elasrihanda
Live in Life
644 posts
@CupyDevil
Don't wanna be here? Send us removal request.
elasrihanda · 5 years ago
Text
Pemimpin harus berani hidup untuk kesejahteraan banyak orang.
0 notes
elasrihanda · 5 years ago
Text
Rasa percaya diri seharusnya membuat manusia berani hidup, bukan berani mati. Sekarang tahu apa bedanya percaya diri dan kesombongan?
0 notes
elasrihanda · 5 years ago
Text
Beberapa manusia hanya butuh satu hal dalam hidup: hidup itu sendiri.
Yogyakarta, 6 Agustus 2019
0 notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Tak ada harga diri dalam politik, yang ada kehormatan partai.
2 notes · View notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Kesombongan.
Bukankah orang yang menilai kita sombong adalah orang yang mengakui kehebatan kita yang dia nilai sudah kita sombongkan?
Kalian tahu? Beberapa waktu yang lalu, saya merasa Tuhan menegur saya agar lebih berhati-hati dalam bersikap, sebab kesombongan bahkan bisa saya lakukan tanpa saya sadari. Dan tidak ada kata-kata dari batin mau pun lisan yang bisa saya gunakan untuk membela diri, pertanda seluruh dari saya sepakat bahwa saya sempat melupakan hal tersebut.
Kesombongan bisa saya lakukan baik sengaja mau pun tidak sengaja, baik disadari mau pun tidak saya sadari.
Beberapa tahun terakhir ini, saya mengenal seorang dokter melalui Dunia Maya. Dia memberikan diagnosa yang membuat banyak tanya dalam otak saya menemui jawabannya. Besar kemungkinan, kejadian pada 2012 adalah pertanda saya mengalami gangguan kejiwaan. Sebab beliau menyatakan dengan sangat yakin, bahwa saya mengalami gangguan kejiwaan.
Apa yang bisa disombongkan dari seorang yang mengalami gangguan kejiwaan? Bahkan sejak detik beliau mengatakan hal tersebut, cita-cita saya hanya satu: tidak mati konyol karena bunuh diri.
Saya meyakini bahwa sebagian besar dari mereka yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri adalah orang yang mengalami stres berat, depresi, bipolar atau pun gangguan kejiwaan lainnya, baik yang sudah didiagnosa oleh ahli psikologi mau pun yang tak sempat tertolong oleh ahli. Dan sebanyak apa pun mulut yang berkomentar "pikirannya kok cupet sekali ya" ke korban bunuh diri, tidak akan mengubah keyakinan saya bahwa mereka yang bunuh diri adalah mereka yang terkena gangguan kejiwaan.
Orang yang terkena gangguan kejiwaan, memiliki waktu-waktu tertentu di mana berpikir saja terasa sangat sulit. Apalagi berpikir menggunakan akal sehat seperti manusia waras lainnya, termasuk orang-orang yang berkomentar bahwa mereka yang bunuh diri berpikiran cupet.
Maka sejak waktu di mana dokter bedah syaraf tersebut mengatakan saya mengalami gangguan kejiwaan, saya meyakinkan diri saya untuk melakukan segala hal yang membuat saya bahagia. Otak saya menjelma pemikir yang setiap detik sibuk menganalisis sikap mana yang harus saya pilih agar saya bahagia, ungkapan mana yang harus saya ucapkan agar saya bahagia, hal-hal apa yang harus saya pikirkan agar penat tidak terlalu menyiksa, dan lain sebagainya.
Saya benar-benar ketakutan, sampai-sampai tidak sadar bahwa semakin banyak hal menyenangkan yang saya lakukan, semakin banyak perhatian yang saya dapatkan. Semakin saya bebas mengungkapkan isi pikiran, semakin pembenci sekaligus pengagum berdatangan.
Sedangkan pada faktanya, semakin banyak orang yang berinteraksi dengan saya, semakin sukar saya memutuskan mana sikap yang akan membuat saya bahagia dan mana yang akan membuat saya tertekan.
Ya, saya sibuk membuat diri saya bahagia, boro-boro berniat sombong, saya bahkan tidak yakin apakah masih memiliki hal yang bisa saya sombongkan atau tidak.
Hari ini, setelah asik nyamber argumen orang, sebuah kultweet muncul di timeline dan tiba-tiba membuat saya terdiam, kemudian bertanya "apakah beberapa hal menyenangkan yang saya lakukan adalah wujud dari kesombongan? Apakah ada hal membanggakan yang masih bisa saya (pengidap gangguan kejiwaan) sombongkan?".
