Text
Bandung, 31 Oktober
*Keluh kesah ini seharusnya sudah dipublish sesuai dengan tanggal di judulnya, tapi karena aku sedang merawat kebodohan maka terlupakan begitu saja. Mari kita mundur beberapa hari ke masa lalu*
Jika kalian berkenan saat membaca tulisan ini dengarkanlah lagu Samsons - Kisah Tak Sempurna. Ulang - ulang saja sampai kalian selesai membaca dan sambil mengimajinasikan seolah - olah setiap kalian membaca kalian mendengarkan suaraku yang sedang membacakan kata demi katanya untuk kalian.
Puncak dari rasa malas adalah berhentinya pemikiran. Bukan pikiran. Kawanku berkata bahwa banyak pikiran dengan banyak pemikiran adalah dua hal yang berbeda, meskipun berasal dan diproses oleh otak yang sama.
“Pikiran mah kosong, Ssey. Tapi pemikiran mah ngalibatkeun emosi” ucapnya dengan logat Sunda yang khas dan masih tetap memanggilku dengan panggilan nama belakang bapakku. Tenang saja, bapakku bukan Morissey.
Ah, aku hampir lupa. Hari ini, sesampainya di bandara aku sangat ingin sekali mengunjungi parkiran dekat Lapangan Gasibu. Terpapar hawa panas Surabaya selama 3 hari membuat jalan nafasku macet. Ingin rasanya menghirup asap knalpot motor 2 tak yang sering berseliweran di sekitaran Gasibu. Kebetulan istriku sedang dinas luar kota dan anakku sedang asyiknya bercengkrama dengan neneknya, kuputuskan untuk membeli tiket Primajasa. Ya, Bandung. Tapi sebelumnya tak lupa kubeli dulu tiket HIBA. Untuk spj transport perdin.
“Lumayan 80 ribu” batinku.
Bus berangkat tepat pukul 10.00 WIB dari Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Sangat random memang. Tapi terkadang ke-random-an itu harus kita tuntaskan, karena ia muncul dari pikiran - pikiran yang terbenam jauh di alam bawah sadar.
“Nya maneh pan kadang aya gelo - gelo na” begitulah kira-kira tanggapan kawanku ketika kukabarkan bahwa aku sudah dalam perjalanan menuju Bandung.
Kami bersepakat bertemu di sekitaran Gasibu, dekat Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Tepatnya di PSY Steamboat di belakang Unpad Dipatiukur. Agak jauh memang dari monumen, tapi tidak harus sampai naik Gojek, bisa jalan kaki.
Pukul 13.43 WIB bus yang aku tumpangi keluar tol Pasir Koja. Aku meminta diturunkan di sekitar terminal Leuwi Panjang, agar mudah mengakses Dipatiukur dengan menggunakan Grabcar yang ternyata tarifnya mahal. Sebenarnya aku sudah sangat lapar tapi kutahan saja karena kawanku itu sudah janji akan mentraktirku. Kebetulan hari ini Senin dan dia sedang puasa, tapi karena aku datang jadi dia akan membatalkan puasanya karena dia akan mentraktirku. Sangat beradab sekali kawanku ini.
Aku sampai lupa. Kawanku ini tidak bekerja, dia hanya memanfaatkan kekayaan orang tuanya saja. Kerjanya hanya meneruskan apa yang sudah terlebih dahulu dikerjakan oleh orang tuanya. Di pun tak lulus kuliah. Hanya sampai SMK saja saat dulu aku kuliah di Jatinangor. Namun, saat ini dia sedang kuliah S2 di UI. Luar biasa. Aku pernah bilang padanya untuk menitipkan Umay karena dia mau masuk UI, tapi kawanku bilang lebih baik masuk ITB. Padahal maksudku lewat jalur belakang, tidak paham sekali ilmu – ilmu nepotisme si kawanku ini.
Aku sampai di PSY Steamboat. Memesan rebusan dan bakaran. Temanku masih belum datang. Whatsappku padanya ceklis satu.
“Diprank ini pasti. Jancuk” umpatku kesal.
Ternyata tidak. Dia akhirnya datang. Masih dengan setelan pegawai kantor bapaknya. Inner dress hitam tanpa lengan yang senada dengan jilbabnya, dibalut jaket jeans lusuh yang kutaksir pasti sudah lebih dari 2 tahun tidak dicuci, sepatu kets merek Ventella -yang juga dia rekomendasikan kepadaku untuk kegiatan GNEJ- dan tentu saja tas ransel Fjallraven Kanken klasik warna kuning terangnya yang sangat menyilaukan mata.
Oke, sebentar. Biar kutebak. Kalian pasti mengira kawanku ini seorang laki – laki kan, lalu kaget dan di dalam hati berucap kurang lebih seperti ini, “ohh perempuan, kirain laki-laki” atau “hah ? perempuan”. Aku masih heterogen.
Apakah istriku cemburu ? Tentu saja tidak, karena dia tidak tahu. Mungkin setelah membaca postingan ini dia tahu, lalu cemburu. Semoga saja tidak. Kalaupun iya juga tidak apa – apa, karena sudah sepantasnya begitu jika dia mencintaiku. Begitulah cinta. Ah, kapan – kapan kita bahas ini.
Wajahnya masih manis, semanis waktu dia SD dulu. Ditambah potongan rambut sebahu dan kacamata bulatnya menambah kesan manis itu lebih manis lagi hingga aku giung. Tapi ternyata aku pun tidak ingat semanis apa dia waktu SD dulu.
“Oke, apa yang mau dikeluh kesahkan?” sergahnya tanpa ba-bi-bu atau duduk dulu.
Sebenarnya kami berbicara dalam Bahasa Sunda, tapi untuk menjadikannya lebih rumit tadinya mau kuterjemahkan saja ke Bahasa Inggris, tapi lebih baik ke Bahasa Indonesia saja. Merdeka!.
“Orang kalau ada adabnya itu bertanya kabar dulu” ucapku.
“Orang beradab mana yang di hari Senin pagi tiba – tiba nge-WA ngasih tau udah di jalan mau ke Bandung” jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Ya, kira – kira di A atau G lah.
“Orang gila” lanjutnya seraya mengambil teh mansiku lalu menyeruputnya.
“Lah, katanya kamu….”
“Udah batal daritadi gara-gara kamu”. Kemudian dia duduk dan memesan jus jeruk.
