Tumgik
Text
Ramble, Bumble.
This is not a piece of writing. Well, yes, technically it is. Although not so structural like pieces I’ve written before.
Just, a thought suddenly came across my head.
The moment you decide to end everything, the moment that you decide to greet death... you are not the one who will get sad.
Your parents, siblings, relatives, friends. Even though you always feel like you’re always alone. It’s unbelievable, but they actually care about you.
I will not tell you to quit your drama. I know what’s going on in your head, more or less. I know that everything that happens are not less than reality. I know the demons invading your thoughts.
Involuntary crying sessions. Intrusive thoughts. Suicidal thoughts. The absurd, yet perfectly eloquent longing of death. Scissors. Cutters. Every deep cut you have made. Every chance you’re avoiding sharp tools, afraid that the demons in you would take over.
I. Know. Everything.
0 notes
Text
Moonlight Sonata
Malam itu bagai sendirian di tengah ramai.
Hanya aku dan segelas jus jeruk di tanganku, menunggu untuk diminum. Aku sendiri kurang menyukai jus jeruk. Aku bahkan tidak sadar telah mengambil gelas itu. Kini cairan kuning pekat itu hanya menganggur di tanganku. Es di dalamnya mulai mencair, namun aku tidak melakukan apapun. Tidak pula meminumnya. Hanya menatap butir-butir air mulai lahir dari es yang mencair.
Bisakah seseorang merasa sendirian di tengah keramaian?
Ya.
Aku merasa sendirian saat itu. Mungkin seharusnya aku menolak undangan pesta malam tahun baru ini dengan cara sebaik mungkin. Mungkin seharusnya aku tidak datang. Mungkin seharusnya aku tetap di dalam kamarku, menatap langit yang dirundung kelam seperti biasa, larut dalam lamun. Bagi orang-orang membosankan, namun bagiku tidak ada kata bosan. Bahkan diriku sendiri sudah terlalu luas buat kutelisik setiap malam.
Aku ingin menghilang. Aku ingin tenggelam sepenuhnya dalam benakku sendiri. Aku ingin merasa sendirian. Hal yang biasa kunikmati di jam-jam absurd, dimana orang-orang normal akan menikmati waktu tidur mereka. Aku lebih memilih mengeksplorasi diriku sendiri, tentang bagaimana aku berpikir, daripada menikmati waktu tidur. Bila kantuk merundung, cukup seteguk kafein dari mug kesayanganku, dan aku akan terjaga hingga larut. Kala lamun mulai merasuk benak, aku dapat merasa hilang. Aku tidak ada di manapun. Tidak di bumi, tidak pula di antara gemintang anak-anak bintang yang berkerlip ceria menemani sang ratu malam bersinar purnama.
Aku ingin hilang…seperti itu.
Pertanyaannya, bagaimana?
“Jadi, kau menikmati pestanya?”
Aku bahkan tidak perlu mengangkat kepalaku untuk tahu siapa yang menyapaku. Langit. Satu-satunya sahabat yang mengerti keinginanku untuk hilang. Satu-satunya yang mengetahui bagaimana rasanya lelah dan jemu tanpa melakukan apapun. Pemuda jangkung itu mengerti, dan tidak lagu menunggu balasan dariku. Ia hanya duduk, dan menyejajarkan pandangan mataku dengannya. Aku hanya diam, masih menatap matanya dalam hening. Lama kami berpandangan dalam hening. Pandangan matanya di balik kedua lensa itu datar, kedua iris obsidian milik laki-laki itu, yang biasanya bersinar ekspresif, malam itu nampak datar.
“Ayo, ikut aku.”
Tiga kata. Satu kalimat. Sebuah kepercayaan.
Langit membawaku ke halaman belakang yang sepi. Satu persatu orang-orang yang ada di sana masuk ke dalam bangunan untuk mengikuti acara puncak, menghitung mundur menuju tahun baru. Kulirik posisi bulan di langit, dan aku tahu bahwa tidak lama lagi sudah tengah malam. Penutup tahun. Kami masih saling diam, hingga halaman itu sepenuhnya kosong. Hanya aku dan Langit, sahabatku.
Ah, tidak. Aku, Langit, dan para nokturnal penghuni malam.
“Kau masih ingin menghilang.” Tanpa menatapku, Langit mengeluarkan sebuah konklusi atas diamku. Aku sendiri tidak menjawab, dan tidak ingin menjawab. Langit mengerti diamku, yang bukan berarti merendahkan buatnya. Diamku hanya diam. Diam tanpa, sekaligus sarat, makna.
“Langit malam sedang bernyanyi.” Aku menggumam, tanpa arti. Disambut anggukan lemah dari lelaki di depanku.
