Seorang anak SD yang mendertia Outsomnia dan Typo Additc stadium akhir. Mereka memanggil saya Luc dan, sekali lagi, saya bukan makanan!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sore itu, aku duduk sendiri, menikmati sinar matahari yang tertutup mendung, ditemani secangkir kopi.
Syurrrp. Aaah.
“Betapa damai dunia,” pikirku.
Lalu, kau lewat di depan rumahku. Berhenti saat menyadari tatapanku. Satu senyuman kecil kuberikan sebagai balas untukmu. Dunia butuh lebih banyak kebahagiaan, tidak terkecuali untukmu.
"Apa kabar?" tanyaku. Tapi, hanya diam yang kudapat. Dua detik berlalu dan kita hanya saling menatap. Mungkin, harimu sedang buruk. Mungkin, kau sedang tidak ingin bertegur sapa.
Terlepas dari semua itu, aku tidak perduli. Bagiku, kau tetap perlu dihargai.
Hidupmu sudah cukup sulit, aku tahu kau dibenci dan dimusuhi oleh orang-orang. Dikejar oleh bu RT dengan sendal dan sapu ketika mendapatimu di dapur bersama suaminya. Padahal, kau hanya menjadi dirimu. Menjalani kehidupan malam, tanpa bisa mengubah takdirmu. Ya, takdir memang tidak pernah adil. Meskipun kau dianugrahi kulit coklat yang akan membuat iri turis-turis di Kuta, lekuk kaki yang didamba para model, caci dan maki tetap terarah padamu. Betapa pepatah tentang penampilan tidak berlaku untukmu.
Kita masih saling menatap, entah berapa detik sudah berlalu, lalu gemuruh petir dikejauhan menyadarkanku, masih ada jemuran yang harus kuangkat dan bertatapan dengan kecoa bukan lah prioritas saat ini.
“Bye,” ucapku sembari masuk ke dalam rumah.
0 notes
Text
Hi, para penikmat senja.
Pernah kah kalian marah pada awan yang memonopoli keindahan senja hanya untuk dirinya sendiri? Pernah kah kalian merasa bahwa senja seharusnya lebih lama? Karena setelah penantian kurang lebih dua puluh empat jam, ia tak bertahan lebih dari lima menit.
Tidak, tentu tidak.
Karena sesuatu yang indah dan berharga tidak pernah mudah untuk di dapat. Tidak pula dia seharusnya diobral. Biarkan rindu dipupuk, biarkan ia jadi spesial.
Tapi...
Pernahkah kalian iri pada para penikmat kopi?
Mereka bisa mengendus ratusan aroma dan mencicipi ratusan rasa dari pahit—kapan pun dan dimana pun. Lalu, apakah karenanya senja lebih berharga dari kopi? Mungkin. Tapi, tergantung dari sudut pandang mana pertanyaan ini akan dijawab.
Meskipun senja hanya sesaat, tapi dia tak menuntut bayaran. Sedangkan, kopi, tergantung kopi mana yang kita bicarakan, dari seribu lima ratus hingga ratusan ribu, ada harga yang melekat padanya.
Maka, manakah yang lebih berharga? Kopi, senja atau kulit ayam?
Sudah.
Sudah.
Bisa perang saudara bila pertanyaan ini harus dijawab. Toh, pada akhirnya keindahan dan kenikmatan memang tidak ada yang kekal layaknya senja dan kulit ayam.
Apa lagi kulit ayam, jangan kan kekal, sehat pun tidak.
0 notes
Text
Hello, little friend.
Do you miss me? No. Well, me too. No, I'm not coming here because I miss you, I just... well, need someplace to write. A little reminder to my future self, just in case I survive this...
I keep wasting money on stuff that seems usefull yet useless. Knowledge that'll never be used then be forgotten. I hope my brain will survive this and... evolving? I still don't know how could someone possibly learn something and be so good at it in just 2 months?
Yeah, I should focus on that instead of this...
Okay, thank you and see you again.
0 notes
Text
Terima Kasih, Iris.
Euforianya sudah lama berlalu. Pot of Gold bukan lagi trending topik–sejujurnya Pot of Gold memang tidak pernah masuk trending topik mana pun. Tapi, dibalik buku yang pernah berkeliaran di lini masa NIH beberapa minggu yang lalu ada orang-orang yang bekerja keras untuk menjadikan buku itu ada–ralat ada orang yang bekerja keras untuk menjadikan buku itu ada. Namanya Iris.
Sejak bulan Februari, Iris sudah mulai mencari tempat percetakan untuk mencetak buku dan mencetak pouch. Selain, sibuk proofread, dia juga sibuk membuat excel sheet budgeting. Kami punya beberapa simulasi harga buku, mulai dari yang paling “ekonomis” sampai yang “premium business class”, mulai dari yang hanya novel sampai novel++. Itu baru satu perkerjaan Iris, tapi dia tidak bekerja sendiri sih, ada Skye dan Hans yang membantu tapi kontribusi mereka minor tidak usah disebut-sebutlah.
Lalu, ketika Maret tiba, Iris yang melakukan layout novel dengan Ms Word, menyatukan dua puluh delapan cerpen, menambahkan kata pengantar dariku yang penuh cobaan karena merusak margin dan footer–terima kasih Skye sudah memperbaiki kerusakan yang kubuat–mengubah font, mengubah format footer, dan entah apalagi cobaan hidup yang dilalui Iris ketika layouting. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukan semua perkerjaan yang melelahkan itu, tapi syukurlah sekarang neraka itu sudah berakhir.
Namun, wahai pembaca yang budiman, jasa Iris tidak berhenti sampai di sana. Ingat ketika bulan Februari dia yang mencari percetakan untuk mencetak buku? Nah, setelah proses layout sudah 98%, Iris pergi ke percetakan untuk mencetak satu buku contoh sebagai patokan. Dari buku contoh itu, ada beberapa hal yang harus diubah, mulai dari divider bab yang tidak rata tengah, icon cerpen yang ketika dicetak hitam putih agak tidak jelas, sampai–aku lupa apalagi, kalian tanyakan saja pada Iris kalau penasaran. Artinya Iris harus kembali melayout–masih dibantu Skye untuk urusan footer dan, tentu saja, aku dilarang untuk mengeluarkan ide-ide aneh lagi dalam menulis kata pengantar.