Kuceritakan padanya semua keluh kesahku selama satu bulan ke belakang. Semua. Hampir semua, tepatnya. Tentu saja urusan kantor yang paling banyak. Dia memang sering menjadi “tempat sampah” pikiranku. Bedanya adalah jika kebanyakan “sampah” biasanya dibuang atau dibakar orang, tapi dia tidak. Dia mendaur ulangnya menjadi sesuatu yang masih bisa dimanfaatkan meski nilai kemanfaatannya tidak sebanding dengan proses daur ulangnya.
“Kerja di tempatku aja. Minimal jadi tukang bikin laporan lah. Ketemu – ketemu orang doang. Rapat-nego-rapat-nego. Gampang” katanya coba menawarkan solusi yang bukan solusi.
“Jadi abdi negara itu mengabdi, bukan melayani. Kan abdi, bukan pelayan. Percuma aja kamu idealis – idealis gak jelas, sama duit takluk juga” lanjutnya menghakimiku.
Ohhh Laras, seandainya kau sudah kawin, lalu punya anak. Tapi aku yakin uang bukan hal yang berat untukmu. Mungkin memang karena aku saja yang lemah, terlalu malas dan selalu bersembunyi di “belakang panggung”. Tapi bukankah itu yang sering kau katakan padaku. Orang – orang penyendiri seperti kita bukannya lebih baik berada di “belakang panggung”. Di tempat ternyaman kita. Sendiri. Sepi. Dingin.
“Puncak dari rasa malas adalah berhentinya pemikiran. Bukan pikiran. Pikiran itu kosong, Ssey. Tapi pemikiran itu melibatkan emosi” ucapmu dengan logat Sunda yang khas.
Aku tidak mengerti. Kau mengedarkan pandangan mengelilingi tempat kita makan. Seolah sedang mencari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah hilang.
“A, jus jeruknya satu lagi” teriakmu. Ternyata aku berpikir terlalu jauh.
“Tiap – tiap apa saja yang melibatkan emosi, melibatkan perasaan, pasti memiliki nilai dan akan sempurna kalau kamu melibatkan pikiran juga. Bekerja tanpa menikmati apa yang kamu kerjakan pasti akan terasa sangat melelahkan. Di dalam “menikmati” itulah kamu melibatkan emosi” ucapmu sambil menatapku dengan penuh harap aku mengerti apa yang kau maksud.
Sejak kapan kau jadi begitu bijak. Seingatku sejak pertemuan terakhir kita 8 tahun lalu kau masih seorang perempuan yang melankolis. Apakah waktu yang menempamu ? atau keadaan yang merubah cara berpikirmu ?
Sore itu tiba – tiba saja Bandung diguyur hujan. Petrichor. Membangkitkan kenangan. Ah, sial.
“Aku bawa mobil” ucapmu memecah puzzle memori yang sedang kucoba susun kembali.
“Ke Bogor kah ?” tanyaku memastikan.
“Ya, sebentar lagi Desember. Kemana lagi aku harus pulang jika ingin menikmati hujan. Besok mau ngajuin sidang tesis”.
“Baiklah si paling Efek Rumah Kaca. Duluan” ucapku sambil menyerahkan rincian pesanan lalu meninggalkannya menuju mobil.
Pukul 19.38 WIB kami meninggalkan PSY Steamboat untuk menuju Bogor. Kota Hujan. Sepanjang perjalanan kami menuju Bogor hujan tidak juga reda. Aku bergantian dengan kawanku mengendarai mobil. Ternyata fisikku tidak setangguh dulu. Mungkin karena beban di pundak yang semakin lama semakin menumpuk. Sepanjang perjalanan hanya lagu Efek Rumah Kaca yang diputar. Aku tersadar besok adalah tanggal 1 November.
“Harus ke Asahan pula” batinku dengan sedikit menghirup nafas lalu menghembuskannya ke udara. Membiarkannya bercampur dengan asap Dji Sam Soe di tanganku yang sudah habis terbakar setengah.
6 notes
·
View notes
Text
Biar Kekinian
Akhir - akhir ini banyak sekali orang -orang bersepeda. Olahraga supaya sehat katanya. Tapi sepedanya harus mahal dan bagus, supaya kalau difoto tidak malu-maluin.
Wajar, menurutku. Mungkin selain ingin terlihat sehat raganya, juga ingin terlihat sehat kemampuan finansialnya. Apalagi di tengah - tengah masa pandemi seperti sekarang ini. Dimana ribuan bahkan mungkin sampai jutaan orang saat ini tidak memiliki pendapatan yang tetap setiap bulan, atau bahkan setiap harinya seperti masa - masa sebelum pandemi. Di satu sisi masih ada orang - orang yang mampu memiliki hobi/kegiatan yang tidak menjadi masalah besar untuk urusan saldo rekeningnya.
Dengan rasa penasaran, kuberanikan diri mengayuh sepeda dari Depok menuju kantorku di bilangan Thamrin Jakarta Pusat. Bukan untuk olahraga agar sehat. Hanya penasaran ketika aku bertemu dengan orang - orang yang bersepeda selama perjalananku, apa benar orang - orang itu bersepeda untuk berolahraga dan menjadi sehat, atau hanya supaya kekinian dan ada tujuan lain.
Pukul 07.00 WIB aku berangkat dari rumah. Rumahku berada di dekat Stasiun Depok Lama. Dari aplikasi Google Maps, jarak dari rumahku ke kantor sekitar 29 km, yang biasa kutempuh kurang lebih selama 1 jam 30 menit menggunakan sepeda motor. Kuberanikan diri menggunakan sepeda hanya untuk memenuhi rasa penasaran. Seberapa banyak orang bersepeda yang akan aku temui selama perjalananku dari Depok menuju Jakarta Pusat.
Sepedaku hanya sepeda biasa dengan beberapa perpindahan gear yang dapat meringankan dan memberatkan kayuhannya . Aku membelinya dulu sekitar bulan Oktober tahun 2018. Jauh sebelum Covid-19 menyerang. Tapi sepeda itu tergeletak begitu saja dan hanya beberapa kali dipakai bersepeda mengelilingi kampus impian sejuta adek - adek SMA/MA/SMK atau yang Sederajat, Universitas Indonesia. Untung dulu aku tidak jadi membeli jaket "We Are Not The Yellow Jacket", bisa - bisa aku diblacklist masuk UI.
Tigapuluh menit bersepeda belum juga kutemui orang - orang yang bersepeda sepanjang perjalanan. Mungkin karena ini hari Sabtu, pikirku. Aku berhenti sebentar di pinggir jalan. Meneguk air bercampur madu yang kubawa dari rumah.
Capek. Itu yang kurasakan. Bagaimana orang bisa kuat bersepeda lama - lama dengan jarak yang cukup jauh, pikirku.
