"The energy of the mind is the essence of life." (Aristotle)
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
First recording in 2019.
Fav song this early 2019.
4 notes
·
View notes
Text
Personal growth becomes so addictive once you realize that it’s always possible to improve your experience of being.
312K notes
·
View notes
Text
why i don’t wear constentic lens
again gue nulis dealing with bullying. Maafkan muka gue yang terpampang di postingan ini ~XD Siang ini, gue makan siang pas kebarengan Dokter Danang dari Unair. Beliau nanya ke gue, udah pernah nyoba constentic lense ato belum. Actually, gue udah pernah nyoba pas zaman SMA dulu. Tapi endingnya gue milih buat nggak pake.
FYI, mata kiri gue ga bisa ngelihat jadi gue ngelihat pake mata kanan doang. Nah konstentik lens itu sifatnya nutupin kekurangan doang. Karena mata gue emang ga berfungsi sama sekali. Andai konstentik lens bisa bantu gue lihat, gue mungkin bakal pake. Tapi kalo fungsinya buat estetika doang, gue belum merasa urgen buat pake.
ini dulu keputusan yang berat, terlebih gue dibully karena bentuk mata gue yang beda sama orang lain. Kenapa gue milih ga pake? Padahal banyak yang ngasih advice buat pake?
pertama, karena gue pengen jadi diri sendiri. Kadang, kalo ada orang yang dibully, banyak yang berpikir bahwa bullying dan rendah diri itu bisa dihilangkan dengan menutupi sumber bully. Buat gue, solusi yang terpenting adalah justeru dengan berani nerima diri apa adanya. Dan memahami kalo yang ngebully itu salah karena udah ngebully gue, bukan gue yang salah karena bentuk mata gue beda. Gue nganggep segala hal yang ada dalam diri gue itu rezeki dan gue mensyukuri semuanya dengan penuh syukur.
I am happy being me dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
kedua, karena gue pengen orang tau kondisi gue yang sebenernya. Gue nggak mau orang ngelihat gue dengan dua versi. Yaudah biarin kayak gini aja. It’s Okay.
Banyak juga sih yang ngasih masukan….kalo gue kayak gini, ntar susah cari jodoh….
buat gue, jodoh itu bagian dari takdir Allah, kayak rezeki yang udah dibagi-bagi. Kalo emang udah jodoh, gimanapun kondisi kita, jodoh kita pasti mau nerima. Gue justeru pengen hubungan gue sama suami gue kelak dimulai dengan kejujuran.
Sesimple itu sebenernya
mungkin kalo misal suami gue yang nyuruh pake konstentik lens, gue bakal manut. Tapi kalo sekarang….karena ga ada yang nyuruh, yaudah nggak apa-apa :)
Buat gue, wajah itu cuma identitas. Jangan pernah meletakkan kunci percaya diri du wajah, fisik serta banyak hal yang berbau materi. Allah nggak menilai kita dari apa yang kita punya melainkan dari apa yang kita berikan ke ummat.
586 notes
·
View notes
Text
Pilihan
Kita sebenarnya tidak menyukai pilihan. Dalam hidup, kita selalu menginginkan apa yang kita harapkan adalah satu-satunya pilihan yang tidak perlu membuat kita memilih. Namun sayangnya, hidup tak selalu berjalan mulus. Pilihan tetap tersedia. Membuat kita merenungkan kembali tentang harapan yang telah kita bangun, bahkan harus berani menghancurkan harapan itu untuk membangun harapan baru yang sesuai dengan pilihan yang tersedia.
Peribahasa Arab mengatakan, “Our heart wants, Allah wills.” Begitulah hidup. Seindah apa pun rencana yang telah kita harapkan, tetap saja Allah-lah yang berkehendak. Manusia tidak akan memiliki daya untuk mengatur takdir, selain mengusahakan yang terbaik.
Saya teringat sebuah perumpamaan yang dikatakan oleh seseorang. Kita bagaikan anak kecil yang sedang lincah-lincahnya bermain. Sesuka hati berlarian, mencari apa pun yang kita sukai. Saat kita sedang gembira-gembiranya, tiba-tiba ada yang mendorong kita hingga terjatuh, membuat luka pada lutut dan tangan kita. Kita merasakan perih dan marah, mengapa kita harus dibuat terluka seperti ini. Namun ternyata kita tidak tahu, beberapa langkah di hadapan kita, sebuah truk sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Kita memang terluka untuk sementara, namun nyawa kita telah terselamatkan. Seperti itulah takdir bekerja.
