Tumgik
fauziahrahman · 2 years
Text
"Ya Allah karena hambamu ini tidak tahu bagaimana cara menjalani hari ini sebagaimana yang Engkau ridhoi, maka bimbinglah hamba-Mu ini untuk menjalani hari ini ya Allah, pertemukan hamba dengan peluang-peluang amal kebaikan dan orang-orang baik yang akan membawa hamba menjadi pribadi lebih baik."
Do'a pagi yang coba deh dipanjatkan selepas sholat dhuha atau dzikir pagi.
345 notes · View notes
fauziahrahman · 2 years
Note
Kak, apa harapan kakak kepada calon istrinya kelak?
HARAPAN KEPADA DIA
Harapan itu apa yang bisa menjangkau. Ada jembatan relasi yang mempertemukan. Karena saat ini jembatan itu belum ada, tentu harapan saya belum terbentuk. Apalah lagi calonnya masih berterbangan. Entah, lagi berputar-putar di mana?
Tapi harapan kepada diri sendiri, tentu ada. Dan itu yang lebih saya utamakan. Harapan agar saya tetap komitmen dalam nilai-nilai agama; harapan agar saya tetap menjaga diri menjadi pribadi yang baik dan memperbaiki; harapan agar saya terus berada dalam lingkaran yang baik-baik.
Sebab, dia adalah proyeksi dari apa yang ada dalam diri. Saya mengambil jalan kesederhanaan, pun saya ingin dia begitu. Saya memilih jalan keberkahan, tentu saya ingin dia meniti jalan yang sama. Saya berupaya komitmen pada perbaikan diri, pun tentu dia akan begitu. Jadi, ketimbang saya melempar harapan kepada dia, saya memilih untuk memulainya lebih dahulu. Bukankah, sekali lagi, pasangan kita adalah proyeksi diri kita?
53 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Photo
Tumblr media
If you hear my death
98 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Kalau yang dilihat hanya hasil akhir, tidak akan ada yang bersungguh-sungguh berjuang mencari berkahnya perjuangan.
“The beauty of our religion is that the reward is dependent on the sincerity of trying, and not in the attainment of the result.”
— Yasir Qadhi
463 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
“But Allah comes before everything that deserves to be loved…”
— Ibn Taymiyyah
293 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Photo
Tumblr media
#supermomwannabe #supermomnotes #quote #quranicverse #teacher #wisdom #talk #communication #happy @freepik https://www.instagram.com/p/CF-ubVqBnB4/?igshid=gtrdmrcx4o1s
16 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Assalamualaikum, Oktober
Tumblr media
Aahh, sudah 6 bulan Ibu pergi, waktu begitu cepat berlalu. Belum pernah selama ini aku tidak menatap wajah Ibu langsung. Dulu, waktu masih jaman merantau sekolah, tiap akhir semester aku sempatkan untuk pulang, hanya untuk bersua dengan orangtua. Tak kuperdulikan uang beasiswaku yang harusnya bisa untuk ditabung malah untuk beli tiket pesawat pp. Yang penting aku tetap bisa melihat wajah mereka langsung.
Hari ini adalah hari Jumat, hari dimana Allah memanggil ibu. Tepat di hadapanku, ibu yang berbaring karena ingin punggungnya dipijat, dan malaikat maut menjemputnya tanpa ada tanda sedikitpun. Ibu tenang dalam lelapnya. Hari yang kini selalu membuat dadaku sesak. Membuatku merasa menyesal dan bersalah di saat bersamaan. Membuat hariku tak seperti dulu lagi. Tapi, ayah selalu berpesan bahwa kita harus bersyukur ibu dipanggil di hari Jumat, inshaaAllah Allah memuliakan ibu.
