Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Jatuh cinta adalah berjalan sejauh yang bisa kamu tempuh, atau balik arah dengan hati yang rapuh.
1 note
·
View note
Text
Memeluk Laut
Cahaya berhamburan berdasarkan pada dirimu.
Siuh mengantarkan pada setiap orang
Yang mengarungimu
Begitu banyak yang berusaha mencari rahasia pada dirimu
Dari yang terdalam
Dari yang kehilangan
Begitu pula yang tersesat
Dari yang tenggelam
Dari yang kehilangan
Saat layar mulai dikembangkan
Dan arah mulai di kayuh
Kau begitu indah
Tak terpatri pada jarak.
Banyak yang dirindukan
Banyak yang terahasiakan
Biarkan aku berlayar pada ketidaktahuan akanmu
Aku sudah banyak bersiap
Menujumu...
Peluklah bahtera
Jadikan ia cakrawala
Yang menuntun gelombang
Kita akan lewati badai bersama
Deburnya membuat kita memahami hidup
Dimana rahasia tersimpan rapi
Saat kau memanggil matahari terbenam
Saat itu pula aku tak ingin beranjak
Pada biru matamu dan aroma laut di rambutmu.
Aku sudah tidak ingin sepi dan sunyi
Aku ingin memelukmu, bersembunyi denganmu ditempat sunyi
Di paling dasar samudera lautmu
Di palung dalam hati telukmu
Di Laut semua akan berakhir dipelukanmu
@mudofr
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Pengertian Kebahagiaan
Menurut sebagian penelitian Manusia sebenarnya tidak dirancang untuk bahagia. Sebaliknya, kita dirancang terutama untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Kebahagiaan adalah rekaan manusia, gagasan abstrak yang tidak nyata ada dalam pengalaman hidup manusia yang sebenarnya.
Makanya sungguh adalah ketidakperluan mencari kebahagiaan berlebihan, kebahagiaan seharusnya diciptakan setiap saat. Menurut penyair Brasil, Vinicius de Moraes, kebahagiaan adalah “bulu yang melayang di udara. Ia terbang cepat, tapi tidak lama.”
kebahagiaan berlebih adalah siksaan bagi yang senantiasa berjuang. Jangan banyak bersedih juga. Karena betapa berat hidup kalau kita bahagia menjalaninya berarti kita berada pada jalan perjuangan yang tepat.
Bertahanlah dan berani
@mudofr
0 notes
Text
Memeluk Laut
Cahaya berhamburan berdasarkan pada dirimu.
Siuh mengantarkan pada setiap orang
Yang mengarungimu
Begitu banyak yang berusaha mencari rahasia pada dirimu
Dari yang terdalam
Dari yang kehilangan
Begitu pula yang tersesat
Dari yang tenggelam
Dari yang kehilangan
Saat layar mulai dikembangkan
Dan arah mulai di kayuh
Kau begitu indah
Tak terpatri pada jarak.
Banyak yang dirindukan
Banyak yang terahasiakan
Biarkan aku berlayar pada ketidaktahuan akanmu
Aku sudah banyak bersiap
Menujumu...
Peluklah bahtera
Jadikan ia cakrawala
Yang menuntun gelombang
Kita akan lewati badai bersama
Deburnya membuat kita memahami hidup
Dimana rahasia tersimpan rapi
Saat kau memanggil matahari terbenam
Saat itu pula aku tak ingin beranjak
Pada biru matamu dan aroma laut di rambutmu.
Aku sudah tidak ingin sepi dan sunyi
Aku ingin memelukmu, bersembunyi denganmu ditempat sunyi
Di paling dasar samudera lautmu
Di palung dalam hati telukmu
Di Laut semua akan berakhir dipelukanmu
@mudofr
2 notes
·
View notes
Text
Menang dan Kenang
Kemenangan itu nyata
Kenangan itu fatamorgana.
.
Bebaslah dan terlepaslah bagi yang mampu beranjak dari kenangan menuju kemenangan.
.
Manusia menilai manusia dari hasilnya.
Sementara Tuhan menilai manusia dari prosesnya.
.
Kita hanya perlu Dasar Sadar dan Sabar.