Mood saya mendadak buruk, sedih dan bahagia bercampur jadi satu.
Jika ternyata hal-hal yang membuat saya bahagia cukup menyedot perhatian banyak orang, mana yang akan mereka pikirkan: saya orang sombong yang caper atau saya orang yang terkena gangguan kejiwaan?
Haruskah saya mulai menahan diri untuk tidak mengungkapkan segala pikiran yang menganggu jika tidak diungkapkan? Ataukah sebaiknya saya tidak memedulikan komentar mereka seperti yang dilakukan kebanyakan orang di Dunia Maya?
Bagaimana jika ternyata, persepsi yang ada di dalam otak mereka yang membaca postingan saya di Dunia Maya, kelak justru menjadi penyebab timbulnya depresi terhebat dalam hidup saya? Haruskah saya perlahan-lahan mengurangi jam gentayangan saya di medsos? Sanggupkah?
Lalu ke mana saya harus membuang seluruh brisik di kepala jika tidak ke medsos?
Sebelumnya, saya tidak pernah berpikir sepanjang ini. Jika saya sedang malas bermain medsos, maka saya akan tutup akun. Jika saya ingin bermain lagi, saya akan kembali membukanya. Saya melakukan apapun yang saya sukai, apapun yang membuat saya bahagia.
Sore ini saya berpikir, jika ternyata benar ada yang berpikiran bahwa saya orang sombong yang caper, bukankah itu bukanlah sesuatu yang membanggakan sehingga saya harus bahagia?
Tapi, bukankah orang yang menilai kita sombong adalah orang yang mengakui kehebatan kita yang dia nilai sudah kita sombongkan?
Memangnya kehebatan apa yang saya miliki? Bukankah satu-satunya kehebatan orang dengan gangguan kejiwaan adalah tidak mati bunuh diri?
Agh. Saya tidak mengerti.
Di Sela Kebimbangan.
Pituruh, 1 Maret 2018
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Hal Paling Rumit Yang Menyenangkan: Pernikahan.
Pernikahan? Rumit.
Seorang lelaki yang berniat menikahi saya bertanya "bagaimana pandanganmu tentang pernikahan?" dan jawaban saya adalah rumit.
Tahu tidak? Tadinya saya pikir bisa memberikan jawaban saya melalui postingan kali ini. Tapi, berulang kali saya menulis, selalu berhenti pada dua kata di awal tadi.
Pernikahan? Rumit.
Saya tidak terbiasa nyaman memberikan komentar terhadap sesuatu yang belum saya yakini. Apalagi tentang pernikahan, sesuatu yang saya impikan tapi belum saya jalani. Dan tentu saja, tidak semua rumah tangga seperti rumah tangga Bapak dan Mamak saya. Jadi, saya tidak punya komentar lain tentang pernikahan selain "rumit" itu sendiri.
Jika ditanya, apakah uang itu penting menurut saya dalam sebuah pernikahan? Tentu saja uang itu dibutuhkan. Saya dan suami saya butuh makan, anak-anak kami butuh makan, kami butuh sehat dan menuntut ilmu setinggi mungkin adalah nomer satu bagi saya.
Jika ditanya, apakah cinta itu diperlukan? Sangat. Cinta berada di level satu bagi saya, merajai segala syarat dalam pernikahan. Dalam artian, dia mencintai saya dan saya mampu membalas cintanya. Saya kira, tidak ada yang baik dari cinta sepihak. Dia akan merasa lelah dan bahkan depresi, jika menikahi wanita yang sama sekali tidak mencintai dia. Pun saya, sangat mungkin saya akan merasa dirugikan jika menikah dengan lelaki yang sangat saya cintai, tapi tidak pernah bisa membalas cinta saya.
Sebrengsek-brengseknya Bapak saya, dia menyayangi saya dengan tulus. Segalak-galaknya Mamak saya, dia peduli terhadap diri saya seperti dia peduli pada dirinya sendiri. Meski kadang menjengkelkan, saudara saya adalah orang yang paling memahami saya dan tidak pernah pergi meninggalkan saya. Walau tak ada ikatan darah, sahabat saya selalu menjadi pendengar sekaligus rekan berbagi cerita yang menyenangkan.
Posisi mereka tidak bisa digantikan, tapi sosok yang saya harapkan sebagai pasangan adalah dia, yang bisa memberikan kenyamanan seperti yang mereka semua berikan pada saya. Wajar tidak harapan saya?
Kemarin, saya membaca sebuah postingan dari kenalan saya. Kisah tentang salah pilih yang berujung kegagalan.
