Tumgik
outburstmind · 1 year
Text
Teman dari segala teman
Sudah berkali-kali diceritakan, tapi aku tetap tidak bosan mengulanginya.
Perjalanan ini berat. Capek. Mau nyerah.
Gerak sama-sama tapi berjuang sendiri; berlari sendiri tapi harus menunggu yang lain. Berkali-kali harga diri ini habis babak belur dihantam benturan. Dan selalu yang pertama kali kucari sebuah dekapan.
Aku menemukan rasa sayang menyeruak lebih sering dari yang kuperkirakan sebelum memulai. Kupikir akan lebih banyak konflik yang menghiasi hari-hari kami menjadi teman sekelas. Nyatanya, aku justru terus disadarkan untuk mensyukuri kehadirannya.
(7/2023)
0 notes
outburstmind · 1 year
Text
Jutaan hal kecil
Pernah aku bertanya-tanya, dibalik punggungmu yang sedang menyetir, "kok kayaknya kita udah nggak bisa melakukan hal-hal romantis ya? tapi bukan juga berarti kehilangan hasrat sih"
Katamu, mungkin sudah masanya kita mesra-mesraannya kecil-kecilan. Nggak lagi butuh sesuatu yang besar untuk menemukan makna, tetapi jadi lebih mudah merasakan di hal-hal sederhana. Dulu perlu usaha besar untuk menunjukkan kasih sekarang tanpa susah payah tercermin dari keseharian.
Aku mengamininya.
Tidak besar tapi ada jutaan.
Kadang terbersit rasa takut suatu hari aku sulit mencari makna yang membuatku sukarela memadu kasih. Tapi sudah selama ini berjalan bukan semakin sulit justru semakin mudah kutemukan setiap harinya. Meraup habis alasanku untuk khawatir.
Ada jutaan hal kecil yang terus membuatku jatuh suka dan mensyukuri keberadaanmu. Seperti terakhir kali; aku tersentuh melihatmu inisiatif melepaskan daging leleku yang panas di tengah emosiku yang membuncah karena hormon menstruasi. Rasanya kalau kamu membiarkanku 5 detik lebih lama, sisa hariku akan berjalan buruk 🥺 gimana bisa aku tidak terkagum-kagum oleh kemampuanmu (dan kesabaranmu) menghadapiku??!
Huhu terima kasih ya sudah mau belajar dan terus ada bersamaku, ayo kita buat hal-hal kecil lain sejuta kali lebih banyak 🤍
(7/2023)
0 notes
outburstmind · 1 year
Text
Ada puluhan (atau ratusan?) hari dalam 8 bulan ke belakang aku sama sekali tidak percaya pada diriku sendiri. Aku, yang selalu merasa paling tau diriku sendiri dan kapasitasnya, tersesat. Hilang arah dan ratusan kali mempertanyakan kemampuan yang kupunya. Bahkan nggak mampu membayangkan kekuatanku. Aku bukan apa-apa. Tidak setitik pun aku merasa bisa.
Di antara hari-hari itu aku kerap mencari kekuatan, kadang keyakinan, kadang juga pengakuan dari orang lain. Orang-orang terdekat. Dengan harapan menambah setitik rasa bisa dan mampu. Meminjam rasa percaya orang lain untuk pura-pura mempercayai diriku sendiri. Tentu saja aku terbantu, tapi tidak lama dan tidak selalu.
Di hari-hari lainnya, aku membiarkan rasa tak berdaya itu merasuk ke tubuhku. Dari ujung kepala sampai ke ujung kuku kaki. Menanggung rasa bersalah yang amat berat karena merasa tak berguna dan lemah. Banyak kali aku merasakan otot yang menegang di berbagai titik tubuh. Gelenyar aneh pada perut atau dada.