Setelah itu, Iris kembali ke percetakan untuk mencetak PO yang sudah masuk. Setelah buku dicetak, Iris masih melakukan Quality Check dengan membalik satu per satu halaman buku untuk memastikan tidak ada halaman yang terbalik atau salah cetak. Pada tahap ini, Iris menemukan lima buku yang cacat sehingga harus dikembalikan pada percetakan untuk diperbaiki. Setelah semua itu, dia masih harus mencetak sekitar delapan puluh amplop yang berbeda-beda, memasukkan satu pembatas buku ke setiap PoG, memasukkan PoG yang sudah mempunyai pembatas ke dalam pouch, mengikatkan tali sebagai pemanis dan terakhir menempelkan stempel Ministry of Magic. Ketika semua itu sudah selesai, dia masih harus mengirimkan paket-paket itu.
Bahkan, setelah semua pekerjaan melelahkan itu, masih saja ada buku cacat cetak yang terkirim, sehingga harus dikirim ulang ke tempatnya untuk diperbaiki. Setelah itu, dia masih harus melakukan QC pada setiap buku yang telah diperbaiki sebelum mengemas dan mengirimkannya lagi. Sampai tahap ini, kalian mungkin mengira kalau pekerjaan Iris sudah selesai...
Tidak secepat itu, kawan. Masih ada PO batch 2.0 artinya Iris masih harus mengulang bagian QC, packing dan pengiriman.
Sungguh, Hufflepuff sejati. Aku tidak tahu bagaimana jadinya proyek ini tanpa kerja keras Iris. Jadi, bersamaan dengan tulisan ini... aku ingin berterima kasih pada Iris atas kerja kerasnya. You deserve more than a triple thanks.
Terima kasih sudah mau direpotkan dalam proyek ini. Terima kasih sudah menjerengkan mata untuk QC puluhan buku. Terima kasih sudah bekerja keras hingga buku ini lahir. Terima kasih sudah mewujudkan mimpi kecil ini. Terima kasih banyak.
.
.
.
.
.
.
.
PS: Terima kasih juga untuk adik Iris atas pinjaman akun Shopee-nya dan atas kerjanya membatu proses packing. Lain kali, lagi, ya. #GAK!
1 note
·
View note
Text
BTS Pot of Gold
Aku tidak tahu bagaimana dan darimana harus memulai tulisan ini. Ingin rasanya cuma menuliskan sumpah serapah pada Hans, tapi rasanya kekanak-kanakan sekali kayak anak SD saja. Jadi, aku mulai dengan menjelaskan judul dari tulisan ini saja dulu.
Pot of Gold ini adalah buku yang ditulis ramai-ramai oleh teman-temanku di komunitas menulis. Kata teman sebenarnya kurang tepat karena hubungan kami agak rumit, istilah facebooknya, it’s complicated. Kami tidak sekedar berteman tapi juga bermusuhan sekaligus berpacaran bahkan ada yang statusnya sahabatnya mantan simpanan pacar—aku juga tidak yakin bagaimana menggambarkan hubungan mereka. Pokoknya sulit untuk dijelaskanlah namanya juga “It’s complicated.”
Semua ini bermula dari 14 januari 2017—tapi kalau kuceritakan dari sana, rasanya tulisan ini akan jadi satu buku sendiri, jadi aku mulai dari beberapa bulan yang lalu saja. Aku tidak ingat tanggal pastinya, mungkin sekitar pertengahan bulan Desember 2018. Bermula dari Hans, tentu saja. Siapa lagi orang rajin yang mau repot-repot meluangkan waktunya merecoki banyak orang untuk melakukan sesuatu yang melelahkan seperti membuat buku. Huff.
Desember 2018, semua berjalan pelan. Hans dengan semangat kemerdekaan yang telat empat bulan mencetuskan ide untuk membuat buku kumpulan cerpen. Sebuah kemajuan yang luar biasa pesat karena NIH—forum tempat kami biasanya menulis cerita—sedang mati suri. Kenapa kusebut ini kemajuan yang luar biasa pesat? Karena biasanya ide yang akan dicetuskan oleh Hans hanya sebatas event di forum yang setelah beberapa minggu—paling lama sebulan—sudah selesai. Ketika NIH mati suri, sepertinya Hans punya lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal pelik untuk menyusahkan orang lain. Semoga NIH segera bangkit dari mati surinya agar Hans tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang lebih merepotkan. Amin.
Hal pertama yang Hans lakukan setelah mencetuskan ide itu adalah melemparkan kuisioner. Alasannya untuk melihat seberapa banyak yang mau terlibat dalam proyek menulis ini. Aku curiga bukan jumlah penulis yang ingin dia kumpulkan tapi orang-orang yang akan dipaksa untuk bekerja di belakang layar. Ini seperti "Ketentuan penggunaan dan kebijakan privasi” yang harus ditandai dengan “Saya sudah membaca dan setuju” sebelum menginstall sebuah aplikasi. Tidak, saya tidak suudzon karena:
1. Kuisioner itu—setelah dua halaman pembuka—dimulai dengan tulisan “Form Kesedian”. Kuisioner macam apa yang dimulai dengan judul “Form Kesediaan”?! Ini jelas-jelas sebuah jebakan!
2.Ada satu pertanyaan yang dengan jelas menggambarkan bahwa kuisioner ini memang dibuat untuk mencari pekerja dibalik layar. Pertanyaan itu berbunyi, “Apakah kamu as PM bersedia dimintai tolong dalam proses pembuatan dan lain-lain?”
3. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba bisa ikut terlibat sampai sejauh ini. Kayaknya ada masa dimana aku kena hipnotis lalu ketika sadar sudah terjerumus terlalu jauh dan tidak tahu bagaimana bisa keluar.
