Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bukan Dunia Kita #4
hujan meraba suara adzan subuh di atas langit surau, doa tergantung sementara dirinya sedang membayangkan, apa yang bisa dipeluk mungkin orang mati. mungkin cita-cita. mungkin tak ada.
sudah berapa banyak orang yang diselamatkan oleh air mata?
/2019
2 notes
·
View notes
Text
Bangun
Aku takut tak bisa bangun pagi setelah kita berpisah. Kau selalu mengingatkanku untuk meraba suara adzan subuh. "Kok meraba?" "Setelah meraba, kau akan menyetubuhinya, bukan?"
Tuhan, kegembiraan, dan kesedihan, disusun dari ingatan.
Wajahmu alarm. Mungkin jadi mimpi buruk.
/2019
2 notes
·
View notes
Text
bibliofil_murtad jalan-jalan
Anjing. Parkir susah. Kalau mau ke sini lebih enak jalan kaki. Ya maklum, lokasinya di gang padat penduduk yang sunyi dan adem. Kalau kamu ngeyel bawa motor atau mobil masuk ke gang, siap-siap mendorongnya. Saran aja sih daripada u digebuk warga karena kegoblogan u. Oke oke. Ini agak kasar sebagai paragraf pembuka sebuah testimoni. Tapi mau bagaimana pun saya gembira bisa ke sini.
Namanya The Lucky Boomerang Bookshop. Lokasinya di Jalan Sosrowijayan gang 1. Kalau kebablasan nanti ke Sarkem kamu. Cukup di gang 1 saja. Ya kecuali kamu mau jajan. Bebaslah. Tapi kamu takut ya? Iya Tumblr aja bisa diblokir pmrnth ya? Asuk. Negara kok ngurusin moral massa-rakyat. Naif bat. Padahal ada tuch pejabat kentha kenthu bebas masuk lokalisasi atau tinggal klik open BO.
Namanya The Lucky Boomerang Bookshop. Buku-bukunya impor. Ada yang baru dan tangan kedua. Bahasanya macam-macam, ada enggres, londo, alleman, swedia, dan lain-lain. Saya belum menemukan esperanto dan high valyrian. Mungkin suatu saat.
Buku-buku itu berasal dari proses jual-beli-tukar yang sudah bertahun-tahun lewat keterlibatan orang asing.
Kalau kamu tanya apakah bukunya bagus-bagus? Jujur saya gamau jadi snob. Saya kan bibliofil murtad. Wqwqwq sebenarnya sih ini jalan-jalan agendanya ehhh keinget ada toko buku bagus dekat jalan Malioboro. Yasudah mampir.
Sesuai namanya, toko buku ini benar-benar seperti bumerang. Buku-buku yang pergi akan kembali--kecuali buku-buku yang dibeli olehkuuuww. Buku-buku yang kamu beli bisa dijual kembali di sini atau ditukar dengan buku yang lain.
Saya beli dua buku karya Bacon dan William Blake. Keduanya seharga 80rb rupiah. Buku-buku yang lain saya gatau. Walau ada label harga yang tertera di setiap buku. Sebenarnya saya lebih ke arah bodoamat sich sama harga buku-buku di sini. Y mau gmn, sukaaaakk mah sabeebbb beb ~
Toko buku ini buka setiap hari. Buka dari pukul 11 siang hingga petang menghapus bayang-bayang kita alias 7 malam. Detilnya bisa kamu jumpai di fesbuk, instagram, dan google ya.
Selain buku, toko buku ini juga menjual pernak-pernik D.I.Y y D.I.Y. (Daerah Istimewa Yogyakarta yang Do It Yourself). Patung. Kartu pos. Kain. Topeng. Masih banyak lagi.
Apalagi? Ga ada. Dateng aja ke sana dan lengkapi cerita dengan perspektifmu. Suwun. Bye ~
*bibliofil_murtad jalan-jalan ketemu buku, selanjutnya akan mengunjungi Koramil 0809/11 Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jatim. Sebab banyak buku indie dan kuminis di sana. Tunggu ya ~
17 notes
·
View notes
Text
Ayah
ia berjejas pulang tertusuk jarum jam dinding yang dingin menujah pecah pada tulang punggung kemudian, di atas langit surau doa tergantung
/2018
6 notes
·
View notes
Text
Au revoir
Di Yoshinoya hanya ada kata tunggu. Tunggu, sore masih sembap dan matahari sedang membisu.
Tunggu aku. Tunggu pesanananmu. Tunggu dulu jika kau ingin bersamaku Tunggu dulu, sebab aku sudah tak percaya denganmu.
