satu musuh terlalu banyak, seribu kawan belumlah cukup
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
a Soulmate is...
People think a soul mate is your perfect fit, and that’s what everyone wants. But a true soul mate is a mirror, the person who shows you everything that is holding you back, the person who brings you to your own attention so you can change your life.
A true soul mate is probably the most important person you’ll ever meet, because they tear down your walls and smack you awake. But to live with a soul mate forever? Nah. Too painful. Soul mates, they come into your life just to reveal another layer of yourself to you, and then leave.
A soul mate’s purpose is to shake you up, tear apart your ego a little bit, show you your obstacles and addictions, break your heart open so new light can get in, make you so desperate and out of control that you have to transform your life, then introduce you to your spiritual Master…
—Elizabeth Gilbert
***
I think..I had been through it... So, what do you think?
0 notes
Text
Suka Hujan?
Ada dua jenis orang yang suka hujan... Pertama, yang spontan berlari keluar menyambut dan bergelut dengannya... Kedua, yang segera berlari menghindar mencari tempat teduh dan menikmatinya... ------------------------------------- Kamu suka aku jenis yang mana?
0 notes
Quote
Sisi diriku sang penikmat sepi sedang dominan. Sudah lebih sebulan ia begitu akrab dengan sang malam. Ketika malam tenggelam lelah pun datang, dan baru terjaga disaat matahari akan beranjak pulang.
Sisi diriku yang lain, yang merindu sinar mentari pagi.
0 notes
Quote
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tau, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.
Rumi
0 notes
Audio
When was the last time?
When was the last time you disappeared…
…from the life in the concrete jungles we call “cities”
from everyday conversations that have long become repetitive,
and the rest of those regular scenes?
why not…
…now?
When was the last time you really had enough time…
…to sense any of these?
The scent of the beach,
the morning dew under your bare feet,
the sunset hues,
the orchestration…
…of the nature?
When was the last time you floated across the line,
over those walls,
and lost…
your sense…
of time?
Why not now,
when music travels back…
…to mother nature?
Why not now,
we float…
to nature?
2 notes
·
View notes
Photo
Doro Refugee Camp, 29 June 2013 [08:07am]
Jam delapan tiap harinya bocah ini duduk di bangku kayu yang terletak di depan klinik kami. Menunggu saya tiba dengan senyumnya yang merekah lebar. Tiap hari tanpa mengenal jeda, bocah ini datang berkunjung di waktu yang sama. Kadang ditemani ibunya, ayahnya atau tak jarang dia berkunjung sendirian.
Biasanya saat hujan turun, dia akan datang sedikit terlambat. Terkadang dengan baju yang basah kuyup ataupun sendalnya yang berselimut lumpur tebal, tapi tak sekalipun bibirnya tak berhias senyum yang membusur. Saat hujan tampak lebat saya biasanya meminta dia tinggal lebih lama, sekedar untuk menghangatkan diri dengan segelas susu sembari menunggu hujan berlalu.
Bocah itu bernama Kilinton, saya pertama kali berjumpa dengannya beberapa bulan yang lalu. Bukan perjumpaan yang menyenangkan apabila saya boleh bercerita. Kilinton datang dengan ditandu, tubuhnya ringkih dan nafasnya memburu. Saat itu saya berfikir, maut sekali lagi datang berkunjung ke klinik kecil kami dalam bentuk bocah berusia delapan tahun.
Mereka meletakkan Kilinton di atas dipan kayu layaknya seonggok daging tak bernyawa, ibunya bercerita sudah sebulan lebih bocah ini tergolek lemah di rumahnya. Awalnya keluarganya mengira dia hanya sakit biasa, sebelum akhirnya bocah ini tak sadarkan diri dan jatuh ke dalam koma. Saat pertama kali memeriksanya bau buah yang tajam tercium dari nafasnya, sebuah tanda khas pada mereka yang koma karena kadar gula darah yang tinggi. Sayang bagi si kecil Kilinton, tubuhnya yang tak mampu memproduksi hormon insulin membuatnya seumur hidup harus bergantung pada suntikan. Tujuh belas hari dia dirawat di klinik kami sebelum akhirnya pulang dengan keharusan untuk berkunjung tiap pagi demi mendapatkan dosis suntikan insulin hariannya.