Desember berlalu dan Januari pun tiba.
Desember itu ibarat masa tenang sebelum badai karena pada bulan itu acaranya hanya mengisi “Form Kesediaan”. Awal Januari, kehidupan masih agak tenang karena pembahasannya masih seputar tema buku, jenis cerita, benang merah, benang jahit, benang bangunan, semen, pasir, cakar ayam, ya gitu-gitu lah. Awal Januari itu ibarat mengumpulkan materi, kekuatan, dan cadangan makanan sebelum badai datang. Proses penulisan cerpen harusnya dimulai dari awal Januari hingga akhir Januari, tapi karena benang merahnya baru ketemu pertengahan Januari, banyak yang baru mulai menulis akhir Januari. Karena proses menulisnya banyak yang baru dikerjakan di akhir bulan, tenggat waktu pengumpulan cerpen pun mundur-mundur—tidak pernah maju.
Januari itu masa-masa Hans monolog di grup menagih cerpen—tidak hanya Januari sebenarnya, Hans monolog di grup hampir sepanjang proyek ini. Rasanya waktu itu pernah tebersit perasaan kasihan, tapi setelah melewati satu setengah bulan penuh cobaan dan ujian yang ingin kukatakan hanya “Sukurin!” Begitulah, Januari pun berlalu.
Februari.
Yang kuingat dari Februari adalah proofread. Awal Februari adalah masa-masa yang indah karena aku gabut. Pekerjaanku untuk mencari-cari kesalahan dari tulisan-tulisan yang sudah dikumpulkan, dikerjakan oleh orang lain. Sungguh menyenangkan gabut itu, pekerjaanku hanya satu dari dua—mengetikan kata-kata pemberi semangat atau melontarkan kalimat-kalimat tidak penting setiap kali diskusi—sekedar untuk absen hadir. Tapi, selayaknya setiap masa, masa gabutku yang menyenangkan itupun berakhir di pertengahan bulan. Ketika sebagian besar tulisan sudah dikoreksi oleh para proofreader, tibalah waktunya bagi para desainer untuk bekerja. Oh, ini sungguh masa-masa penuh perdebatan. Semakin banyak perdebatan berarti semakin sering harus absen hadir.
Kalian tahu berapa lama waktu untuk menentukan desain pouch yang sangat bagus itu? Dari jam 12.37 sampai jam 20.06. Iya, hampir delapan jam.
Coba kalian mampir ke sini. Nah, desain-desain di sana lah yang menjadi penyebab perdebatan panjang kami dalam menentukan desain pouch. Awalnya, aku ingin empat desain pouch dari empat asrama supaya jumlah pouchnya banyak. Semakin banyak desain pouch semakin besar prospek untuk menjual pouchnya setelah penjualan buku ini berakhir. Tapi, hasil dari diskusi panjang memutuskan desain pouch hanya boleh maksimal dua. Akhirnya dipilihlah tiga desain, dua untuk tampak muka dan satu untuk tampak—sampai tulisan ini diturunkan aku masih tidak tahu bagaimana membedakan tampak depan dan tampak belakang pouch. Kalian pikir setelah menentukan desain pouch lalu perdebatannya berakhir? Oh, tidak secepat itu, kawan. Masih ada perdebatan lain menentukan warna tali pouch. Iya, tali pouch itu juga melalui proses perdebatan panjang. Kalian bisa bayangkan berapa banyak aku harus absen hari itu? Sungguh melelahkan.
Desain icon tidak melewati perdebatan yang berarti karena gambarnya ditentukan oleh penulis cerita sehingga tidak banyak yang bisa diperdebatkan. Apa yang bisa diperdebatkan dari satu desain?
Desain sampul juga tidak melewati perdebatan yang berarti karena memang tidak banyak pilihan yang diberikan. Hanya ada satu desain utama dengan sedikit twist serta mix and match di sana sini. Lalu, hasil akhirnya setelah dipoles sana sini hanya ada satu desain jadi... Sekali lagi, apa yang bisa diperdebatkan dari satu desain? Apalagi desainnya sebagus itu. Iya, kan?
Bersamaan dengan semua perdebatan tentang pouch dan tali pouch dan jumlah pouch dan jumlah desain pouch dan printer—iya, pada akhirnya perdebatan kami hanya berputar di sekitar pouch—Maret pun tiba.
Oh, iya. Sebelum masuk ke bulan Maret, ada satu cerita dari bulan Februari yang terlewat. Jadi, disela-sela perdebatan tentang pouch, ada ide untuk membuka percetakan sendiri setelah proses pembuatan buku ini berakhir. Hans menawarkan sebuah printer yang katanya bisa mencetak di banyak media hingga ukuran A3. Dengan semangat 45 yang terlalu cepat enam bulan, aku menanyakan harganya. Kalian tahu printer apa yang ditawarkan oleh Hans? Merknya Mimaki. Kalian mau tahu harganya? Rp. 228 juta s/d Rp. 548 juta. Mau tahu berita buruknya? Harga itu belum termasuk ppn. Mari kita tinggalkan saja Hans dan printer sultannya itu.
Bulan Maret.
Maret adalah bulan kerja keras, pekerja paling keras di bulan Maret adalah Iris.
TAMAT.
0 notes
Text
Judulnya Komentar Sotoy Soal Debat (Tulisan kedua)
*Tulisan pertama hilang karena koneksi. (Edit: Ternyata dia muncul lagi. Tapi, yang ini sayang kalau dihapus.)
Sungguh problematis kalau tulisan hilang gara-gara koneksi, mau bunuh koneksinya, nanti yang ini hilang lagi. Yawla. Ini rasanya campur aduk antara pengen nulis lagi dan tidak. Ini udah tahun 2019, kenapa masih gak ada yang nemuin mesin waktu, sih?
