herabies
Herabies
2 posts
No one ever know, no one ever try, no one ever wonder why.
Don't wanna be here? Send us removal request.
herabies · 4 years ago
Text
Tentang Dia
3:45 a.m, lagu yang sama, kenangan yang berbeda.
Hands. Satu hal yang paling ku ingat darimu, hal yang ku suka, bahkan hampir hilang akal sehatku untuk menyentuhnya.
Mengingatmu, tak pernah gagal mengubah serotonin menjadi senyum. Seorang teman berkata, bahkan ia jatuh cinta akan sosokmu yang kugambarkan. Ini tidak sehat/? But seriously, let's talk about us now.
Siapa yang bisa lebih serius menanggapi keseriusan mode kerjaku? Siapa yang bisa lebih konyol menanggapi banyolanku? Siapa yang lebih gila dari impian yang menyerocos dari mulut hiperbolik ku? Siapa yang lebih mudah membaca satu sama lain, tapi menahannya sendirian, seakan kita tidak tau sama sekali? Siapa yang bermain lakon menyeimbangi ku melebihi dirimu? Katakan, siapa yang secara serius melawan permainan serampangan pion caturku sekaligus berusaha keras untuk memenangkanku atas permainanmu yang profesional?
Banyak kutemukan cacat sinyal kita berdua, tetapi siapa yang paling setia dan bertanggung jawab atas satu sama lain? Tanpa sugarcoat, sekali saja aku tidak pernah mengatakan hal buruk tentangmu. Review bintang 5 yang tak pernah kuberikan, pecah rekor kepuasanku atas kinerjamu.
Sial, kau menggumamkan lagu Melly Goeslaw yang semalaman ku stream tanpa henti. Serius, stres, bersemangat, konyol, bermain-main, jahil, try hard, sakit, insecure, gugup, no context, marah, lelah, ambisius, bagaimana kita bisa membagi semua ekspresi ini dalam waktu yang singkat?
Lemahmu melemahkan ku, marahmu mencairkan ku, ambisi mu menyalakanku, sumbu pendekku tak pernah semudah ini bernegosiasi. Tak pernah ada yang benar-benar mendengarkan setiap ucapanku. Kita sering kali salah konteks, tapi siapa yang paling depan mau memperbaiki diri?
Brutal honesty-ku cocok dengan akal kalkulatifmu. Bohongku yang terlatih bahkan tak sekalipun mencoba. Padamu, aku adalah buku terbuka lebar. Ceritamu, bualanmu, pikiranmu selalu berhasil mengejutkan ku. Puisimu, karya indah hasil luka terpendam, menemani malam-malam insomnia. Waktu yang kita habiskan bersama lebih banyak dari apa yang bisa kuingat. Alasanku mengunjungi ruangan yang sama setiap saat, tak kusadari adalah untuk menemuimu. Aku tidak pernah benar-benar suka menemui seseorang sesering waktu bersamamu. Sebut kapan aku pernah muak dan menghindarmu? Sekali saja?
Hari Minggu suciku haram ternoda agenda. Kau rusak tanpa permisi, dan tanpa protes aku siap menghampiri. Hal yang sama terjadi dengan tokoh berbeda, kutukanku tak habis dalam sehari.
"Berhenti menjadi baik," adalah kalimat yang selalu kuucapkan pada setiap orang sebagai bentuk keyakinanku atas dunia yang kejam. Padamu, toleransi atas menjadi sangat baik diizinkan. Kita bermain jahat dalam definisi yang hanya kita pahami.
Tersebut nama lain sebagai peran khusus suatu malam, entah mengapa mulut ini tak bisa berhenti melapor segala hal. Kudapati beberapa lama setelahnya nama lain dan peran khusus lain darimu juga tersebut. Bermain sangat fair, catur yang sengit.
Candu Tuhan-mu yang membuatku terperangah, keputusan-keputusan besar yang telah kau buat, leluconmu saat membaptisku, kepercayaan yang kau berikan padaku selalu tepat, memunculkan keyakinan pada diri ku yang bahkan sebelumnya tidak pernah ada. Untuk sekali, aku percaya ke mana kapal berlayar di atas badai laut yang ekstrem.
Tidak ada janji, tidak ada sugarcoat, kualitas terbaik yang berhasil membius ku dalam pesona. Tindakan kecil-kecil yang random, selalu berhasil mewarnai hariku. Jika kuingat dengan lebih baik, pernahkah tahunku sepassionate itu?
