lakunaswara
72 posts
write whatever the heart has to say
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
"Semoga Allah memberkahi umurmu, selalu, sepanjang hidup"
ucapnya kepadamu.
0 notes
Text
Kalau lagi gabut suka iseng nyari kata-kata di Al-Qur'an. Suatu hari nemu potongan ayat menarik.
"Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Al-Furqan (25) : 20
Kesan pertama saat bacanya tuh merasa tersentuh, karena ditanya, "maukah kamu bersabar?" meanwhile di ayat lain justru biasanya berbentuk perintah. Udah gitu, dikasih tau kalau kita tuh dilihat dan dinilai ketika sedang bersabar.
Kesan keduanya adalah, ayat ini aneh. Aneh karena maknanya tidak lazim dan harus dipikirin beberapa kali buat nemu the next wow. Perhatiin deh kalimatnya. Normalnya yang disuruh bersabar kan yang diuji ya, tapi ini malah "kamu" sebagai cobaan yang harus bersabar.
Kalimatnya kalau normal bakalan gini,
"Dan Kami jadikan sebagian yang lain sebagai cobaan bagi sebagian dari kamu. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Nah ayat itu justru memposisikan "kamu" sebagai ujian bagi orang lain. Keren kan point of view-nya? Jadi sabar tuh bukan cuma ketika diuji, melainkan:
Maukah bersabar juga ketika kita dipakai Allah untuk menguji orang lain?
Maukah sabar dalam menumbuhkan dan memelihara awareness, mengenal diri, dan memperbaiki diri ketika kita menjadi ujian bagi orang lain?
Harus ngeh juga kok bisa kita jadi ujian untuk orang lain?
Maukah bersabar agar tidak menjadi ujian bagi orang lain?
Ayat ini menunjukkan bahwa ujian dalam hidup sering datang melalui interaksi kita dengan orang lain, bisa berupa konflik, perbedaan pendapat, atau tantangan dalam hubungan sosial.
Di sini ada dualitas ujian dalam hubungan sosial yang menekankan bahwa semua orang adalah bagian dari ujian bagi orang lain. Secara nggak langsung ayat ini mengingatkan kita supaya nggak hanya melihat diri kita sebagai korban cobaan, tetapi juga untuk reflektif terhadap bagaimana tindakan kita bisa menjadi ujian bagi orang lain.
Dalam konteks ini, hubungan sosial bersifat dua arah di mana kita berinteraksi dan saling mempengaruhi. Misalnya, kita mungkin menghadapi kesabaran ketika berhadapan dengan orang yang pemarah, sementara orang pemarah tersebut juga sedang diuji untuk belajar mengendalikan emosinya.
Refleksi Diri dan Empati
Memahami bahwa kita bisa menjadi sumber ujian bagi orang lain mendorong kita untuk introspeksi dan mengembangkan empati. Kita perlu menyadari tindakan, kata-kata, dan sikap kita karena itu bisa menjadi tantangan atau cobaan bagi orang lain. Ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam perilaku kita sehari-hari.
Pembelajaran dan Pertumbuhan Bersama
Kesalingan dalam ujian membuka ruang bertumbuh bersama. Ketika kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari ujian bagi orang lain, kita dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah keluarga atau komunitas, kita memahami mana "red button" atau hal-hal yang dapat melukai ego orang lain, sehingga lebih mengolah komunikasi menjadi lebih efektif dan membangun level pemahaman serta memperluas pengertian bersama.
Peran dalam Pembentukan Karakter
Ujian yang kita berikan dan terima dari orang lain berperan penting dalam pembentukan karakter kita. Dengan proses ini, kita belajar tentang kesabaran, toleransi, pengendalian diri, dan nilai-nilai positif lainnya. Dengan menyadari peran kita dalam ujian sosial, kita dapat lebih fokus pada pengembangan karakter yang positif dan konstruktif. Perspektif ini bisa menumbuhkan rasa saling menghormati dan mengurangi egoisme dalam interaksi sosial.
"Maukah kamu bersabar?"
Dengan menanyakan "Maukah kamu bersabar?", Allah memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada manusia untuk memilih bagaimana mereka akan merespons cobaan. Ini menunjukkan bahwa kesabaran bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi sebuah pilihan yang harus diambil secara sadar dan sukarela oleh individu.
Pertanyaan ini juga mengajak kita untuk secara aktif merenungkan dan menyadari situasi yang kita hadapi. Ini memaksa kita untuk berhenti sejenak dan mempertimbangkan sikap kita (baik ketika diuji maupun ketika kita yang menjadi ujian) daripada bereaksi secara impulsif atau tanpa berpikir panjang.
Dengan menawarkan pilihan untuk bersabar, ayat ini juga menekankan bahwa kesabaran adalah kualitas yang harus dikembangkan. Ini bukan cuma tentang menahan diri dalam situasi sulit, tetapi juga tentang membangun karakter dan ketahanan batin. Kesabaran menjadi sebuah latihan spiritual dan moral yang membantu kita tumbuh sebagai individu.
Kalimat tanya ini juga mengimplikasikan bahwa kesabaran memiliki nilai tinggi dan layak diperjuangkan. Dengan memilih untuk bersabar, seseorang menunjukkan kepercayaan kepada Allah. Inilah adalah sikap yang diharapkan dan dihargai oleh-Nya. Selain itu, kalimatnya menunjukkan hubungan dialogis antara manusia dan Allah. Allah nggak cuma memerintahkan, tapi juga ngajak kita untuk berpikir dan memilih. Begitu dinamis dan interaktif, kan?
Dengan menyadari bahwa kesabaran adalah sebuah pilihan dalam menghadapi ujian, kita juga lebih sadar akan maksud Allah menguji dan sifat sementara dari ujian itu sendiri. Ini bisa membantu kita melihat cobaan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang seperti maunya Allah, daripada hanya sebagai penderitaan yang harus ditanggung.
"Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Ini another subhanallah lagi sih. Liat deh peralihan kata ganti dari sebelumnya "Kami" menjadi "Tuhanmu."
Kalau dalam istilah kebahasaan, ada yang namanya Pluralis Majestatis, yang berarti penggunaan bentuk jamak untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran. Contohnya banyak dalam banyak teks keagamaan, termasuk di Al-Qur'an saat Allah menggunakan diksi "Kami".
Peralihan ke "Tuhanmu" di akhir ayat ngasih sentuhan yang lebih personal dan nunjukin kedekatan emosional. Ketika menguji, Allah dengan diksi "Kami"-nya mengirimkan 'aparatur kerajaan-Nya'. Namun Dia langsung mengawasi dalam rangka menjalankan kedudukan-Nya sebagai Rabb. Ini menekankan hubungan langsung antara Rabb dan hamba-Nya.