“Senandungnya merdu, di balik saputan kelabu.” Alih-alih berhenti, ia meneruskan. Kami berdua tahu dari mana kedua baris kalimat itu muncul.
“Bila aku menghilang,” aku memulai, ragu. “apa yang akan kaulakukan?”
Sepasang manik obsidiannya bersirobok denganku. Berbaris kalam tertahan di antara kami, dan terpahami tanpa harus berucap. Sementara hiruk pikuk orang-orang menghitung mundur dari sepuluh, kami terbalut solitud hening.
“Menemukanmu.”
Satu kata itu lahir dari lisannya tepat saat jarum jam berdetak menandakan awal yang baru. Baru kali ini, aku menyadari sebuah fakta paling krusial dari keinginanku selama ini, yang sayangnya disadari lebih dulu oleh Langit.
Aku ingin menghilang…tak hanya sekedar hilang.
Aku ingin ditemukan.
@nadiaakarima | Jan 3, 2012 22.49
Ludwig van Beethoven, danke schön.
0 notes
Text
Sepotong Hujan
Disclaimer: Shinhwa’s Shin Hyesung belongs to his respective companies, the OC, plot, and the poem is entirely mine.
Based on poem “Teruntuk Hujan: Sepotong Puisi Atas Nama Cinta dan Cita” by Linnika Sora/Nadia Karima Izzaty.
Also posted on shinhwafanfiction@wordpress
Buat setiap tetes air yang mendenting kaca jendela…
Ucapkan rindu.
Salam teruntuk rindu nan mendalam, yang meluruh bersama duka
Menyamar nestapa di balik sendu.
Lagi-lagi hujan.
Pria bertubuh tinggi langsing itu meraih payungnya yang berwarna keperakan. Sudah satu minggu berturut-turut hujan turun, berebutan mencumbu bumi Seoul. Bukan hal yang buruk, sih, mengingat betapa panasnya musim panas yang lalu. Sudah masuk musim gugur, angin September yang dingin mulai berhembus. Dedaunan mulai berguguran, seolah bersuka cita akan datangnya angin musim gugur.
Pria itu tidak pernah membenci hujan, omong-omong.
Hanya saja, siapapun akan membenci hujan apabila harus ke suatu tempat dalam keadaan mobil pribadinya masih berada di bengkel untuk perbaikan.
Terpaksa mengambil kendaraan umum, Hyesung berjalan cepat keluar dari apartemennya. Ia sengaja mengenakan hoodie warna putih yang tidak mencolok, celana jins butut dan sneakers putih yang sama bututnya. Sekaligus menyandang ransel warna biru, berisi pakaiannya yang lebih—ah, pantas, untuk dikenakan. Mana mungkin dia menemui atasannya di Liveworks Entertainment dengan pakaian seperti itu? Kostumnya sekarang hanyalah kamuflase demi membaur di tengah publik.
Buat setiap kilas yang membayang selaik hantu
Samar, namun jelas jua
‘Kan menjelang haturan selama tinggal padamu
Senaas petang nan kelabu yang melukis mega.
Bagi sebagian orang, dongeng hanyalah isapan jempol belaka, yang mudah terlupa, papa diseka waktu.
Bagi Shin Hyesung, putri hujan dan ksatrianya bukan sekedar dongeng.
Tersebutlah Han Yoomin, putrinya yang mencinta akan hujan. Duduk di tepian jendela setiap kali hujan datang menyapa, seolah melepas rindu akan serbuan butir-butir elemen air yang tak kalah merindunya akan bumi pertiwi.
Takkah kau menghirupnya, ujar perempuan itu, takkah kau merasa akannya?
Harum hujan merasuk sukmaku.
Berbagai majas, gaya bahasa dan setiap tutur perempuan itu berbobot, seakan tiada satupun kata yang lahir dari lisannya yang terucap sempurna percuma. Semua sarat akan makna, tersirat dan tersurat.
Sebagai ksatria yang telah bersumpah untuk menjaga putri itu, bagaimanapun caranya, tentu ia hanya mampu mengulas senyum. Berusaha memahami hati putrinya yang terlampau cantik untuk ia pahami. Nampak dari indah tuturnya, santun lisannya, kerlip di kedua bola matanya yang sewarna obsidian.
Adalah tugas seorang ksatria untuk menjaga putrinya. Bukan jatuh cinta kepadanya.
Buat getir yang terdera perih
Kan abai diriku,
Bahkan bila mampu hujan meluruh pedih
Biar waktu saja yang hapus liku luka batin, semu.