---Tulisan di bawah batas ini adalah salinan ulang post pertama sejauh yang bisa diingat oleh penulis, jika terdapat perbedaan dengan post yang pertama mohon dimaklumi karena... Eh, tapi kalian tidak bakal tahu juga sih.---
Ahey. Akhirnya saya punya bahan untuk menulis di sini lagi. Lumayan buat nambah-nambahin post siapa tahu sepuluh tahun lagi bisa ditukar dengan gorengan. (Punchline paragrah ini tadi apa, deh? Masa paragrafnya jadi tanggung begini. ASDFGHKL.)
(Paragraf kedua tadi bahas soal apa ya? Yawla, ingatanku. Ini gak ada tempat tukar tambah otak, ya? O iya, aku ingat.)
Sesuai, judulnya post kali ini akan membahas soal debat pilpres 17 januari 2019 kemarin malam. Pakai tanggal supaya kalau suatu hari nanti ada yang baca ulang, pembacanya tahu debat pilpres mana yang dimaksud oleh post ini. Itu juga kalau ada yang baca ulang dan blog ini tidak hilang di kemudian hari, Tumblr diblok lagi sama menkominfo maksudnya. Jangan mikir yang aneh-aneh dong!
Oke, sebelum mulai ada baiknya kita berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing agar tidak terjadi hal-hal yanh tidak diinginkan seperti tulisan ini hilang gara-gara koneksi yang mendadak hilang dan semoga saya dapat uang satu Trilliun. Amin. (Intinya, paragraf ini tuh tadi aku memimpin doa, doanya mau dapat uang satu Trilliun. Uangnya gak dapat, postnya hilang. Emang doa tuh gak boleh dijadiin bercandaan.)
Berdoa selesai. Kalau kalian belum berdoa, silahkan berdoa dulu. Saya dan post ini tidak akan ke mana-mana kok.
Jadi, pendapatku tentang debat pilpres kemarin malam adalah sama dengan pendapat Pak Mawa Kresna yang ditulis di artikel Tirto. Pendapatnya bisa kalian baca sendiri di Tirto.id. (Aku lupa lagi punchlinenya. Sedih. Apa aku tulis "The Me is Three" aja sebagai punchline biar lucu ya paragraf ini, meskipun maksa.)
Sekian dan terima kasih. (Dibuang ke Kali Hitam.)
Tapi, serius. Debat semalam itu jauh dari kata oke. Untuk orang-orang yang sudah pernah ikut minimal satu kali pilkada dan/atau pilpres (kecuali Pak Ma'ruf Amin), saya mengharapkan debat yang lebih oke, yang lebih banyak gagasan barunya. The Me is three two one. (Bodo ah, yang penting postnya jadi.)
Pak Jokowi dan Pak Prabowo sepertinya gagal move on dari pilpres 2014, pembahasan dan masalah yang mereka bawa masih sama dengan empat tahun sekian bulan yang lalu. Pak Jokowi misalnya dalam pernyataan penutupnya masih mengangkat masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pak Prabowo. Maaf, Pak Jokowi, dengan segala hormat, Pak Prabowo (dengan ini) sudah tiga kali ikut pilpres masalah HAM yang dilakukannya dulu sudah bukan rahasia umum lagi. Semua orang yang memilih maupun tidak memilih dia, sudah tahu. Tidak akan ada yang merubah keputusannya dari mendukung Pak Prabowo menjadi mendukung bapak setelah mendengarkan itu.
Pak Probawo juga sama, masalah yang diangkat masih soal kebocoran. Pak, dengan segala hormat, kalau Indonesia ini rumah, setelah bocor empat tahun sekian bulan, sudah roboh pak rumahnya, boro-boro masih berdiri tegak untuk menaungi penghuninya.
Saya rindu ide-ide baru pilpres 2014 yang diusung oleh Pak Jokowi kala itu. Tidak baru-baru amat sih, tapi setidaknya Pak Jokowi membawa istilah-istilah yang membuat orang bertanya-tanya. Soal Tol Laut dan Nawacawita, misalnya. (Apa kabar ya keduanya?) Kali ini, Pak Jokowi terlihat seperti kehilangan arah dan tidak punya ide-ide baru. Mungkin, karena ini masih debat pertama. Mudah-mudahan begitu.
Saya jadi penasaran ke mana orang-orang kreatif yang waktu pilpres 2014 mendukung Pak Jokowi. (Kalimat ini tadi nyempil di paragraf mana deh? Kenapa sekarang gak ada temannya? ASDFGHJK!)
Eh, ini kenapa jadi bahas Pak Jokowi terus. Baiklah, mari beralih ke Pak Sandiaga. Pak Sandiaga ini satu-satunya orang yang membawa kesegaran dalam debat tadi malam menurut saya. Nama-nama yang dia bawa sejak pilkada 2012 tidak pernah sama. Saya jadi bertanya-tanya kenapa dia tidak jadi penulis novel "base on true story" aja ya? Siapa tahu sukses. (Kok jadi gak lucu ya?) The me is three two pie. (Oke sip.)
Terakhir, soal Pak Ma'ruf Amin. Erm, saya takut kualat. Kita sudahi sampai di sini aja, ya.
Akhir kata, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya jika ada salah-salah kata dan/atau ada kata-kata yang tidak berkenan, tolong jangan dimasukkan ke hati, namanya juga komentar sotoy. Semoga saya tetap dapat uang satu Trilliun rupiah dan pajaknya ditanggung yang ngasih. Amin.
0 notes
Text
Judulnya Sotoy Komentarin Debat
Ahey, akhirnya saya nemu bahan untuk post di sini lagi. Lumayan buat nambah-nambah jumlah post, siapa tahu sepuluh tahun lagi bisa ditukar gorengan. Sesuai, judulnya, post ini berisi racauan sotoy saya tentang debat capres cawapres 17 januari 2019 kemarin malam. Pake tanggal biar sepuluh tahun lagi baca ulang tahu debat capres cawapres mana yang dimaksud oleh post ini. Itu juga kalau bakal dibaca ulang, belum tentu sepuluh tahun lagi blog ini masih ada. Bisa aja lima atau enam bulan lagi hilang, diblok lagi sama Menkominfo, maksudnya. Jangan mikir yang enggak-enggak dong!
