Perakit kata dari tanah barat. I write here, sometimes. Read, Feel, and Close Your Eyes. Type www.astronomicgirl.blogspot.co.id in you browser for read my main blog.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sepulangnya ke Tumblr Lagi
Perpisahan Tumblr kemarin mirip seperti perpisahan karena restu orang tua. Bukan karena kemauan dari kedua belah pihak. Tiba-tiba dipaksa lepas, dan dia pergi jauh entah ke mana tak bisa dihubungi lagi.
Kita dibuat penasaran, dibuat kebingungan. Masalahnya, banyak yang belum tuntas, banyak tulisan yang belum disimpan, banyak karya-karya bahagia yang tak bisa lagi dijalani bersama. Banyak kenangan yang terpaksa dikubur tanpa dipendam. Ruang yang dulu penuh warna tiba-tiba biru tua muram. Beberapa kawan berbincang hilang tak bisa dihubungi. Tak ada lagi kabar-kabar yang bisa didengar.
Ketika sedang jatuh-jatuhnya, tak ada lagi tempat yang bisa mendengar dengan bebas. Becerita tanpa batas. Menjadi orang lain ketika benci akan diri sendiri. Melepaskan sisi yang selama ini selalu terpendam dalam-dalam. Setelah bertahun-tahun bersama, ternyata ditinggal tanpa pesan itu rasanya rindu setengah mati.
Perasaan itu masih sama. Masih tetap.
Hingga kemudian datang berita bahagia. Dia kembali datang dengan restu yang pada akhirnya sudah ada di tangan. Awal untuk memulai lagi, rasanya begitu canggung. Seperti sudah kenal lama, tapi terasa baru. Sesekali mulai menelusuri yang dulu-dulu, di mana kenangan pahit dan bahagia pernah ada di situ. Memaksa brangkas kenangan terhempas mengisi seluruh relung udara. Ada cerita di mana aku masih dengan seseorang, ada cerita di mana aku begitu kehilangan, ada foto-foto lucu, ada foto-foto sudut rumah yang aku reblog karena siapa tau suatu saat aku bisa mempunyai rumah seperti itu.
Ada beberapa foto yang aku kirim dan caption di bawahnya membuatku tertawa sedikit meski ada perasaan terluka. Kenangan-kenangan ketika aku masih bahagia dengan seseorang, yang kini aku baca dengan terluka karena sudah tak lagi bersama. Juga macam-macam bincang dengan teman-teman yang entah siapa namun terasa begitu akrab di kepala. Lebih jauh lagi, aku melihat begitu banyak perkembangan dari aku yang dulu. Ternyata aku tak menyadari, ditinggalkanmu dulu, aku sudah seperti ini. Beberapa ada yang jadi jauh lebih dewasa, ada yang sudah menemukan bahagia, atau ada juga yang malah makin terluka. Berharap bisa kembali ke masa-masa awal ketika masih bisa berjumpa dengan biasa.
Namun pada akhirnya, di sinilah kita sekarang. Mau tidak mau. Dengan keadaan yang kita harapkan maupun yang tidak.
Jadi…
Selamat datang lagi, Tumblr.
Tolong jangan pergi lagi.
851 notes
·
View notes
Text
Ben & Sarah #1 : Kehidupan Masing-Masing
Sarah :
Salemba, Jakarta Pusat, 2016
08.00 WIB
Jakarta pagi ini agak mendung. Air hujan mengguyur dengan intensitasnya yang tidak terlalu sering, namun jika terkena air hujan pagi ini terlalu lama, kau akan merasa pusing juga.
Sarah menatap jendela kelas dengan tatapan kosong. Dia lebih memilih untuk menatap jendela yang menghubungkan pandangannya dengan rintik hujan di luar sana. Entah apa yang dibicarakan Pak Sarwono di depan kelas. Baru kali itu Sarah merasa tak bersemangat mengikuti kelas pagi. Biasanya Sarah yang selalu datang tepat waktu atau 15 menit sebelum jam perkuliahan dimulai. Pikirannya pun melayang menuju mimpi kemarin malam. Di dalam mimpinya, Ia bertemu dengan lelaki itu. Lagi-lagi, Sarah merasa begitu rindu kepada sosoknya.
Ia rindu dengan sentuhan lembutnya saat tangan lelaki itu menyentuh rambutnya.
Ia rindu saat lelaki itu tertawa. Yang Sarah dengar dari tawanya adalah tawa yang renyah bak kulit martabak kesukaan Sarah.
