Text
Oh Begini Rasanya...
Dengan agak terburu-buru saya berjalan memasuki gerbang sekolah. Di sana sudah ada belasan anak berseragam putih merah yang langsung berebut menyalami dan menciumi tangan saya. Senyuman mereka segera menceriakan pagi saya. Sejenak saya berkata dalam hati, “Oh begini rasanya jadi guru..”
Momen itu tidak hanya terjadi satu kali. Pertanyaan yang sama beberapa kali muncul ketika berjalan menyusuri selasar sekolah dan ada murid di dalam kelas yang melambaikan tangan sambil tersenyum atau ketika ada murid datang menghampiri dan bertanya, “Pak, kapan ngajar di kelas kami lagi?”.
Jadi sebenarnya bagaimana mendeskripsikan perasaan-perasaan di atas? Entahlah. Pokoknya perasaan itu membuat hati ini nyaman dan bibir ingin terus tersenyum.
Perasaan-perasaan itu saya rasakan saat mengikuti kegiatan Praktik Pengalaman Mengajar (PPM), salah satu bagian dari pelatihan intensif Pengajar Muda angkatan VI. Para calon Pengajar Muda harus berlatih mengajar di sekolah-sekolah dasar yang berlokasi di sekitar tempat pelatihan selama satu minggu.
Saya bersyukur ada kegiatan seperti PPM. Saya jadi punya kesempatan untuk mencicipi rasanya mengajar anak-anak SD. Awalnya, saya merasa khawatir saat akan memulai PPM. Saya takut membayangkan bagaimana akan menghadapi anak-anak dengan segudang perilaku mereka.
Setelah PPM selesai, saya bersyukur. Bukan, bukan karena saya tidak menemui anak-anak dengan segala perilakunya yang membuat saya rajin menghela nafas. Tetapi justru karena saya menghadapinya dan ternyata itu tidak semenakutkan yang saya kira. Saya justru belajar macam-macam pendekatan yang bisa digunakan untuk menghadapi tingkah laku murid-murid yang beraneka ragam.
Di hari terakhir kegiatan PPM, ternyata pihak sekolah menyiapkan sebuah acara perpisahan sederhana. Di akhir acara tersebut, anak-anak kelas VI menyanyikan beberapa lagu perpisahan. Di tengah-tengah penampilan, tiba-tiba beberapa anak perempuan mulai menangis haru. Ketika melihat hal itu, tahu-tahu ada sesuatu yang berdesir di dada.
Saya yakin pengalaman seminggu ini masih belum ada apa-apanya dengan kondisi yang sesungguhnya nanti ditemui di lokasi penempatan. Saya juga yakin bukan hanya momen-momen penuh suka saja yang akan saya temui. Tapi saya belajar satu hal hari ini. Ketika ada momen-momen yang membuat senyum saya tidak berhenti atau ada desiran terasa di dada, saya hanya tinggal menyimpannya dalam kotak kayu imajiner saya. Ketika masa-masa sulitdatang, saya hanya tinggal mengeluarkan simpanan di kotak kayu saya dan menjadikannya sebagai sumber semangat.
Semakin saya ingat momen-momen satu minggu ini, saya semakin bersemangat untuk memulai petualangan di lokasi penempatan. Semoga selama masa penempatan nanti, saya tidak berhenti berkata, “oh begini rasanya...”
1 note
·
View note
Text
Dilema Memberi
Tidak seharusnya kata dilema disandingkan dengan kata memberi. Karena seharusnya perbuatan memberi akan selalu membawa kebaikan bagi yang diberi maupun si pemberi. Tapi penggunaan kata seharusnya hanya berarti realitanya jauh berbeda.
Beberapa hari yang lalu beberapa teman meng-share sebuah artikel yang sama di Facebook mereka. Artikel tersebut secara garis besar menjelaskan bahwa pengemis-pengemis yang ada di sudut-suduk kota sebenarnya dinaungi oleh kartel-kartel, yang kepada merekalah para pengemis itu harus menyerahkan uang hasil 'pekerjaan' mereka selama seharian mengemis. Hasilnya, katanya, bisa membuat para kartel itu kaya raya.