Ya, kita memang makhluk-Nya yang serba terbatas. Kita tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, dan apa yang Allah rencanakan. Kita akan selalu dihadapkan pada pilihan. Maju atau mundur. Menang atau kalah. Berjuang atau menyerah. Optimis atau pesimis. Dan berbagai pilihan lainnya, yang kadang terlihat bias mana yang terbaik untuk kita pilih.
Allah hanya ingin menguji kita. Seberapa besar kemampuan kita untuk mengusahakan yang terbaik. Seberapa kuat kita untuk bertahan pada pilihan yang sulit…
Padahal kita tahu, takdir-Nya akan selalu membawa kita ke jalan yang lebih baik. Takdir-Nya akan menjadikan kita pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.
Barangkali, kita hanya (pura-pura) lupa.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
333 notes
·
View notes
Text
Hal terbaik yang bisa kamu percaya dari takdir adalah ia selalu yang terbaik untukmu dan selalu ada ruang untuk memperjuangkan takdir yang baik. Hal yang sering terlupa terkait takdir kita adalah kita sulit/butuh waktu untuk memahami maksudNya, dan kita jarang berprasangka baik.
Kurniawan Gunadi
2K notes
·
View notes
Text
Please Remember...
You are never as awkward as you think you are
You are never as annoying as you think you are
You are never as boring as you think you are
Your compliments are never as creepy as you think they are
You are way more wanted than you give yourself credit for
Chin up, everything’s going to be okay, okay?
116K notes
·
View notes
Photo
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
0 notes
Text
Apapun yang terjadi esok, terimakasih untuk semua yang sudah memberi arti di hidup. Yang mengajari banyak hal, maupun yang sudah mendengar dan memotivasi.
13 notes
·
View notes
Text
Nice.
Investasi Pendidikan pada Perempuan, Investasi Pasutri pada Keluarganya
Pendidikan telah terbukti meningkatkan produktivitas manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Pendidikan juga telah membuka akses kepada pekerjaan yang diganjar gaji yang lebih dari cukup buat ‘dapur ngebul’. Dewasa ini, dalam satu bentuk dan lainnya, pendidikan telah membawa banyak anak-anak muda Indonesia tidak hanya mencukupkan syarat gelar akademis tertentu, tapi juga mengunjungi berbagai tempat untuk belajar dari institusi dan orang-orang di berbagai penjuru dunia. Namun, bagaimana bila pendidikan tinggi dan pengalaman kerja pasca pendidikan ini dipakai (hanya) untuk mengasuh beberapa putra dan putri (saja)?
To invest or to sacrifice?
Pendidikan bisa dilihat sebagai jalan atau akses kepada penghidupan yang layak. Pendidikan juga bisa dinilai sebagai jalan pemuasan hasrat belajar dan keingintahuan. Pendidikan bisa jadi sekadar pemenuhan bucket list atau niat menjadi cucuk kebanggaan nenek. Pendidikan juga bisa dianggap sebuah investasi. Nah, yang terakhir ini cukup merepotkan, terutama terkait bagaimana seorang perempuan berpendidikan tinggi dapat mengalah untuk (sekadar) menjadi istri dan ibu penuh waktu.
Buat sampai di aula untuk sumpah dokter, misalnya, orangtua satu orang dokter perempuan sudah hampir pasti menghabiskan beberapa ratus juta rupiah (anak teknik non-Bidikmisi menghabiskan sekitar 100 juta rupiah buat uang semesteran, kosan, dan makan bulanan dalam 4 tahun masa studinya). Dalam kasus calon dokter perempuan, apakah orangtua akan legowo bila putrinya yang sudah jadi dokter (spesialis) memilih menjadi seorang ibu rumah tangga? Tentunya pertanyaan yang sama juga berlaku bagi mahasiswi jurusan lainnya yang disekolahkan orangtua.
Selain terkait investasi, pertanyaan lain yang juga berat dijawab adalah soal beban moral untuk ‘mengamalkan ilmu yang sudah didapatkan’. Belum lagi jika kuliahmu ke luar negeri dibiayai oleh negara, sampai S-3 pula. Pulang kuliah lalu sekadar mengasuh anak di rumah (setelah berkeluarga)? Pertanyaan yang cukup berat.