Aku bisa menjadi diriku seutuhnya, versi serius, bodoh, playful, insecure, mad woman, childish, bahkan needy. Sehancur apapun badai menerjang kapal kita, kau yang pertama kali membuat ku percaya bahwa aku bisa menjadi diriku seutuhnya, tanpa peran, tanpa lakon, tanpa rekayasa. Sekali saja, kau tak pernah mengatakan hal yang buruk tentangku. Karenanya, aku ingin sempurna tanpa berpura-pura.
Tulisan ini adalah bentuk apresiasi akan kenangan yang telah kita buat bersama. Terlepas dari apa yang sebenarnya kau rasakan dan bagaimana perspektifmu, ini perspektifku. Aku sangat menghargai momen kita. Belum pernah kutemukan partner yang begitu click dari segala sisi karakterku. Aku belajar banyak darimu.
Semoga yang terbaik menyertaimu selalu.
Herabies .xx
0 notes
herabies · 4 years ago
Text
We're trying to fit the system. Sistem yang mengekang kemanusiaan.
Standar sekolah tinggi. Pendidikan harus murah dan mudah dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Syarat kerja gaji UMR minimal S1 dengan pengalaman kerja minimal 1,5 tahun dalam bidangnya, beserta segala sertifikat penghargaan dan organisasi loncat sana-sini.
Apa yang dicari? Apa yang sebenarnya dibutuhkan? Oleh perusahaan, oleh negara, bahkan oleh manusia itu sendiri? Apa yang kita kejar hingga diharuskan berdarah-darah hingga kita tidak mengenali lagi siapa diri? Uang? Kekayaan? Kehormatan? Hidup bahagia? Apakah setelah pencapaian kita bahagia? Setidaknya bisa tersenyum ketika beranjak tidur setelah lelah seharian menguras keringat? Tersenyum saat pagi ketika baru terbuka mata? Atau justru kerutan dan keluhan lagi-lagi yang terdengar?
Terpenjara sistem. Terkekang erat, namun tak terlihat. Dibisik-bisik narasi sampai diteriaki hingga tuli.
Siapa yang membangun sistem? Apa yang berada di balik sistem? Mengapa kita harus menurutinya? Domba-domba yang tersesat, ikuti jalan yang sudah dipasak untuk mendapat pencerahan dan jalan yang "benar". "Benar" yang seperti apa? "Benar"-nya siapa?
Kenapa kita harus terjebak pada sistem yang tidak nyaman? Apakah domba itu benar kita? Apakah benar kita tersesat? Apakah benar kita membutuhkan sistem itu untuk menjadi benar? Narasi "bahagia" yang ditawarkan mengapa terasa tidak nyaman?
Sistem akan bekerja apabila kita secara sadar memilih dan menjalaninya? Bagaimana jika kita secara sadar tidak menginginkannya? Keharusan macam apa yang mengancam? Lebih parahnya lagi bagaimana jika kita tidak sadar, dipaksa, bahkan hanyut dalam sistem tak terlihat namun kekangannya sangat menusuk itu?
Negara berkompetisi melawan negara lain dengan sistem yang mereka buat. Syarat dan ketentuan tertulis apik pada hitam di atas putih. Untuk menyombong pada sistem bernomor dengan judul penghargaan dan kehormatan. Indonesia yang lugu bergabung dan berlomba memperebutkan nomor teratas. Tanpa mengenali dirinya, kemampuannya, sumber dayanya, Indonesia berambisi untuk merebut angka terkecil, angka 1 tujuannya. Tak tau apa, yang penting gelar kehormatan dan penghargaan itu didapatkan. Tahukah Indonesia, bahwa standar itu dibentuk oleh negara yang sama sekali tak sama dengannya? Standar yang bukan dirinya. Standar itu adalah wortel yang tergantung lima centimeter di depan wajahnya. Seberapun jauh berlari, wortel itu akan tetap lima centimeter di depannya. Wortel itu narasi. Wortel itu adalah sistem yang tak pernah cocok untuk dirinya. Indonesia tak akan pernah menang dalam perebutan angka terkecil dalam sistem itu. Jangankan mungkin, harapan saja lebih baik dibuang jauh-jauh.
Bukan menyadari dan mengenal dirinya sendiri, Indonesia sibuk membersihkan dirinya dari identitas dirinya sendiri. Mengosongkan lahannya dan merakit kita-kiat "standar". 70 tahun sudah Indonesia mencoba dan masih tertinggal, karena negara lain sudah melangkah 70 tahun ke depan ketika Indonesia masih sibuk merakit standar yang lama. Terus tergilas arus, Indonesia bingung. Hilang sudah identitas asli, identitas baru bahkan tak dapat digenggam. Lalu untuk apa mencoba?