Artikel itu sebenarnya ditulis dengan pengamatan yang dilakukan di sebuah kota di luar negeri. Namun, saya juga sudah sering mendengar tentang fenomena serupa di kota-kota besar di Indonesia. Selain pengemis, yang biasa saya dengar juga ada kartel pengamen jalanan.
Warga masyarakat yang merasa iba biasanya akan memberikan uang receh mereka kepada para pengemis atau pengamen yang mereka lihat di perempatan-perempatan jalan raya atau trotora-trotoar. Orang-orang yang memberi itu berpikir bahwa mereka telah melakukan perbuatan mulia dengan memberikan uang yang bisa dipakai untuk menyambung hidup para pengemis itu. Padahal, sebagian besar uang tersebut justru jatuh ke tangan para kartel yang akan menikmatinya.
Saya pun dulu termasuk orang yang seperti itu. Saya biasanya menyiapkan uang receh khusus yang akan saya berikan setiap bertemu pengemis yang memunculkan rasa iba. Bahkan saya selalu merasa kesal setiap melihat papan-papan reklame layanan masyarakat yang dipasang Pemkot Yogyakarta yang isinya menghimbau untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. Saya pikir kenapa harus membatasi keinginan orang untuk memberi dan membatasi rezeki yang bisa diperoleh kaum termarjinalkan itu.
Tapi semakin lama saya semakin paham tujuan di balik pesan reklame itu. Pertama, ya untuk menghindari pemberian keuntungan bagi kartel-kartel itu (walaupun saya tidak yakin orang-orang pemkot menyadari tujuan ini). Kedua, ada semacam pendapat yang mengatakan bahwa pengemis-pengemis itu akan semakin malas berusaha kalau mereka bisa hidup dari mengemis.
Sepertinya juga salah kalau kita pukul rata dan menganggap semua pengemis itu pemalas dan anak buahnya kartel. Pernah suatu kali saya dan teman-teman di organisasi dulu membagi-bagikan makanan di jalanan. Saya sempat mengobrol dengan seorang ibu-ibu. Dia bilang keluarganya berasal dari sebuah desa di Gunung Kidul. Suaminya hanya bekerja serabutan di sana, dan dia memutuskan untuk mengemis di Jogja beberapa hari dalam seminggu sebagai bentuk usaha meraih penghasilan tambahan bagi keluarganya. Well, saya juga tidak bisa membuktikan apakah masih ada bagian-bagian yang tidak diceritakan ibu itu.
Semakin hari saya juga semakin tidak mau memberikan uang kepada pengemis, apalagi yang masih berusia produktif. Mungkin, sebenarnya masih ada pekerjaan-pekerjaan yang lebih bermartabat dari pada mengemis, misalnya menjadi pembantu rumah tangga, pelayan, buruh, dan sebagainya. Tapi saya juga tidak berani membuat judgement atas pilihan mereka karena saya tidak pernah berdiri di atas sepatu mereka.
Bagi sebagian orang dilema memberi itu muncul. Di satu sisi, merasa iba dan ingin menyumbang sesuatu. Tapi di sisi lain, kalau asal memberi, yang diuntungkan adalah para kartel atau kalau tidak, hanya akan semakin meningkatkan ketergantungan si pengemis.
Saya pribadi akhirnya mencari pendekatan lain untuk memberi. Akhir-akhir ini justru saya semakin mudah merasa iba pada pedagang kecil, seperti penjaja kios pinggir jalan, pedagang keliling yang membawa barang dagangan mereka dengan dipanggul, bersepeda, atau dengan gerobak, dan sebagainya. Rasanya iba sekali kalau melihat dagangan mereka masih banyak padahal sudah malam.
Bagi saya sedekah yang lebih bermakna adalah ketika saya membeli sesuatu dari pedagang-pedagang tersebut (walau terkadang tidak butuh), membayarkan uang lebih, dan tidak meminta kembalian. Yang pasti berdagang seperti itu jauh lebih bermartabat karena menandakan mereka telah berupaya lebih untuk menyambung hidup.