Sayangnya, profesi atau pekerjaan sebagai ibu rumah tangga masih dilihat sebelah mata. Padahal, mengasuh dan membesarkan para penerus mimpi dan cita-cita bangsa bukan hal sepele. Apalah arti beberapa juta rupiah tambahan uang bulanan bila anak-anak kita nanti hanya menjadi beban negara? Mengamalkan ilmu dan semua ‘soft skill’ yang didapat semasa belajar dan berkarir di saat lajang pada sebuah institusi pendidikan dan kasih sayang bernama rumah tangga memang tidak seberat mengajar di kampus. Tapi, beban moralnya cukup besar, bukan?
Bagaimanapun, ada yang mengganjal jika kita membandingkan dua hal yang sama-sama elok lagi mulia, seperti menjadi dosen dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi satu hal yang pasti, jika mengasuh anak dan berkarir dipilih di saat yang bersamaan, akan ada masa-masa dimana salah satunya harus dikorbankan. Semua kembali pada kerelaan kita mengorbankan masa emas pertumbuhan anak kita dan kesiapan pasangan suami-istri untuk berjuang ekstrakeras untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Satu hal yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah sebagian besar para sarjana, dokter, master, dan doktor hari ini tidak banyak yang menyadari bahwa ibu-ibu mereka telah mengasuh mereka penuh waktu. Jika kamu diasuh oleh ibu dan ayahmu penuh waktu, kenapa kamu (laki-laki dan perempuan) tidak mengupayakan anak-anakmu juga diasuh penuh waktu?
Berkarir adalah pilihan, begitu pula memiliki anak dan mengasuh mereka penuh waktu itu juga pilihan. Jika kamu (perempuan) ingin berkarir sampai ke puncak, maka tirulah Angela Merkel. Beliau baru saja memenangkan pemilu Jerman untuk periode keempat. Dia adalah doktor di bidang Fisika, pernah menjadi menteri lingkungan, dan masih menjabat sebagai ketua partai konservatif di negaranya. Gampangnya, sejak selesai pendidikan S-3, ia menghabiskan usia produktifnya untuk negaranya dengan terjun langsung ke dunia politik. Dia menikah (lalu bercerai dan menikah lagi) dan tidak punya anak.
Commonsense?
Akhir-akhir ini, muncul tren baru bahwa makin tinggi pendidikan seorang perempuan, makin lama datangnya jodoh. Apalagi sejak ada LPDP, kuliah S-2 dan S-3 ke luar negeri menjadi sebuah kewajaran. Tapi, sebenarnya, apa kaitannya tingkat pendidikan dan jodoh?
Ada seorang teman yang bikin survei sederhana terkait hubungan gaji dan jenjang pendidikan terhadap kemungkinan (likelihood) seorang laki-laki memilih calon pasangan hidupnya. Bagaimana, bila gaji calon istrimu lebih besar? Bagaimana, istrimu seorang master sedangkan kamu cuma sarjana atau calon istrimu seorang doktor sedangkan kamu tidak? Hasilnya, memang ada kecenderungan laki-laki sedikit jiper dengan gaji dan gelar akademis. Bagaimanapun, menurut saya, kepelikannya sebenarnya bukan pada gaji dan tingkat pendidikan, melainkan pada proyeksi jangka panjang. Apakah calon istri mau mengalah untuk mengasuh anak penuh waktu?
Lebih dari itu, mencari pasangan juga seperti mencari pekerjaan secara tidak langsung. Headhunter akan mencari applicant cocok, bukan yang overqualified maupun underqualified. Jadi, apapun pilihan yang diambil seorang perempuan, tidak ada salahnya. Toh, pilihan-pilihan hidup yang diambil akan mengarahkanmu padanya atau dia pada dirimu. Eaaa~
Baik bagi laki-laki maupun perempuan, memang cinta bukan soal memilih, tapi dipilih–buat laki-laki tentu saja kamu dipilih oleh calon mertuamu. Sekarang, tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri agar bisa dipilih oleh orang yang didambakan. Bagaimanapun, sebanyak perempuan yang memilih untuk berkarir, sebanyak itu pula laki-laki yang sadar pentingnya pengasuhan penuh waktu pada anak mereka nanti.
Mau mengalah?