Tak berapa lama kulanjutkan kembali perjalanan. Memasuki daerah Jagakarsa aku mulai menemui beberapa pesepeda. Tapi ada yang aneh menurutku. Mereka bergerombol, memakai pakaian lengkap seperti pesepeda profesional yang sedang berlomba dengan helm dan kacamata yang terlihat mahal. Juga merk sepeda yang kutahu harganya sangat mahal. Brompton. Mengapa aneh ? karena menurutku kita tidak sedang berlomba, mungkin memakai pakaian training juga cukup dan ini masih pagi, sepi, matahari baru naik sedikit. Apa tidak gelap memakai kacamata hitam seperti itu ? Mungkin supaya gaya, pikirku.
Tidak dua atau tiga, tapi delapan. Delapan orang bersepeda berjejer hingga ke tengah jalan. Sesekali mereka diklakson oleh pengendara mobil dan motor yang ingin menyusul. Aku yang sedari tadi di belakang mereka ingin menyusul tapi agak malu. Karena sepedaku hanya sepeda murah, rantainya sdh mulai berkarat, penuh debu dan lumpur juga tidak bisa dilipat pula. Jadi kuputuskan untuk tetap berada di belakang sembari memperhatikan gerak - gerik mereka.
Setelah sampai di daerah Cilandak, tepatnya dekat IPDN Cilandak, kulihat mereka berhenti. Duduk - duduk berfoto - foto. Menjejerkan sepeda mereka lalu berfoto dengan bermacam gaya. Hmmm... mungkin untuk dokumentasi sebagai lampiran laporan supaya terlihat banyak, pikirku. Tak berapa lama kudahului mereka. Saat menyusul mereka tak sengaja kulihat salah seorang dari mereka menunjuk ke arahku, diikuti dengan pengalihan pandangan yang serentak dari rekan - rekannya yang lain. Kupikir karena setelanku keren. Tapi orang itu menunjuk sembari diikuti tawa oleh rekan - rekannya yang lain.
Apa ada yang salah ya ? pikirku. Tapi aku tidak menghiraukannya. Mungkin mereka agak aneh melihatku bersepeda menggunakan baju kaos, tanpa helm, menyandang tas ransel, memakai celana jeans dan sepatu kets.
Kulanjutkan perjalanan melewati daerah Antasari, Blok M, hingga sampai di bilangan Senayan. Mulau dari sini sudah sangat banyak kutemui orang - orang bersepeda. Mulai dari sepeda yang sama denganku, hingga sepeda - sepeda aneh dengan ban kecil tapi dapat melaju dengan cepat.
Sebenarnya aku tidak terlalu paham dengan jenis - jenis sepeda. Yang kutahu sepeda ada 2. Sepeda anak - anak dan sepeda dewasa. Tapi di Senayan, kulihat banyak orang menggunakan sepeda kecil dengan ban kecil seperti sepeda anak - anak tapi yang mengendarai orang dewasa. Mungkin sepeda mahal, lebih mahal dari Brompton, pikirku. Karena yang kutahu sepeda yang mahal hanya Brompton.
Tak berapa lama aku sampai di Bundaran HI.
"Gila". Kata pertama yang spontan keluar dari mulutku ketika sampai di Bundaran HI.
Trotoar yang dekat dengan Hotel Indonesia penuh sesak dengan orang dan sepeda. Berjejer dari ujung trotoar Hotel Indonesia hingga ke depan halte Plaza Indonesia. Kegiatan mereka ya duduk - duduk. Foto - foto. Ada juga beberapa yang sepertinya melanjutkan kegiatan bersepedanya ke arah Monas.
Begitu pun denganku. Kulanjutkan perjalan menuju kantor. Sesampainya di kantor aku merasakan haus dan pantatku terasa nyeri.
Jam menunjukkan pukul 09.33. Dua jam tigapuluh menit. Perjalanan dari Depok ke Jakarta Pusat. Tentu saja aku sangat sering berhenti. Selain karena haus tapi juga lelah. Tapi, rasa penasaranku terjawab. Naik sepeda ke kantor sangat melelahkan.
Aku berada di kantor hingga pukul 4 sore, dan aku harus kembali pulang ke rumah. Tapi yang sempat membuat mentalku jatuh adalah aku harus kembali bersepeda selama 2 jam 30 menit menuju rumah.
"Bangsat" umpatku.
Hanya karena rasa penasaran malah jadi seperti ini. Dulu juga pernah seperti ini. Mentalku pernah jatuh saat pertama kali mendaki gunung tapi tidak sampai - sampai ke puncak. Tapi dulu berbeda, masih ada rekan - rekan yang selalu saling memberi support sehingga aku dapat bersemangat kembali dan akhirnya sampai di puncak, meskipun dengan keadaan yang sangat lelah dan kedinginan. Tapi sekarang berbeda.
Kukumpulkan niat. Semangat. Kuberanikan diri untuk pulang. Mungkin lebih tepatnya terpaksa pulang, karena tidak mungkin aku menginap di kantor, besok hari Minggu.
Kukayuh sepedaku. Aku mengambil rute yang berbeda saat pulang, karena jalan yang aku lewati saat pagi pasti macet di sore hari.
Pantatku masih terasa sakit. Sehingga aku lebih banyak berdiri saat mengayuh sepeda daripada duduk di sadel. Tentu saja aku tetap berhenti untuk beberapa kali. Tapi ada momen berhenti yang membuatku merasa aku telah lupa diri, peanut forget its skin.
Jadi aku mengambil jalur Rasuna Said hingga ke Mampang dan terus lurus hingga tembus di Ragunan, kemudian keluar di dekat St. Univ Pancasila dan aku menyeberang ke jalur sebelah, sehingga aku berada di jalur Lenteng Agung yang mengarah ke Kelapa Dua dan Margonda. Kemudian aku mengambil arah Margonda, lurus hingga sampai di depan Stasiun Depok Lama. Di Stasiun Depok Lama aku memilih jalur gang yang berada di sekitar stasiun hingga tembus ke Hutan Cagar Alam, dan 5 menit dari Hutan Cagar Alam aku sudah sampai di rumah.
Saat sampai di bilangan Rasuna Said, tepatnya di jembatan sebelum kantor KPK, aku berpapasan dengan abang - abang yang menjajakan minuman seperti kopi, Nutrisari dan rokok yang menggunakan sepeda. Orang - orang kantorku biasa menyebut mereka Starling, Starbucks Keliling.