Dasar kita adalah beriman, percaya kepada kehendak Allah, yakin dengan bersyukur. Sadar dengan kekurangan dan kelebihan kita dan Sabar dalam menjalani ketaatan.
.
Dalam proses, perjuangan, kadang kita sukses dan kadang kita belajar (bukan gagal).
#Mudofr
0 notes
Text
KALA
Hari ini aku mati, berteman kesunyian saat orang-orang terkasih menangis. Aku mati, sebagian sedih, sebagian bahagia. Aku berada diantara orang yang menyayangiku. Aku mati, tubuhu terapung dilaut lepas nyaris tak utuh dimakan hiu atau mengendap di lumpur. Aku mati, menyatu dengan dengan tanah, orang-orang mencari disela reruntuhan. Aku mati, kuburku selalu ramai dikunjung, nisanku marmer aku selalu merasa hidup, wajahku menempel di kaos-kaos dan dinding-dinding vandalisme. Aku mati, tanpa nisan, tidak dikenali, terasing dari orang-orang . sangat adil, takdir kematian menjemput siapapun.
Hari ini aku tua. Katanya tua adalah menuju gerbang kebinasaan. Aku tua, sendri diperbaringan sendiri sebatang kara, bahkan lebih kesepian dari ranting rapuh yang selalu dikunjungi semut merah. Aku tua, masih terus bertahan dibawah atap langit, yakinku tahta kesedihan akan segera binasa seiring kematian kelak. Aku tua, melarat dikerubungi lalat bersama sampah, setiap saat meminta sekarat. Aku tua, kaya raya seperti biasa, kondisi selalu menunjang untuk hidup. Anak-anakku dan cucu-cucuku teman setia usia senja ini.aku tua, pusaran waktu memaksa menyiapkan kematian tidak terlalu menyedihkan.
Hari ini, aku bapak, pemimpin bagi keluarga, seolah-olah yang berdiplomasi untuk masa depan anak-anak dan generasi muda. Aku bapak, banting tulang untuk kebutuhan anak dan masa tua. Aku bapak dari anak-anak yang tidak dimiliki. Aku bapak dari istri satu yang setia menemani. Aku bapak dari empat istri yang masih kurang. Aku bapak, pubertas kedua selalu menghantui. Aku bapak, yang berjalan dijalan raya, hilang akal dan kelaparan.
Hari ini, aku dewasa, aku tau dewasa itu mitos, tak pernah ada yang benar dewasa dan belum dewasa. Dewasa itu gak ada. Aku jatuh cinta lalu patah dan sedikit bersedih, aku dewasa gak perlu harus galau atau bermuram durja.Aku dewasa, dimana banyak orang yang menuntut kok belum ini kok belum itu. Dewasa memang mitos jiga segala sesuatu adalah capaian dan segala sesuatu ditanggapi positif.
Hari ini aku remaja, segala urat saraf adalah tentang kebebasan dan kenakalan. Cinta prioritas utama dengan depresi yang membayangi. Aku remaja, lebih eksis mengahbiskan rencana tanpa arahan, membakar uang untuk perjudian. Aku remaja, polos dan selalu lolos dari marabahaya kenakalan, pondasiku keprihatinan yang berbuah prestasi. Aku remaja, menjadi dirimu pada saat ini atau bukan.
Hari ini, aku kanak, hal menyenangkan semua keinginan terpenuhi, segala hal manja. Aku kanak, tanpa bapak tanpa ibu, hidup di penampungan, kadang mengemis kadang menjadi objek bagi lelaki bejad. Aku kanak, orang tuaku sayang, kakaku baik. Hari ulang tahunku mungkin adalah sebuah perayaan seperti lebaran bahagia kujemput semua kado menjemput. Aku kanak, aku hidup dibawah kolong jembatan, katanya aku hidup dari manusia yang tidak menghendaki aku ada, aku tidak mengenal hari dimana aku dilahirkan, aku tidak mengetahui usia kanakku yang keberapa akan berakhir.
