Text
Maret 2018
01 Music Bagus Day at Citos JKT
02 Sunyata Session at Coffeewar JKT
02 MusikDiCoffeewar at Coffeewar JKT
11 Prologfest at Prolog Art Building MKS
12 Jam Sekolah / inspiraTV at SMA 12 MKS
14 Bold Experience Campus Community Day at Unifa MKS
18 Peacetival at Mall Mari MKS
25 Sublime at Mall Pipo MKS
0 notes
Text
Februari 2018
02 Music Trap at Bharata Radio MKS
25 Launching Komunitas at Pulau Samalona MKS
28 MusikDiKantor at Kantor Qubicle/Soundquarium MKS
0 notes
Text
Lirik Lagu Kapal Udara - Seru dari Hulu
Lima lagu di dalam “Seru dari Hulu” tercipta di tahun 2015-2016. Lirik bersama musik dikerjakan bersama seluruh personil. Terkadang di sela-sela mengulik, beberapa teman juga memeberikan saran serta kritik.
Mari simak lirik lagu Kapal Udara, berikut ini:
Menyambut
Senjakala tuan tiba paruh waktu mengudara.
Senjakala tuan tiba sambut masa dan kuasa.
*
Sepercik cahaya di ketinggian,
turunlah baginda titisan tuhan.
Gendang menderap iringi kedatangan,
membuka jalan membelah awan.
Bersama riuh puji-pujian,
berlimpah ruah doa sambutan.
Setelah jauh tuan berlayar,
memberi gelar dan seribu kabar.
Berkumpulah para saudagar,
mohon urusan sekiranya lancar.
Konon baginda tak pernah ingkar,
pandai berujar dan berkelakar.
“Mohon. Tuan, berikan kemulian.
Berikan hamba tanah garapan.
Jangan biarkan renta dan sengsara.
Mudahkan kami di segala perkara,
bencana, dan mara bahaya.”
Berkata para rakyat jelata,
berharap baginda, membagi harta.
“Kau harus sanggup terus melayani,
menjadi abdi yang berbakti!”
*
Senjakala tuan tiba, paruh waktu mengudara.
*
Di balik semua kata,
ada makna yang tak kentara.
Di balik semua cerita,
ada kuasa yang memenjara.
Melaut
Layar. Gerak berirama.
Laut menyapu.
Tenang bersuara.
Mengayuh perahu.
Jaring.
Mekar.
Tarik.
Fajar. Berlayar di udara.
Mendayu-dayu.
Tak pernah habis daya.
Mengayuh perahu.
Jaring.
Mekar.
Tarik.
Ulur.
Menanam
Tanah lapang membentang.
Di balik gunung menjulang,
tebarkan benih harapan.
Mengantungkan kehidupan
Seruan kehilangan.
Di balik gedung menjulang,
memupuk penantian.
Berbuah ketiadaan
Menanam. Menanam.
Menanam Harapan.
Penantian. Penantian.
Tanam harapan.
Menari
Lalu.
Larut.
Menari. Menari.
Berlari. Berlari.
Menari tinggi.
Menepis sunyi.
Berlari tinggi.
Menari.
Lalu.
Larut.
Merantau
Suatu hari sebelum menua,
kau pergi. Pergi.
Dalam hati kau menghibur diri.
Bernyanyi.
Hingga kini separuh usia,
pulang tak lagi menjadi mimpi.
Tak lagi menjadi mimpi.
Melawan waktu engkau terus menunggu.
Melawan waktu engkau terus meragu.
0 notes
Text
Merantau: Menghibur Mimpi
Merantau lalu menjadi sukses, menjadi impian kebanyakan orang. Bertualang di dunia baru lalu mengeruk uang sebanyak-banyaknya, terlihat sebagai pilihan yang menyenangkan.
foto by : Adin Amiruddin
Salah satu kota yang menjadi opsi untuk merantau adalah Jakarta. Ibu kota, hampir selalu menjadi pusat peradaban suatu Negara, dan Jakarta adalah pusat segala akses di Indonesia. Selulus kuliah, anak-anak muda seperti berlomba-lomba merantau ke ibu kota dan mencari pekerjaan. Ada yang menyerah lalu pulang ke kampung halaman, namun tak sedikit yang sukses menuai uang di kota besar.
Sebagai tempat perputaran uang paling besar di Indonesia, maka Jakarta identik dengan gedung pencakar langit yang bertebaran dan tidak tertata dengan baik. Sebagai kota industri, membuat kota ini padat dengan bangunan dan transaksi jual beli. Hal itu menyebabkan kota ini penuh dengan orang-orang dengan orientasi uang: sibuk bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Hal tersebut berulang secara terus-menerus dan tidak sedikit yang akhirnya mengalami depresi berkepanjangan. Sulit menemukan hiburan alam yang bisa melegakan tekanan mental akibat bekerja. Kesehatan mental sangat dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari.
Tempat wisata hijau dan pemandangan alam yang kurang membuat banyak orang mencari pelarian dalam bentuk lain. Seperti yang disebutkan di atas, segalanya bisa didapatkan di ibukota. Tempat-tempat hiburan seperti klub malam dan kafe, berhamburan di Jakarta. Anda dengan mudah menemukan masyarakat urban kelas menengah di tempat-tempat serupa. Tidak hanya itu, obat-obat terlarang dan ayam-ayam kampus juga sangat mudah didapatkan. Jika Anda anak rantau yang tidak tahan godaan hiburan anak kota, maka bersiap-siaplah atas gaji yang hanya menumpang lewat setiap bulannya.
Saat ini, budaya seni menjadi hal yang seksi di antara anak-anak muda millennials. Semacam kurang gaul jika tidak tahu gerakan-gerakan alternatif yang digagas di dunia seni. Awalnya, tujuan untuk membuat gerakan alternatif ini adalah gerakan protes atas dunia hiburan yang terlalu mewah dan tidak membawa dampak positif. Tetapi hal itu mulai berbalik. Dunia seni kini menjadi kemewahan tersendiri bagi masyarakat urban. Jakarta lagi-lagi menjadi tempat yang tepat untuk mengakses berbagai hiburan dalam dunia seni. Tentu saja, bagi pecinta seni, Jakarta pun menjadi surga. Seni saat ini menjadi pilihan hiburan selepas jam kantor.
Di Jakarta, setiap minggu kita punya banyak pilihan acara musik mana yang sesuai selera untuk didatangi. Pusat-pusat kebudayaan seperti Salihara atau Goethe Institute juga sering melaksanakan acara pameran lukisan, foto, atau musik. Tempat-tempat yang penuh aktivitas kesenian dilaksanakan oleh anak-anak urban kreatif juga berhamburan, pada umumnya gratis atau cukup murah dijangkau kelas menengah. Tempat seperti Gudang Sarinah Ekosistem yang terdiri dari berbagai komunitas seni sering bergantian melaksanakan kegiatan. Banyak pula kafe-kafe yang hampir setiap hari menyuguhkan musik seperti Paviliun 28, Rolling Stone café, atau Hard Rock Cafe. Tempat-tempat tersebut menjadi pilihan untuk melepas penat setelah bekerja keras.
Seni, khususnya musik, adalah salah satu ciri mengenali budaya suatu masyarakat. Budaya bermusik telah ada sejak dahulu namun dalam bentuk bunyi-bunyian untuk ritual tertentu. Hingga akhirnya bunyi-bunyian itu menjadi sarana hiburan dalam kerajaan dan berkembang hingga kini. Peradaban di luar Indonesia juga tentu saja sangat mempengaruh gaya bermusik Indonesia seiring dengan perkembangan teknologi dan akses yang mudah.
Kapal Udara, salah satu grup musik pop folk, dengan mudah menceritakan budaya melalui budaya pula. Musik adalah budaya, maka mereka melakukan gerakan budaya dengan musik dan menciptakan lagu “Merantau” sebagai ciri khas budaya anak-anak Sulawesi, khususnya Bugis. Daerah asal mereka ini memang terkenal dengan daerah yang kebanyakan anak muda yang memilih merantau. Hal ini terjadi secara turun-menurun. Budaya merantau tersebut dikenal dengan istilah “sompe”. Mereka melakukan tradisi ini demi mendapat kehidupan yang lebih baik. Maka dari itu, di beberapa daerah terdapat kampung Bugis. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di luar negeri.
Jakarta pun menjadi salah satu kota pilihan orang-orang Sulawesi untuk merantau. Di Jakarta tidak sedikit, kita bisa menemukan perkumpulan orang-orang Sulawesi dan tentu saja banyak yang sukses, apalagi menjadi pedagang. Sulawesi memang terkenal sebagai kota pedagang, maka anak-anak rantau pun memilih menjadi pedagang di daerah rantauan. Ahli dagang ini pun menjadi keahlian yang didukung oleh keahlian membuat kapal orang-orang Sulawesi. Jadi mereka merantau ke luar pulau Sulawesi menggunakan kapal dan menjadi pedagang di daerah rantauan.
Lagu Merantau ini serasa mewakili perasaan anak-anak rantau yang merasakan penat bekerja di ibu kota. Mimpi-mimpi besar anak muda seringkali kandas karena persoalan ekonomi dan merantau adalah salah satu solusi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Tekanan mental akibat bekerja memang tinggi di Jakarta, otomatis hal itu membuat kita mencari pilihan-pilihan untuk menghibur diri, ke acara musik salah satunya. Bekerja terus-menerus dan menunggu keajaiban tetiba kaya adalah penantian tiada akhir.
Manusia pada dasarnya memang tidak pernah puas dan tidak pernah merasa kaya. Dengarlah lagu “Merantau” sebagai penghiburan mimpi-mimpimu.
Weny Mukaddas | Pustakawan Katakerja
*Tulisan ini merupakan interpretasi atas lagu Merantau Kapal Udara
1 note
·
View note
Text
Januari 2018
20 Smanses at Lapbas Karebosi - Mks Canceled
26 Music Trap at Bharata Radio (on air) - Mks Canceled
0 notes
Text
Ada Seru dari Hulu, Dengarkanlah!
Kali pertama mendengar Kapal Udara di tahun 2015, musiknya yang menghentak dan riang, telah berhasil mengantar saya dengan selamat dan bahagia menuju sebuah suasana yang asing namun terasa dekat.