Aku langsung teringat almarhum ayahku dulu. Setiap hari dia berangkat kerja menggunakan sepeda. Kadang dia kehujanan, kepanasan hingga berkali - kali diklakson oleh pengguna motor dan mobil. Lima tahun ia pergi bekerja menggunakan sepeda. Bukan untuk gaya - gayaan atau untuk olahraga agar sehat, tapi memang itu alat transportasi yang ia gunakan.
Begitu pun denganku dulu, bersepeda ke sekolah semasa SMP. Naik angkutan umum dan berjalan kaki saat SMA dan berjalan kaki dari kosan ke kampus saat kuliah, karena memang tidak begitu jauh.
Tiba - tiba terflashback.
Aku merasa tertohok melihat abang - abang Starling yang berjualan menggunakan sepeda. Meskipun sebenarnya masih banyak orang dengan usaha - usaha lainnya yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi atau alat kerjanya. Tapi entah mengapa saat itu aku merasa tidak enak hati sekaligus malu.
Setelah lampu merah dekat kantor KPU yang mengarah ke Rasuna Said ada tanjakan yang cukup terjal. Dari jauh sudah kulihat abang - abang Starling menuntun sepedanya melewati jembatan.
"Mungkin capek" pikirku.
Tapi kuperhatikan lebih dekat lagi ketika aku menyusulnya aku baru sadar. Ternyata sepedanya tidak memiliki "gigi" tidak seperti sepedaku atau sepeda orang - orang yang kutemui di sekitaran Senayan dan Bundaran HI. Bukan juga sepeda mahal tidak ber"gigi" dengan ban kecil yang dulu sangat populer di kalangan anak muda. Tapi sebuah sepeda tua, yang mirip sepeda perempuan. Aku bingung menggambarkannya. Jadi dulu ada model sepeda yang ada boncengan di belakangnya dan ada keranjang di bagian depannya di dekat stang di atas roda depan. Nah, sepeda itu yang kumaksud.
Abang - abang Starling menuntun sepeda melewati jembatan yang cukup terjal. Di belakangnya tergantung berbagai macam merk dan jenis kopi juga sebuah kotak yang kutebak mungkin isinya es batu atau minuman dingin. Di keranjang depan sepedanya ada 2 termos air panas, beberapa botol air mineral ukuran 1,5 liter, dan gelas plastik.
Kulewati abang Starling.
Kuteriakkan "Duluan bang". Dia membalas dengan bel di stang sepedanya.
Setelah menuruni jembatan aku berhenti di halte seberang kantor KPK. Capek. Haus. Tapi sengaja aku tidak minum. Kutunggu abang Starling lewat.
"Pulang bang" sapa abang Starling ketika berhenti di depanku.
"Iya, ada minuman dingin ?" tanyaku.
"Nutrisari ?"
"Boleh deh, tapi kesini aja bang" kataku seraya menyerahkan botol minumku.
Abang Starling menuangkan sebungkus nutrisari kedalam botol minumku lalu menambahkan beberapa es batu yang mungkin sudah dia pecahkan menjadi potongan - potongan kecil sebelumnya.
Kuberi uang 10 ribu tanpa meminta kembalian. Untung abangnya mau. Kutanyakan dia darimana, ia jawab dari Monas. Karena sudah mulai malam dia mulai berjualan di daerah - daerah perkantoran yang biasanya banyak yang kerja sampai malam. Langganannya tentu saja para Satuan Pengamanan yang berjaga di gerbang masuk perkantoran.
Abang Starling menanyakan tujuanku. Kujawab Depok. Sontak ia terkejut dan berkata,
"Gila aja lu bang, naik sepeda Depok - Jakarta PP, mending naik kereta".
Aku hanya tersenyum. Iya bang, gua juga baru ngerasain ternyata capek juga, tapi namanya juga penasaran, batinku. Abang Starling bercerita, dari orang - orang yang bersepeda di Monas yang pernah ia tanyai, yang terjauh sampai saat ini yang ia ketahui adalah dari Kemang, Jakarta Selatan. Itu pun mereka bersepeda secara rombongan.
Beruntunglah engkau bertemu denganku wahai abang Starling. Nanti bila engkau menyakan pesepeda - pesepada lain yang membeli daganganmu kau bisa berkata dengan bangga sembari membusungkan dada "Kemarin saya pernah ketemu sama yang naik sepeda dari Depok ke Jakarta pulang pergi".
Abang Starling pamit melanjutkan pencarian nafkahnya, setelah sebelumnya berkata kepadaku agar berhati - hati selama perjalanan.
Kukayuh lagi sepedaku melanjutkan perjalanan. Hampir tidak ada kutemui pesepeda selama perjalanan, hingga akhirnya aku bertemu dengan 3 orang pesepeda di daerah Lenteng Agung. Setelah saling menyapa dan menanyakan tujuan kami berjalan beriringan. Kami berpisah saat sampai di perbatasan Jakarta - Depok. Tiga orang pesepeda tersebut berbelok ke arah Kelapa Dua, sedang aku lurus menuju Margonda hingga akhirnya sampai di rumah.
Benar - benar pengalaman yang mungkin tidak berharga bagi orang lain. Apalagi bagi orang - orang yang hanya bisa menyindir, meremehkan, terlalu banyak omong tapi tidak ada tindakan nyata. Tapi rasa penasaranku terjawab sudah, beberapa hal dan kejadian juga meluaskan caraku berpikir dan bertindak. Tidak terlalu cepat menjudge, terbawa emosi, tergesa - gesa mengambil keputusan, dan harus tetap tenang dalam situasi apapun. Tapi ternyata tidak semudah itu, hahahaha.
Yang pasti, pelajaran untuk kegiatan bersepeda hari ini adalah apapun yang kita lakukan, kita melakukannya untuk diri kita atau orang - orang terdekat kita, bukan untuk orang lain. Kita bukan pemuas pandangan atau penilaian orang lain, karena orang lain juga tidak akan memberikan reward saat kita memuaskan cara pandang atau penilaian mereka, yang ada hanya cibiran - cibiran.
Seperti penilaian dan pemikiranku awal - awal. Orang - orang bersepeda hanya untuk memamerkan kemampuan finansialnya, citranya, kekayaannya, kesanggupannya bertahan di masa pandemi. Tapi di satu sisi aku berpikir bahwa itu bukan urusanku. Begitu pun ketika aku merasa ditertawakan oleh orang - orang yang bersepeda dengan sepeda yang mewah dan mahal. Itu urusan mereka, bukan urusanku.