Berdoa selesai. Kalau belum berdoa, ya silahkan berdoa dulu. Post ini tidak akan ke mana-mana kok.
Oke, mari berdoa dulu sesuai agama dan kepercayaab masing-masing supaya setelah membaca post ini kita semua mendapatkan--apapun yang kalian doa, kan. (Saya sih berdoa dapat uang 1 Trilliun rupiah.) Amin.
Jadi, pendapat saya soal debat kemarin malam adalah sama dengan pendapat Bpk. Mawa Kresa di Tirto. Silahkan baca artikelnya di Tirto.id (Yha. Oq.)
Terima Kasih. (Dibuang ke Kali Hitam.)
Tapi, serius. Debat semalam sangat jauh dari oke. Untuk orang-orang yang sudah minimal dua kali ikut pilpres dan/atau pilkada (kecuali Pak Ma'ruf Amin) debat semalam tidak oke. Mungkin, untuk ke depannya, capres dan cawapres bisa diikutkan kelas debat dulu supaya lebih oke debatnya--biar doki-doki kalau nonton. (BODO AMAT!)
Pak Jokowi dan Pak Prabowo ini sepertinya gagal move on dari pilpres 2014. Pembahasan yang dibawa masih 11 12 dengan apa yang dibahas saat itu. Pak Jokowi misalnya dalam pidato(?) penutupnya masih membahas soal kejahatan HAM di masa lalu, Pak Prabowo. Maaf, Pak Jokowi, dengan segala hormat, Pak Prabowo sudah tiga kali ikut Pilpres. Masalah HAMnya sudah bukan pokok pembahasan lagi, semua orang yang memilih atau pun tidak memilih dia sudah tahu. Tidak akan ada perubahan yang signifikan dari membawa masalah itu terus menerus. Bapak tidak bosan apa? Saya saja sudah bosan.
Pak Prabowo juga sama, dari empat tahun sekian bulan yang lalu, tetap bawa-bawa soal masalah kebocoran. Kalau itu atap rumah, udah roboh pak rumahnya, empat tahun bocor enggak dibener-benerin.
Saya rindu gagasan-gagasan fresh yang diusung Pak Jokowi di 2014. Gak fresh-fresh amat sih, tapi setidaknya, ada langkah-langkah kongkrit yang dijabarkan, ada istilah-istilah baru yang ditawarkan. (Istilahnya aja sih yang baru, produknya lama. Eh, ada juga deh produk baru, Tol Laut dan Nawacawita, apa kabar ya dia?) Sekarang, Pak Jokowi lebih terlihat seperti orang tersesat dan tidak tahu arah [coret]amit-amit, jalan pulang[/coret]. Mungkin karena ini masih debat pertama atau mungkin, Pak Jokowi terlalu fokus pada hal-hal lain jadi lupa PR soal visi misi ke depan.
Kemana ya kira-kira orang-orang kreatif yang 2014 lalu mendukung Pak Jokowi? Mana relawan kotak-kotaknya? Udah jadi penyanyi semua apa? (HEH!)
Lah, ini kenapa jadi bahas Pak Jokowi terus. Ya udah kita bahas Pak Sandiaga. Nah, Pak Sandiaga ini kayaknya satu-satunya yang membawa "freshness" ke dalam debat ini. Soalnya, nama-nama yang dia sebutin sejak pilkada 2012 kemarin, beda-beda semua. Luar biasa emang Pak Sandiaga. Kenapa dia enggak jadi penulis novel "Base on True Story" aja, ya? Kayaknya bakal terkenal.
(Kalau besok saya hilang, saya mohon blog ini tidak ikut hilang, pak.)
Terakhir, Pak Ma'ruf Amin. Aku takut kualat, jadi kita akhiri di sini aja, ya.
Saya mohon maaf kalau ada salah-salah kata atau kata-kata yang tidak berkenan, mohon untuk tidak dimasukkan ke hati, saya cuma asal tulis, namanya juga komentar sotoy. Akhir kata, semoga saya beneran dapat uang satu Trilliun rupiahnya dan pajaknya ditanggung yang ngasih. Amin.
0 notes
Text
Yawla... Nulis post panjang-panjang soal debat semalam hilang gitu aja. :'(
0 notes
Text
Hi, Malam. Aku lupa kapan terakhir kita bertukar sapa.
Maaf.
Siangku penuh dengan tugas dan nestapa. Hingga malam tiba, aku cuma bisa tergeletak tak berdaya.
Malam ini, sengaja kuluangkan untukmu, sekedar untuk berkeluh kesah. Kau tahu? Akhir-akhir ini, aku terjebak dalam masa lalu dan kematian. Pikiranku berputar merangkai cerita dengannya.
Bahagia. Iya. Tapi, palsu.
Kala pagi datang, semuanya sirna. Tinggal aku dan tumpukan tugas yang tak kunjung mereda.
Oh, sungguh nestapa.
Kadang aku curiga, bukan padanya aku terjebak tapi pada khayalanku sendiri. Kebahagiaan semu dari cerita-cerita yang kubingkai saat malam dan hilang ketika Fajar datang.
Kurang ajar memang si Fajar, sudah dikasih tempat tidur gratis, malah buang-buangin tulisanku tiap pagi.
Sialan.
0 notes
Text
Pengen nulis, tapi bahan tubir. Karena takut dihujat netizent maha benar, gak jadi nulis. Hhhh.
Tapi, pengen.
Ya udah nulis di sini aja. Kepalang udah diblock sama kominfo.
Jadi, apakah agama pada jaman dahulu kala adalah bisnis MLM, ya? Datang ke seminar, lalu pulang-pulang jadi anggota. Mandatnya juga mirip, kalau MLM cari pengikut sebanyak-banyaknya supaya punya kapal pesiar. (Mau taruh dimana coba tuh kapal pesiar kalau dapat juga. Buat parkir motor aja gak punya, ini kapal pesiar. Parkir di ancol? Jangan-jangan sebulan parkir di sana kapalnya jadi wahana rekreasi. Parkir di Priuk? Belum seminggu udah baret-baret tuh kapal pesiar.) Maaf. Balik lagi soal pembahasan kita soal agama dan MLM. Nah, kalau agama, disuruh cari pengikut sebanyak-banyaknya supaya masuk surga. Mirip, kan?