Lalu, bagaimana bila keduanya (suami-istri) memilih berkarir? Itu pilihan yang masuk akal. Karena tidak ada pemaksaan dalam pilihan hidup bukan? Semua dipilih secara sadar. Saya tentu tidak dalam kapasitas mempertanyakan keseriusan sepasang suami-istri PNS, sepasang suami-istri mengambil PhD di kampus berdekatan, atau sepasang suami istri yang menjadi dosen/peneliti di kota yang sama untuk memiliki momongan. Semua orang berjibaku memberikan yang terbaik untuk keluarga kecil mereka. Seiring berjalannya waktu, kedua pasangan suami-istri belajar mengatur waktu secara efisien, membagi tugas, dan lain sebagainya–di situlah kelebihan orang berpendidikan tinggi dengan tidak. Orang berpendidikan tinggi itu berkomitmen, cerdas, punya kemampuan komunikasi yang terasah, manajemen waktu yang mumpuni, bi(a)sa bekerja dalam tekanan, bisa multitasking, IT-literate, punya daya serap dan adaptasi yang tinggi, dan seterusnya. Bagaimanapun, akan ada masanya salah seorang harus mengalah lebih banyak karena pendidikan lanjutan atau promosi karir. Sejenak, kadang kita perlu berkompromi.
Seorang teman (bapak tiga anak) pernah bercerita bagaimana putra-putrinya tidak seberprestasi mereka (dia dan istrinya) dulu. Dia dan istrinya bekerja di instansi yang sama. Teman yang lain berbagi keheranan, mengapa adik bungsunya jauh lebih berprestasi dibandingkan dia dulu saat di bangku SD dan SMP. Setelah digali, ternyata saat si bungsu kecil, ibunya sudah di rumah karena pensiun dini. Sedangkan ada juga yang bercerita dia dan semua saudara adalah para juara dari SD sampai SMA. Ayahnya hanya wirausahawan kecil lulusan madrasah tsanawiyah, sedangkan ibunya tidak lulus SD. Tapi, ibunya mengasuh mereka penuh waktu di rumah.
Faktor lain yang jarang diperbincangkan adalah faktor gizi dan perhatian ayah. Seorang teman bercerita bahwa saat baru punya anak satu, buat susu anak, mereka beli yang paling mahal. Tapi tidak begitu untuk anak kedua dan ketiga. Setelah mereka tumbuh remaja, anak pertama ternyata lebih cepat menangkap pelajaran dan lebih peka dibandingkan dua adiknya. Ini tergambar dari nilai rapor, lomba-lomba yang diikuti, dan perlakuan si anak pada orang-orang di lingkungan keluarganya. Sedangkan, satu lagi bercerita, bahwa di keluarganya semua anak diberikan perlakuan yang sama baiknya dan mereka tumbuh menjadi juara di bangku SD hingga SMA. Ibunya menambahkan daging belut di bubur tim mereka, katanya. Mungkin, ini rahasianya ibunya para juara!
Faktor yang tak kalah penting adalah sumbangsih ayah. Mengasuh anak bukan hal mudah. Maka para ibu butuh dukungan para ayah. Anak-anak yang mendapat perhatian ayah di masa kecilnya tumbuh menjadi orang yang lebih berani, baik dalam berkomunikasi maupun mengambil pilihan hidup (sumber: pengamatan pribadi). Tak dapat dipungkiri, ayah punya cara dan pendekatan yang berbeda dengan ibu dalam melihat hal baru (protektif/eksploratif), mengatasi krisis, memberikan reward and punishment, dan sebagainya. Dengan sentuhan keduanya, anak akan tumbuh lebih bijak dan luas pandangannya.
Sebagai penutup, barangkali memang ada kaitannya antara pendidikan tinggi yang diambil perempuan dengan jodoh yang tidak kunjung tiba. Tapi, menghambat aspirasi seorang anak bangsa, apapun gendernya, untuk belajar dan menimba ilmu tidaklah elok. Di setiap pilihan hidup yang kita ambil, kita baru saja mengambil satu atau beberapa langkah mendekati (atau menjauhi) sang jodoh kita idam-idamkan. Terlepas dari preferensi para akhwat sholihah intelektual dalam memilih pasangan hidup, jangan sampai ada yang menyalahkan jodoh yang belum juga datang melamar. Salahin yang lain gitu, apa kek–kurang banyak sedekah, kurang banyak istighfar, kurang banyak berbuat baik pada kedua orangtua. Pepatah bilang, semua akan indah–juga basi–pada waktunya.
798 notes
·
View notes
Photo
A for Aquarius🌻
Heart and mind age by coffeewithhoroscope
1K notes
·
View notes
Text
Perjuangan yang Diam
Euforia hari wisuda selalu luar biasa. Banyak sekali foto-foto yang menghiasi laman media sosial beberapa hari ke depan. Juga ucapan yang tak putus masuk ke ponsel. Tapi, tak kala diri menyadari ketika bangun esok pagi. Mata terbuka, matahari bersinar, burung bernyanyi, air mengalir, dan udara berhembus.