"Sekarang sudah Oktober, Bu, ada banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan. Bagaimana kabar Ibu di sana? Aku begitu rindu. Semoga Allah selalu memberikan cahayaNya untukmu, melapangkan kuburmu, dan menjagamu dari segala makhlukNya. InshaaAllah kami di sini akan selalu mendoakanmu. Semoga Allah mengumpulkan kita kelak di surga firdausNya, berkumpul bersama Rasulullah dan orang-orang sholeh lainnya, dan juga bisa menjadi keluargaNya Allah. InshaaAllah ya, bu 🤗"
Makassar, 2 Oktober 2020
Di hari Jumat yang begitu terik.
Ps: masih punya ibu? Peluklah selagi masih ada kesempatan ☺️
6 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
“Anxiety happens when you think you have to figure out everything all at once. Breathe. You’re strong. You’ve got this. Take it day by day.”
— Karen Salmansohn
1K notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Masih ada Waktu
Kalau kita masih punya kesempatan untuk berbakti, pulanglah. Tinggalkan sejenak ketakutanmu pada masa depan, materi, dan ketidakmapanan.
Karena, waktu yang beranjak ini takkan melibas kita karena bakti. Kalau pernah terbesit luka karena mereka pernah salah dalam mendidik dan membesarkan kita. Pahamilah bahwa pada masanya, itulah ilmu yang mereka miliki. Tentu berbeda dengan kita saat ini yang bisa belajar tentang pengasuhan sambil rebahan.
Kalau mereka masih ada. Pulanglah sejenak, lupakan ambisimu pada dunia. Lupakan ketakutanmu pada kemiskinan karena menunda impian. Karena keberkahan hidup tidak semata diukur dengan banyaknya harta. ©kurniawangunadi
757 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
“Ya Allah when I am down, remind me that your love for me is greater than my disappointments and your plans for me are better than my dreams. Ameen”
562 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Ketika stuck di satu jalan, kita memang butuh orang lain untuk membantu kita melihat jalan yang lain. Terkadang bukan karena kita tidak tahu jalannya melainkan kita yang terlalu fokus pada hal tersebut sampai lupa bahwa jalan yang lain bisa saja lebih mudah dan lebih menyenangkan.
Terima kasih untuk semua yang sudah membantu melihat "jalan lain" itu. Allah baik banget, membuat jalan hidupku dan kalian beririsan 😊.
5 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Perbaiki saja jalan pikiran kita, permudah saja cara bahagia kita, tenangkan lagi jiwanya dan perlebar lagi hati dan perasaan kita. Agar semua yang masuk tidaklah berat, sebab semua akan ada habisnya.
Dari akun @jndmmsyhd
1 note · View note
fauziahrahman · 4 years
Text
Yaa, childhood is over...
Dewasa itu...
"Talang air pecah tadi malam. Mungkin kepanasan. Regulator gas udah mulai ga ngunci. Plafon kamar mandi lubangnya udah mulai besar. TV dari kemarin ndak ada suaranya. Listrik suka mati karena gak kuat, mesti naikin daya. Ini mau kemarau. Air sumur biasanya suka kering. Mending pasang air pam aja."
Waktu kecil, masalah harian, bulanan atau tahunan di atas tidak pernah saya ambil pusing. Tanggung jawab saya hanya berangkat sekolah, ngerjain PR dan makan tepat waktu. Itu saja. Masalah lain saya anggap angin lalu, sebab saya percaya semua pasti beres.
Di dalam pikiran saya, Orang tua saya hebat. Pasti punya tabungan yang cukup untuk bertahan hidup dan memperbaiki ini itu. Semua orang tua, saya pikir juga demikian. Semua orang tua pasti sudah punya tabungan banyak sebelum memutuskan menikah dan siap mengurus anak dan memperbaiki ini itu. Mental orang tua pasti kuat dan punya seribu satu cara mencari uang dan menyelesaikan masalah.
Dulu waktu kecil, semua masalah pasti beres. Entah bagaimana beresnya. Entah berapa uang yang dikeluarkan. Entah di mana beli ini itu. Entah lebih penting itu atau itu, prioritas ini dulu atau itu dulu. Entah dari mana sendok dan piring datang. Entah dari mana panci, gunting, korden jendela datang. Tiba-tiba saja semua ada.