Propaganda cintai negeri dan mari bangun Indonesia keras-keras diteriakan. Sampai tuli sudah warganya, sementara pejabatnya asik mengkonsumsi produk luar negeri yang katanya "ternama" dan terus membuang rupiah ke dollar. Bosan, warganya memperkaya diri dengan memonopoli pasar bagi yang cerdik, dan tergilas kemiskinan bagi yang kurang gesit. Lalu untuk apa berteriak?
Untuk apa bangun standar yang hanya dicopy-paste dari konferensi internasional? Lagi pula, apa yang mau dibangun ketika limpah ruah sumber daya diratakan gedung pencakar langit agar bisa disebut "kota", peradaban yang katanya lebih memenuhi standar internasional. Apakah setelahnya negara lain mengakui? Ah, copy-paste saja, apa yang perlu diapresiasi?
Pasak-pasak standar itu tidak cocok untuk kita. Untuk apa sarjana S1 kalau ujung-ujungnya hanya jadi pegawai kelas UMR? Sudah bergelar bidang ilmu, posisi masih bisa dilakukan lulusan SD dengan syarat lulus baca tulis hitung. Perusahaan jadi trust-issue menerima lulusan S1, dan menaikan syarat minimal S2. Entah kenapa S2 yang katanya expert bidang ilmu masih rebahan di kostan yang masih dibayar orang tuanya. Perusahaan jadi trauma. Kok "expert bergelar"-nya masih bodoh-bodoh? Disalahkan pendidikannya.
Pendidikan masih bersistem, toh? Sistem negara orang lain juga. Tapi bedanya, Indonesia pake budaya ramahnya kali ini. Bikin akses pendidikan mudah dan murah diraih oleh siapa saja. Yang cerdik dapat penghargaan dan hadiah, yang kurang gesit hanya memalukan "nama baik" sekolah dan guru. Hm, demi salam tempel jadilah sekolah naikin nilai yang kurang gesit. Nilai palsu asal tidak memalukan sekolah tidak menyakitkan siapa pun, toh? Jadilah pendidikan itu formalitas. SD, SMP, SMA, lewat, salam, selesai. Apa yang didapat? Yak gelar. Gelar saja tidak lebih. Ketika terjun ke dunia praktis kok gak bisa apa-apa? Trauma perusahaan jadi masuk akal. Perusahaan nyalahin pendidikan, pendidikan nyalahin negara. Negara mau nyalahin rakyatnya? Kayak berani aja. Negara ngeluh dikit, pajak auto macet.
Pelajar kita yang katanya adalah aset negara mengapa tidak bersinar layaknya berlian? Apa yang salah, adek-adek? Gak mau sekolah salah satu jawabannya. Kenapa gak mau sekolah? Gak cocok sama sistem. Sulit diikuti. Tuntutan yang terlalu besar ketika kemampuan yang dimiliki masih sekedar empot-empotan. Kalo kaya, diperlicin duit jadi lulus. Yang miskin, disepak dari sekolah dan meneruskan sejarah kemiskinan.
Memangnya apa yang penting dari sekolah? Belajar baca, menulis, menghitung. Asanya tiga hal ini cukup, tetapi kemudian pengetahuan umum beranak pinak dan semuanya harus dipelajari dan dikuasai dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Semua harus ditelan, untuk kelak katanya, agar pelajar bisa memilih mana yang disukai.
Memilih tak perlu memaksa, toh? Sebelum sempat kepikiran mana yang disuka, keburu muak, dan jatuhnya sama sekali tidak ingin melakukan apa pun. Tidak semudah waktu kecil pilih krayon atau kotak musik, pilih matematika kalkulus atau matematika aljabar aja udah pusing duluan. Coba tengok kurikulum wajib sekolah.
- Matematika;
- IPA dan IPS dipisah karena saking luasnya;
- Agama, karena merujuk sila satu ideologi negara tercinta;
- PKN, agar tumbuh rasa nasionalisme;
- Sejarah, karena "jasmerah" kata presiden pertama;
- Bahasanya rupa-rupa, Indonesia karena native, Inggris karena go internasyonel, bahasa daerah dalam rangka melestarikan;
- Penjas, karena baik untuk olah tubuh;
- Budi pekerti biar berakhlak;
- belum lagi kalo sekolahnya go green, ada mapel khusus cinta lingkungan.
Setidaknya 12 mata pelajaran harus dikuasai oleh semua murid tanpa kecuali, tanpa kompromi.
Apakah penting semua matkul ini? Penting. Apakah semuanya harus dipaksakan dalam kurun waktu yang singkat kepada pelajar yang maunya bermain dan mengenal lingkungannya? Mengapa sangat terburu-buru? Apa yang sebenarnya sedang dikejar?
