hatisi
hatisi
Isi Relung Hati
8 posts
Membuka jiwa yang haus akan ilmu kehidupan yang belajarnya sampai raga masuk ke liang lahat
Don't wanna be here? Send us removal request.
hatisi · 5 years ago
Text
Tumblr media
KEDEWASAAN EMOSI
Salah satu topik yang agak jarang diangkat di Indonesia adalah kedewasaan emosi (emotionally mature).
Yang saya lihat, kebanyakan orang di Indonesia beranggapan bahwa kedewasaan emosi ini akan berjalan seiring dengan umur.
Padahal, berdasarkan pengalaman diri sendiri, kalau nggak sering-sering dikulik, kita jarang sadar bahwa secara emosi, kita kurang dewasa.
Tumblr media
Setidaknya, ada 20 tanda kedewasaan emosi seseorang, diantaranya adalah:
1. Sadar bahwa kebanyakan perilaku buruk dari orang lain itu akarnya adalah dari ketakutan dan kecemasan – bukan kejahatan atau kebodohan.
2. Sadar bahwa orang gak bisa baca pikiran kita sehingga akhirnya kita tau bahwa kita harus bisa mengartikulasikan intensi dan perasaan kita dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tenang. Dan, gak menyalahkan orang kalau mereka gak ngerti maksudnya kita apa.
3. Sadar bahwa kadang-kadang kita bisa salah – dan bisa minta maaf.
4. Belajar untuk lebih percaya diri, bukan karena menyadari bahwa kita hebat, tapi karena akhirnya kita tau kalau bahwa semua orang sebodoh, setakut, dan se-lost kita.
5. Akhirnya bisa memaafkan orang tua kita karena akhirnya kita sadar bahwa mereka gak bermaksud untuk membuat hidup kita sulit – tapi mereka juga bertarung dengan masalah pribadi mereka sendiri.
6. Sadar bahwa hal-hal kecil seperti jam tidur, gula darah, stress – berpengaruh besar pada mood kita. Jadi, kita bisa mengatur waktu untuk mendiskusikan hal-hal penting sama orang waktu orang tersebut sudah dalam kondisi nyaman, kenyang, gak buru-buru dan gak mabuk
7. Gak ngambek. Ketika orang menyakiti kita, kita akan (mencoba) menjelaskan kenapa kita marah, dan kita memaafkan orang tersebut.
8. Belajar bahwa gak ada yang sempurna. Gak ada pekerjaan yang sempurna, hidup yang sempurna, dan pasangan yang sempurna. Akhirnya, kita mengapresiasi apa yang 'good enough'.
9. Belajar untuk jadi sedikit lebih pesimis dalam mengharapkan sesuatu - sehingga kita bisa lebih kalem, sabar, dan pemaaf.
10. Sadar bahwa semua orang punya kelemahan di karakter mereka – yang sebenarnya terhubung dengan kelebihan mereka. Misalnya, ada yang berantakan, tapi sebenernya mereka visioner dan creative (jadi seimbang) – sehingga sebenernya, orang yang sempurna itu gak ada.
11. Lebih susah jatuh cinta (wadaw). Karena kalau pas kita muda, kita gampang naksir orang. Tapi sekarang, kita sadar bahwa seberapa kerennya orang itu, kalau dilihat dari dekat, ya sebenernya ngeselin juga 😂 sehingga akhirnya kita belajar untuk setia sama yang udah ada.
12. Akhirnya kita sadar bahwa sebenernya diri kita ini gak semenyenangkan dan semudah itu untuk hidup bareng
13. Kita belajar untuk memaafkan diri sendiri – untuk segala kesalahan dan kebodohan kita. Kita belajar untuk jadi teman baik untuk diri sendiri.
14. Kita belajar bahwa menjadi dewasa itu adalah dengan berdamai dengan sisi kita yang kekanak-kanakan dan keras kepala yang akan selalu ada.