Matanya terasa panas ketika mengingat semuanya, seakan-akan dirinya tak percaya pada takdir yang telah terjadi. Sudah tidak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu kecuali kenangan yang begitu manis — namun pahit apabila diingat.
Setelah puas menyelami kenangan dengan sosok lelaki itu, Sarah memutuskan lamunannya dan kembali mendengarkan Pak Sarwono yang sedang menjelaskan tentang syaraf manusia.
—
“Sar, lo kenapa sih?” Tanya Reksa, teman sekelas Sarah, sambil membereskan buku-buku yang tebalnya 300 halaman lebih dan memasukkan dengan paksa ke dalam tasnya. Akhirnya, kelas pagi bersama Pak Sarwono telah usai. Sarah hanya menggeleng lemah dengan membawa buku yang sama dengan milik Reksa di tangannya.
“Belom sarapan?” Tanyanya lagi sambil meneliti wajah Sarah yang berdiri di depannya. Belum sempat Sarah menjawab pertanyaan Reksa, ponsel milik Sarah bergetar. Ada telepon masuk dari dosennya, Pak Andra. Sesegera mungkin Sarah menerima panggilan itu.
“Selamat pagi, Pak Andra.. Iya, pak. Ini saya sudah selesai kelas, Pak.” Sarah berbincang dengan suara diseberang dengan bersemangat. Sementara Reksa hanya bergeming menatap Sarah yang tingginya hanya sampai dagunya. “Baik, pak. Saya segera ke ruangan bapak sekarang.” Setelah sambungan telepon terputus, Sarah melihat ke arah Reksa.
“Iya, aku emang belum sarapan. Nanti saja sekalian makan siang. Hehe.” Kata Sarah sambil bergegas berjalan ke arah pintu. Ternyata tinggal 2 orang tersisa di kelas, yaitu Sarah dan Reksa.
“Eh, lo mau kemana?” Reksa segera mengejar Sarah. Tanpa sadar, Reksa menarik tangan Sarah, dan kemudian Sarah menghentikan langkahnya. Ia melihat tangan Reksa yang menggenggam tangannya.
“Mm.. maaf, Sar. Aku reflek tadi.” Kata Reksa canggung melepaskan tangan Sarah.
“ Reksa , maaf aku harus ke ruangan Pak Andra sekarang. Kita sarapan bareng besok aja, ya. Bye, Sa.” Kata Sarah sambil berjalan pelan meninggalkan Reksa yang kehabisan kata-kata.
—
Ben :
Bulaksumur, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016
08.00 WIB
Ben menarik selimutnya yang semakin lama hanya menutupi kakinya. Untung hari ini kelas kuliahnya dimulai ba’da dhuhur nanti, jadi masih ada kesempatan untuk bermalas-malasan di kasur. Yogya pagi ini cukup dingin. Bahkan sisa udara hujan semalam belum hilang juga.
Setelah bermalas-malasan di kasur cukup lama, Ben memutuskan untuk membuka korden kamarnya. Seketika cahaya matahari dengan lembut menyinari tubuhnya yang kedinginan semalaman. Melihat sang mentari yang sudah mulai berani memancarkan sinarnya, membuat pikiran Ben melayang pada seorang perempuan yang dicintainya. Perempuan itu sangat menyukai pagi. Perempuan itu hanya sibuk mencintai pagi tanpa pernah tahu tentang perasaan Ben padanya. Ben menghela napasnya yang penuh kekecewaan untuk mengakhiri lamunannya. Ah sudahlah, saatnya sarapan soto ayam kesukaan Ben pagi ini.
—
“Bu! soto ayam satu, ya!” Kata Ben agak lantang kepada Bu Laksmi, penjual soto kesukaan Ben. Warung soto itu sederhana, tak terlalu besar, tapi cita rasa soto ayam nya yang khas itu lah yang membuat Ben selalu kembali ke warung itu saat dia kelaparan di pagi hari. Sepertinya warung Bu Laksmi tak pernah sepi, bahkan saat Ben kesana, ramainya minta ampun.
“Ayamnya mau di suwir atau utuh, Le?” Jawab Bu Laksmi dengan suara cemprengnya yang tak kalah lantang dengan suara Ben.
“Suwir deh, Bu. Aku lagi males makan ayam utuhan.”
“Yowes, Minumnya opo?”