Saya tidak ingat persis lagunya, namun tabuhan cajon, petikan gitar Ale yang bergairah, dan suara berat Ayat membawa saya menemui sebuah tempat di mana yang tumbuh hanya suka cita—lalu saya melihat pesta panen di sawah-sawah. Menemukan pesta penyambutan nelayan setelah mengarungi lautan berminggu-minggu. Menjumpai orang-orang menggelar acara bakar ikan di kolong rumah. Bertemu tarian-tarian penggugah semangat di ujung malam—kesan itu begitu melekat. Dan sejak saat itu, di ruang dengar saya, Kapal Udara telah berhasil lepas landas.
Pertemuan dengan Kapal Udara yang meninggalkan kesan menawan, tidak coba saya sisipi dengan harapan: bisa mendengarkan mereka dua atau tiga tahun kemudian. Mereka muncul dengan labelitas musisi kampus yang sejauh ingatan saya tidak akan bisa bertahan. Mereka suka berkarya, mereka suka menghibur, mereka suka bermusik, mereka beraktivitas seni, tapi semua itu hanya sebatas pelengkap dirinya sebagai mahasiswa. Muncul di kegaiatan-kegiatan kampus, lalu mereka akan raib setelah status mahasiswanya tidak lagi bergelora.
Apalagi seni dalam hal ini musik, setahuku tidak pernah diandalkan untuk bisa menjadi industri besar di kota ini (Makassar). Terlebih bagi pekerja seni kampus, menurut saya ceritanya selalu sama: dunia di luar kampus yang gempita, mereka benturkan keras dengan idealisme yang kadang kekanak-kanakan. Sehingga karya mereka yang ciamik harus berhenti karena persoalan yang dihadapi terlalu “dihitam-putihkan”. Sangat disayangkan.
Sementara itu, skena musik Makassar sejak awal 2012 mulai menampakkan kerja kerasnya. Panggung-panggung tergelar di hampir tiap pekan. Genre musik pun tidak lagi melulu Punk, Rock atau Pop. Balada, Pop Alternative, Grunge, Shoegaze, dan Folk mulai menemukan pendengarnya.
Musisi-musisi baru berdatangan, dan mereka yang lama pun tidak berhenti berkarya. Kemajuan tersebut tidak lain karena atmosfir geliat industri kreatif yang sedang hangat-hangatnya serta adanya respon yang positif dari masyarakat. Dan hal yang memukau adalah, ide-ide dan kerja-kerja kolaboratif semakin menggelinding dalam membangun proses berkesenian yang sesungguhnya.
Lalu kemudian, panggung yang tersedia banyak di kota ini, ternyata tidak berhenti mempertemukan saya dengan Kapal Udara. Kepesimisan yang awalnya saya bangun berganti harapan-harapan kecil pada mereka. Mereka bertahan dan itu bukan pendirian yang mudah. Mereka menemukan pendengar, dan mereka menghargai setiap panggung dengan totalitas. Lalu, single “Melaut” singgah di ruang dengar saya. Kata-katanya minim, serupa puisi-puisi pendek, diksinya mudah dikenali, dan gampang dimengerti.
Lalu, benih-benih harapan tadi tumbuh besar untuk mereka sejak itu. Saya yakin, Kapal Udara akan mengantarkan banyak cerita pada pendengarnya. Penampilan mereka selalu sama membahagiakannya sejak kali pertama. Meski wajah personilnya bergonta-ganti, hentakan iramanya tidak bisa menahanmu larut lalu sama-sama menari.
Ayat, Ale, Bobby dan Dadang resmi menahkodai Kapal Udara sejak Februari 2016. Yang menarik, mereka sama-sama bertemu dan belajar di FISIP UNHAS. Bobby jurusan Sosiologi dan ketiga lainnya di jurusan Antropologi. Latar belakang pendidikan keempat personil Kapal Udara tersebut sangat lekat dengan masyarakat. Mereka mengkaji, melihat, meneliti, terjun langsung dan memiliki materi yang kaya untuk dipadatkan menjadi lagu. Tidak mudah memang, tapi dalam lagu “Melaut” mereka berhasil mewajahkan nelayan dengan sangat cantik.
Di penghujung 2015, kabar bahwa Kapal Udara serius menggarap karya mereka untuk kemudian dijadikan mini album, adalah kabar baik di tengah tingginya apresiasi terhadap karya musisi Makassar. Sebelumnya, Tabasco, Speed Instinc, Theory of Discoustic, telah mengambil langkah maju. Sayangnya semangat itu mencapai puncaknya setelah karya berhasil ditelurkan dalam bentuk album CD atau EP. Persoalan launching, publikasi, marketing, branding tidak dikerjakan dengan detil hingga tuntas. Sehingga, euforianya terhenti sesaat setelah lagu-lagunya di kemas ke dalam cakram.
Kabar baik perihal Kapal Udara mengendap berbulan-bulan, tapi proses berkarya mereka tidak berhenti. “Menari”, mulai mereka release di panggung. Liriknya minim dan padat. Menari saya dengarkan sebagai seruan atas hak manusia untuk kerja keras mereka. Semua orang berhak untuk merayakan capaian-capaian kecil dan besar dalam hidup mereka.
Lalu sepanjang 2016 sampai pertengahan tahun, kota ini dihujani dengan karya. Beberapa band merilis albumnya: Melismatis mengeluarkan album kedua sekaligus sebagai album perpisahan setelah 10 tahun berkarya bersama; mini album Sanctuary Moon; juga dari pendatang baru yang masih belia Suhu Beku; disusul album Crunch-nya Minor Bebas; serta paketan musik skanya Makassar Rock Steady. Geliat ini berhasil menciptakan atmosfir yang positif. Secara sadar mereka percaya bahwa karya mereka harus didengarkan dan dibicarakan.
Pertengahan tahun 2016, Kapal Udara memasuki tahap persiapan pembuatan EP nya. Saya mendengar keseluruhan karyanya. “Menanam”, “Menyambut”, dan “Merantau” melengkapi dua lagu sebelumnya. Kelima lagu tersebut memiliki benang merah yang kentara. Kapal Udara menegaskan seruan agar kita kembali pada muasal. Mereka menerjemahkan nilai-nilai lokalitas yang sejatinya lestari. Pun tanpa menegasikan sektor-sektor dalam struktur masyarakat kita.
“Menanam dan “Melaut”, adalah hal yang tidak boleh ditanggalkan. Pada petani dan nelayan: hasil tanah dan hasil laut, harusnya cukup menghidupkan. Tidak perlu berganti semen seperti di Kendeng, bertikai dan berbuah darah dan luka serupa di Takalar, atau berganti gedung seperti di Losari. “Merantau” adalah pilihan, bahwa hidup adalah gerak maju. Hijrah adalah menemukan kemungkinan-kemungkinan, tapi sepatutnyalah kita tetap pulang. “Menyambut” mengurai sejarah bagaimana kita besar sebagai manusia yang permisif, yang senang mappangngiyye dan kadang lupa betapa berharganya diri kita. Keseluruhan lagu dalam EP ini memang tak henti berseru, seperti tajuknya “Seru dari Hulu”.
Proses kreativitas tim Kapal Udara menurut saya, pun dijalani dengan sehat. Mereka mengajak banyak orang untuk terlibat dalam EP ini. Mulai dari art work yang dikerjakan oleh seniman handal Gunawan Adi (Benang Baja), yang menginterpretasi lima lagu tersebut. Tidak berhenti di situ, Kapal Udara juga mengajak penulis, peneliti, mahasiswa, untuk menerjemahkan setiap lagu mereka dalam narasi yang lebih panjang serta paparan data yang lebih real terkait lagu-lagu tersebut. Kemudian tulisan tersebut dikemas ke dalam bentuk zine dan dibagikan secara gratis.
EP Kapal Udara ini adalah proyek bersama, proyek kolaborasi yang tidak boleh berhenti di sini. Walau membutuhkan waktu yang tidak cepat, dan proses yang berat—karena benturan konsep dan berbagai ide—tapi pada akhirnya karya yang dihasilkan, menciptakan iklim yang sehat untuk skena Makassar.
Oktober 2017, Kapal Udara secara resmi lepas landas. Segala kerja keras, waktu, tenaga, materi dan ide yang terkuras mungkin tidak akan terbayar lunas apalagi dalam hitungan rupiah (sekali lagi, industri musik Makassar, bagi pasar tidak semenarik kuliner atau fashion). Walau berjalan lambat, namun orang-orang seperti kalian yang mengapresiasi karya ini, akan memastikan skena dan industri musik kota ini akan terus bergerak.
Baca zine nya, perhatikan artworknya dan dengarkan lagunya! Setelah lepas landas, Kapal Udara akan melaut pun mengudara. Tidak perlu mencari jalan aman, jalan mudah, jalan cepat, atau jalan lurus. Tapi, yang berliku, terjal, melelahkan, berbatu, menegangkan adalah perjalanan yang sesungguhnya. Dan selanjutnya, biarkanlah nada dan suara itu terus berseru dari hulu.
Harnita Rahman.
Pengelola Kedai Buku Jenny
0 notes
Text
Samudra Kaya, tapi Pantai Adalah Nyawa
Suara ombak menggaruk punggung pasir di bibir pantai, terdengar mengawali lagu. Suara itu, disusul petikan gitar, menarik segera telinga untuk lebih dekat meresapi lagu berjudul Melaut dari Kapal Udara.
Layar gerak berirama/Laut menyapu/Tenang bersuara/Mengayuh perahu. Jaring/Mekar/Tarik. Fajar berlayar di udara/Mendayu-dayu/Tak pernah habis daya/Mengayuh perahu. Jaring/Mekar/Tarik/Ulur.
Larik lirik lagu Melaut pendek, tapi dalam. Ada sederet pesan yang menunggu dimaknai pada setiap kata. Kali pertama mendengar lagu ini, saya yang cenderung lebih menyukai laut atau pantai tinimbang gunung atau bukit, seketika merasa akrab.