15. Akhirnya bisa mengurangi ekspektasi berlebihan untuk menggapai kebahagiaan yang gak realistis – dan lebih bisa untuk merayakan hal-hal kecil. Jadi lebih ke arah: bahagia itu sederhana.
16. Gak sepeduli itu sama apa kata orang dan gak akan berusaha sekuat itu untuk menyenangkan semua orang. Ujung-ujungnya, bakal ada satu dua orang kok yang menerima kita seutuhnya. Kita akan melupakan ketenaran dan akhirnya bersandar pada cinta.
17. Bisa menerima masukan.
18. Bisa mendapatkan pandangan baru untuk menyelesaikan masalah diri sendiri, misalnya dengan jalan-jalan di taman.
19. Bisa menyadari bahwa masa lalu kita mempengaruhi respons kita terhadap masalah di masa sekarang, misalnya dari trauma masa kecil. Kalau bisa menyadari ini, kita bisa menahan diri untuk gak merespon dengan gegabah.
20. Sadar bahwa ketika kita memulai persahabatan, sebenernya orang lain gak begitu tertarik sama cerita bahagia kita – tapi malah kesulitan kita. Karena manusia itu pada intinya kesepian, dan ingin merasa ada teman di dunia yang sulit ini.
Written by @jill_bobby
Referensi: https://youtu.be/k-J9BVBjK3o
4K notes · View notes
hatisi · 5 years ago
Text
Bertambahnya buah hati, masih tak mampu kubeli hatimu seutuhnya...
Hari ini 11 hari sudah umur anak kita yang kedua. Kita beri nama Muhammad Farhan Dhiaurrahman. Nama yang kita harap sekaligus doa dibaliknya.
Kali ini aku tak ingin membahas lebih panjang soal Farhan. Kali ini aku ingin bicara tentang kita, terlebih kamu. Ujian terbesarku.
Sebelas hari kecamuk dalam dadaku tentang sikapmu bukannya mereda, malah bertambah-tambah. Bagaimana tidak, empati dan simpatimu tipis sekali kepadaku. Apa-apa perlu diminta/disuruh baru kau mau melakukan, tidak ada inisiatif sama sekali. Ini terhadapku. Beda ketika itu berhubungan dengan anakmu, kau siap dan cepat tanggap, meskipun tak semuanya inisiatifmu sendiri. Tapi perbedaan perlakuanku terhadapku dan anakmu sangat kontras.
Mungkin aku terdengar egois karena membandingkan aku dengan anak-anakmu. Tapi ini yang aku rasakan. Padahal aku ibu mereka, aku berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan mereka, selama 9 bulan aku membawa mereka kemana dalam ringan maupun berat. Tapi entahlah, semua itu tak sedikitpun membuatmu empati atau sekedar merasa iba terhadapku. Kehamilanku, perjuangan persalinanku, tidak ada istimewanya sama sekali dimatamu. Kau memperlakukanku seperti orang yang tidak pernah hamil dan melahirkan. Biasa saja.
^ hari di mana aku berjuang sekuat tenaga menahan sakitnya kontraksi, kau pulang, kuberharap hanya sebentar, tapi sampai sakit kontraksi semakin kuat kau tak kunjung datang, aku tak ingin menebak bahwa kau tertidur, padahal semalam kau yang paling cepat tertidur.
^ di detik-detik aku akan melahirkan, kau pulang lagi, kau bilang ingin mengambilkanku makanan, tapi entah apa yang membuatmu sangat lama, hingga hanya sebentar saja kau menemaniku berjuang mengeluarkan anak kita dari rahimku.
^ sore ketika sampai di rumah, aku minta tolong untuk dipanaskan air untukku mandi. Tapi tidak segera kau indahkan. Kau lebih mendengarkan orang lain yang meminta daripada istrimu sendiri. Tidakkah sakit diperlakukan seperti itu? Aku tak ingin menunjukkannya saat itu juga, karena kupikir, mungkin kau juga lelah?