Tapi... agama gak cuma nyari pengikut aja, berbuat baik juga bisa. Iya. MLM juga gak harus cari pengikut, jualan produknya juga bisa.
Udah, ah. Makin jauh, makin dihujat nanti.
0 notes
Text
X: "Stop being so kind and start being a bitch. That'll solve half of your problems."
Y: "Jadi, aku harus jadi cewek?"
X: "That's not even my point!"
Y: "Tapi, kan aku cowo. Lagipula, apa salahnya mencoba membahagiakan semua orang."
X: "Stop pretending to be an idiot. You idiot!"
0 notes
Text
Britney Spears dan Kasus Korupsi
Lelucon tidak selalu berakhir lucu, kadang-kadang cuma berakhir lucon. Sebagai orang paling tidak serius yang pernah saya temui—menurut saya sendiri—saya sering membuat lelucon hal-hal yang tidak penting sampai hal-hal yang tidak boleh dibuat lelucon—dulu. Biasanya, hal-hal yang paling tidak boleh dibuat lelucon adalah lelucon yang paling lucu—jika dan hanya jika pihak-pihak yang berkaitan dan/atau menjadi leluconnya tidak ada di sana.
Kenapa?
Pertama, untuk menjadi lucu, lelucon harus tidak tertebak. Kalau bisa ditebak, biasanya tidak lucu sama sekali atau tidak terlalu lucu dan hal-hal yang tidak boleh dijadikan lelucon sangat tidak tertebak makanya jadi lucu.
Kedua, lelucon perlu objek penderita—semua lelucon pasti ada objek penderitanya—dan jika objek penderita dan/atau yang berkaitannya ada saat lelucon itu diutarakan, bisa jadi dia/mereka akan marah karena dijadikan lelucon. Saya sebut bisa jadi karena ada orang-orang yang tidak masalah menjadi objek penderita tergantung beberapa hal, seperti siapa yang membuat lelucon, apa isi leluconnya, batas toleransinya dan lain-lain.
Saya belajar beberapa hal dulu, waktu masih suka menjadikan hal-hal yang tidak boleh dijadikan lelucon sebagai lelucon. Pertama, melucu ada batasnya, batas-batas seperti menjadikan agama, fisik seseorang, hal-hal yang berkaitan dengan bunuh diri, dan koleganya sebagai lelucon adalah tidak baik dan tidak boleh—menurut sebagian orang. Kedua—yang ini saya pelajari dengan bayaran mahal—lelucon yang diulang-ulang pada objek penderita yang sama bisa menjadi sangat tidak lucu.
Saya mulai memperhatikan apa yang saya jadikan lelucon sejak beberapa tahun yang lalu, mencoba berempati pada objek penderita sebelum menjadikannya lelucon—tapi kadang masih suka kebablasan. Semakin sering saya berempati semakin sedikit lelucon yang saya hasilkan karena setiap kali menempatkan diri saya sebagai objek penderita, saya malah tidak jadi menjadikannya lelucon. Coba lihat saja isi blog ini, semakin lama semakin serius. Lama-lama saya mungkin tidak bisa melucu lagi. Lalu, tidak ada lagi yang bisa membedakan muka saya dan emoticon whatsapp serius.
Untuk menghindari hal itu, saya menjadikan hal-hal yang tidak jelas menjadi lelucon—hanya supaya saya bisa tertawa sendiri. Hal-hal yang tidak jelas itu tidak membuat orang yang tidak satu frekuensi atau satu refrensi dengan saya tertawa bagi mereka itu bukan lelucon dan ditanggapi dengan “Apa sih?” Kadang, saya tertawa karena reaksi mereka bukan karena lelucon saya. Sungguh, sebuah kegagalan dalam melucu.
Saya tidak bisa menyalahkan mereka dan reaksi mereka, mungkin memang saya saja yang kurang membaca dan update dengan dunia luar jadi pengetahuan saya terbatas dan akhirnya lelucon saya juga terbatas. Lagipula, leluconnya memang saya tujukan untuk diri saya sendiri jadi selama saya tertawa, tujuan saya tercapai. Sudah.
Now, let’s talk about other jokes that become viral because they are controversial.
Saya tidak masalah dengan lelucon-lelucon itu sampai ada pihak-pihak yang bersuara tentang hal itu lalu berempati pada mereka. Dulu saya membuat lelucon tentang bunuh diri dan hal-hal tabu seperti agama, lalu kemudian ada joke tentang bunuh diri yang menjadi viral dan diprotes oleh orang-orang. Yak. Saya stop membuat lelucon tentang hal itu di ruang publik dan membatasi diri saya untuk melontarkan lelucon itu di ruang privat—membatasi karena kadang sangat sulit untuk tidak melontarkan guyonan lucu yang melanggar batas-batas itu. Normalnya, tidak ada yang tersingung jika lelucon itu saya lontarkan di ruang privat karena saya tahu siapa dan bagaimana mereka akan bereaksi.
Lelucon-lelucon yang menjadi kontroversi di medsos juga begitu. Orang-orang yang melontarkan lelucon itu tidak memperhitungkan orang-orang yang menjadi atau berkaitan dengan objek penderita itu sebelum melontarkannya ke ruang publik. Mereka yang pernah punya teman/keluarga yang pernah bunuh diri jelas tidak akan tertawa pada lelucon tentang bunuh diri. Mereka yang religius dan menganggap agama sebagai sesuatu yang sakral dan tidak pantas dijadikan bahan bercandaan, jelas tidak akan tertawa pada lelucon tentang agama.