Saya lahir dan tumbuh besar di perbukitan Desa Passi, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Kendati desa kami berada jauh dari laut–justru mungkin karena itu–kami terlatih mengindam-idamkan apa yang tidak kami miliki. Lautan.
Mendengar lagu Melaut, bukan saja ingatan tentang pantai yang hadir, namun tentang para nelayan, dan ikan-ikan juga ikut terlintas di kepala saya. Selain itu, lagu ini juga menyeret ingatan saya ke salah seorang sahabat di Manado: Didi Mangrove. Ia berpulang tahun lalu.
Didi merupakan salah satu nelayan yang mendiami sebuah rumah di tepi laut, di Kelurahan Sario Tumpaan, Kota Manado. Didi dan masyarakat setempat, menamai tempat itu sebagai “Daseng Panglima”. Di tempat itu pula bernaung Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra). Mereka juga mendirikan koperasi serba usaha “Antra” sejak Maret 2015.
Selain menjadi nelayan, Didi juga merupakan vokalis band punk Manado, bernama The Sotset. Ia kerap menyuarakan perlawanan lewat lagu-lagu yang mereka bawakan, saat gig dihelat hampir sebulan sekali di Manado dan sekitarnya.
Saya teringat ketika Didi bercerita tentang Daseng. Katanya, Daseng adalah “tugu perlawanan” para nelayan. Didi dan nelayan-nelayan di Daseng, harus berjuang melawan reklamasi pantai di pesisir Boulevard, Kota Manado. Daseng tampak terhimpit di antara deretan gedung perbelanjaan.
Menurut pengakuan Antra di indonesiabiru.com, sejak 2003 jumlah nelayan di pesisir Boulevard, menyusut hingga 70 persen. Sementara reklamasi pantai di Manado, sudah berlangsung sejak 1998. Para nelayan yang tersisa di sepanjang Boulevard, setelah reklamasi pantai, terhitung tinggal seratusan. Perahu-perahu ketinting yang terparkir di Daseng pun tak banyak, dan harus yang berukuran kecil. Jika perahu terlalu besar, tak ada lagi tempat untuk berlabuh, karena di kanan kiri Daseng, telah berdiri tembok-tembok bebatuan hasil reklamasi.
Dandhy Dwi Laksono bersama Suparta Arz, yang mengelilingi Indonesia dalam Ekspedisi Indonesia Biru sejak 1 Januari 2015, juga berkesempatan singgah di Daseng. Di indonesiabiru.com, Dandhy menulis bahwa beberapa nelayan mengeluh sebab ikan-ikan dasar atau ikan karang yang menjadi target mereka, semakin berkurang akibat reklamasi. Rata-rata nelayan harus melaut lebih jauh lagi, yang tentunya membikin biaya untuk pembelian bensin membengkak.
Tapi nelayan mengaku mendapat berkah sejak 2015, sebab ikan cakalang dan tuna ekor kuning (yellow fin), mulai banyak ditemui masuk Teluk Manado. Hal itu disebabkan maraknya razia atau pemberantasan illegal fishing, dan larangan transhipment. Selain itu, para nelayan di Daseng pun seiring waktu mendapat peluang kerja lain, dengan membuka usaha pembuatan jaring cincin, sebab ramainya penangkapan cakalang dan tuna.
Namun, di balik semua itu, nelayan-nelayan di Daseng harus tetap berjuang jika cuaca buruk. Saya seketika ingat perkataan Didi, "Kalau cuaca buruk, yang menunggu kami di pesisir bukan lagi bibir pantai berpasir. Tapi tembok-tembok bebatuan." Iya, mereka harus selincah mungkin untuk bisa berlabuh, menghindari tembok-tembok bebatuan yang selalu siap menelan korban kapan saja.
Seperti kata Musharifuddin bin Muslihuddin `Abdullah al-Shirazi, penyair Persia (1184-1325 masehi), bernama pena Sa'di dalam buku Gulistan, "Di kedalaman samudra, ada kekayaan tiada tara. Namun jika engkau mencari keselamatan, di pantailah tempatnya."
Ah, jika saja pisau itu tak menikam lambung Didi, setahun yang lalu, lirik-lirik ini akan kita senandungkan di Daseng bersama-sama.
Layar gerak berirama ... Laut menyapu ...
Kristianto Galuwo a.k.a Sigidad.
Freelance journalist asal Desa Passi, Bolaang Mongondow.
*tulisan ini merupakan interpretasi lagu melaut Kapal Udara
*Lagu Kapal Udara bisa di dengarkan di sini.
2 notes
·
View notes
Text
Desember 2017
12 KBJamming - at Fakultas Ekonomi Unhas - Mks
17 Face of Management - at UNIFA - Mks
31 Camp Lembah Biru - at Malino - Mks
0 notes
Text
Merantau dari Satu Kesulitan ke Kesulitan yang Lain
Merantau sudah menjadi kegiatan sebelum manusia memasuki fase kehidupan modern. Sebelum mempunyai kebiasaan menetap, manusia pra modern sudah berpindah-pindah untuk mempertahankan keberangsungan hidupnya.
Di masa modern, merantau juga berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup dan upaya meningkatkan taraf penghidupan.
Saya sendiri lahir dan tumbuh di wilayah Parahiyangan, di desa dan kota. Ketika saya memutuskan menikah, saat itu juga saya memutuskan ingin merantau bersama suami. Alasan saya waktu itu hanya ingin dapat suasana nyaman untuk membesarkan anak. Bandung sudah menjadi kota padat dan sibuk, sementara Jakarta tempat orangtua saya menetap, lebih membuat saya trauma, ketimbang bahagia. Jakarta lebih sering membuat saya tersesat dalam keramaian, dan kesepian di antara kerumunan orang.
Saya merantau ke Makassar. Kota di mana suami saya juga tumbuh sebagai perantau. Kota tersibuk di Sulawesi Selatan. Rupanya saya gagal mendapat gambaran tentang kota nyaman. Makassar sungguh tidak berbeda jauh dari dua kota tempat saya tumbuh. Sibuk, dan membuat saya terasing. Barangkali hampir setiap orang di sini memimpikan mobil pribadi, agar bisa bepergian dengan aman dan nyaman. Itupun hanya untuk mendapatkan sedikit kemewahan di tiap perjalanan. Begitu keluar dari mobil, kemewahan itu mesti kita tukar dengan uang dan keinginan lainnya. Sebab, selain pusat perbelanjaan, apalagi yang bisa membuat orang-orang bertemu dan terhibur? Taman-taman kota yang tak seberapa banyak itu kesepian pengunjung, karena jauh dari tempat bermukim. Sementara pantai berubah menjadi etalase yang mengahalangi cakrawala dan batas pandang kita.
Barangkali itulah berkah merantau; pergi dari satu kesulitan untuk bertemu kesulitan lain. Atau barangkali saya tidak akan mengalami kesusahan, jika pilihan merantau jatuh ke tempat-tempat di mana keramaian dan kesombongan modernisme itu tidak ada. Di desa, misalnya.
Di desa? Benarkah?
Lalu mengapa orang-orang desa berbondong-bondong merantau ke kota? Seandainya saja mereka tidak susah cari penghidupan, buat apa ke kota untuk menempati kotak-kotak tanah yang untuk menumbuhkan pohon kelor saja susah? Mereka telah menukar gelontoran air dari mata air dengan air berbau kaporit. Mereka telah rela menukar pemandangan sawah, laut, gunung dengan gedung-gedung yang kaku, dan menghalangi hembusan angin. Banyak petani kehilangan lahan. Hasil menanam tak sebanding dengan ongkosnya. Rugi, dari hari ke hari. Sementara pencaplok tanah sudah menganga menunggu mangsa.
Gunung, pantai, bukit dan rimbun pohon-pohon telah menjadi milik orang-orang kaya yang bosan hidup di antara tembok-tembok dan pendingin ruangan. Mereka bisa menempati apapun, di manapun untuk memenuhi hasrat, atau sekedar membunuh jenuh. Sementara, orang-orang miskin dan terpinggirkan. Nyaris tak ada pilihan, selain bertahan.
Di luar itu semua, bagi saya, merantau tak melulu soal kesusahan dan kerinduan terhadap kampung halaman. Sebab, di sini, di tanah rantau, saya telah menemukan sebuah keluarga baru, kawan-kawan yang hangat dan penuh cinta kasih. Saya menemukan orang-orang baik yang tak pernah habis, dan selalu ada di mana-mana. Di muka bumi.
Mulyani Hasan
Ibu Rumah Tangga / Pustakawan Katakerja
*tulisan ini merupakan interpretasi atas lagu Merantau Kapal Udara
0 notes
Text
Menanam Sagu di Kepala
Malam baru saja dimulai di Kampung Yepem. Di rumah Mama Katarina dan Mama Fransina, kami sedang menunggu matangnya sagu bola dan ikan duri yang sedang dibakar di tungku api. Penganan sederhana yang dimasak dengan cara sangat sederhana tersebut menjadi pengisi perut kami malam itu.
“Ambas akat ooo, sagu enak.”
Jawaban Mama Katarina sesingkat itu saat saya tanya tentang makan malam kami yang baru saja meluncur ke lambung. Kami semua tertawa. Walaupun saya tahu persis alasannya lebih dari itu. Bagi masyarakat suku Asmat, sagu bukanlah sekedar makanan. Ia sudah menjadi bagian dari laku kebudayaan yang mengakar sejak masa leluhur.
Dalam banyak cerita leluhur atau mitologi orang Asmat, sagu sering disebut sebagai bagian dari sejarah pertumbuhan suku di pesisir selatan Papua ini. Misalnya saja Beworpit, leluhur yang paling sering disebut dalam cerita adat. Berworpit dikisahkan adalah penemu tanaman sagu di dalam rimba Asmat. Ia pula yang mengorbankan dirinya dengan berubah wujud menjadi pohon sagu agar tanaman rawa tersebut bisa terus ada bagi generasi penerusnya. Heroisme Beworpit itu terus hidup sebagai leluhur penyedia kehidupan bagi orang Asmat.