^ sehari, dua hari, tiga hari, sebelas hari, kau tak akan memanaskan air untukku mandi kalau tidak diminta, kau tak akan mencuci lampin dan popok anakmu tanpa diminta, kau lebih memilih hobimu memancing daripada melayani istrimu, kau pergi hampir setengah hari dan hanya membawa 2 ekor ikan, kau mengabaikan amanah Allah kepadamu. Entah apa yang merasukimu sayang.
Aku sedih, aku menangis di kamar mandi untuk menenangkan diriku. Inginku lakukan setiap hari, tapi aku takut sedihku yang berlebihan menjadi depresi postpartum. Aku menguatkan diriku sendiri demi anak-anak.
Berkali-kali kita bertengkar, pembahasannya tetap sama, kepekaanmu sebagai kepala rumah tangga, terhadap anak-anak aku tak khawatir, kepadaku yang aku takutkan membuatku semakin antipati kepadamu.
Dan berkali-kali pula telah kusampaikan bahwa aku lelah, aku lelah diperlakukan seperti ini. Tapi tak ada yang berubah. Benar-benar aku belum mampu membeli hatimu sepenuhnya.
1 note · View note
hatisi · 5 years ago
Quote
Mood
When your mood come with the clearly heart
0 notes
hatisi · 5 years ago
Text
Lelah
Ada suatu nikmat surga yang tampak sepele, dalam surat Fathir: 35 para penghuni surga berterima kasih kepada Allah dengan mengatakan:
"Segala puji bagi Allah yang telah menempatkan kami di tempat yang kekal (surga) yang di dalamnya kami tiada merasa lelah lagi tiada merasa lesu" (QS. Fathir: 35)
Jika dibayangkan dan dibandingkan dengan dunia kita akan menyadari betapa dunia ini penuh dengan kelelahan dan keletihan, pun jika bersenang-senang dan berbahagia, ujung ujungnya akan capek juga.
Subhanallah, begitu berbeda dengan surga, di sana adalah tempat bersenang-senang dan berbahagia tanpa ada rasa lelah dan penat, ia adalah kenikmatan yang berketerusan, kalau dibayangin ngga seru juga gitu ya kalau dikasi banyak kenikmatan terus capek haha, betapa luar biasa dan tidak merasa lelah ini bukan hal yang sepele.
Kemudian, dalam rangka mentadabburi ayat ini saat lelah datang, ingatkan diri kita bahwa ini adalah dunia, nanti di surga kita ngga perlu lagi berlelah lelah.
Semoga Allah membalasi segala kelelahan kita dengan pahala dariNya, dan memasukkan kita ke dalam surgaNya yang tiada kelelahan di dalamnya, Aamiin
255 notes · View notes
hatisi · 5 years ago
Text
... sambungan
Keinginanku sangat sederhana. Ketika aku dalam keadaan marah, murung atau keadaan yang tidak biasa dari biasanya, dia datang, duduk di sampingku, memegang tanganku menanyakan apa yang sedang terjadi padaku. Ketika isakku mulai terdengar, tangannya yang satu masih memegang erat tanganku, sedangkan yang satunya lagi merangkul bahuku dan menyandarkan kepalaku ke bahu/dadanya.
Sesederhana itu.
Kita menikah, bukan lagi pacaran, kita sudah lebih dari pacaran. Dan harusnya memahami kondisi hati pasangan adalah kewajiban yang harus ditunaikan selain kewajiban pokok sebagai kepala rumah tangga.
Masalah hati ini sangat urgent menurut saya. Itulah kenapa orang bercerai itu yang saya perhatikan, kemungkinan bukan karena materi semata yang menjadi pemicu, atau berhubungan seksual yang kurang yang menjadi asapnya. Tapi tidak tenangnya hati atau dalam bahasa agama Islam tidak sakinah hati salah satu pasangannya.
Sakinah ini penting, agar mawaddah dan rahmah dapat terwujud dengan sempurna dalam rumah tangga.