Takut menikah? Tidak. Saya sama sekali tidak takut menikah. Bahkan setelah membaca postingan tersebut.
Takut salah pilih pasangan? Ya.
Lelaki yang mencintai saya akan penuh semangat mewujudkan mimpinya meminang saya sebagai istri, sedangkan saat itu hatinya buta. Hanya kebahagiaan yang ada di pikirannya, hanya indah yang ada di matanya saat melihat saya, sesekali sange saat membayangkan bisa menjadikan saya sebagai istrinya.
Bagaimana dengan dukanya pernikahan? Saya kira, bahkan jika pun terlintas, tidak akan mereka anggap sebagai hal penting yang harus dipikirkan sebelum melamar. Barangkali bagi mereka, menikah dengan wanita yang mereka cintai adalah surga yang abadi. Sedangkan selama masih punya nyawa, cinta selalu dikendalikan keadaan.
Bukan tidak mungkin, kelak saat melihat istri yang dulunya dia cintai menangis mengeluhkan kondisi sulit yang sedang mereka alami, bersamaan dengan itu anak ke dua butuh susu, anak pertama butuh bayar SPP, rasa cintanya berubah jadi benci. Berkhianat, bukan tidak mungkin dia lakukan. Sedangkan percaya atau tidak, selingkuh bukan jalan keluar bagi runyamnya masalah dalam rumah tangga. Perselingkuhan hanya akan menambah masalah baru.
Begitulah cinta, kadang terasa menyenangkan, di lain waktu terasa menyakitkan. Jika tidak pandai dalam mengendalikan diri, cinta bisa membunuh diri sendiri, bahkan dia yang kalian cintai.
Kekuatan cinta di atas kekuatan seluruh manusia di Bumi ini. Kesombongan manusia menganggap bahwa dirinya bisa mengendalikan cinta, padahal tidak. Meski sangat sulit, saya kira yang harus dilakukan sebagai manusia adalah jangan gegabah dalam mengambil keputusan saat jatuh cinta, apalagi dalam hal pernikahan yang saya, mungkin juga kalian, harapkan sekali untuk selamanya.
Ada yang berpikir bahwa saya mata duwitan sekarang? Hahaha. Anggap saja iya, dan barangkali hanya Anda manusia di Bumi ini yang tidak suka pada uang. Selamat atas itu.
Tapi sayangnya, percaya atau tidak, semiskin dan segila apapun saya, saya adalah orang yang akalnya akan mendadak sehat saat berjumpa dengan uang. Harga diri saya, bahkan berhasil dijatuhkan bukan karena uang, tapi karena lelaki yang datang dengan cintanya. Saya selalu tersentuh pada mereka yang datang dengan cinta atau pun janji pernikahan.
Beberapa dari kalian mungkin akan setuju dengan saya, bahwa mempercayai orang yang sedang jatuh cinta tidak selalu adalah pilihan yang bijak. Sebab mereka yang jatuh cinta, cenderung sukar berpikir jernih.
Saya kira, menggadaikan pernikahan pada seseorang yang terbuai cinta bukanlah hal yang bijak pula. Bagaimana menurut kalian?
Saya ulangi beberapa kalimat saya di atas: Sebrengsek-brengseknya Bapak saya, dia menyayangi saya dengan tulus. Segalak-galaknya Mamak saya, dia peduli terhadap diri saya seperti dia peduli pada dirinya sendiri. Meski kadang menjengkelkan, saudara saya adalah orang yang paling memahami saya dan tidak pernah pergi meninggalkan saya. Walau tak ada ikatan darah, sahabat saya selalu menjadi pendengar sekaligus rekan berbagi cerita yang menyenangkan. Posisi mereka tidak bisa digantikan, tapi sosok yang saya harapkan sebagai pasangan adalah dia, yang bisa memberikan kenyamanan seperti yang mereka semua berikan pada saya.
Jadi, jika kamu bahkan baru mengenal saya melalui tulisan-tulisan saya di tumblr, belum pernah berjumpa secara langsung, belum pernah ngobrol dan saya buat jengkel di Dunia Nyata, belum tahu bagaimana mengerikannya Bapak Mamak saya, saudara saya, dan seperti apa karakter teman-teman saya. Bagaimana saya bisa yakin, bahwa kamu adalah suami yang bisa membuat hidup saya menyenangkan setelah pernikahan? Bukankah yang diharapkan dari pernikahan adalah menikmati suka dan duka bersama? Bagaimana kita bisa menikmati suka dan duka, jika pernikahan diputuskan bukan karena saling mengenal dan memahami karakter masing-masing, tapi karena terpikat kata-kata pada Dunia Maya semata?
