Tumgik
markasjangkrik · 5 years
Text
Surat Untuk Martini #1
Selamat siang menjelang sore, yang kelihatannya cukup mendung di musim kemarau begini. Alhamdulillah, akhirnya hujan berkenan untuk memenuhi panggilan warga kita.
Apa kabar, Nak?
Bapak di sini tidak baik-baik. Bapak kangen tapi toh tak bisa pulang juga. Malunya Bapak tak kenal ampun.
Biar Bapak tuangkan yang terekam dalam ingatan Bapak biar tak menguap menjadi sejarah.
Kamu baru selesai mandi,mukamu penuh bedak, tapi sedikit luntur kena air mata. Kamu menangis keras melihat Bapak dan Ibu bertengkar, menangis lebih keras lagi melihat kami pukul-pukulan. Baju pink bergambar minnie mouse, hadiah lebaran dari Budhe Laksmi serta sepasang sepatu putih kesukaanmu. Apa yang kamu pikirkan saat itu, Mar?
Biar laki-laki bajingan ini merutuk dirinya sendiri di ambang malu yang menganga tiada henti. Malu memang Tuhanku, kalau tidak kusembahnya mungkin hari ini Bapak masih duduk manis di teras rumah sambil mendengarkanmu berceloteh gembira.
Jangan biarkan bajingan ini menutup jalanmu, Nak, Martiniku Sayang.
Kau adalah imajinasimu yang layak untuk dibuat nyata. Kau adalah kabar gembira yang ditungg-tunggu semua orang. Biarkan sayapmu mengembang hingga mampu menamparku dan mengkoyak aku dengan segunung penyesalan.
Hina aku dengan tawamu kelak. Aku, Bapakmu, siap.
Oke Mar, biar Bapak sudahi dulu. Selamat minum susu, sebelum lima menit lagi kau eranjak tidur.
Sumargi
Bapakmu yang bajingan.
3 notes · View notes
markasjangkrik · 5 years
Quote
We were two kids gotten drunk and the world was just fine.
0 notes
markasjangkrik · 6 years
Text
Tumblr media
This giant pile of clothes.......
Jadi kita pasti sedang sering mendengar istilah decluttering dimana-mana—terutama di socmed. Kampanyenya lagi kenceng banget, memang. Pertama kali ngeh kampanye decluttering ini dari instagramnya @byputy (I assume you guys know her...? Haha). Waktu itu lumayan “terhisap” tapi apa daya iblis kemalasan dalam darahku terlalu mendominasi ahaha. Jadi ya cuma seneng baca aja tanpa effort untuk mencoba.
Then here comes this KonMari method by Marie Kondo. A genius kawaii gurl on tidying up. Dan lagi terhisap basa-basi karena yang kepikiran cuma “Lah lah lah keren amir bisa jadi serapi itu gais. I should try this method when I’m going for vacation.” “Aku ingin mencintai bajuku juga tapi aku cinta semuanya😂” or “Hello spark joy, where are youu? I can’t find youuu” Atau “Eehhhh... nganu, lemarinya rapi terus nggak bejubel. Oke besok mau ah kayak gitu” yang berujung tidak terjadi apa-apa pada lemariku~ Ahahahahha
Lalu datang The Raditya Dika with his minimalism mindset. Tertarik. Tapi... susah nggak sih?😂
Lalu dipertemukanlah aku dengan @umammybubby. Yang juga sedang fight dengan declutteringnya. Yang juga sedang berikhtiar mencari asmaranya untuk the sparks joy. Yang sedang mencoba berkenalan dengan gaya hidup minimalism.
Yang harus kugarisbawahi di sini adalah, this line of hers: “Kebayang nggak bagaimana kita akan dihisab untuk semua barang yang kita punya?”
BAM!!!!
Hisab.
Semua benda yang jarang kumiliki ini akan dihisab. Perih hati banget mbayanginnya. Padahal buanyak banget barang yang sebenernya nggak pernah kupakai tapi terlalu sentimentil untuk melepaskan in the name of “memori indah”. Halah😂
From the moment I found that line, I went to the drawer to see how shit my stuffs are. Holy moly. I couldn’t even understand myself for holding those things around.
FYI, menumpuk barang adalah hobi—kebiasaan buruk—saya. Bahkan untuk membuang bungkus kado aja kadang harus semikir itu, sih. Gila, ya? Nggak tahu juga kenapa dan kok bisa? Tapi seiring berjalannya waktu, terutama setelah menikah, mulai sadar sih kalo yang selama ini dikumpulkan itu bukanlah barang, tapi lebih ke sampah😂
Okay back to the topic. Lalu I started to choose which to keep and which to throw. Beneran ini susah banget ternyata😭 Bener-bener setan ada dimana-mana untuk ngebisikin, “Eh jangan yang itu, bahannya enak banget sayang kalo dikasih ke orang” padahal selama ini juga ga pernah ketangkep mata sendiri, kok. This is hell. Ngeri banget.
Singkat cerita, saya dan Kak Khasmir berhasil mengenyahkan sebagian isi lemari kami dan beberapa barang di luar kamar lainnya yang selama ini kayaknya sayang untuk dibuang padahal pas udah dibuang nggak ngerasa sedih sama sekali juga, sih. Inget aja enggak😅 Dan bener, lho... That Joy of Less. Itu benar terjadi. It feels like curing a nowhere wound instead of letting the stuffs go.
Weeks later, after taking a bath, I went to the drawer to change clothes. And it just happened, I couldn’t stop my eyes to look around there and found that I didn’t feel well looking at those clothes—yang padahal baru di let go sekitar 3 minggu yang lalu. Yang padahal udah berkurang setengahnya tapi entah kenapa kok masih seperti menumpuk sampah. So I tried to pull those all out of the drawer—captured on the picture above—and started sorting it out. Kakak Khasmir kemudian masuk dan cukup kaget karena aku berkutat kembali dengan baju-baju malang itu dan bertanya, “Kenapa?” Yang kemudian saya jawab dengan, “I don’t feel good looking at these. Just let me.”
