Just bunch of unimportant sentences that stuck in my head
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kentut
Bahang termenung memperhatikan suara lantang para penyampai kebijakan desa. Ada yang terlihat menggebu-gebu. Ada yang menitikkan air mata. Ada pula yang ngangguk-nggangguk setuju. Selebihnya tertidur. Dan sebagian lainnya tidak datang.
Dari tadi sudah berseliweran banyak adu argumen. Saling serang. Saling tangkis. Sesedikit ada nada cemoohan. Meskipun mereka berkubu-kubu dan saling serang, satu hal yang sama. Mereka semua mengakui “bekerja untuk masyarakat desa Kononkaya”.
Sejujurnya Bahang mulai mengantuk. Dari tadi kata-kata berseliweran keluar masuk alam bawah sadarnya.
“demi rakyat desa ini, saya akan...”
“... tak pantaslah seorang wakil rakyat berkata seperti itu.”
“Saya tidak setuju. keinginan rakyat harus jadi yang utama..”
“...untuk rakyat, saya...”
“...demi rakyat...”
“...rakyat...”
Bahang pun tak sanggup lagi menahan tidurnya. Maka pulaslah ia tidur di dalam ruangan rapat penentu kebijakan desa Kononkaya tersebut.
Sebenarnya para perwakilan RT/RW, tokoh masyarakat desa Kononkaya sedang membahas apa sebaiknya program yang harus dijalankan untuk memanfaatkan dana desa yang baru saja cair dari pinjaman yang diberikan oleh sebuah perusahaan.
Kepala desa bersikukuh bahwa pembaruan kantor desa menjadi prioritas, sebab kantor desa merupakan wajah desa yang utama. Gerbang menuju kewibawaan desa. Hal ini tentu saja diamini oleh para pendukungnya. Yang satu dan lainnya menempati posisi strategis dalam pemerintahan desa Kononkaya.
Sementara yang lain menganggap “proyek permak” itu hanyalah akal-akalan kepala desa dan kroninya untuk memaksimalkan uang proyek ke kantong mereka sendiri. Kelompok ini beranggapan bahwa sebaiknya dana desa digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang dimulai dengan perlunya membentuk gugus tugas yang terdiri dari para perwakilan di musyawarah desa tersebut. Diharapkan nantinya gugus tugas itu dapat merumuskan apa yang menjadi prioritas dalam pembangunan desa Kononkaya setelah menyerap aspirasi masyarakat.
Kelompok ketiga pun mengejek kelompok kedua karena menurut mereka pembentukan gugus tugas hanyalah akal-akalan agar dibentuk posisi tidak penting untuk menghambur-hamburkan uang desa. Kelompok ketiga ini mengingatkan agar sebaiknya proyek desa yang mangkrak dievaluasi. Apa diteruskan atau tidak. Sebab semakin lama dibiarkan, pengeluaran yang harus dibayarkan kepada kontrakor akan semakin menggelembung. Mereka lebih jauh menekankan agar proyek-proyek strategis untuk rakyat jangan dipolitisasi. Harus dikerjakan.
Tak mau kalah, kelompok keempat mencemooh kelompok ketiga. Sebab menurut mereka kelompok ketiga ini banyak yang kongkalikong dengan para mandor proyek yang mangkrak tersebut. Ide mereka hanyalah cara untuk memperkaya diri mereka sendiri...
Begitu seterusnya setiap kelompok saling berdebat, menyalahkan satu sama lain, dan merasa yang paling benar mewakili rakyat desa Kononkaya.
Sementara tak terasa, Bahang yang tertidur pulas mulai mendengkur. Dengkurannya mengeras menjadi ngorok. Memang dasar si Bahang, kalau sudah ngorok, suaranya memenuhi seluruh ruangan. Sontak mereka yang berdebat, riuh-rendah, berapi-api pun menjadi terdiam.
“Setan alas! Siapa yang mengorok begini. Tak sopan!”
Kata pak ketua gugus proyek mangkrak yang sengaja mengulur proyek agar dana tetap cair.
“Sikap kurang ajar! Menghina kita semua!”
Kata sekretaris yang juga merupakan adik pak Kades yang baru diangkat kemarin subuh.
“Pasti si Bahang. Si sialan itu memang tukan bikin gara-gara”
Kata ketua persatuan RW yang pungli uang rakyatnya dengan alasan untuk dana macam-macam.
Bahang tak ambil pusing. Ngorok nya ia teruskan. Semakin besar malah.
“Hey! bangunkan si Bahang.”
“Ngapain dia tidur! Ini rapat penting. Tak sepantasnya rakyat tidur ketika kita sedang mendiskusikan kepentingan mereka”
Kata bapak bendahara yang suka telat bangun untuk kerja karena main gaple semalaman.
...
Bahang pun terbangun setelah diusik pak Joni disampingnya. Dia keheranan melihat mata-mata para wakil rakyat desa Kononkaya menatapnya.
“Hang. kan yang nanya pertanyaan tadi kamu? Makanya kita ribut begini.”
“Kenapa kamu malah tidur?”
Bahang bingung dan menatap kosong mereka. Ia pun menghela nafas panjang dan berkata :
“maaf Bapak-Bapak saya tertidur. Maklum tadi malam saya begadang membantu sebagian warga desa ini yang kena wabah kurap. Kurap mereka jadi menyebar cepat dan menular! Sungguh aneh. Kurap ini membuat mereka terus menggaruk sehingga tak ada waktu bagi mereka untuk bekerja apalagi mencari makan. Sebagian warga yang terkena wabah kurap ini sudah beberapa hari diisolasi. Mereka tak bisa pergi dan keluar rumah mereka. Sementara salep 86 obat kurap ini sudah hampir habis persediaannya.”
“Oleh karenanya kami berinisiatif berkumpul dan meminta bertemu dengan para perangkat desa, baik itu pihak eksekutif maupun legislatif desa untuk meminta bantuan pengadaan salep 86 secepatnya.”
“pertanyaan saya tadi adalah, bagaimana jika dana desa yang baru cair itu digunakan untuk membeli salep 86 untuk sementara waktu?”
Begitu kilah Bahang memberikan jawaban.
“Terus mengapa kamu tertidur? Apakah perdebatan kami membosankan?” Kata bapak berkumis lebat yang mengurusi hampir semua hal di desa Kononkaya itu.
“Tidak pak. Hanya saja, semakin lama adu argumentasi Bapak-bapak sekalian telah membuat saya mengantuk. Maklum saya belum tidur sejak tadi malam.”
Jawab Bahang menanggapi.
“Tapi kamu tidak sopan. Kami sudah menyempatkan datang pagi-pagi buta untuk membahas langkah terbaik mengenai usulan kamu. Demi rakyat kami datang!”
“Benar. Saya sempatkan datang, padahal nanti jam 1 siang saya masih harus bertemu kepala mandor proyek jembatan yang menghubungkan desa kita dengan desa sebelah. Proyek ini juga penting untuk rakyat.”
“Belum lagi dengan renovasi gedung ini. Sudah tak layak huni. Apa kata pengawas nanti ketika ke sini. Gedung ini menunjukkan kualitas rakyatnya”
Tak tahan mendengar sahut-sahutan para wakil desa membuat perut Bahang pun mual. Ia teringat jika belum BAB sejak kemarin.
“PRETTTTTTTTTTTTTT.......”
Suara kentutnya menggelegar di seluruh ruangan membuat suasana kembali menjadi hening. Kali ini tidak diingiringi dengan sumpah serapah. Melainkan lari tunggang langgangya para wakil desa keluar berusaha untuk keluar dari ruangan rapat yang kecil tersebut.
Rupanya kentut Bahang tadi begitu kuat baunya. Maklum kemarin dia makan jengkol dan petai di rumah salah satu pengidap wabah kurap di desa Kononkaya.
Kanazawa, 20.07.2021
Selasa
0 notes
Text
Things
In it‘s presence it is hidden
In it‘s absence it is close
Come and go
Never truly in a unit
Through manifolds it is presented
All kind of media, means, tools
Stories told, videos recorded, books wrote
Yet it is intimately personal
In our own mind
Which is the boundaries?
Can I cut it to its own existence?
No, of course.
Temporal aspects are curses
Wholes are mixed of parts
It must be dynamic in nature
Changing faces, appearing uniquely
to each bipedal overcomplicated monkey
That communicates about it
Like some kind of isolation. A unity. A thing.
What is a thing anyway?
Lalu Zam
Kanazawa, 05.09.2020
0 notes
Text
Contemplation
I used to think that all wonders are beautiful
Cause they were full of mysteries.
Now, wonders are still beautiful.
But the mysteries are no more.
It is naked, empty and cold.
I wish I could go back
To the time when I still believe in magic tricks
Because there was magic
Eventhough it was full of tricks
Why did I need to peek behind the curtain,
Why did I befriend doubts and curiosity.
I envy the fools
Who laughs all day until death takes them
With no struggles, no protests, and no hard feelings
Not knowing, not caring...