Tetapi pada detik-detik tertentu, aku menemukan diriku sedang mendorong diri sekuat tenaga. Aku merasakan sel-sel tubuhku menggetarkan sel-sel tubuh lainnya sampai berpadu hingga tergerak. Meski nggak selalu tau akan membawaku ke mana, sel tubuhku hanya membuatku bergerak. Sedikit demi sedikit; kadang membuat tanganku mengirim pesan untuk membuat janji, kadang membuat kakiku melangkah mengunjungi sekolah/rumah yang harus kudatangi, atau kadang membuat otakku merangkai kalimat untuk memenuhi lembar kosong di laporan. Ada kalanya juga sesederhana membuat hatiku tergerak untuk meyakini mantera "you got this danti" yang kemudian kurapal ribuan kali.
Lalu aku akan kembali pada hari-hari di paragraf pertama. Begitu seterusnya hingga bulan-bulan terlalui.
Setelah mengulang siklus yang sama berulang kali ternyata aku tetap tidak bisa membaca pola waktuku. Tidak tahu kapan tiba waktu sel tubuhku menggetarkan sel tubuhku lainnya. Tidak tahu kapan waktu krisis kepercayaan diriku akan berakhir. Dan tidak tahu kapan waktu 'tergerak'ku bertahan. Hingga pada akhirnya membuatku semakin yakin; semua bergantung pada kehendak-Nya. Lalu kutemukan diriku sering meminta izin-Nya untuk segalanya.
"Tuhan, izinkan aku menyelesaikan dengan baik. Mampukan aku menyelesaikan tepat waktu. Hadiahi aku dengan rasa puas dan syukur yang berlimpah," pintaku dengan pasrah.
- Juni, 2023; penghujung yang tak kunjung kulihat berkas cahayanya.
0 notes
outburstmind · 1 year
Text
Cintya SJS dan Tante Lian
Bulan Mei 4 tahun yang lalu.
Satu bulan ter-campur aduk. Bulan Cintya tiba-tiba SJS, Mas Bolu pergi umroh, Danti lagi sibuk persiapan KKN dan urus palapsi. Oh, kuliah juga lagi di fase gila-gilanya di semester 6.
Ada banyak yang kuingat dari waktu-waktu itu, tapi yang paling kuingat sekarang cuma dua; emosi yang bertentangan dan bentuk cinta Tante Lian.
Aku ingat, aku marah dan kesal sudah sejak lama. Aku bahkan berjarak. Tapi hari itu aku lihat luka melepuh di sekujur tubuh Cintya rasanya hatiku sakit luar biasa. Sedih. Baru paham rasanya sedih tak terperi.
Hari-hari aku dan Tante Lian suka melempar candaan karena nggak ada diantara kami yang ingin terlihat merana. Satu ketika aku datang dan lihat Tante Lian keluar kamar mandi dengan mata sembab. Begitu melihatku, tetap sumringah seperti biasa. Lain hari, di kamar mandi yang sama aku juga pernah numpang menangis. Cintya nggak selalu terlihat kuat di mataku, justru rapuh sekali waktu itu. Aku menangis karena sedih melihat sorot matanya yang sepi dan sendiri karena belum bisa ngomong.
Di waktu-waktu yang sama, tak jarang aku merasa kesal. Tante Lian menyuruhku banyak sekali hal di samping kesibukanku yang sedang gila-gilanya sedangkan pelipur laraku sedang jauh. Aku pernah merutuk tiap diminta mampir, harus mencari tempat parkir, jalan dari parkiran untuk kemudian pergi dan kembali lagi. Lalu aku kembali menangis karena kelelahan. Suasana hatiku semakin buruk ketika melihat banyak sekali cinta dan kasih yang cintya terima. Bertubi-tubi tidak berhenti. Aku iri. Nggak ada yang memelukku dan berterima kasih seperti yang kuharapkan saat itu. Sampai jauh setelah itu pun, harapanku tak kunjung terwujud hingga mudah merasa marah ketika Cintya terlihat senang di laman instagramnya. Pamrih sekali hatiku waktu itu.