Jangan bersedih. Sebab sepandai-pandainya saya berempati, luka di hati orang yang terluka karena cinta pasti jauh lebih menyakitkan dari luka yang saya alami karena berempati pada mereka.
Dan lagi pula postingan ini bukan sebuah penolakan, hanya sebuah peringatan. Sebelum saya memutuskan menerima lamaran seorang lelaki, saya buka kesempatan pada siapa pun yang memiliki niat untuk meyakinkan hati saya agar memilihnya.
Jadi, jika ada yang bertanya apa yang saya pikirkan saat mendengar kata pernikahan? Jawaban saya adalah rumit.
Selain pesta yang membahagiakan, ranjau yang mematikan pun ada dalam rumah tangga. Dan saya kira, banyaknya ranjau yang harus dihindari dalam pernikahan, membutuhkan pemikiran matang yang lebih dalam dari sekedar jatuh cinta.
Pituruh, 28 Februari 2018
2 notes · View notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Belajar Dari Kegagalan.
Simbok dua kali menikah. Pada pernikahan pertama, suami beliau meninggal saat Mamak berusia tiga bulan dalam kandungan. Pernikahan ke-dua pun, berakhir sebab dipisahkan oleh takdir bernama kematian.
Jika terjadi perceraian antara Bapak dan Mamak, saya dan adik saya pasti akan sedih. Mamak apalagi. Orang yang setia, selalu terluka saat apa yang diperjuangkannya dengan penuh ternyata gagal. Meski tentu saja, pada akhirnya, Bapak memiliki peluang besar menderita di akhir usia karena penyesalan.
Tapi, bagaimana dengan Simbok?
Sementara rumah tangga yang beliau bina dengan suami, terpaksa diselesaikan oleh sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Anaknya justru menyengajakan menyelesaikan rumah tangganya sebab sesuatu yang jika didiskusikan dengan kepala dingin, memiliki kemungkinan menemukan jalan keluar terbaik selain perceraian.
Semalam Mamak dan Bapak bertengkar hebat, pagi ini dalam perjalanan mengantar Simbok pulang, saya memikirkan hal yang saya ceritakan barusan. Sebesar apa rasa kecewa Simbok saat Mamak dan Bapak terpaksa bercerai?
Dulu, saya pikir lumrah jika Bapak tergoda untuk selingkuh. Melihat karakter Mamak yang ngeyelan, kurang pandai merangkai kata yang menyenangkan saat berbicara dengan suami, bahkan masak pagi pun tak pernah. Tapi itu dulu, sebelum adik saya lahir. Nyatanya, Mamak menemukan dunianya sebagai seorang istri sekaligus ibu saat adik saya lahir.
Beliau menginginkan saya mati bahkan sejak masih dalam kandungannya, lumrah jika saat saya berhasil lahir, rasa benci beliau ke saya membuat beliau muak. Disadari atau tidak, beliau menolak menerima fakta bahwa beliau adalah ibu saya. Sementara kebencian beliau bertambah sebab Bapak bahagia memiliki saya sebagai anak.
Tapi, nyatanya sikap kekanak-kanakan beliau perlahan menghilang setelah kelahiran adik saya. Beliau menyayangi adik saya sepenuh hati beliau. Setiap pagi beliau masak untuk sarapan adik saya sebelum berangkat sekolah, yang otomatis saya dan Bapak juga ikut sarapan. Beliau pun mulai membiasakan diri membuatkan kopi untuk suaminya. Juga perlahan-lahan memperbaiki bahasa yang beliau gunakan saat berbicara dengan Bapak.
Semakin tua umur rumah tangga mereka, semakin banyak Mamak belajar menjadi istri dan ibu yang baik. Sebaliknya pada Bapak, semakin tua umur anak-anaknya, semakin beliau brutal saat berada di luar rumah.
Saat berbahagia dengan teman-teman dan lonte-lontenya, beliau berusaha mengacuhkan ingatan pada seorang wanita yang setia mencuci sempak juga baju-baju kotor beliau, membuatkan kopi, membuatkan sarapan untuk beliau dan anak-anaknya, mendampingi beliau dari saat beliau tidak memiliki apa-apa, sampai saat sekarang separuh hutang beliau mulai lunas. Kemungkinan batin beliau kesal saat sampai rumah dan harus menerima fakta bahwa ada istri dan anak-anak beliau yang lebih berhak diajak berbahagia dari pada anak perempuan atau istri orang di luar sana.