Hal-hal yang memicu ketidaktenangan hati pasangan:
1. Kurang pekanya pasangan terhadap kondisi pasangan.
2. Pasangan yang tidak punya sense 'belajar' yang kuat. Baik itu niat maupun tindakan.
3. Pasangan yang tidak bisa membedakan mana urusan yang harus didahulukan dan harus segera diselesaikan.
4. Pasangan yang belum mampu membimbing pasangannya untuk semakin dekat dengan tuhannya, minimal menuntun agar solat tepat pada waktunya (ini salah satu poin serius yang harus dibahas tersendiri)
5. Pasangan yang selalu membuat masalah, tapi tidak diselesaikan secepatnya.
6. Pasangan yang banyak tuntutan tapi tidak peduli dari mana pasangan akan memenuhi tuntutannya (soal ekonomi).
7. Pasangan yang kurang melakukan belaian dan pelukan kepada pasangannya.
Kurang lebih ada 7, mungkin pasangan lain punya pendapat lain? Who knows?
Yang jelas, jika hati terjaga, sakinah menaungi, tidak akan ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik.
Tapi ketika hati terabaikan, berarti rumah tangga itu memberi peluang kepada setan untuk diganggu dan diputuskan tali pernikahannya.
2 notes · View notes
hatisi · 5 years ago
Text
Kucoba terus menjalani hubungan ini, aku ingin lihat kesungguhan seperti apa yg ia miliki hingga berani mendeklarasikan diri "saya siap menikah" dulu. Padahal urusan dengan dirinya sendiri, orang tuanya belum dia tamatkan. Aku berusaha sebaik mungkin menjadi istrinya, pendamping yg selalu mendukungnya. Tapi ketika sifat buruknya (yg mungkin tak akan pernah berubah kecuali atas izin Allah) muncul, aku tak bisa menahan diri untuk memberontak kadang seperti orang yg tidak waras, seperti dia bukan laki2 baik2 yg pernah aku temui. Aku merasa menyesal sampai berpikir untuk mengakhiri hubungan kami. Karena rasanya aku tidak bisa berbakti dengan baik kepada orang seperti dia.
Tapi setelah amarahku mereda, aku seperti lupa atas apa yg aku lakukan terhadap suamiku. Dan diapun terlihat seperti tidak terjadi apa-apa.
RTM : Nasihat Sebelum Menikah
Pernah tidak memperhatikan bagaimana orang lain atau teman yang kita kenal baik menemukan pasangan hidupnya? Hingga mereka mengatakan kepadamu atau kamu mendengarnya dari orang lain tentang bagaimana rumah tangganya berjalan. Entah berita baik atau buruk.
Pernah tidak memperhatikan bagaimana ia bisa menerima orang baru dalam hidupnya? Bersedia menikah dengannya dan bersedia menanggung konsekuensi atas keputusannya — sesuatu yang sampai hari ini tidak kamu miliki—. Dan bagaimana kemudian ia menjalani konsekuensi tersebut.
Anggapan bahwa keputusan besar ini pasti berujung indah – never ending fairytale – seperti yang kita saksikan di media sosial dan sebagainya. Justru bisa menjadi boomerang bagi diri kita sendiri.
Mau dibuat sesederhana apapun, perkara ini sama sekali tidak sederhana. Mau dibuat semanis apapun, perkara ini pasti akan memberikan rasa pahitnya. Dan kami, sekali lagi, tidak ingin menyuruh-nyuruhmu untuk segera berumah tangga. Raih dan genggamlah mimpimu sedemikian erat, jalanilah. Karena di jalan itu, pasti ada orang lain yang menitinya juga. Selesaikanlah urusanmu terhadap dirimu sendiri, orang tuamu, dan hal-hal yang kamu rasa itu amat penting dan berharga bagimu.
