancurkan, ada restu yang harus kudapatkan, ada keteguhan yang harus kubuktikan—bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada diriku sendiri.
Aku tahu jalan ini tidak akan mulus. Akan ada tatapan ragu, pertanyaan yang menyelidik, bisikan yang mempertanyakan apakah aku benar-benar tahu apa yang kulakukan. Mungkin mereka tak mengatakannya langsung, tapi aku bisa merasakannya. Tapi aku tak akan mundur hanya karena itu.
Aku tidak butuh perlawanan, yang kubutuhkan adalah kepercayaan. Tidak ingin membantah, hanya ingin menenangkan.
Aku berbicara dengan segala ketulusan yang kupunya. Dengan hati yang percaya bahwa seiring waktu, mereka akan melihat. Bahwa ini bukan sekadar keinginan sesaat, bukan angan-angan kosong yang akan hancur ketika diuji.
Aku ingin mereka tahu—aku bisa bertahan, aku bisa istiqomah, aku bisa berjuang sampai garis akhir.
Dan jika jalanku harus berliku, biarlah. Aku tidak takut. Hidup tidak pernah dirancang untuk berjalan lurus tanpa rintangan. Jika harus memutar, aku akan tetap melangkah. Jika harus jatuh, aku akan bangkit lagi. Aku tidak akan menyerah, tidak pada keadaan, tidak pada diriku sendiri.
Karena ini bukan sekadar pilihan. Ini adalah keyakinanku. Dan aku akan mewujudkannya, satu langkah, satu usaha, satu doa—hari demi hari, sampai aku sampai.
1 note · View note
punya-debusemesta · 17 days ago
Text
Ramadan isn't just for the pure ones, it's for the broken ones, the ones who have found themselves so far from faith, the ones who have forgotten the beauty of Islam. It's for everyone, to find themselves in this beautiful month, to let go of what's keeping them from seeing the real beauty of this religion. And even if it's only for 30 days, I pray that your soul is deeply touched by its beauty.
156 notes · View notes
punya-debusemesta · 21 days ago
Text
Dalam kegelapan, ia teringat bahwa hidup bukan tentang tidak pernah tergelincir, tetapi tentang bagaimana seseorang bangkit setelahnya. Bahwa waras adalah pilihan, bukan sekadar keadaan. Bahwa Allah selalu ada, bahkan ketika dunia terasa terlalu sunyi.
Ia menarik nafas dalam. Mungkin esok, ia akan lebih banyak diam. Bukan karena menyerah, tetapi karena memilih untuk tak lagi bertarung di medan yang hanya akan menguras dirinya sia-sia. Ia akan diam untuk memahami, untuk mengatur langkah, untuk kembali mengingat bahwa perjalanan ini masih panjang.
Malam ini mungkin terasa berat, tapi ada fajar yang menunggu. Ada harapan yang belum mati. Ada dirinya sendiri yang tak akan pernah dibiarkan hilang begitu saja.
Dan dengan itu, ia menutup matanya. Tidak untuk lari, tetapi untuk mempersiapkan diri menghadapi esok dengan lebih kuat.
0 notes
punya-debusemesta · 22 days ago
Text
Tenang yang Sejati
Kupikir kepuasan itu datang
sekali sentuh,
berkali jatuh,
hilang sebelum kugenggam.
Lalu kubiarkan gejolak berteriak,
kutatap lurus badai yang datang,
tak lari, tak goyah, tak tumbang,
dan aku tetap di sini.
Bukan haus yang tersisa,
bukan hampa yang mengikat muram,
tapi ketenangan yang meresap kedalam,
diam, kokoh, tak tergoyahkan.
Ternyata, menghadapi itu lebih manis,
lebih kuat, lebih nyata.
Karena menguasai diri sendiri,
adalah kejayaan yang sesungguhnya.
1 note · View note
punya-debusemesta · 22 days ago
Text
Bagaimana Kalau Orang yang Kita Hormati dan Sayangi Menunjukkan Sisi Buruknya?
Tumblr media
Pernah nggak sih, kamu merasa bingung atau frustrasi karena seseorang yang kamu hormati—entah itu orang tua, guru, mentor, atau bahkan senior di tempat kerja—menyampaikan sesuatu dengan penuh keyakinan, tapi di saat lain, mereka sendiri nggak menjalankan apa yang mereka ajarkan?
Misalnya, seorang ayah yang selalu menasihati anaknya untuk hidup hemat, tapi dia sendiri sering boros saat belanja. Atau bos di kantor yang menekankan pentingnya kedisiplinan, tapi justru sering datang terlambat. Dan yang paling sering dialami banyak orang—ibu yang menyuruh anaknya untuk tenang dan nggak mudah marah, tapi malah gampang tersulut emosinya sendiri.
Buat kita yang ingin memahami sesuatu secara mendalam dan logis, ketidakkonsistenan seperti ini bisa bikin frustrasi. Kita mungkin berpikir, “Kalau mereka sendiri nggak bisa menjalankan apa yang mereka katakan, kenapa aku harus mendengarkan?”
Aku sendiri pernah mengalami ini, dan aku yakin banyak dari kita juga pernah berada di situasi yang sama. Rasanya seperti menghadapi dinding—ingin berdiskusi, tapi selalu mentok karena pihak lain lebih defensif daripada terbuka.