Kanazawa, 03.09.2020
Lalu Zam
0 notes
Text
I heard death calling
repeatedly behind my back
But I am too afraid to look
Until I realise that it came from within
Kanazawa, 03.09.2020
Lalu Zam
0 notes
Text
Kemelut
Apa yang kau gapai,
mempertahankan genggaman pada manusia
Bisa saja kau hempaskan
belenggu dari 2000 tahun yang lalu
Dan berjalan menuju mentari
telanjang, lahir kembali
Tapi apakah kau yakin ingin duduk di singgasana
yang di bawahnya berserakan mayat-mayat
Mereka yang tak sampai hati
yang gila abadi
yang diam berdiri
yang dilupakan sendiri
„Sudah diam saja kau pikiran laknat!“
Jendela ini masih setengah terbuka
Sesekali kepalaku saja yang keluar
„Aku hanya seorang pengecut!“
„Aku sudah mati sedari dulu“
Dan tubuhkupun melambung jatuh tanpa beban
Selamanya
Kanazawa, 25.06.2020
Lalu Zam
1 note
·
View note
Text
Kabel-kabel Tak Kasat Mata
Pernahkah engkau melihat jalinan kabel pada sebuah tiang listrik? Berapa banyak mereka saling bersilangan dan berpencar ke segala arah? Ada yang di atas, di bawah, di antara keduanya. Kadang sampai pusing mata melihat untaian kabel tersebut, berusaha melihat ujung pangkalnya. Kadang sang tiang pun miring karena mungkin merasa sesak terikat dan tertarik dari segala arah.
Tiap-tiap kabel tersebut membawa dan menyediakan aliran listrik untuk masing-masing rumah. Aliran listrik ini kemudian diteruskan alirannya kepada berbagai alat elektronik. Ada yang bersifat keharusan seperti lampu, sebab kegelapan di malam hari bukanlah suatu pilihan. Manusia harus hidup dalam terang. Tanpa terang, pikiran bisa jadi kalut, langkah jadi tak teratur dan mata tak memiliki akses pada cahaya yang menyebabkan manusia menjadi makhluk tak berguna.
Adapun sisanya aliran listrik mengalir ke perangkat elektronik lain seperti TV, radio, alat masak, bahkan yang paling utama sekarang menjadi sumber pengisian baterai telepon pintar dan laptop. Dua gawai yang menjadi ciri masyarakat modern. Gerbang menuju dunia tak terbatas bernama internet.
Internet telah mengubah dan menantang tatanan sosial masyarakat. Bagaimana sebuah interaksi dimulai dari sepenggal kata, kalimat dan paragraf dalam sebuah aplikasi ringan dapat mengaduk-aduk perasaan setiap orang. Bagaimana mengirimkan buncahan emosi melalui gambar-gambar kartun bulat kuning dengan harapan yang membacanya paham. Atau gambar-gambar bisu bergerak sebagai penggantinya. Bahkan untuk yang tenggelam dalam budaya dunia daring, penggunaan mim pun dilakukan.
Dunia berpindah dari luar ke dalam gawai kecil di telapak tangan. Berita, gaya hidup, proyeksi keinginan, bahkan mimpi pun ada di dalamnya. Tak terhitung berapa yang menghabiskan uangnya untuk sekedar tampil dan diapresiasi dalam wadah media sosial, dan kanal video. Bagaikan mabuk kepayang, jempol-jempol yang berseliweran memberikan suntikan dopamin lebih untuk dikenal. Betapa tidak? Bukankah jumlah penilaian itu menunjukkan derajat penerimaan mereka dan tanda pentingnya pengguna dan unggahannya? Dengan itu datanglah unggahan yang lain, sadar maupun tak sadar demi apresiasi tadi. Bahkan mungkin lebih. Ada yang mengejarnya, mengorbankan rasa tidak nyamannya, melepaskan diri dari kungkungan bisik-bisik sahabat dan handai taulah. Untuk memanen pengikut, tanda „suka“ hingga jumlah penonton.
Sebab itulah mata uang sekarang ini. Poin-poin yang muncul berupa tulisan angka. Ya angka yang aku dan kamu tahu dan familiar. Yang dua digit lebih besar dari satu digit. Yang tiga lebih besar dari dua digit dan seterusnya. Ternyata mata uang poin ini adalah kekuatan yang katanya bisa ditukar menjadi uang sesungguhnya. Tak heran jika banyak yang mengejarnya. Siapa sih yang tidak ingin uang? Banyak uang berarti banyak yang bisa ditukar. Kekuatan penawaran dan keterbukaan kesempatan menjadi lebih luas. Memiliki uang lebih tanda Anda telah naik pangkat dalam hal mengakses realitas sistem kehidupan.
Jangan salah, bukan berarti saya anti ya. Saya bohong jika saya tidak melakukannya. Siapapun pasti pernah. Meskipun levelnya berbeda. Rasa eskatis itu memang memenuhi setiap orang. Membangkitkan narsisme pada level yang berbeda. Mulai dari merasa penting, merasa punya informasi lebih, ingin terkenal atau memang rasa haus ingin dikenal. Setiap orang punya dorongan tak kasat mata tersebut. Hanya saja ada yang dapat mengenalinya. Mengambil langkah untuk menormalkan dirinya. Tidak menolaknya dan berdamai dengannya. Dia tidak menjadi hamba bagi keinginan-keinginan tersebut. Juga tidak menampik atau mengesampingkam seutuhnya. Masih ada passion yang ia salurkan melalui kekuatan internet tersebut.
Tapi ada yang memang menyadari sebagian. Ada yang tidak sama sekali. Mereka dikejar-kejar oleh rasa haus yang mungkin tidak terpenuhi. Dan mendedikasikan diri mereka sebanyak mungkin dalam eksistensi virtual di tiap akun dalam aplikasi berbeda dalam gawai pintar mereka. Mereka punya personalitas berbeda di tiap akun tersebut. Di media sosial, di kanal video, di kanal gambar hingga di media pendidikan. Satu orang terpecah-pecah menjadi beberapa orang. Siapa dia sebenarnya? Mungkin dia pun tidak menyadari pertanyaan itu. Atau seperti kebanyakan orang, tidak peduli dengan pertanyaan itu.
Satu hal yang pasti, kita semua dalam hal ini dan tidak mungkin dibendung. Menatap layar kecil dengan baterai yang terus menurun menuntut untuk diisi ulang kembali, kita saling mengisi candu akan arti sebuah penerimaan, apresiasi, bahkan candu terhadap capital gain. Mungkin ini adalah hal yang bagus, sebab pertanyaan mendasar yang hampir semua tidak sadar sekarang berpindah jadi lebih dekat dalam pikiran setiap orang yang berselancar di dunia maya. „Apa makna eksistensi kita? Untuk apa kita berada di sini?“
Ah ironis. Dalam asas komunal tanpa interaksi langsung, manusia menjadi ahli filsafat untuk dirinya sendiri. Sembari mencolokkan kabel isi ulang gawai yang baterainya sudah mau habis agar tidak terlewat apapun dalam dunia maya, aliran listrik perlahan mengaliri gawai memberikan tambahan hidup bagi eksistensi gawai. Memperpanjang konektivitas sang pemilik, untuk menatap dunia yang begitu beragam. Untuk melanjutkan selancarnya yang dari detik ke detik akan terus menyerangnya dalam kaitan rumit psikis dan sosiologis nya sebagai manusia.
Sementara di luar sana, tiang-tiang „listrik“ jenis lain menjulang dengan „kabel“ yang lebih rumit dari tiang listrik biasa. Memancar ke semua arah, mengirim informasi dalam senyap langsung ke gawai. Mengirim apa yang dicari. Dicandui. Untung saja kabelnya tak kasat mata. Jika kasat mata, sudah pasti betapa tak beraturan kabel-kabel itu!
Kanazawa, 04.05.2020
Lalu Zam
0 notes
Text
Gincu
Sungguh elok bibir yang dipasangi gincu
Merah menyala dan terang senyumannya
Merah mendidih pula kepalaku dibuatnya
Ah perempuan bergincu merah
Mengapa kau cuma lewat sekilas di pertigaan itu?
Kusingkap mataku sedikit, hilanglah engkau
Tertelan lautan manusia hitam putih yang membosankan
Apakah semua hal yang menarik itu harus sepertimu?
Datang tak diundang dan pergi tanpa permisi
Meninggalkan rasa gundah dan kosong
Yang entah mau diisi apa.
Ah perempuan bergincu merah
Apakah karena gincu maka kau merekah?
Kalau gincumu dibuang
Masih adakah rasanya dirimu?
Ataukah ingatan sesaatku saja yang bermain
Memaksa merahnya gincumu di kepalaku
Seperti semua trik pikiran lainnya
Yang membuat warna pada dunia
Ah perempuan bergincu merah
Aku pun ingin melihat dirimu tanpa gincu itu
Tapi aku takut akan kenyataan
Seperti aku takut selama ini
Menengok ke belakang kelambu kehidupan
Sepertinya aku lebih merayakan dirimu yang sesaat itu saja
Membumbuimu dengan imajinasi bagai saringan media sosial
Bertahan pada distraksi gincumu
Sebab kenyataan itu menjengkelkan
Dan aku terlalu pengecut untuk mengakuinya.