Dan benar saja. Walau nggak sesignifikan beberapa minggu yang lalunya, tetap ada pakaian yang keluar juga. Pakaian yang kalo nggak diambil dan diserakin kayak gitu saya nggak akan ngeh kalo mereka ada. Pakaian yang lalu membuat saya mempertimbangkan begituuu banyak hal untuk mengenyahkannya. After struggling hard, I finally let those things go. Dan ternyata nggak sekehilangan itu juga...
And I felt soooooo gewd. Beneran nggak bohong. Seperti ada yang gugur dari pohon bebanku.
Setelahnya, banyak hal yang kemudian saya sadari kalau saya ini terlalu berlebihan dalam mencintai suatu barang. Masya Allah bisa dibukakan pintu hatinya untuk setiap perubahan lebih baik... kan? Since then, letting go becomes a therapy for me. Seajaib itu.
Bicara tentang minimalis, walau susah BANGET tapi bukan nggak mungkin nggak bisa dicoba. Being a minimalist doesn’t mean you don’t have to have pricey phone or house, or anything. It helps you to keep your things tracked in small quantity. Dari sesi agama Islam pun, sepertinya lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Menurutku minimalism method itu pasti berawal dari decluttering dan joy of less dulu untuk bisa let go, kan? So, do it anyway.
Katanya, mudahnya rumusnya begini saja: beli satu, keluarkan satu.
It’s a yes from me!
Selamat tinggal barang-barang yang pernah kucintai. Selamat tinggal sepatu-sepatu. Selamat tinggal bangkai kenangan. Selamat tinggal pakaian tak terpakai yang menggunung. Kita benar tidak akan pernah tahu kemana nasib membawa kita. Berminggu lalu kalian dapat bertahan menyesakki isi lemari lalu kini tiba-tiba kalian harus pergi. Be good di manapun kalian berada.
I love you, gone clothes, shoes, veil, dan lain-lain. Semoga dapat menjadi ladang pahala untuk saya dan menjadi hadiah baru bagi yang mendapatkan. Rest in your new home.
0 notes
markasjangkrik · 6 years
Text
Kita terlalu sibuk merajut sabda-sabda dalam peta keakuan
Hingga lupa membiarkan satu langkah ke belakang untuk sekedar menyadari bahwa hidup tak melulu tentang aku
Kita terlalu sibuk bersolek membenahi diri, tapi tak pernah sadar ada hati yang tersakiti
Hingga menguap, membumbung, menjadi jelaga
Terbang jauh
Mengaduh jauh
0 notes
markasjangkrik · 6 years
Text
Sering, sering sekali dari kita lupa untuk melihat ke dalam sebelum melihat ke luar.
Sering, sering sekali, “memindahkan” alasan ke luar lebih mudah daripada menempatkan alasan ke dalam.
Sering sekali kita berbicara atas nama orang lain dibanding diri kita sendiri.
Yang menyedihkan adalah, ketika kita terlalu takut untuk menginspeksi hati sendiri sehingga rasanya lebih manusiawi untuk menyalahkan orang lain. Mewajarkannya.
“Aku nggak kuat kerja di sana, bosnya pelit.” Kita menempatkan kesalahan pada si bos. Padahal kita juga belum memaksimalkan kinerja kita.
“Kamu enak ya deket sama adik dan kakak. Aku mah nggak deket sama adik aku, dia keras orangnya.” Si Adik jadi sasaran empuk. Padahal kita yang nyerah duluan untuk bisa bonding dengan si Adik.
“Cowok itu pada dasarnya emang tukang selingkuh, hati-hati, Beb.” Akhirnya milyaran laki-laki baik di dunia ini ikut tercoreng namanya.
“Dia jahat banget udah ninggalin gue.” Padahal orang itu udah pernah menjelaskan alasannya. Kita nggak mau terima.
“Udah lama banget ya nggak ngobrol, lo sibuk banget sihhh.” Padahal kita juga nggak make time buat mereka.
Dan kebiasaan ini terus terjadi bahkan untuk hal-hal paling kecil dalam kehidupan kita.
ART yang kerjanya nggak bener, satpam depan komplek yang nggak pernah senyum, abang ojek online yang judes, kakak ipar yang pelit, kuota yang cepat habis...
Pada akhirnya akan selalu ada alasan lain yang lebih patut untuk dituntut pertanggungjawabannya melebihi diri kita sendiri. Padahal sudah hukumnya kalau kita yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri.
Papaku selalu bilang, sebelum menilai orang lain, nilailah dulu diri sendiri.
Bapak mertuaku selalu bilang, tidak ada yang dapat menolong diri kita, selain diri kita sendiri. Quotes ini sempat memakan waktu lama untuk sampai pada akhirnya bisa dimengerti. Waktu itu mikirnya, “Loh? Nggak lah, kita pasti butuh bantuan orang lain.” Berjalannya waktu, saya mulai mengerti. Bukan berarti kita nggak butuh orang lain dan orang lain nggak berarti dalam hidup kita. Tapi kita yang harus mengontrol diri kita sendiri. Memilah-milah apa dan mengapa. Stop blaming, stop making excuses in the name of others.
Nggak mudah, memang.
Saya masih sering menyalahkan hal-hal kecil. Saya masih sering menyalahkan orang lain. Saya masih sering melihat ke luar sebelum ke dalam.
Karena menyalahkan hal lain itu lebih mudah. Effortless. Nggak butuh modal apa-apa selain judging. Sementara mengintrospeksi diri sendiri itu lebih butuh banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Untuk merenung, untuk mengaku, dan untuk membuat perubahan.
Tapi saya selalu berusaha untuk ingat. Bahwa saya tidak bisa merubah apa-apa sebelum saya mengubah diri saya sendiri terlebih dahulu.