Hari ini aku bayi, aku menangis namun semua orang disekitarku tertawa menyambutku. Aku paling tidak mengerti. Aku bayi, tubuhku ada dihanyutkan sungai sampai semua orang tidak percaya aku manusia. Aku bayi, aku ada ditempat sampah saat tangisku mengagetkan pemulung. Aku bayi, malaikat dunia dan akan tetap begitu, diamana dan sama siapa.
Hari ini, aku lahir dan kematianku hari ini.
Hari esok libur, tak pernah ada hari esok bagi siapapun. Hanya ada hari ini atau tidak sama sekali.
0 notes
Text
TITIK
.
Aku terkadang menyerah untuk sampai berada pada titik dimana tujuan akhir.
.
Lalu timbul takut kembali untuk tujuan yang belum pasti di depannya .
.
Katanya, manusia harus sedikit berharap dan banyak bersiap. Ketakutan pun harus dipelihara agar kita selalu bersiap.
.
Mudofr
0 notes
Text
KAKI
Kaki juga perlu istirahat, kaki adalah kendaraan purba manusia sebelum mengenal kuda ataupun binatang lainnya. Sampai sekarang mengenal mobil, motor, kereta sampai pesawat.
.
Tapi nyatanya manusia tetap perlu kaki, tentu saja, lalu seperti apa kita mensyukurinya??
.
Kaki kita sudah banyak mencatat setiap perjalanan kita, lurus, belok, kubangan, naik, turun dan kemana lagi berjalannya. Teman setia dalam perjalanan.
0 notes
Text
Terbiasakan
Tidak ada yang lebih kuat selain yang bisa menyesuaikan diri dan tidak ada yang hebat selain yang percaya pada diri sendiri.
Aristoteles berkata, kita adalah apa yg kita kerjakan berulang kali, dengan demikian, kecemerlangan bukan tindakan tetapi kebiasaan.
Jika hati sudah lelah, dan harapan mulai memudar. Jangan patah semangat dan mati harapan. Masih ada hari esok, coba dan coba lagi, resparasi terus.
Semoga benar kita adalah orangnya dengan kebiasaan-kebiasaan baik. Menjaga hati tetap tenang, merawat senyuman dengan tulus serta selalu semangat seperti harus.
0 notes
Quote
Malam melindungimu dari segenap warna. Dan aku menghangatkan tubuhmu dengan doa, dari keganjilan-kegajilan warna dunia.
mudofr
0 notes
Text
Bantu clarissa tersenyum, tapi Tuhan nakal hari ini.
Clarissa salah satu bayi kembar putri ke-4 pasangan suami istri Budi (42) dan Susi (38) adalah penderita penyakit langka, sumbatan cairan di kepalanya menyebabkan pembengkakan yang semakin hari semakin membesar.
Bayi yang beralamat di Lingkungan Raharja Rt/Rw 002/005 Kelurahan Cijati Kec/Kab Majalengka ini sangat menderita.
Saat merasakan sakitnya, Clarisa selalu mengepalkan tangan dan kakinya seperti kejang, terang Budi, ayah Clarisa.
Saya ingin segera membawanya ke rumah sakit hanya biaya yang kami miliki sangat terbatas, jelasnya lagi.
Merasakan penderitaan Clarisa adalah merasakan penderitaan Budi, ayah yang ingin mendapatkan anaknya sembuh dan tumbuh seperti anak anak seusianya, lucu dan menggemaskan.
Uluran tangan kasih sayang itu deras untuk clasrissa, aku hanya mengenal clarissa dalam satu minggu, hari pertama di rumahnya sebelum berangkat ke rumah sakit, hari ke dua (pasca operasi di Rumah sakit) aku melihat senyumannya, manis seolah bidadari, dan satu hari pasca operasi yang menjadi hari terakhir berjumpa, clarrisa tidak lagi mengepalkan tangan dan kakinya seperti kejang saat pertama berjumpa, clarissa telah terbujur lemah, telah meninggalkan kita semua. dan saya yakin clarissa tersenyum di surga nya Tuhan. jalan terbaik adalah menemui Tuhan dengan senyuman.