Dengan menyebut "Tuhanmu Maha Melihat" juga, ayat ini ngasih tau bahwa segala ujian dan cobaan yang dialami manusia ada dalam pengawasan Allah langsung. Yang dengannya dapat memberikan rasa ketenangan dan keadilan, karena mengetahui bahwa tidak ada yang terjadi di luar pengetahuan Allah. Kek, Allah tuh bukannya gak tau kita kesusahan. Kalau kata Pastor Raguel Lewi,
"Hanya karena kita tidak melihat, bukan berarti Dia diam dan tidak bekerja."
Ini juga memperkuat pesan bahwa meskipun Allah mengatur segala sesuatu di alam semesta, Allah juga memiliki perhatian khusus terhadap setiap individu. Allah sangat dekat dan peduli terhadap setiap detail kehidupan kita, termasuk cobaan yang kita hadapi.
Sebagai penutup, gaya bahasa dalam ayat ini membantu memperkuat pesan tentang ujian dan kesabaran. Maha Benar Allah atas segala firman-Nya.
— Giza, menebak dan menanti ayat mana lagi yang akan Allah pertemukan dengannya untuk dielaborasi seperti ini?
256 notes
·
View notes
Text
"Allah punya banyak cara untuk menghebatkan Hamba-Nya."
Ustadzah Tika Faiza.
5 notes
·
View notes
Text
Kemampuan "Melarutkan"
Sudah sejak dua tahun lalu aku memikirkan berbagai analogi, di antaranya mengenai kemampuan seseorang menginternalisasi suatu ilmu atau nasihat.
Pemikiran untuk membuat analogi ini datang dari pertanyaan seorang teman kepadaku tiga tahun lalu,
"Kenapa ya, kita tuh udah tau mana yang boleh dan nggak boleh, mana yang baik dan buruk, tapi kita tetep bertindak nggak sesuai dengan itu?"
Waktu itu aku nggak bisa ngasih jawaban yang memuaskan baginya dan aku juga kurang puas dengan jawabanku sendiri. Baru sekarang aku ada kesempatan untuk menuliskannya dari pencarian jawaban selama dua tahun ke belakang.
Ada analogi menarik yang ingin aku suguhkan yang merupakan hasil memikirkan hikmah dari belajar kimia dasar selama setahun di TPB dan 3 tahun di SMA.
Kalau pembacaku di sini ingat, aku pernah bikin tulisan "Compassionate Servant" yang intinya kita sebagai hamba dapat memahami/berempati kognitif terhadap apa yang Allah inginkan serta memilih melakukan tindakan yang sesuai dengan itu. Dan ada istilah fasik dalam Al-Qur'an yang merujuk pada tindakan uncompassionate, yakni orang yang sebenarnya tahu Allah maunya apa, tapi nggak bertindak berdasarkan hal tersebut.
Tulisan ini adalah tindak lanjut yang juga diharapkan dapat menjawab, "apa yang membuat seseorang menjadi compassionless?" Pertanyaan ini juga senada kan sebenarnya dengan, "apa yang membuat seseorang tidak/ sulit menginternalisasi ilmu atau nasihat yang ia ketahui?"
Jadi aku akan membahas kemampuan seseorang mempraktikkan suatu teori/ilmu/nasihat dengan perumpamaan kelarutan, yakni kemampuan suatu pelarut melarutkan zat terlarut. Correct me if I'm wrong ya, masih sama-sama belajar hehe.
Here we go!
Kemampuan seseorang menginternalisasi nasihat dapat dianalogikan dengan kemampuan suatu pelarut melarutkan zat terlarut. Artinya, ada output larutan baru sebagai hasil dari proses pelarutan. Sebagaimana ada output diri kita yang baru dari proses internalisasi tersebut.
Kalau ilmu atau nasihat itu adalah zat terlarut, sedangkan diri kita sendiri adalah zat pelarutnya (misal airnya) maka terbentuknya larutan (atau diri kita yang baru) akan bergantung pada beberapa hal, kan?
So, kali ini aku mau pretelin variabel-variabel tersebut untuk sama-sama melatih proses berpikir terintegrasi melalui perumpamaan.
1. Suhu
Gula akan lebih mudah larut di air panas. Sederhananya, semakin tinggi suhu akan meningkatkan daya larutnya (walau tentu ada pengecualian terhadap zat-zat tertentu yang lebih mudah larut di suhu lebih rendah).
Suhu yang lebih tinggi meningkatkan gerakan molekul dalam pelarut, yang membantu zat terlarut larut lebih cepat. Sama halnya kondisi mental dan emosional yang baik (motivasi, antusiasme, kesiapan mental) meningkatkan kemampuan seseorang untuk menginternalisasi dan menerapkan nasihat atau ilmu.
Walaupun suhu adalah kondisi internal pelarut, dukungan eksternal seperti mentor, teman, atau lingkungan yang mendukung juga bisa diibaratkan sebagai faktor yang meningkatkan "suhu" internal individu.
2. Konsentrasi
Dalam analogi ini, ketika nasihat atau ilmu yang diberikan terlalu berat atau banyak dosisnya (konsentrasi zat terlarut tinggi), maka "air" (diri kita sebagai pelarut) perlu ditambah atau diperluas kapasitasnya agar bisa melarutkan nasihat tersebut dengan efektif. Ini bisa diartikan sebagai berikut:
Meningkatkan Kapasitas Diri: bertujuan untuk menerima dan memproses nasihat yang melibatkan pengembangan keterampilan seperti manajemen waktu, organisasi, dan prioritas. Dengan begitu, kita mampu menangani lebih banyak informasi tanpa merasa kewalahan.
Meningkatkan Pengetahuan dan Pengalaman: Seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, kemampuan kita untuk mengasimilasi dan menerapkan nasihat yang lebih kompleks juga meningkat. Ini tuh sama kaya memperbesar volume pelarut untuk melarutkan lebih banyak zat terlarut.
Memberi Waktu untuk Penyerapan: Sebagaimana larutan memerlukan waktu untuk mencapai keseimbangan, kita juga memerlukan waktu untuk menyerap dan menginternalisasi nasihat atau ilmu. Tidak semua nasihat perlu diterima sekaligus; memberikan diri kita waktu untuk memprosesnya itu penting.