Memang boleh ya menyalahkan diri sendiri?
Nggak. Bukan berarti saya mengajak kalian untuk menyalahkan diri sendiri. Pun diri sendiri tidak bisa disalahkan. Yang benar adalah membenahi diri. Untuk lebih bisa menempatkan posisi.
Sebelum menyalahkan orang lain, take a step back. Lihatlah baik-baik “ke dalam”. Apa yang sudah kita perbuat kepada orang lain sehingga merasa kalau orang lain harus bisa dituntut untuk berbuat lebih pada kita? Apa yang akan kita lakukan kalau orang lain menuntut hal yang sama pada kita?
Jangan menuntut yang di luar. Ajaklah dulu yang di dalam.
0 notes
markasjangkrik · 6 years
Text
Hampir Mati
Lalu, aku pikir aku sudah mati
Sebab nafasku kram
Dan menulis tak lagi menjadi terapi
Bukankah itu gejala mati?
Bagaimana supaya tidak mati?
Hai, alfabet! Ayo bantu aku!
Mari berolahraga
Ajari aku setumpuk cerita tebal
Infus aku dengan jiwamu
Bius mataku agar tak mengerjap gegap
Sebab terlalu terbiasa membaca di balik cahaya
Aku ingin kembali
Sepertinya aku belum bisa mati
Sebab aku masih ingin
Amin
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Cerita di Tahun 1990-2018
Mari mulai membicarakan hal terfenomenal 2018: Dilan 1990. Tidak dapat dipungkiri bahwa saya pun terhisap dalam fenomena ini sebagaimana rakyat Indonesia telah menderita hal yang sama.
Tidak pernah terpikirkan sedikitpun akan membahas topik hampir-enam-juta-umat ini di tumblr, tapi malam ini, pukul 01.22 dini hari di tanggal 15 Februari 2018, setelah merampungkan kembali buku “Milea, Suara Dari Dilan”, saya seperti menggebu-gebu.
Mari biarkan saya bercerita mengapa menjadi menggebu-gebu.
Dulu sekali, sekitar tahun 2011, seorang teman membagikan tautan sebuah tulisan di blog melalui BBM dengan note singkat darinya: “Baca deh, lucuk”. Yang kemudian setelah dibaca sangat saya akui bahwa tulisan itu—yang ternyata sebuah cerita—sangat menyenangkan untuk dibaca. Dan membuat berbunga-bunga. Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan seorang laki-laki bersama Dilan. Kenalannya di angkot, soalnya saya bacanya pasti di angkot, selalu dalam perjalanan pulang kuliah. Lumayan, jadi lebih menjiwai adegan Dilan dan Milea pulang bareng naik angkot. Hehe.
Seinget saya, dulu cerita Dilan ini di-upload sebagian sebagian. Kalau nggak salah dulu dipakai nomer dan kalau nggak salah dulu berhenti di chapter no. 27. Sebenarnya ceritanya sama, hanya secara lebih singkat. Saya ingat sekali, setiap habis baca unggahan terbaru cetitanya, betapa dulu saya sangat menanti kisah Dilan dan Milea yang selanjutnya. Tapi coba tolong dibenarkan ya apabila ada yang salah dalam ingatan saya di atas.
Dulu, rasanya berbunga-bunga. Mesem-mesem. Dan, karena pada dasarnya saya amat sangat melankolis dan sensitif (baca: gampang banget nangis), saya juga sedih bacanya. Karena: 1. Pengen ada cowok kayak Dilan, 2. Nggak ada cowok kayak Dilan dalam dunia nyata saya. Haha. Sedih ya?
Begitulah.
Jadi, sewaktu saya tahu kalau buku ini akan diterbitkan (waktu itu diumumkan di blognya kalau ceritanya dihentikan sementar karena proses transformasi menjadi buku), saya senang sekali! Berkali-kali saya kunjungi blog tersebut hanya untuk mencari tahu apakah bukunya sudah terbit atau belum. Meski berkali-kali tidak beruntung, akhirnya bukun itu terbit juga. Masih terasa perasaan senang saat memasuki Gramedia dan mendapati novel bersampul biru itu sudah memajangkan dirinya dengan begitu percaya diri, mungkin juga karena ilustrasi Dilan di sampulnya terlihat begitu. Percaya diri.
Buku ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku 1990’ terlahap tidak sampai satu hari. Cepat sekali. Mungkin karena sudah tahu juga, atau mungkin karena memang sangat nyaman untuk dibaca. Perasaan berbunga-bunga itu masih ada, bahkan bertambah banyak. Menulis tulisan kali ini pun membuat berbunga-bunga.
Dan seperti di atas tadi telah disebutkan, betapa melankolisnya saya ini, membaca buku Dilan yang pertama ini membuat saya sedih lagi. Masih dengan alasan yang sama dengan di atas. Kesian ya? Hehe.
Ingat sekali ketika akhirnya buku itu dipinjam teman dan ikut menyebarluas di lingkungannya. Senang bisa kenalin Dilan ke orang-orang. Sedih karena jadi banyak yang tahu Dilan. Memang begitu, orang Minang kan agak pelit wkwk.
Singkat cerita, sampailah pada akhirny buku kedua: ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku 1991’ dirilis. Bagaimana bukunya? Hmm. Nggak terlalu suka. Lebih banyak emosi bacanya. Emosi dengan Milea yang posesip (huppp). Emosi dengan Dilan dan Milea yang sama sama nggak mengalah. Jadi, pada intinya sama. Kedua buku itu sama-sama mengerontangkan segala logika saya dan tanpa ampun menculik perasaan Si Melankolis ini.
Lucunya, meskipun nggak terlalu suka karena buku kedua ini kurang romantis, tapi di bagian-bagian akhir sisi melankolis saya terciduk dan saya mengakhiri buku kedua dengan air mata. Wk.