“Teh anget. Eh, Bu, aku duduk sana ya.” Timpal Ben sambil menunjuk satu-satunya meja yang kosong. Segera saja Ben menuju meja itu. Jemarinya lincah memainkan layar ponsel, hanya itu yang dapat dilakukan Ben saat menunggu pesanan sotonya datang.
Tak lama setelah ia menaik-turunkan timeline instagramnya, Nurin, anak bu Laksmi tiba dengan segelas teh hangat di ditangannya. “Mas Ben, iki tehmu, soto ne jek otw.” Katanya sambil tersenyum hangat.
“Iyo, rapopo. Suwun, Rin.”
“Kok Mas Ben sendirian? Mas Prabu mana?”
“Haha, kok nanyain Prabu kenapa? Kowe seneng karo Prabu?” Tanya Ben tanpa basa-basi.
“Iiihh, ora kok, Mas! Ngarang!” Gerutunya sambil berlalu. Mendengar Nurin yang menggerutu begitu, Ben terkekeh geli. Bisa-bisanya Nurin tanya begitu.
—
Mungkin ini tempe ketiga yang dilahap Ben bersama soto yang masih mengepul hangat. Begitu nikmat. Rasanya seperti makan soto dirumah. Seperti masakan Ibunya Ben. Tak terasa soto yang rasanya mirip dengan soto dirumah itu hampir habis, tinggal sisa-sisa kuah yang sepertinya mau disendok saja sudah tidak bisa. Saat Ben sedang mengunyah tempe mendoan ketiganya, Ponsel Ben berbunyi, ada telepon masuk. Ben tertegun melihat nama penelpon itu, cepat-cepat ia menelan kunyahan tempenya.
“Ha..Halo? Juni?”
Telepon itu adalah telepon dari perempuan pecinta pagi, sekaligus perempuan yang dicintai Ben– Juni Astari.
—
B E R S A M B U N G
4 notes
·
View notes
Quote
Aku benar-benar ingin sekali menatapmu tanpa perlu merasa sesakit ini, seluka ini, seperih ini.
(via mbeeer)
811 notes
·
View notes
Text
Ben & Sarah : #Prolog
Sarah :
Namaku Maulidina Sarah Amalia. Kelahiran 22 Juni 1997. Sekarang sudah hampir 21 tahun. Walaupun dari nama lengkapku bisa dijadikan nama panggilan yang tidak asing di telinga orang, tapi dari kecil aku selalu di panggil Sarah, tidak pernah Amalia, atau Dina. Sekarang aku berstatus sebagai mahasiswa semester 5 menjelang 6, di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Kagum?
Jangan. Biasa aja rasanya, sumpah. Kadang aku heran aja gitu. Teman-teman mama dan papa pada bilang : “wah, pinter banget.” atau “anak UI ya? Ayo, tante jodohin sama anak tante”.
Emang kenapa sih? Sama aja kok rasanya.
Aku kuliah di UI, malah jadi anak rantau. Jauh dari orang tua. Belajar mandiri. Tebak, aku makan cuma berapa kali sehari? 2 kali! Iya 2 kali aja. Sarapan sama makan siang digabung. Biar ntar disebutnya Brunch. Keren ‘kan? Padahal itu langkah untuk ngirit sebagai anak rantau.
Aku memutuskan untuk meninggalkan kotaku berasal, Solo, buat ngejar impianku biar jadi kayak mama sama papa. Jadi dokter. Bukan lagi jadi dokter kecil kayak pas masih SD dulu.
Nah, disini, aku pengen cerita tentang seseorang yang sampai sekarang nggak bisa lepas dari pikiranku. Dia bukan orang yang bisa dibilang sebagai orang yang baik. Tapi dia bermakna buat aku– kehadirannya membawakan arti buat aku. Kalau ada jarak yang menghalau diantara kami, pasti salah satu– atau salah dua dari kami akan saling mencari. Aku ingin mencintai dia dengan sepenuhnya, tetapi aku dikalahkan dengan kenyataan yang ada di depan mataku.
Aku ingin bercerita,
Tapi bukan aku yang bercerita. Melainkan si penulis ceritaku yang akan menuangkan semuanya. Di sepanjang cerita nanti, aku tidak akan bicara. Maka aku gunakan sudut pandang ketiga. Agar kau tahu, betapa aku menyayangi dia– orang yang kadang selalu ada seperti senja, dan kadang menghilang seperti pelangi yang diterpa angin, melalui kata-kata dari penulisku.