Bapak memaksakan hidup sebagai perjaka yang bebas berkeliaran di luar rumah, melirik juga menggoda perempuan sesuka beliau, tapi faktanya beliau sudah beruban. Memiliki anak yang sudah tidak lagi bayi dan istri sah yang harus beliau jaga hati maupun fisiknya. Ya, istri, seorang wanita yang dulu beliau kejar-kejar setengah mati saat belum menerima lamaran beliau, dan beliau janjikan bahagia dalam pernikahan saat telah menerima lamaran.
Memiliki Bapak membuat saya berpikir, bahwa seorang lelaki yang datang pada saya, yakin bisa menerima saya apa adanya, dan berharap dengan sangat bisa memiliki saya sebagai istrinya. Saat saya berkata "mau", bukan tidak mungkin beberapa tahun kemudian setelah kami menikah, ada wanita di luar sana yang dia jadikan rumah ke dua selain saya.
Karena saya yakin, saat dulu Bapak berniat menikahi Mamak, tidak ada sedikit pun niat menjadikan Mamak sebagai seorang istri untuk disakiti hatinya, diselingkuhi dan diteriaki setiap Mamak membahas tentang kesalahan Bapak tersebut.
Tahu apa? Dalam beberapa kasus, pernikahan seperti politik. Lelaki dan perempuan yang meminta dinikahi, layaknya politisi. Sebelum diterima sebagai wakil rakyat, berkata peduli dan akan amanah. Setelah dipercaya, berkhianat.
Satu hal yang saya yakini, baik Bapak yang berkhianat maupun Mamak yang setia luar biasa. Sebuah kegagalan, apalagi karena pengkhianatan, adalah luka bagi yang berkhianat maupun yang merasa dirugikan atas pengkhianatan tersebut.
Jika benar akan terjadi perceraian, Mamak mungkin akan menyesal luar biasa kenapa dulu menjatuhkan percaya pada Bapak. Tapi, juga depresi sebab tak bisa dipungkiri selama bersama bukan hanya duka, tidak sedikit pula suka yang mereka jalani bersama.
Kadang, baik kenangan yang indah maupun yang menyakitkan, sama-sama menyiksa saat menyapa ingatan.
Sebagai anak, tentu saja saya tidak berharap pernikahan mereka diselesaikan dengan perceraian. Walau jika mereka sepakat untuk bercerai, saya tidak akan melarang. Terlalu sakit melihat Mamak bersabar dalam kesetiaan, sedangkan Bapak sibuk memuji wanita lain yang vagina dan buah dadanya telah dijamah puluhan tangan lelaki. Tentu saja, mereka tidak jauh lebih baik dari Mamak. Jika Bapak memilih salah satu dari mereka dari pada Mamak, sangat mungkin ketika Bapak pensiun dan lemah, beliau akan dicampakan pula oleh wanita itu.
Sebenci-bencinya saya pada Bapak, sekesal-kesalnya saya saat Bapak dan Mamak tidak mau mendengarkan perkataan saya sebaik apapun kata-kata saya itu, mereka tetap orangtua saya. Tuhan mengadakan saya ke Dunia ini, dengan komposisi sperma dan sel telur mereka. Tentu saja tidak bisa disebutkan bahwa Tuhan berhutang budi pada orangtua saya sebab telah menitipkan saya pada mereka, tapi semua tentu setuju jika saya katakan saya berhutang budi pada orangtua saya sebab telah merawat saya sampai detik ini.
Saya masih berharap Bapak mau melunakkan ego dan mengakui kesalahan dengan tulus, juga memperbaiki semuanya. Saya masih berharap Mamak instropeksi diri dan belajar trik melunakkan hati suaminya. Saya masih ingin mereka berdua bahagia, tanpa harus melalui perceraian.
Tapi, tentang apa yang terbaik bagi keluarga ini, tentu Tuhan yang lebih tahu. Bercerai ataupun tidak, Dia pasti punya rencana yang baik agar kami sama-sama bisa belajar dari kejadian tersebut.
Walau begitu, saya berharap baik Mamak maupun Bapak bisa belajar tentang perceraian dari orang lain, tanpa harus menjalani sendiri.
Untuk beberapa hal, meski penuh pelajaran hidup, pilihan terbaik adalah dengan mempelajari dari pengalaman orang lain. Kukira, begitu pun dalam hal perceraian.
Kegagalan orang lain adalah pelajaran untuk kita, agar kita menghindari kesalahan yang berpeluang membuat kita gagal.
Pituruh, 27 Februari 2018
2 notes · View notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Orang yang tidak pernah membenci, bukan berarti tidak pernah membuat orang lain membencinya.