Dalam cerita lain, sagu merupakan makanan utama bagi kepala perang beserta prajuritnya pada masa pengayauan. Mereka percaya dengan memakan sagu badan bisa menjadi lebih kuat. Tenaga bertempur bisa tahan lama. “Kalau makan (makanan) yang lain, misalnya ikan sembilang, pisang doaka (pisang gepok), itu badan bisa jadi lemas. Tidak kuat ikut perang,” kata Felix Owom, Ketua Adat Asmat di Kampung Suwruw.
Dalam tatanan sosial, sagu sudah dianggap sebagai harta benda utama bagi masyarakat Asmat. Pada ritual pernikahan Asmat, sagu menjadi seserahan wajib bersama kapak batu. Kedua benda itu menjadi simbol perbekalan bagi sepasang mempelai yang baru akan mengarungi rumah tangga. Selain itu, ulat sagu menjadi penganan wajib dalam banyak ritual adat Asmat. Biasanya bakal kumbang sagu ini akan disantap bersama pada puncak helatan pesta.
Potensi sagu versus ambisi buta ketahanan pangan
Asmat bersama daerah di dataran rendah di Papua memang dikenal sebagai lumbung sagu sejak dahulu. Menurut penelitian Nadirman Haska, seorang profesor riset di bidang bioteknologi dan agroteknologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Papua tercatat memiliki 1,2 juta hetare lahan yang ditumbuhi pohon sagu. 95 persen diantaranya tumbuh alami di hutan dataran rendah dan belum dimanfaatkan.
“Papua berpotensi menghasilkan delapan juta ton sagu per tahun dari pohon yang tumbuh alami dan belum dimanfaatkan tersebut. Tapi karena kita tidak memanfaatkannya, potensi pangan tersebut hilang begitu saja,” Kata Nadirman.
Masih menurut Nadirman, sebagai sumber pangan potensial, sagu memiliki keunggulann tersendiri. Sagu dalam wujud tepung bisa diolah menjadi berbagai produk makanan. Karbohidrat yang terkandung di dalam sagu juga cukup tinggi dan mudah dicerna. “Sagu itu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif. Kalau mau serius, sagu bisa menjadi pendukung upaya Indonesia mewujudkan swasembada pangan,” jelasnya.
Sayangnya segala potensi itu masih kabur dari penglihatan pemerintah Indonesia. Program swasembada pangan yang dimulai sejak masa orde baru hanya mengandalkan beras semata. Pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah dan menjadi bagian identitas keberagaman nusantara dilupakan begitu saja. Awalnya program ini terlihat gilang-gemilang mengantarkan Indonesia menyandang predikat sebagai salah satu negara yang mampu mencukupi pangan dalam negeri. Tapi tanpa upaya diversifikasi jenis pangan, swasembada pangan (lebih tepatnya swasembada beras) hanyalah program yang rapuh. Akibat korupsi besar-besaran, ia ikut runtuh bersamaan dengan berakhirnya orde baru.
Pemerintah penerus kemudian seolah gugup dan gagap dalam menyikapi masalah pangan ini. Mereka seperti tidak bisa berpikir banyak saat melihat masyarakat yang telah mengalami ketergantungan beras. Demi meneruskan program ketahanan pangan, ribuan lahan diubah menjadi sawah. Di Papua hutan dibuka untuk ditanami padi. Masyarakat pemburu peramu didorong (atau dipaksa) menjadi petani. Ya, tentu saja salah sasaran. Mana bisa orang-orang yang terbiasa hidup dengan memanfaatkan hutan seketika disuruh berbudi daya.
Dokumentasi Wahyudin Opu
Tetangga Asmat yaitu Kabupaten Merauke kini sedang merasakan kegagapan pemerintah itu. Lewat proyek nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ratusan ribu hektare hutan masyarakat adat dibabat. Wilayah kelola masyarakat Marind yang biasa menjadi tempat mereka mengumpulkan sagu, buah-buahan, sampai daging disulap menjadi lahan persawahan raksasa. Tidak sampai di situ, oleh Presiden Jokowi MIFEE diproyeksikan akan memanfaatkan lahan seluas 4,6 juta hektare. Bisa dibayangkan, betapa gilanya proyek ini.
Cilakanya, kebijakan buka-membuka sawah ini nyatanya salah kaprah. Masyarakat Papua yang butuh dikembangkan pangan lokalnya malah dihancurkan hutannya. Sementara itu sawah-sawah yang subur di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah malah ingin dirusak sumber airnya. Petani-petani di banyak tempat dikriminalisasi. Lain lagi di Sumatera. Ada petani yang mempertahankan sawahnya dari jerat pembangunan malah ditangkap atas tuduhan menyebarkan paham komunisme. Kurang gila apa lagi pemikiran pengembang ketahanan pangan kita ini.
Sementara itu, di berbagai tempat, termasuk juga di Asmat, alam bawah sadar masyarakat terus dipengaruhi oleh kebijakan beras-isasi. Masyarakat yang dikategorikan tidak mampu disuplai beras miskin alis raskin oleh negara. Beras dengan kualitas rendah ini tidak pernah cukup menghidupi masyarakat dalam sebulan. Mereka harus tetap berusaha mencari tambahan makanan untuk menyambung hidup.
Artwork Menanam oleh Gunawan Adi
Menanam harapan pada yang lokal
Sudah saatnya pemerintah membuka mata untuk mulai memaksimalkan potensi pangan lokal kita, terutama sagu. Sudah terlalu lama potensi kita ini disia-siakan. Mimpi ketahanan pangan sangat riskan bila hanya dibebankan pada beras semata. Bukankah keragaman kita juga bersumber dari beranekanya pangan lokal kita?
Cobalah turun ke masyarakat untuk melihat (sekaligus belajar) betapa kearifan lokal yang selama ini diterapkan berhasil membuat mereka hidup selaras dengan alam. Saya rasa pemerintah lewat konsultan-konsultannya yang pandai-pandai itu harus melepaskan sedikit ego mereka. Nilai-nilai dalam kearifan lokal masyarakat adat perlu dihormati bahkan dirangkul dalam proses modernisasi sistem produksi pangan. Perpaduan antara yang modern dan yang lokal saya kira akan memberikan hasil maksimal sekaligus meningkatkan kepercayaan diri masyarakat tradisional.
Saya pernah beberapa kali mengikuti masyarakat Asmat memangkur sagu di dalam hutan keluarga mereka. Pekerjaan yang dijalankan dengan sangat tradisional ini menampilkan kekayaan tradisi yang erat dengan penghormatan pada alam. Tidak sembarangan pohon sagu yang boleh ditebang. Pada beberapa lokasi hutan, suku Asmat menerapkan metode konservasi tradisional bernama dusun keramat. Penetapan dusun keramat dilakukan untuk melindungi hutan yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Tidak boleh ada yang merusak ekosistem di tempat keramat. Bagi yang berani melanggar, sanksinya tidak main-main: kematian.
“pelanggaran itu termasuk teser (jenis pamali paling berat dalam sistem hukum adat Asmat),” kata Walter Ewenmanam, salah satu Tetua Adat Asmat di Kampung Yepem.
Wilayah hutan yang bukan termasuk tempat keramat adalah tempat masyarakat Asmat mencari makan, mulai dari memangkur sagu sampai berburu binatang. Namun hanya hutan keluarga, atau yang biasa disebut dusun, yang boleh mereka garap. Selain itu mereka sangat memperhatikan keadaan dusun. Saat kondisi dusun dianggap mulai gundul, mereka akan menerapkan ritual pisis. Lokasi yang diberi pisis tidak boleh digarap dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada dusun yang gundul tadi untuk tumbuh kembali secara alami. Hal ini mirip dengan tradisi sasi di daerah Maluku.
Namun di balik kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat Asmat dalam memanfaatkan hutan, teknik tradisional dalam memangkur sagu yang mereka terapkan sangatlah terasa berat. Mereka bisa menghabiskan tenaga sepanjang hari untuk menebang pohon sagu, menguliti, memangkur, sampai menyaring pati menjadi tepung sagu. Lagi pula dengan cara tersebut hasil yang didapatkan tidak terlalu maksimal. Dalam sehari dua orang hanya mampu menggarap satu buah pohon sagu. Hasil tepung sagu yang bisa dihasilkan dari satu pohon itu sekitar dua sampai tiga noken (seukuran karung beras 25 kilogram).
Di sinilah intervensi pemerintah lewat penerapan teknologi dibutuhkan. Sudah seharusnya sentra-sentra pengelolaan dibangun di lokasi yang memiliki potensi sagu yang besar. Bersamaan dengan itu pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan mereka dalam proses produksi juga harus berjalan. Dengan begitu kepercayaan diri masyarakat turut terbangun karena melihat potensi dan pengetahuan mereka ikut dilibatkan.
Pemerintah kita sudah harus mulai berpikir ulang tentang konsep “menanam” yang selama ini terus mereka paksakan dalam program ketahanan pangan. Jangan hanya membuka lahan raksasa tapi mengabaikan tata hidup yang selama ini masyarakat bangun. Kepala masyarakat perlu ditanamkan imajinasi tentang kesejahteraan lewat potensi mereka sendiri. Sumber daya alam kita sudah sangat melimpah. Hari ini waktunya menanam harapan, demi menuai kebaikan di masa depan.
WAHYUDIN OPU
1 note
·
View note
Text
NOVEMBER 2017
12 Makassar Night Market - Pelataran Parkir Utara TSM - Mks
19 Celebes Plano Festival - Gedung Kesenian - Mks
0 notes
Text
Menanam: Untuk Bertahan atau Berdaulat?
Kedaulatan pangan telah dimengerti secara luas sebagai: hak bangsa dan rakyat untuk mengontrol sistem pangan mereka sendiri, termasuk pasar, sistem produksi, sistem pangan, dan lingkungan (Henry, 2013). Dalam lima dekade terakhir, Indonesia tidak pernah absen dalam barisan negara pengimpor pangan. Bernstein menjabarkan ihwal ketimpangan ini dengan sangat baik dalam tulisannya Food Sovereignty “as peasant way”: a skeptical view. Karyanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia di tahun 2014 demi memberi gambaran komprehensif, perkembangan kedaulatan pangan di Dunia, terlebih di Indonesia.