Terlepas dari naik turunnya emosiku, aku bisa memahami Tante Lian hanya peduli pada Cintya. Prioritasnya saat itu hanya anak bungsunya yang sedang menderita. Harapanku terlalu konyol karena Tante Lian sama sekali tidak jahat. Bukan juga tidak memperhatikanku. Aku sering dibelikan makan, dibawakan kue, dipeluk, diperbolehkan curhat, bahkan sampai menerima pacarku dengan baik. Boleh dijadikan ajang latihan ketemu mama, katanya. Meski panjang dan berat, pada akhirnya aku bisa memaklumi; Tante Lian hanya sedang menjaga anaknya, memberikan segalanya yang ia punya, yang kemudian tampak sebagai bentuk cinta seorang ibu. Walau tidak sengaja sedikit banyak melukaiku. Nggak apa-apa aku sudah berdamai dan memaafkan Tante Lian. Aku senang pernah menyaksikan agungnya, tangguhnya, dan tulusnya cinta seorang ibu kepada anaknya. Secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kangen Tante; yang sering kurasakan hangat peluknya sampai terasa seperti ibu keduaku.
1 note · View note
outburstmind · 3 years
Text
Galeri 1 dan 2 Museum Affandi kususuri dengan pertanyaan. "Apa yang membuat seseorang bisa menikmati lukisan?" Karena aku tidak menikmatinya.
Sampai beralih ke galeri 3, aku merasa mataku berbinar. Ini gambaran dunia yang kukenal. Penuh warna dan harapan.
Kalau meminjam sepenggal lirik The Carpenters, kurang lebih; "There is wonder in most every thing I see."
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
outburstmind · 3 years
Text
Aku takut
Ingatan tentang dibully sewaktu kelas 5 sebenarnya nggak pernah hilang dari kepala. Tapi sejujurnya nggak cukup banyak perasaan dan kesan yang membekas. Yang kuamini selama ini; ya aku pernah dibully, dan itu tidak banyak mempengaruhi hidupku setelahnya selain menjadi lebih pendiam dan kurang percaya diri. Jadi kuanggap pengalaman itu tidak pernah menggangguku.
Sampai beberapa hari ke belakang, isi kepalaku cukup sibuk kedatangan satu pikiran negatif. Awalnya kuabaikan karena tahu itu hanya ilusi yang kubuat sendiri dan akan hilang jika tidak diperhatikan. Tapi kok lewat 4-5 hari, ia tetap disana dan bahkan mulai membuat tidak nyaman.
Aku tidak berani menceritakannya, karena tahu ini hanya soal sepele yang kubuat sendiri.
Tapi kali ini ia benar-benar mengganggu. Sudah lewat seminggu.
Entah ilham dari mana, aku yang nggak punya waktu untuk memproses tiba-tiba terbersit satu ingatan. Yap ingatan waktu dibully dulu. Kelas 5, aku dipilih jadi perwakilan sekolah untuk maju dalam perlombaan. Di tengah kesibukan mempersiapkan itu, tiba-tiba semua teman sekelas menjauhiku. Semua. Entah kenapa. Sampai aku mendengar desas-desus yang mengatakan kalau aku adalah murid kesayangan guru-guru. Desas-desus ini yang konon menjadi penyebab aku dijauhi.
Sewaktu ingatan ini mampir, aku agak terhenyak. Apa yang kurasakan sekarang ternyata persis apa yang kurasakan di momen itu. Rupanya ini rasa takut. Aku takut nggak disukai teman-teman lalu dijauhi karena aktif di kelas. Aku takut nampak pintar. Aku takut dianggap banyak ngomong. Dan aku takut nggak punya teman karena semua hal itu. :(
Dan sekarang aku sedih mengingat jelas perasaan itu.