Ketika aku melihat abang - abang Starling yang berjuang untuk kehidupannya, aku merasa itu juga bukan urusanku. Tapi ketika hatiku tiba - tiba terketuk, tertohok hingga merasa tidak enak hati ketika berpapasan dengan abang Starling tersebut, mungkin itu pertanda dari Allah bahwa itu adalah urusanku. Mungkin ada sebagian rezeki abang Starling yang terselip dalam rezekiku saat itu. Karena, hampir setiap hari ada abang Starling yang nongkrong di sekitar kantorku, tapi tak ada rasa terketuk, tertohok, tidak enak hati atau keinginanku untuk membeli dagangannya. Atau mungkin memang aku saja yang kurang peka. Entahlah.
Aku sampai di rumah pukul 19.45 WIB. Anggap saja aku berangkat dari kantor pukul 16.30 WIB. Tiga jam lima belas menit. Lumayan.
Lumayan membuat pantatku tambah terasa sakit.
"Mau coba lagi ?" tanya istriku.
"Ampun. Cukup" jawabku melengos ke kamar mandi sambil memegangi pantatku yang masih terasa sakit.
Depok, 11 Juli 2020
9 notes
·
View notes
Text
KERINDUAN, MENULIS TUMBLR dan SEJARAHNYA
Dahulu, tapi tidak kala. Aku sangat senang menulis.
Jauh sebelum mengenal jatuh cinta, propaganda, ataupun kata – kata bijak yang bisa diperjualbelikan kapan saja, aku sudah senang menulis. Tentu saja sebelum menulis aku berpikir. Karena tidak mungkin aku menulis tanpa berpikir, karena sejatinya menulis adalah proses mengabadikan pemikiran. Ya, menulis adalah proses mengabadikan, begitulah setidaknya yang dikatakan oleh Pramoedya. Lalu apa yang aku coba abadikan adalah pikiran – pikiran dan pemikiran – pemikiran yang selalu muncul di malam hari saat menjelang tidur hingga menjelang subuh.
Mulai dari pikiran – pikiran tentang apakah hari ini sudah besok atau masih sekarang ? dan pikiran – pikiran semacam siapa diriku sebenarnya, hingga pikiran – pikiran aneh yang sering muncul seperti komik yang cerita – ceritanya selalu bersambung setiap malam menjelang tidur hingga menjelang subuh. Setidaknya begitulah yang terjadi hingga aku menginjak kelas 3 SMA.
Tentu saja saat itu aku masih miskin dan belum memiliki komputer atau laptop, sehingga apapun yang aku pikirkan malam itu aku tuliskan di sebuah buku tebal berjumlah 100 halaman berwarna merah yang aku namai Cetakan Biru, yang entah dimana sekarang dia berada karena saat itu rumahku -mungkin lebih tepatnya tempat tinggal karena itu bukan rumahku- mengalami renovasi yang cukup besar sehingga semua barang yang ada di rumah harus dipindahkan dan kami mengungsi untuk 2 bulan lamanya ke tempat tinggal lain. Setelah selesai renovasi dan semua barang telah dikembalikan ke tempat asalnya, Cetakan Biru tidak ditemukan. Hilang, entah dimana rimbanya.
Sejak saat itu aku jadi malas menulis. Setiap pikiran – pikiran yang muncul selalu aku abaikan. Hingga akhirnya, singkat cerita, aku lulus dari SMA dan masuk sebuah universitas negeri di Jatinangor, Jawa Barat, -sebut saja UNPAD. UNPAD kampusku, bukan di Bandung tapi di Jatinangor. Karena dari UNPAD kampusku ke UNPAD kampus orang lain di Bandung memerlukan waktu tempuh sekita 1 jam 30 menit menggunakan bus DAMRI yang saat itu pertama kali aku naik ongkosnya kalau benar itu Rp. 3.500,- sekali perjalanan.
Jurusan yang “terambil” olehku saat itu adalah Ilmu Pemerintahan. Mengapa “terambil” ? karena tidak sengaja, dan itu adalah pilihan ketiga. Dulu tahun 2009, ujian saringan masuk universitas itu namanya SNMPTN dan masih bisa pilih 3 jurusan kalau ambil IPC saat mendaftar. Tentu saja pilihan jurusan ketiga ini kupilih dengan tutup mata, karena saking sombong dan percaya dirinya aku akan lulus di pilihan pertama atau kedua untuk jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika UPI dan Farmasi UNPAD. Rumpun Ilmu Pengetahuan Alam, sesuai jurusanku saat SMA. Tapi ternyata takdir berkata lain. Ragaku mungkin IPA tapi jiwaku IPS. Ironis. Sejak saat itu aku mulai percaya bahwa takdir itu berawal dari ketidaksengajaan.
Masa – masa awal masuk universitas aku lewati dengan gemilang meski pikiran – pikiran aneh itu pun masih selalu saja muncul dan selalu kuabaikan, karena aku tidak tahu harus menuangkannya kemana, mengerjakan tugaspun aku masih numpang di warnet, yang tentu saja lebih banyak dihabiskan dengan bermain Facebook, Friendster, dan Kaskus. Mengenang dan bercengkerama bersama kawan – kawan SMA yang sudah meniti jalan karirnya masing – masing, dan ketika kubaca – baca lagi sekarang itu sangat menggelikan dan membuat bulu tengkuk meremang.
Tentu saja aku pernah alay. Entah itu menulis dengan campuran huruf besar dan kecil ditambah variasi angka dan tanda baca yang lebih mudah dibaca menggunakan Enigma, atau mengganti nama asliku di Facebook menggunakan kata – kata “Si” atau menggunakan nama lain yang lebih ekstrim level alaynya seperti “Iru Suka Cewek Gokilzz” atau “Aku adalah Patrick Teman Spongebob”. Rasanya ingin muntah mengingat – ingat ini kembali.
Setiap hari menjelang malam di tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2010 adalah masa – masa kegelapan. Bayangkan. Di kosan tanpa laptop/komputer, tanpa tv, dan tentu saja tanpa internet karena saat itu internet di rumah atau kosan masih menjadi konsumsi kalangan rakyat menengah ke atas. Kawanku hanya Nokia 1100 dan lagu – lagu populer yang berasal dari siaran radio dan tentu saja pikiran – pikiran aneh yang selalu datang saat malam menjelang tidur hingga menjelang subuh.
Secercah sinar harapan muncul pada awal semester 3 di tahun 2010. Akhirnya ibuku rela untuk membelikanku laptop, tentu saja dengan cara kredit. Acer Emachines D725 Intel Pentium Dual Core RAM 1 GB 160 GB HDD, harga Rp. 4.200.000,- . Skema 24x cicilan, DP Rp. 500.000,-. Itulah laptop pertamaku yang masih bertahan hingga saat ini, tapi batrainya sudah hilang entah kemana.