Clarrisa, Tuhan nakal hari ini
Clarrisa Saat sinar mentari menyapa pagi ini Dia kirimkan bara hingga terbakar segala rasa Bergelegak memaksa sabar Orang orang melanjutkan perjalanannya, mengindahkan panggilannya Sementara aku menemuinya
Clarrisa Perdebatan tentang apapun selalu berujung Jadi jangan pernah menghindarinya Seperti matahari yang beranjak siang ini melucuti kulit Panas menyengat Tapi tidak untuk orang orang di dalam gedung gedung berAC
Clarrisa Aku dalam perjalanan menuju sebuah tempat tapi kenapa sesuatu selalu menghalanginya Panas tiba tiba tiba hujan Kendaraan memacetkan jalan Lampu lampu tidak menyala Dan Orang orang menundukkan kepala
Clarrisa ayah ibumu sangat mencintaimu Tapi Tuhan yang hari ini nakal lebih mencintaimu...
#temansepaham #mudofr #imansabumi
0 notes
Text
Menelisik Makna Harfiah dan Metaforis dalam Diksi Gubahan Pertama, juga Totalitas Makna untuk Puisi-puisi di Dalamnya.
https://detanf.blogspot.co.id ( Diposting oleh Deta NF Collab Project with Yunka)
“Kertas boleh robek, buku pun boleh musnah. Namun, sesuatu yang terkandung di dalamnya, semoga temukan abadiah. Hidup bersama orang-orang yang telah membaca karya yang tak seberapa ini."
Penggalan dari prakata Gubahan Pertama yang menggambarkan betapa kuatnya nilai sebuah tulisan. Seperti yang diutarakan oleh Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Jika ditelisik, bekerja dalam arti sempit berarti menghasilkan suatu produk. Pun halnya dengan menulis. Produk berupa perenungan, pemikiran mendalam atau sekadar hiburan berbalut rangkaian aksara tercipta karena prosesnya. Inilah yang kelak akan memengaruhi pola pikir dan perilaku manusia sehari-hari. Input dari tulisan ini yang kiranya akan hidup secara terus menerus dalam diri pembaca.
Gubahan Pertama ini terdiri dari 58 puisi dengan tema yang beragam. Mengapa Gubahan Pertama? Kata ‘gubah’ atau ‘gubahan’ yang selama ini kerap kali difungsikan untuk musik, terlebih karya klasik, secara harfiah berarti sebuah karangan, terutama yang masuk ke dalam kesusastraan. Diluar nilai harfiah, saya ingin menegaskan bahwa Gubahan Pertama adalah karya komunitas Majalengka BookEaters yang pertama, pure, di luar dari fakta bahwa beberapa kontributor telah memiliki karya sendiri yang dibukukan. Pemilihan judul Gubahan Pertama ini menyiratkan makna kerja sama serta kekompakan. Dan, jika ada yang ‘pertama’ tentu akan ada bilangan lainnya yang mengikuti. Bagaimana jika yang ‘pertama dan terakhir’? Ah, itu lain hal.
Bila Esok Tiada; Jejak; Lukisan Fana; Memuliakan Usia; dan Perjalanan merupakan serangkaian puisi yang digubah oleh Alifadha Pradana yang sebelumnya telah menulis beberapa antologi lain yang sudah dibukukan. Menurut saya, kekuatan puisi-puisi Alifadha terletak pada pesan moral yang disampaikan.
Di sana, Ada corak cerah ceria Juga tersemat warna kelabu duka (Lukisan Fana)
Penulis sepertinya memang berkecimpung dalam karya sastra yang santun, tidak lepas dari image tersebut. Ia nyaman menggunakan diksi sederhana, kendati saya yakin bahwa penulis masih bisa mengeksplor lebih. Puisi-puisi penulis saya ibaratkan sebagai sebuah jembatan untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Diksinya tidak mewah dan pesan dari puisi penulis sudah bisa didapatkan hanya dengan sekali membaca, tak perlu menggali lebih dalam untuk mendapatkan pesan moralnya.
Aku akan terus melangkah mewujudkan semua damba yang menghasrat di jiwa.Dan semoga ...semua kan menjelma nyata. (Jejak)
Namun, jika saya melihat dari sudut pandang berbeda, tampaknya penulis ingin menyampaikan pesan kepada semua pembaca yang tak terbatas usia, maka dari itu beliau menyederhanakan pemilihan diksinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Yunka, bahwa puisi-puisi karya Alifadha Pradana benar-benar mencerminkan kelembutan hati seorang ibu.