Aku tak sabar lagi menunggu dan setelah kata terima kasih, yang tersisa dari Yoshinoya adalah sore berparas pucat dan embun dari segelas ocha dingin bercampur air mata
Yang tertinggal di atas meja akan segera diusap oleh pramusaji Sementara air mata yang aku bawa tak bisa diusap.
/2019
5 notes
·
View notes
Text
Anak-Anak yang Melawan Kata-Kata Borju
Acara pelatihan menulis puisi selalu membuat saya penasaran—sebenarnya pelatihan menulis apa pun sih. Sebab saya kesulitan untuk membayangkan seorang penyair berbicara tentang langkah-langkah menulis puisi. Hey, Woody Allen, do you want to say something about writing lessons? hehe.
Semua bermula pada warna biru muda langit dan awan-awan putih yang mulai berlari-lari kecil. Seolah menandakan matahari manggung menyalak. Ternyata matahari hanya sebentar saja manggung. Awan-awan itu bukan sedang lari-lari kecil bahagia, ia melarikan diri meninggalkan langit dan kami. Awan putih itu menjelma abu-abu.
Di tengah awan abu-abu yang mulai mencair itu saya tetap bersikeras menuju gang semangat. Dan derap semangat penuh memaki kemacetan selama perjalanan, tidak pernah saya harapkan.
Macet berhasil disisir, saya pun tiba di gang semangat itu.
Gang itu adalah doa. Gang itu adalah cara bagi warganya memandang hidup. Gang itu adalah tempat kembali dan pergi. Barangkali tempat untuk menyembunyikan sembilu setelah pulang dari padat kota. Jika memang iya, akan ada doa dan tindakan yang selalu diperbarui.
Beberapa kali saya punya rencana ke sana. Tidak ada kesimpulan yang menarik. Saya selalu melewatkan begitu saja gang itu. Ketika sengaja dicari, tak juga ketemu. Kadang, untuk menuju tempat tujuan yang belum pernah dikunjungi, kita mengandalkan pemikiran sekaligus perasaan aneh yang tidak diketahui datang dari mana.
"Kayaknya itu deh," atau keraguan mengajak kita bercanda, "Apa mungkin lewat situ ya?"
Ya, sebenarnya ada sih kemudahan yang bisa dipilih dan diakses. Cuma, kalau bukan karena alasan social anxiety paling-paling miskin kuota.
Tetapi, pagi menjelang siang itu, saya tahu bagaimana kesimpulan dari rencana itu; beribadah puisi dan menemukan kebaruan—mencapai situs dan menunaikan ritus. Sejak dan sampai kapan pun, ritus akan menampilkan Aku dan Ia. Jika gang itu adalah situs, maka percakapan kami adalah ritus. Ibadah kami adalah upaya mengisi sekaligus merawat peradaban. Dan ibadah kami; percakapan tentang puisi.
Saya berharap akan menjumpai seorang lelaki yang jenaka. Lelaki yang sama saya temui di Youtube ketika sedang membaca puisi atau menjawab rentetan pertanyaan dari wartawan. Saya percaya harapan itu sudah mulai terwujud sejak kalimat pertamanya di hadapan kami muncul dari mulutnya.
“Kalian semua ini penyair. Agak aneh penyair memberi pelatihan kepada penyair,” katanya.
Kita bisa menebak dari rokok dan celananya, semuanya sederhana. Ia kemudian memulai khotbahnya tentang puisi dan menjadi puisi.
Mengutip Sapardi Djoko Damono, ia berujar, “Penyair berdiri di antara Nabi dan anak kecil.” Bukan berkhotbah dan merasa paling benar layaknya Nabi, bukan merengek seperti anak kecil. Tetapi di ruang antara itu. Penyair dengan penuh riang dan imajinasi mengangkat cerita dari zamannya, lalu diingat beribu-ibu tahun kemudian.
“Kalau mau berdakwah atau menulis puisi tapi sok berdakwah, jadi ustadz atau pendeta saja,” serunya. “Kita juga bicara soal iman, tetapi ya itu tadi, berada di antara Nabi atau anak kecil,” tambahnya.
Sedikit ada kekhawatiran di benaknya. “Aku takut kehilangan jiwa kanak-kanakku,” katanya. “Semakin tua, aku tidak mau cengeng dengan kematian, kesepian, dan neraka,” ujarnya lagi.
Ia memang takut dengan masa tua bila anak-anak di dalam dirinya mati.
Menyoal anak kecil, saya jadi teringat puisi Chairil Anwar. “Aku ingin menjadi kanak-kanak kembali, di malam raya,” tulis Chairil di puisinya yang berjudul Pemberian Tahu. Saya juga teringat kata Friedrich Nietzsche, seseorang harus menjadi anak-anak dan menganggap dunia ini adalah lapangan bermain.