Tapi sebelum kita buru-buru kesal, mari kita coba melihat ini dari sudut pandang yang lebih luas.
Kenapa Ini Terjadi?
1. Banyak orang berbicara berdasarkan pengalaman, bukan teori.
Orang tua kita, misalnya, mungkin menyarankan sesuatu karena mereka pernah mengalami dampaknya, bukan karena mereka sudah sempurna dalam menjalankannya.
2. Usia membentuk pola pikir yang sulit diubah.
Semakin tua seseorang, semakin sulit mereka menerima pemikiran baru, apalagi jika itu datang dari orang yang lebih muda.
3. Mood dan emosi sangat memengaruhi cara seseorang berbicara.
Ini lebih sering terjadi pada perempuan, tapi nggak terbatas hanya pada mereka. Kadang orang berbicara dengan semangat di satu waktu, tapi di waktu lain, suasana hati mereka berubah dan membuat mereka bertindak sebaliknya.
4. Manusia memang nggak selalu konsisten.
Kita semua punya idealisme, tapi kenyataan sering kali nggak semudah itu. Orang yang mengajarkan kebaikan pun bisa tergelincir, bukan karena munafik, tapi karena mereka juga manusia yang punya kelemahan.
Lalu,
Bagaimana Cara Kita Menghadapinya?
1. Jangan Langsung Menganggap Mereka Munafik
Kadang, mereka nggak sadar bahwa mereka nggak konsisten. Daripada langsung menghakimi, lebih baik kita lihat apakah ada alasan di balik ketidakkonsistenan itu.
Contoh:
Seorang ibu menyuruh anaknya tidur lebih awal, tapi dia sendiri sering begadang. Mungkin dia punya kebiasaan itu sejak muda dan sulit mengubahnya, tapi tetap ingin anaknya punya pola tidur yang lebih sehat.
2. Gunakan Pendekatan yang Lebih Halus
Kalau kita merasa terganggu dengan ketidakkonsistenan seseorang, kita bisa mencoba mengkomunikasikannya dengan lebih lembut.
Daripada berkata:
“Umi kan bilang harus sabar, tapi kenapa umi sendiri gampang marah?”
Coba ganti dengan:
“Aku ngerti kok, kadang susah buat tetap sabar. Tapi aku pengen belajar dari umi, gimana caranya?”
Dengan begitu, kita nggak terkesan menyerang, tapi malah membuka ruang diskusi yang lebih sehat.
3. Fokus ke Aksi, Bukan Kata-Kata
Terkadang, lebih baik membiarkan tindakan kita berbicara daripada terus berdebat. Jika kita merasa sesuatu itu benar, jalani saja dan tunjukkan hasilnya.
Contoh:
Jika kita belajar tentang pola tidur yang sehat dan ingin membuktikan manfaatnya, cukup lakukan tanpa harus berdebat panjang dengan orang tua. Kalau mereka melihat kita lebih segar dan produktif, mereka mungkin akan lebih terbuka untuk mendengarkan.
4. Pahami bahwa Mengalah Bukan Berarti Salah
Kadang dalam hubungan—terutama dengan orang tua—lebih bijak untuk mengalah daripada terus beradu argumen. Bukan berarti kita menyerah, tapi kita memilih pertempuran yang lebih penting.
Contoh:
Jika seorang ibu memberikan banyak video atau artikel baru sebelum kita sempat mendalami satu hal, kita bisa merespons dengan:
“Wah, ini menarik juga! Tapi yang tadi itu aku masih ingin coba dulu, biar hasilnya maksimal.”
Dengan begitu, kita tetap menghargai mereka tanpa harus terbebani.
5. Jangan Terlalu Serius dengan Perubahan Mood Seseorang
Terutama dalam berinteraksi dengan orang yang mood-driven, kadang mereka hanya butuh didengar. Jika mereka sedang emosional, lebih baik kita tenangkan diri dulu sebelum membalas.
Contoh:
Jika ibu sedang marah karena sesuatu yang nggak masuk akal, kita bisa merespons dengan lebih tenang, seperti:
“Aku ngerti umi lagi capek. Mau ngobrol lagi nanti pas umi udah tenang?”
Kesimpulan: Harus Tetap Waras Meskipun kita sering Melihat Ketidaksempurnaan, Kita Juga Tidak Sempurna 'kan?
Ketika kita menghadapi orang yang nggak selalu konsisten dengan apa yang mereka katakan, kita punya dua pilihan: kesal atau memahami.
Memahami bukan berarti membenarkan, tapi kita belajar untuk mengelola situasi dengan lebih bijak. Orang tua, mentor, atau atasan mungkin nggak selalu sempurna, tapi bukan berarti semua yang mereka katakan salah. Kita bisa memilih untuk mengambil ilmunya, tanpa harus mengikuti ketidakkonsistenannya.
Kuncinya adalah sabar, komunikasi yang baik, dan fokus pada hal yang benar-benar penting. Pada akhirnya, kita nggak bisa mengontrol orang lain, tapi kita bisa mengontrol cara kita merespons mereka.
Dan siapa tahu? Dengan sikap yang lebih sabar dan bijak, mungkin suatu hari nanti, mereka pun akan belajar sesuatu dari kita.
1 note · View note