Text
Belajar Bahasa Sunda itu Perlu
Hai kamu yang baca ini, kamu orang mana? Sebenernya aku suka bingung sih ketika orang tanya aku tuh orang mana, maksudnya tuh lahir dimana atau aku suku apa? Karena aku lahir di Bogor dan besar di Bogor juga, tapi kalau maksudnya suku, harusnya suku jawa sih. Aku dibesarkan di Bogor, tepatnya kabupaten Bogor tapi SMP dan SMK di kota Bogor dan aku tidak mahir berbahasa daerah yang harusnya di Bogor tuh bahasa sunda. Loh kenapa enggak Bil? Kan belajar bahasa Sunda dari SD sampai SMK. Kenapa gak bisa? Karena Bogor tempatku tuh mepet-mepet ke Depok jadi bahasa sundanya ya seadanya gitu. Aku belajar bahasa sunda di sekolah, tapi ya asal hapal saja saat itu. Aku gak pernah merasa bahwa aku harus bisa bahasa sunda, yang penting ya aku bisa ngerjain ujian terus dapet nilai gak remed. Eh… ini bukan berarti orang Bogor gak bisa bahasa sunda ya, ini mah memang akunya saja yang gak berusaha untuk bisa.
Aku gak pernah merasa masalah ketika aku gak bisa bahasa sunda, karena sebenarnya aku ngerti kalau orang ngomong sedikit-sedikit tapi gak bisa untuk bales ngomong pakai bahasa sunda. Ya intinya selama tinggal di Bogor aku belum merasa perlu untuk bisa bahasa daerah. Terus kalau ada yang nanya ‘berarti bisa bahasa jawa dong? Kan katanya orang jawa’. Aku pun akan menjawab ‘tidak bisa’. Oke, jadi memang aku gak bisa bahasa daerah manapun. Sampai akhirnya aku mencari ilmu ke kota Kembang. Bandung, katanya orang Bandung itu halus-halus dan memang mayoritas akan berbahasa sunda. Walaupun begitu, karena aku tinggal di lingkungan kampus yang mahasiswanya berasal dari banyak daerah, jadi bahasa sunda pun gak selalu digunakan. Lagipula orang-orang sekitarku paham bahasa Indonesia. Sampai sekitar 7 semester aku di Bandung, aku masih merasa belum perlu menggunakan bahasa daerah.
Hingga suatu ketika, Sabtu 9 Februari 2019 di sebuah desa tepatnya di Papak Serang, Ciparay, Kabupaten Bandung, malam yang tidak disangka-sangka datang. Malam itu aku bersama Pak Dadang dan Akina-san diperbolehkan untuk mengenalkan Saung Himelnah (untuk mengetahui lebih lanjut saung Himelnah itu apa, bisa baca post oleh fluffyicad atau buka ig @saunghimelnah) di sela-sela pengajian. Kondisi warga di sana, mayoritas bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Sunda dan orang tua di sana kurang mengerti bahasa Indonesia. Sedangkan si aku yang akan berbicara di depan mereka, tidak bisa bahasa sunda. Bayangkan apa yang aku rasakan saat itu? Malu, kenapa dari kecil gak bener-bener belajar bahasa sundanya, sekarang baru merasakan apa manfaat sesungguhnya bisa bahasa sunda itu. Ya ketika harus turun ke masyarakat yang mayoritasnya tidak mengerti bahasa Indonesia.
Malam itu menjadi malam belajar bagi aku, Pa Dadang dan Akina-san. Pak Dadang belajar berbicara di depan orang banyak, Akina-san dan aku tersadarkan untuk belajar bahasa sunda lebih baik. Di malam itu memang aku tetap menggunakan bahasa Indonesa (da emang gak bisa bahasa sunda), tapi setelahnya aku berniat belajar bahasa sunda (mungkin ada yang bersedia mengajarkan) dan bahasa jawa juga karena keluarga besarku berbahasa jawa (agar tidak banyak diam kalau lagi kumpul keluarga).
Jadi teman-teman mencintai bahasa daerah itu memang perlu, kalau cinta ya dipelajari, kalau sudah belajar ya dipahami, kalau sudah paham ya dilakukan. Jangan malu untuk berbahasa daerah dan jangan malu untuk belajar bahasa daerah. ;)
4 notes
·
View notes
Text
Aku Suka Langit
Kalau ada yang nanya ”Kamu suka fajar, senja, atau langit berbintang?” Aku akan jawab “Aku suka langit”. Entah itu biru, jingga, lembayung, atau berkilauan.
“Kalau langit mendung, kamu suka?”
Iya, aku tetap suka, bagiku langit tidak pernah kehilangan keindahannya. Rasanya ketika menatap langit itu nyaman, damai, dan menenangkan. Aku suka langit bagaimanapun kondisinya. Langit penuh awan, langit bersih tanpa awan, langit dengan awan tipis nan lebut, aku suka.
Aku selalu bahagia karena aku masih diberi kesempatan untuk memandang langit-Nya esok hari setelah ku memejamkan mata, karena ku tak tahu kapan aku akan berhenti menatap langit.
4 notes
·
View notes
Text
KATA DAN RASA
Menulis atau mengucap kata menurutku adalah salah satu cara mengungkapkan rasa. Memangnya rasa bisa diungkapkan?
Bagiku bisa, ya salah satunya dengan kata. Tapi bukan sekedar kata, bukan sekedar tulisan sebuah kata, atau kata-kata yang tak memiliki arti.
Menulis itu mudah, jika hanya menuliskan kata-kata tanpa rangkaian. Layaknya “Mimpi pergi langit apel engkau putih”, adakah rasa yang terungkapkan?
Kalau kata mu ada, ku rasa kamu ‘berbeda’. Aku masih kesulitan untuk menulis kata dengan rasa. Tapi kalau tidak sulit buat apa terus dilakukan?
Bukankah yang menantang itu lebih asik? Kalau kata mu tidak, maaf kita ‘berbeda’.
Kata adalah ungkapan rasa, rasa adalah alasan mengapa kata itu ada. Coba bayangkan kalau kata tidak ada, mungkin kita akan diam dan tak saling mengerti.
Bahkan rasa yang dipendam pun butuh kata, jelas untuk menyembunyikan rasa tersebut.
Aku masih belajar, sama seperti mu mungkin. Belajar mengungkapkan rasa dari kata yang ku rangkai lalu ku tuangkan dalam tulisan.
3 notes
·
View notes