Dilema Manusia Setengah Pagi dan Malam karya Zakir Al Fatih.Yunka mengungkapkan bahwa dirinya mengagumi sensibility yang dimiliki oleh penulis. Penulis mengisahkan orang-orang nokturnal yang berjudi dengan keadaan demi menghidupi diri.
Bertahan tetap terjaga Atau, Tidur nyenyak tak dapat apa-apa
Tiga puisi penulis lainnya yakni Gadis Api; Kenangan di Tepi Dermaga dan Untuk Rindu berhasil menarik perhatian Yunka. Hanya saja, Yunka memiliki ekspetasi lebih terhadap penulis. Ia percaya bahwa penulis yang memiliki sense of literature yang tinggi, mampu menghidupkan puisi-puisinya secara lebih maksimal.
Saya dan Yunka memiliki kesamaan pendapat mengenai Serambi karya Erika Reieru. Kami sama-sama menyukainya. Terlebih lagi, Yunka mendapati sebuah ketulusan penulis dalam karyanya. Yunka pun mengungkapkan bahwa diksi yang disajikan penulis dalam Serambi cukup menarik dan tidak monoton, berhasil menyampaikan pesan dengan baik.
Jika ditelisik, Serambi ini jelas membicarakan seseorang (yang saya yakini adalah seorang anak). Penulis mengambil sudut pandang sebuah serambi yang menjadi saksi bisu perbincangan sebuah keluarga. Perasaan rindu, homesick dan kedewasaan menjadi suguhan utama. Kedewasaan memang memisahkan. Terdapat pilu pada paragraf terakhir.
Dan kini hanya terdiam berdampingan menembus waktu
Dari penggalan di atas, saya menangkap bahwa serambi sebagai mata lain tengah merasa pilu atas perasaan orang tua yang terpaksa berpisah dengan anaknya atau siapa pun itu yang tidak disebutkan. Selain Serambi, penulis menulis puisi berjudul Kelakar Benih; Sang Hujan dan Nyiur Aceh. Kelakar Benih mengambil tema mengenai keserakahan manusia dengan menganalogikan benih pohon yang menyerap sari-sari semesta tanpa menyisakan apa pun untuk benih lainnya hingga ia kokoh namun tak berbuah ranum. Esensinya memang luar biasa karena cakupannya hanya sebatas benih-benih pohon.
Yunka menelisik lebih dalam mengenai sari-sari semesta yang terserap yang kemudian menjadikan pepohonan sebagai penyumbang oksigen terbesar bagi makhluk lain. Dalam hal ini, jika penulis mencakup objek yang lebih luas maka analogi ini membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut.
Berbeda dengan Kelakar Benih, Nyiur Aceh menyajikan tema mengenai cinta pada pandangan pertama. Makna yang Yunka tangkap dari puisi ini adalah ... bahwa seseorang yang sekian lama diam di hutan pinus akhirnya tergoda oleh keindahan Nyiur Aceh untuk kali pertama. Ia meninggalkan pinus demi mengejar sesuatu yang ternyata tak seindah yang ia bayangkan di awal. Sesuatu yang menarik bahwa penulis membuat analogi menggunakan istilah pinus dan Nyiur Aceh. Adakah keduanya memiliki filosofi tersendiri atau hanya dipilih secara random?
Setelah membaca Angin, Duka Mulia Majalengka, Sahabat dan Sunada karya Rafli Rizki, saya mengambil satu kesimpulan bahwa penulis selalu menyisipkan satire di setiap puisi-puisi karangannya. Baik dalam keseluruhan bait atau hanya pada larik-larik tertentu saja.
Karena leluhur berbudi luhur! (Duka Mulia Majalengka)
Penulis juga mengangkat isu lokalitas yang teramat kental dalam Duka Mulia Majalengka. Dengan menyebutkan serangkaian nama leluhur yang disambat oleh tokoh aku dalam puisinya, saya merasa bahwa pengetahuan penulis mengenai sejarah Majalengka sangatlah dalam. Namun, saya mendapatkan diksi yang tak memiliki korelasi dalam makna apa pun ataukah saya yang gagal untuk memaknainya?