Salam,
Sarah.
—
Ben :
Hai! Apa kabar? Aku Ben. Sebenernya nama asliku bukan Ben. Keren amat dah namaku kalo aslinya udah Ben. Nama asliku Seno Yanuar Bagaskara. Temen-temen manggil aku Ben, karena dulu pas jaman SMA, ada temenku yang panggilannya “Seno” juga. Jadi, abis itu temen-temenku manggil aku Ben. Ah, udah cukuplah perkenalan namaku yang keren itu.
Aku kuliah jurusan sosiologi di UGM, Yogya. Anak rantau nih ceritanya. Tapi rantaunya nggak jauh-jauh amat dari kotaku lahir. Cuma jarak kurang lebih 60 km doang. Kalau naik kereta dari Stasiun Purwosari ke Stasiun Lempuyangan paling cuma satu setengah jam. Ya, aku tinggal di Solo tapi kuliah di Yogya. Sebulan dikasih orang tua uang bulanan 2 juta, buat laundry, makan, bensin, paketan, sama rokok. Eh? Rokok nggak masuk jatah uang bulananku. Kalau beli rokok ya beli pake uang hasil cari sendiri. Aku kerja paruh waktu di kedai minuman gitu. Jualannya kopi ada, milkshake ada, milktea juga ada. Lah, kok malah promosi?
Di rangkaian cerita ini, nantinya kalian bakal baca ceritaku yang akan disampaikan dengan penulisku tentang perasaan yang nggak bisa aku tuangkan sendiri. Begitu susah buat aku jelasin. Yakin deh. Susah banget. Aku aja bingung sama perasaan ini, apalagi kalau diminta buat nyeritain.
Aku heran. Kenapa dia begitu punya daya tarik yang berbeda dari perempuan-perempuan yang selama ini aku temui? Kalau aku lagi bareng sama dia, rasanya gak ingin aku melangkah menjauh dari dia. Bagiku, jarak yang selama ini menghalau diantara aku sama dia, cuma jadi penyiksa. Dia seperti hujan buat aku, menenangkan untuk diriku yang berantakan.
Semoga dia tahu,
Aku pengen selalu sama dia.
Best Regards,
Ben.
—
Itu tadi perkenalan singkat dari Ben & Sarah. Seiring berjalannya waktu, kau akan mengerti siapa mereka, apa yang mereka pendam di dasar hati mereka dan apa yang mereka rasakan ketika sedang bersama atau sedang tidak bersama. Kau akan mengerti. Percayalah. :)
1 note
·
View note
Text
Ben & Sarah #0 : Sapa
Hai.
Sebelum memulai menulis cerita bersambung ini, aku ingin ucapkan selamat menyongsong hari yang baru untuk kalian semua. Tahun 2018, terbilang dua ribu delapan belas telah datang dengan ratusan hari kebelakang. Hari-hari itu siap kau jelajahi, warnai dengan tinta biru, hitam, merah muda, atau warna-warna lain yang kau suka.
Dengan segala kerendahan hati, maka ijinkanlah aku untuk ikut serta mewarnai harimu.
Aku akan menulis cerita bersambung untuk kau yang ingin hari-harimu menjadi merah muda karena rasa cinta yang tersirat dari dua orang tokoh utama cerita ini.
Aku akan menulis cerita bersambung untuk kau juga, yang ingin harimu membiru karena rasa sendu yang muncul begitu saja ketika dua orang tokoh ini saling merindu dan tak saling sapa.
Serta aku akan menulis cerita bersambung untuk kau, iya, kau. Kau yang ingin harimu menjadi gelap seketika karena rasa kesedihan yang di alami salah satu tokoh utama karena melepas kepergian cintanya.
Ini cerita untukmu.
Untuk siapa saja. Maka, selamat membaca.
Salam hangat, dan biru,
xx,
Megan
0 notes
Text
Suatu Hari Bersamamu #2 : Hingga di Penghujung Tahun
Buat : tertuju kepada orang yang sama seperti tulisan yang kemarin :)
Katamu, kita tidak boleh menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi.
Katamu lagi, kalau kau merokok ketika hujan tengah turun, maka hujan akan segera menjauh. Segera reda.
Tapi kataku, makan es batu itu membuatmu anemia.