Kanazawa, 10.05.2020
Lalu Zam
0 notes
Text
Tentang Sejarah Indonesia
Sejarah adalah narasi. Narasi yang memiliki banyak tujuan tergantung siapa yang menggunakannya. Sedari lama kita mengenal istilah Sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Lihat saja sejarah perang dunia kedua. Hampir semua narasinya menunjukkan bahwa pihak yang jahat adalah Nazi Jerman yang berhasil dikalahkan oleh kelompok Sekutu Inggris, Uni Sovyet, Amerika dan Perancis. Karena memang pasca perang dunia kedua, informasi mengenai hal ini didominasi dan diproduksi oleh para pihak yang menang, yakni Sekutu.
Jangan salah tanggap. Nazi memang pihak yang jahat dan salah dalam perang dunia kedua, namun tidak mungkin bisa mengatributkan hitam dan putih dalam sebuah sejarah. Apalagi sejarah perang. Ibarat benang kusut, banyak hal buruk yang terjadi semasa periode perang tersebut yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Baik yang menang maupun yang kalah. Mengatributkan kekejaman, kebrutalan dan kejahatan pada pihak yang kalah adalah hal yang tidak tepat. Sebab selayaknya sejarah itu adalah aksi atau kumpulan aksi manusia secara individu atau kelompok yang tentunya tidak bisa sepenuhnya dikotakkan secara biner, sehingga aksinya pun tidak berada pada salah satu pilihan biner tersebut.
Para peneliti sejarah seyogyanya tidak berbeda dari para ilmuwan. Mereka mengadakan penelitian secara terperinci tentang kebenaran dari suatu proses sejarah. Berusaha mengurai benang kusut yang menyelubungi narasi sejarah yang telah diterima oleh masyarakat. Memisahkan yang fakta, opini ataupun kepalsuan untuk menyusun suatu analisis yang runtut tentang lini masa suatu peristiwa. Meneliti, menguji bukti-bukti sejarah yang ada, sehingga bisa diambil suatu kesimpulan yang -semaksimal mungkin diusahakan untuk- objektif tentang peristiwa sejarah tersebut. Narasi hasil penelitian ini kemudian seharusnya disebarkan kepada para khalayak, sejujur-jujurnya tanpa ditutupi, dikurangi atau ditambahkan.
Distorsi informasi dalam narasi sebuah sejarah akan merugikan sebagian kelompok orang, menyebarkan stereotype yang tidak benar, bahkan bisa menjadi bara yang suatu saat bisa berkobar dan terbakar, sehingga mengulangi proses tragis sejarah yang ada. Perincian suatu deskripsi sejarah yang apa adanya, tanpa menambah dan mengurangi, sesuai dengan bukti dan dokumen sejarah yang ada merupakan salah satu cara untuk memberikan keadilan bagi sejarah dan sesiapa yang terlibat di dalamnya. Baik korban maupun pelaku sejarah. Baik pahit maupun manis. Hanya dengan cara ini, sebagian akan menghargai sebagian lainnya. Hanya dengan cara ini monumen bagi mereka yang terzalimi bisa didirikan dan penghentian pemujaan kultus bagi sebuah tokoh bisa dihentikan. Hanya melalui cara ini, manusia bisa melihat dirinya sebagai manusia kembali, yakni pribadi yang kompleks, penuh dengan keputusan-keputusan sulit, salah maupun benar. Manusia bisa pula belajar, mengevaluasi tindakannya agar kesalahan yang sama tidak berulang kembali di masa depan. Bukankah kita juga sering mendengar ungkapan siapa yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.
Berangkat dari penjelasan di atas, dari sekian banyak pendistorsi sejarah, pembahasan ini akan memfokuskan narasi sejarah yang biasa “dijual” oleh negara dalam ikon “sejarah resmi”. Fokus utamanya adalah sejarah resmi negara Indonesia. Sebuah negara memiliki alasan menentukan suatu sejarah resmi. Tujuan paling utamanya adalah untuk mempertahankan mitologi positif demi bertahannya eksistensi negara tersebut. Pada kasus ini, negara harus menjadi superhero yang kehadirannya bisa mengalahkan para penjahat. Ketika Indonesia berada pada zaman kolonialisme Belanda, sangat mudah menaruh Belanda sebagai penjahat dan perjuangan tokoh nasional dan rakyat sebagai superheronya. Dengan adanya narasi seperti ini, alasan keberadaan Indonesia sebagai hasil perjuangan bersama dapat menjadi perekat untuk meneruskan eksistensi negara Indonesia itu sendiri di masa depan. Tidak heran, ada banyak hal yang berbau heroisme dibubuhkan di dalamnya. Cerita yang bersifat membangkitkan semangat untuk membela negara. Namun, hal semacam ini menyebabkan banyak distorsi sejarah. Sebagai contoh adalah penjabaran tentang perjuangan rakyat yang menggunakan bambu runcing melawan tentara Belanda bersenjatakan lengkap yang dimenangkan oleh para pejuang rakyat. Hal ini tentu misleading. Sebab, perjuangan rakyat yang seperti itu waktu itu jelas tidak bisa mengalahkan pasukan Belanda yang bersenjatakan lebih modern dan lengkap. Meskipun memang benar di beberapa pertarungan, pasukan republik/rakyat yang menang. Namun secara umum, tidak bisa dipungkiri yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia.
Begitu pula tentang chaos/kekacauan yang terjadi semasa peralihan kekuasaan sekitar tahun 1945-1949. Ketika awal pernyataan kemerdekaan, berapa banyak tentara republik dan rakyat yang membunuh para keturunan (asli maupun campuran) Belanda, menggasak rumah mereka, dan melakukan hal-hal kejam atas nama kemerdekaan. Salah satu bisa dibaca di sini https://historia.id/politik/articles/zaman-berdarah-P9jZX. Pun begitu hal yang sama dilakukan kepada para golongan bangsawan yang pro Belanda. Penulis mahfum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin bisa menegakkan hukum dan moral secara semestinya. Banyak latar belakang yang menyebabkan adanya penjarahan dan tindakan kriminal tersebut. Diantaranya akumulasi rasa kebencian yang telah terpendam kepada pihak Belanda yang sekian ratus tahun memposisikan rakyat pribumi sebagai babu di tanah mereka sendiri misalnya. Tetapi, itu tidak menjadi alasan untuk tidak menghilangkan bab sejarah kelam anak negeri dari literatur-literatur sejarah. Dengan menuliskan sesuatu seperti ini, kita bisa belajar dari kesalahan dan tentunya hal ini tidak akan mengurangi kontribusi narasi positif para pejuang kemerdekaan bagi keberlangsungan negeri ini. Justru hal ini akan membuat mereka menjadi semestinya, yakni sebagai manusia yang bisa salah dan khilaf baik sengaja maupun tidak.
Poin berikutnya adalah cara negara memframe sejarah sehingga beberapa tokoh nasional terlihat seperti ikon yang dikultuskan. Terlihat sempurna dan selalu positif. Yang paling gampang contohnya adalah deskripsi tentang Ir. Soekarno. Jika ditanya apa yang kita ingat tentang presiden pertama kita maka jawabannya beliau adalah proklamator, seorang yang ulung dalam berpidato dan nasionalis sejati. Semua hal ini memang benar. Namun, bukan berarti semasa hidupnya, beliau tidak pernah mengambil langkah yang salah dan berefek luas bagi rakyat Indonesia. Seharusnya, bahasa sejarah adalah bahasa yang jujur. Menuliskan apa adanya tentang beliau dan menuliskan keseleruhannya. Semisal, sesiapa yang tahu jika dulu Ir. Soekarno dimanfaatkan oleh Dai Nippon (penguasa Jepang waktu perang dunia kedua sekitar 1942-1945) untuk mengajak masyarakat menjadi tenaga kerja paksa Romusha? Beliau menjadi model iklan bagi program Romusha tersebut. Lihat di gambar di bawah.
Gambar : Soekarno mempromosikan Romusha pada masa penjajahan Jepang sumber : https://www.quora.com/Why-did-Soekarno-endorse-Romusha-forced-labour-during-Japanese-occupation-of-Indonesia
Dari beliau sendiri pun mengakui hal tersebut, menjelaskan alasannya, juga merasa menyesal karena pernah melakukan hal tersebut. Hal lain yang tidak banyak dijelaskan dalam sejarah dari hidup beliau adalah ketika demokrasi terpimpin tahun 1959, beliau otomatis secara tidak langsung memposisikan diri beliau sebagai pemimpin tunggal (seperti diktator) Indonesia, abuse of power dengan memenjarakan para lawan politik seperti HAMKA, Moh. Natsir dan Sutan Sjahrir serta membubarkan partai-partai mereka. Hal yang awalnya dilakukan dengan dasar yang bagus yakni agar Indonesia menjadi stabil (pada waktu itu Konstituante tidak bisa menghasilkan keputusan tunggal tentang dasar negara, dll setelah RIS dibubarkan karena banyak fraksi dengan ideologi berbeda) malah pada kenyataannya menjadi membuat beliau memiliki hampir seluruh kuasa di Indonesia. Belum juga perseturuan beliau dengan Moh. Hatta sehingga Moh. Hatta meninggalkan kursi wakil presiden juga bagaimana beliau memperkeruh suasana antara militer dan PKI dengan condong kepada PKI sekitar tahun 1960an, dan lain-lain. Untuk ringkasannya bisa dibaca secara mudah di wikipedia https://en.wikipedia.org/wiki/Sukarno.