Sungguh menderita penyakit genetis di daerah ini bukan perkara mudah, mendapatkan sebotol kecil insulin membutuhkan proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Alih-alih memesannya dari kota yang berdekatan, insulin bagi Kilinton haruslah di datangkan dari negara yang berseberangan. Beruntung kami masih memiliki cadangan sebotol insulin yang mampu membuatnya bertahan untuk sebulan kedepan.
Penantian panjang bagi Kilinton juga menjadi penantian panjang bagi saya.
Dalam perkara menunggu, saya mungkin bukan orang yang piawai. Hari, jam, detik seakan-akan melebar tiap kali saya menunggu. Ada rentang jarak antara kepastian dan ketidak pastian yang harus saya lompati. Rasa gusar, gelisah dan ketidaksabaran seakan bergumul menjadi satu kesatuan, membuat menunggu tak pernah menyenangkan. Tapi Kilinton sepertinya tak pernah gusar, walaupun dia tahu sebotol insulin kami hanya tersisa beberapa mililiter lagi.
Membuat saya terkadang berfikir tentang siapakah yang sebenarnya lebih bahagia, mereka yang mengetahui segalanya atau mereka yang mengetahui apa yang mereka ingin ketahui?
***
Sebulan setelah itu kiriman obat kami akhirnya tiba dan insulin bagi Kilinton juga terdapat di dalamnya. Tampaknya hanya saya saja yang riang bukan kepalang sedangkan dia tampak meresponnya biasa-biasa saja. Mungkin dia akan lebih gusar saat saya berkata tak ada lagi biskuit yang dapat saya bagi tiap kali dia menjadi pria dan tak menangis saat saya menyuntiknya.
Hari berganti, pasien yang datang di klinik kami silih berganti dan Kilinton masih senantiasa datang tepat pukul delapan, duduk manis sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. Dia menjadi orang pertama yang menyapa saya di klinik tiap paginya dan menjadi orang pertama tiap harinya yang menjabat tangan saya erat-erat. Pertemuan kami di pagi yang cerah tak pernah lama, hanya beberapa menit saja.
Pernah di suatu pagi -dengan wajah tertunduk dan semburat senyum malu-malu- dia bertanya tentang benda yang tercantol di kedua daun telinga saya tiap kali saya datang ke klinik. “It’s a headphones, I’m hearing music from my phone” saya menjelaskan kepadanya sembari meletakkan headphones di daun telinga kirinya. Dia tertawa cekikikan saat saya mulai menekan tombol play dan membiarkan lagu dari salah satu band kegemaran saya The Beach Boys mengalun di labirin telinganya. Sejak itu, tiap kali dia datang dia sering meminta saya memutarkan satu dua lagu untuknya dan membuat pertemuan kami menjadi sedikit lebih lama.
***
Ia menyukai musik seperti saya menyukai musik, saya menyukai senyumnya seperti dia menyukai sekotak biskuit gandum yang saya berikan hampir tiap hari. Kami menemukan kesamaan dan kesepakatan dalam beberapa hal yang berkebalikan.
Saya berharap dia akan selalu sehat-sehat saja, hari ini, bulan depan hingga selama masa mengizinkan.
Dan semoga saja kebahagiaan dalam sedikit ketidaktahuan selalu bersamanya…
102 notes
·
View notes
Photo
Doro Refugee Camp, 5 August 2013 [07:12am]
Pada tanah-tanah yang basah, Tuhan menumbuhkan cerita.
