Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kehadiran
Sekitar sebulan yang lalu, ia datang menghampiriku. Aku tak bisa memberi taumu bagaimana wujudnya. Bukan karena tidak mau, tapi karena memang karena mata dan kehidupanku yang terbatas. Hanya ini yang kuingat. Kehadirannya seumpama badai di tengah laut. Seringkali muncul justru ketika angin dan ombak laut sedang tenang. Kalau kau seorang nahkoda handal mungkin akan tau sebentar lagi akan terjadi badai sehingga bisa mengatur haluan ke arah datangnya gelombang. Lalu dengan tangkas mengatur kecepatan dan muatan kapal agar mampu melewati badai tersebut. Sayang sekali, hanya sedikit orang yang dibekali kemampuan seperti itu. Dan diberi keberuntungan melewatinya dengan selamat.
Ia juga tak pernah peduli sedang apa aku saat itu. Seperti tempo lalu. Ketika hampir saja tertidur pulas di kamar ku yang kumuh, aku tiba-tiba merasakan hawa keberadaannya. Ternyata ia bukan hanya mengunjungiku. Aku merasakan ia seperti mengelus-elus kepalaku. Tapi sungguh, aku merasa kesadaranku akan hilang karena ulahnya. Saking parahnya seperti ada yang ditarik keluar dari dalam kepalaku. Spontan saja aku berteriak menyuruhnya berhenti. Beberapa saat kemudian kesadaranku kembali. Tapi tidak utuh. Aku curiga ia mengambil beberapa bagiannya.
Beberapa waktu setelah kunjungannya, Aku merasa kosong. Hampa. Suram. Bagai seorang anak yang baru saja ditinggal kematian orang tuanya. Tak ada lagi senandung di pagi hari. Kaki-kaki tak lagi sanggup menari. Percakapan-percakapan terasa klise. Hingga aku tak mau lagi bertemu dengan siapapun karena setelah kunjungannya yang berarti, semuanya tampak nihil di mataku. Persetan dengan emas dan dollar sialan. Bahkan orang yang kucinta kabaikan demi menyambut kembali kunjungannya. Aku duduk termangu di kamar. Gelisah menderaku. Bagaimana kalau aku menyambutnya dengan tulisan di kertas, lalu aku tempelkan di depan pintu. Siapa tau ia suka dengan sambutanku. Lalu, tanpa pikir panjang aku mengambil sebuah spidol dan kertas, Aku tempel kertas tersebut di depan kamar.
“WELCOME DEATH”
3 notes
·
View notes
Text
Dibalik awan hitam
Dewa langit sedang meratap nasib
Tugas tak kunjung usai
4 notes
·
View notes
Text
Melangit
Lubov, satu-satunya mahasiswa di kampungnya yang cukup kumuh. Ia merantau ke kota guna mengisi otaknya di Universitas ternama dengan bantuan warga yang merelakan uangnya untuk subsidi ongkos berangkat. Apa sebab? Masyarakat berharap agar ada yang bisa mengatasi solusi kekeringan lahan yang menyebabkan tanaman tidak tumbuh dengan baik. Para orang tua juga berharap anak-anak mereka paling tidak bisa membaca dan berhitung. Agar tak berakhir sial seperti orang tua mereka. Hanya Lubov yang lulus di sekolah menengah, teman-teman mainnya harus mencangkul dalam-dalam tanah kering di ladang.
Ia berangkat dengan ambisi untuk menyelesaikan persoalan kampungnya. Di kampus, Lubov bukan hanya aktif di dalam kelas, tapi juga menjadi aktivis di organisasi. Ia didambakan teman-temannya. Karena keterampilan orasi dan retorikanya. Lubov telah berkembang. Dan yakin bisa membenahi kampungnya. Saat liburan tiba. Lubov pulang ke kampungnya. Ia diundang oleh ketua RT menghadiri rapat warga perihal kondisi lahan yang tak kunjung subur. Lubov mempersiapkan amunisi kata-kata untuk ditembakkan nanti. Setidak-tidaknya masyarakat akan bertanya terkait diksi yang digunakan. Agar Ia dapat mengunjukkan kebolehannya dalam berkata-kata. Waktu rapat dimulai, Lubov mendapat sesi berbicara dan Ia memulai kalimat pertamanya “Warga sekalian yang saya cintai, penyebab mengapa lahan kita masih tandus adalah karena kita tidak mengutamakan etika dan moralitas terhadap alam. Padahal Etika dan Moralitas itu berlaku bagi komunitas biotik dan komunitas ekologi. Karena etika lingkungan hidup berbicara mengenai relasi diantara semua kehidupan alam semesta. Barangkali kita telah lalai akan ini wahai wargaku sekalian”. Lubov belum menyelesaikan kalimatnya ketika seorang pemuda kampungnya menginterupsi “Maaf, Lubov. Apa maksud perkataan barusan? boleh diulangi?”. Lubov menyeringai dan bergumam “Nah itu maksudku”.
5 notes
·
View notes
Text
Helium
Malam itu aku bertanya,
“Hei, tersusun dari apa perasaanmu itu?”
“10% Oksigen, 10% Nitrogen dan 80% Helium” jawabmu.