Mengurangi Beban atau Pengotor: Mengurangi gangguan atau faktor-faktor yang bisa menghambat proses penerimaan nasihat, seperti ego atau pengaruh negatif, dapat membantu kita lebih baik dalam memproses dan menerapkan nasihat.
Mencari Dukungan Eksternal: Meminta bantuan atau dukungan dari mentor, teman, atau sumber daya lain dapat membantu kita dalam memahami dan menerapkan nasihat. Ini kaya menambahkan komponen lain ke dalam larutan yang membantu proses pelarutan.
3. Sifat Zat Terlarut
Beberapa nasihat atau ilmu lebih mudah diterima dan dipraktekkan, sama seperti beberapa zat terlarut lebih mudah larut dalam air.
Kelarutan Zat Terlarut: Dalam kimia, kelarutan zat terlarut menunjukkan seberapa baik suatu zat dapat larut dalam pelarut tertentu. Beberapa zat larut lebih mudah daripada yang lain. Dalam konteks nasihat, kelarutan zat terlarut dapat dianalogikan dengan relevansi dan keterkaitan nasihat dengan situasi atau kebutuhan seseorang. Nasihat yang lebih relevan dan sesuai dengan kondisi seseorang akan lebih mudah "larut" atau diinternalisasi (relevansi mempengaruhi kesiapan dan penerimaan).
Polarisasi dan Struktur Molekul: Struktur molekul dan polaritas zat terlarut mempengaruhi bagaimana zat tersebut berinteraksi dengan pelarut. Molekul yang memiliki struktur atau polaritas yang sesuai dengan pelarut akan lebih mudah larut. Nasihat yang memiliki struktur atau pola pikir yang sesuai dengan nilai, pengalaman, atau framework seseorang akan lebih mudah diterima dan diinternalisasi.
Konsentrasi Zat Terlarut: Jumlah zat terlarut yang ditambahkan ke dalam pelarut mempengaruhi proses pelarutan. Terlalu banyak zat terlarut bisa menyebabkan kejenuhan, di mana tidak semua zat terlarut bisa larut. Jika seseorang diberikan terlalu banyak nasihat atau informasi yang tidak relevan, mereka bisa menjadi kewalahan atau jenuh, sehingga mengurangi efektivitas internalisasi. Penting untuk menyesuaikan jumlah dan relevansi nasihat dengan kemampuan dan kebutuhan individu.
4. Stirring (Pengadukan)
Pengadukan bisa dianalogikan dengan usaha dan latihan yang dilakukan seseorang untuk benar-benar menginternalisasi dan mempraktekkan ilmu tersebut. Yang menarik adalah pengadukan itu sendiri bertujuan meningkatkan tumbukan antar molekul zat terlarut dan pelarut.
Dengan lebih banyak tumbukan, molekul zat terlarut dapat lebih cepat menyebar ke seluruh pelarut, mempercepat proses pelarutan. Pengadukan juga membantu menyebarkan partikel zat terlarut secara merata ke seluruh larutan untuk mencegah terjadinya konsentrasi tinggi zat terlarut di satu area dan memastikan bahwa pelarutan terjadi secara konsisten di seluruh pelarut.
Dalam hidup, pengadukan bisa diinterpretasikan sebagai aktivitas diskusi, debat, uji coba hipotesis, refleksi, dan meditasi. Ringkasnya hal-hal yang bikin kita "tertampar" atau bikin ego kita mungkin terluka karena ditumbuk tsunami fakta/realita/kebenaran.
Meningkatnya frekuensi dan kualitas "tumbukan" antara ide baru dan ide lama menyebabkan adanya interaksi diri kita dengan nasihat tersebut, sehingga diharapkan dapat mempercepat dan memperdalam proses internalisasi.
Sederhananya, proses ini merupakan peninjauan kembali mana "kerangka" yang perlu diperbaiki, atau kerangka yang belum tersentuh (ter-sibgah) dengan ilmu/nasihat tersebut secara merata, atau proses mencari mana yang perlu di-unlearn, dan relearn sampai kerangka tersebut menjadi utuh dan stabil (larut sempurna).
5. Kondisi Zat Pelarut
Kondisi mental, emosional, dan fisik seseorang mempengaruhi seberapa baik mereka bisa mempraktekkan nasihat. Air yang bersih dan stabil melarutkan zat terlarut lebih baik daripada air yang kotor atau dalam kondisi tidak stabil.
Ego dalam konteks ini bisa dianalogikan sebagai pengotor atau impuritas dalam larutan. Pengotor dalam larutan dapat mengganggu proses pelarutan atau mengubah sifat larutan itu sendiri. Begitu juga ego, dapat menghalangi seseorang dalam menerima dan menerapkan nasihat atau ilmu.
Mencegah Pelarutan: Ego yang besar bisa mencegah seseorang untuk menerima nasihat atau ilmu dari orang lain, seperti pengotor yang menghalangi zat terlarut untuk benar-benar larut dalam pelarut.
Menyebabkan Ketidakstabilan: Ego yang tinggi bisa menyebabkan seseorang menjadi defensif atau tidak mau mendengarkan, yang dapat menciptakan ketidakstabilan dalam proses penerimaan ilmu, sama seperti pengotor dapat membuat larutan menjadi tidak stabil.
Mengubah Sifat Larutan: Ego dapat mengubah cara seseorang memandang (membaca peta realita) dan mempraktekkan nasihat atau ilmu, yang mungkin tidak sesuai dengan maksud aslinya. Ini mirip dengan bagaimana pengotor dapat mengubah sifat fisik dan kimia dari larutan.
Membuat Proses Menjadi Lebih Sulit: Ego dapat memperlambat atau bahkan menghentikan proses pembelajaran dan penerapan, seperti pengotor yang dapat memperlambat atau menghambat proses pelarutan.
Sederhananya, tidak peduli seberapa kencang/sering kita mengaduk, selama kondisi airnya tidak 'bersih', zat terlarut tidak akan larut.
Tidak peduli seberapa sering seseorang beradu argumen, diskusi, membaca, menerima nasihat, maupun debat, selama ego, trauma, maupun luka batinnya masih besar, maka nasihat atau ilmu tidak akan pernah dicoba olehnya untuk diinternalisasi.
Dengan melunakkan ego (atau mengurangi pengotor dalam analogi ini), proses penerimaan dan penerapan nasihat atau ilmu dapat berjalan lebih lancar dan efektif karena kaitannya dengan bagaimana seseorang membaca realita.