Kali ini alasan menangisnya lebih kompleks: saya merasa sama. Pernah jadi Milea? Akhirnya ketemu dengan Dilan di dunia nyata? Nggak, sih. Nggak pernah. Tapi tahu rasanya menunggu. Kala itu, saya dalam fase yang cukup memporakporandakan perasaan dalam rangka mencintai Kak Khasmir. Jadi, bukan dari sisi hubungan merekalah saya kerasukan, tapi dari bagaimana saya sangat paham atas perasaan Milea yang tidak bisa hilang meski sudah bertahun-tahun lamanya.
Juga takut sekali menjadi seperti Milea: menunggu sampai harus menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Karena saat itu saya sangat ingin Dilan versi Ranie: Kak Khasmir😂
Hampir saja lupa dengan karakter Dilan dan Milea, buku ketiga muncul agak lama dan di pertama kali baca, hanya setengah buku berhasil ditelan. Saya nggak suka. Buku ditutup.
Saya lebih suka membolak-balik lagi cerita-cerita di buku pertama. Mungkin karena pada saat itu, saya membutuhkan cerita-cerita yang menyenangkan.
Kemudian, datanglah berita yang sangat ramai ini:
BUKU DILAN AKAN DIFILMKAN!
Wow.
Saya cukup antusias menanggapinys walaupun sedikit ditutup-tutupi karena kadung pesimis dengan film cinta bioskip Indonesia. Lama sekali sejak film bagus yang beredar—tapi AADC 2 bagus juga. Lalu kabar selanjutnya beredar lagi: Iqbal CJR akan memerankan Dilan.
Saat itu, saya menampik. Ya, saya termasuk salah satu orang yang ditampar habis-habisan oleh pembuktian Iqbal. Oke, nanti dibahas ya. Jadi, saya tidak terima karena menurut saya Iqbal terlalu imut dan Dilan kan harus agak galak. Saat itu saya berpikir “Kayaknya Adipati lebih cocok” dimana saat itu belum pernah dengar kabar sedikit pun tentang film Teman Tapi Menikah.
Jadi yaaa, ketika filmnya mulai tayang, saya sama sekali nggak bersemangat dan bersikap sangat apatis terhadap film ini.
Tapi ternyata respon masyarakat terhadap film Dilan 1990 luar biasa, ya. Saya menemukan banyak sekali meme yang bertebaran di media sosial, juga review-review para youtubers yang notabene menyukai film Dilan 1990—bahkan sangat suka! Di sini iman saya mulai goyah, tapi toh prinsip boleh dong diprioritaskan?😂 Jadi saya bersikukuh untuk tidak tertarik.
Kalau adik iparku yang perempuan, Khana namanya, nggak tiba-tiba pulang dengan wajah berbunga-bunga lalu bilang “Ya Allah Iqbal ganteng banget jadi Dilan, bagusss” mungkin seumir hidup saya nggak akan pernah nonton film Dilan. Serius, pada akhirnya, review dari adik sendiri lah yang menggoyahkan iman. Dan membuat semua serta merta menjadi. Kakak yang tiba-tiba (akhirnya) mau diajak nonton. Tiket nonton yang tiba-tiba dibeli. Dan perasaan berbunga-bunga saat menontonnya yang sampai terbawa pulang bahkan sampai sekarang!!!
Gila, ya?
Saya sampai nangis saat menontonnya saking terharunya karena cerita yang dari dulu penuh perjuangan untuk bacanya ini akhirnya difilmkan dengan sangat manis. Film ini dibuat apa adanya sebagaimana bukunya ada: sederhana tapi berharga. Dan menjadi cukup fenomenal juga dalam rumah tangga kami karena akhirnya saya menjadi kedilan-dilanan dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan😂
Lalu, setelah menonton filmnya, saya baca lagi buku pertama yang membuat saya semakin berbunga-bunga lagi. Lalu saya baca lagi juga buku kedua yang diakhiri dengan tangis yang semakin kejer lagi. Saat itu alasannya sudah bukan karena baper lagi (susah memang untuk baper kalau sudah memenangkan orangnya, wk) tapi karena kasihan sama Dilan😂😂 #mamakmudapembeladilan
Lalu malam ini saya mencoba untuk merampungkan novel ketiga—dengan membunuh rasa malas yang tahu-tahu ada sebelum saya sempat memulainya. 1/4 halaman pertama berhasil dilalui dengan napas terengah-engah karena nggak seruuu😭 Mungkin kangen buku pertama yang sedari awal memang cuma fokus di permasalahan Dilan dan Milea. Tapi karena penasaran, dan ingin tahu perasaan Dilan, saya memaksakan diri.
Nggak sampai sehari buku ini dibaca, 3/4 dari buku ketiga ternyata sedih ya... saya nangis sesenggukan lagi😂😂😭😭 Asli sesenggukan, jam 1 dini hari, sampai suami yang sudah tidur pun bangun karena kaget. Kali ini saya menangis atas beberapa hal:
1. Kasian Milea, kok tega sih Pidi Baiq,
2. Kasian Dilan, kok tega sih Pidi Baiq,
3. Ingat masa lalu
Dulu, saya begitu takut akan kehilangan Dilan sebagaimana Milea kehilangannya. Dulu, saya begitu takut akan menyia-nyiakan Dilan sebagaimana Milea menyia-nyiakannya. Saya terlalu takut dengan ending-ending yang tidak sesuai harapan—dimana saat itu keadaan sangat memungkinkan hal yang sama untuk terjadi terhadap kami.
Membaca buku Milea membuat saya menjadi tahu perasaan Dilan saat itu. Membaca buku Milea membuat saya harus bernostalgia lagi dengan perasaan itu. Membuat saya ingat bagaimana rasanya berharap bertahun-tahun lamanya. Membaca buku Milea membuat saya harus mengingat-ingat lagi perasaan sedih yang tidak pernah mau lagi untuk dirasakan.