Persiapkan segala sesuatu yang kamu takut dan khawatirkan sampai hari ini. Karena ketakutan dan kekhawatiran itu ada karena tidak adanya persiapan. Tidak adanya kesiapan diri kita sendiri. Tidak hanya meratapi nasib dan memikirkan ketakutan itu, lantas bersembunyi dari hiruk pikuk dunia. Masalah itu takkan pergi sampai kamu bersedia menghadapinya.
Barangkali, nasihat paling bijaksana yang bisa kami ambil sampai hari ini adalah:
Keputusan ini kamu yang akan menjalani, kamu pula yang akan menanggung segala konsekuensinya. Bukan orang lain. Bukan siapa-siapa. Kalau kamu tidak siap, jangan pura-pura siap. Kalau kamu tidak yakin, jangan pura-pura yakin. Hati kecil, berbisik lirih tapi banyak benarnya.
Ketakutan-ketakutan itu jangan sampai mengendalikan dirimu. Mengambil alih logikamu hingga kamu gegabah dalam mengambil keputusan-keputusan besar bagi hidupmu sendiri. Keputusan-keputusan permanen, sesuatu yang sekali kamu ambil, menggema sepanjang hidupmu.
©kurniawangunadi
2K notes · View notes
hatisi · 5 years ago
Text
Petaniku, sepertinya belum paham kalau dia adalah petani
Refleksi Postpartum
“istri-istri kamu adalah ladang/tempat kamu bercocok tanam” QS Al Baqarah: 223
Pagi ini saya membaca kembali buku Quraish Shihab yang berjudul Pengantin Al-Quran. Mungkin dulu saat pertama kali membuka lembar demi lembarnya, saya belum terkoneksi dengan baik karena seingat saya, saya membacanya di awal usia dua puluh tahun, atau bahkan belasan?
Kini ketika beberapa bagian dibuka kembali, menelusur tiap katanya, jadi ada internalisasi yang cukup terlebih setelah mengalami sepotong demi sepotong kisah berumahtangga. 
Adalah kejadian pascamelahirkan yang begitu saya ingat saat Quraish Shihab menuliskan pembahasan ayat yang tersebut di atas. 
Beliau memaparkan, “Ayat ini tidak hanya berbicara tentang hubungan seks dan perintah untuk melakukannya, atau sekadar mengisyaratkan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma bapak, sebagaimana petani menentukan jenis buah dari beih yang ditanamnya, Tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa bapak harus mampu berfungsi sebagai petani, merawat tanah garapannya (istrinya), bahkan benih yang ditanamnya (anak) sampai benih itu tumbuh, membesar, dan siap untuk dimanfaatkan.”
Lalu ingatan terbang saat detik-detik setelah melahirkan. Saya merasa menjadi seorang yang kuat sekaligus lemah dalam satu tubuh dan jiwa. Saya merasa begitu rapuh sekaligus terpenuhi dalam satu waktu. Dan saya menjadi seperti induk singa sekaligus anak burung yang ditinggal ibunya sebentar di sangkarnya dalam satu kelindan. 
Saat itu secara fisik belum pulih total, secara batin senang sekaligus berkecamuk, kadang cemas, takut kehilangan, merasa bersalah, dan resah datang tidak pakai aba-aba. Misalnya ketika menggendong bayi, takut sekali rasanya tulang-tulangnya patah, “betul tidak ya caraku? dia menangis, apakah aku salah menggendongnya? berkali-kali aku mengangkatnya dari lengan terlebih dahulu, apa tidak masalah?” dan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya jika dikenang, padahal dulunya sangat amat krusial bagiku. Saat itu saya butuh kejelasan, benarkah cara saya? Cukup becuskah saya menjadi ibu? Itu baru urusan menggendong. Belum terkait ASI, jahitan yang tidak kunjung kering, nifas yang berkepanjangan, merasa insecure karena perbedaan pola asuh, stress jam tidur yang berantakan, dan banyak hal lainnya sebagai ibu baru dan perempuan yang bertambah peranannya. 