6. Katalisator
Dalam konteks kelarutan, katalisator mempercepat proses tanpa ikut bereaksi. Kita bisa menghubungkannya dengan beberapa hal yang mempercepat atau memudahkan seseorang untuk mempraktekkan nasihat atau ilmu:
Mentor atau Pembimbing: Seorang mentor yang baik bisa menjadi katalisator, mempercepat proses pembelajaran dan penerapan ilmu tanpa mengambil alih proses tersebut.
Lingkungan yang Mendukung: Lingkungan yang mendukung (seperti komunitas yang positif, teman yang membantu, atau tempat kerja yang kondusif) dapat mempercepat seseorang dalam menginternalisasi dan mempraktekkan ilmu.
Alat atau Sumber Daya Tambahan: Buku, kursus online, alat bantu belajar, atau teknologi lainnya bisa menjadi katalisator yang membantu seseorang lebih cepat memahami dan menerapkan ilmu.
Dengan katalisator, proses penerapan nasihat atau ilmu bisa terjadi lebih cepat dan lebih efisien, seperti bagaimana katalisator mempercepat reaksi kimia.
Konsep Ksp dan Qsp
Qsp (Quotient of Solubility Product) dan Ksp (Solubility Product Constant) adalah konsep dalam kimia yang mengukur kecenderungan suatu zat untuk larut dalam larutan sampai mencapai keseimbangan.
Qsp (Quotient of Solubility Product) bisa dianalogikan sebagai usaha atau kondisi aktual seseorang dalam menerima dan mempraktekkan nasihat pada suatu waktu tertentu. Ini adalah keadaan dinamis yang menggambarkan apakah seseorang saat ini sedang dalam proses menerima nasihat.
Ksp (Solubility Product Constant) adalah nilai konstan yang menunjukkan seberapa banyak nasihat bisa diterima oleh seseorang sebelum jenuh, yaitu batas maksimal kemampuan seseorang untuk menginternalisasi dan mempraktekkan nasihat tanpa/sebelum menjadi kewalahan.
Sekarang anggaplah kita mau nyeduh minuman jazjuz (nama merek disamarkan). Misalnya sebungkus jazjuz larut sempurna di 600 mL air.
Jika Qsp < Ksp:
Berarti jazjuznya belum dimasukkan semua dan hasilnya nanti bakalan kurang manis (nggak sesuai yang diharapkan).
Seseorang berada dalam kondisi di mana mereka masih mampu menerima dan mempraktekkan lebih banyak nasihat atau ilmu. Analoginya, larutan masih bisa melarutkan lebih banyak zat terlarut tanpa mencapai titik jenuh.
Jika Qsp = Ksp:
Berarti jazjuznya sudah dimasukkan semua dan dapat larut sempurna menghasilkan minuman jazjuz yang manisnya pas sesuai yang diharapkan.
Seseorang telah mencapai batas optimal dalam menerima nasihat, yaitu mereka berada dalam keseimbangan dan mampu mengasimilasi nasihat secara efektif tanpa merasa kewalahan. Analoginya, larutan berada pada titik jenuh di mana tidak ada lebih banyak zat terlarut yang bisa ditambahkan tanpa mengendap.
Jika Qsp > Ksp:
Berarti jazjuznya dimasukan terlalu banyak, hasilnya minuman tersebut jadi terlalu manis dan terbentuk endapan gula di bawahnya sehingga harus ditambahkan airnya.
Seseorang telah menerima terlalu banyak nasihat atau ilmu dan mulai merasa kewalahan, seperti larutan yang telah mencapai jenuh dan zat terlarut mulai mengendap karena melebihi kapasitas pelarut.
Seseorang mungkin sudah berada dalam kondisi jenuh (Qsp > Ksp) di mana mereka telah menerima terlalu banyak informasi tanpa cukup waktu untuk mengasimilasinya. Dalam keadaan ini, teori yang diperoleh jadi mengendap dan mereka tidak dapat mempraktekkan lebih banyak teori sampai ada waktu untuk memproses dan memahami yang sudah ada.
Dengan menggunakan konsep Qsp dan Ksp, kita bisa memahami batas kemampuan kita untuk menerima dan mempraktekkan nasihat dengan lebih baik, serta pentingnya menjaga keseimbangan agar tidak merasa kewalahan.
Apa saja hal yang membuat orang menjadi compassionless?
Kewalahan informasi
Ego dan hambatan internal
Kurangnya dukungan eksternal
Kondisi mental dan fisik yang tidak optimal
Proses pembelajaran yang kurang bertahap sehingga framework dalam dirinya tidak tersusun secara sistematis
Kapasitas penerimaan informasinya besar tapi justru nggak punya "library" informasi mengenai ilmu/nasihat/teori yang harus dipraktekkan selanjutnya
Apa treatment yang tepat bagi seseorang yang sedang 'jenuh'/stuck?
Jika seseorang berada dalam kondisi "stuck" atau "jenuh" sehingga belum ada peningkatan dalam hal internalisasi, maka menambah konsentrasi zat terlarut (nasihat atau informasi) mungkin bukan langkah yang tepat.
Hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah:
Memberikan Waktu dan Ruang untuk Mencerna
Mengurangi Beban Informasi
Menyesuaikan Relevansi Zat Terlarut
Meningkatkan Kualitas Pelarut (Kondisi Diri)
Menggunakan Katalisator
Mengubah Pendekatan atau Metode Pembelajaran
Mengganti Zat Terlarut
Membantu Mengindentifikasi Hambatan Internal
Lesson Learning
Aku sebagai pelarut harus aware dengan kapasitasku dalam menginternalisasi sesuatu dan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Kalau dirasa "belum selesai" dengan diri sendiri (trauma masa lalu, ego, luka batin, dsb.) aku harus berusaha untuk menyelesaikan hal tersebut agar tak perlu susah payah "diaduk".
Aku sebagai orang yang ingin melakukan transfer nilai/keyakinan, harus dapat meningkatkan level understanding. Lakukan iqra/pembacaan peta realita dengan akurat tanpa bias hawa nafsu sehingga bisa melakukan treatment yang bijaksana terhadap pelarut yang kita harapkan menjadi larutan tertentu. Jangan memberikan kesan menggurui juga, soalnya siapa sih yang suka digurui? 😅🙏🏻
Selain itu juga harus sabar, jangan sama-sama tinggi egonya. Juga harus kreatif dan open minded, jangan terus menerus maksain satu nasihat yang nggak relevan. Coba tracking kalau nggak masuk lewat analogi A, mungkin masuk dengan analogi B. Kalau gak masuk melalui cara A, mungkin masuk melalui celah B. Sering-seringlah evaluasi juga barangkali dalam diri pun ada "pengotor" yang bikin orang lain enggan menerima apa yang datang dari aku.