Ketika merengek minta uang dan mereka bilang tak punya, saya yakin mereka sebetulnya punya. Tapi memang tak mau terlalu boros. Entah di mana mereka menyimpan uang, pasti di suatu tempat ada persediaan uang yang banyak yang betul-betul mereka atur dan pasti dikeluarkan saat kondisi mendesak. Jadi tak perlu khawatir.
Sekarang, setelah orang tua saya menganggur dan saya bekerja, saya mengerti. Bagaimana tidur dengan pikiran mengganjal. Besok mesti memperbaiki ini itu. Membayar ini itu. Beli ini itu. Saya paham jika ini tidak dibeli maka ini tidak bisa ada di rumah. Jika ini dibeli maka uang berkurang dan keperluan lain tertunda. Jika keperluan yang lain tertunda bisa jadi nanti berantakan. Tidak bisa masak. Tidak bisa mandi.
Sekarang, saat sumber keuangan datangnya hanya ke saya (dalam keluarga) maka otomatis tanggung jawab semua keperluan ada di pundak saya. Jika ini itu tidak diperbaiki maka tidak akan diperbaiki. Jika plafon kamar mandi tidak diganti maka akan terus seperti itu. Jika oli motor tidak diganti maka tidak akan diganti. Tidak ada yang bisa diandalkan lagi, sebab saya sudah dewasa dan punya pemasukan.
Menjadi dewasa artinya sadar diri dan sadar lingkungan. Jika ini rusak dan saya ikut menggunakannya maka saya juga bertanggung jawab ikut memperbaikinya. Tidak bisa mengandalkan tetangga. Tetangga sudah punya masalah mereka sendiri. Tidak bisa mengandalkan orang tua lagi. Orang tua juga punya masalah dan perjuangan mereka sendiri.
Sekarang, setelah memegang uang sendiri saya tahu bahwa jika tak punya uang artinya memang tak punya. Bahwa dalam kondisi mendesak pun jika tak punya uang maka betul-betul tak punya. Bahwa ternyata orang tua saya pun bisa tak punya uang. Bisa tak memegang uang. Bisa stuck seperti anak kecil yang kehabisan uang saku saat di sekolah. Bahwa orang tua tak selalu punya. Bahwa kadang orang tua pun bisa sangat senang mendapat uang 10 ribu.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar banyak hal. Belajar mengganti regulator, memperbaiki stopkontak. Mesti belajar cara memasang pralon dan keran air untuk menghemat uang. Mesti tahu tarif wajar tukang saat ada genting bocor, antena patah atau mau membangun kamar mandi baru. Berapa harga semen dan pasir. Beli di mana yang lebih hemat. Merk semen apa yang bagus. Keramik apa yang paling cocok untuk kamar mandi dan murah.
Menjadi dewasa artinya mesti pandai bersikap dan menanggapi situasi. Mesti tahu informasi hidup orang-orang sekitar, mesti pandai memilah kata sebelum diucapkan supaya tidak menyinggung. Mesti tahu ibu ini pihak mana ibu itu pihak mana. Mesti tahu bapak itu punya masa lalu buruk dengan bapak A atau B. Juga mesti membesarkan hati dan siap karena saya akan mulai menjadi salah satu objek pembicaraan orang di sekitar.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam sistem sosial. Bahwa saya juga bisa sakit dan perlu berobat. Mendaftarkan diri ke puskesmas. Mengantri di poli klinik rumah sakit. Menebus obat di apotek. Mengurus SIM, bayar pajak di samsat, iuran bpjs. Semua tidak akan didapat jika saya tidak bergerak. Saya tidak bisa sembuh jika tidak berobat. Waktu kecil. Saat sakit yang jadi masalah hanya rasa sakit. Menahan sakit. Masalah biaya, masalah pergi berobat, masalah administrasi sudah ada yang mengurus. Sudah ada yang memikirkan. Saat dewasa, sakit pun mesti memikirkan biaya obat, biaya menginap, biaya konsultasi dokter, biaya transportasi.
