Tumgik
nutrisiekspetasi · 2 years
Text
Fiuh
0 notes
nutrisiekspetasi · 2 years
Text
0 notes
nutrisiekspetasi · 2 years
Text
How?
Kadang, bila kita pikirkan, kebersamaan mungkin bukan hal-hal yang diperlukan selama-lamanya. Saya sudah siap mati mungkin sejak lama. Tidak punya rasa takut, meski lebih banyak sungkannya. Jadi? bagaimana jika kita korbankan perasaan ini untuk kehidupan yang lebih baik.
1 note · View note
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
0 notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
Y
0 notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
Hadeh
0 notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
Malam ini Adikku pulang, bersama seseorang.
"Boleh saya masuk." Keluargaku tidak mempersilakan, hanya saja ia memang tidak kasat.
0 notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
"Kawan baru saja ini teringatku pada titik terlelah dalam perjalanan."
Ketika mendengarkan lagu "Yakin" milik Soloensis pada sore hari lalu, saya sebenarnya ingin menangis. Bukan karena saya terharu mendengarnya, akan tetapi karena apa yang saya rasakan ternyata benar, saya lupa bahwa saya lelah.
Selama ini tidak terasa, meski lelah saya tetap menabrak apa-apa yang tetap menghadang. Tidak pernah berpikir bahwa apakah saya lelah atau saya hanya kurang semangat. Pada era semacam ini, di Indonesia terutama, banyak rakyatnya merasa kelelahan dan tidak sanggup untuk tetap berdiri pada dua kaki masing-masing. Saya pikir, kami semua membutuhkan satu wacana besar perubahan yang direncanakan oleh rakyatnya sendiri. Sejak pemerintah berkesan mengabaikan apa-apa yang terlijat penting, bukankan menguatkan sesama rakyat adalah jalan terbaik? Membangun sistem baru, mengubah tatanan baru, mengedukasi, memberi pendidikan yang tepat, dan terus berusaha yang terbaik bagi setiap kawanannya sendiri adalah cara yang jitu. Kita akan seperti serigala, pada akhirnya. Memikirkan kawanan sendiri.
Tak apa, menjadi homo homini lupus asal tidak membunuh manusia lain. Toh, serigala memang mementingkan kawanannya, bukan mementingkan diri sendiri.
0 notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
Post-Apocalypse Urban Citizen
“Kita, sama-sama suka hujan.”
“Namun, tidak menyukai hujan tujuh hari tujuh malam tiada berhenti.”
“Seperti kiamat saja.”
“Lebih baik kiamat, jadi kita turut musnah, bukan hanya apa yang selama ini kita anggap milik kita.”
***
Produk era post-modernisme ialah penilaian tentang rasa yang pas dan tidak pas dengan manusia kini. Mereka hidup secara representatif tanpa dapat membedakan realitas dan media. Apa yang tergambar itulah yang mereka percayai sebagai realitas, hiper-realitas. Kebenaran hanya sebagai klaim atas individu-individu yang dapat, cukup, dan terus menerus menekan realitas. Era post-modern menjadi sebuah kotak dalam kotak. Kita mengasingkan diri di dalam lingkup keterasingan. Manusia pada masa kiwari memang hidup bersosial dan berkomunal, akan tetapi jauh daripada teori sosiologi, realitas yang ada menjadi buram dengan kenyataan di lapangan yang menyajikan keterasingan dan kesibukan atas diri sendiri. Manusia adalah kita yang sedang melakoni berbagai peran dalam kenyataan—realitas yang sebenarnya dan tiada mungkin dapat mengubah jalan cerita panjang rajutan-rajutan nenek moyang. Pada akhirnya manusia menjalani bencana katastrofe mereka sendiri dari dalam diri. Apokalips budaya dan nilai realitas.
Vox populi, vox dei tak lagi relevan jika disandingkan dengan kenyataan bahwa rakyat dan Tuhan memang sama-sama hidup dalam sebuah sistem, baik itu kepercayaan, politik, maupun ideologi. Hal tersebut hanya menjadi sebuah angan dan cita-cita untuk melawan oligarki dan okupasi gaib bagi tanah dan udara sebuah asosiasi kewilayahan. Ide manusia semakin sejalan dengan ide atas kiamat; penghabisan masal atas apa yang sudah dibangun oleh manusia-manusia lainnya. Kini tiada perlu legasi fisik, segalanya hanya perlu disimpan dalam awan nirkabel tanpa sekat melalui kotak pandora kecil yang dimiliki banyak masing-masing manusia. Pun tiada cukup bagi segelintir lainnya hanya sebagai penguasa tanah, mereka perlu menguasai makhluk lain, manusia lain, dan benda lain. Pada masa ini, apokalips hanyalah angan, bahkan tak terbesit di dalam hati mereka meski sedang datang dalam hitungan. Selamat datang di zaman mahakaos.
***
“Kamu percaya Tuhan?”
“Belum, belum tahu. Kita sama meragukan kehadiran-Nya seperti konsep kehabisan oksigen, kan?”
“Lebih banyak yang tidak percaya. Namun, betul. Aku masih ragu.”
“Kawanku berkata jika meragu jangan lakukan, akan tetapi soal kepercayaan ini bagaimana ya?”
“Tidak tahu. Mungkin ada mungkin tidak. Udara saja tidak terlihat pun tetap ada.”
“Jangan berbicara hal yang berat, saat ini bertahan hidup sudah sulit.”