1 note · View note
outburstmind · 4 years
Text
Keyakinan itu datang lagi tiba tiba,
Meski tiba tiba pula diragukan dalam beberapa waktu,
Tapi ia datang malam ini.
Mencoba membawa ingatan yang terlupa
Tentang yang paling membuat senang
Dan nyaman menjadi diri sendiri.
Kali ini, aku menolak lupa telah bertegur sapa.
Kucatat, pertemuan ini harus kucatat agar tak susah menemukannya.
Pasti ada jalan setapak yang membawa ke jalan besar seperti parit yang berujung pada sungai.
Mana saja, yang penting aku yakin aku akan sampai..
..pada yang membuat senang dan nyaman menjadi diri sendiri.
0 notes
outburstmind · 4 years
Text
keluarga dalam gelembung harapan
Hubungan orang tua dan anak itu memang tak akan pernah sederhana.
Seperti tak akan pernah bisa untuk dilihat dan disalahkan sepihak walau pun kalau dicari akar permasalahannya secara bersama-sama pasti rumit dan saling berkaitan. Sekali membicarakannya, ratusan buku kosong mungkin nggak akan cukup menampung ceritanya. Karena kadang kala permasalahan keluarga diwariskan melintasi beberapa generasi.
Keyakinanku cukup bulat, nggak mungkin ada satu keluarga pun yang sempurna. Semua dengan masalah, kesalahan, dan traumanya masing-masing. Sebenarnya, orang-orang di dalamnya tidak ada bedanya dengan milyaran manusia lain di dunia. Sama-sama sering tidak tahu, salah, dan melukai. Hal yang sangat, sangat wajar dilakukan manusia. Kalau orang lain yang melakukan, memaafkan dan melupakan bukan perkara sulit. Sayangnya tidak dengan keluarga.
Tahu kenapa keluarga selalu jadi tombak terlancip dalam hidup kita? Karena kita mengasahnya dengan harapan.
*S&K: Dibutuhkan orang tidak bebal untuk membangun keluarga yang mau terus belajar mencintai dengan lebih baik sampai nyaris sempurna.
1 note · View note
outburstmind · 4 years
Text
Gelisah lagi pagi ini.
Semalam kamu menceritakan keluh kesahmu. Ingin sekali membantu, tapi aku tidak pernah berhasil. Pun kamu, selalu berpikir aku tidak bisa membantu. Sebenarnya, aku selalu tidak suka membicarakan topik ini. Aku tidak suka melihatmu terpuruk dan tidak berdaya. Aku tahu rasanya, perasaan yang sangat tidak nyaman. Dan aku sangat tidak berguna. Walaupun ribuan kali kamu bilang bukan tanggung jawabku membuatmu nyaman. Tapi tetap saja, itu membuatku gelisah melihatmu sedang tidak baik-baik saja.
0 notes
outburstmind · 4 years
Text
Tenggelam lah aku dalam kubangan perasaan iri yang tak berdasar, mengiranya dalam padahal tak sampai sejengkal. Bodoh.
0 notes
outburstmind · 4 years
Text
Kadang suka mikir kalau yang kurasa tidak sewajarnya orang pada umumnya,
Terlalu banyak hal sepele yang direspon berlebihan oleh tubuh,
Seperti lubang hitam kecil yang tiba tiba membesar dan melahapku utuh,
Tidak sedikitpun memberikanku kesempatan bernapas.
Sampai kapan?
0 notes
outburstmind · 4 years
Text
sebuah malam menuju Haju
Hari itu, hari pertama kami akhirnya berangkat menuju kampung-kampung untuk melakukan survei. Berangkat pukul 8 pagi dan sempat singgah sebentar di suatu kampung untuk menunggu kepala arus sungai lewat. Katanya, perjalanan akan memakan waktu 7 jam lamanya. Tapi, sore lewat kami juga tak kunjung sampai. Langit menggelap membuat kami harus menyinggahi kampung lagi untuk menukar beberapa bungkus rokok dengan headlamp besar.