Joko Pinurbo, lelaki itu, bercerita dari keinginannya tidak kehilangan anak kecil di dalam dirinya hingga proses menyepi dirinya untuk berpuisi. “Aku tidak begitu saja menjadi penyair. Mulai menulis sejak SMA, aku menuainya ketika umurku 37,” kisahnya. “Tidak mudah menjadi penyair. Kalau kau berpikir tentang upah menjadi penyair, tak seberapa,” lanjutnya. Ia kemudian mulai menghitung-hitung, sementara kami sesekali tertawa mendengar hasil perhitungannya.
Ia mulai mengajari kami untuk menangkap peristiwa puitik di kehidupan sehari-hari. Upaya untuk menangkap peristiwa puitik itu memerlukan konsentrasi. Sepanjang ia berkhotbah, ujarannya tentang konsentrasi, saya kira merupakan poin paling penting. Poin yang bisa kita maknai sebagai upaya untuk menjadi puisi.
“Aku sepakat dengan seorang kawanku, level konsentrasimu harus seperti tukang memancing,” katanya. “Coba lihat orang yang kerjaannya memancing, panas terik, hujan deras, orang memancing tidak akan beranjak. Aku dapat cerita dari kawanku yang punya kawan seorang yang suka mancing. Hanya mancing, tak peduli dapat atau tidak. Kawannya itu berlatih berkonsentrasi.”
Peristiwa puitik sehari-hari tidak melulu tentang hujan, pelangi atau senja.
“Aku menolak menggunakan kata-kata borju untuk puisi. Sebaiknya kita menghindari itu, karena kadang membuat tidak dekat dengan kehidupan sehari-hari,” katanya. “Coba, mana ada salju di sini. Di sini hanya ada sarung, celana, tukang bakso, dan kemiskinan.”
“Hidup kaum Proletar!” saya kira ia akan mengatakan itu kemudian, ternyata tidak.
“Awalnya aku ragu, apakah puisi semacam itu akan lolos moderasi tim redaksi majalah sastra?” kisahnya.
“Waktu itu Sapardi yang jadi Pimpinan Redaksinya. Puisiku dengan kata-kata dan tema sederhana itu lolos. Aku menandainya sebagai saat untuk menetas,” ujarnya lagi. “Kita memang tidak perlu terburu-buru untuk bertelur. Aku menepi untuk mengerami telur-telur puisi itu.”
Ucapannya itu memantik pikiran saya untuk tidak kontra pendapat dengannya.
Ia menemukan pendekatan dan tema-tema sederhana itu setelah puisinya ditolak beberapa kali. “Apa yang belum pernah disampaikan Jassin, Chairil, hingga Sapardi? Dan itulah,” menurutnya.
Celana, baju, gayung, toilet, sarung robek, penjual bakso, kopi, hidup bersama Joko Pinurbo hingga kemudian menjadi puisi. Tak lupa ia menambahkan humor dan ironi. Akhirnya puisinya sublim.
Kita tidak akan bisa menghilangkan dogma atau doktrin dari apa pun jenis ibadah. Hanya, kita perlu sedikit mengambil jarak untuk berpikir sejenak mengenai khotbah-khotbah (tuntunan dan tuntutan) dari sebuah ibadah. Pendekatan yang ditawarkan Joko Pinurbo cukup segar. Ia memang berpengaruh. Namun bukan berarti kita tidak bisa menjadi diri sendiri.
Puisi yang paling saya ingat dari Joko Pinurbo adalah puisi sederhana tentang cita-cita anak sekolah. Ternyata anak kecil yang ada di puisi itu telah sukses mewujudkan cita-citanya untuk menjadi kenangan. Selamat tahun baru.
/2018
0 notes
Text
Tahun Baru
tiga menit lalu, ada rindu yang dihisap di atas meja dari layar whatsapp. "selamat tahun baru," pesan dari ibu.
/2018
7 notes
·
View notes
Text
Bukan Dunia Kita #3
kita pernah berbicara tentang hal-hal yang tak masuk akal di kafe ini tentang jam yang terpisah dari hujan dan gambaran nasib dari bulu mata.
dari bulu mataku, kau bilang, "suatu saat kau akan menangisi cita-cita yang tak terwujud." "aku tak mengerti mengapa suatu saat. kupikir itu sudah terjadi," kataku di kafe ini, aku sempat berharap dapat membersihkan matamu dari debu.
bulu mataku kabur disapu angin sore aku bertanya, "apa artinya itu?" "mungkin saatnya kita berpisah," katamu.
langit abu-abu bercampur merah kembali mengembara itu ingatan yang rapuh gerimis tak lagi terasa mempercepat kelam "ia sudah berdamai dengan waktu," pikirku.