Menjadi dewasa artinya menjadi warga negara. Bahwa nama telah tercantum dalam beberapa kartu dan surat-surat penting. Bahwa nama bukan lagi hanya sekedar nama panggilan. Bahwa saya memiliki suara untuk memilih. Bahwa apa yang saya putuskan dan lakukan bisa berdampak besar. Bahwa jika melakukan kesalahan atau kejahatan saya bisa dipidana.
Menjadi dewasa artinya kesadaran makin tinggi dan luas. secara tak sadar saya mesti mengamati tatapan mata orang lain, cara mereka bicara, adakah yang disembunyikan. Senyum yang tulus atau tidak. Basa basi atau serius. Dia suka dengan saya atau tidak. Bagaimana saya mesti menguasai suasana. Berpakaian sesuai suasana. Bersikap sesuai suasana. Rasa malu pun juga menjadi sangat besar dan sensitif.
Waktu kecil, bahkan saya tidak peduli saya di mana. Mau di rumah, pasar, loket kereta, di dalam bus, di tengah hajatan, saya hanya fokus dengan apa yang membuat saya tertarik. Saya tidak peduli dengan yang lain. Saya hanya peduli teman saya bersembunyi di mana. Semak-semak atau di belakang rumah. Saya hanya peduli dengan dunia yang baru saja jadi tepat saat kawan dan saya menentukan siapa yang berjaga siapa yang bersembunyi.
Menjadi dewasa artinya kesadaran semakin dalam. Mau tidak mau pikiran secara tidak sadar memperhatikan hal-hal kecil dan artinya mesti belajar bahwa hal-hal kecil pun sebenarnya penting dan tidak bisa dianggap remeh. Bahwa bilang begini belum tentu orang menerimanya dengan baik. Bahwa hal yang sepele pun bisa menyakiti orang lain.
Menjadi dewasa artinya kepekaan semakin sensitif. Peka ketika orang lain membicarakan saya dan saya mesti belajar pura-pura tidak mendengarnya. Peka ketika ada yang tidak suka dengan saya. Peka ketika ada yang butuh bantuan tapi tidak berani bilang. Peka dalam memahami apa yang bahkan tidak dikatakan. Peka terhadap maksud orang lain yang disembunyikan. Peka ketika ada tamu dan mesti mencarikan cemilan dan minum. Peka ketika ada orang yang suka dengan saya tapi saya mesti menjaga jarak. Kepekaan itu datang dengan sendirinya dan semakin sensitif dari waktu ke waktu.
Menjadi dewasa artinya rasa malu semakin besar. Sering tidak pede dengan bentuk badan atau wajah sendiri. Tidak bisa bersikap sesuai dengan keinginan hati. Tidak bisa makan sambil lari ke sana ke mari. Tidak bisa memakai pakaian seenak hati. Tidak bisa banyak tingkah di tengah banyak orang.
Menjadi dewasa artinya menjadi bagian dari masyarakat. Mulai diperhatikan dan dibicarakan. Tidak seperti anak-anak yang diabaikan segala tingkahnya. Menjadi dewasa, segala sikap, ucapan dan pikiran akan diperhatikan dan dinilai orang lain. Tidak bisa nyelonong ke sana ke sini dan berharap diabaikan banyak orang.
Menjadi dewasa artinya sadar terhadap sistem dunia dan menjadi lebih realistis. Bahwa jika tak membeli maka tak punya. Bahwa jika tak punya maka tak bisa memakai. Bahwa jika tak punya kulkas maka tak bisa mendinginkan air dan menambah usia sayur. Bahwa jika tak punya mesin cuci maka mesti mencuci dengan tangan. Bahwa jika tak beli sabun maka tak bisa mandi. Bahwa jika tak bekerja maka tak punya pemasukan. Bahwa jika pengeluaran lebih besar dari pemasukan maka akan terlilit hutang. Bahwa jika tak bergerak maka tak bisa beli ini itu. Bahwa jika tak punya uang berarti memang tak punya uang. Bahwa jika tak punya keahlian tertentu maka akan tertinggal.