Sekitar pukul 7 malam, kami masih terombang-ambing di atas sungai. Takut mulai mendesir. Tiba-tiba speed boat yang kami naiki berhenti, mogok. “Ah, air su dangkal sekali ini tra bisa jalan sudah, harus didorong e” om driver menjelaskan dengan sedikit mengeluh.  “Masih jauh, Om?”, tanyaku. “Ah dekat saja” jawabnya. Aku menelan ludah, mataku tidak bisa melihat apapun. Tidak sebuah rumah, tidak juga penerangan yang menandakan adanya kehidupan. Semuanya hitam, gelap gulita. Saat itu, aku tidak bisa memutuskan lebih takut pada yang tak kasat mata atau binatang buas yang bisa saja tiba-tiba menyergap. Di tengah ketidakpastian itu, aku merasakan kedua tanganku diraih. Kami bergenggaman tangan, erat. Seolah berusaha saling menguatkan. Dan langit malam itu cerah berbintang, entah ingin menghibur atau mengejek kami yang tercekat ketakutan.
Rasanya belum pernah merasa setakut itu. 
Tapi kini aku merasakannya lagi, di tengah pandemi. 
0 notes
outburstmind · 4 years
Text
yang terlupa
Banyak yang belum tersadar (atau mungkin hanya aku?) bahwa berkembang artinya seumur hidup. Bukan hanya pada saat lahir hingga menjadi optimal ketika mulai dewasa dan sesudahnya sudah tak bisa lagi berkembang.
Tapi sekali lagi, berkembang adalah proses yang tidak ada habisnya sampai manusia yang kehabisan waktu di dunia. Proses yang tidak terhenti hanya karena manusia mulai dianggap dewasa, atau mencapai kemampuan fisik, kognitif, dan sosioemosional tertingginya. Bahkan, ketika terjadi penurunan kemampuan-kemampuan tersebut, ia juga termasuk dalam proses itu sendiri. Sudah berulang kali disebut, selalu ada krisis perkembangan yang hadir di setiap tahapan. Tua pun punya tantangan tersendiri yang tentu saja harus dilampaui. Kalau anak kecil boleh bersusah payah ‘kesakitan’ menjalankan tugas perkembangannya, kenapa orang tua tidak? Menua kan sama artinya dengan anak kecil yang sedang berusaha lancar berlari?
Kupikir, selalu ada momen menyakitkan di setiap ‘kenaikan’ tahap perkembangan. Sewaktu kecil, keadaan frustrasi mungkin berkali-kali dirasakan anak yang belum bisa berbicara karena kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik. Anak harus berulang kali membuat sekitarnya paham apa yang sedang dikehendaki, sedangkan ia belum mampu menggunakan bahasa yang dimengerti. Tapi, anak-anak bisa dengan mudah dimaklumi. Jauh berbeda dengan orang yang sedang menua. Mungkin mereka juga sedang frustrasi karena hal-hal yang biasanya dengan mudah mereka lakukan sudah mulai sulit untuk dikerjakan. Mungkin juga merasa betapa tertinggalnya ia dari kecepatan peradaban. Tetapi, seringkali bukan pemakluman yang mereka terima, melainkan kekesalan dari orang sekitarnya. Mengapa menjadi tidak adil? Bukankah mereka sama-sama manusia yang sedang bergulat dengan krisis perkembangannya?
Kalau setiap capaian perkembangan layak untuk dirayakan, seharusnya tidak hanya di tiga tahun pertama kehidupan yang gegap gempita dibanggakan. Tidak hanya di setiap kenaikan jenjang pendidikan yang diabadikan. Dan tidak hanya mampu berpikir kritis yang dinantikan..
Menua dan merelakan dirinya kurang bisa melakukan banyak hal seharusnya juga patut dirayakan.
 — —
d.
pada sebuah proses di tahun 2019–2020.
1 note · View note