Di penghujung tahun ini, kita sering menghabiskan waktu bersama. Banyak hal-hal yang kita bicarakan ketika kita sedang berada di atas sepeda motor yang melaju pelan, kadang juga kencang. Membuat kerudungku tertiup angin yang kau lawan dengan pacuan motormu untuk menyelip diantara mobil-mobil penguasa jalan. Bahkan ketika sedang asyik berbincang santai, tiba-tiba helm yang ku kenakan terbang ke belakang. Hampir copot.
“Ditutup aja kaca helmnya.” Katamu seraya meraih kaca helm dan tak sengaja bersentuhan dengan tanganku yang juga berniat untuk menutup kacanya.
“Hehe, iya. Tapi, kalau ku tutup nanti kamu ndak bisa ngobrol sama aku.” Jawabku.
“Haha, ya, gimana lagi.” Kemudian keheningan menguasai kita berdua. Entah apa yang kau pikirkan ketika hanya hening yang ada di antara kita. Aku tak tahu. Dan tak pernah tahu. Kalau kau berkenan mengetahui apa yang ada di kepalaku ketika keheningan ada di antara kau dan aku, aku akan menyatakannya.
Sebenarnya isi kepalaku ketika kau dan aku sama-sama bungkam adalah tak jauh dari siapa yang kala itu sedang bersamaku– kau.
Kau terkejut? Kurasa tidak. Aku memikirkan caramu menatapku, menggenggam tanganku, hingga tawamu yang kadang penuh ejekan atau menertawai candaanku yang tak ada artinya. Aku memikirkan bagaimana caraku menuangkan pandanganku tentang dirimu melalui kata. Dan akhirnya aku mampu menulisnya. Seperti :
Kau selalu memiliki kejutan dibalik punggungmu yang siap kau berikan begitu saja.
Kau selalu memiliki rengkuhan hangat dibawah lenganmu, walau kurasa lenganmu cukup berat.
Kau yang selalu memiliki sorot teduh pandangan matamu. Belum pernah aku menatap mata seperti matamu. Begitu hangat walau sebenarnya matamu menyimpan lelah luar biasa. Pandanganmu kontras dengan alismu yang tebal.
Sebagai lelaki, sudah pasti kau memiliki kumis diatas bibirmu. Terkadang kalau ada kumismu yang tidak rapi atau ada yang tidak searah dengan bentuk kumismu yang seharusnya, aku iseng merapikannya. Melihatku yang merapikan kumismu, kau hanya membiarkan aku sambil tersenyum.
Aku suka caramu menghembuskan nafasmu disertai asap rokokmu. Entah dari mana segi menariknya, aku suka saja.
Yah, itu sedikit rangkaian kata dariku tentangmu. Ah, kembali lagi ke topik. Dihari-hari penghujung tahun ini, aku sering menemuimu walaupun hanya sekejap. Walau menatapmu sebentar saja, itu sudah bisa menjadi amunisi yang dapat kujadikan alat untuk melawan rasa rinduku di kemudian hari. Aku bersyukur dapat bertemu denganmu di hari-hari terakhir di tahun ini. Setidaknya, hatiku yang sudah sepi karena kepergian seseorang yang tak ingin kubahas, mampu menemukan obatnya sendiri untuk melawan sepi dengan pertemuan di suatu hari bersamamu.
Yang selalu ku suka darimu adalah reaksimu ketika aku mulai mengingat seseorang yang pergi ke antah berantah karena alasan klise belaka. Kau tak pernah membujukku untuk tidak mengingatnya. Kau hanya mengatakan “Nggak usah nangis.” hanya begitu saja. Tidak seperti kebanyakan orang bilang panjang lebar tentang rumus-rumus melupakan seseorang. Hanya begitu.
Aku bersyukur dapat kembali bertemu denganmu di penghujung tahun ini. Sangat bersyukur.
Bolehkah aku mengatakan kata-kata yang sama, yang selalu kau ucapkan kepadaku ketika aku mulai tersentuh?
Udah, nggak usah nangis.
xx,
Megan
0 notes
Text
Lalu bagaimana jika rindu tak pernah berujung temu?
Apa pun yang dirindukan, suatu saat akan dipertemukan. Nanti, atau setelah nanti.
647 notes
·
View notes
Text
Kalau rindu mampu untuk bicara, mungkin sekarang rinduku tak pernah berhenti bicara.
Yah, karena memang rinduku ini tak pernah usai. Selalu begini-- menyiksa.