Anak-anak dipaksa menjadi robot hingga menjadi terasing akan dirinya sendiri. Siapa dirinya? Apa yang ia inginkan? Bagaimana dia melakukan dan menyelesaikan sesuatu? Apa yang membedakan dia dengan orang lain? Apa yang dia butuhkan? Adakah kesempatan ini diberikan kepada seorang anak? Tepat sebelum dia menjadi pelajar dan mengejar gelar expertnya dan berkontribusi untuk bangsa, apakah dia mengenal dirinya sendiri dan keinginannya sendiri? Tanpa narasi, tanpa sistem, siapa diri mereka?
Tak mungkin seorang anak dibentuk tanpa narasi. Benar. Tak mungkin sesuatu dilakukan tanpa sistem. Benar. Tapi kesempatan itu harus disediakan. Pencarian jati diri akan berlangsung sepanjang hidup manusia. Dia akan terus belajar sepanjang hidupnya, jadi jangan khawatir dan terburu-buru menyuapkan pembelajaran yang tak bisa ditelan. Potongannya masih terlalu besar, kasar, keras, dan menyakitkan jika terlalu dipaksa. Kita sendiri saja belum paham sepenuhnya tentang diri, apalagi untuk memahami orang lain. Hanya diri sendiri yang benar-benar tau apa yang diinginkan dan mengenali dirinya sendiri. Kesempatan untuk mengenal dirinya sendiri harus diberikan. Siapa saya? Apa yang saya inginkan? Apa yang tidak saya inginkan? Sistem apa yang cocok untuk saya? Hingga saatnya sistem yang dibangun negara menjadi bekerja lebih efektif.
Negara juga harus menawarkan rupa-rupa sistem, jika tidak bisa, bangun saja satu sistem yang sangat umum dan mencakup sepenuhnya nilai yang dibutuhkan negara. Seperti Pancasila misalnya, identitas yang sangat Indonesia sekali, katanya. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kemusyawaratan, dan keadilan. Sistem apapun yang dijalankan individu harus mengikuti nilai-nilai ini.
Mengenal diri sendiri ini tidak hanya berlaku pada warganegaranya melainkan pada negara juga. Kita terus menengok sistem tetangga, bercermin pada refleksi orang lain, terus mengikuti standar orang lain yang belum tentu cocok dengan kita. Terus saja kita akan kehilangan arah dan semakin terpuruk. Terus meratap apa yang salah, apa yang kurang, frustasi bangun negeri asal-asalan, korupsi jadi menggiurkan. Kita tidak mengenal diri sendiri, dimana kekuatan kita, dimana kelemahan kita? Selama ini yang kita jalani hanya kesia-siaan atas nama formalitas.
Sebagai manusia saya lelah mengikuti sistem yang bukan untuk saya. Saya lelah berteriak tapi tuli, melukis tapi buta, meraba tapi tak merasa. Memakai topeng ekspresi atas nama empati. Saya ingin jadi manusia yang merasa, melihat, mendengar, mengecap, menghirup apa yang ingin saya ketahui dan nikmati. Bebas mungkin bukan istilahnya, karena kebebasan adalah paradoks lainnya.
Saya hanya ingin menentukan secara sadar apa yang saya lakukan sebagai saya dan seluruh pihak menghormatinya. Saya memilih untuk tinggal di hutan dari pada di kota sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pada diri dan negara, bukan tetangga saya, bukan dosen saya, bukan teman saya, bukan seorang yang satu angkot dengan saya, bahkan bukan keluarga saya. Begitu pula dengan pilihan saya untuk makan apa, menikah dengan siapa, membaca buku apa, mempelajari bidang studi apa. Liberal dan invidualisme mungkin istilah yang akan disangkutkan. Tapi saya tidak menjustifikasi istilah ini. Karena jika ada orang yang menginginkan hidupnya penuh diktator dan ingin mengontrol orang lain, selagi dia bisa mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dan negara, itu urusan dia.
Apakah kedamaian yang akan dicapai? Tak ada yang bisa menjamin itu. Jika perbedaan pendapat menghasilkan perang, maka perang akan selalu mengancam. Peran negara tidak dihinilkan di sini. Tetapi yang sangat saya inginkan adalah kesempatan seorang individu untuk menjadi manusia karena dirinya sendiri. Ruang pada individu untuk memilih. Mewajibkan akal sehat untuk kritis dan radikal akan segala sesuatu. Tak ada sistem yang benar-benar cocok untuk semua orang. Cukup narasi tanggung jawab dikeraskan.
H .xx
Tumblr media
5 notes · View notes