***
Tangisnya membuncah, lebih lengking dibandingkan riuh pengeras suara di depan sana. Kakinya digelung lumpur, tubuh telanjangnya pun basah akibat air yang tumpah. Mati-matian dia membawa air dalam jerigen yang beratnya mungkin lebih berat dari berat badannya sebelum akhirnya dia lelah, terjatuh dalam kubangan dan air yang dibawanya tumpah membasahi tanah yang sudah basah. Kini dia harus mengulanginya lagi, mengantri, memompa air kemudian membawanya pulang ke rumah yang hanya Tuhan yang tahu seberapa jauhnya. Mungkin dia akan gagal sekali lagi, dua kali lagi atau berkali-kali lagi.
Dan saya berada disana, bergeming memandangnya dari salah satu sisi. Tidak, saya sama sekali tidak berfikir untuk membantunya, dia harus berusaha sendiri karena hanya dengan begitu dia dapat belajar bertahan dan hidup.
Pemandangan ini bukan kali pertama saya temui, negeri ini secadas kisah-kisah yang hidup di dalamnya. Apabila kau berkata hidup adalah sebuah perjuangan, negeri ini dapat memberikanmu kesahihan. Tanah besar ini bukan tempat bagi orang-orang kecil yang lemah, air tak mengalir dengan mudah kawan! Kau harus mempunyai tenaga dan upaya untuk merengkuhnya.
Maka jangan salahkan saya apabila kadang saya berfikir, mungkin Tuhan tidaklah seadil yang saya kira…
Dimana letak keadilan saat seorang anak yang masih menunggu jejeran gigi susunya tumbuh telah harus berjuang demi beberapa liter air penyambung kehidupan dan disaat yang bersamaan di belahan bumi yang berkebalikan, air mengalir lebih deras dibanding air seni di popok anak sebayanya?
Mungkin selama ini saya salah, mungkin keadilan Tuhan itu relatif adanya, terkondisi dan berlaku tentatif.
Mengapa kita diciptakan berbeda? Mengapa orang-orang ini hidup dengan kondisi yang susah? Mengapa Tuhan tidak menjadikan kita satu ras saja, satu agama, satu negara dan satu kesamaan nasib? Mungkin dengan begitu hidup akan lebih mudah, tak perlu ada masalah, dunia yang tentram adalah sebuah keniscayaan…
***
Bocah itu kembali mengantri, ada tujuh orang lagi di depannya sebelum dia mendapat giliran memompa. Saya memperhatikannya dengan lebih seksama, airmatanya mengering membentuk dua lintasan di pipinya yang kusam. Cepat-cepat dia mengelapnya dengan punggung tangan. Sungguh perbuatan yang bodoh, sebab punggung tangannya pun berselimut lumpur akibat terjatuh tadi.
Tapi kini dia menyungging senyum sembari menabuh jerigen kuningnya keras-keras mengikuti anak-anak yang lebih dewasa. Tabuhan mereka menjadi berirama semakin cepat dan semakin cepat, lebih cepat dari denyut jantung saya yang semakin memburu.
Hingga tawa mereka pecah, sekali saja, sekeras-kerasnya…
Saya tak mengira akan melihat tawa hari ini, saya berfikir ini adalah satu dari sekian banyak gambaran berat hidup yang setiap harinya saya saksikan. Mereka mungkin dapat memetik kebahagian dalam kesusahan, ataupun bersyukur dengan keterbatasan. Apa mereka bersyukur dengan keterbatasan? Inikah bentuk keadilan Tuhan?
Saya yang bergeming di satu sisi saja tak akan mampu menangkap gambaran kehidupan dengan menyeluruh. Saya harus melangkahkan kaki, bergerak ke segala sisi dan melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Hanya dengan itu mungkin saya dapat mengerti bahwa senang dan sedih hanya masalah persepsi belaka..
Tuhan mungkin adil berbagi keadilan dengan cara yang tak pernah kita duga. Layaknya musik dengan berbagai tala, hanya dengan rangkaian nada yang berbeda sebuah simfoni dapat menjadi indah.
Mungkin perbedaan adalah bentuk keadilan, karena dengan berbeda maka kita dapat menyadari betapa istimewanya tiap-tiap dari kita.