Pantas saja,
Aku merasa ringan dan ingin terbang setiap kali kau menyebut namaku
6 notes
·
View notes
Text
Persamaan
Lelaki itu masih sama
Seperti 5 tahun silam
Biadab tak tertahankan
Menahan hakmu
Melihatmu seperti objek
Telah tercerabut ke akar rasa cintanya
Bahkan rasa kemanusiaannya
Aku, Kami masih sama
Tetap bersamamu
1 note
·
View note
Text
Komunal-isme
Pernah aku ditanyai begini “Kenapa anda mau gabung di organisasi ini?”. Jawaban realitasnya “Karena Insentif Komunal”. Jawaban retorisnya “Menurutku organisasi ini yang terbaik karena blablabla”. Tentu aku lontarkan jawaban retorisnya. Siapa pula yang ingin mengakui kalau melakukan sesuatu karena banyak yang melakukannya juga.
Belakangan aku sadar bahwa banyak sekali hal yang dilakukan atas dasar insentif komunal. Tren makanan, fashion bahkan sampai memilih presiden. Dan semuanya dilakukan secara alami.
2 notes
·
View notes
Text
Prasangka dan Perbuatan
Seorang peminta sumbangan menyambut pagiku saat sedang menghisap Sampoerna perdanaku. Aku datangi si peminta sumbangan, Dia menyodorkan kotak amal. Aku tanyai asalnya, katanya dari Panti Asuhan X. Tak lupa surat tugas dipamerkan untuk memperkuat legitimasinya kepada ca;on penderma. Aku perhatikan nama panti asuhan dan alamatnya dengan seksama.
Prasangka mulai membisiki “Surat macam itu mudah sekali kau buat. Buat apa memberi yang tidak jelas begitu”. Bagaimana aku bisa tau kalau si peminta sumbangan benar atau bohong? Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, sekadar untuk gugling di laptop. Aku cari Panti Asuhan X. Ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada di surat tugas si peminta sumbangan. Akhirnya aku putuskan untuk menahan uangku dan menemui si peminta sumbangan, mengatakan kalimat sakti “Maaf saja mas”.
pict source: unsplash.com
1 note
·
View note
Text
Utopis
“Anak-anak sekarang ibu guru mau tanya mimpi kalian kalau udah besar nanti” seru seorang guru di sebuah sekolah.
“Kamu, Gusti. Kalau besar nanti kamu mau jadi apa?” tanya sang guru
“Aku mau jadi dokter hewan bu guru”. Jawab si anak mantap. Sang guru mengangguk-angguk puas mendengarnya
“Kalau kamu Rubi? mau jadi apa kamu besar nanti?” sang guru bertanya kepada murid yang nampak pendiam di kelasnya.
Si anak bangkit dari duduknya. Lalu menjawab dengan lantang “Kalo udah besar nanti, aku mau jadi pahlawan yang hebat. Aku mau membasmi kejahatan. Biar Bumi damai dan ngga ada penjahat” si anak berkata sambil mengepalkan tinjunya ke udara dengan gagah. Persis seperti Superman, pahlawan kebanggaannya.
Teman-teman kelasnya menatap si pahlawan dengan sinis sambil tertawa kecil. Sang guru melihat si pahlawan dengan senyum dan sedikit raut kasihan. Ia kasihan karena si anak mencitakan sesuatu yang mustahil menurut orang dewasa. Tetapi karena alasan emosional sang guru meminta seluruh kelas memberi tepuk tangan untuk kedua siswa tersebut.
pict source: unsplash.com
3 notes
·
View notes
Text
Rukun
Guru bahasa kami memberi tugas membuat sajak tentang Negeri. Ah, aku payah soal ini. Jadi, begini saja karya yang kubuat.
Negeriku,
Engkau sangat bersahabat
Sawah, Ladang, Tambang, dan Pemukiman Kumuh
Mereka berdampingan dengan rukun
Birokrat, Aparat dan Korporat
Mereka bercengkrama dengan akrab
Rakyat bahagia melihat mereka bersahabat
pict source: unsplash.com
1 note
·
View note
Text
Ironi
Hari ini si Idealis sedang senggang. Ia berjalan santai sembari memperhatikan orang-orang kantoran yang pergi dan berlalu dengan tergesa-gesa. Lalu bergumam dengan sinis, “Pendidikanku cuma begitu saja jadinya dikemudian hari? hanya jadi satu tenaga tanpa makna demi kepentingan sang pemodal?”
Waktu berjalan. Pagi itu si Idealis sedang mematut dirinya di cermin. Dengan kemeja rapi dan dasi. Jam kerja yang sudah pasti. Dan Gaji sebulan sekali.
pict source: unsplash.com
2 notes
·
View notes
Text
Rasionalisasi
Aku pernah bertemu seseorang yang aku lihat sangat patuh terhadap atasannya, seniornya bahkan temannya apabila ia diberi perintah. Awalnya aku hormati dia atas sikapnya itu. Tapi, lama kelamaan kasihan juga melihatnya disuruh sampai hal yang remeh temeh. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya mengapa ia begitu patuh, katanya “Aku tidak berani untuk membantah atau mempertanyakan perintah-perintah itu”. Barulah aku sadar ternyata kepatuhannya hanya rasionalisasi dari kepengecutannya.
pict source: unsplash.com
5 notes
·
View notes
Text
Pragmatisme
Satu hari, Tuhan mengajak bicara hamba-Nya yang sedang khusyuk berdoa.
Tuhan: Hai, hambaku. Kulihat engkau rajin sekali beribadah. Apa yang paling engkau inginkan?
Hamba: Hamba ingin agar bisa masuk ke surga-Mu ya Tuhan. Dan terhindar dari neraka-Mu.
Tuhan: Bagaimana kalau aku tiadakan surga dan neraka?
Hamba: Jangan ya Tuhan. Nanti ibadah hamba sia-sia.
Tuhan: Jadi, kau itu menyembah-Ku atau ciptaan-Ku?
pict source: unsplash.com
2 notes
·
View notes