Intinya, beliau adalah manusia. Dan sebagai manusia, kita harus menyampaikan sumbangsih beliau, sejarah hidup beliau apa adanya. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana beliau berfikir, mengambil kesimpulan, dan alasan-alasan dibalik aksinya. Semua kejujuran tersebut tidak akan merusak jasa beliau sebagai proklamator Indonesia. Hal tersebut justru membuat beliau terasa lebih dekat dengan kita rakyatanya. Beliau tidak diselubungi mistis baik dari mistis narasi sejarah yang super positif, maupun dari mistis yang lain. Hal ini seharusnya dilakukan pula kepada tokoh nasional lain semisal Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain. Setiap manusia itu seperti aliran air. Tidak selalu berada satu tempat. Tapi mengalir, berbelok, melalui celah bebatuan. Mereka selalu senantiasa berubah. Kadang baik dan kadang buruk. Sejarah ada untuk memetakan perubahan tersebut. Agar kita mendapatkan gambaran utuh tentangnya.
Yang berikutnya adalah tentang bab-bab sejarah yang dihapus, sebab hal ini melibatkan tokoh antagonis dari orang-orang kita sendiri, bangsa Indonesia dari sudut pandang pemerintah. Yang pertama adalah tentang mereka yang berbeda ideologi. Seperti DI/TII, PKI 1948, PRRI/Permesta, dan lain sebagainya. Daripada memosisikan mereka sebagai pihak yang “jahat”, bukankah lebih baik untuk menganalisis dari kedua beliah pihak yang bertikai mengapa sampai pertikaian tersebut terjadi. Apa alasan yang mendasari pemberontakan kepada republik yang baru berdiri, apa yang salah dari kedua belah pihak, apa yang benar dari kedua belah pihak. Sebab hanya dengan gambaran utuh, kita bisa memberikan penilaian, langkah pencegahan, serta bagaimana menanggulanginya secara lebih beradab ketika hal yang sama kembali terjadi. Sebagai contoh adalah “pemberontakan PRRI/Permesta”. Sebenarnya mereka adalah entitas yang berbeda. PRRI di barat, yaitu Sumatera dan Permesta di timur, yaitu di Sulawesi. Di buku-buku standar sejarah, PRRI/Permesta dianggap ingin memisahkan diri dari Indonesia sehingga harus “ditertibkan”. Namun jika ditilik dari alasan Letkol Ahmad Hussein mendirikan PRRI, kita tahu bahwa awalnya itu hanya merupakan protes kepada pemerintah pusat yang dirasa hanya peduli kepada republik di Jawa saja. Sedangkan tidak ada hal nyata dilakukan untuk daerah luar Jawa seperti di Sumatera. Letkol Ahmad Hussein bahkan menegaskan, PRRI tidak ingin membuat negara dalam negara, mereka hanya ingin protes adanya perubahan kebijakan dan susunan pemerintahan di pusat sehingga tuntutan mereka tentang ketidakadilan/ketidakmerataan ekonomi di luar Jawa bisa diberikan langkah penyelesaian. Berikut adalah cuplikan perkataan beliau.
"the Banteng Council in particular and the people of Central Sumatra in general have no wish to build a State within a State, because relations between the Regional and the Central Government of the Republic of Indonesia will certainly return to normal when there is a Cabinet that can eliminate all the feelings of confusion, tension and dissatisfaction that threaten the security of the Indonesian State and People"
- Letkol Ahmad Hussein
Namun, bagaimana tanggapan pemerintah pusat dengan mengirimkan militer menyebabkan pertempuran tak terelakkan, korban sipil yang tak bersalah hingga penahanan para tokoh-tokoh nasional yang ikut menyokong PRRI/Permesta yang sebenarnya memiliki sumbangsih yang besar bagi keberlangsungan negara Indonesia. Sebagai contoh tokoh-tokoh PRRI antara lain Mr. Assaat yang merupakan mantan presiden Rep. Indonesia sewaktu Indonesia merupakan negara bagian dari RIS (https://en.wikipedia.org/wiki/Assaat) , Sjafruddin Prawiranegara yang merupakan mantan presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) (https://en.wikipedia.org/wiki/Sjafruddin_Prawiranegara) ketika Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda setelah agresi militer Belanda kedua. Kedua tokoh nasional ini mendukung PRRI karena tidak setuju dengan demokrasi terpimpin presiden Soekarno yang jelas melanggar amanat UUD 1945 tentang posisi presiden yang sah secara konstitusional yakni memiliki batas masa jabatan. Pada masa demokrasi terpimpin, presiden Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS buatan beliau sendiri. Dari sini terlihat bahwa titik berat kesalahan secara umum berada pada pihak pemerintah. Dan tidak menjelaskan hal ini dalam literatur sejarah merupakan kebohongan yang merugikan kredibilitas banyak tokoh-tokoh nasional.
Dengan sedikit penjelasan singkat di atas, kita tiba pada satu poin yang penting yakni, penghilangan, penghapusan, atau bahkan jarangnya narasi sejarah bagi para tokoh nasional yang dianggap bertentangan dengan negara. Seperti sudah saya sebutkan di atas, berapa orang dari kita yang pernah membaca sejarah lengkap Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat meskipun sumbangsih mereka sangat besar bagi negeri ini? Nama mereka muncul sebaris, dua baris dalam epik kemerdekaan, namun mereka tidak pernah memiliki penjelasan tersendiri. Apakah hal itu karena posisi yang mereka ambil ketika mendirikan PRRI? Mengapa biografi hidup mereka tak sebanyak presiden Soekarno, presiden Soeharto dan lain-lain? Pun begitu dengan para tokoh nasional beda ideologi yang menjadi korban sejarah berdirinya republik seperti Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin yang keduanya dibunuh oleh tentara republik karena menganut dan memperjuangkan ideologi komunis/sosialis. Bagaimana dengan Moh. Natsir yang dengan ikhlas memperjuangkan pengembalian negara-negara RIS untuk kembali menjadi NKRI yang satu dan tunggal ketika menjadi perdana mentri, namun tak pernah kita dengar kisahnya karena beliau bersebrangan dengan presiden Soekarno melalui partai islamnya yang bernama Masjumi? Dan masih banyak tokoh nasional lainnya yang mengalami nasib serupa.