Diberinya mereka keterbatasan untuk mereka memperluas harapan dan kemampuan, diberinya saya masa untuk berada disini dan belajar memaknai hidup dari sisi yang berkebalikan.
Serta diberinya kalian waktu, untuk membaca catatan ini dan semoga membuat kalian mengerti, betapa beruntungnya kalian saat ini…
***
Salam
54 notes
·
View notes
Text
Satu Koma Enam Satu Delapan
Begini awal mulanya…
Di suatu petang di bulan November, di tengah perjalanan panjang trans-liberia yang tengah saya tempuh, rombongan kami berhenti sejenak di sebuah desa bernama Lombe. Kala itu kami berniat melewatkan sebuah pekan di pulau Tiwai, sebuah pulau besar di tengah-tengah sungai Moa yang melintasi Sierra Leone, Liberia dan berakhir di delta niger – Nigeria.
Pulau Tiwai menjadi salah satu dari sedikit destinasi alam liar yang dapat dijangkau dengan jalan darat dari kota tempat saya bermungkim. Sejak dahulu, Tiwai telah dikenal sebagai daerah suaka bagi primata. Pulau yang luasnya tak lebih dari dua lapangan bola menjadi rumah bagi sebelas jenis primata dan great apes. Peneliti eropa sejak awal tahun 50an menasbihkannya menjadi salah satu daerah dengan kekayaan primata terbesar di dunia.
Tiwai menjadi rumah bagi monyet Diana yang langka, menjadi ekosistem alami bagi monyet Kolobus Merah beserta koloninya dan juga tempat persembunyian Chimpanzee Hitam Afrika yang semakin sulit ditemui.
Saya menyebut Tiwai sebagai daerah suaka, tempat perlindungan bagi primata yang terancam punah, sungai Moa yang lebar serta buaya-buaya Nigeria yang mendiaminya menjadi pelindung alami para primata dari pemangsa utama mereka; Manusia.
Sejak dahulu di tanah ini primata diburu, dibakar hingga hangus tak berbulu, kemudian dikuliti satu persatu sebelum dagingnya dimasukkan ke dalam periuk-periuk tanah dan disajikan hampir tiap malam. Hingga kini tak banyak yang berubah, tiap hari dari sisi jalan yang saya lewati menuju rumah sakit tempat saya bekerja, pandangan saya berserobok dengan tumpukan monyet mati yang digantung berjejeran sembari menanti pembeli datang memilih.
Lambat laun primata di negeri ini mulai menghilang, akibat punah dimangsa atau bermigrasi karena terpaksa? Saya sendiri tak tahu.
Tiwai kemudian menjadi satu-satunya tempat yang saya ketahui dimana primata ini dapat berloncatan bebas dari satu pohon ke pohon yang lainnya tanpa perlu khawatir diberondong timah panas para pemburu.
Tapi petang itu di desa Lombe, seorang peneliti muda dari Austria yang saya temui bercerita tentang Tacugama, satu lagi daerah suaka di negeri ini yang khusus menampung Chimpanzee Hitam Afrika, sebuah suaka khusus yang didirikan pasangan suami istri asal Srilanka sejak tahun 1995 hingga kini dan bahkan tak tergerus oleh perang saudara.
Singkat cerita, perjalanan ke Tiwai membuka mata saya tentang buasnya manusia. Saya ingin mengunjungi Tacugama untuk melengkapi seri pengalaman saya. Sebuah hari saya tetapkan, satu tanggal di masa depan sebelum saya meninggalkan tanah ini.
Tapi rencana tak selalu berjalan sempurna, kadang ia meregang jauh melampaui masa yang kita ancangkan, terkadang pula ia mengkerut dan datang lebih awal.
Seperti kali ini, saya mengunjungi Tacugama kemarin pagi!
***
Begini Ceritanya….