Satu lagi, jangan lupa mendoakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Karena doa adalah indikator seberapa tulus seseorang mengharapkan orang lainnya selamat. Intinya sama-sama membersihkan diri karena baik sebagai diri yang menerima nasihat, maupun yang memberi nasihat, sebenarnya kan sama-sama pengen jadi "larutan" yang sempurna sesuai harapan Allah, sama-sama pengen menyajikan diri kita dalam versi terbaik di hadapan Allah.
Kalau kebutuhan selamat udah jadi prioritas, kayanya ego udah nggak dikedepankan lagi deh. Trauma dan unfinished business di masa lalu pun akan sesegera mungkin berusaha diselesaikan. Akhir kata, akan aku tutup tulisan ini dengan dua surat yang menjadi landasan:
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu."
QS Al-'Ankabut (29) : 43
"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
QS As-Shaff (61) : 2-3
Mungkin analogi ini masih belum sempurna. Diriku sendiri juga masih try to learn-unlearn-relearn dan akan sangat terbuka menerima berbagai sudut pandang.
— Giza, apa-apa yang ditulis sejatinya merupakan pengingat dan pengikat hikmah untuk diri sendiri. Adapun jika bermanfaat bagi orang lain, segala puji hanya bagi dan milik Allah.
42 notes
·
View notes
Text
Hai raga, jiwa dan hatiku. Selamat dua puluh satu🤍
Tujuh ribu enam ratus tujuh puluh satu hari sudah kamu lalui. Kamu hidup. Kamu rasakan. Maaf ya aku sering kali menyakitimu. Maaf, karena sering tidak menyenangkanmu lebih dulu, padahal kamu adalah aku. Bagaimana baik dan burukmu pun itu tetap aku. Terima kasih sudah selalu bersamaku. Terima kasih karena mau menyayangiku. Hatiku hangat.
ya Allah, terima kasih untuk hidupku, juga perasaan yang indah ini.
4 notes
·
View notes
Text
noted fr me, yang sometimes still ngrasa kurang, tidak terpenuhi dan tidak tau diri.
Ada istilah yang menarik waktu nyoba nyari tahu peran perempuan menurut agama Nasrani. Di sana disebutkan bahwa:
Perempuan adalah tiang doa.
Terus jadi mikir, ini ternyata beneran kejadian di masyarakat Indonesia pada umumnya. Kita seringkali lihat effort berdoanya ibu-ibu tuh suka lebih gacor daripada bapak-bapak. Banyak kasus seorang ayah pemabuk, penjudi, pezina, KDRT, jauh dari Tuhan, tapi istrinya tuh nggak henti-hentinya mendoakan. Pernah beberapa kali juga baca kasus semacam ini di twitter dari point of view anaknya tentang doa ibu. Yang disuguhkan di film-film azab pun rerata kasusnya demikian: istri yang kelewat protagonis dan suami yang kelewat antagonis, wkwk. Ya tentunya alur di sinetron itu kan diangkat dari realita di masyarakat soalnya supaya laku harus relatable.
Akhirnya yang aku peroleh adalah selama ibu masih berdoa dan berpegang teguh dengan keyakinannya, masih ada yang bisa diharapkan dari keberlangsungan rumah tangga. Lebih bagus kalau bapaknya juga. Kalau bapaknya sholeh sendirian juga tetep bisa diharapkan kok, buktinya keluarga Nabi Luth dan Nabi Nuh.
Nah cuma kalau dalam kasus "bapak sholeh dan ibu tidak sholehah" nggak semua anak bisa menganggap bapaknya sebagai tempat pulang, soalnya "rahim" itu kan hakikatnya adalah peran perempuan. Tapi dalam kasus "ibu sholehah dan bapak tidak sholeh" hampir semua anak setidaknya dapat merasa masih punya "rumah" selama ibunya masih fungsional menjalankan peran sebagai tiang doa dan sebagai "rahim".
Mamski pernah bilang ke aku bahwa perempuan dalam hidup laki-laki (entah itu ibu, istri, atau anak) adalah sumber berkah bagi si laki-lakinya (syarat dan ketentuan berlaku). Maksudnya apa?
Berkah tuh kan artinya bertambahnya kebaikan, jadi apapun yang laki-laki berikan kepada anak/istri/ibunya, Allah akan lipat gandakan. Contoh sederhananya aja perihal nafkah, misalnya laki-lakinya ngasih materi berupa uang, nah perempuannya menjadikan uang tersebut dapat bermanfaat bagi seluruh anggota keluarga misalnya buat masak makanan sehari-hari. Dari makanan yang dimakan, keluarga pun dapat melaksanakan aktivitas penghambaan.
Jadi maksudnya berkah di sini adalah perempuan berperan sebagai pengelola. Dan dampak dari pengelolaan yang dilakukan perempuan adalah berlipat gandanya kebaikan dan pembuka keran kebaikan-kebaikan lainnya.
Akhirnya ini make sense setelah coba nyambungin gimana dampak perempuan yang nggak sholehah terhadap kehidupan laki-laki. Contoh kasusnya aku pernah baca, salah satu alasan pejabat melakukan korupsi tuh bukan untuk memenuhi keinginan dirinya, tapi untuk memenuhi keinginan anak istrinya. Pantesan, kita tau sendirilah yang perempuan materialistis itu keinginannya apa aja, nggak jauh-jauh dari tren, printilan lucu, ngidol, konser, pakaian, makanan, dan perhiasan mewah. Intinya mah gaya hidup.
Kalau istri atau ibu-ibu di setiap keluarga rajin pengajian (kalau di Nasrani rajin persekutuan/pelayanan) maka yang begini tidak akan terjadi; gaya hidup bermewah-mewahan, korupsi, dll.
Sering denger atau baca juga, di antara penunjang kesuksesan seorang lelaki adalah doa ibunya ketika belum menikah dan doa pasangannya ketika sudah menikah. Sebagian besar laki-laki baik memvalidasi hal ini. Kenapa laki-laki baik? Karena syarat dan ketentuan berlaku yaitu harus saling, harus sama-sama baik. Kalau perempuan tiangnya, maka laki-laki adalah atapnya yang berfungsi sebagai pelindung harga diri keluarga.
Atau di analogi bahtera, perempuan itu tiangnya, laki-laki itu layarnya. Tiangnya harus kuat dan layarnya harus seimbang soalnya yang dihadapi tuh bukan cuma senang-senang aja melainkan ombak dan angin ribut. Ketika tiangnya kuat, layarnya juga dapat membawa ke arah yang sama-sama dituju.