Poin terakhir dari sejarah yang terlupakan adalah tentang keistimewaan Aceh, Yogyakarta dan Papua. Sejarah ketiga daerah ini belum masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Apalagi konflik keinginan merdeka Aceh dan Papua. Jika seandainya rakyat Indonesia mengerti latar belakang budaya, sejarah dan sosial Aceh dan Papua sebelum dan sesudah menjadi bagian Indonesia, maka mereka akan bisa melihat permasalahan kemerdekaan ini dengan lebih baik. Kita jadi bisa membuka jalan untuk berdialog, memberikan tawaran, dan lain sebagainya demi tercapainya keputusan yang bisa diterima oleh pihak yang terlibat. Mengenal sejarah mereka juga menghindarkan kita dari mengungkapkan komentar yang tak berdasar, rasis ataupun menyakiti perasaan mereka sebab kita tahu bagaimana sejarah dari kaca mata mereka. Sebagai contoh masalah Papua. Kontras dengan narasi sejarah nasional bahwa Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari NKRI (propaganda republik), Papua masuk ke Indonesia tahun 1969 setelah diadakannya Pepera. Sebelumnya mereka merupakan bagian dari Dutch Papua New Guinea. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang telah dikuasi belanda selama puluhan bahkan ratusan tahun, Papua baru dikuasai Belanda awal abad 20. Hal ini jelas membuat psikologi mereka berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang telah berada di bawah kekuasaan Belanda selama ratusan tahun. Sementara Belanda dilihat sebagai musuh di daerah yang lain, di Papua Belanda hanya dilihat sebagai orang kulit putih yang ingin berbisnis seperti para nenek moyang kita dahulu ketika pertama kali menerima para pebisnis rempah VOC. Meskipun nantinya Belanda menganeksasi daerah Papua menjadi bagian dari teritorialnya, masyarakat di sana belum terbentuk sense adanya untuk bersatu dan melawan seperti kita di Indonesia. Sehingga tetiba Indonesia mengambil alih Papua dan mengatakan ini dan itu tentang Belanda, tentunya mereka tidak akan setuju. Ada gap yang lebar antara pandangan kedua belah pihak. Bagi Papua, Indonesia tidak ubahnya dengan Belanda yang datang ingin menguasai mereka. Sedangkan Indonesia berpendapat, mereka menyelamatkan Papua. Perdebatan tentang apa itu Indonesia sebenarnya pernah dilakukan antara Moh Yamin dan Moh. Hatta. Bagi Soekarno, Indonesia adalah semua daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda mencakup Papua. Sementara Hatta berpendapat, Papua bukan Hindia Belanda. Beliau juga berpendapat jika masyarakat Papua memiliki budaya, ras yang berbeda dengan masyarakat Indonesia kebanyakan. Beliau khawatir hal ini akan menjadi konflik dikemudian harinya. Juga beliau mengingatkan bahwa Papua tidak memiliki keterkaitan sejarah yang kuat seperti daerah Indonesia yang lainnya terhadap pendudukan Belanda (lihat di sini https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ). Singkat cerita, pendapat Moh Yamin yang dipilih dan dengan begitu Papua adalah bagian NKRI menjadi standar narasi pemerintah ketika Indonesia merdeka. Tentunya yang dikatakan Moh. Hatta dikemudian hari terbukti benar. Rasa tidak puas, gesekan sosial budaya, alienasi karena ras yang berbeda dan ditambah pembangunan dan ekonomi yang tidak merata membuat sebagian dari mereka ingin merdeka. Dengan memahami hal seperti ini, kita jadi bisa lebih melihat secara adil tuntutan, keinginan rakyat Papua sehingga kita bisa mencari solusi terbaik. Pun begitu dengan Aceh. Saya tidak akan menguraikan panjang lebar konflik Aceh Indonesia. Namun semua ini berawal dari kekaburan sejarah bahwa Aceh merupakan negara merdeka sebelum dikuasai Belanda dan akhirnya menjadi bagian Indonesia. Aceh merupakan kesultanan islam yang memiliki hubungan internasional berabad-abad sebeum Indonesia berdiri. Begitupula dengan Yogyakarta. Yogyakarta adalah negara merdeka, yakni kesultanan islam yang mengikhlaskan kemeredekaannya untuk menjadi bagian dari negara Indonesia. Pemahaman akan hal- hal seperti ini akan membuat kita tidak berkomentar sembarangan tanpa dasar mengenai status istimewa mereka.
Sudah saatnya kita memberikan kredit kepada yang semestinya. Memberikan pengakuan kepada mereka yang sumbangsihnya besar bagi republik ini namun tak diberikan hanya karena mereka pada suatu saat berada pada pihak yang bersebrangan dengan pemerintah. Kita harusnya sadar bahwa dalam suatu proses sejarah keterlibatan para tokoh sejarah baik positif maupun negatif harus diberikan proporsi sesuai dengan kenyataannya. Ketika kita merdeka, tidak bisa hal itu hanya dinisbatkan kepada Soekarno, Hatta saja. Melainkan juga kepada yang lain terutama mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah. Dengan memberikan proporsi yang seimbang/objektif dalam penulisan sejarah, sekali lagi seperti yang disebutkan di awal, sejarah bisa menjadi stimulan positif dan negatif dalam menentukan langkah bangsa kita di masa depan. Stimulan negatif membuat kita dapat menghargai perbedaan pendapat, langkah dan memberikan penghormatan kepada mereka yang telah kita salahi di masa lalu. Dengan begitu kita dapat berdamai dengan masa lalu sehingga kita bisa maju melangkah untuk masa depan. Apapun konsekuensi yang kita hadapi dengan mengungkapkan narasi sejarah secara semestinya mesti kita terima. Sebab, ketidakjelasan, pengaburan, dan penghilangan tak ubahnya hanya akan membawa dendam dan rasa tidak puas dari masa lalu yang akan menghantui langkah kita sebagai bangsa yang satu. Bangsa Indonesia. Pada akhirnya sejarah tidak akan pernah 100 persen akurat, objektif. Semua narasinya akan merupakan pendapat. Namun, sekali lagi narasi tersebut bisa kita usahakan semaksimal mungkin dari analisis yang ada untuk bersifat mendekati objektif tadi. Jika narasinya berubah karena ada bukti sejarah baru, maka kita tidak ragu untuk memperbaikinya. Dengan begitu kita bisa mendapatkan gambaran utuh dari apa yang telah terjadi. Melihat segi-segi yang tidak dijamah sebelumnya. Memberikan sudut pandang yang berbeda tentang peristiwa sejarah tersebut.
Kanazawa, 07 Februari 2020
Lalu Zam
0 notes
Text
Poison by imagination
When will we able to free ourselves from the shackles of terrible imaginations? Limited the horizon, blocking the advancement We focus on the narration that is already terrible, non-sense, and not-worthy How many more years, our own enslavement as a collective individuals sell this imagination? I guess a lot of us knew already, but chose to be dumb. Because in one corridor, same path, is safer Some of us somehow incorporated these imaginations in a distorted, twisted, surreal art that clouds our own mind, making it look compatible, eh? Few are screaming, preaching in the streets “Don’t be deceived of these terrible secrets” they say But their voices are gone, drown among the buzz of these imagination holders And there is me, and other cowards for the sake of another shackles, dumb to the poison only tell story, inside a story with all the meanings unable to say into the faces of the imagination holders. Is the unknown really that scary? Is sleeping better than waking up? Why we have to attribute the unreachable, even though we can leave them blank for every questions doesn’t need an answer for every reasons doesn’t need a “why” for every verbs doesn’t need a subject Leave it for now, embrace the darkness of the unknown by jump into it, and see how long we can fall. Or will you drink the poison? become the unworthy, speck of dust in the existence. Kanazawa, 05.02.2020 Lalu Zam picture: my own picture when visiting Toyama, early January 2020
0 notes
Text
T-Shirt collections #12 : Personal t-shirt for my (now) wife
Hi everyone. I am back writing this series after 7 months of hiatus since the last entry. A lot of things happened in my life that is why I do not have time to write in this tumblr for some time. Quick update is now I am not living in Germany anymore. I finished my master degree last March 2019 and moved to Kanazawa Japan to be with my wife. She did master program also here and in few days she will be graduated. Today is a special day for both of us because it is our first marriage anniversary. I still can not believe that it is already one year. There are a lot of stuff that I want to talk about, but I need to focus on the theme of this t-shirt series. In this special day, I would like to talk about one of the personal t-shirt that I made for some occasions. The full picture is shown in this picture below.
picture 1 : the personalised t-shirt I made for my wife I made this t-shirt special for her birthday last year. You can see from the picture that there is a written word “ARA’S” means “I am belong to Ara”. Ara is her name, by the way. I intentionally also chose the colour to be in between red and pink because she likes pink. I can not wear a pink-colour-t shirt, so I made the pink is not so apparent but still elegant for me to wearing. This is one of surprises I prepared for her birthday. I still remember how I searched for a t shirt online store so you can design your own t shirt and send it as soon as possible. I found this beautiful website https://www.spreadshirt.de/selbst-gestalten where you can design your own t-shirt. It is interactive and easy to understand. They have all the interesting tools such as colours, fonts, pictures, anything you want. You just need to move stuff using your cursor. The quality is satisfactory. I am still having the t shirt until now and no sign of broken printing or anything. The fabric of the t shirt is also superb. One minor drawback maybe is it is native only in Germany (or Europe in general). So I do not expect it will be available for anyone outside Europe for order. But I suggest you to directly contact them and ask for yourself. Even though the website is in German, you can ask in English trough their contact email. Because it is an exclusive one production only t shirt, the price is not cheap. For this t shirt, I paid around € 20. But it was worth it for my special lady in her special day. All in all, it was a nice experience. I felt more close to her by wearing this t shirt because we were in a long distance relationship at that time. She was happy looking me wearing this t shirt in her birthday. And I was happy too. Until now, I only wear this t shirt on special occasion related to her or for both of us. Like shown in the picture below when we had our honey moon last year. Thank you for reading this. See you next time.