Dan saya begitu tertolong karena salah satu nikmat yang Allah beri yaitu suami, yang saya tahu tidak sempurna dalam perjalanannya, tapi berusaha menunaikan ayat tersebut. Berusaha menjadi sebaik-baiknya petani. 
Masih saya ingat sampai sekarang betapa sebalnya saya saat kontraksi datang dan saya buru-buru mengajaknya ke Rumah Sakit karena merasa sudah tidak tahan lagi, beliau masih saja mengurusi soal halaman belakang rumah yang belum jadi. Beliau mengontak tukang untuk menggarapnya agar saat saya pulang dari Rumah Sakit, sudah terpasang kanopi sesuai rencananya. Alih-alih mengelus punggung saya atau mengingatkan saya mengatur nafas, beliau sibuk dengan sesuatu yang harus berjalan dengan matang itu: memasang kanopi untuk anak istri.
Rasanya saat itu jika saya boleh marah-marah kepada suami, bapak dari anak yang akan saya lahirkan ini, saya akan marah semarah-marahnya. Tapi saya tahan. Waktu itu seperti tidak ada daya untuk marah saking sakitnya kontraksi yang datang. Sepulang dari Rumah Sakit, saya mensyukuri ketidak marahan saya pada waktu itu, dan memaafkan diri saya sendiri yang memaki suami habis-habisan dalam hati. Alhamdulillah kanopi belakang sudah jadi, saat hujan datang, kami tetap bisa menjemur baju anak, saat pagi dan matahari sudah naik saya bisa menggendong anak saya untuk berjemur tanpa terlalu kepanasan, saat siang saya bisa memasak tanpa harus terlalu takut angin bisa mematikan kompor seperti sebelum-sebelumnya. Dia berusaha maksimal sebagai petani. 
Pun saat kebutuhan kami menjadi dua kali lipat. Aku tahu setiap anak akan ada rezekinya sendiri, tapi juga perlu diikhtiarkan. Dan suamiku begitu gigih berjuang demi popok-popok, kelancaran ASIku, dan benda-benda stimulasi tumbuh kembang anak yang lainnya seperti buku, mainan, kursi, gendongan, dsb. Beliau memutar otak membuka keran-keran rezeki yang lainnya mengingat bertambahnya kebutuhan kami.
Beliau juga menjadi teman terbaik saat aku nyaris terkena baby blues. Meskipun saat itu hanya kata “sabar��� yang keluar dari mulutnya, tapi tangannya tiap malam memijat punggungku, kehadirannya utuh membelaku saat mertua, orangtua, keluarga, dan kerabat meremehkanku atau pola asuhku. Dia menjadi benteng yang kokoh sekaligus pintu keluar masuknya unek-unek maupun kata-kataku yang terlontar kurang pantas mungkin saat itu. Kalian tahu, kadang ibu habis melahirkan seberapi-api itu, yang jika tanpa support bagai orang kesetanan. 
Saya jadi paham mengapa para praktisi parenting begitu getol mengajak Ayah untuk kembali dan maksimal dalam perannya di keluarga. Mengapa mereka begitu galak dalam bersuara Ayah harus ikut mengasuh. Karena keluarga yang fatherless memang serapuh itu. Begitu dekat dengan kekerasan, kehampaan, kemiskinan, dan menurunnya kualitas kehidupan. 
Itulah mengapa ayat ini semestinya menjadi bahan renungan kita bersama, tidak semata soal seks dan betapa suami berhak atas istrinya dimana saja, kapan saja, tapi juga berkewajiban atas istri dan keluarganya dimana saja dan kapan saja. 
Para suami, kembalilah pulang, peluk, dukung, dan upayakanlah terus keluargamu…sebagaimana kamu mengupayakan impian dan ambisimu. 
Para suami, temanilah istri-istrimu, bercocok tanam dan perhatikan garapanmu meski itu saat hujan, badai, kemarau, maupun pancaroba. Jangan hanya berharap cuaca bersahabat setiap saat. 