0 notes
Quote
Hanya karena kita tak lagi dekat, bukan berarti aku berhenti peduli. Bukan berarti aku berhenti berdoa. Kau tetap seseorang yang selalu kudoakan baik.
(via mbeeer)
1K notes
·
View notes
Text
Suatu Hari Bersamamu #1 : Dipertemukan dengan Rangkaian Waktu
Teruntuk : Seseorang yang tak perlu ku beri tahu dimana aku, namun Ia tahu dimana aku berada. Apa yang sedang kau lakukan? Sudahkah kau makan pagi ini? Halo, lama tak bersua di situs ini. Lama tak berkata-kata di surat-surat cinta yang kadang membahagiakan, atau mengharu biru. Banyak yang telah ku lalui selama kemarin aku berkelana dengan sekeping hati yang mulai kembali menyatu. Ditengah perjalananku itu, aku kembali bertemu dengannya. Seseorang yang ku kira hanya sebatas cerita semusim. Kita dipertemukan oleh rangkaian waktu yang telah ditakdirkan Tuhan. Seperti mimpi rasanya bila mengingat kembali sore hari itu. Kita bertemu pertama kalinya pada akhir tahun 2016. Saling berjabat tangan satu sama lainnya, berkenalan dengan menyebut nama masing-masing. Aku sempat tak percaya kala itu. Hanya mengernyitkan dahi ketika mendengar namamu yang meluncur begitu saja dari bibirmu. Ah, itu dulu. Setelah sore itu, aku tak pernah mengingatmu lagi. Hanya saja, aku mengerti bahwa ada orang yang memiliki nama seaneh itu. Aneh. Setelah sore itu berlalu dengan sedemikian singkatnya, Aku tak pernah mengingatmu lagi. Apalagi mencarimu. Tak pernah. Sekalipun.
Namun, sekarang sudah berbeda, bukan? Kini, kita sama-sama sudah dewasa. Dengan status baru, yakni seorang mahasiswa, yang berkutat dengan sedemikian materi. Dan kita berada di jurusan yang berbeda. Ada suatu hari dimana aku benar-benar tak mengingatmu lagi. Aku pernah mempelajarinya di kelas pagi pada semester lalu tentang ingatan manusia. Kurasa, sepertinya kau berada di memori jangka panjang. Begitu sulit dipanggil. Selain itu, lama tak pernah ku dengar kabar tentang keberadaanmu. Yang ku tahu tentangmu adalah satu hal-- kau memiliki nama yang aneh. Teramat aneh. Hingga suatu malam di bulan Oktober tahun ini, kita dipertemukan kembali. Tuhan Maha Baik, ya?
Keadaan sudah membuatmu berbeda sekarang. Waktu yang selalu berjalan jauh meninggalkan kita, akan selalu memberikan perubahan. Bagi sebagian orang menganggap hidup harus selalu berproses; mungkin kau juga berpikir seperti itu. Aku menatapmu diam-diam. Rambutmu yang dulu masih terbilang rapi, sekarang terganti dengan rambutmu yang kau biarkan memanjang. Kaus hitam dan celana pendek melekat ditubuhmu yang tidak terlalu besar, namun kurasa sanggup melindungi orang yang kau cintai di rengkuhan pelukmu. Lengkap dengan sebatang rokok terselip di bibirmu. Hembusan nafasmu disertai kepulan asap putih yang mengudara di sekelilingmu, membuatku teringat kau yang dulunya bisa dibilang culun, kini menjelma menjadi laki-laki yang-- sedikit menarik. Aku tak ingin sepenuhnya mengatakan kau menarik, karena kau tetap menjadi orang yang memiliki nama teraneh bagiku. Kau tetap teraneh! Malam itu kau berbincang denganku. Kau selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang aku yang kini juga sudah berada di bangku perkuliahan. Begitu pula aku. Tak henti-hentinya aku menanyakan tentang kesukaanmu pada sesuatu dan yah, lagi-lagi aku menilai kau adalah laki-laki yang-- agak menarik. Malam itu kau duduk di depanku seperti penyejuk, walaupun malam saat itu terbilang cukup berangin, tapi sama saja. Aku lebih memilih kau sebagai penyejuk. Malam itu waktu terasa singkat hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Waktu sudah berpukul 11. Saatnya pulang. Sekali lagi aku menatapmu. Berpikir apakah setelah ini diantara kau dan aku akan terbentang jarak yang sangat-sangat jauh lagi? Tak ada yang suka jarak, kecuali dia menyukai sebuah penantian. Penantian untuk bertemu kembali. Tapi sayangnya, aku bukanlah orang itu.