picture 2: Honey moon at Tanjung Pesona beach, Bangka, Indonesia, September 2018
0 notes
Text
Part 4 - One Finish line : Computational Era
If you are wondering, what part is this rambling, this is a continuation of my experience of physics and mathematics way back since I was a kid. The previous part can be found here https://laluzam.tumblr.com/post/175989871985/part-3-abstraction-of-physics-in-mathematics, which is almost one year ago. At the end of my bachelor university life, I was in a state of a math monk where I would think mathematics as a higher form of reality, connecting everything, having aesthetic side that gives tranquility to the only enlightened one. Like an artist connecting to the art, the art itself is revealing its secret quietly only in the mind of the beholder. The universe seemed dancing and whirling in a harmonious way according to the deepest structure of mathematics, attracting deep philosophical arguments between what is real and not. Whether mathematics has roots in reality or not. Whether it is invention or discovery. I enjoyed this journey more than I thought, since it developed my openness to new concepts, hence new possible mathematical implications. And where mathematical implications lie, it has high chance to exist somewhere in nature. My next journey at that time was to continue to have master degree. I applied to some universities in and out of the country. It was quite a burdensome work. I took one year gap after finishing my bachelor degree and had some jobs in field related to teaching physics. I was teaching some basic physics to high school students for preparing them to the physics competition. I was not a fan of the idea studying to win a competition. Even though I was once a former applicants of these things when I was in high school like I have explained before in part 2. At that time, I believed one needs to enjoy studying in order to understand and not by other means. Because to have another motive other than understanding will deprived one from the true enjoyment of learning something. To gather the knowledge and transcend above common people understanding will surely open the eyes to the next layer of reality. It speaks through the brain and connects deeper once understanding is achieved. But nevertheless I did the job. But instead of training them to become athletes to win the competition, I tried to show the insightful and interesting part of solving the physics problems. I thought some of them genuinely started liking the physics as it is, and some of them may be not. But that is life. You can not get what you want. Short story, I was accepted at one of the university in Germany and around October 4 years ago I flew there. Leaving behind everything for the quest of understanding science. It was not an easy life. There is not enough place to tell all the story about my life since this rambling is not about that. So I will focus to important parts related to evolution of my relationship with physics and mathematics. Relatively my first two years I did not experience profound shift or therapy shock about what I already had at that point regarding physics. It even felt a little drawback since what I had at that time was theoretical physics. Where physics is generally understood as what it is supposed to be : explanations of physical phenomena. It is totally different from the mathematical description of physics that I have accustomed before. Physics in this sense is like a story that connect one point to other point neatly and well organised but not mathematically rigorous. A bunch of approximation methods, hand-waving assumptions, and a lot of intuitions are the main glue that hold the building block of the physics that I was taught. There was no time to wonder to the land of mathematical abstractions, or to have a mindful sense of something ground breaking. At first, it was not a pleasant experience. But after sometimes, there are a lot of lessons and realisations filled me about the relation between physics and reality itself. I started to ask questions about what is the important aspect of physics and mathematics itself. If it is to pursue wherever it leads to, then I will always be the monk that can only give wisdom to others yet, I am not in touch with what is important, which is all around me. What is the reality that I was pursuing and trying to catch? Was that mere a gymnastic mind about what and what-not? Was that about an abstract painting that nobody can enjoy ever? I look all around me, in the climate of a superpower country, where scientists do actually hold a strategic positions in all part of lives, I see a harmony in dealing with reality. Reality is what is around. To solving problems mean to apply science to everything. From mundane activities to revolutionary and ambitious projects. People of science sorted and found themselves a place in a big machine that operates for the civilization. Interconnecting and working together for a lot of goals defined by the current needs of the civilization itself. That is the reality. Because it is truly real. It really applies all the knowledge gathered by humankind for these millennia. It did not take the joy of being scientist, to be curious about new things. Because the advancement of technology lies in the creativity of men of science. And creativity stems from asking the right questions which can only be achieved if one is passionate and curious about what they actually do. After consulting to myself about this new realisation and considering all choices lies ahead of me, I decided to pull out myself from my solitude, from the high seat of the purity pursuer. I was not meant to be sitting together with the few selected giants like Newton or Einstein. I must go out to the field, running around and catching the grasshoppers like I used to do when I was kid. I should come back to the feeling of enjoyment of observing the carcass of insects and actually having legitimate curiosity of what is out there. I put great efforts in theoretical study of particles and eventually it was time for my master thesis research. I took an interest in particle phenomenology. It is essentially an amalgamation of theoretical and computational physics. I never have any experience in computational study before. Computation was never a main interest of mine. It was probably my fault but there was nothing I can do to change a past. I never really regret that because what I became at that point was a culmination of what I was in the past. I had to through all of that in order to realise the important of computation. Better late than never like some people said. My first few months was actually challenging. I did not expect that I enjoyed the process of computing, implement algorithms to simulate the theory itself. I felt it was a self rewarded experience when the code that I built worked after God knows how many errors and bugs that I have been through. It feels like looking at the manifestation of the physics itself and draws physics more closer than I ever felt before. Like when you can only look something from far away, and now you have means to get closer to it. Even though what I did in my thesis research can not be said as a truly programming process, but roughly basic computation, nevertheless I was grateful of having through all that. It gave a new perspective deep in myself about physics and mathematics itself. Computation is the new way of enjoying physics and mathematics. Computation holds the key to simulate any given physical processes. And there is no other way of describing the physical processes other than through physics. Meanwhile mathematics is the main thread connecting physics as one entity. Computation brings the physics and mathematics down to earth. Tying it up on the ground and prevent it from flew away high to the sky. Essentially, with the advanced development of computer technology around the world, the work of simulation become more important than ever. It is the basis to develop new technologies, as pre-requisite of running an experiment, or to test and develop different models involved non-analytical computations. It is used to analyse data into something that can be visualized hence easily communicated to the masses. And many more that I can not mention one by one. The point is clear here. Computation is the next key in understanding physics and mathematics. When physics are taken into problem-solving challenge of the real world it can not be avoided to be increasingly complex so the analytical method will be obsolete. Then numerical approach based on model, assumption and others will take the charge and eventually become the main source for further analysis. The relation is mutual. It brings down physics to the applicable level and the physics development will increase and refine the computational method itself. It is a new dance, where everything is pieced together and forming and actual working clockwork. The clockwork of what is out there with its tick constantly rhyming for a new harmony. No one can deny in information era like now, computers rule everywhere and everything. All kinds of automatisation, artificial-intelligence, deep-learning are employed in the next level of technology planned by mankind. And they all rooted in mathematics and physics. Computation is the new sheriff in town. And I am planning to get close as possible. Unraveling more of its connection to the thing that I love since I was a kid : science (mathematics and physics). Kanazawa, 02.08.2019
Lalu Zam
0 notes
Text
Forever changing
When I was a kid, I would amaze when looking up at the sky, clouds formation that always moving, changing shape, sometimes into familiar forms that I recognise. So much so, I would had stared and imagined a lot of things about the shape of the clouds, with wonder and excitement of innocent a little kid. Time moves on, one by one, with constant pace, indulging me into more amazing experiences about anything that outside me. After 20 more years or so, When I look at the sky, and see the formation of the clouds, the first memory of doing the same thing is still there. But it is distant, and feels antique. Like something that only has value because of its endurance in time, yet serve no purpose for the now-world. There is a bridge between the two memories. And the bride is growing, raising distance, making the other side more nostalgic than ever. If I walk on the bridge, I will meet several version of myself, extending in specific point in time, staring at the same cloudy sky. Each of them, although wearing same biological attribute that constitute me as an organism are quite different. Who are their beings? Who the “I” that constitutes their existence, their choices and minds? Even the current I that is writing this very word will become another statue standing in the ever growing bridge. Part of collections of the precious “I” in the future, if future truly exists. Maybe everything just changes. That is the only constant. Knowledge, understanding, explanation keep growing, replacing the old ones, complementing the broken parts, or giving more refined and details explanation. And all of these are inside each of us, including the “I” in me. Nobody can escape the needs of explanation. Because the “I” is vulnerable to the unknown. Even a little comfort is better than none at all. Long exposure of society, culture, a set of morality, ethics, religion, or the worldly-everyday-ness form of knowledge stream information into the hiding self at particular period of time, shaping the inner compass, the direction to walk in this dark room, and re-affirming the purpose or even changing it altogether. Like an insect that changing skin, abandoning it and making a new skin. Even in each process, sometimes the self mistakenly think about enlightenment. Like a butterfly coming out of the cocoon after living an ugly form as a caterpillar. If one stops from changing, then the bridge stops. For the remaining time, it is just a time waiting for ending. Looking the same sky for the last time, then it stops being interesting again. Who knows about stop? Maybe content is achieved? or closure? or just pure ignorance? Or the “I” never really understand the change? or none of it really happened? Who knows? The most important thing is I am still looking those forever-changing-cloud-shapes. Kanazawa, 16 June 2019 Lalu Zam
0 notes
Text
T-Shirt Collections #11 : Bima
In this chance, I want to talk about one of my unique T-shirt possession. This has a deep root and back grounds, I think I may not be able to tell all about it here. I will try to keep it short and simple.