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Luka Yang Bercerita.
Pernah tidak kalian merasa marah, sangat marah, tapi benci atas perasaan itu?
Ternyata, tahu bahwa merasa marah dan sakit hati tidak akan membawa dampak positif, bukan berarti saya bisa kebal akan amarah dan sakit hati saat berpapasan dengan beberapa hal. Ini melelahkan, sungguh.
Semenjak bekerja di Tangerang, terasa semakin mudah untuk menerima semua yang terjadi di masa lalu. Saya akhirnya semakin tahu, bahwa saya bukan anak yang menjadi korban dari keluputan pikir Ibunya. Saya dan Ibu saya, korban ketidakadilan di Negeri ini. Sesuatu yang sampai detik ini, masih sangat terlihat keberadaannya.
Setelah merantau, hubungan saya dan Ibu saya semakin membaik. Setiap kali beliau marah saat saya tidak bisa memberikan banyak uang, saya melihat sebuah pola pikir yang diciptakan kesenjangan di Negeri ini. Setiap kali beliau marah besar saat lelah, saya melihat hasil didikan dari pendidikan yang gagal di Negeri ini. Setiap kali beliau menangis meski lisan tidak mengeluh, saya melihat hasil ketidakadilan di Negeri ini.
Iyakah pemerintah ada hanya agar rakyat miskin bersyukur atas kemiskinan yang mereka jalani? Iyakah kementerian-kementerian di Negeri ini ada agar rakyat kecil bersyukur tidak bisa sekolah dan berpuasa sebab tak punya uang untuk membeli makanan? Kemerdekaan Indonesia itu, milik siapa?
Pola pikir yang diyakini benar oleh keluarga saya, seluput apapun itu, adalah hasil pendidikan di Negeri ini. Dan hal serupa, saya yakin terjadi pula di banyak rumah lainnya.
Tapi ternyata, mengetahui semua itu tak lantas membuat pola pikir keluarga saya berubah. Dan marah pada Negara tak lantas membuat Ibu saya menjadi pribadi yang menyenangkan bagi saya. Tak lantas bisa memahami betapa sakitnya hati anaknya yang baru patah hati. Tak pula bisa mengerti betapa menjengkelkannya menjadi pengangguran. Alih-alih memberi semangat di saat anaknya sedang berjuang mengobati luka dan mengumpulkan harapan, beliau malah marah sebab anaknya tidak bisa mengumpulkan uang untuk resepsi pernikahannya kelak.
Bukankah beliau tahu anaknya baru saja terluka? Tidak bisakah pembahasan tentang hal serupa ditahan untuk saat ini?
Uang, uang dan uang. Bahkan meminta menikah dengan resepsi pun saya tak pernah. Mereka ingin menikahkan anaknya atau ingin mengadakan pesta? Jika inginkan pesta, tak harus memaksa anaknya menikah.
Saya marah. Sangat marah. Tapi benci, kenapa saya malah marah.
Jika hati saya terluka oleh lelaki, itu karena saya kurang pandai memilih, sehingga jatuh ke tangan pria yang tidak bisa menghargai saya. Bukan salah Ibu saya.
Jika saya lelah menganggur, itu juga karena mental saya yang kurang kuat saat menjadi pekerja. Bahkan jikapun cara mendidik Ibu saya berpengaruh terhadap mental saya, itu pun adalah kegagalan dari Negeri ini dalam mencerdaskan warganya. Ibu saya adalah korban.
Jika Ibu saya tidak pandai memahami kondisi batin anaknya, itu pun adalah bentuk kegagalan pendidikan di Negeri ini.
Lantas, untuk apa saya marah? Dan kenapa saya harus sakit hati terhadap perkataan Ibu saya?
Tapi faktanya, saya kesulitan mengendalikan luka sendirian, dan tak cukup kuat menanggung luka baru saat luka lama belum kering.
Maka saya menulis, berharap meski sedikit, semoga beban pikiran sedikit lebih ringan.
Sebab apa lagi yang bisa dilakukan saat pikiran terasa sangat berat, selain bercerita?
Di sela luka batin saya berharap, semoga kelak ketidakadilan yang menjajah Indonesia, berhasil dihapuskan.
Pituruh, 24 Februari 2018
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Aku Diam, Bukan Bisu.
Aku diam, bukan bisu.
Wujud hormatku, bukti baktiku.
Aku diam, bukan bisu.
Luapan sayangku, rasa cintaku.
Aku diam, bukan bisu.
Belajar tegar, melatih sabar.
Aku diam, bukan bisu.
Tahu-tahu, hatiku terluka sangat parah.