Kedaulatan Pangan seringkali disuarakan oleh berbagai kelompok di Indonesia. Namun, tidak banyak yang memahami perbedaan antara kedaulatan pangan dan ketahanan pangan. Dari kurangnya literatur ataupun pewacanaan terhadap konsep pangan dan kedaulatannya, maka penting untuk menuliskannya kembali secara historis guna menambah khazanah perpanganan serta menjelaskan sedikit titik penting dari kedaulatan pangan yang sering dimarjinalkan, yakni: keberpihakan proses agraria (khususnya produksi pangan) terhadap lingkungan (agro-ekologi).
Kelaparan yang melanda hampir seluruh benua di tahun 80-an memaksa gerakan tani berkumpul di World Food Summit (WFS). Kegiatan ini diinisiasi Food and Agriculture Organization (FAO) dan dilangsungkan di Roma tahun 1996. Gerakan tani kemudian mengemukakan jalan hidupnya (Peasant way) untuk mempertahankan keberlangsungan umat manusia. Agenda utamanya yakni bagaimana mewujudkan ketahanan pangan dunia.
Salah satu program yang termaktub dalam resolusi nomor 176 tahun 1966 (cikal bakal dijadikannya tanggal 16 Oktober sebagai Hari Pangan sedunia) mewajibkan negara anggotanya untuk mengimplementasikan mekanisme ketahanan pangan (food security). Targetnya, mengurangi setengah dari jumlah kekurangan pangan seluruh dunia pada tahun 2015. Pada saat itu, FAO mencatat bahwa sekitar 800 juta dari 5,67 miliar penduduk dunia menderita kekurangan pangan.
Sekilas tampak, agenda ini menjadi capaian tertinggi dari keresahan akan pangan kala itu. Namun pada akhirnya, agenda Revolusi hijau, revolusi putih, serta revolusi pangan di berbagai belahan negara di tahun-tahun selanjutnya, bisa dikatakan gagal. Penderita kekurangan pangan di tahun 2006 meningkat menjadi 920 juta jiwa. Bahkan angka ini terus naik, hingga di tahun 2011 telah mencapai 1,02 miliar (Dianto, 2014).
Gagalnya agenda ketahanan pangan menggiring sebuah gerakan baru yang tergabung dalam World Food Sovereignty Summit (WFSS). Pertemuan ini berlangsung di desa Nyeleni, Selingue, Mali tahun 2007. Berbagai organisasi petani, nelayan, masyarakat adat, tuna kisma, peternak, pengembala, environmentalis, pekerja pedesaan dari 98 negara berkumpul di forum ini. Bernstein kemudian mendefinisikan agenda forum kedaulatan pangan ini sebagai kritik komprehensif terhadap korporasi industri pertanian.
Konsep kedaulatan pangan sebenarnya telah ditawarkan di WFS Roma 1996, bukan dari negara anggota FAO, melainkan dari organisasi tani internasional La Via Campesina1. Menurut Campesina, konsep dan operasional ketahanan pangan hanya berfokus pada distribusi dan perdagangan secara ekonomistik. Walhasil, ketahanan pangan hanya memperkaya perusahaan transnasional dan tidak sama sekali mengatasi kelaparan global seperti yang dicita-citakan.
Di Indonesia, menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Indonesia, ada empat pilar dalam menegakkan kedaulatan pangan, yaitu: reforma agraria, pertanian berkelanjutan, perdagangan berkeadilan, pangan lokal. Titik kritik dari gerakan ini yakni ketimpangan atas penguasaan tanah. Ironisnya, lebih dari 60% tanah dikuasai oleh pertanian skala besar, industri ekstraktif dan korporasi di seluruh daratan Indonesia (Bachriadi, 2014). Rendahnya hak atas tanah oleh petani kecil kemudian berdampak pada kesejahteraan petani yang berbanding lurus dengan tingginya perpindahan profesi dari petani ke non petani.
Peningkatan industri pertanian hingga ke industri pangan turut andil pada perubahan pola sistem produksi agraria di Indonesia, yakni dari sistem berbasis pengetahuan lokal menuju pertanian hybrid. Misalnya, Benih yang diproduksi secara mandiri dalam sistem pertanian lokal kemudian coba dimonopoli oleh korporasi. Tercatat oleh Indonesia for Global Justice, ada empat perusahaan yang menguasai distribusi benih di Indonesia, Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Charoen Pokphand (IGJ, 2013). Dampak jangka panjangnya yakni ketergantungan benih kepada korporasi akibat tidak adanya produksi benih yang dilakukan secara berkelanjutan oleh petani kecil2. Fenomena ini hampir serupa dengan dampak dari revolusi Hijau di penghujung dekade 80-an. Pembedanya hanya pada kontrol pemerintah, orde baru masih memiliki kontrol terhadap kapitalisme agraria (meskipun di ujung rezim ini sudah total neoliberalisme) sedangkan saat ini negara kehilangan kontrol akibat terlibatnya Indonesia dalam mekanisme pasar bebas.
Di sisi lain, watak kapitalistik korporasi tersebut menghasilkan teknis pertanian yang juga kapitalistik. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida dan semacamnya digunakan secara berlebihan guna mencukupi permintaan pasar global. Akibatnya tanah dan lingkungan sekitar pertanian mengalami kerusakan dalam jangka menengah maupun panjang3.
Mengembalikan sistem pertanian berbasis ekokultur setempat, pengembalian hak atas tanah kepada petani kecil (reforma agraria), serta kemandirian budidaya benih dan teknologi pertanian merupakan strategi guna melawan industrialisasi kapitalistik pertanian.
Singkatnya, kedaulatan pangan tidak hanya berbicara tentang bagaimana pangan bagi manusia dapat terpenuhi, namun lebih jauh, bagaimana alam (nature) sebagai produsen pangan dapat terus dimanfaatkan secara bijak. Maka ide kedaulatan pangan yang digagas dua dekade lalu mesti dikembangkan menjadi sebuah sistem kesetimbangan pangan (food Equilibrium). Di mana pola produksi tidak hanya berpusat pada apa yang menjadi kebutuhan manusia (antroposentris), namun menjadikan eksistensi alam (nature) sebagai pusat pertimbangan (biosentris) kegiatan agraris manusia di masa depan. Pertanyaan retoriknya adalah, bagaimana mungkin mewujudkan kedaulatan pangan jika semesta ini punah?
1 La Via Campesina dibentuk sejak tahun 1993, untuk lebih detailnya silakan mengunjungi www.viacampesina.org
2 Benih yang diproduksi oleh petani lokal didapatkan dari hasil panen sebelumnya. Berkembangnya industri perbenihan dilegitimasi oleh UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal. UU No. 12 Tahun 1992 juga menjadi penghalang bagi petani kecil untuk membudidayakan benih. Untungnya, pasal 9 di UU ini telah dibatalkan oleh MK sehingga petani kecil sudah dapat kembali membudidayakan benih (Syahrir, 2014).
3 Untuk kajian lebih lanjut, penting diadakan riset terkini guna melihat sejauh mana dampak industrialisasi ini terhadap keberlangsungan pertanian kecil di Indonesia. Riset dapat dimulai dengan menelusuri proses indusri pertanian (pra, produksi, pasca).
* Tulisan ini pernah dimuat di zine Seru dari Hulu vol. 1
* Judul asli tulisan ini adalah Menolak Ketercukupan Panagan A la Kapitalis.
0 notes
Text
Potret Nelayan di Perkampungan Mandar
Kita belajar tentang Pelaut Mandar bukan sekedar untuk mengagumi kehebatannya berlayar, tapi untuk memahami, bagaimana mereka bertahan hidup sebagai komunitas maritim, di tengah gerak memunggungi laut yang semakin kuat. (Hilmar Farid dalam Pidato Kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta, 2014)
Penggalan kalimat di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan teks pidato kebudayaan Hilmar Farid. Kalimat tersebut juga dapat menyimpan dan membuka lebih luas lagi pemahaman kita tentang konteks sejarah dan kebudayaan maritim di Indonesia.
Kita boleh berbangga dengan sejarah besar para pelaut kita, sambil menyanyikan Nenek Moyangku, Seorang Pelaut. Kita juga boleh berbangga karena di negara kita bertaburan beribu pulau. Namun, perlahan tapi pasti, kita jugalah yang akan mengubur kebanggaan tersebut. Sampai tak tersisa. Betapa tidak, reklamasi, kelangkaan garam, serta mafia-mafia tengah laut, juga telah bertaburan di mana-mana, di Indonesia. Hal tersebut merupakan momok yang menakutkan bagi nelayan, kita, dan kebudayaan maritim yang ada.
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa setiap kebudayaan, memiliki sistem dan proses adaptasinya masing-masing. Meminjam istilah Sidik Pernama dalam buku “Antropologi Pedesaan dan Pembangunan Berkelanjutan”, adaptasi kebudayaan adalah strategi, proses, dan upaya manusia dalam melihat, menanggulangi, juga merespon berbagai perubahan lingkungan/biofisik serta perubahan sosial, untuk tetap hidup. Kemampuan adaptasi kebudayaan tersebut, juga dimiliki oleh masyarakat pesisir.
Melalui tulisan ini, saya ingin menceritakan tentang kemampuan adaptasi masyarakat di perkampungan etnis Mandar terhadap pergulatan dan perubahan kebudayaan maritim di sana. Perkampungan tersebut berada di Desa Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Lero berbatasan lansung dengan Kota Pare-Pare. Jarak tempuh Desa Lero dari pusat kota Kabupaten Pinrang, berkisar satu setengah jam (jika menggunakan kendaraan bermotor).
Keberadaan Desa Lero, sebuah perkampungan etnis Mandar yang bertahan dan berkembang sampai sekarang, telah menjadi cerita tersendiri dalam khasanah kebudayaan. Mayoritas warga di Desa Lero ini bekerja sebagai nelayan—seperti yang dikatakan oleh Hilmar Farid, suku Mandar memang dikenal sebagai pelaut yang tangguh. Salah satu laman online: www.melayuonline.com, mengabarkan bahwa interaksi masyarakat Mandar telah menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, antara lain: Berlayar (Paissangang Asumombalang), Kelautan (Paissangang aposasiang), Keperahuan (Paissangang Paalopiang), dan Kegaiban (Paissangang). Masyarakat Mandar memang sangat “dekat” dengan laut, hingga masyarakat Mandar juga memiliki hasil budaya berupa Perahu Sandeq, yang telah menjadi ciri khas tersendiri masyarakat tersebut.