Berbeda dengan karya Rafli Rizki yang kentara akan satire, puisi-puisi AN bak penyegar dalam kumpulan puisi Gubahan Pertama. Adalah Budi; Johari; serta Wajah, Dompet, Kelamin dan Hati dengan nuansa jenaka dan diksi sederhana yang memberi gelak tawa sekaligus perenungan.
Dalam puisi Budi, penulis menulis bait yang serupa. Di bait kedua dengan penambahan tanda baca dan mengubah bait terakhir menjadi kalimat tanya. Sejujurnya, saya masih menyimpan tanda tanya besar terhadap puisi ini. Sebagian orang beranggapan bahwa ini tampak seperti puisi tanpa makna. Namun, saya menangkap ada nilai intelektual yang terkandung di dalamnya.
Johari memiliki makna hubungan vertikal. Saya merasa diksinya terkesan membosankan karena terdapat repetitif yang jelas bukan konsep. Namun, Yunka mengungkapkan bahwa diksi penulis dalam Johari justru menarik, terlepas dari sisi repetitifnya itu sendiri.
Johari dengan harinya Sedang harinya adalah milik Engkau. (Johari)
Aku menyoroti bait ketiga dalam puisi Wajah, Dompet, Kelamin dan Hati.
Aku harus kuasai dunia. Memang kelaminku perkasa Namun, Ratu Diana lebih menyukai Ratu Cleopatra Ah ... kelaminku tumpul
Pada larik ketiga, jelas, ini meruapakan sebuah perumpamaan atas bobroknya nilai moral pada masa sekarang, terlebih perihal isu LGBT. Namun, saya tak pernah mendapati informasi mengenai Diana yang menyukai Cleopatra. Benarkah? Atau larik yang tertera memang pure sebuah analogi saja?
Tuhanku gubahan Shendi Rosyian adalah salah satu puisi yang menarik perhatian Yunka. Yunka menemukan makna penghambaan diri dari bait-bait keputusasaan.
“Bibir-bibir takdir begitu getir. iman tak bisa lagi kuukir Pada jalan pikir. Tuhanku, tubuh ini telah lama aku pinjam Namun, hati kian tak mau terpejam“
Dalam perspektif Yunka, terdapat sebuah ketidakkonsistenan makna. Sejak awal diungkapkan bahwa tokoh aku dalam puisi berada dalam keadaan yang putus asa dan terombang-ambing dalam imannya. Sementara tampak kontras dengan keadaan demikian, penulis menuliskan larik ‘Namun, hati kian tak mau terpejam.” Jika dikorelasikan dengan larik sebelumnya, tokoh aku menyadari nikmat jasmani yang ia miliki dan menyesal karena masih tak mampu berbuat apa pun untuk mengukuhkan imannya. Namun, kata ‘terpejam’ yang penulis tulis tampaknya justru tak menyanggah apa pun. Karena hati terpejam yang Yunka yakini adalah hati yang mati.
Selain Tuhanku, adalah Kepada Ibu di Tenggorokanku yang mewakili isi hati para pecundang yang tak sanggup melawan beratnya hidup, terlebih getirnya patah hati.
“Ibu Aku ingin menua di rahimmu Tempat dimana aku lahir dulu Sebelum aku mengenal patah hati”
Dari 58 puisi yang tertuang, saya dan Yunka sepakat bahwa puisi karya Mudofr merupakan puisi pamungkas yang sangat matang. Berladang di Kepala, Ejawantah dan Udara Rebah merupakan judul-judul yang ditulis Mudofr. Saya sendiri sebagai seorang penikmat diksi, terkagum-kagum dengan pemilihan diksi yang Mudofr bawa.