Kalau memang memiliki niat untuk memberi, sekarang juga sudah semakin banyak organisasi dan komunitas sosial yang bisa menjadi pilihan saluran sumbangan dari kita. Tapi kita tidak boleh asal memilihnya. Pilih organisasi dan program-program yang rekam jejaknya jelas serta memiliki akuntabilitas pelaporan kegiatan dan keuangan yang baik. Nilai lebih yang lain dari cara ini adalah kita juga bisa tidak melulu menyumbangkan uang, tapi juga bisa menyumbangkan waktu, tenaga, dan ide-ide kita.
Rupanya zaman sekarang memberi dengan berlandaskan niat yang tulus saja tidak cukup. Perlu kejelian juga untuk memilih cara-cara dan target pemberian yang tepat, agar apa yang kita berikan benar-benar bisa bermanfaat.
2 notes
·
View notes
Photo
Bersama #anak anak #PulauMoyo. Pulau #Moyo adalah sebuah pulau di sebelah utara kota #Sumbawa. Photo taken by @hpranadipa. #kids #elementaryschool #instanusantara #moyo #sumbawa #NTB #island
4 notes
·
View notes
Photo
God doesn't call the qualified. He qualifies the called. #instapray #quoteoftheday
0 notes
Text
The aims of education ought to be “vitality, courage, intelligence and sensitiveness” in words of Bertrand Russell.
Submit your own “What should be the Purpose of Education?” post at http://thelearningbrain.tumblr.com/submit
4 notes
·
View notes
Text
Purpose of Education
Purpose of Education
Education should help you to become an independent learner who knows how to pursue their interests and how to think for themselves. Furthermore it should fuel passion and curiosity.
Submit your own “What should be the Purpose of Education?” post at http://thelearningbrain.tumblr.com/submit
14 notes
·
View notes
Link
The Purpose of Education
Easy.
The purpose of education is to prepare students for the real world. Now, it does this in many, many ways, but I’ll list the most important ones. It readies you
1) Academically. This one should really be a no-brainer, huh? Learning stuff is very important, indeed—however, the way in...
23 notes
·
View notes
Photo
#talasofili : orang yang sangat menyenangi laut #ocean #underwater #snorkling #kepulauanseribu #pulausemakdaun #picoftheday
0 notes
Photo
Good morning from Semak Daun Island (at Pulau Semak Daun)
1 note
·
View note
Photo
It was now about noon, and darkness came over the whole land until three in the afternoon, .... Jesus called out with a loud voice, “Father, into your hands I commit my spirit.” When He had said this, He breathed his last.
- Luke 23: 44, 46 (NIV)
Good Friday and Happy Easter everyone!
0 notes
Photo
Namanya Pak Hans Watem. Saya masih ingat sampai sekarang salah satu ucapan beliau:
Hidup kami memang terbatas, tapi bukan berarti kami tidak bisa berbagi, toh?"
*Abaikan muka komuk yang ada di sebelah kanan :p*
2 notes
·
View notes
Quote
Hidup adalah serangkaian kejutan yang akan mempertanyakan kesiapan kita.
Novel Eloy, hlm. 276
1 note
·
View note
Text
Pulang Kampung (bag. 2)
Baca tulisan sebelumnya Pulang Kampung
Tulisan ini merupakan lanjutan cerita dari perjalanan saya ke kampung halaman ayah saya di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Selain melakukan aktivitas-aktivitas ala penduduk desa, saya juga pergi ke beberapa tempat tujuan traveling yang menarik.
Yang pertama adalah Salib Kasih. Salib Kasih adalah sebuah monumen berbentuk salib berukuran besar yang menjadi penanda penyebaran agama Kristen di tanah Tapanuli oleh Nommensen, seorang misionaris dari Jerman. Salib Kasih terletak di Tarutung, ibukota Kab. Tapanuli Utara. Salib tersebut berada di atas sebuah bukit, sehingga untuk mencapainya harus sedikit melewati jalan menanjak. Begitu sampai di atas, bisa terlihat pemandangan ke arah kota Tarutung yang berupa lembah dan sangat indah.