Read More
27 notes
·
View notes
Text
Satu Masa di Bulan Februari
"Serendipity; [noun] The occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way ~ Oxford Dictionary"
***
Dubai - Uni Emirate Arab, June 20th 2014 [02:33am]
Saya tidak akan melupakan satu subuh yang sama empat bulan yang lalu, tepatnya tanggal 12 Februari 2014. Saat itu saya tengah menunggu penerbangan saya menuju Praha. Penerbangan yang [sayangnya] tak pernah tiba tepat di tujuan.
Saya akan berbagi sedikit cerita tentang hari itu.
Dari mana saya memulainya? Hmm, mungkin dari alasan kepergian saya…
Saya berencana mengunjungi Praha untuk menziarahi sang kota tua dan seorang karib lama. Lucka namanya, perempuan Ceko yang melewatkan setengah tahun bersama saya di gersangnya Sudan Selatan. Saya yang saat itu tengah bermungkim di barat Afrika harus menempuh seperempat belahan dunia sebelum dapat tiba di ibukota Republik Ceko. Tak ada penerbangan langsung menuju Praha, saya pun harus berganti pesawat di London.
Sayangnya sebuah musibah menimpa pilot pesawat Gambia Bird yang subuh itu akan saya tumpangi dan penerbangan pun ditunda menanti pilot baru tiba. Saya yang memiliki waktu transit yang sangat tipis mulai dibuat cemas, segenggam masa yang saya miliki mulai luruh perlahan demi perlahan.
Satu lagi kekhawatiran saya saat itu, saya tidak memiliki visa untuk mengunjungi Inggris, satu-satunya pembenaran saya adalah selembar pernyataan yang tertulis di situs resmi pemerintah Kerajaan Inggris yang memperbolehkan warga negara Indonesia untuk transit kurang dari 24 jam tanpa meninggalkan ruang tunggu bandara. Adanya opsi untuk memindahkan penerbangan saya ke Praha ke jam penerbangan berikutnya sedikit memberi saya ruang lega. Pagi itu saya pun berangkat ke Inggris dengan jumawa.
Sayang rencana tinggallah rencana, penerbangan ke Praha hanya tersedia keesokan harinya, saya pun mulai panik dan gelap mata. Saya harus meninggalkan London hari ini juga atau berakhir di penjara.
"Move me to other flight, to any other destination in Europe, as soon as possible! I don’t care where just the fastest one!" Setengah memelas saya meminta tolong kepada petugas darat maskapai yang saya tumpangi sembari menjelaskan kondisi rumit yang saya hadapi. Dia pun dengan sigap mencari pilihan penerbangan lain.
"You have two option, either you can go to Bucharest in Romania or you can go to Budapest in Hungaria, that are the only two option available today. The other already fully booked."
Sejenak saya terdiam dan berfikir, keduanya sama sekali bukan pilihan yang terlintas. Lokasinya pun hampir berada di ujung timur Eropa, belum lagi teman saya telah menanti di Praha…
"OK, I’ll take the flight to Budapest…" Saya memilih kota itu, dengan harapan saya tetap bisa mengunjungi Praha keesokan harinya menggunakan kereta.
"The flight will be boarding in 45 minutes, is it ok?" Petugas darat maskapai itu menyampaikan dengan tergesa.
"OK" singkat saya membalasnya.
Dan saat itu tanpa saya sadari rencana sungguh tinggallah rencana…
Read More
42 notes
·
View notes
Photo
"nyari kutu" kebiasaan ini msh sering dijumpai di Vietnam. 😄 #VietnamTrip #Dalat #DalatMarket
0 notes
Photo
Mungkin pasangan traveller ini sedang bersumpah setia dan terus bersama menjelajahi dunia. #tssaahh *Don't judge me for taking this picture secretly 😁 – View on Path.
0 notes
Photo
"Travel makes one modest, you see what a tiny place you occupy in the world" - Gustave Flaubert
0 notes
Photo
"Kok buat saya bunga bunga gitu?" | "gapapa bang, kan ada lope lopenya" | :D
0 notes
Photo
Hongkong Island, view from Avenue of Stars - Tsim Tsa Tsui #trip #latepost #nofilter
0 notes
Photo
0 notes