“Pembukaan satu dasawarsa kemarin memang menyulitkan, tetapi bukankah kita mulai terbiasa dengan katastrofe semacam ini? Toh kita tidak musnah banyak.”
“Belum, bisa saja besok rentengan gunung berapi itu bersama-sama memuntahkan lahar.”
“Mesin pencatat masih berfungsi. Kita bisa tahu lebih dahulu.”
“Kita, bukan mereka yang tidak tahu akan ini semua.”
***
Perlahan, manusia akan mengetahui atau bahkan semakin kebingungan dengan realitas yang nyata. Apa yang tersaji melalui hal-hal setiap hari merupakan apa yang dipercayai dapat terjadi di dunia ini. Ketika hal tersebut terjadi, maka hanya ada ajaran yang memercayai satu dan lain tanpa dasar. Kemudian manusia digiring menjadi pembenci, jika tak benci maka tak seksi. Manusia berkerumun atas satu ide bersama. Pemikiran yang digiring sedemikian rupa agar tetap bersatu padu dalam hal-hal yang tidak berlogika akan semakin bertambah seiring dengan siasat siasat oknum yang serakah dan selalu haus akan kepemilikan. Mereka tidak pernah sadar akan sifat dasar kebinatangan manusia yang datang ketika bencana maupun sebaliknya.
***
“Kamu merindukan kehidupan kita yang sebelum ini?”
“Sulit sekali berbicara hal utopis dalam keadaan serba kacau semacam ini dan jawaban untuk pertanyaanmu tentu saja iya.”
***
Mungkin, pada akhirnya akan banyak manusia menyadari tentang kehancurannya sendiri, maka ia mencoba mulai minggir dari kehidupan urban menuju kehidupan rural. Mencari pencerahan organik dari apa yang terlihat rural dan jauh dari arsenik. Kehidupan yang tiada bising dan tiada asap. Padahal, rural masa kini mulai bising dan berasap. Mulai tercampuri investasi dan didatangi peminat petak-petak bata berbaja ringan. Tiada yang salah dari zaman ini, mungkin memang hanya lelah akan serakah. Itu pun mungkin. Hal yang dapat dilihat saat ini, memangnya realitas nyata, atau hiper-realitas post apocalypse? Kita telah banyak menghadapi bencana dan diwarisi genetika bertahan hidup yang layak uji berkali-kali. Namun, bukan berarti kita dapat mengakhiri setiap bencana.
***
“Ah, lihatlah itu matahari terbit.”
“Ya tentu saja hampir tiba waktunya.”
“Hujan sudah berhenti.”
“Ya, kita segera kembali.”
***
2 notes · View notes
nutrisiekspetasi · 3 years
Text
Seperti Kata Sapardi, Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sama seperti yang ia katakan pada seseorang dalam lamunannya. Aku tiada sanggup satu pun memberikan harap dan waktu sebanyak-banyaknya; semau-maunya. Namun, aku mau-mau saja memilihkan mana waktu yang baik untuk kita berdua. Tiada
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Prpsl
Heu i did it
Tomorrow will be different fufufu
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Suatu
Suatu hari kuil yang sedang dibangun oleh kita ditinggalkan begitu saja oleh kuli-kulinya.
Kuli-kuli kuil meninggalkan tanpa sebab
Sebab ia tak diketahui sampai kita mencari tahu sendiri
Sendiri dan tiada yang peduli
Peduli setan atau malaikat
Malaikat berhamburan dari angkasa
Angkasa merasa runtuh tak dihargai
Dihargai atau dihormati?
Dihormati lalu mati, atau dihormati lalu pergi?
Pergi tanpa meninggalkan pesan
Pesan kepada sesiapa yang datang
Datang menuju kuil yang ditinggalkan walau sedang dibangun
Dibangun tanpa tujuan
Tujuan tanpa dibangun
Dibangun tanpa harapan
Harapan tanpa pertaruhan
Pertaruhan tanpa harga diri
Harga diri sudah mati
Mati tapi tidak
Tidak tapi hidup
Hidup tapi sendiri
Sendiri merasa sepi
Sepi merasa sendiri
Sendiri
Menghancurkan
Diri
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Wow
Wow
Wow
W o w
W o w
W. O. W
W.o.w
Wowowow
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Apa yang terjadi akhir-akhir ini membuat saya semakin yakin bahwa hidup tiada artinya. Selebihnya, keinginan untuk tetap hidup hanya karena orang lain adalah sebuah siksaan.
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
I found beauty in chaos
I found you, in the chaotic situation
❤️
1 note · View note
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Selebihnya hidup hanya hidup yang kian redup akibat sama-samanya semesta mereduksi gejala.
0 notes
nutrisiekspetasi · 5 years
Text
Semesta kita
Ya, aku adalah kuil yang menghancurkan diri melalui umatku sendiri
Aku adalah punggung yang selalu nyaman didapati orang lain yang terluka dihantamkan karang-karang pantai selatan
Kau adalah bintang, terus terbakar untuk menyinari dan membuang energi seperti takdir yang lalu-lalang menghidupi makhluk semesta
Kita adalah awan mendung di atas gunung yang menuruni tiap jengkal lekuknya; tidak menentu akan menjadikan kita sendiri apa.
Kita menjelma sebagai perwujudan dari masing-masing pikiran, menggabungkan dua semesta dalam area yang sama.
Meledakkan deru napas yang lebih terengah dari seekor kuda yang dipaksa berpacu dengan rotasi bumi.
Kita akan hidup selamanya, selama masih ada tanah dan perasaan.
0 notes