Sebuah malam penuh air mata.
Pituruh, 23 Februari 2018
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Menurut kalian, kenapa Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta? Karena Dia ingin menyombongkan kehebatanNya? Karena dia ingin manusia berpikir? Atau justru bukan karena ke duanya?
0 notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Semua orang bodoh berpeluang menjadi pintar, tapi tidak banyak orang pintar yang adil sejak dalam pikiran.
0 notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Hilangnya Nyali.
Pernah tidak kalian sangat ketakutan sampai seluruh nyali yang kalian miliki menciut?
Saya sedang tidak nafsu makan. Pagi tadi, sehabis sarapan bukan bahagia yang saya dapat. Siangnya pun, bukan bahagia pula yang saya rasakan setelah makan siang. Sepertinya, saya galau berat.
Sekitar tiga hari yang lalu, seorang lelaki "dewasa" menyapa saya. Kami sudah lama kenal, meski hanya di Dunia Maya. Dia bilang ingin berkunjung ke rumah, silaturahmi dan menyampaikan niatnya untuk menikahi saya pada Bapak juga Mamak. Saya dengan santai mempersilahkan niatnya, toh bagi saya saat ini tak ada kriteria khusus tentang suami idaman, selain bertanggungjawab.
Setelah ngobrol ngalor ngidul perihal niat lelaki itu, saya menyampaikan pada Mamak. Beliau diam dan malah kembali menyuruh saya menanyakan keseriusan lelaki yang sebelum ini datang ke rumah. Dengan sedikit nada tinggi saya berkata "saya sudah menghubungi, tidak ada jawaban. Saya punya harga diri, Mak". Tiba-tiba beliau pergi meninggalkan saya dan tidak mengomentari cerita saya tadi, barangkali beliau agak kurang nyaman mendengar perkataan saya.
Saat Mamak sudah di dalam kamar, saya berkata "Dia bukan sarjana apalagi magister, bukan anak orang kaya, rumahnya masih berdinding kayu, tapi dia bertanggungjawab. Dia datang langsung menemui Mamak dan Bapak". Tentu saja tidak ada sautan.
Di tenggorokan berjuta kata tertahan, amarah dan makian-makian yang saya tujukan untuk kami: saya dan lelaki yang dekat dengan saya sebelum ini. Kemudian menghirup napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Toh tidak ada gunanya marah, dia datang dan berkata ingin menikahi saya, dengan yakin saya percaya. Apapun yang terjadi pada kami, tidak akan terjadi andai saja saya tidak tergoda pada janji-janjinya. Jika ada kesalahan, semua itu terjadi sebab saya memberi kesempatan.
Lalu saya diam, hening terlalu mengerikan saat itu. Saat saya dan Mamak sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Trauma akan kondisi ekonomi sudahlah pasti menjadi pertimbangan Mamak dalam menentukan mana mantu yang berpeluang bisa memberikan anaknya kehidupan yang layak, menurutnya. Saya tidak bisa membantah ketakutan itu salah, walau tidak juga bisa membenarkan.
Jika yang dipermasalahkan adalah uang dan gelar, mendapatkan uang banyak tentu saja tidak selalu membutuhkan ijazah sarjana. Jika yang dipermasalahkan adalah masa depan, saya dan Mamak sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Lulusan SMA bisa jadi memiliki masa depan lebih baik dari mereka yang memiliki gelar sarjana, magister, bahkan mungkin juga doktor. Jika yang dipermasalahkan adalah rumah gedong, toh dulu rumah Mamak juga hanya dari bambu, dan sekarang bisa berdinding tembok walau anak-anak Simbok minim gelar pendidikan.
Sejuta pembelaan atas sikap Mamak menjadi beban pikiran yang luar biasa, sebab nyatanya setelah pertikaian itu, saya jadi ragu.
Bukan sekedar masalah gelar atau kondisi ekonomi yang membuat saya jadi ragu, tapi toh sebelum ini lelaki yang dekat dengan saya sangat yakin ingin menikahi saya. Nyatanya setelah bertemu, berpuluh keluhan darinya atas saya keluar. Keyakinannya pudar. Lelaki ini, lelaki yang terburu-buru ingin menikahi saya walau belum pernah bertemu ini pun, bukan tidak mungkin kecewa dengan sikap saya setelah kami menikah. Apa bisa saya menjadi istri yang baik untuknya? Apa dia tidak akan tertekan menjadi suami saya?
Sebagai seorang dengan sikap "ekstrim menjengkelkan" saat PMS, apa dia bisa sabar dengan sikap saya itu?