Bahwa teman-teman lebih butuh lunas cicilan motor daripada main hujan atau petak umpet. Bahwa senang-senang dan tertawa sepanjang hari tidak bisa membuat kenyang. Bahwa semua butuh uang. Bahwa uang penting. Bahwa uang meski bukan segala-segalanya tapi hampir segala-galanya butuh uang. Bahwa jika tak punya uang segalanya jadi sulit. Bahwa orang baik pun butuh uang. Bahwa hidup bukan hanya masalah makan minum.
Bahwa hidup tidak seperti film yang hanya fokus pada kerangka cerita saja. Bahwa hidup artinya menjalani inci demi inci, aroma demi aroma, kenangan demi kenangan, keringat demi keringat, air mata demi air mata. Bahwa hidup puncaknya bukan happy ending. Bahwa ketika berada di puncak kebahagiaan bisa jadi besok jatuh lagi. Bahwa ending dalam hidup adalah kematian, bukan terwujudnya impian.
Bahwa masa tua yang berat dan lemah pun mesti dijalani, bahagia atau tidak. Suka atau tidak suka. Bahwa ketika kehilangan seseorang artinya memang kehilangan. Tidak bisa ditawar tidak bisa merengek supaya ia kembali.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar merelakan. Merelakan orang yang sangat disayang tiada. Merelakan kegagalan. Merelakan kekecewaan. Merelakan hal-hal yang tidak berjalan dengan baik. Merelakan waktu dan tenaga yang terkuras namun tidak menghasilkan apa-apa.
Merelakan kesalahan saat memutuskan. Merelakan kejadian yang mengubah banyak hal. Merelakan keadaan yang menempatkan diri dalam posisi sulit. Merelakan ketidakberuntungan. Merelakan posisi diri yang berbeda dengan orang lain.
Menjadi dewasa artinya mesti sabar. Tak bisa meluapkan emosi dengan tangisan (supaya yang diingini segera ada). Tak bisa meminta simpati orang lain dengan tangisan. Tak bisa merengek minta ini itu kepada orang lain.
Tak bisa memencet tombol skip untuk melewati waktu yang sulit, melewati malam hari saat sakit, melewati bulan yang buruk, melewati waktu magang yang tidak mengenakan, melewati tahun yang menyebalkan, melewati beberapa jam saat antre. Tak ada tombol skip.
Menjadi dewasa artinya mesti ikhlas dan tidak terlalu bergantung pada emosi. Tidak terlalu kecewa ketika sesuatu tidak berjalan baik. Tidak terlalu marah ketika es buah yang sudah disimpan dikulkas dimakan orang lain. Tidak terlalu kecewa ketika keinginan tidak terwujud. Tidak terlalu marah ketika barang kesayangan jatuh dan rusak.
Pada akhirnya hanya perlu bilang "ya sudahlah.tak apa." lalu lebih fokus memperbaiki apa yang rusak, mencari jalan keluar, mencari cara mengatur ulang rencana daripada merengek dan kecewa berlarut-larut.
Lebih ingin segera menyelesaikan masalah dengan cepat dan sederhana. Malas memperuncing permasalahan dan suasana. Malas mengeluarkan energi lebih.
Menjadi dewasa artinya tidak seantusias dulu waktu kecil. Tidak terlalu ingin naik bianglala, tidak terlalu antusias datang ke pasar malam, tidak terlalu antusias bermain air, tidak terlalu antusias pergi piknik. Saat dewasa banyak yang sudah dialami, banyak yang sudah dirasakan. Hal-hal yang dulu membuat antusias menjadi biasa saja, membosankan dan terkesan merepotkan.