Salah seorang nelayan yang saya temui di Desa Lero, mengatakan bahwa untuk bertahan hidup, saya harus meninggalkan kampung halaman dan berlayar ke Kendari, yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Seortang nelayan yang lain juga berkata bahwa ia harus meninggalkan kampung halaman dan berlayar ke Kendari, membutuhkan waktu sampai lima bulan lamanya. Keputusan tersebut ia ambil, karena ikan-ikan di perairan Kendari, utamanya ikan Tuna, itu besar-besar dan laku di pasaran.
Pada umumnya, para nelayan di Desa Lero ini, akan memulai perjalanan melaut mereka ke Kendari pada saat musim Barat, dan akan pulang kembali ke kampung halamannya pada saat musim Timur. Musim Barat bagi Nelayan Desa Lero, diartikan sebagai kondisi laut di perairan Pinrang-Pare itu sedang tidak cocoknya berlayar dan menangkap ikan, biasanya Musim Barat ini berkisar antara bulan September sampai penghujung akhir tahun Desember.
Artwork Melaut oleh Gunawan Adi
Masyarakat Mandar, yang berlayar ke Kendari akan menggunakan perahu berukuran besar dan menampung perahu kecil. Banyak orang yang ikut dalam aktivitas berlayar ini. Namun tidak semua nelayan Desa Lero ikut berlayar ke Kendari, ada pula yang hanya berlayar di pinggiran laut Lero. Pada umumnya, nelayan ini dikenal sebagai nelayan pancing. Nelayan pancing ini kadang bekerjasama dengan pemilik Rumpon/Rompong. Rumpon merupakan jenis atau alat tangkapan ikan yang dibuat sedemikian rupa agar berbentuk seperti rumah untuk para ikan-ikan, baik itu di laut dangkal, maupun di laut dalam. Rumpon ini akan memudahkan para nelayan untuk mendapatkan ikan, sebab kehadirannya di laut hampir menyerupai batu karang.
Di kala laki-laki dewasa dan bapak-bapak di desa Lero pergi melaut, ibu-ibu juga sangat aktif melakukan berbagai bentuk kegiatan yang dapat membantu keberlajutan hidup keluarga. Ketika saya memasuki perkampungan yang sangat padat ini, hampir setiap lorong terlihat berbagai jualan warga, seperti makanan ringan, somay, minuman-minuman dingin, dan lainnya. Bukan hanya jualan yang ditemui, di Desa Lero, saya juga menemukan aktivitas memproduksi kain tenun asal Mandar. Namun sangat disayangkan, menurut masyarakat setempat, Ibu PKK yang dibentuk untuk mengembangkan usaha tersebut, belum berjalan dengan maksimal. Itu mungkin disebabkan karena faktor kelangkaan alat penenun, pengetahuan dasar untuk menenun hanya sampai pada generasi yang sudah tua, dan sulitnnya mencari pasar dari hasil tenunan ini, kata salah seorang ibu yang saya temui di rumahnya.
Beberapa aktivitas masyarakat nelayan dan juga ibu-ibu rumah tangga di Desa Lero ini, menunjukkan bahwa mereka mencoba bertahan dari istilah menggerus darat, dan melupa pada laut. Apa yang mereka lakukan, bukanlah hal yang mudah. Mereka membutuhkan kerja-kerja berdampingan, saling bertukar informasi tentang area tangkapan ikan, saling merangkul menghadang derasnya ombak.
Terakhir, saya mendengar informasi dari beberapa warga, bahwa di Desa Lero telah didirikan sebuah sekolah kejuruan (SMK) yang khusus untuk pembelajaran tentang kelautan dan perikanan. Tentunya keberadaan infrastruktur pendidikan yang beraroma “laut” ini, bisa menjadi modal kultural bagi para warga Desa Lero, untuk bertahan, beradaptasi, dan berkarya dalam lingkungan kebudayaannya. Sebab, aktivitas melaut, bukanlah aktivitas yang individualistik, tetapi melaut mesti bergotong-royong dan saling bahu-membahu melawan derasnya ombak yang bergerak memunggungi lautan.
Slamet Riadi
Alumni Fakultas Ilmu Budaya Unhas
*sebelumnya, tulisan ini telah dimuat di Zine Seru dari Hulu volume 1
1 note
·
View note
Text
Kepulangan yang Asing
Aku sudah lupa amarah itu. Kecewa dan benci pada kedua orang tua yang sulit kuredam selama enam tahun di pesantren. Besar dan tumbuh di lingkungan yang cukup agamis membuatku tidak pernah ingin menyentuh pesantren. Aku merasa sudah cukup untuk belajar agama. Namun, orang tua berkehendak lain.
Anak kecil tamatan SD tahu apa perihal masa depan? kata mereka. Ah, orang tua tahu apa tentang ekspektasi anak kecil?, gumamku dalam hati. Mimpiku masuk di sekolah formal, sedang orang tua ingin aku paham betul persoalan agama.
Sejak meninggalkan pulau Sulawesi, terhitung tiga belas tahun sudah kujejaki tanah Jawa. Memang tidak menyeluruh, tetapi hubunganku dengan semesta di sini terlalu kuat untuk dipisah. Lebih kuat dari rinduku akan kampung halaman. Kampung tempat kedua orang tuaku menunggu kepulangan anak-anaknya.
Siapa yang tidak betah? Hidup mandiri di kampung orang, menelurkan banyak karya, dan segala iming-iming kemasyhuran dunia. Berkali-kali mereka menyuruhku pulang, setelah dulunya aku dipaksa untuk pergi. Aku bukan anak kecil lagi yang mudah diatur-atur.
Aku pun merasa, entah mengapa, hatiku tidak pernah betah berlama-lama di rumah. Kebiasaan menikmati kopi seperti yang kulakukan di Jawa tidak pernah senyaman itu di sini. Orang-orang hangat yang kutemui di Jawa tidak sehangat itu di sini. Bermalas-malas di rumah pun rasanya sangat membosankan. Aku merasa asing di kampung sendiri. Sesekali pangkuan Ibu menenangkan kepalaku yang ribut, tetapi percuma.
Hatiku tidak pernah benar-benar pulang. Berkali-kali pulang ke rumah, berkali-kali pula ingin bergegas pergi. Aku selalu takut jika pulang tak lagi jadi ingin.
Saya bersyukur dilema yang semakin menjadi membantuku membentuk keniscayaan, bahwa pulang adalah tujuan akhir. Aku tidak ingin anak-anakku nanti seperti aku. Menurutku merantau bukanlah sebuah perjalanan yang bisa dipaksakan setiap orang tua kepada anaknya. Merantau adalah pilihan, bukan paksaan. Merantau seperti berjudi; bisa baik atau menjadi buruk.
Anakku harus banyak-banyak menanam kenangan indah di kampung halamannya. Kupastikan masa kecilnya bahagia, hingga tiba waktu untuk memilih: tinggal atau pergi. Anakku harus sadar betul arti kenang indah. Sebab di perantauan; semua bisa menjelma siapa dan menikmati apa.
Merantau mampu melumatmu dalam zona nyaman yang tak berkesudahan hingga lapuk termakan usia. Jika kau benar-benar tak memiliki kenangan, maka kau tak pernah benar-benar pulang.
Aku sendiri tidak tahu kapan harus pulang. Namun, aku pasti pulang. Aku harus pulang! Aku akan ciptakan pusara yang nyaman untukku di kampung halaman. Kebiasaan-kebiasaan yang membuatku enggan beranjak lagi.
Semua pergi akan pulang, seperti belajar yang harus diuji. Sudah cukup rasanya membangun kampung orang lain. Kampungmu justru menunggu kepulanganmu. Ayahmu mungkin menuntut pertanggungjawaban atas kepergianmu itu. Sedang Ibumu mempersiapkan makanan favoritmu. Maka kita harus pulang. Mengubah yang asing menjadi karib agar kepulangan tidak sekadar vakansi. –
Muhammad Sabiq
Tukang cerita sekaligus pelayan di Malabar Project
2 notes
·
View notes
Text
Menyambut Kota di Desa
Terlahir dalam keluarga petani kelas menengah, menurut saya adalah sebuah berkah. Kami tinggal bersama Kakek dan Nenek serta lima saudara Mama yang lain. Kakek memiliki tanah garapan dan hewan ternak yang besar. Modal yang kami miliki saat itu—yang didapatkan secara turun temurun—bukan hanya menjadi modal berbasis ekonomi, tapi juga menentukan kelas sosial di mana kami berada. Menariknya, walau tanah-tanah itu tahun ke tahun berganti menjadi uang sekolah, uang kuliah Paman dan Bibi, tanah tersebut tidak mengubah status sosial kami hingga kini.
Menurut saya keputusan Kakek yang mengubah tanah-tanahnya menjadi seragam sekolah, hingga gelar sarjana ke enam anaknya, adalah langkah yang jempolan kala itu. Kakek tidak membangun rumah, tidak membeli kendaraan, Kakek justru mengerjakan hal yang jauh lebih besar; menjadikan ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Keluarga kami akhirnya dikenal seperti kalangan cendekia yang punya jawaban atas setiap masalah di sekitar.
Kami selalu berada di titik aman. Para tuan tanah yang tanahnya semakin melimpah, tidak punya otoritas kuasa atas kami. Tepatnya, mereka menaruh segan atas buku-buku juga pengetahuan yang disandang Paman dan Bibi. Namun pengetahuan dari bangku sekolah dan kuliah tidak banyak menjawab gunjang-ganjing dapur Nenek. Paman dan Bibi yang sesekali datang, tidak lagi berniat menggarap sawah dan kebun. Mereka lebih senang membaca dan berdebat. Lalu derap laju roda ekonomi mulai mengunjungi desa.
Kabar gembira mulai terdengar datang dari kota lewat radio, yang kemudian berubah menjadi gambar nyata bernama televisi. Kebahagiaan mulai dirancang seragam. Mimpi-mimpi mulai berubah wujud, mengantar Paman dan Bibi, serta para anak muda berlari meninggalkan tanah, meninggalkan sawah pada mereka yang katanya tidak berani berubah.