Lalu, datang orang-orang yang membela para pembuat lelucon dengan berpendapat kalau mereka yang marah-marah atas lelucon itu kurang refresing atau pikirannya kurang terbuka atau terlalu sensitif. Mereka bisa jadi benar, bisa juga salah. Kenapa? Karena kemungkinan besar mereka bukan objek penderitanya dan saya berani jamin akan ada lelucon yang akan membuat mereka—orang-orang yang membela pembuat lelucon—marah juga karena untuk menjadi objek penderita dari sebuah lelucon dan tidak marah butuh kerendahan hati yang teramat sangat. Membunuh ego kita dan menjadi bahan tertawaan lalu tertawa bersama bukan hal yang mudah.
Kalau suatu hari kita semua bisa tertawa tanpa merasa tersinggung oleh lelucon yang sensitif, mungkin kita sudah mati dan masuk neraka.
Ups, I did it again.
0 notes
Text
Kenapa kita tidak bisa berprasangka baik terhadap sesama?
Pertanyaan itu berputar di kepala saya sejak lama dan akhir-akhir ini, semakin berisik. Saya tahu kita semua bukan malaikat, jauh dari sempurna, tapi apakah sesulit itu untuk mencoba diam dan memahami sebelum menghujat dan mengumpat. Kalau terlalu sulit untuk berempati, cobalah untuk berimajinasi. Luangkan saja sejenak waktu untuk membayangkan, bayangkan kalau hal itu menimpa kita. Berimajinasi terlalu sulit? Itulah gunanya membaca komik dan menonton kartun, bapak-bapak dan ibu-ibu. Kalian sih terlalu gengsi untuk membaca komik dan menonton kartun karena takut dibilang cemen. Huff.
Maaf, saya tidak bermaksud menghujat dan mengumpat. Maaf, saya lupa berempati dulu pada kalian. Maaf. Sambil menunggu saya membayangkan bagaimana rasanya tidak menonton kartun... Tunggu, saya seharusnya berprasangka baik, seharusnya saya tidak menuduh kalian tidak bisa berimajinasi. Mari lupakan, bagian itu dan lanjutkan tulisan ini.
Padahal semuanya hanya masalah perspektif, bagaimana kita memandang sebuah cerita. Ijinkan saya untuk menceritakan sebuah episode dari sebuah komik di Webtoon. Tunggu, daripada saya yang bercerita, bagaimana kalau kalian saja yang membaca komik itu. Judulnya Adventures of God, Ep. 22 - Signs. Kalau sudah, kembali lagi ke sini, ya. (Tidak, saya tidak dibayar atau mendapatkan sponsor dari webtoon di sini.)
Di cerita itu, Francis menerjemahkan pertanda Tuhan sebagai ujian bagi cintanya. Lampu merah, blokade polisi, deretan tank, bahkan hujan meteor tidak menghentikannya untuk bertemu dengan mantan kekasihnya hanya untuk mati ditikam dengan pisau. Lihat, bagaimana Francis salah menerjemahkan pertanda dari Tuhan? Bukannya menerjemahkan pertanda itu sebagai pertanda bahwa Tuhan tidak merestui hubungannya dengan mantannya itu, Francis malah menerjemahkannya sebagai halangan untuk membuktikan betapa besar dan kuat cintanya. Sayang, cinta yang kuat dan besar itulah yang menyebabkannya mati ditikam pisau.
Tidak, saya tidak membawa cerita itu ke sini untuk memperdebatkan tentang pertanda dari Tuhan. Saya membawa cerita itu ke sini agar kita semua sadar bahwa, mungkin ketika kita menghakimi dan menghujat tanpa berempati, kita melihat cerita yang kita hujat dan hakimi itu dari arah yang salah.
Mungkin, jika kita ditempatkan pada posisi yang sama, kita akan melakukan hal yang sama. Mungkin, jika kita ditempatkan pada posisi yang sama, kita akan melakukan hal yang lebih buruk. Jangan. Jangan pernah beranggapan jika kita ditempatkan di posisi yang sama, kita bisa melakukan hal yang lebih baik. Karena sesungguhnya kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita lakukan sampai kejadian ini menimpa kita. Saya punya contoh paling konkrit yang kita semua pernah alami.
Kita semua pernah duduk di bangku sekolah dan menjawab pertanyaan ini semudah membalikkan telapak tangan.
1. Setelah makan es krim, kemanakah bungkus es krim dan stiknya dibuang? Tong sampah.
2. JIka kalian sedang duduk di kereta dan ada kakek-kakek yang masuk lalu dia tidak mendapatkan tempat duduk. Apa yang kalian lakukan? Menawarkan tempat duduk.
Kenyataannya, kemanakah bungkus es krim dan stik es krim itu bermuara? Di jalanan, sungai, dan tas teman. Kenyataannya, siapakah yang duduk di kursi prioritas di kereta, pemuda-pemudi harapan bangsa. Akui saja, kita semua egois dan lebih suka melihat segala sesuatunya dari perspektif yang kita inginkan. Kalimat itu, berlaku untuk kamu yang tadi secara sadar atau tidak, menjawab dua pertanyaan di atas dengan jawaban selain tong sampah dan menawarkan tempat duduk. Egomu terlalu tinggi untuk mengakui kalau saya benar.
Saya pun sedang melakukan itu, sebenarnya. Berimajinasi kalau ada yang akan menjawab pertanyaan itu dengan jawaban nyeleneh. Ego saya terlalu tinggi hingga tidak mau disalahkan oleh imajinasi saya sendiri. Astaga. Bahkan, tulisan panjang dan pemikiran ini, tidak mengajari saya untuk berprasangka baik pada kalian yang membaca tulisan ini.
Jadi, apa gunanya tulisan ini? Tidak ada, saya hanya sedang ingin menulis di sini.
0 notes
Text
He is a fool. He always get fooled.
Be kind, they said. And all of those gold will be his.
Be kind, that's what he did. And be fooled, that's what he got.
Oh, such a fool.
But be kind, that's what he always be.
Oh, I wonder.
When will he become the most evil person in earth.
That fool.
0 notes
Text
Aku mencintaimu dengan bodoh, sebodoh keledai yang terjatuh dua kali dilubang yang sama.
Iya, sebodoh itu.