Malam itu, Aku mengakhiri pertemuan kita dengan berjabat tangan lagi. Sama seperti saat kita bertemu pertama kalinya.
1 note
·
View note
Audio
“Beri tanda pada gambar yang kau suka
Rubah dalam gua atau mawar dalam kaca
Beri tanda pada lembar yang kau suka
Pangeran kecil kabur terbang bersama
Kita” - Coba deh kamu dengerin, jamin kami bakal nemu comfort zone kamu :))
1 note
·
View note
Text
When The Rain Tell Me Something #1 : Pelangi
Kadang kau harus tahu bagaimana hujan tercipta di langit sana. Sekalipun itu berarti bagimu atau tidak berarti, kau harus tahu. Setidaknya untuk menambah tumpukan wawasan di kepalamu yang sudah banyak memikirkan hal yang berat. Pernahkah kau memikirkan pelangi yang kadang hadir di cakrawala sehabis hujan turun? Mungkin jawabannya tidak. Ya, aku sudah menyangkanya.
Pelangi datang setelah hujan menebarkan rasa dengan biru-kelabu bagi sebagian orang yang berpikir bahwa hujan akan membawa rasa sedih. Oh, tidak selalu begitu, Sayang. Tidak semua hujan akan membawa nuansa biru-kelabu bagimu. Tidak. Terkecuali jika kau berpikir bahwa hujan adalah saat terbaik untuk mengeruk kembali kenangan usang yang dengan susah payah kau timbun dengan ratusan-- bahkan ribuan kenangan baru. Aku tahu pasti rasanya berat, sayang. Aku selalu dibelenggu dengan kenangan-kenangan indah dengan orang yang kurasa pantas-- mengesankan lebih tepatnya. Dan setiap hujan adalah waktu yang baik untuk mengenangnya. Hujan itu baik.
Lalu, pelangi hadir setelah hujan reda. Di sudut langit Kota Batik, tampatku berada sekarang, dia akan melengkung indah seperti senyumannya. Ah! senyuman macam apa itu? Selalu terjadi perdebatan batin tentang ia yang sudah tidak sehangat dulu. Pikiranku menolak memanggil ingatanku tentang dia yang berada di memory jangka panjang, sedangkan hati akan selalu mengemis, meminta, memohon untuk mengingatnya. Aku terbelenggu.
Aku percaya bahwa pelangi akan hadir jika hujan dilawan dengan sekuat hati. Bertahan untuk tidak rapuh karena dinginnya akan menembus baju penghangat yang kau kenakan. Bertahan untuk tidak meneteskan air mata ketika mengingatmu dengan iringan nada titik hujan yang beradu cepat diatas genting rumahku.
Aku akan bertahan. Demi pelangi yang akan muncul setelah hujan turun.
- Untuk dia yang kadang mengatas-namakan kata “sibuk” untuk lari.
Surakarta, 2017
0 notes
Text
Tiga Cerita Singkat Tentang Perempuan yang Menyukai Fajar
1. Sunyi Berdialog
Setelah menyelesaikan membaca sebuah buku puisi yang tipis, kamu melihat jam dinding. Waktu masih terlalu pagi. Belum ada tanda-tanda balasan pesan dariku. Kamu menunggu dengan ekstra sabar. Belum pernah kamu melakukan perbuatan seperti ini, dengan bertahan tidak tidur sepanjang malam.
Sepanjang malam, kamu menahan kantuk tanpa meminum kopi. Hanya tiga buku kumpulan puisi yang kaugunakan untuk terjaga menunggu pesan dariku.
Dari tiga buku tersebut, salah satunya adalah pemberianku saat aku hendak ke kotamu, tapi sampai kini aku belum pernah menjejakkan kaki di kotamu. Kamu menjadi ragu, tapi tidak pernah memadamkan harapan itu. Kamu baik sekali.
Di buku pertama, saat matamu masih segar bugar, kamu demikian mendalam menghayati puisi-puisi pendek dan panjang di buku tersebut. Karya dari maestro negeri ini. Puisi-puisi yang membikin ramai suasana sesunyi apa pun. Dan itu bisa kamu nikmati sembari menunggu pesanku yang sialan betul itu.