Ada hembusan yang masuk ke kepala kita, terjun ke hati kita. Rasa cemas dan khawatir saat menyadari bahwa kita belum bekerja, tapi ada yang lebih mencemaskan yaitu tatkala kita tidak tahu mau bekerja apa selepas ini. Kita masih bergulat pada pertanyaan, apakah ingin mengikuti passion/kesukaan kita pada sesuatu atau mengambil kesempatan apapun yang datang. Padahal seharusnya urusan itu sebaiknya sudah kita selesaikan sebelum wisuda.
Di hari pertama selepas wisuda, orang tua mungkin belum akan banyak bertanya. Tapi hari-hari berikutnya, mungkin rumah adalah tempat paling tidak nyaman untuk kita tinggali. Saat kita masih dalam kebingungan, kita butuh dukungan bukan pertanyaan. Tapi saat itu finansial kita masih bergantung kepada orang tua. Kita masih harus meminta uang dan kita malu-malu mengatakannya.
Kita berjuang, kita merasa kita sedang berjuang. Tapi orang lain tidak melihat perjuangan kita. Mereka bertanya dan kita belum punya jawabannya. Tapi pertanyaan itu hampir datang setiap hari. Entah dari keluarga, entah dari teman.
Dan kita semakin resah, kembali ke pertanyaan tentang apakah mengikuti kesukaan kita pada suatu bidang atau mengambil kesempatan apapun yang ada. Sekalipun mungkin pekerjaan itu bukanlah hal yang kita sukai.
Kita terperangkap. Pada pertanyaan yang sama setiap hari. Pertanyaan dari diri sendiri, juga dari orang sekitar.
©kurniawangunadi | Yogyakarta, 4 September 2017
1K notes
·
View notes
Photo
Kangen so much with you. Anakmu disini udah bisa ngitung sampe 4, udah bisa makan sendiri, udah bisa naik tangga, udah bisa nyanyi topi saya bundar. Pinter, sehat, cantik.
0 notes
Text
perempuan yang punya banyak mimpi
kamu tau nggak, perempuan yang punya banyak mimpi itu cantik dan hebat banget kalau dilihat dan dikenal. mereka menarik karena tampak cerdas, karena sekiranya bisa melahirkan dan mendidik anak-anak yang cerdas pula.
kamu tau nggak, perempuan seperti itu, super merepotkan kalau dijadikan pasangan hidup. kalau kamu jatuh cinta sama perempuan yang punya banyak kemauan, kamu harus bersiap-siap.
kamu harus siap menjadi tempatnya bertanya, berbagi cerita, bahkan berkeluh kesah tentang perjalanan mencapai mimpinya. sebab, sungguh tidak ada perjalanan mencapai mimpi yang mudah–meski selama ini kamu melihatnya demikian, bahwa dia penuh dengan kemudahan.
kamu harus siap dan sigap untuk menjadi yang pertama dalam membela mimpinya. menjadi yang percaya saat orang lain tidak. menjadi yang pertama menikmati karya-karyanya. menjadi penggemar yang paling utama dan setia.
kamu harus siap ikut menghidupkan mimpi-mimpinya sebagaimana mimpi-mimpimu sendiri. sungguh, bagi para perempuan seperti itu, kalah pada mimpinya bisa jadi sama menyedihkannya dengan patah hati.
kamu harus siap dengan semua kerepotan itu. bahkan, kamu harus siap untuk berkorban.
perempuan yang punya banyak mimpi itu berisik, merepotkan. tapi, kamu tau nggak, kebanyakan dari mimpi perempuan sebenarnya adalah hadiah untuk orang yang paling disayanginya. kalau kamu merasa pantas untuk mendapatkannya, bersiaplah untuk membantunya merakit hadiah itu.
berkasihlah dan salinglah memberi hadiah, niscaya kalian semakin saling menyayangi.
4K notes
·
View notes
Quote
Manusia yang sabar, adalah yang ketika rezeki sampai pada tangannya, dunia tidak ikut masuk ke dalam hatinya. Ketika makanan masuk ke dalam mulutnya, haram tidak ikut masuk ke dalam darahnya. Ketika nikmat sampai pada dirinya, sombong tidak ikut masuk ke dalam jiwanya
(via choqi-isyraqi)
626 notes
·
View notes
Quote
A woman who opens her heart to love you when it’s already been broken, is braver than any person you’ll meet.
Steven Benson (via onlinecounsellingcollege)
6K notes
·
View notes