Amit-amit.
Jadi, mari kututup review ini dengan mata yang mulai mengantuk—mungkin karena bengkak, hasil menangis membaca Milea. Semoga tidak ada lagi yang bernasib sepahit Dilan dan Milea.
Aamiin.
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Photo
Tumblr media
I love you🖤
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Mahasurya (S1E03 - Lampu Merah Menjadi Hijau)
Selang 2 minggu setelah Mahasurya terajut, saya memutuskan untuk terbang ke Padang menemui Mama dan Papa. Maksud kedatangan saya adalah untuk menyampaikan bahwa saya sedang menjalin sebuah hubungan dengan sahabat saya sendiri, untuk ke tahap yang lebih serius :’) Ternyata semenegangkan itu ya untuk membicarakan soal teman hidup pilihan. Saya memutuskan untuk bicara dengan Papa empat mata terlebih dahulu. Bukan karena saya tidak dekat dengan Mama. Hanya saja, saya sudah terlalu terbiasa berdiskusi tentang kehidupan dengan Papa, jadi rasanya berdiskusi dengan beliau akan sangat dekat dengan jawaban yang mencerahkan.
Jawaban beliau saat itu memang terlihat tidak siap untuk melepas saya. Karena menurutnya, setelah saya menikah, akan ada jarak di antara kamu untuk tidak bisa seperti dulu lagi, karena kewajibannya akan habis saat itu. Beliau takut tidak bisa mendengar cerita saya lagi, juga takut tidak bisa memberi nasehat lagi. Kami berdua memang sangat dekat. Bahkan, banyak yang bilang kalau saya terlalu membanding-bandingkan laki-laki dengan Papa saya (yang memang benar sih hehe). Karena menurut saya, kalau sudah punya Ayah terbaik, kenapa harus punya pendamping hidup yang tidak lebih baik? Meski beliau terlihat tidak siap, tapi beliau merestui alhamdulillah.
Meski keputusan belum final, dan nasehat yang dititipkan oleh Mama dan Papa lebih seperti, “Take your times, guys.” Karena pada saat itu Kaka sedang giat-giatnya merintis Sushi Kita, dan saya (di mata mereka) sedanh meniti karier (yang sebenarnya bukan cita-cita tapi kepalang menjadi zona amat sangat nyaman). Terlebih, pertemuan darah Sunda dan Padang yang sarat akan baralek (dalam Bahasa Padang, yang ditujukan kepada pesta besar-besaran), menjadi salah satu ujian buat kami yang sebenarnya bermimpi untuk menikah dengan acara yang biasa-biasa saja. Tapi kami mencoba mengerti, sebab adat adalah hal yang melekat dengan kehidupan dan tidak bisa dalam satu menit dikibaskan.
Maka saya pulang dengan lampu hijau yang menyala. Tapi masih banyak lampu merah yang harus dihijaukan di depan sana. Ini perjuangannya hehehe~
Talking about the culture, I do believe that culture is something we need to keep as it is valued. I do want to bequeath them all to my children. But hey, culture does need logic. I dont want to do such a thing in the name of culture just to keep my pride and prestige up high above. I dont want to share “that kind” of culture to my children. In the same hand, I dont want to teach my children to do something we surely can never do (in my case, it is financial thing) so I don’t do that either.
Ada sesuatu yang harus dibenahi dari adat kita, terutama dalam pernikahan. Ini opini saya aja sih. Tapi mengubah adat ternyata sebegitu sulitnya ya😂
Tiga bulan setelah diskusi di Padang, pada suatu hari di bulan Oktober, Mama dan Papa pulang ke Bogor untuk mengurus suatu hal. Ini menjadi momen dan peluang bagi Kakak untuk bertemu bertatap muka dengan mereka dan “meminta” saya secara langsung. Kakak ingin meminta restu menikah tahun depan, di tahun 2017. Kami memilih momen makan malam yang hanya dihadiri kami berempat saat itu, yang berlangsung hangat sekali. Hari itu adalah salah satu dari momen favorit saya karena untuk pertama kalinya ada laki-laki pilihan saya di antara Mama dan Papa, memperbincangkan banyak hal.
Perbincangan berlangsung santai dan membuahkan hasil. “Tahun depan” disepakati sebagai target pernikahan kami. Meski masih banyak hal yang harus didiskusikan lagi, tapi alhamdulillah satu lagi lampu hijau yang menyala untuk Mahasurya. Antara bahagia dan bahagia banget, malam itu saya memeluk Mama dan Papa sampai hampir menangis. Saya begitu bangga karena mereka tidak pernah kemana-mana sampai di tahap saya diminta oleh seorang laki-laki pilihan saya. Sebuah perjalanan panjang yang mengasyikan.
Malamnya, Papa bertanya dengan satu senyum tergurat di wajahnya.
Papa: “Are you happy?”
Ranie: “Never been this happy! Thank you, Love.”
Saya memeluk beliau dengan erat. Ada tangis yang tertahan, sebab menangis tidak cocok untuk sebuah hari yang bahagia. Sekalipun itu adalah sebuah tangis haru.
Sebuah tanya terlontar di antara pelukan itu.
Ranie: “Papa nggak apa-apa Ranie dengan Khasmir? Khasmir kan masih merintis. Uangnya belum banyak.”
Papa: “Kalau Khasmir nggak baik, nggak mungkin Papa restui Ranie dengan Khasmir. Besides, you are a good person. And a good person will be with a good one too. Sebagai laki-laki Papa bisa melihat betapa Khasmir akan menjadi suami yang nggak biasa. And you need that.”
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Mahasurya (S1E02 - Menjadi)
Setelah lika-liku persahabatan yang nggak murni-murni banget (😂😂), suatu hari Kak Khasmir end up dengan pertanyaan, “Nikah yuk?” Karena saat itu status kami masih menjadi sahabat (yang nggak murni-murni banget itu), saya menanggapi dengan ketawa.