Semua berubah sejak laptop hadir di kamar kosanku. Tentu saja lebih banyak kugunakan untuk menonton film, serial tv dan anime setelah sebelumnya aku download menggunakan wifi gratis dari kampus. Running Man dan film – film bergenre horror dan thriller misteri tidak pernah absen dari list tontonanku hingga aku lulus kuliah, dan tentu saja film – film bergenre “pemersatu bangsa” produksi Negeri Matahari tidak pernah luput untuk masuk dalam list. Beberapa produksi lokal juga bagus, meskipun sangat kurang baik dalam kualitas gambar dan pengambilan sudut serta tidak ada alur ceritanya.
Duniaku banyak berubah sejak kehadiran laptop. Terutama untuk pikiran – pikiran yang selalu muncul saat malam menjelang tidur hingga menjelang subuh. Aku sudah bisa menuangkannya. Setidaknya dalam 1 bulan ada 4 sampai 5 karya tulis yang kubuat. Entah itu opini, puisi, sajak, cerita pendek, hingga flash fiction. Semua berjalan dengan baik hingga sebuah masalah yang sangat besar muncul.
Perasaan.
Bila kuingat – ingat lagi. Perasaan ini muncul pada pertengahan semester 3 di tahun 2010, sekitar bulan Oktober – November. Aku menyukai seorang perempuan. Tentu saja dia kawan kuliah dan satu jurusan denganku. Dunia pergaulanku sangat sempit, sesempit pintu masuk menuju Pedca UNPAD dari Cisaladah. Di kampus bertemu orang – orang yang sama, di kosan pun begitu, lu lagi lu lagi. Kawan - kawanku mungkin tahu, beberapa mungkin tidak, dan sebagian mungkin berpura – pura hilang akal. Sebaiknya tidak kusebutkan nama aslinya, supaya menjadi misteri sebut saja namanya Dia.
Sejak saat itu semua hal berubah. Duniaku di pagi hari terasa begitu cepat dan hangat, rasanya seperti alam semesta memahami apa yang sedang kurasakan. Sedangkan malam hari terasa begitu lama dan dingin. Aku seperti orang jatuh cinta, meskipun sekarang aku tahu waktu itu yang kurasakan bukan cinta. Tapi perasaan itu mengobrak – abrik semuanya. Merusak jalur logika pikiran – pikiran yang sering muncul saat malam menjelang tidur hingga menjelang subuh. Aku sangat ingin malam segera berakhir dan berganti pagi, sehingga aku bisa lebih cepat bertemu dengan Dia.
Tidak hanya aspek kehidupan kosan, tapi kehidupan kampusku pun banyak berubah. Materi – materi kuliah lebih banyak tak kuindahkan karena fokusku teralihkan oleh senyumnya yang menawan. Bising kalimat demi kalimat penjelasan materi kuliah dari dosen tak ada satupun yang masuk ke otakku karena yang merambat ke telingaku hanya gelak tawanya yang khas. Teriknya matahari Jatinangor saat itu tidak menjadi halangan untuk menatap matanya yang teduh. Tugas – tugas kuliah banyak yang terbaikan, film – film dan serial tv juga anime sudah menumpuk karena belum ditonton karena saking malasnya. Saat itu pekerjaan yang paling mudah adalah memikirkan dia. Tulisan – tulisan dari pikiranku saat itu pun lebih melankolis, sentimental dan mendayu – dayu. Terlalu banyak monolog dan kebingungan atas eksistensi diri. “Oh Tuhan, apakah aku tersesat di jalan yang lurus ? “ pikirku saat itu.
Hari demi hari kulewati tanpa luput memikirkannya. Jumlah karya tulis yanng kubuat pun meningkat drastis, 5 karya dalam seminggu. Tapi ya begitu, mengarah kepada mellow, sentimental dan mendayu – dayu. Padahal aku tidak yakin apa yang aku rasakan, dan berbalas pun belum perasaanku tersebut. Tapi alam semesta rasanya seperti mulai tidak mendukung apa yang aku rasakan, mendung dan hujan selalu saja muncul setiap sore. Sehingga dia selalu pulang lebih awal karena takut kehujanan. Padahal aku bawa payung. Kalaupun lupa, temanku selalu membawanya.
Awal tahun 2011, muncul platform sosial baru yang sedang naik pamornya.
Twitter.
Facebook mulai terpinggirkan. Tidak seperti saat ini, dulu Facebook sangat membosankan, aktivitas yang menarik hanyalah mengomentari status dan saling berkirim pesan di wall pengguna facebook lain untuk kemudian saling berkomentar di bawahnya. Semakin banyak komentarnya berarti semakin menarik pembahasannya. Meskipun yang memberi komentar hanya orang itu – itu saja. Hanya pengirim pesan dan orang yang dikirimi pesan. Sungguh aneh kehidupan pemuda - pemudi saat itu, tapi biar saja itulah namanya dinamika pencarian jati diri sejati.
Dia punya twitter. Tentu saja aku pun membuatnya. @iruuu dulu nama akunnya kalau tidak salah. Tentu saja saat ini sudah kuhapus. Karena rasa kecewa dan sakit hati, huft. Dunia twitterku pun tidak jauh dari tentang – tentang dia saja. Membuat tweet atau me-retweet kata – kata bijak atau puitis berharap mendapat komentar darinya atau berharap lebih seperti dia sadar bahwa itu adalah untuknya dan dia membalasnya, hahahahaha. SAMPAH.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku tidak ingat kapan tepatnya, karena pikiranku sudah dipenuhi oleh wajah, senyum dan matanya yang teduh, halah. Aku mulai terpikirkan untuk apa tulisanku ini kalau hanya aku simpan saja di laptopku. Namun aku bingung, kemana aku harus mempublish tulisan – tulisanku yang saat itu lebih banyak bernuansa sentimentalnya.
Hingga akhirnya hari itu tiba. Dia. Iya dia. Membagikan sebuah tautan melalui twitternya.
Tumblr.
“Perbudakan apalagi ini ?“ batinku saat itu. Mungkin karena memang dasarnya aku telah tersihir oleh perasaan itu sehingga hilang akal sehatku dan mirip seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku pun membuka tautan tersebut. Sekarang hal semacam ini disebut bucin.
Setelah kubuka tautan tersebut kemudian halaman browser mozilla ku berpindah pada sebuah halaman berisikan tulisan – tulisan dan kutipan – kutipan dari tulisan – tulisan dan kutipan orang lain. Ternyata semacam blog, pikirku. Dan tentu saja kemudian aku membuat akunnya. Tumblr.