/2017
3 notes
·
View notes
Text
Roda-Roda
seorang anak kecil bersama Bapaknya menyaksikan roda-roda truk yang berputar lewat satu per satu ada truk gandeng, kontainer, dan ada yang membawa tulisan, "aku akan pulang, bawakan aku ingatan dan kembang."
"Pak, aku suka sekali menyaksikan truk dan kendaraan-kendaraan lain dari pinggir jalan," kata anak itu. "Kenapa kamu menyukainya?" tanya Bapaknya. "Mereka seperti tidak pernah berhenti. Mereka selalu ada, truk-truk itu, mobil-mobil itu, dan motor-motor itu. Siapa yang membuat mereka selalu ada?" kata si anak. Sebentar tersenyum, sang Bapak menjawab, "yang membuat mereka selalu ada adalah nasib, nak."
/2017
3 notes
·
View notes
Text
Nelayan
bulan pecah di langit yang dingin meninggalkan laut yang semakin merasa tersesat di antara perumahan.
nelayan sesekali menatap layar di rumah, di perahu, di masjid usai salam nasibnya di tangan tv, ikan, atau Tuhan? ia hanya ingin menghisap pagi.
/2017
3 notes
·
View notes
Text
Between The Bars
Tepat setelah keluar dari bar pertama, ia mencium seorang perempuan. Di dalam bar kedua, ia memeluknya. Kemudian mereka meninggalkan bar kedua dan berjalan ke arah barat. Di sanalah mereka berdiri di antara bar. Lalu, ia mengalungkan nasib di lehernya.
Ini nasib kadang-kadang membuat, tidak hanya mereka tetapi kita, berargumen dan berdebat.
Kadang-kadang ia ingin mengakhiri hidupnya dengan cepat di tengah hujan. Barangkali di tengah pertanyaan. Mungkin juga saat senja mulai curiga dengan gelagatnya.
Tetapi menebak ujung usia itu sesulit menemukan ombak di tengah samudera.
Dan ia telah mengakhirinya dengan pertanyaan.
Ia menyisakan mabuk, nikotin, dan darah.. dan pertanyaan.. tetapi tidak gitarnya.
Ia tetap memetik gitarnya.
/2017
2 notes
·
View notes
Text
Setelah Hujan
Aku menaruh warna kembang yang terakhir pada kayu tak bernama.
"Bu, apakah Bapak lahir dari rahim hujan?" tanyaku. Sebab ini adalah samuderanya.
Aku menziarahi kesendirian bersama kitab yang di halaman terakhirnya berbunyi, "Bagaimana kematian membuat kita bahagia?"
Sore itu, pemakaman itu, sama asingnya dengan dosa pertama manusia.
/2017
3 notes
·
View notes
Text
Bapak
Ia tak bisa lagi menyaksikan laut yang awet muda Ia tak perlu lagi menghitung kamboja di halaman rumahnya Ia tak bisa lagi membaca gerak langit di pos ronda Ia tak perlu lagi mengingat bau tembakau pertamanya
Harinya selesai, sebelum kerja dimulai Kemungkinan, saat ini Ia sedang diajak menghitung usia kenangannya.
Waktu memang fana, begitu juga nasib Keabadian hanya di pikiran masing-masing.
/2017
5 notes
·
View notes
Text
Cahaya-Cahaya
kotaku sekarang mulai mempercantik dirinya ruang-ruang gelap mulai diberi cahaya jalanan mulai seperti sajadah setiap langkah orang-orang adalah ibadah anak-anak muda rajin bekerja pulang ke rumah mencari cahaya
/2017
4 notes
·
View notes
Text
Sofa
Sofa merah kusam di sebuah ruang tamu dapat membaca gerak manusia dari kalender segitiga di meja.
Sesekali datang orang bersenggama lain waktu pria tambun berkemeja dari Bank "Hidup sendiri itu sudah berhutang," kata Pria tambun suatu waktu. Tiba-tiba sofa itu merinding setelah mencium bau sperma di tubuhnya.
/2017
1 note
·
View note
Text
lintasan kebahagiaan
mobil-mobil berwarna abu-abu saling salip di jalan aspal baru yang diresmikan seminggu lalu oleh bapak pemangku jabat setempat.
roda-roda kebahagiaan berputar dari mobil-mobil itu tikungan pertama mulus saja jalan mulus tikung-menikung berebut tempat pertama jurang menganga jatuh terpenjara.
ah roda nasib memang berputar.
/2017
2 notes
·
View notes