Para suami, para ayah, para lelaki, saya menuliskannya sebagai perempuan yang merasa bahwa saya tumbuh sampai detik ini, juga atas jasa petani saya bercocok tanam meski kadang dia juga kurang betul dalam menyirami, kadang lupa memberi pupuk, pernah juga kepanasan dan agak layu, tapi tak mengapa, dia tengah berupaya. Tak henti doa saya, supaya petani saya senantiasa ada dan berkarya maksimal di ladang garapannya. 
Semangat berjuang petaniku, dan untuk benih-benihnya semoga tumbuh kuat mengakar, juga kian merunduk ketika kian berisi, bagai padi,
1K notes · View notes
hatisi · 5 years ago
Text
Kadang terpikir untuk berhenti dan mengakhiri
Menikah, memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi menyatukan dua orang dengan pribadi yang sangat jauh berbeda.
Dulu, di awal menikah saya merasa baik-baik saja dengan sikap suami saya yang "meremehkan" ibadah. Dia memang solat, puasa dan ibadah lainnya. Terutama solat, jarang ke masjid, apalagi tepat waktu. Dia seperti tidak punya motivasi terbesar dalam dirinya untuk segera beranjak ketika adzan berkumandang, tidak leha-leha sampai iqamah.
Saya menunggu. Saya berpikir bahwa "mungkin ini akan berubah semakin baik" tapi sampai umur pernikahan kami hampir mencapai angka 3 tahun. Dia semakin parah.
Dia butuh motivasi, tapi ketika dimotivasi hanya saat itu saja didengar dan tergerak. Beberapa saat kemudian lupa, apalagi sampai berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Selama hampir 3 tahun ini saya banyak belajar karakternya. Di awal nikah, tahun pertama, jangankan membentak, meninggikan suara saja tidak pernah apalagi sampai mencaci dengan kata-kata yang selama ini tidak pernah saya dengar. Karena memang lingkungan saya tidak mengizinkan kata-kata tidak baik dan tidak bermanfaat untuk diucapkan. Dan di awal tahun kedua sampai sekarang, dia bahkan merasa halal membentak dan mencaci saya di depan orang lain, hatta itu keluarganya sendiri. Dia tidak melakukan sekali dua. Tapi ketika dia sedang ada masalah dipikirannya sendiri. Dia tiba-tiba emosi, meledak-ledak, marah, sampai rasanya saya didorong ke sebuah suduh dengan sangat keras dengan sikapnya itu.
Maaf mungkin memang saya bukan muslimah solehah yang ketika dibentak apalagi dimarah-marah diam saja. Saya melawan, tapi tidak dengan kata kasar, hanya saja nada saya yang tinggi, setelah itu saya menangis.
Di awal menikah, tahun pertama, dengar saya mulai menangis dia lari menemui saya untuk menenangkan saya. Tapi sekarang, jangankan menenangkan, malah saya tambah di marah, dan yang paling menyakitkan adalah tidak ada sentuhan lembut dan hangat lagi untuk menenangkan tangisan saya sampai saya reda sendiri. Dan dia sudah terbiasa dengan tidak menenangkan saya.
Semakin ke sini, semakin terlihat sifat aslinya, seperti tidak ada yang dia takuti di dunia ini, dia tidak takut kehilangan saya jika sewaktu-waktu dengan sikapnya itu saya bisa saja lari dari rumah. Bahkan saya sampai berpikir bahwa dia tidak pernah punya cinta dan kasih sayang untuk saya. Dan lebih buruknya dia tidak pernah takut akan azab Allah dengan sifat dan sikap buruknya itu. Astaghfirullah.
Cinta dan kasih sayang tidak berbentuk, tapi bisa dirasakan oleh hati. Dan dia selalu berdalih kalau dia sudah melakukan banyak hal untuk saya.
Bersambung...
2 notes · View notes