Sementara itu, pernah denger point of view dari laki-laki bahwa pencapaian utama mereka adalah membahagiakan perempuannya. Sempet viral kan, Arie Kriting yang sering nanya ke istrinya, Indah Permatasari, "kamu happy nggak?" Nah sebenarnya pengakuan happy-nya perempuan tuh beneran sepenting itu untuk laki-laki.
Refleksinya, kita sebagai perempuan harus punya standar bahagia yang sederhana alias sifat qana'ah. Tentunya laki-lakinya pun harus punya mental provider atau sifat qawwam yang baik dan benar. Konon, meningkatnya jumlah wanita karir di era ini adalah karena secara umum para perempuan melihat semakin sedikit laki-laki yang bisa menjadi provider.
Di sisi lain, salah satu sifat perempuan yang tidak boleh dinikahi adalah annanah (suka mengeluh). Mengeluh karena selalu merasa kurang sehingga hanya akan mendatangkan mudharat, membuat keluarga kesusahan untuk menjadi taat kepada Allah dan susah mencapai sakinah (ketenangan).
Soalnya sifat annanah dalam perempuan kalau dibiarkan bisa merembet kemana-mana. Laki-laki akan merasa gagal menjadi provider yang baik, lalu mencari orang lain yang akan selalu merasa cukup terhadap pemberiannya. Laki-laki bisa juga mencari uang dengan cara yang tidak baik (contoh kasusnya yang korupsi tadi). Atau laki-laki jadi overworking dan tidak dapat menjalankan ibadah dengan maksimal.
Makanya Nabi Ibrahim menitipkan pesan untuk Nabi Ismail untuk "mengganti palang pintunya" karena istrinya saat itu tidak memiliki sifat qana'ah. Dan setelah menggantinya, Nabi Ibrahim menitipkan pesan lagi untuk "memperkokoh palang pintunya" karena istri barunya Nabi Ismail memuji Allah dan tidak mengeluh tentang kehidupan yang melarat.
Refleksi yang diperoleh, jangan jadi perempuan yang terlalu fokus berdoa untuk mendapat imam yang baik, padahal diri sendiri belum tentu bisa menjadi makmum yang baik. Minimal di keluarga yang sekarang bisa dimulai jadi anak yang selalu bersyukur menerima apapun yang diberikan oleh orang tua.
Terus makin menyederhanakan keinginan karena sifat qana'ah itu ga akan datang dari pemikiran yang materialistis. Sifat qana'ah ga akan datang dari kebiasaan melihat standar orang lain dan tren di tiktok (atau sosmed lainnya). Sifat qana'ah ga akan datang dari kebiasaan membandingkan. Sifat qana'ah ga akan datang dari orang yang pengendalian dirinya rendah. Makanya salah satu tips membiasakannya adalah dengan berpuasa.
Refleksi selanjutnya adalah buatku pribadi, aku bersyukur banget punya mamski yang jarang banget ngeluh, soalnya bagi sebagian besar orang, ngeluhnya seorang ibu tuh bikin nggak betah di rumah (nggak sakinah). Bersyukur juga punya bapak yang effortnya semaksimal mungkin untuk jadi provider yang baik.
Belakangan ini juga lagi seneng baca-baca tentang how amazing tahajud buat ngebangkitin semangat berdoa. Soalnya yang namanya "tiang doa" tuh harus dibiasain dari sebelum nikah. Soalnya pengen jadi perempuan yang fungsional. Soalnya untuk jadi tiang yang kokoh, harus punya kebergantungan kepada Yang Maha Kokoh. Apalagi sebagai orang yang pas berdoa tuh harus mindful, tentunya dalam berdoa pun butuh energi kan? Jadi harus pinter-pinter mengalokasikan energi kehidupan, jangan keseringan dipakai begadang nonton yang nggak jelas atau scrolling without consciousness.
Yang jadi PR sekarang juga adalah memahami konsep rezeki. Atau kalaupun emang susah dipahami (karena pola rezeki tuh kadang serandom itu tapi dalilnya pun ada), minimal nggak perlu suuzon tentang rezeki kita maupun rezeki orang lain. Dan nggak usah takut miskin karena hampir semua nabi juga diuji dengan kemiskinan (apalagi Nabi Musa, benar-benar homeless yang harus melawan orang terkaya di negerinya). Nggak perlu juga sok ngatur ke Allah tentang waktu, jumlah, dan jalan masuknya rezeki.
Kita ga bisa ngatur ke depannya bakal seideal apa, tapi kita bisa mempersiapkan mental dan pondasi diri yang stabil dengan kebiasaan-kebiasaan baik dari sekarang. Kebiasaan berpuasa yang mindful dapat melatih self-control dan sifat qana'ah. Kebiasaan tahajud dapat membuat kita fungsional sebagai tiang doa dan tiang negara.
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kita sifat qana'ah dan memudahkan kita dalam melakukan fungsi dan peran sebagai perempuan muslim, sebagai anak, dan mungkin nanti sebagai istri maupun ibu.
— Giza, agak aneh bahasannya akhir-akhir ini tentang perempuan mulu padahal tomboi wkwk. Tapi seru dan pengen enjoy dalam memperbaiki diri.
53 notes
·
View notes
Text
Rumah tangga adalah privasi. Maka ia tidak boleh diisi oleh selain suami dan istri. Serta anak-anak yang menjadi buah cinta dari keduanya.
Rumah tangga adalah hak permanen antara dua manusia yang terikat oleh perjanjian di hadapan Tuhan. Ia tidak boleh diganggu gugat oleh keluarga dari kedua belah pihak. Maka seorang suami yang tetap taat kepadanya ibunya, serta tahu cara memuliakan istrinya adalah baik. Karena ia mampu menjaga dua perasaan wanita secara bersamaan.
Seorang istri yang mampu taat kepada suaminya dan tidak menjadi penghalang bagi suaminya untuk berbakti kepada ibunya adalah baik. Sebab ia paham bahwa selamanya suaminya adalah milik ibunya.
Untuk itulah mengapa rumah tangga di dalam Islam, tidak boleh dicampur baurkan antara menantu dan mertua. Karena dua perempuan di dalam rumah tidak akan pernah habis masa berseterunya. Begitu pun jika di dalam rumah terdapat dua kepala keluarga, tidak akan habis masa bertikai antara keduanya.
Oleh karena itu, ketika telah menikah, sebaik-baik tempat bagi perempuan adalah rumahnya sendiri. Walau harus berbayar, walau harus hidup seadaanya. Namun itulah sebaik-baik tempat bagi perempuan.