Saat itu pikiran saya malah sibuk mundur ke satu tahun sebelumnya, dimana pernah terucap dari lidahnya, “Dua tahun lagi gue mau ngelamar lu, bikin kerajaan sama lu, gausah dijawab karena gue ga nanya, gue cuma mengutarakan. Kita gini aja dulu kayak biasa” sederet kalimat tanpa jeda yang membuat melongo. Yang saat itu tidak saya hiraukan karena hubungan kami terlampau samar untuk sekedar mengiyakan atau mengenggakkan. Karena nggak murni-murni banget😂
Pertanyaan “nikah yuk” itu pun membuat saya menimbang-nimbang. Berbagai pertimbangan pun bermunculan dengan sendirinya. Saat itu, saya memilih untuk kembali tidak menghiraukan. Lebih tepatnya, tidak menunjukkan kegelisahan saya atas pertanyaannya yang semakin lama semakin sering dipertanyakan. Sampai pertimbangan-pertimbangan itu membuat keki dan berkali-kali dijawab tidak. Anehnya, dia terus bertanya dan saya terus berkata tidak.
Alasanku padanya: tidak, karena prinsip hidupnya yang sangat idealis. Tidak, karena pikiran kritisnya yang membuat jauh dari Tuhan—dimana ternyata ini cukup mengganggu, ya. Tidak, karena sepertinya kami tidak akan bahagia kalau bersama. Tidak, karena Khasmir dan Ranie tidak pernah cocok untuk bersama dalam sejarah.
Anehnya, setiap berkata tidak, saya seperti melepas sesuatu yang ingin saya miliki. Kenapa selalu ragu padahal ribuan pertanyaan sudah dilontarkan kepada-Nya?
(Speaking of doa, ternyata bisa ya membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tapi harus berdoa selama 8 tahun🤣)
Suatu hari, Kakak akhirnya bertanya “Mau nggak nikah sama gue? Kalau nggak mau nggak apa-apa, kita jalani hidup masing-masing. Gue harus jalan, lu juga harus jalan. Gue nggak mau maksa.” Yang terjadi kemudian adalah, saya tercekat dan lidah saya terkunci. Ada rasa tidak percaya bahwa hal ini harus serius dijawab sebagaimana serius nyatanya. Tidak ada satu pun kata yang keluar untuk 5 menit setelahnya. Tapi saya menangis sesenggukan. Saya kesal karena jawaban yang mampu saya berikan adalah kata tidak. Tanpa tahu kenapa. Padahal tidak tahu kenapa. Jawaban Kakak saat itu, “Yaudah kalo nggak bisa jangan dipaksa. Let’s face the world dan tutup buku. Kita ga bisa gini terus. Ayo jalan ke depan.” Memang bukan sebuah happy ending ternyata. Kami pun memutuskan untuk “tidak”, dengan perasaan yang sama-sama biru.
Keputusan yang terasa seperti diputus pacar. Yang membuat keesokan harinya menjadi Hari Senin paling berat yang pernah saya jalani karena semua terasa lamban dan konsentrasi saya tidak pada tempatnya. Kepala saya ada di kantor tapi otak dan hati saya bersekongkol untuk tidak menjadi logis. Setiap menit berlalu dengan perasaan menyesal dan menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang terlalu apatis. Saya pun memutuskan untuk pulang setengah hari dan pergi entah kemana di Bogor, tanpa arah yang pasti. Untuk pertama kalinya, saya ingin menarik lagi kata tidak yang sudah diputuskan itu.
Hari-hari, bagi saya, kemudian terasa sangattt getir karena merasa telah membuat keputusan yang sangat salah.
Kemudian saya berpikir, “Kalau kamu takut karena dia sedang begitu jauh dari Tuhan, kenapa kamu nggak temani sampai menjadi dekat? Kalau kamu takut karena idealismenya, kenapa kamu nggak jadi stopper-nya? Kalau kamu takut kalian nggak bahagia, kenapa nggak kamu ciptakan bahagia itu sendiri?” Terkadang kita terlalu takut untuk menjadi berani. Terkadang kita terlalu suka menghabiskan waktu untuk apa-apa yang tidak pasti.
Sampai suatu hari, entah malaikat apa berbisik apa, Kak Khasmir kembali melontarkan pertanyaan aneh “Kita nikah nggak ya nanti?” yang dijawab oleh saya, dengan mantap dan khidmat, tanpa pertimbangan yang terlalu banyak dan mengganggu, “Kayaknya nikah, deh.” Setelah itu, kami tercenung beberapa saat. Kami bingung, juga terkesima. Takut, ragu, ingin, semua beraduk seperti bibimbap dengan nasi hangat. Melumer di hati, menjelma menjadi “Mungkin ini ya jawaban Allah. Oke, mantapkan.”
Sebuah pertanyaan pun terlontar dari bibirnya:
K: Jadi kita gimana? Gue maunya nikah. Nyokap bokap lu emang mau kalo lu nikah sama gue? Nggak pacaran dulu?
R: Yaudah jalanin dulu aja
K: Gue maunya nikah ga mau pacaran
R: Kita jalanin, arahnya ke nikah. Kan lu gak tau gue gimana kalo pacaran, kayak lu pernah bilang ke gue kalo gue ga pernah tau gimana lu kalo pacaran
Kami pun mulai menjadi.
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Mahasurya (S1E01 - Pilot)
Cerita ini sudah lama kepingin disusun dan dishare, tapi selalu aja ada hal yang menghambat. Ditambah sekarang alhamdulillah kesibukan semakin bermakna. Insya Allah. Ternyata saya hanya lupa, kalau menulis itu tidak bisa diselip-selipkan. Menulis membutuhkan kesibukan yang lain yaitu menulis.
Keinginan untuk membagi cerita ini bukan sekedar ingin memberi tahu ada apa sebenarnya, atau me-recall semata. Tapi mungkin, memang ada yang butuh untuk diberi inspirasi. Atau bahkan keyakinan.