Malas basah-basah, mesti bawa plastik, menyimpan baju basah, ganti baju di kamar mandi umum, nanti pulang mesti bilas mandi, mesti nyuci baju basah. Pergi piknik pun malas. Mesti nyiapin pakaian, uang, barang ini itu, bekal, outfit yang sesuai dengan tempat dan tidak membuat malu.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam norma sosial. Mesti memperhatikan norma-norma di setiap tempat. Mesti memperhatikan sikap diri sendiri, sikap orang lain dan penilaian orang lain. Mesti membangun persona tertentu. Mesti menahan diri.
Menjadi dewasa artinya mesti mengikuti irama waktu. Bahwa ada yang bisa ditunda ada yang harus segera. Ada yang prioritas ada yang bisa dikesampingkan. Ada yang kebutuhan ada yang keinginan. Ada yang sekarang ada yang nanti. Ada kemarin, ada sekarang, ada besok. Ada masa lalu, masa kini dan masa depan.
Menjadi dewasa artinya menjadi manajer diri. Mesti mengatur waktu, mengatur keperluan, mengatur pengeluaran dan pemasukan. Mengatur emosi dan mood. Mengatur rencana ke depan. Sebab tidak ada orang lain yang akan melakukan itu semua untuk saya.
Menjadi dewasa artinya menjadi pemimpin diri. Mesti memutuskan keputusan-keputusan sulit. Mesti memikirkan konsekuensi ke depan. Terhadap diri saya sendiri dan orang lain. Mesti memikirkan untung dan rugi. Baik dan buruk. Pantas dan tidak pantas
Menjadi dewasa artinya pikiran semakin luas dan sibuk. Banyak yang mesti dipikirkan. Dari hal-hal sepele sampai besar. Rencana-rencana ke depan sampai masa lalu. Dari kejadian kemarin sore sampai kejadian tadi pagi. Dari hal-hal yang sudah terjadi sampai hal-hal yang belum terjadi, yang masih diawang-awang:
Besok ketemu ini itu. Bicara di depan banyak orang. Kira-kira baju apa yang bagus. Pakai kaos kaki atau tidak. Rambut perlu potong tidak. Presentasi ini perlu dijelaskan atau tidak. Saat pembukaan lebih baik begini atau begitu. Berapa orang yang hadir. Jam berapa sebaiknya mandi.
Tahun depan mau ngapain. Kerja di mana. Nikah umur berapa. Mending kontrak atau di rumah aja. Kalau ikut mertua enak atau ndak. Gimana kalau konflik dengan mertua. Mending anak 1 atau 2. Nanti sekolahnya di negeri atau swasta. Nanti uang cukup ndak untuk kebutuhan sehari-hari. Makan, pakaian anak istri, bantu orang tua juga. Bagaimana jika anak tidak bahagia dan merasa kekurangan. Bagaimana jika istri merasa susah karena tidak punya kulkas, mesin cuci, rumah tidak terlalu bagus. Bagaimana jika nanti saya bosan dengan istri sendiri. Bagaimana jika ada konflik. Bagaimana jika nanti kita bertengkar. Bagaimana jika nanti begini begitu.
Saya tidak sedang membicarakan makna kedewasaan secara hakiki atau psikologis. Saya juga tidak sedang membicarakan usia. Saya membicarakan kondisi seseorang yang sadar bahwa dirinya sudah bukan bocah lagi.
Selamat tinggal masa kecilku.
1K notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Takdir-Takdir yang Tertunda
Tumblr media
Tanpa terasa, sudah sebulan kita menjalani masa-masa #dirumahaja. Bagaimana kabar dirimu? Adakah yang sudah mulai bosan dan ingin melihat dunia luar lebih jauh dari sekedar berjalan-jalan di sekitar rumah? Bagaimana juga kabar hatimu? Adakah yang sudah mulai gusar, resah, juga gelisah karena sesuatu? Bagaimana pun kabar diri dan hatimu saat ini, semoga surat ini bisa tetap hadir tepat di hatimu. Sebab, sejak beberapa hari yang lalu, ada sesuatu yang ingin kuceritakan. Apakah itu?