(foto diambil dari http://blueblue.blog.stisitelkom.ac.id/2013/01/05/salib-kasih/toba-explorer-ii-off-the-tourist-trail-salib-kasih-tarutung/)
Menghadap ke arah kota Tarutung (foto diambil dari http://m-explorer.blogspot.com/2012/07/tarutung-beautiful-religious-tourism-in.html)
Tempat kedua, destinasi yang rasanya wajib didatangi kalau ke Sumatra Utara, apalagi kalau bukan Danau Toba. Perjalanan dari Medan ke Parapat (kota yang paling ramai didatangi wisatawan di tepian Danau Toba) dapat ditempuh selama 4 sampai 5 jam. Apabila perjalanan dari arah Tarutung, kurang lebih memakan waktu tempuh yang sama.
Salah satu sisi Danau Toba
Setelah sampai ke Parapat, jangan lupa juga menyeberang ke Desa Tomok di Pulau Samosir. Biaya menyeberangnya hanya Rp 22.000 apabila menggunakan perahu biasa. Bisa juga menyewa speed boat dengan biaya 300 sampai 400 ribu yang berkapasitas 4 sampai 6 orang. Dalam perjalanan ke Tomok, kita akan dibawa untuk melihat objek 'Batu Gantung' yang terkenal karena cerita legenda yang melatarinya.
(Sumber foto dan cerita legenda Batu Gantung bisa dilihat di http://ingananta.blogspot.com/2010/11/asal-usul-kota-parapat-dan-batu-gantung.html)
Sesampainya di Tomok, terdapat beberapa objek dan atraksi yang bisa dilihat. Pertama, ada rumah adat Batak dan patung Sigale-gale. Kemudian ada makam raja-raja kuno dan yang ketiga, ada museum. Sayangnya kemarin saya hanya sempat berkunjung melihat patung Sigale-gale. Di sepanjang jalan menuju ke 3 objek itu, dipenuhi lapak-lapak yang menjual berbagai pernak-pernik untuk oleh-oleh.
Dermaga Tomok
Foto saya, adik, opung, dan namboru (tante) di depan patung Sigale-gale.
Patung Sigale-gale itu juga ada ceritanya. Dahulu kala, raja mempunyai seorang anak laki-laki, yang sangat disayang oleh sang raja karena ialah calon penerus takhta. Sayangnya, karena suatu penyakit, anak laki-laki tersebut meninggal. Raja sangat bersedih karena tragedi itu. Akhirnya, untuk mengurangi kesedihan raja, maka dibuatlah patung yang menyerupai si anak laki-laki. Setelah selesai, dibuatlah upacara, di mana tabib memanggil roh si anak laki-laki, yang kemudian merasuki patung tersebut. Karena kerasukan roh, maka patung tersebut dapat menari mengikuti musik tradisional Batak selama tujuh hari tujuh malam. Namun di hari ke 8, roh tersebut keluar dan patung berhenti menari. Saat ini, patung yang ada merupakan replika dan tariannya digerakkan oleh manusia.
Bagian depan salah satu rumah adat Batak. Bangunan ini dibangun tanpa menggunakan paku, hanya menggunakan pasak dan susunan kayu yang sedemikian rupa. Kalau melihat secara keseluruhan, atap bangunan selalu rendah pada bagian tengah, tapi tinggi pada bagian depan dan belakangnya. Itu merupakan salah satu filosofi masyarakat Batak yang selalu mengusahakan agar standar hidup anak (bagian depan) harus lebih tinggi dari orangtuanya.
Destinasi terakhir sebelum saya pulang adalah Kota Medan. Sebenarnya ada beberapa objek menarik di kota ini. Sayangnya, karena keterbatasa waktu, saya hanya sempat pergi ke satu kawasan, namanya Merdeka Walk.
Kawasan ini terdapat di salah satu sisi Lapangan Merdeka, yang sering dipakai warga Medan untuk berolahraga. Merdeka Walk sendiri merupakan deretan restoran dan kios yang biasa dipakai sebagai tempat nongkrong warga Medan. Bagi penyuka duren, jangan lupa cobain pancake durian di restoran Nelayan yang salah satu cabangnya ada di Merdeka Walk.
(foto diambil dari http://ciricara.com/2013/01/31/ciricara-cara-membuat-pancake-durian-yang-enak/)
Reuni sama 2 teman KKN dulu, @swetha2311 yang sedang menapaki karir sebagai sosialita Medan, dan @Pu3morang yang sedang mempersiapkan diri menjadi calon PNS dan calon istri yang baik.