“Yang sekian waktu ini bukan penghabisan. Sebab,jatuh cinta padamu berulang-ulang seperti waktu mencari bilangan ganjil dalam putaran” (Udara Rebah)
Terkesan tangguh, tetapi rapuh. Bilangan ganjil yang dimaksud yakni angka 13 dalam jam. Mencintai tanpa henti, tetapi tak mendapatkan apa yang tengah dicari. Dalam tiga larik yang tersaji pada bait pertama, saya sudah merasakan kepiluan. Mengingatkan saya akan kalimat singkat “For Sale: Baby Shoes Never Worn” yang ditulis oleh Ernest Hemingway. Demikian halnya dengan Mudofr. Meski salah satu puisinya sangat panjang, namun setiap kata yang ia tuliskan selalu bermakna.
Namun, Yunka mengungkapkan bahwa dalam beberapa bait, ia merasa bahwa puisinya terkadang lepas. Feeling nya tak lagi sampai namun kemudian terhubung kembali. Seperti itulah.
Selaras dengan Mudofr, puisi-puisi karya Hujan Duri pun tampak begitu matang. Mengingat penulis telah menerbitkan buku kumpulan puisinya. Yunka pun mengatakan bahwa tone puisi karya Hujan Duri mengingatkan dirinya akan karya-karya Kahlil Gibran.
Masih banyak sekali puisi dalam Gubahan Pertama yang ingin saya bedah totalitas maknanya. Mari kita bedah bersama. Baca bukunya, pahami maknanya kemudian bertukar pikiran. Saya yakin, banyak sekali perspektif yang berbeda yang bisa kita obrolkan.
Saya yang menempatkan diri sebagai pembaca, kendati saya ikut menulis 4 puisi, merasa bahwa para penulis bisa lebih mengembangkan potensi yang memang sudah dimiliki. Semoga ke depan, akan lahir Gubahan Kedua, Gubahan Ketiga dan seterusnya.
1 note
·
View note
Text
Dari “Penulis Murtad” untuk Gubahan Pertama
https://gilangpram.wordpress.com Posted on January 4, 2018 by GILANG PRAMUDHITA
Keberadaan Majalengka BookEaters Club (MBC) bak oase di tengah sawah yang kini sudah menjadi landasan pacu pesawat terbang. Gerakan literasi di Kota Angin memang kerap kali timbul tenggelam. Tetapi mereka kini membawa semacam angin segar lewat karya perdananya, sebuah antologi puisi yang bertajuk “Gubahan Pertama” yang terdiri dari 58 puisi dari 23 penyair di Kota Angin. Sungguh, saya turut bahagia.
Sepulang dari acara peluncurannya, lantas saya segera membacanya untuk mengisi waktu pergantian tahun. Langsung saya libas dari awal hingga akhir. Membaca kumpulan puisi mereka membuat saya beberapa kali mengernyitkan dahi, memicu perasaan, sesekali menguap sebab tak ada kopi malam itu.
Dari sekian bannyak puisi yang dimuat di buku antologi itu, beberapa amat menarik perhatian sehingga menjadi semacam “highlight” buat saya. Tak berarti menyepelekan yang lainnya, namun memang ada beberapa yang terkesan berbeda darinya. Dari keberaniannya “memperkosa kata-kata”, meminjam istilahnya Oom Somara de Uci, hingga “kepolosannya” mengungkapkan situasi interior dalam dirinya yang entah perempuan mana yang membuatnya begitu. Teringat kata-kata Kahlil Gibran, “karena sentuhan cinta, setiap orang menjadi pujangga”.
Ada Ade Mudofar yang menulis sajak berjudul “Berladang di Kepala”. Sajak terpanjang yang saya baca di buku ini. Saya mesti mengacungkan jempol terhadap kemampuannya menjaga energi untuk menulis sajak sepanjang itu, terlepas ia menulisnya dalam satu waktu atau dalam waktu yang melompat-lompat. Akan tetapi, ada energi yang tetap terjaga dari tulisannya. Kemudian beberapa letupan kata-kata yang sesekali membuat saya tercengang di tengah-tengah absurdismenya.
“Besok pagi ketika kau bangun, Aku akan berada di jalanan itu. Berjalan dan berlari Di jalanan berlubang korupsi Kamu akan menatap langit Aku melihatmu, saat langit memantulkan wajahmu Aku tersenyum, kamu beranjak mandi”
Lalu ada Deta NF, yang membuat saya berkali-kali mengernyitkan dahi membaca beberapa puisinya. “Puisi adalah karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa secara khas.”, begitu yang diungkapkan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. Demi pencapaian tujuan estetik tertentu, saya patut acungkan jempol untuk Deta NF atas pemilihan-pemilihan diksi yang bagi saya harus menambah pekerjaan untuk mebuka-buka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
“Aku, kerikil rengsa Dirungkup cemburu, Dan kesepian.”