Beberapa hari lalu, saya membaca secuplik tulisan yang ditulis oleh seorang kakak dalam Instastory yang diunggahnya. Dalam sebuah panel disana, beliau menuliskan,
“Ketidakpastian itu memang selalu jadi ketakutan manusia. Bukankah kita selama ini berusaha keras untuk mengontrol keadaan, membuat sesuatu bahkan orang lain berada dalam kendali kita. Kita membuat rencana-rencana yang teliti. Kita membuat strategi dan siasat. Semua itu nampak sia-sia. Kita kini bahkan tak mampu mengendalikan diri kita sendiri. Sebelum ini, kita tak mengenal tawakal. Sebelum ini, kita tak pernah mengenal pasrah. Sebelum ini, kita adalah orang yang penuh gairah untuk menjalani hari demi hari. Kini, kita takt ahu apa-apa.” – Kurniawan Gunadi
Kalimat demi kalimat yang ditulis disana membuat saya berpikir dan merenungi banyak hal, tak hanya yang berkenaan dengan diri sendiri, namun juga orang lain dan tentunya orang-orang di sekitar. Kalimat itu benar. Betapa tidak, saat ini kita memang seolah tidak memiliki gambaran tentang bagaimana hari-hari kita di depan akan bergulir. Tidak hanya itu, kita pun sedang dipaksa akrab dengan berbagai ketidakpastian. Rasanya, semua serba tanda tanya, entah apa dan bagaimana jawabannya. Ada kelulusan yang entah ditunda sampai kapan. Ada sidang tugas akhir yang entah bagaimana bisa dikejar. Ada khitbah yang mau tidak mau harus ditangguhkan. Ada pekerjaan yang hilang, yang entah kapan penggantinya akan datang. Ada pula ketetapan-ketetapan lain yang kita tunggu, namun tak pernah ada yang pasti tentang kapankah ia akan datang. Apakah kamu sedang merasakannya? Hal apa yang kini sedang kamu tunggu dan sudah mulai meresahkanmu?
Entah bagaimana, kondisi pandemi yang mendunia ini sedikit banyak menggoda kita untuk mulai menyalahkan Corona atas apa-apa yang terjadi di luar rencana kita, “Lulus ditunda nih, gara-gara Corona. Khitbah terancam diundur nih, gara-gara Corona. Naik gaji enggak jadi nih, gara-gara Corona. Aku resign nih, gara-gara Corona. Agenda hidup jadi berantakan nih, sebel banget, gara-gara Corona.” Begitulah, semua gara-gara Corona. Tapi, apakah memang benar bahwa semua penundaan, penangguhan, atau pembatalan itu terjadi gara-gara Corona?
Kalau kita mengedepankan emosi dalam berpikir mengenai segala ketetapan takdir atas diri kita saat ini, mudah sekali kiranya bagi kita untuk setuju bahwa semua yang tak sesuai dengan apa yang pernah kita doakan, harapkan, dan rencanakan ini memang gara-gara Corona. Namun, ketika kita menggeser sudut pandang dan menggunakan lensa iman sebagai landasan cara pandang kita atas semua ini, kita akan temukan bahwa sejatinya, dengan atau tanpa adanya Corona, segala ketetapan takdir-Nya atas diri kita sudah ditetapkan-Nya dengan sempurna sedemikian rupa, bahkan sebelum kita terlahir ke dunia. Dalam hadist At-Thirmidzi bahkan disebutkan bahwa berkenaan dengan hal-hal seperti ini, pena telah diangkat dan tintanya pun telah mengering.