Hujan semakin deras. Hyesung membuka payungnya yang berwarna keperakan. Segera sosoknya menyelip, timbul-tenggelam di antara lautan manusia Seoul yang menyebrang jalan untuk sampai di halte bus. Rupa-rupanya orang-orang sedang sibuk-sibuknya beraktivitas. Hingga lupa menatap wajah satu sama lain, mengamati sekilas atau sekedar menganggukkan kepala tanda sopan. Buktinya Hyesung sama sekali tidak dikenali, meskipun ia memang sedang sedikit menyamar.
Separuh berlari, kakinya menjejak bumi tegas. Sepatunya kini sudah kuyup terbasuh air hujan. Tapi peduli apa. Ia ingin berlari, terus berlari.
Berlari dari luka yang mendadak menginvasi otaknya.
Buat luruh hujan yang menderas bumi,
Yang hanyutkan bermacam labirin luka
Bisakah kau pinta waktu demi hapuskan luka ini?
Biar hati menetap untuk menatap, tegar di balik sandiwara.
Aku pergi, ujar putri itu. Kau bisa menjagaku hingga aku kembali?
Bayangkan betapa sakit hati ksatria itu, macam disayat sembilu saja pilunya. Bagai disambar halilintar, Hyesung terkesiap. Terlebih ketika sang putri hanya diam tanpa kalam ketika Hyesung bertanya perihal alasan fundamentalnya pergi. Pergi kemana? Berapa lama? Mengapa? Kapan kembali?
Semua dijawab Yoomin dengan bisu.
Emosi mendera. Seluruh sel tubuh Hyesung menjeritkan penyesalan akan ledakan emosi yang melandanya. Sebuah bentakan yang tak terkendali melayang darinya.
MENGAPA? KAU MEMBENCIKUKAH? SEPERLU ITUKAH KAU PERGI?
Kau tidak mau menantiku? Justru pertanyaan polos itu balasan atasnya. Ksatria itu memutuskan untuk diam, pergi meninggalkan Yoomin yang tergugu dalam sunyi. Sedih.
Aku jatuh cinta kepadamu, Hyesung menjerit dalam hati. Namun lisannya terkunci. Aku jatuh cinta kepadamu, hingga rasanya sakit sekali hanya melihat eksistensimu saja.
Aku jatuh cinta kepadamu.
Sebuah pengakuan melayang dari bibir Hyesung, dibalas bisu seribu kalam oleh Yoomin. Pengakuan tanpa balas. Hyesung sakit hati. Seolah gadis itu tidak mau menjawab, entah marah atau tersanjung. Atau tersinggung. Atau kecewa. Berbagai pikiran dan sugesti akan probabilitas tanggapan Yoomin akan pengakuannya berkecamuk, membuatnya nyaris berteriak. Gila.
Yoomin hanya tersenyum, kecil tanpa makna. Langkahnya kecil, perlahan menjauh. Seolah tidak rela meninggalkan sesuatu yang ia hargai. Tatapan matanya sendu, tak lagi nampak binarnya. Binar yang biasa hadir di balik sepasang mata kumbang pohon itu ketika menatapi hujan, bercengkrama dengan alam. Binar yang biasa menghuni kedua bola matanya ketika mereka duduk berdua, takzim menyaksikan panorama senja yang menorehkan lini jingga di horizon barat. Seolah Hyesung telah merenggut binar itu dan mematikannya. Sehingga hanya senyum itu yang menghiasi paras ayunya.
Han Yoomin, kau cantik sekali dengan senyummu yang sedih…
Buat hujanku, yang mewarna senja
Merona layu, bagai sedih nian
Bila temu sua selanjutnya ‘lah akan lama membilang masa
Kenankan aku menunggu hingga jadi waktu dibangun.
Halte bus itu penuh sesak akan orang-orang yang hendak naik bus. Semua orang berdesak-desakan, hingga tak ayal Hyesung pun turut terdesak. Berdecak kesal, pria itu mengatupkan kembali payung keperakannya. Sudah basah kuyup, tubuhnya terdesak-desak kerumunan calon penumpang, mobilnya masih di bengkel, ia nyaris terlambat, belum lagi sepatunya basah. Jelas hari sialnya.
Sebuah bus berlalu begitu saja, mengangkut sebagian besar dari calon penumpang yang berdesakan di halte tersebut. Kini hanya tinggal beberapa orang saja, setia menunggu bus yang akan ditumpangi. Hyesung masih asyik dengan lamunannya sendiri ketika sehelai kertas mampir ke wajahnya, tertiup angin dingin.
“Ah, maaf, itu kertasku.”
Suara feminin itu membuat Hyesung segera menoleh. Tak salah lagi, sosok semampai yang kini sedang menatapinya itu. Dia. Tangan perempuan itu, yang semula hendak mengambil kertas yang mampir ke wajah Hyesung, terhenti di udara. Nampak parasnya yang ayu juga tak kalah terkejutnya dengan Hyesung.