Mulai dari hari itu beberapa tulisan di laptop aku posting di Tumblr. Puisi – puisi, sajak, hingga cerita – cerita fiksi, kesemuanya terinspirasi dari pikiran – pikiran dan perasaanku yang bercampur tentang dia. Tentu saja aku tidak pernah langsung secara frontal menyebut namanya dalam tulisanku. Lebih sering kusamarkan dengan nama – nama fiktif seperti Joni dan Laras. Begitupun dengan judul – judul tulisannya. Masih menyerempet hal – hal yang berkaitan dengan Dia. Entah nama atau mungkin kepribadiannya yang dia tunjukan kepadaku. Untuk apa ? tentu saja tergantung harapan yang sangat besar dan tinggi di dalamnya, agar Dia sadar bahwa itu semua untuknya, hahahahahasyu.
Singkat cerita, aku aktif menulis dan posting di Tumblr hingga akhir tahun 2013, menjelang hari – hari terakhirku di kampus, karena awal tahun 2014 aku sudah lulus dan wisuda. Menjelang akhir – akhir masa kuliah tulisanku lebih banyak keluh kesahnya. Mungkin masa – masa itu aku mulai sadar bahwa tanggung jawab yang sangat besar sudah menantiku di depan mata. Awal – awal masuk kerja pun aku masih menulis beberapa kali hingga akhirnya aku mengenal lagi perempuan dan kali ini aku benar – benar jatuh cinta.
Dulu, Tumblrku kuberi nama “Setengah Tiga Pagi” karena pikiran – pikiran aneh yang muncul saat malam menjelang tidur hingga menjelang subuh tersebut baru menghilang ketika hari sudah menjelang pukul setengah tiga dini hari. “Berarti dulu aku sering begadang ?”. Betul, sejak SMA bahkan hingga sekarang pikiran – pikiran aneh tersebut sering muncul saat malam menjelang tidur hingga menjelang subuh, sehingga aku sering begadang. Apakah efeknya buruk ? tentu saja. Berat badanku saat pertama kali masuk kuliah tahun 2009 adalah 40 kg. Berat badanku saat pertama kali tes masuk kerja tahun 2014 adalah 43 kg. Dalam 5 tahun hanya naik 3 kg. Padahal aku makan 3x sehari. Dan juga minum kopi serta indomie saat tengah malam. Tapi, hampir setiap hari aku begadang. Karena pikiran – pikiran aneh tersebut.
Menjelang hari – hari terakhir kuliah kuganti namanya menjadi “Back To The Sea”, kembali ke laut. Isinya lebih banyak keluh kesah, rasa kecewa, sakit hati dan ekspresi – ekspresi negatif yang muncul saat menjelang hari – hari terakhir masa kuliah. Kenapa laut ? Karena bagiku laut masih menjadi misteri dan aku suka aroma air dan pasirnya, selain aroma hujan. Juga karena laut adalah tempat orang buang jin. Meski tidak nyambung, bagiku laut rasanya menjadi tempat yang sangat cocok untuk membuang semua keluh kesah dan juga cerita – cerita dan pikiran – pikiran negatif saat itu.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perubahan lingkungan dan bertambahnya pengetahuan, aku merasakan banyak hal yang berubah dariku. Mulai dari cara berpikir dan menyikapi hal – hal yang menjadi masalah dalam hidupku, hingga hal – hal yang berkaitan dengan perasaan dan spiritualitas. Apalagi di saat – saat wabah Covid – 19 seperti saat ini. Kebebasan rasanya terenggut. Terkurung di dalam rumah sendiri rasanya tidak nyaman. Apalagi terkurung oleh pikiran sendiri. Waktu lebih banyak kuhabiskan bermain Outward, PES 2017, Mobile Legend hingga scroll foto – foto di instagram hingga tak tentu dimana ujung scrollnya.
Tapi setidaknya dulu aku belajar beberapa hal dari Mohammad Hatta, HAMKA, Pramoedya dan juga Tan Malaka. Raga boleh saja terpenjara, tapi jiwa dan pikiran haruslah tetap bebas. Idealisme harus tetap terjaga karena itulah satu – satunya kemewahan yang dimiliki oleh pemuda. Sayangnya kurasa aku sudah tidak muda lagi. Tapi pernyataan Pram paling menohokku.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan”
Aku sadar, karya - karyaku tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan karya orang – orang yang kusebutkan di atas. Mungkin tidak sampai seujung kuku jari mereka. Tapi, setelah kubuka lagi Tumblrku, kuscroll kembali ke bawah, hingga kubaca semua yang pernah kutulis, meski sebagian besarnya telah kuhapus karena sentimen yang terlalu mencuat akibat dari rasa kecewa dan sakit hati, namun aku sadar bahwa menulis, proses mengabadikan ini bukan hanya agar aku tidak hilang dalam masyarakat dan sejarah, tapi juga agar aku tidak hilang dalam diriku sendiri. Kalau saja dulu tidak kuabadikan pikiran – pikiran aneh tersebut dan ktuangkan dalam tulisan, dan kuposting di Tumblr mungkin aku akan hilang. Tidak hanya dalam masyarakat dan sejarah, tapi juga dalam diriku sendiri. Setidaknya, melalui tulisanku di Tumblr ini, aku ingat pernah menjadi bagian dari orang – orang yang membacanya. Orang – orang yang menjadi inspirasiku membuat tulisan – tulisan tentang mereka, dan mereka menjadi bagian dari sejarah untuk diriku sendiri.
Dalam sebuah seminar penulisan yang pernah kuikuti, ada sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh pembicara dalam seminar itu. Kurang lebih begini,
“Yang paling sulit dari menulis adalah memulai. Kita punya konsep, ide, pikiran dalam kepala kita. Tapi akan menjadi sia – sia kalau tidak kita ungkapkan lewat tulisan. Entah nanti tulisan kita tersebut jelek, tidak nyambung, atau bahkan tidak ada yang membaca, setidaknya kita sudah mencoba memulai. Karena kemampuan menulis diasah dan bertambah seiring waktu, seiring dengan banyaknya kita menulis dan juga membaca tentunya. Tuliskan apa saja yang kita pikirkan, yang penting kita memulai. Apabila tidak ada yang membaca, minta orang – orang terdekat kita untuk membacanya, memberi kritik dan masukan untuk tulisan kita. Semua butuh proses, termasuk membuat tulisan yang bisa dibaca dan dipahami orang banyak”
Berbekal kalimat tersebut, dan masa pandemi yang semoga segera berakhir, aku akan mencoba untuk menulis kembali. Meskipun tidak sebergairah dulu, setidaknya dicoba. Karena, terkadang ketika kita duduk di depan laptop/komputer dan menulis, waktu yang berjalan menjadi tidak terasa, boleh lupa waktu tapi tidak boleh lupa solat. Mari menulis. Mari berproses mengabadikan diri.