Di kawasan sekitar Lapangan Merdeka ini, terdapat banyak bangunan-bangunan tua peninggalan dari zaman Belanda. Salah satunya adalah jembatan Titi Gantung yang dibangun tahun 1885. Sampai saat ini, saya belum tahu bangunan apa sebenarnya yang ada di belakang jembatan tersebut.
(foto diambil dari http://www.panoramio.com/photo/34464705)
Jadi itu tempat-tempat yang saya kunjungi saat pulang kampung kemarin. Sebenarnya masih banyak destinasi-destinasi seru lainnya di Sumatra Utara. Suatu hari, pasti.
0 notes
Text
Menuju IM (bag. 4)
Baca tulisan sebelumnya Menuju IM bagian 1, bagian 2, bagian 3
Pada suatu sore beberapa hari setelah saya mengirim hasil medical check up saya, di sebuah kamar penginapan sederhana di kota Sumbawa, saya iseng-iseng membuka email dari handphone saya. Ternyata sudah ada sebuah email masuk. I read it and smiled literally from ear to ear. :D
Saya tersenyum karena apa yang saya inginkan, usahakan, dan doakan dijawab Tuhan dengan jawaban ‘ya’. Saya juga tersenyum karena langsung terbayang petualangan yang akan dijalani selama kurang lebih setahun ke depan. Pasti tidak mudah. Tapi karena tantangannya itu yang membuat kesempatan ini jadi semakin spesial.
Tapi di antara semuanya, saya merasa paling senang karena tahu saya akan bisa sedikit berkontribusi untuk membelokkan arah hidup anak-anak di pelosok sana melalui pendidikan. Pastinya saya akan mempersiapkan diri saya untuk menjalani itu semua.
Well, saya tidak mau terlalu memasang ambisi yang muluk-muluk. Seperti Taufik Ismail pernah bilang dalam puisinya,
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil, Tetapi jalan setapak yang Membawa orang ke mata air
Saya siap menjadi jalan setapak yang membawa orang ke mata air. Hopefully, so are you. :)
-Seri tulisan 'Menuju IM' selesai-
3 notes
·
View notes
Text
Terus Bergerak
Akhirnya hari ini datang juga. Hari di mana saya harus angkat kaki dari Jogja. Rasanya campur aduk. Tapi dua campuran utama adalah sedih dan excited di saat yang bersamaan.
Sedih karena Jogja sudah menjadi rumah kedua selama 4 tahun terakhir. Kepindahan ini seperti meninggalkan rumah dengan segala kenyamanannya.
Ada teman-teman terbaik dengan segala kekonyolannya, tapi saya yakin mereka akan jadi orang-orang hebat di masa depan. Ada kampus terbaik se-Indonesia, tempat saya menimba ilmu selama 4 tahun.
Ada warga Jogja dengan senyum dan keramahannya. Ada tempat-tempat wisata dan budaya yang seru untuk dikunjungi. Dan ada makanan-makanan enak yang kadang harga murahnya ga masuk akal.
Sudah beberapa hari terakhir ini, selalu ada hal yang bisa membuat sentimentil. Saat langit senja Jogja begitu indahnya, saat beli makan di warung-warung langganan, saat datang ibadah terakhir kalinya di gereja di Jogja, saat membeli tiket kereta yang akan membawa saya meninggalkan Jogja.
Juga terasa sentimentil saat melewati sudut-sudut kampus yang biasa dilewati dan saat mengepak pakaian, buku, dan barang lain untuk dikirim ke rumah.
Tapi sama seperti pakaian dan barang-barang itu, saya tahu saya cukup mengepak semua kenangan yang nyaman itu dalam kardus memori saya. Begitu sudah terbungkus rapi, saya tidak perlu merasa sedih berlarut-larut.
Apalagi ketika ada perasaan excited di saat bersamaan. Tentu saja excited bukan karena meninggalkan Jogja, tapi justru karena membayangkan apa yang akan dihadapi selanjutnya.