Yup! Bukan Corona yang datang mengubah atau menunda kedatangan takdir. Namun, kedatangan Corona itu sendiri pun telah menjadi bagian dari ketetapan takdir. Tanggal sidang, kelulusan, menikah, naik gaji, menerima pekerjaan baru, dst, semua sudah Allah tetapkan. Maka, tidak produktif kiranya jika kita saat ini sibuk menyalahkan Corona atau bahkan menyangkal takdir. Sebaliknya, hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah tetap menuggu dengan sabar dan tetap berupaya lagi, berdoa lagi, juga berbaik sangka lagi kepada Allah. Tenang, sebab Umar bin Khattab pernah berkata,
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”
Tidak mudah memang. Sebab, bagaimana pun kita terbiasa untuk memiliki kehendak-kehendak diri. Tidak hanya itu, mungkin kita pun terbiasa untuk bersandar pada kehendak-kehendak itu hingga melupa bahwa Allah pun memiliki kehendak dan hanya kehendak-Nyalah yang menjadi sebaik-baik kehendak. Tidak apa-apa, barangkali memang inilah saatnya bagi kita untuk menundukkan hati dan jiwa untuk kemudian kembali berserah dan berbaik sangka kepada-Nya. Selama bersama-Nya, tak ada apapun yang akan terjadi selain dengannya kita beroleh kebaikan, bukan? Tetap semangat, ya! Jika suatu ketika kamu lelah, ingatlah bahwa tak ada setetes air mata pun yang akan disia-siakan-Nya. Semoga Allah melapangkan jiwa kita semua. Baarakallahu fiik.
“Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakukan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?” – Ibn Atha’illah, dalam Al-Hikam
___
Picture: Pinterest
512 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Hatiku tenang, bahwa Allah itu Maha Menepati Janji
Jangan Lelah Berdoa
“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku.” (QS. Maryam: 4).
Wahai diri, jangan pernah lelah dalam berdoa kepada-Nya, meskipun belum mendapatkan apa yang kita inginkan. Yakinlah setiap doa-doa kebaikan itu akan terkabul sesuai dengan cara-Nya. Yang harus kita lakukan adalah berbaik sangka dan percaya pada-Nya.
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60).
Maka jangan remehkan kekuatan doa. Doa merupakan senjata kita dalam setiap situasi. Kadang kita suka lucu, keinginannya banyak tapi malas meminta pada-Nya.
“Kadang kita lebih mencintai hasil terkabulnya doa, daripada berdoa itu sendiri. Kalau sudah berdoa, aku tidak peduli dikabulkan kapan, dimana, dan seperti apa. Pokoknya kalau Allah sudah menuntunku untuk berdoa berarti karunia-Nya sudah siap. Tetapi yang aku takutkan kalau Allah tidak menuntunku untuk berdoa, tidak memberi taufik menggerakkan hati dan lisanku untuk berdoa, itu bahaya, berarti Allah tidak suka bermesra-mesraan denganku.” -Salim A. Fillah-
Kalau kata @andromedanisa: “Salah satu bentuk terkabulnya doa-doa mu adalah kau akan merasa tenang dengan hal-hal apa saja yang akan menimpamu nantinya. Sebab kau paham bagaimana hakikat pasrah hanya kepada-Nya. Meski sakit yang kau rasa, meski tangisan selalu datang menyapa. Cara Allah mengabulkan doamu akan dirasa tidak mungkin untuk ukuran akal manusia. Sungguh, kau akan dibuat takjub berkali-kali, dan mengucap syukur pun berkali-kali.”
Apapun yang kita impikan, mintalah pada Allah. Bukankah Allah yang menciptakan langit tanpa tiang dapat dengan mudah mewujudkan impian kita? Kumohon, jangan berputus asa dalam memohon kepada-Nya.
448 notes · View notes
fauziahrahman · 4 years
Text
Mungkin, kemudahan-kemudahan yang kamu dapatkan dalam hidup adalah berkat doa-doa ibumu.
Rindu Ibu, ingin ku peluk tapi kini hanya bisa mengirimkan doa, semoga Allah jaga di alam sana.
1 note · View note
fauziahrahman · 4 years
Text
Matahariku, cepatlah bersinar kembali
Mari bangkit bersama, meraih ridhoAllah yang lebih banyak
0 notes