Tidak butuh waktu lama, mereka yang berani meninggalkan desa menuai buah yang ranum dan cantik. Mama menjadi guru, Paman dan Bibi juga punya pekerjaan di kota. Begitu pula dengan beberapa anak muda yang mengikuti mereka. Mereka semua berseragam dan terlihat menawan. Ini bukti nyata kemajuan yang diimpikan orang kampung; baju-baju bagus, rumah kayu berganti bata (juga semen atau marmer), jalan raya teraspal, dan sepeda berganti mesin-mesin motor. Semua tiba-tiba semakin menyenangkan.
Desa menjadi ruah gempita layaknya yang kami lihat di kota. Tapi sawah perlahan kering. Kebun-kebun yang ditanami jagung, ubi, cengkeh, coklat, berganti bangunan. Entah toko, entah pabrik, entah sekolah, entah kantor.
Dan, perubahan yang paling besar, terasa oleh kami, anak-anak mereka. Kami menyambut kebahagiaan yang berbeda. Kami tidak lagi menghitung musim, tidak lagi menakar hujan, tidak lagi menangisi kemarau panjang. Kami tidak lagi menyambut musim tanam—di mana kami bebas bercengkrama dengan tanah—apalagi musim panen. Kami tidak lagi menyambut riuhnya suara mesin penggiling padi, lalu mengarak-araknya keliling kampung.
Kami tidak lagi menyambut Kakek dan Nenek yang pulang dari sawah, dan menghabiskan isi rantang nasinya. Kami tidak lagi menyambut Bapak yang pulang membawa sekarung coklat yang kami belah lalu pelintir dan nikmati kelezatannya. Kami tidak lagi menyambut ibu yang membawa biji-biji jambu mete yang sering kami bakar lalu saling menertawai karena gosongnya mengenai wajah. Kami melupakan tanah dan segala yang ia berikan.
Dengan pasti, kami menyambut suara deru motor yang membawa ragam mainan yang membunyikan “kokek-kokek” dari alat di tangannya. Kami menyambut mobil-mobil truk besar yang membawa banyak pasir dan batu untuk bangunan baru. Kami menyambut perantau datang membawa barang-barang canggih. Kami menyambut lebaran dengan baju dan sendal baru. Kami menyambut petugas berseragam datang yang menanyai kami lalu mencatatnya dalam buku. Kami menyambut pembagian-pembagian sembako gratis dengan stiker dan kalender yang memasang foto orang yang sama.
Kami menyambut deretan mobil-mobil mahal yang sesekali datang dan berkunjung dengan orang-orang rupawan bersamanya, membawa dangdutan, membawa orkes sehari semalam, membawa pidato-pidato yang enak didengar dengan bahasa yang sulitnya minta ampun. Kami menyambut hal-hal baru yang semakin lama membuat kami lupa pada tanah dan sawah. Kami menyambut semua yang datang. Bergembira untuk semua pendatang, yang hanya singgah lalu pergi, sembari membawa masa depan kami. Kami lena. Kami malas bergerak. Kami mudah terperdaya. Kami gampang terperangah.
Lalu, saya mengingat dan bertanya, betulkah langkah Kakek yang telah mengubah sawahnya jadi seragam sekolah, jadi seragam kantor, atau jadi gelar sarjana. Atau Kakek menyesal, karena anak-anaknya kebingungan mencari sebidang tanah untuk mengebumikan jasadnya?
*
Harnita Rahman
Ibu Rumah Tangga / Menejer Kedai Buku Jenny
Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam zine Seru dari Hulu volume 1
1 note
·
View note
Text
Merekam Kualitas, Membangun Industri Musik di Kota Makassar
Wawancara Bersama Chapunk tentang Studio Rekaman dan Industri Musik di Kota Makassar
Sepanjang bulan April 2017, saya bersama personil Kapal Udara yang lain harus berkali-kali mendatangi daerah Toddopuli untuk melakukan proses rekaman. Tempat rekaman tersebut sebenarnya tidak persis berada di Jalan Toddopuli, namun “daerah Toddopuli” sering kami gunakan sebagai jawaban saat ada yang bertanya, kalian rekaman di mana?—menjawab Rucs Record saja tidak cukup, karena sudah pasti akan ada pertanyaan susulan: Rucs Record itu di mana?
Di masa mahasiswa baru (maba), saya tinggal di rumah keluarga di daerah Toddopuli (lagi-lagi sebenarnya rumahnya tidak tepat di jalan Toddopuli). Saat masih tinggal di sana, saya selalu membayangkan punya band di Makassar dan bisa membuat album. Namun waktu itu saya pesimis, boro-boro membuat album, membuat band—bagi saya yang perantau ini—adalah hal yang sangat sulit. Akhirnya saya hanya fokus menjalani aktivitas sebagai maba di kampus, sesekali memanfaatkan gitar yang nganggur di koridor untuk melepas dahaga bermain musik.
Ternyata dari perkenalan di kampus, bersama teman-teman sejurusan, justru saya bisa membuat band: Kapal Udara. Di akhir 2016, saya bersama personil Kapal Udara lainnya memutuskan untuk membuat mini album. Keputusan itu disambut baik oleh beberapa teman kami yang siap membantu dan berkolaborasi dalam hal perilisan dan pendanan (kolaborasi ini akan dibahas ke dalam tulisan selanjutnya). Lima materi telah kami siapkan saat itu. Namun yang menjadi pertanyaan, di mana Kapal Udara akan rekaman?
Dunia rekaman adalah dunia asing bagi para personil Kapal Udara. Kami tidak tahu banyak tentang tempat recording di Makassar. Sampai akhirnya saya mendengar nama Chapunk saat menyimak program the Awsomer Revius. Chapunk, (nama lengkapnya Abdul Chaliq) bekerja sebagai sound engineer, kadang merangkap jadi mastering engineer, juga live soundman. Sekarang ini ia fokus di bidang audio recording di studionya, Rucs Record. Setelah mencari tahu banyak hal tentang Chapunk, akhirnya Kapal Udara bersepakat untuk rekaman di sana.
Sejak pertemuan awal, hingga rekaman mini album Kapal Udara selesai, kami mendapatkan banyak pelajaran dari Chapunk. Untuk itu, tulisan ini dibuat agar pelajaran tersebut, setidaknya bisa kami sebar. Tulisan ini merupan obrolan singkat saya bersama Chapunk.
Sebagai personal dan personil Kapal Udara, kami berterimakasih kepada Chapunk dan orang-orang yang telah menggeluti dunia Sound Engineer . Menurut kami, panggung depan diciptakan oleh orang-orang yang bekerja di baliknya. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita terhadap pekerjaan sound engineer dan perihal apa yang mereka pikirkan.
Selamat membaca!
***
Bisa ceritakan proses yang dilaui sampai bisa menjadi sound engineer?
Kalau proses awal sampai bisa jadi sound engineer , itu awalnya, saya penasaran bagaimana caranya merekam. Karena pada waktu itu, sekitar tahun 2010, saya mau produksi album band saya sendiri.
Saya cari tahu di internet, belajar otodidak sekitar setahunan. Sampai akhirnya mentok, dan saya berpikiran bahwa, sepertinya untuk tahu lebih dalam, saya harus sekolah. Akhirnya di tahun 2012 akhir, menjelang tahun 2013 saya ke Jakarta untuk sekolah sound engineer.
Terus, bagaimana ceritanya Rucs Record sampai bisa terbentuk?
Jadi waktu sepulang dari Jakarta, awalnya Rucs record itu belum punya studio (bangunan tersendiri), jadi proses produksi itu ada di kamar saya, di rumah. Ya itu sebelum Rucs Record jadi seperti yang sekarang ini (bentuknya). Jadi dari kamar, kumpulkan duit, dari klien, dari recording, mixing, mastering, sampai kerjain musik film, scoring, jual-jualin sound effect, sampai akhirnya punya bangunan (studio) sendiri.
Memang butuh perjuangan besar di’? Tapi ngomong-ngomong, kau punya sosok yang menginspirasi dalam membuat record studio dan menjadi sound engineer?
Saya terinspirasi sama guru saya sewaktu sekolah kemarin, namanya Agus Hardiman. Karena dia, saya jadi berani untuk hidup di dunia recording, seperti yang saya jalani sekarang.
Kenapa bisa?
Pertama, karena saya itu belajar audio sama dia waktu di sekolah, waktu di Jakarta. Awalnya kan belajar audio hanya karena saya mau tahu bagaimana cara produksi musik sendiri, supaya bisa produksi albumku sendiri. Tapi karena dia—kalau saya lihat dia orangnya itu betul-betul, hampir bisa dibilang, semua kehidupannya itu dari audio. Dari menulis buku, mengajar, recording. Pokoknya semuanya tentang audio lah. Jadi dia hidup betul-betul dari audio. Makanya saya terinspirasi sama dia.
Bicara soal Rucs Record, ada tahap-tahap yang paten kah, yang diterapkan Rucs Record dalam melakukan proses recording?
Kalau tahap-tahap produksi di Rucs Studio itu, yang pertama saya harus tahu materi lagunya seperti apa dulu, komposisinya bagaimana—baik dari segi instrumen, karakter sound yang diinginkan.
Setelah itu kita harus melakukan pre produksi, atau bahasa kotornya sih, anak-anak sering bilang “rekaman kotor” dulu. Setelah rekaman kotor, semua filenya dibawa pulang sama si band, didengar kembali, dikoreksi kembali: kalau ada perubahan tempo, pengisian lirik, maupun nada yang harus diubah atau apalah. Kemudian bila catatannya telah fix (apa saja yang harus diubah), baru kita melakukan recording yang sebenarnya.
Terus, yang berbeda (dari tempat recording lainnya), saya menerapkan sistem perlagu dalam rekaman, bukan per shift. Ya alasannya karena itu tadi, saya butuh pre produksi dulu. Setelah pre produksi, dan setelah bahannya berhasil direcord (masuk ke tahap produksi), saya harus kumpulkan mood dulu, untuk memixing lagu tersebut. Makanya kayak Kapal Udara kemarin sampai berbulan-bulan pengerjaannya. Alasannya karena, pertama, klien menumpuk, dan ke dua, karena saya harus kumpulan mood dulu, biar hasilnya maksimal.