Di bawah melodi rinai hujan, putri dan ksatrianya menemukan satu sama lain.
Demikian, hingga telah tuntas masa membilang dirinya,
Dua anak manusia menemukan sepotong jiwanya dalam satu sama lain
Di belantara deru angin yang mereguk rindu keduanya,
Bahkan anak-anak hujan turut bersuka cita atasnya.
0 notes
Text
Setitik Harap, Tuhan, Cukup
Ia maya, namun nyata
Ia nyata, namun maya
Malaikat pagi itu berlabuh
di dermaga embun.
Kepak sayapnya merepih gelap,
di balik dini hari ia bersemayam.
Dari dua lensanya terajut hening nan biru,
mencekam sukma.
Selarik napasnya tercekat
demi sebentuk citra di hadapnya.
Anak-anak itu, berlian muda nan indah,
tersedak ratap, sekarat.
Lapuk dimamah nasib,
tersapu belenggu masa lalu.
Deminya, hati itu sembilu.
Demikian, ia meniup gelembung doa,
serajut mimpi bagi sengal napas mereka,
sekali lagi, di balik rinai gumam.
Tuhan, rajutkanlah mimpi manis selaik madu
buat berlian mudaku nan indah.
Jikalau kelak mereka penat menyabung mimpi,
perkenankanlah mereka merajut asa yang baru.
@nadiaakarima | Jan 28, 2013 around 10.00
0 notes
Text
Mushalla Cinta
Di mushalla yang kecil ini kami merajut memori
Meski kecil lagi, namun berarti
Melingkar demi berbagi
Biar tenteram hati saudari
Di mushalla yang kecil ini kami merajut kisah
Akan segala keluh lagi kesah
Biar hapus luluh semua gundah
Biar tak lagi tereksistensikan resah
Di mushalla nan mungil ini kami merajut gita
Senandung atas nama mimpi dan cita
Bertukar visi menyandang asa
Bersama, larut hening kami dalam tawa
Di mushalla nan mungil ini, kami merajut cinta.
@nadiaakarima | Sep 29,2012 20.17
0 notes
Text
Baru langit dijamah jingga saat galau itu menyapa
Merasuk anak-anak angin, membisik mesra
“Apakah itu Malam? Gelapkah si Malam itu?”
Pasi dibuatnya mereka
Hatta terjadilah domino desas-desus itu
Hingga anak-beranak gemintang enggan bermain
Bilakah sang ratu malam enggan bergita
Taklah kunjung menjelang kelam itu
Tinggallah aku, Sang Pelamun
Hinggap di tepi jendela, termenung
Meyaksi akan petang yang merana, sipunya jingga
Mengubur benak dengan beribu lekuk tanya
Bilamanakah kelam ‘kan menjelang?
Sudah tak berupa rindu ini akan malam
Biar menyaksi gita bulan dan canda gemintang
Mengapa tak kunjung turun pula noktah kelam itu?
Termangu-mangu, setia aku menanti malamku.
@nadiaakarima | Mar 9, 2012 22.36
0 notes
Text
Gita di Tepi Langit
Aku bercengkrama dengan langit
Biar peluh menyentuh semu
Dalam diam khusyuk
Biarlah kulagukan rindu ini padamu
Mungkin rindu buatmu tak seharusnya ada
Namun gita itu tak membendung
‘Lah terajut biru darinya
Namun sepi rasanya, sendiri dikungkung hening
Biar kurajut melodi demi melodi
Demi substitusikan bayangmu
Kenihilanmu bawakan semu nan biru
Mega bahkan mengharu, larut dalam kelabu
Beku bayangmu dalam takzim
@nadiaakarima | Dec 09, 2011 19.02
0 notes
Photo
Tumblr media
2K notes · View notes
Text
A Greeting Message
Hello, humans!
Lol. This would be my new blog to make up for my crappy past blogs I can’t even look at anymore. I will be throwing in a post or two once in a while, and perhaps some of my writings both in Indonesian and English. I dare to say I’m fluent in both.
So, to start sweet.
I am Nadia, a 20-something year-old college student graduating soon. I am majoring in Civil Engineering (hear ye, hear ye, a lady engineer!) specializing in Water Resources Management. It was quite an interesting story itself how I got into the water club, but yay, hooray for water engineer rangers!
As for my underground career as a writer, it’s kinda nothing, really. But I often write for fun. JUST for fun. Like, for the hell of it, I don’t quite care whether it’s good or bad. As long as it’s within the good norm, I’ll be writing lots. Also, I have lots of original characters. Perhaps I’ll do some introductions later.
That... would be sufficient, I guess, for now.
Ciao!
0 notes