Saya merasa excited dan bersyukur karena ketika saya harus meninggalkan Jogja, saya akan memasuki petualangan-petualangan yang sepenuhnya baru. Bertemu orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat baru, dan pastinya menemui tantangan-tantangan baru.
Saya sedang bersemangat menyongsong sebuah petualangan baru, dan pastinya akan seru, selama setahun ke depan. Sebuah petualangan yang saya harap akan memberikan saya banyak pengalaman dan pembelajaran baru yang akan membuat saya terus berkembang.
Tentang perpindahan itu sendiri, sepertinya ini adalah salah satu hal yang paling pasti dalam hidup kita. Saya jadi teringat cerita Manusia Setengah Salmon dalam buku yang berjudul sama, yang ditulis oleh @radityadika.
Ia memberikan gambaran tentang ikan salmon yang setiap tahunnya selalu bermigrasi, melawan arus sungai, ribuan kilometer jauhnya, melawan segala bahaya, untuk bertelur. Perjalanan itu untuk memberi kesempatan pada kehidupan yang baru.
Saya juga teringat pada sebuah praktikum IPA saat masih SD dulu. Saya menumbuhkan kecambah di dalam wadah berbentuk kotak. Bagian atas dari biji kecambah tersebut tertutup, tapi terdapat sebuah lubang di ujung sisi yang lain dari kotak tersebut.
Awalnya kecambah tumbuh tegak lurus ke arah atas kotak tersebut. Tapi ketika sudah mentok, ia bisa tumbuh berbelok ke arah lubang, ke arah datangnya cahaya.
Bagi saya, analogi salmon dan kecambah menyadarkan kalau esensi makhluk hidup adalah untuk terus bergerak. Salmon harus terus bergerak untuk melahirkan kehidupan baru. Sementara kecambah harus terus bergerak untuk mendapatkan cahaya sumber hidupnya.
Berarti begitu juga seharusnya kita. Perpindahan menjadi sesuatu yang wajar. Kalau kata @radityadika, perpindahan menjadi prasyarat untuk pencapaian lebih dan kehidupan yang lebih baik. Manusia harus terus bergerak, karena hanya dengan demikian selalu ada ruang baru untuk terus berkembang.
Kali ini saya bergerak meninggalkan Jogja. Tapi siapa yang tahu suatu hari di masa depan saya akan bergerak kembali ke dalamnya.
Jogjakarta, 10 Maret 2013 23.50 @patrasio
0 notes
Quote
Kita terlalu banyak bicara, padahal bentuk komunikasi yang paling mengesankan adalah ketika saling diam dalam doa.
1 note
·
View note
Text
Hi! I'm giving away my books!
Dalam rangka pindahan dari kos kembali ke rumah, ada beberapa buku punya saya yang saya putuskan ga akan saya bawa. Saya pikir mungkin akan lebih berguna kalau dilungsurin ke orang lain yang tertarik.
Kalau kamu tertarik, hubungi saya lewat sms 08568563866 atau twitter @patrasio. Tapi, ada beberapa ketentuan:
Ditunggu paling lambat tanggal 9 Maret,
Satu orang maksimal satu buku,
Penyerahannya nanti ketemu langsung di kos saya atau kampus FISIPOL UGM, sebelum tanggal 10 Maret,
Wajib dibaca sampai selesai.
Ini daftar bukunya:
*yang sudah dicoret, berarti sudah taken*
1. The Pilgrimage - Paulo Coelho
2. The Fifth Mountain - Paulo Coelho
3. Pak Beye dan Politiknya - Wisnu Nugroho
4. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya - Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo
5. Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX - H. Heru Wahyukismoyo
6. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya - Ajahn Brahm
7. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3 - Ajahn Brahm
8. Detektif Ekonomi - Tim Harford
9. Rectoverso - Dee
10. Perahu Kertas - Dee
11. Supernova Partikel - Dee
12.Winter and Night - W. J. Rozan
13. Quantum Reader - Bobby DePorter
14. Buku-buku kuliah tentang ilmu politik, sistem dan sejarah sospol Indonesia, pengantar HAM, hukum internasional, polpem AS, globalisasi, and many more. For details, just ask me.
Terima kasih buat yang berminat. Make sure you contact me ASAP.
1 note
·
View note