Aku akan selalu berjalan bersamamu, meski pada kematian aku dituntun.
Haruskah kuulang?
Iya, aku. Sebodoh itu.
Aku mencintaimu dengan tulus.
Setulus apa?
Setulus nama seorang penyanyi.
Aku akan selalu percaya padamu, meski logikaku dan dunia menghujatmu dengan kata penipu.
Aku juga akan selalu mencintaimu meski purnama datang dan pergi.
Ya, aku mencintaimu, kamu.
Kamu yang bertanya pada siapa aku menuliskan puisi ini.
Kamu yang membaca tulisan ini tanpa tahu ini untukmu.
Kamu. Selalu kamu.
Kamu. Kamu. Kamu. Kalian.
Siput-siputku.
0 notes
Text
Apa yang saya pelajari dari Train to Busan?
SPOILER ALERT! SAYA ULANGI! SPOILER ALERT! KALAU BELUM NONTON SEBAIKNYA... baca aja sih gpp. Selama tidak meminta pertanggung-jawaban saya ke depannya.
Oke. Langsung saja, ya.
1. Bahwa menggambil HP yang berdering saat mengendarai mobil dapat menyebabkan kecelakaan dalam kasus Train to Busan, menabrak seekor rusa.
2. Sebelum menolong orang yang kejang-kejang di kereta, pastikan terlebih dahulu dia bukan zombie.
3. Cewek secantik apapun kalau jadi zombie jadi jelek.
5. Zombie tidak bisa membuka pintu kereta. Sungguh sebuah anugrah yang luar biasa. Bayangkan kalau bisa, film ini paling cuma berdurasi 30 menit.
6. Toilet adalah tempat persembunyian yang aman jika diserang zombie di kereta. (Tapi, pastikan teman yang kamu bawa masuk ke toilet bukan bapak-bapak yang cuma ingin menyelamatkan dirinya sendiri.)
7. Ketika dikejar zombie, kalian sanggup berlari dari kejaran zombie dan menahan pintu selama yang diperlukan dan menghajar banyak zombie dan mengejar kereta dan masih sanggup terus berlari tanpa kelelahan dan masih sanggup menghajar lebih banyak zombie. Buat apa pergi ke gym kalau begitu? Cih!
8. Ibu-ibu hamil bisa berlari bahkan mengejar kereta dan berhasil naik ke dalam kereta. Kenapa pasangan yang sedang jatuh cinta di film-film lain tidak bisa? Kalian harusnya malu mengaku cinta tapi kalah sama ibu-ibu hamil. (Kalimat terakhir ditujukan untuk pasangan yang gagal mengejar kereta bukan pembaca.)
9. Zombie tidak bisa melihat dalam gelap. Zombie punya daya penciuman yang buruk. Zombie punya pendengaran yang cukup baik.
4. Punya banyak HP sangat berguna untuk menyelamatkan diri jika dikejar zombie.
10. Jika, zombie muncul kereta ekonomi dari Jakarta menuju Surabaya berdoa supaya bisa masuk surga adalah jalan keluar terbaik.
11. Zombie bisa berlari mengejar kereta tapi tidak bisa berlari mengejar orang yang berlari mengejar kereta. Sekali lagi, kalian harusnya malu kalah sama zombie yang kalau jalan aja sempoyongan kayak orang mabuk! (Dan, sekali lagi, kalimat terakhir ditujukan untuk pasangan yang gagal mengejar kereta, bukan pembaca.)
12. Masinis adalah pekerjaan yang paling aman dari serangan zombie selama tidak sok pahlawan ingin menyelamatkan bapak-bapak yang cuma ingin menyelamatkan dirinya sendiri.
13. Setelah masinis, kesempatan untuk selamat paling besar adalah ibu hamil dan anak kecil. Lihat! Bahkan, zombie tahu bagaimana harus bersikap terhadap ibu hamil dan anak kecil saat di dalam kereta. Kalian harusnya malu kalah sama zombie! (Kalimat terakhir ditujukan untuk orang-orang yang duduk di kursi khusus ibu hamil saat naik kereta.)
14. Bunuhlah bapak-bapak yang terindikasi ingin menyelamatkan dirinya sendiri karena bisa menimbulkan lebih banyak korban jiwa. Dan, karena percuma bapak-bapak itu hidup ujung-ujungnya mati juga. Dan, karena alasan dia ingin selamat cuma supaya bisa bertemu ibunya. YA AMPUN! Muka udah 60 menuju 70, galak, tidak punya belas kasihan, tapi ternyata masih anak mami. CUH!
15. Ini yang paling penting untuk mencegah kejadian Train to Busan terjadi di dunia nyata. Setelah menabrak Rusa, jangan lupa mayat Rusanya dibungkus dengan baju atau jaket yang sedang kalian pakai lalu dikubur dengan layak karena arwah rusa korban tabrak lari yang marah dapat hidup kembali menjadi zombie dan seluruh kota (bahkan negara) terancam jadi kota zombie.
Sekian dan terima kasih.
0 notes
Text
He come again, The f-ing sad feeling, The M word, The f-ing M word. He made my feel really f-ed up. How can I feel guilty for my own happiness? How can I still wake up after all this sh... that happens in my life? The money? The routine? You? I'm asking the very same question everytime I woke up. Why am I still alive? Why can't I just take a knife and kill myself or take more medicines than I should to overdose myself? Do you want to know? Well... I answered it with the very same answer that make me get up and keep living. Your smile. Your laugh. Your happiness. Yes. Yes. Your imperfect smile that somehow fits perfectly in my eyes and your ugly laugh that you hate so much, but somehow rings like a perfect song in my ears. And your happiness... Do I really need to explain this? My... I wish I could see and hear it everyday. Oh, I wish. But, who am I again wishing such privilege. Man... What am I bubbling? Nonesense. Yeah, f-ing nonesense. How could I wake up if you don't even exist? Stupid me who fooled by my own imagination. Stupid me who thinks I can write something that make you real. Stupid, really. It would be more realistic if I wish I can fix my grammar than wishing you are real.
0 notes