Depok, 8 Mei 2020
*Tulisan ini dibuat sambil menunggu adzan Maghrib di puasa hari ke- 15 ditengah Pandemi Virus Covid -19. Ditemani oleh : L Arc en Ciel, Big Bang, Epik High dan Kangen Band formasi jadul.
5 notes
·
View notes
Quote
terima kasih untuk tetap bersamaku, untuk tetap tak bisa jauh dariku, meski aku masihlah jauh dari apa yang kau harapkan.
(via karizunique)
105 notes
·
View notes
Photo
2K notes
·
View notes
Photo
14K notes
·
View notes
Photo
6K notes
·
View notes
Text
Kamu yang Tidak
Aku rasa, kita tidak saling jatuh cinta.
Kita, hanya dua orang yang tak sengaja dipertemukan dalam satu keadaan, lalu kebetulan bahagia berkat kehadiran masing-masing. Tapi, tidak untuk lebih.
Kita, hanya dua orang yang saling membutuhkan untuk membunuh kesepian di sisi kita, lalu merasa nyaman karena memiliki seseorang untuk diajak berbagi. Tapi, itu sudah cukup.
Aku, tidak memerlukan lagi jawaban atas pertanyaan “kita ini apa?”. Kamu, juga mungkin tidak pernah berniat menjanjikan “kita”. Aku, kamu, tau itu.
Aku, mungkin sudah terlanjur jatuh sebelum kamu mencegahku. Kamu, mungkin pernah sekali saja kagum padaku. Tapi, perihal perasaan kita, biarlah kita mengetahuinya dengan cara yang paling indah.
Aku rasa, kita memang tidak saling jatuh cinta. Atau mungkin, aku saja, kamu yang tidak.
2K notes
·
View notes
Photo
Mungkin ragamu memang sepenuhnya kumiliki. Tapi hatimu, jiwamu masih saja tertinggal di masa lalu, masih terpaut pada masa lalu. Sayangnya aku tidak butuh ragamu. Raga bisa hancur, sedang jiwa dan hati bisa kekal sampai nanti.
0 notes
Quote
Kesiapan untuk memilih hanya akan datang pada mereka yang sudah pernah menyelam jauh ke dalam hati. Menjelajahi pertanyaan dan jawaban ke dalam diri sendiri.
Iqbal Hariadi (via kurniawangunadi)
733 notes
·
View notes
Text
Sedih Sisa Semalam
Hujan, Musim yang paling kau suka, "aroma anginnya khas" begitu katamu, Tapi aku tahu, Bukan itu maksudmu, Karena air yang jatuh dari pelupuk matamu berkata lain, Bukan musim hujan yang anginnya beraroma khas, Yang membuat kau suka, Tapi hujan, Yang setiap malam bisa menyarukan suara tangismu, Tapi, Ak benci paginya, Karena masih saja ada sedih sisa semalam.
0 notes
Quote
Bila kita tak dapat sesuatu… Anggaplah itu bukan rezeki kita.. Kerana jika memang rezeki kita, takkan terlepas kepada orang lain.. Mungkin akan diganti dengan perkara yang lain. Mungkin ada hikmah disebaliknya. Mungkin dengan diampunkan dosa-dosa kita. InsyaAllah
(via tersenyum-melihat-langit)
288 notes
·
View notes
Photo
hasbunallah wani'mal wakiil╭(°A°`)╮ – View on Path.
57 notes
·
View notes
Text
Yang Harus
Ada yang harus reda, namanya ego.
Ada yang harus terik, namanya keyakinan.
Ada yang harus mengalir, namanya kebaikan.
Ada yang harus surut, namanya amarah.
Ada yang harus luas, namanya hati.
Ada yang harus dalam, namanya pikiran,
Ada yang harus berjuang, namanya aku.
©kurniawangunadi
3K notes
·
View notes
Quote
Sebanyak apapun doa yang ku panjatkan, apalah dayaku bila memang Engkau tidak berkehendak. Sekuat apapun perjuanganku, apalah dayaku bila memang tidak ditakdirkan. Karena memang ada yang demikian, sebanyak dan sekuat apapun doa dan perjuangan, ada hal-hal yang memang tidak diciptakan untukku dan tidak akan pernah menjadi milikku.
Kurniawan Gunadi (via kurniawangunadi)
1K notes
·
View notes
Text
Ikhlas dan Syukur
Bagaimana kita tahu kita sudah ikhlas atau belum kecuali memang benar-benar sudah melaluinya. Saat tengah berjuang untuk mengikhlaskan sesuatu, coba ingat-ingat tentang segala hal lain yang selama ini diberikan-Nya dan lupa kita syukuri. Ikhlas dan syukur itu adalah sebuah pasangan.
Cara terbaik untuk mengikhlaskan adalah dengan bersyukur. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa mengatakan demikian, tapi itulah yang aku rasakan. Tentang bagaimana aku bisa melihat lebih banyak kebaikan-Nya dibanding dengan apa yang tidak aku dapatkan.
Kalau yang disebut sebagai perjuangan adalah tentang melepaskan. Maka perjuangan yang sesungguhnya adalah bagaimana segala sesuatu yang kita lakukan saat ini senantiasa mendekat ke dalam “koridor”Nya. Kalau dengan melepaskan sesuatu-kemudian mengikhlaskannya- membuat kita bisa semakin dekat kepada Tuhan, membuat kita semakin bisa memahami tentang bersyukur, maka jangan pernah ragu untuk melepaskan.
Jangan pernah ragu meninggalkan sesuatu, secinta apapun kita kepada sesuatu itu. Bila dengan meninggalkannya, Allah terasa semakin dekat dengan kita. Aku tidak memahami bagaimana bisa segala sesuatu terasa begitu bertolak belakang akhir-akhir ini. Semoga Allah meluaskan ruang di hati untuk menerima segala sesuatu dari-Nya.
Yogyakarta, 15 April 2016 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Ada hal-hal yang harus diungkapkan agar mereka tidak menjadi badai diam-diam.
Ada hal-hal yang tidak harus diungkapkan agar mereka tidak menciptakan badai.
Untuk saat ini, biarkan dirimu menerka-nerka.
254 notes
·
View notes