Demi kisah yang akan diutarakan untuk generasi kedua, ketiga, dan seterusnya. Suatu hari mereka harus tahu, bahwa kerajaan ini dibangun dengan cerita yang panjang.
Jadi, bagaimana ceritanya Mahasurya bisa terbentuk sedemikian singkatnya?
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Sebuah Siklus Hidup di Penghujung Tahun
Ada satu bulan yang menurut saya paling spesial di antara bulan lainnya. Bukan hanya karena saya lahir di bulan itu, karena jika saya ditakdirkan untuk tidak lahir di bulan itu, saya akan memilih untuk tetap menjatuhkan hati. Bulan Desember.
Buat saya, Desember adalah bulan paling romantis.
Mungkin karena hujannya. Mungkin karena suasana liburnya. Mungkin karena Desember berarti menuju tahun yang baru. Mungkin karena di ujung sana sedang bersalju. Atau mungkin karena selalu dalam bulan Desember, ada banyak kejutan terjadi.
Mungkin karena itu Efek Rumah Kaca memilih bulan Desember untuk lagunya. Dan saya paling suka.
Tahun lalu, Allah berbaik hati kembali dengan menempatkan satu lagi alasan mengapa saya harus semakin jatuh lagi dalam mencintai bulan Desember. Karena Desember mempertemukan saya dengan teman hidup. Karena kami lahir semasa Desember. Karena kami pun menikah di penghujung Desember. Bagaimana bisa saya tidak mencintai Desember sebegini dalamnya?
Tahun ini agak berbeda.
Jauh sebelum bulan Desember, saya sudah mulai memilah dan memilih apa apa yang akan saya lakukan untuk merayakan hari spesial kami. Tanpa saya sadari, yang saya ingat bukan lagi 30 Desember adalah hari kelahiran, tapi bahwa kami akan genap satu tahun berlayar dalam rumah tangga. Saya ingin merayakan privately bukan karena orang lain merayakannya, tapi buat saya, satu tahun berlayar penuh dengan hari-hari menakjubkan.
Ketika kami dipaksa oleh kehidupan untuk terus dan terus belajar tentang apapun. Tentang semua hal yang terjadi dalam hidup kami, baik dari hal baik maupun hal buruk.
Tapi manusia hanya bisa berencana dan kembali Tuhan yang menentukan.
Tidak ada ucapan selamat ulang tahun di tanggal 30 Desember karena Aa (panggilan saya kepada Kakek dari Mama) sedang tergolek di ruang HCU sejak semalam. Hari spesial yang sepi karena suasana tidak kondusif. Dan disempurnakan dengan terhelanya nafas terakhir Aa pukul 14.45.
Saya menangis sejadi-jadinya. Saya seperti diuji kembali, seperti ditinggalkan lagi. Di hari ulang tahun saya. Di hari perkawinan saya. Dan saya tidak menyangka akan seterpukul itu, sebab ternyata saya masih ingin dimanja.
Di tanggal 30 Desember, untuk pertama kalinya saya tidak takut untuk mencium orang yang sudah meninggal.
Hingga seorang teman berpesan, “Ran, jangan anggap meninggalnya Aa di hari spesial lo ini sebagai berita sedih. Bayangin betapa dia sayang sama lo karena pengen diinget sama lo di setiap tahunnya, betapa dia pengen jadi bagian dari hari spesial lo. Sedeket itulah kalian.”
Tahun ini, Desember masih begitu spesial, meski di hari ini sudah berlalu. Tahun depan, 30 Desemberku akan lengkap, untuk mengingat hari kelahiran, hari pernikahan, dan hari kematian.
1 note · View note
markasjangkrik · 7 years
Text
Indonesia And Its Kindness
Hari ini saya melihat pemandangan yang menyedihkan:
Kursi prioritas dipenuhi Mbak-Mbak yang literally nyerobot dari arah belakang demi dapet tempat duduk (padahal masih banyak orang yang berdiri tepat di depan kursi tersebut). Saya nggak tahu sistemasi tempat duduk kereta, siapa yang lebih berhak atasnya, apakah yang lebih dekat atau jarak tidak berlaku. Terlepas dari semua yang masuk dalam kategori “prioritas”.
Mbak-mbak ini semok, seger, sehat.
Lalu, dari Stasiun Depok, masuklah mbak-mbak hamil yang cuma dikasih space duduk sisaan. Yang harus duduk dengan pantat nempel di kursi doang. Setengah pantat aja nggak masuk. Bermodalkan pertanyaan formalitas “Mbak lagi hamil?” yang dijawab dengan anggukan, mbak-mbak semok kemudian mulai ramai dengan kalimat: “Eh bangun! Bangun!” secara saling menyuruh satu sama lain dan end up dengan tidak ada yang berdiri. I was like... Hello? What is wrong with you ladies?
Saya belum pernah hamil, tapi bisa dipastikan dari wajah mbamil (mbak hamil) tersebut, dia sangat tidak nyaman. Tidakkah mereka mengerti?
Saat itu saya beneran geram. Amat sangat. Tidak seharusnya mbamil yang jelas-jelas menyandang titel PRIORITAS untuk mengalah kepada mbak-mbak segar bugar yang hanya mau berdiri karena digusur, bukan karena mereka mengerti. Mau tidak mau, saya menegur. Dan benar saja, setelah salah satu mbak-mbak itu bangkit, mbamil langsung bersandar dengan wajah lega dan sumringah, setelah sebelumnya sesekali meringis. Mbamil berkali-kali berterima kasih setelahnya—tanpa saya bermaksud untuk riya, ya.
Guys, kita aja yang duduk dengan pantat hanya menempel di kursi itu sangat nggak nyaman. Apalagi mbamil yang bawa bayi di dalam perutnya plus tas-tas lainnya, loh. Be a kind-hearted at least once. Please.