Dari sekian banyak penyair itu, kebanyakan dari mereka masih terbatas pada melucuti pengalaman subjektif personalnya. Betapa kuat kebanyakan dari mereka mengungkapkan situasi interior dari pengalaman personalnya dengan bahasa ekspresi yang puitik. Kendati demikian, saya mencatat hanya dua atau tiga penyair yang berkontemplasi atas ruang di dalam dirinya dengan realitas sosial di sekitarnya. Seperti pada sajak “Atas Nama Tuhan” karya Shendi Rosyian, “Bualan” karya RRZ, dan “Duka Mulia Majalengka” karya Rafli Rizki. Dalam bahasa Linus Suryadi, “Dia serahkan irama hidup antar desa dan kotanya // Selama menyeberangi arus deras sungai ke hilir // Selama jiwa di dalamnya membuka isyarat rahasia // Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di pinggir.” Penyair senantiasa “berdiri dan bersaksi di pinggir” menyuarakan realitas sosialnya melalui sajak-sajaknya. Atau mungkin juga belum, mereka masih ingin menyuarakan isi hatinya, melempar kode-kode keras kepada pujaan hati atau mantan kekasihnya (Lamun aya kawani mah datang ka imah kolotna!).
Terlebih dari itu semua, saya pikir MBC dengan Gubahan Pertama yang dilahirkannya patut memperoleh tepuk tangan, bahkan standing applause. Di tengah gersangnya gerakan literasi di kota ini, kita tahu ada penulis-penulis yang sembunyi di tengah kerumunan, menawarkan semacam kesegaran yang HQQ.
Dan di balik itu juga, “Gubahan Pertama” bagi saya pribadi adalah sumbangan energi. Energi untuk menulis kembali. (Supaya tidak jadi “penulis murtad”, kata Agan Oom ). Tetapi tidak hari ini, mungkin besok, lusa atau lain hari setelah tutup warung kopi, dan si anak tidur nyenyak di samping istri.
Tetap semangat Majalengka BookEaters Club! Salam literasi.
“kita harus membaca lagi agar bisa menuliskan isi kepala dan memahami dunia” -Wiji Thukul
Majalengka, 4 Januari 2018
0 notes
Photo
....diamku, tapi tidak sekeras kepalaku. sungguh itu kamu, melunakkan. Mimpi, ambisi, harapan, cita-cita, doa, kamu, semoga, bersama, dipuncak untuk selalu mengkuatkan, kita bukan akar, aku, juga kamu. mari, ayo, saling memupuk kembali, bersama, rasa, persaan sayang, cinta, bunga rindu. #akucintapadamu , memang, demikian.
0 notes
Quote
Ilmu Pengetahuan ilmiah itu mengundang untuk disangkal, bukan memohon untuk diyakini.
0 notes
Text
Berladang di kepala
I
Aku, mesin waktu usang Yang kerap menjadi tempat kebosanan kepalaku Adalah sudut tersempit dunia, setiap lorong yang ditemui adalah kamu. Tempat yang menjadi ladang berserakan kasih sayang.
...................................xxxxx........................................................
telah diterbitkan dalam buku antologi puisi gubahan pertama, 2017.
0 notes
Text
Menerka takdir mereka
Malam menghias dirinya Segala yang tersentuh, syahdu bersetubuh Kegelapan buta mencari cahaya Lalu kesepian menjadi bahaya
Dingin memeluk pemulung renta ujung jalan Memperkosa dirinya menjadi pejalan
Sisi lain, Pongah pesta pora Dalam Ruangan dingin terbuat Bir, distorsi tentu reparasi.
Pemulung menerka Mengigit takdir Adil, takdir kematian adalah hal sama Menjadi tamu.
Tersenyum, berdzikir Pejalan kaki sepi menginjak waktu.
Esok kumandang kematian…
0 notes