Bagaimana proses mengumpulkan mood?
Tergantung materi lagunya sih. Kalau misalkan dia folk atau klasik kan cocoknya (suasana) alam. Jadi biasanya saya “keluar” sebelum mixing, biar lebih dapat feelnya. Kalau metal-metalan, biasanya sambil nonton film action atau war. Pokoknya tergantung lagunya lah.
Terus, ngomong-ngomong ini bro, Rucs Record punya standar dalam menerima klien? Kalau ada, apa saja?
Dulunya memang saya pasang standar untuk menerima klien. Standarnya itu: saya dengar materi lagunya dulu, kalau saya senangi, saya terima. Tapi kalau tidak ya saya tolak.
Tapi itu dulu, sebelum saya menikah. Dan setelah menikah, semua yang masuk, biasanya sih saya terima yang penting jadwalnya tidak ada yang tabrakkan. Tapi bedanya, kalau (klien) yang saya senangi, itu harganya dapat harga normal. Tapi kalau (klien) yang saya tidak senangi, itu biasanya harganya jauh lebih mahal. Saya pasang harga mahal sih sebenarnya (merupakan) bentuk penolakan secara halus.
Hehehe, karena tidak enak menolak ya? Selama bekerja di Rucs Record, adakah pengalaman yang menarik yang bisa diceritakan?
Kalau pengalaman menarik, apa di’, hahaha bingung ka dipertanyaan ini. Karena semua proses rekaman di Rucs Record itu menyenangkan ji. Kalau tidak menyenangkan, biasanya saya cancel. Oke skip! Hahaha.
Terus, kau punya proyekan lain selain Rucs Record? Kalau punya, apa saja?
Kalau proyek lain di luar Rucs Record, sekarang saya sama teman-teman sedang menjalankan production house (PH) di bidang audio visual. Namanya Resolusi. Kontennya tetap musik dan skena indie, serta pergerakan-pergerakan yang ada di Makassar. Oh ya, selain Resolusi, sekarang saya (juga) lagi fokus sama band Firstmoon.
***
foto: www.instagram.com/_acdp
Bisa cerita soal proses pengerjaan mini album Kapal Udara “Seru dari Hulu”?
Pembuatan mini album Kapal Udara itu termasuk rumit dan berliku-liku, karena Kapal Udara satunya-satunya klien yang saya temani pergi hunting gitar. Hahahah. Terus proses rekamannya sempat tertunda karena saya memutuskan untuk menikah. Akhirnya Rucs Studio harus berhenti dulu selama sebulanan kalau tidak salah, dan proses produksi mini album Kapal Udara dilanjutkan setelah saya pulang honey moon.
Nah setelah proses produksi selesai, ternyata masih ada masalah lagi: Kau datang ke studio mengkomplain hasil masteringnya. Katanya pecah. Tapi setelah saya cek ternyata bukan masteringnya yang pecah, tapi pemutar multimediamu itu settingnya over, begitu kan? Hehehe. Tapi selebihnya aman.
Hahahaha, maklum ya, newbie. Terus apa pendapatmu tentang Kapal Udara, baik dari segi musikalitas maupun teknis?
Kalau tentang musikalitas Kapal Udara, kalau dari sudut pandang saya pribadi, secara musikalitas itu tergolong unik, mulai dari pemilihan nada, penulisan lirik, sampai pemilihan sound itu, termasuk unik.
Kalau dari segi teknis, mungkin karena Kapal udara ini masih baru, masih muda-muda, masih berbahaya, hehehe. Jadi untuk teknis sepertinya anak Kapal Udara harus lebih belajar lagi. Walaupun kalian memainkan musik akustik, gitar akustik, kalian harus sadar akan teknologi, biar tidak ketinggalan nantinya, begitu.
Wah, pokoknya Kapal Udara punya PR lah. Hahahaha. Terus kalau bicarakan musik Makassar secara umum, apa pendapatmu soal skena musik Makassar sekarang ini?
Ee kalau dari sudut pandang sebagai sound engineer, tentang skena musik di Makassar, tentang band-band indie di Makassar, pertama ya, seperti yang mungkin diketahui oleh semua band: “kita masih mengotak-kotakkan diri”. Masih banyak visi-misi yang berbeda. Masih kurang edukasi.
Dan rata-rata, atau sebagian besar, kalau saya lihat, belum banyak yang sadar industri (musik) di Makassar atau di Sulawesi belum sepenuhnya terbentuk. Jadi, belum ada industri. Semua masih berpatokkan di Jawa. Di Jawa, di Jawa, di Jawa. Kenapa harus di Jawa? Kenapa tidak bikin industri saja di Makassar? Nah itu dia, karena kurang edukasi, kurang ngumpul-ngumpul sesama band kayaknya. Kurang lebih seperti itu.
Oh iya lupa, rata-rata band, ketika ke Rucs Record, (setelah) saya lemparkan harga, mereka selalu berkata kalau harga yang saya pasang itu mahal. Tapi suatu saat nanti mereka bakal sadari kalau harga yang saya pasang itu, ketika industri makassar sudah jadi, itu sudah termasuk harga yang paling murah. Untuk sekarang masih mahal karena industri belum ada. Intinya itu dia, band-band di Makassar belum sadar tentang pentingnya kita bangun pasar di sini.
Tapi, sebelum jauh membahas soal membangun pasar/industri sendiri, menurutmu kelebihan dan kekurangan band-band di Makassar itu apa saja?
Kelebihan band-band di Makassar itu punya banyak genre. Banyak materi band yang bagus-bagus. Musikalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Tapi Kekurangannya itu lebih ke edukasi, dan seperti yang dibahasakan sebelumnya, terlalu fokus sama Jawa. Masih banyak yang berpikiran bahwa titik sukses itu ketika kita bisa main di Jawa. Padahal kita bisa bikin industri kita sendiri di sini. Ya saya tidak bisa berbicara banyak. Ya saya tidak bisa berbicara banyak, ya (singkatnya) untuk sekarang, di Makassar itu kita masih perlu banyak membuat pergerakkan. Khususnya untuk membuat industri.
Menurutmu, apa yang langkah kecil untuk membangun industri musik di Makassar?
Kalau berbicara tentang ini, kayaknya agak kompleks deh jawabannya. Ya kalau hal kecil, kan sebenarnya bisa kita lakukan dari diri ta atau lini ta masing-masing.
Contoh kayak saya di lini produksi, saya semaksimal mungkin, saya tidak bilang bagus nah. Tapi maksudnya semaksimal mungkin, saya usahakan untuk membuat dan menghasilkan produksian yang layak di jual: itu jawaban yang saya kasi kalau ditanya ka apa pergerakan yang saya buat.
Terus (yang kedua) serealistis mungkin. Jadi saya pasang harga untuk produksi itu serealistis mungkin. Itu sebagai bentuk support juga buat band yang punya potensi untuk ciptakan industri musik di Makassar atau Indonesia Timur lah. Jadi itumi kenapa saya selektif (dalam menerima klien). Supaya lebih cepat ki prosesnya tercipta industri musik. Nah Itu hal kecil yang saya lakukan.
Terus kalau langkah besarnya, menurutmu apa yang bisa kita lakukan?
Nah kalau hal besar, kompleks sekali sih. Maksudnya, hal itu harus kita lakukan bersama-sama. Bukan cuma perorangan. Memang harus kompak semuanya. Nah itu kalau saya lihat kondisi Makassar sekarang, kayaknya masih susah untuk dilakukan. Kenapa saya bilang susah, karena kita selalu kembali menghadapi masalah inti: budget (pendanaan).
Ya realistis lah, kita kalau mau bikin pergerakan pasti butuh budget. Dan sampai sekarang belum ada suatu wadah yang bisa membiayai itu semua. Kalau untuk biaya produksi sih banyak mi. Banyak mi yang mau biayai produksi band. Banyakmi yang mau biayai tur band. Tapi sebenarnya bukan cuma sampai di situ, banyak hal-hal lain yang harus kita perhatikan. Intinya kompleks lah. Kayaknya agak berat kalau saya jawab ini. Takutnya nanti kesannya hanya teoritis ji.
Sebenarnya ada (pergerakan) yang sedang saya lakukan sama anak-anak. Saya nda mau dulu publish, nanti pasti saya akan ajak anak-anak Kapal Udara dan band yang lain untuk membicarakan apa yang harus kita lakukan untuk membangun industri.
Bukanji teoriku sih. Tapi kita ngumpul dulu semua, terus kita bicara lebih jauh lagi apa yang kita butuh. Kita ngumpul dan sama-sama membicarakan lebih dalam kebutuhan ta. Kita ajak semua pelaku industri kreatif, khususnya di bidang musik di Makassar. Intinya kita kumpul dululah, dan bicarakan bersama-sama, mengeluarkan semua ide yang ada di kepala. Mungkin itu ji.
Asikkeh. Pasti teman-teman tidak sabar menunggu. Okey, terakhir, sebagai sound engineer, ada saran untuk band-band di Makassar?
Saran-saran saya untuk Kapal Udara dan band-band yang ada di Makassar, selain fokus membuat karya, harus lebih fokus juga (berpikir) bagaimana cara menghargai karya tersebut.
Secara realistis sih, kalau dari sudut pandang saya, sangat disayangkan ketika kalian membuat karya-karya bagus tapi tidak dipromosikan secara bagus. Band-band di Makassar juga masih kurang mendokumentasikan setiap kegiatannya, padahal itu untuk zaman sekarang, itu sangat penting. Masih banyak band-band yang tidak mengaktifkan Youtube-nya, masih sekedar di Instagram, padahal Youtube, untuk masa sekarang, adalah barometer bagi band-band luar untuk mengetahui apa saja yang kita lakukan di Makassar.
Dan masih banyak sebenarnya, yang harus diperhatikan, tapi intinya: jangan cuma fokus untuk proses berkarya, tapi fokus juga bagaimana caranya kita menjual karya yang sudah kita buat.
*
Saleh Hariwibowo
0 notes