Setelah itu, perkumpulan mbak-mbak itu terlihat tidak suka atas teguran saya (yang padahal hanya meminta salah satu dari mereka untuk maju sedikit supaya mbamil bisa bersandar, yang kemudian memilih untuk berdiri dengan penuh emosi). Sangat disayangkan. Dan sangat menyedihkan. Tapi toh akhirnya alhamdulillah mereka mau berdiri, meski terpaksa.
Apakah tombol kepedulian dunia sudah tidak berfungsi? Atau memang tombol “peduli dengan terpaksa” yang harus sekali-sekali ditekan?
Semoga dunia menjadi lebih baik lagi. Aamiin.
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Sabar ya, Nak. Juga sabarkan aku. Sebab dunia begitu menyudut-nyudutkan aku. Sementara kamu hanya berbaring tertidur sambil menunggu waktu. Sabarkan aku, sebab pertanyaan-pertanyaan sedang terasa menyakitkan. Tapi, kan orang-orang hanya sedang peduli toh? Sabar ya, Nak. Aku juga sedang bersabar.
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Photo
Tumblr media
Rupanya mereka tidak berbohong: waktu cepat berlalu. Benar ternyata. Aku tidak terbangun dari tidur apapun: aku tidak bermimpi. Mimpi-mimpiku telah usai, menggeliat merangkak satu per satu. Mendewasa bersama kepastian. Tiga ratus enam puluh tujuh hari yang lalu. Mantraku usai di situ. Setelah delapan tahun yang mencabik-cabik, setelah tahun-tahun yang terkadang lucunya ingin kuulang kembali. Aku masih ingat malam itu, Tuhan mengantarmu menuju sebuah titik. Yang hampir usang sebab telah menunggu begitu lama. Kau leburkan semua tanda tanya yang menggantung di langit-langit, yang kau bayar kontan dengan kepastian yang diandai-andai. Kala itu. Kedatanganmu menjawab semua rapalanku. Menyelamatkan Tuhan dari ketulian akan doaku yang bertubi-tubi. Semua terjadi begitu cepat bersama waktu. Bersama titik yang menjelma menjadi matahari. Yang mengamini setiap bulir harapan. Kelak akan bersinar sama terangnya. Hari ini, setelah tiga ratus enam puluh tujuh malam berlalu. Matahariku menghangat. Aku masih tidak bermimpi. Nanti, di penghujung tahun, aku kembali lagi. Bersama surat yang lain, menyambut pintu yang lain. Terima kasih :*
1 note · View note
markasjangkrik · 7 years
Photo
Tumblr media
The left one, he who always put a trust upon my shoulder and believe that I can stand on my legs. He who keeps telling me that people and the world is like a ball. We dont wait for them to come. We go and run to catch them, until we get what we want. He who doesnt like the “try” word. “There is no try. Do or do not”, he said. The only one who yell my name around just to ask little things I dont even think need to be asked but he did anyway😂.
The right one, he who never stop reminding me that everything goes to me belongs to me. He who keeps telling me that everything needs improvement even the smallest thing in life. He who always taking care of me to ditch all the impossibilities and to always remember that kind words are all above everything in life. He who never get tired of babysitting me with his perfectionist blood to get me in line. I mean, who cares of a one milimeters moving on a paper slide? He does. And now I do.
The thing is, the are always great things happen in life. You just need to look closer. Having them in life is such a bless. I am glad to have them watching me crawling to achieve these all. They are bosses beyond expectation, in a good way though. To me, we are perfect.
It was such a rare moment yet it’s good to gather under the same roof at the same time as we live in distance. One is in the North, one is in the East, and one is not in between but far enough. Taking picture together when one keeps complaining for having silly pose.
Ah, we were a marvelous team back then, aint we?
0 notes
markasjangkrik · 7 years
Text
Belajar Dari Keberuntungan Orang Lain
Katanya, tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina. Prinsipku, kalau belum bisa ke Negeri Cina, mari belajar dari yang paling dekat-dekat. Sedekat kerabat, sedekat ibu-ibu yang duduk sebelahan di bis atau kereta. Menurutku, banyak hal yang bisa menjadi modal untuk berintrospeksi. Dimanapun, tak terkecuali. Melalui keberuntungan orang lain, misalnya. Seringkali kita merasa atau merasakan perasaan yang tidak nyaman ketika seseorang mendapatkan prioritas atau keberuntungan yang lebih---Bahasa Indonesianya mah sirik. Hehe. Jangan menyangkal ya, sirik memang nyata adanya. Padahal nggak perlu sirik. Cukup berbaik sangka dan mengingat-ingat lagi. Sejauh mana kita telah lebih baik dari orang itu. Cerita ini disponsori oleh perjalanan ke kantor Senin kemarin. Karena berangkat agak telat, bis pun sudah penuh. Alhasil, demi berangkat saat itu juga, saya memaksa naik bis penuh dan merelakan diri untuk berdiri sampai Terminal Kampung Rambutan. Tapi saya tidak sendiri, saya bersama seorang mbak-mbak. Yang kemudian, ia ditawari duduk di tangga oleh Mas Kondektur. Yang kemudian, saya pun ikut duduk di tangga. Yang kemudian, Mas Kondektur berhasil merayu salah seorang penumpang laki-laki untuk merelakan kursinya bagi penumpang perempuan. Yang kemudian, mbak-mbak tadi kebagian rezeki kursi tersebut. Dalam hati, hampir saja bertanya "Kok dia padahal kan gue naik duluan." Alhamdulillah Allah Maha Baik. Dibisikkannya di telingaku, "Ran, mungkin dia sudah melakukan satu kebaikan lebih banyak dari kamu di pagi ini. Rezeki kan selalu datang kepada orang yang berkawan dengan kebaikan." Lalu saya mengiyakan. Dan mengerti sekarang.
0 notes