All nations have their own unique culture that becomes identity of the society in that nation. Something to be related to, to feel the sense of belonging into some kind of community system, tied with the same customs or language. Often these cultures are in the form of arts, dances, foods, clothes, folklore, or in the art of performance. One of Indonesia’s big nation tribe is Javanese (people). They are the biggest percentage that made up Indonesia as a country. They are among the first in Indonesian tribe nations that developed a unique culture in written documents, kingdoms, and other political entities so no wonder they are the dominant force in today’s Indonesia political system as a country. Given our unique history as islands in south east asia that was part of spices trade deals for centuries, a lot of different cultures come and go spread their influence. In Java itself, the hinduism and buddhism that dominated the island for some centuries was turned to islamic culture relatively peaceful because of the cultural approach that has been by the local islamic scholars to the common people. Instead of forcing people to convert to islam, they use an assimilation process, one of the methods is through art. This art originally has a deep root in hinduism mythology where a story is told through a shadow puppet performance or called wayang in local Javanese tounge. Like its name, the story is told using the movement of the puppet and its shadows are projected to the background so the audience can see the whole process. The story itself usually contain a lot of metaphorical messages, about good and bad virtue, about God and others. The familiar epic in hinduism such as the story of Ramayana, and Mahabharata and others. These epics were sort out as a philosophical way of traditional life of Javanese people. The local islamic scholars at that time understood the deep rooted all of these shadow puppet culture in Javanase people, so by forcing or forbidding it completely means a war. And unnecessary deaths were a lost. So they assimilate islamic values in the stories, little by little, by modifying the characters. The narration of the story in general does not change, but the details are aligned and tweaked a little bit to preach islamic teachings. So islam can be accepted by the locals with minimum resistance. The result of this unique approach is a hindu epic epochs teaching about islam. One of those epic is Mahabharata where one of the main characters that I like is named Bima. Bima is portait relatively the same as its counterpart in original hindu, as a strong figure that are unbeatable even by the Gods (Devas) themselves. but in Javanese Wayang, instead of a savage, he was redeemed through a religious journey of meditation where he came back as the strongest but also the most forgiving one. He never laid his powers again and even told the teaching of “non-violence” approaches. His post-meditation state was even given him the epithet of “Dewarucci” as a symbolic of a sufism teaching of union between man and God or “Manunggaling Kawula Gusti” in Javanese that was influenced heavily from the Islamic-Ottoman culture at that time.
Pic 1: Bima depiction in the Shadow Puppet art (Wayang) His name itself is often used a symbol of an ambition project, representing great power in Indonesian culture. A lot of projects named after him and even children’s name are also in his name.
For me personally, I like him so much other that story back ground is because his particular designed and pose that is uniquely intimidating yet also exerting a calm and wisdom. His design (like shown in the picture) is unique compare to other Pandavas (his other brothers) where he is relatively huge (giant-like) with a big eyes and a long nails in his right hand. He is also the only one among Pandavas with the black face.
pic 2 : comparison of Bima among his brothers (Pandavas). From left to right : Bima, Arjuna, Yudhistira, Nakula and Shadeva. From above picture is clear how his designed somehow the most intimidating one, showing his barbaric nature comparing to his other siblings. Bima is always my favorite among Pandavas because he is the symbol of all greatness should be. The more powerful you are, the more harmless you should be. The power should not be used, it should be contained within. So you can learn more. Not trapped in act of pride.
pic 3. Me in the front of Luxemburg castle in France, 2016 I hope if I have a house someday in future, then Bima should be there as a big portrait to remind me the humbleness of a very powerful man. Lastly, the t-shirt was costed around 30.000 rupiahs or 2 US dollars. I bought it 4 years ago. Aachen, 31.03.2019
Lalu Zam
0 notes
Text
T-Shirt collections #10 : Marvel - Jessica Jones
After more than one month, I have time to continue this t shirt series. I was having couple bad weeks. I had to stay at the hospital. But it is okay now. This series entry will focus on yet another t shirt based on a comic book character. Around middle 2016, I was in love with couple series in Netflix, one of them is a series based on Marvel comic character, Jessica Jones. The story is fairly simple. The protagonist, Jessica Jones has a super strength ability due to some experiment when she was a kid. Your typical standard super hero movie back ground. Due to her power, she is very dangerous to other people around her if she does not restrain herself. In other side, her enemy was a mind-controlling man named Kilgrave or known as the Purple Man (hence the t shirt is purple in colour). He has the ability to make people do whatever he wants just by commanding them. Now imagine, what will happen if this guy can make Jessica does whatever evil things he wants. This is the basic premise of the first season of this series.
The remarkable thing about this series is the psychological tense causing by Kilgrave and his action to people around him. He is unpredictable, so whatever his decisions have fatal consequences to his victims. For example, one of the victims is forced to jump from a high building and an entire family (kids and their parents) killing each other because he says so. Without violence-limited format, most of the sadistic scenes are shown and it is enough to left a deep impression in your mind. I like this t shirt because the unique purple colour and the writing in it. “Kilgrave made me do it” hints at the fact that under influence of Kilgrave, no body is responsible of their action. This t shirt costs around 20 €. A lot of places I have been visited wearing this t shirt. One of them is Berlin, capital city of Germany (shown in the picture below). It was such a nice place to visit. Full of history about the separation between East and West. And not to mention the Nazi period of Germany.
Aachen, 17.02.2019
Lalu Zam
1 note
·
View note
Text
Sains Sosial
Saintis itu suka mencari pola. Dengan adanya pola, perilaku suatu sistem bisa dimodelkan dan mungkin diprediksi. Saintis sadar bahwa pola yang ada bukan berarti penjelasan keseluruhan dari sistem tersebut. Bisa saja ada pola lain yang mengubah pemahaman terhadap apa yang sudah dimodelkan. Namun selama belum ada indikasi baru dari pola yang ada, saintis bisa mengambil kesimpulan sementara tentang perilaku suatu sistem.
Begitu juga dengan perilaku sosial kelompok atau masyarakat. Saintis punya teori dan model tentang perilaku dan interaksi sosial. Kadang ada paralelisasi antara konsep yang umum di sains dan pola yang terjadi di masyarakat. Meskipun secara probabilitas, interaksi sosial jauh lebih dinamis dan hampir tidak mungkin dirumuskan secara utuh dalam pola-pola tertentu, namun saintis bisa mengambil perumuman. Mencari pola umum dalam sampel yang besar menggunakan asas-asas ilmu statistik. Inilah yang disebut sains sosial.
Di Indonesia, hal ini belum terlalu diminati atau mungkin belum pernah terdengar. Namun, ini sangat menarik dikaji lebih lanjut. Adanya sains sosial kemungkinan bisa menambah atau memberikan sumbangsih pada disiplin ilmu yang berurusan dengan manusia tapi non sains seperti antropologi.
Memetakan perilaku, interaksi, input, output dengan kacamata sains tentu merupakan ladang baru bagi para saintis dan mungkin bisa menjadi jembatan antara dunia ilmu sosial dan ilmu alam yang begitu bertolak belakang di Indonesia. Apalagi dengan adanya faktor eksternal primer seperti teknologi dalam kebudayaan manusia saat ini, yang menjelma dari barang pinggiran menjadi barang utama membuat analisis dan prediksi kehidupan sosial manusia di masa yang akan datang menjadi lebih menarik.