Karena di dalam rumahnya, perempuan bisa mengekspresikan banyak hal. Perempuan bisa melakukan banyak hal tanpa perlu menghadirkan rasa sungkan dan tidak enak hati.
Maka lelaki, buatlah dinding terpisah antara istri dan ibumu. Sebab dua perempuan ini sangat rentan menghadapi miskomunikasi.
Maka perempuan, keluarlah dari rumah ibu-bapakmu. Ikutlah dan pergilah dengan suamimu. Karena pasca menikah, kau bukan lagi tanggung jawab dari kedua orang tuamu. Tanggung jawab itu berpindah di atas tangan lelaki yang memintamu dalam sucinya akad nikah.
Tak perlu ada yang saling tuntut. Karena memahami kewajiban adalah sebaik-baik pemikiran, dibanding menuntut hak yang mesti ditunaikan oleh pasangan.
11.29 p.m || 06 April 2024
254 notes
·
View notes
Text
No matter how it ends, it was a pleasure to know you
1 note
·
View note
Text
Why..
I had a hard time conveying all my worries. And knowing there was no one I could talk to in depth about it, made my chest even more tight. Even worse. I felt like a pathetic person.
Mom, why don't we have good communication? I really love you. But knowing that I can't talk about my worries without hurting you, it really breaks me. Forgive me for still being a baby. I wish I had that courage, to show you around and talk about all the things we've never talked about.
I wish I was braver. For my own future. For us.
But sorry mom, I'm still a loser.
4 notes
·
View notes
Text
Hi, Dear...
Seiring tahun yang berganti, kisah baru bertajuk 366 hari menanti. Semoga jejaring harapan ini bisa menjadi alasan untuk terus bertahan mewujudkan segala impian. Terakhir, dan tidak kalah penting semoga kita dipantaskan untuk hal-hal baik yang sudah atau belum direncanakan.
Salam sayang,
Jejaring Biru
117 notes
·
View notes
Text
Tujuan adalah sesuatu yang membuat kita bertahan serumit apapun perjalanan di depan.
84 notes
·
View notes
Text
Page 3 in my December 2023
Aku tuh herann, belajar statistika dari semalem mana pas nulis tuh hepi, soalnya cantik banget catetan aku wkwk. Pagi bangun lagi, buat lanjut 2 bab terakhir. Giliran ke kampus, udah waktu ujian, ngadep komputer, kenapa malah cetetannya engga ke bawa lah weeeeh. Itu tuhh rasanyaaa Ya Allahhh. Pengen guling-guling rasanyaaa. Aku nangis tapi mood aku lagi bagus, jadi aku ketawa. Hehehe
Surat untuk ibuk dosen :
Ibukk, maaf kalo nanti hasil ujian saya bikin perut sakit karena ketawa. Soal paham engga saya sebenernya belum paham, buk. Malah laper hehe. Tapi, saya seneng punya catetan lengkap. Cantek pula. Makasih, ibuk. Semoga ilmunya ibuk berkahhh dan nempel di saya.
Dan berhenti di lampu merah pas jalan pulangpun cuma bisa nyengir, sambil mbatin "lucu bangett ahahaha"
Kayak gini nihhhh ekspresi ku 👇
Picture by pinterest
Jadi tulisan ini judulnya, happy mind happy life.
Kalo kamu, mana senyum kamu pagi ini?
3 notes
·
View notes
Text
Gift by @uroko
Ada luka di hati ibu yang tidak kita pahami. Ada luka di hati ayah yang tidak kita ketahui. Lalu, luka-luka itu diturunkan kepada kita tanpa mereka sadari.
Lalu kita pun menerima luka-luka itu sebagai bentuk perjalanan bertumbuh menjadi dewasa yang tidak mudah. Luka yang tumbuh dalam diri kita mungkin telah membentuk beberapa persepsi yang keliru akan beberapa hal sehingga kita menjadi takut mencoba banyak hal baru, tidak percaya diri untuk menjadi diri sendiri dan berbagai ragam bentuk kerapuhan diri yang selama ini susah payah kita sembunyikan.
Luka itu pun bisa jadi ikut andil mempengaruhi cara kita dalam mengambil keputusan dan juga menyikapi banyak kejadian dalam hidup. Luka yang mungkin menanamkan ketakutan di alam bawah sadar kita dan menjadikan diri kita hari ini, membawa luka pengasuhan.
Tetapi dilain sisi, seiring tumbuh besar dan menyaksikan berbagai dinamika kehidupan sebagai orang dewasa, kita mulai menyadari; menjadi orang tua itu sulit dan tak mudah, mengasuh itu penuh lelah, membesarkan itu penuh pengorbanan dan mendidik itu penuh tantangan. Menjadi yang sempurna tanpa cela bagi anak rasanya mustahil.
Ruang hati kita pun, mulai melapang menyakiskan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam dunia orang dewasa. Pemakluman dan rasa maaf menghadirkan perasaan untuk menerima dan berdamai dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu.
Seandainya orang tua kita tahu bahwa mereka membawa luka pengasuhan dan memiliki cara untuk menyembuhkan diri mereka di masa lalu agar rantai luka itu terputus dan tidak menjangkau kita, mereka pasti akan melakukan segala cara. Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari bahwa luka itu ada dalam diri mereka dan menemukan cara untuk memutus rantainya.
Ilmu pengasuhan tidak berkembang sepesat zaman sekarang. Sehingga mereka pun membawa luka itu dengan berat dan susah payah. Sehingga di masa kini, aku telah tiba pada titik kesimpulan yang selalu berusaha ku ingat dan pahami bahwa; tak ada orang tua yang sempurna tapi setiap orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Semoga tak ada satupun sikap dan perbuatan yang akan kita sesali di masa yang akan datang perihal bagaimana kita menjalani hari-hari bersama orang tua kita di masa kini. Berikan yang terbaik, selagi mereka masih ada disisi.💐
Mendung, 19 Desember 2023 13.12 wita
437 notes
·
View notes
Text
Merelakanmu Bertumbuh
Dek, kamu jangan cepet-cepet gede kenapa. Kayaknya baru kemarin kamu nangis-nangis engga rela aku lepas SMA, kuliah habis itu nikah. Baru kemarin lho dek kamu mewek, bilang takut bakal sendirian. Sekarang udah kemana-mana sendiri aja. Mana engga bilang-bilang lagi. Tiba-tiba benget sihh kamu berkembangnya. Aku gemess, khawatir tapi engga bisa berword-word. Time really really flies so fast yaa
Balik ke perut umi mau ga? Wkwk. Bercanda.