Di buku kedua, kamu sedikit kurang memahami tiap-tiap kata. Rangkaian kata di buku tersebut memang indah, tetapi sedikit yang bisa kamu pahami. Tidak apa-apa, seperti kata Pak Sapardi, puisi itu untuk dihayati, tidak perlu dipahami. Kamu pun hanyut ke dalam setiap lekuk kata-kata. Hampir-hampir kau terjebak di dalamnya dan melupakanku.
Di buku terakhir, kamu menjadi terserang kantuk luar biasa. Namun, bisa dicegah oleh puisi-puisi unik dari buku terakhir. Ada kehidupan yang dekat padamu di buku tesebut. Sesekali kamu ingat tentangku. Itu membuatmu tersenyum sesaat demi sesaat, hingga halaman terakhir.
Benar, hingga matahari naik sepenggalah di hari itu, pesanku tidak pernah sampai.
2. Rayuan Hujan
Hari ini hujan. Aku berharap ada pelangi setelah ini. Tubuhku menggigil karena aku lupa mengambil jas hujan yang kutinggalkan di rumah seorang teman. Seharusnya aku segera tiba di kantor setengah jam yang lalu. Aku tidak takut dimarahi oleh pimpinan, tapi aku tidak sampai hati lupa memberi sarapan pagi pada seekor kucing kampung yang beberapa hari ini datang ke parkiran kantorku. Begitu aku memberinya roti selai kacang, kucing berbulu cokelat itu langsung lahap menghabiskannya. Aku tidak mengerti mengapa ada kucing yang entah dari mana ini menyukai roti selai kacang.
Pakaianku sedikit basah. Berteduh di depan ruko bersama beberapa orang yang juga barangkali lupa membawa jas hujan, merupakan hal yang paling membosankan. Aku seharusnya lebih mengingat hal-hal yang diperlukan pada waktu-waktu musim berganti seperti saat ini.
Seandainya aku sebentar saja bisa menjadi seorang bocah, laiknya Sinichi Kudo yang berubah menjadi Conan Edogawa, betapa menyenangkannya. Namun, Conan Edogawa tidak ditugaskan oleh penulis komiknya untuk sekadar mandi hujan.
Selang waktu, tubuhku terasa basah kuyup. Aku tahu-tahu sudah berdiri di bawah terpaan hujan. Seandainya ada kamu, batinku.
3. Senja yang Hilang
Ia pun lengah memperhatikan pesawat itu tinggal landas. Ia seperti terpaku pada lamunannya sendiri. Sebentar lagi malam, dan ia harus segera pulang ke rumah kalau tidak ingin dibilang anak yang tidak penurut.
Bulan ini ia akan berulang tahun yang ke 25. Dua angka yang menandakan dirinya sudah hidup selama seperempat abad, tentunya. Ia bukan lagi seorang anak kecil, apalagi remaja. Ia sudah dewasa, tapi Ibunya masih menganggapnya gadis berumur sembilan tahun.
Semua orang memahami kalau seorang Ibu tentu selalu menyayangi anaknya. Ada pula Ibu yang selalu memanjakan dan menganggap anaknya adalah anak-anak yang perlu selalu diberi perhatian.
Ia melamunkan hal yang tidak jelas, hingga dua momen terlewati. Kali ini ia tidak sempat melihat matahari terbenam di barat bandara itu.
Ia berdoa semoga seseorang di dalam pesawat itu baik-baik saja. Kembali ke kota ini. Lantas hidup bahagia.
Tapi ia tidak tahu apa-apa.
269 notes
·
View notes
Text
When The Rain Tell Me Something
Hi.
Let me introduce my newest project. Here, I want to tell you about my thought when rain is come. Seeing the raindrop through my window, the warm milk, and there's a cold wind out there. I like to be here, between the day full of rain.
I hope you like it. I hope you like my words when the rain comes.
I hope you like my words like I like flipped from 2010.
I love when the rain comes.
It feels like home. Trust me.
So, I hope you like it. Enjoy!
Regards,
Megan
1 note
·
View note
Photo
1 note
·
View note
Quote
Hei, bolehkah aku menitipkan rinduku pada petir? Supaya aku tak perlu bersusah payah untuk meneriakkan bahwa aku sedikit rindu padamu.
Ku yakin kau tak takut dengan petir, Sayang.
0 notes
Quote
Jangan menunggu hingga aku menghilang; temukan aku.
Bisakah kau menemukanku?
0 notes