Beberapa arah dari ilmu sains sosial yang bisa dikembangkan antara lain pertama dari sis ilmu biologi. Biologi sedari lama berkutat dengan interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Ilmu evolusi adalah salah satu pengejawantahannya. Alam memberikan pengaruh bagi kemampuan suatu spesies makhluk hidup untuk menyintas dengan memodifikasi fungsi tubuhnya secara perlahan-lahan dalam waktu yang lama sehingga varietas dari suatu spesies akan kehilangan ciri khasnya sebagai bagian dari spesies tersebut setelah beberapa generasi sehingga harus diklasifikasin sebagai spesies baru. Kehidupan sosial mamalia juga merupakan hasil dari proses evolusi sebagai tanggapan dari ancaman yang lebih besar dan kuat guna mempertahankan gen dan meneruskan keturunan. Empati serta perasaan berada pada suatu komunitas adalah warisan jutaan tahun lalu dari nenek moyang kita yang pertama kali mengembangkan kebiasaan hidup komunal untuk melindungi satu sama lain. Selain hal ini menguntungkan, kehidupan sosial juga meningkatkan kemungkinan keberlanjutan spesies kita karena kita menjaga yang lemah dan yang tua. Namun sekarang setelah berkembangnya teknologi yang terus menerus menggantikan fungsi sosial manusia atau memindahkannya ke dunia yang tidak nyata (internet), akanlah sangat menarik melihat efek dari input eksternal ini pada “sifat sosial” manusia dan implikasinya terhadap kesintasan kita sebagai spesies. Apakah ini bersifat positif atau negatif? Dan apakah hal ini telah dan sedang memodifikasi generasi sekarang sebagai varietas baru dari manusia. Varietas yang mungkin di masa depan tidak akan terlahir dengan social sense seperti kita ini? Dari sisi Kimia tentulah lebih banyak lagi. Khususnya dibidang farmasi dan kesehatan. Semakin pesatnya teknologi dan ilmu pengetahuan, penelitian tentang otak pun semakin pesat. Hampir semua pusat emosi dan ekspresi lain pada manusia telah dipetakan sumbernya di otak. Jika ada kelainan psikologis pada manusia, entah itu depresi, stress, sifat sosiopat dll, maka teknologi dapat melihat “kelainan” tersebut pada otak sang pasien dan mengembangkan pil atau obat yang akan bereaksi khusus kepada bagian otak yang menunjukkan kelainan tersebut. Ketergantungan ini tentu akan mengubah pola hidup dan interaksi manusia dalam memandang segala hal. Mungkin akan menggesek dan mengancam peran agama, atau bidang lain yang selalu berurusan dengan masalah “emosi” atau perasaan manusia. Jika dahulu anda ingin bahagia anda akan “dapat nasehat dari ahli agama atau dari sumber lain”, maka bisa saja 20 tahun lagi jika ingin bahagia tinggal meminum pil/obat yang menekan sumber kesedihan dan depresi di otak. Di negara-negara dunia pertama, hal ini sepertinya telah dan sedang berjalan. Memikirkan konsekuensi masyarakat yang seperti ini merupakan hal yang menarik. Yang paling utama dan umum adalah dari sisi ilmu Fisika. Cara kerja fisika adalah mencari pola dan keteraturan kemudian membangun model (yang melibatkan logika matematis) tentang pola-pola tersebut sehingga dapat dijelaskan secara koheren tidak bertentangan satu sama lain. Para fisikawan membangun konsep-konsep yang saling bertautan, berikatan bak tali temali yang tak putus menghubungkan banyak hal. Selama ini pola-pola tersebut dicari pada alam. Sebab alam bekerja dengan presisi yang tidak mudah atau mustahil untuk berubah. Mulai dari manipulasi aliran listrik, fluida, hingga galaksi dan bintang-bintang serta atom dan partikel elementer, tidak ada yang luput dari rasa penasaran para fisikawan. Hal ini juga berlaku pada manusia. Sebab manusia dan semua interaksinya merupakan satu paduan dalam sistem alam semesta. Perkembangan sains sosial fisika yang baru berkembang akhir-akhir ini disebabkan karena baru di masa ini manusia memiliki peralatan yang mumpuni untuk melakukan pengkajian tersebut. Interaksi manusia selalu merupakan hal yang sulit sebab derajat kebebasan manusia untuk mengambil keputusan dalam situasi dan kondisi begitu acak sehingga hampir tidak mungkin menemukan pola yang mengatur perilaku ini. Atau biasa disebut bersifat kacau (chaotic). Namun, dengan adanya teknologi komputer dan simulasi yang berkembang dalam kurang lebih satu abad ini, permodelan sistem banyak partikel seperti dalam dunia termodinamika (gas) atau permodelan zat alir serta perambatan panas berkembang pesat dengan derajat keakuratan yang tinggi. Menggunakan hukum statistik serta menggunakan konsep-konsep fisika yang awalnya terlihat simpel dan ideal, para fisikawan dengan teknologi komputer semakin mampu membuat analisa numerik dengan presisi tinggi untuk sistem yang mendekati dunia riil (nyata). Hal ini berarti, dengan menggunakan asumsi yang tepat, konsep-konsep yang mungkin untuk menjelaskan interaksi rumit manusia dapat dimodelkan, dites dan diaplikasikan untuk memprediksi lebih lanjut sistem yang ada. Konsep-konsep fisika sudah terlebih dahulu di tes pada perilaku makhluk lain seperti penyebaran bakteri atau virus, pengembangan algoritma atau mekanisme interaksi para predator seperti singa maupun serigala. Dan yang paling ambisius adalah penggunakan konsep kuantum untuk menganalisa perilaku pasar ekonomi, melahirkan cabang ekonofisika. Prediksi-prediksi dari ahli ekonofisikawan sudah mulai didengar dan diperhitungkan oleh para pelaku pasar selain arahan dari para ekonom. Jika sudah seperti ini, apa yang akan menghalangi fisika untuk maju lebih jauh dalam memodelkan perilaku dan interaksi manusia itu sendiri? Hal ini tentu tidak menjamin 100 persen fisika akan dapat mengetahui dan memprediksi dalam taraf kepastian. Sebab dalam sains kesempurnaan itu adalah kemustahilan. Tetapi untuk terus mengejar dan membuat tiruan dari sesuatu yang sempurna itu adalah suatu keharusan. Selama manusia terus merasa penasaran, selama itu pula sains akan terus maju. Aachen, 10.02.2019
Lalu Zam
0 notes
Text
T Shirt Collections #9 : Beethoven
Welcome everyone in the new year 2019. Hope you guys had a pleasant time in 2018. All the memories should build us into a better person. Anyway contrast with the spirit of new year, this time t shirt review will be back to the past approximately 2 years ago in the end of 2016. This one is one of my most memorable t shirts. I bought this t shirt before went to Indonesia in a short Christmas-New Year holiday 2016/2017 for around 20 euros. I went to met with my lovely girlfriend (now my wife) and this t shirt is one of the new thing that I bought to actually impress her. She like to look me with a good cloth. He he. We went to our first day-date with me using this t shirt like shown in this picture below. It was one of the most beautiful and most treasured memories I have.
Picture 1: Me and my girlfriend (now my wife) were in Malioboro street of Yogyakarta December 2016.
Now, focus on the t shirt itself, it is clear that the figure is a head figure of somebody. Like the title suggested, it is the head figure of Ludwig van Beethoven. I believe many of you have heard his name. Or at least have read it somewhere. And even if you do not have idea who he was, you must have encountered on of his work at some point in your life. The detail of the t-shirt is shown below.
Picture 2: Full appearance of the t-shirt
Beethoven was on of the most famous classical music composer and pianist. He came from Bonn, now part of Germany but spent most of his musical career in Vienna, Austria. Although when he was alive, he did not get enough recognition of his works he constantly worked and produced his own style music. His style was considered not usual, out-of-the-typical classical music at that time which is mostly influenced by Mozart that praised by the nobles and bourgeoisie or aristocratic type of citizens.
Not just his musical career, his personal life also was constantly challenged with problems. Raised by alcoholic and abusive fathers, Beethoven found peace in music. His music is his emotion. Anger, desperation, sadness, confusion were manifested in his music style, which sometimes sound monotonous, boring or even rude for some audiences. But like has been told, this also made him on of the unique composer with a special taste in his music that is not in a mainstream style at that time. You can call he was quite a bohemian music composer.
His love life also not far from his music career. Having loved a woman from noble family, his proposal for the woman was denied by the woman’s parents and threw him in a state of emotional turmoil. To compensate his feelings he made one of the most recognisable songs ever known as “Für Elise”. Try listen to it, you must have heard it.
In his last years, Beethoven suffered hearing loss. For somebody who works on making music, this is the worst thing that can happen. He also suffered from some complication illnesses that he got because of his rough childhood. But despite of lost his hearing he managed to complete and finish his masterpiece Symphonie No.9. And now part of it is recognised as the European Union anthem. Through his life, he composed the Symphonie from 1 to 9 with some of the famous pieces such as Moonlight Sonata 3rd Movement.
His life is one of a hard one. Like everybody else. One thing that makes he stands is his refusal to give up to the condition he was in. He was so passionate in music, that he kept making ones even if his financial, health, or even war continued coming and going ripping his apart. His ability to internalise his dark, and most negative experiences through his composition of music make a lot of people can relate and actually enjoying it. For my self personally, listening to Beethoven is like having a friend that truly understands your despair, anger, and loneliness and actually giving himself to be together with you through all of that troubles. He is the symbol of self conquering, and self reminding of the very reason of your choices. Do not look back and continue forward. That is why Beethoven is the most important classical figure music for me.
Wearing this t shirt is always a reminding for me to not give up for whatever happens in this life and focus to what I am best at. Here is a few moments me wearing this t shirt.
Picture 3 : In front of a Raps flowers field middle Spring 2017
Picture 4: at one part of city of Monschau, late Winter 2017/2018.
Aachen, 06.01.2019
Lalu Zam
0 notes
Text
Jeda selama hujan
Di bawah hujan malam itu aku termenung menunggu cahaya lampu redup membisu sedang angin dingin menyapu Pandangan pada ujung titik mengabur dunia pun berhenti dan melebur aku tertarik ke dalam jadi esensi yang terkubur ke permukaan sembari malu-malu membaur Ada terasa hentakan kesedihan yang kosong terasa naik perlahan tak dapat diungkap dengan perasaan seperti kata yang tak bisa diucapkan Nafas yang dingin menguap dikaca sembari melihat ke bawah menutup cahaya dingin dan basah menyusup terasa mengapa semuanya diam berhenti bersuara? Gelap pun menggantung mengelilingi pijakan runtuh menyisakan lubang tak bertepi aku berdiri di pinggir membisiki “mengapa engkau tak mau pergi?” Suaraku memantul dan hilang terserap heningpun terdengar pelan merayap menghapus dan mematikan harap sungguh tak ada jawaban itu biadap! “Mengapa engkau tak mau pergi?” “padahal kau tak pernah sendiri” “Ke mana lagi akan kau cari?” “tempat persembunyian yang abadi”
Terdengar suaraku samar hilang petirpun menggelegar dengan lantang aku masih di bawah hujan memegang sisa kesadaranku yang perlahan menghilang Titik-titik pun perlahan kembali mengisi jeda dan tempo yang hilang tadi sementara ragaku beranjak pergi namun aku tak pernah sama lagi Aachen, 31.12.2018 Lalu Zam
1 note
·
View note