Sehat selalu ya adekku. Love you from the deepest of my heart💛
13 notes
·
View notes
Text
Aku ingin bicara. Bisa kita bertemu? Ada banyak tanya di kepalaku. Apa kamu mau jadi temanku?
6 notes
·
View notes
Text
Embracing My Self
Kalau mendengar kata 'perjuangan', rasanya perjuangan terbesarku adalah perjuangan berdamai dengan diriku sendiri.
Dulu, aku pernah menjadi seseorang yang sangat sedih bila melakukan kesalahan. Rasanya malu sekali, dan berujung pasrah bila akhirnya aku disalah-salahkan. Kalau saat ini, kita mengenalnya dengan istilah inferior. Aku sering merasa rendah diri.
Padahal, aku bukannya tanpa prestasi. Sepanjang TK hingga SMA, beberapa penghargaan atas prestasi akademik bisa kuraih. Tapi, hal-hal itu tidak menghilangkan kerendah dirianku. Terlebih jika ada kesalahan atas kecerobohan yang kuperbuat. Sekejap, rasa percaya diriku akan merosot, kebaikan-kebaikan yang kupunya terlupakan sama sekali. Dan aku akan bermuram durja karenanya.
Mentalitas inferior ini cukup berpengaruh di kehidupan sosialku. Sewaktu SD, saat bermain dengan teman-teman, aku sering dijadikan 'anak bawang'. Karena dianggap selalu 'kalahan'. Akhirnya teman-teman 'berbaik hati' mengajakku bermain, tapi tidak dilibatkan dengan sebenar-benarnya dalam permainan.
Mungkin ada yang bingung dengan istilah anak bawang?
Misal, main petak umpet nih. Sebetulnya persembunyianku sudah ketahuan. Harusnya jika ketahuan, kan, aku otomatis kalah. Tapi karena aku 'anak bawang', aku akan dianggap tidak ketahuan. Agak menyebalkan, bukan? Rasanya powerless.
Berbeda untuk urusan akademik. Seusai pelajaran selesai, teman-teman yang belum paham dengan materi seringkali menghampiri mejaku untuk minta dijelaskan kembali.
Tapi, kelebihan akademikku tidak pernah bisa menghapuskan kabut hitam inferioritas yang menggelayut di benakku. Aku masih merasa gagal, dan bukan siapa-siapa.
Bersyukur, semakin bertambah usia, rasa inferioritasku mulai berkurang perlahan. Aku semakin berani show up dan berargumentasi. Tapi tentu saja tidak se-powerful itu. Aku masih selalu sedih jika melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang berulang.
Qadarullah, di bangku kuliah aku menemukan lingkungan yang amat suportif. Rasa inferioritas mulai tertepis jauh. Kalau pun berbuat salah, aku lebih legowo untuk meminta maaf dan mau belajar. Aku lebih percaya, diriku mampu di lingkungan sosialku.
Sampai suatu ketika, aku pernah mengikuti sebuah peer group untuk belajar bersama meningkatkan speaking. Temanku yang menjadi mentorku memberikan apresiasi padaku di sesi one on one. Lalu bertanya.
"Yang aku lihat, kamu begitu tenang saat belajar. Kamu juga berani untuk berbicara saat grup mulai terasa hening dan awkward. Kamu bisa memicu yang lain untuk berani speak up juga. Darimana kepercayaan dirimu itu kamu dapat?"
Ditanya demikian, aku jadi berpikir. Butuh waktu untukku menjawab.
"Sepertinya.. karena aku tahu kalau aku tidak sempurna."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tidak sempurna, aku tahu aku selalu bisa melakukan kesalahan. Maka jalan saja dulu, nanti aku akan tahu letak kesalahanku dimana, dan membenahinya. Practice makes perfect."
Namun, ada kalanya kondisi tertentu membuat penyakit lamaku hadir. Saat aku hendak menikah, rasa inferiorku kembali mencuat. Aku sering mempertanyakan kenapa ada seseorang yang mau memilihku. Aku merasa tidak punya kelebihan yang bisa diandalkan. Aku merasa seringkali berbuat ceroboh. Dan seterusnya.
Beruntung, saat aku mencurahkan kegundahanku pada seorang kakak, beliau menghiburku dengan sebuah kalimat yang membesarkan hati.
"Atas kekurangan pasanganmu, bersyukurlah. Atas kelebihannya, bersabarlah."
Kalimat itu, masih tertanam kuat padaku hingga sekarang. Benar, apa salahnya jika pasanganku lebih baik dalam banyak hal dibanding aku? Aku cukup perlu banyak bersabar untuk belajar mengimbanginya. Dan jika pasanganku melakukan kesalahan, bukankah itu baik untukku, karena ada alasan bagiku untuk membantunya?
"Jangan terlalu dini merasa bersalah. Nanti kalau sudah jadi istri dan ibu, rasa bersalah akan muncul semakin banyak." Canda kakakku itu. Benar juga, aku harus menata emosiku sebaik mungkin.
Dan lagipula, apa salahnya berbuat salah? Bukankah, manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Akhir-akhir ini aku menonton sebuah youtube dari dr. Aisah Dahlan. Beliau tengah memberikan webinar tentang watak. Disitu ada sebuah kalimat beliau yang mengena buatku. Kalimatnya tidak persis, tapi kira-kira seperti ini yang kutangkap.
"Ketika melakukan sesuatu yang salah, cukup ketahui bahwa itu perbuatan yang salah. Tapi jangan pernah merasa bersalah." Ungkap beliau. "Ketika kita sadar kita salah, kita akan maju untuk berbenah. Namun perasaan bersalah hanya akan menahan kita tetap di tempat dan efeknya kita akan sulit untuk berubah."
Rasa-rasanya perkataan beliau menjadi sesuatu yang mencerahkan perjalanan hidupku sejak lampau hingga kini.
Dulu, perasaan bersalah yang membuatku merasa frustasi, dan cenderung sukar untuk berbenah. Justru, kesadaran bahwa diri ini bisa salah, dengan diimbangi kemauan untuk berubah akan membawa dampak yang lebih baik. Baik secara dzahir maupun batin.
Apalagi, posisiku saat ini sebagai seorang istri dan ibu. Semoga Allah bantu untuk melalui segalanya dengan hati yang tenang. Karena, bukankah sakinah di rumah itu bergantung pada ketenangan setiap anggotanya? :)
116 notes
·
View notes