Sebagai seorang yang ringkih, apa dia tidak akan kesulitan memiliki istri yang sakit-sakitan?
Sebagai seorang yang sembrono, apa dia tidak akan stres dengan kata-kata saya?
Sebagai seorang yang bosenan, apa saya tidak akan bosen dengan dia kelak?
Sebagai wanita menyebalkan, apa dia kuat tidak akan selingkuh?
Sayangnya, saat saya mengajukan syarat untuk kenal tiga bulan dulu baru dia boleh ke rumah. Dia justru memaksa akan ke rumah bulan depan, apapun jawaban saya dan keluarga saya. Boleh jujur? Saya benar-benar tidak tahu mana sikap yang harus saya pilih. Saya ketakutan setengah mati.
Sementara itu, trauma demi trauma semakin menyiksa. Membuat beban pikiran semakin berat.
Kurang lebih tiga belas kali saya menjalin hubungan dengan lelaki. Dari yang berwajah biasa saja, sampai yang ketampanannya diidolakan banyak wanita. Yang berasal dari keluarga miskin, sampai orang kaya. Dari yang ngajak makan bakso, sampai yang rela membelikan tiket pesawat. Nyatanya apa? Kandas.
Sebanyak apapun lelaki yang pernah hadir, saya tidak berbakat membuat mereka bertahan. Atau malah saya yang sengaja membuat mereka pergi. Lalu, iyakah pernikahan akan membuat saya betah? Bagaimana jika suami saya selingkuh, iyakah saya berjiwa besar untuk memberi kesempatan? Bagaimana jika suami saya dipecat dari pekerjaannya, pengangguran dan masih saja melirik wanita lain, akankah saya bisa bertahan?
Siapkah saya berkomitmen "bertahan dalam suka dan duka" dengan orang ini?
Saya benar-benar buta akan pernikahan. Dan dalam keadaan dilema besar begini, rasanya seluruh yang tergambar dalam pernikahan adalah hal-hal yang mengerikan. Ditambah lagi, bukan orang yang saya cintai yang datang meminang.
Bahkan untuk menasihati diri sendiri pun, saya ketakutan. Saya benar-benar tunduk, pasrah pada ketidaktahuan.
Ataukah ini lumrah? Iyakah semua lajang yang akan memulai hidup baru dalam pernikahan mengalami hal yang saya rasakan?
Siapa pun, tolong saya!
Pituruh, 20 Februari 2018
0 notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Marah adalah cara ego menolak kalah.
0 notes
elasrihanda · 7 years ago
Text
Cara satu-satunya memperbaiki masa lalu: memberikan yang terbaik bagi masa depan.
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Serupa, Tapi Tak Sama: Syukur dan Sabar.
Ada kalanya saya malas menulis di sini, meski isi kepala sering kali butuh dimuntahkan sebelum terlalu menyiksa.
Jika tulisan ini awet bahkan sampai waktu setelah saya sudah lama mati. Jika pembaca tulisan ini adalah orang yang hidup puluhan tahun setelah kematian saya. Bacalah ini baik-baik: jangan jadikan apapun yang terjadi di masa sekarang sebagai standar pergerakan kalian di masa kalian hidup, termasuk apa yang sebentar lagi akan saya dongengkan untuk kalian pada tulisan saya kali ini.
Bulan Februari 2018 ini, memasuki bulan ke-tiga saya menjadi pengangguran. Satu hal yang membuat saya tidak nyaman menjadi pengangguran adalah rasa kecewa orangtua saya terhadap karier saya di usia yang hampir memasuki angka 26. Kenyataan pahit bahwa anak yang sudah mereka sekolahkan sampai sarjana ini adalah pengangguran harus mereka telan setiap harinya, selama saya masih menganggur.
Saya bersyukur masih memiliki orangtua lengkap yang selalu mengkhawatirkan hidup saya, marah saat jam sembilan malam saya belum tidur dan malah asik menonton acara berbau politik di TV, khawatir saat saya kerja jauh dari rumah, cemas saat penghasilan yang saya dapat mereka rasa tidak cukup untuk menghidupi diri saya, pun takut saya tidak memiliki masa depan yang jelas karena detik ini saya adalah pengangguran yang lajang.
Saya bersyukur memiliki orang-orang yang marah karena peduli, yang cemas karena sayang, yang rewel karena perhatian. Saya bahagia memiliki keluarga, kumpulan orang-orang yang memberikan kritik bukan karena iri atau justru membenci.
Kalian tahu? Benar, rasa syukur membantu meringankan beban hidup manusia. Tapi, faktanya sabar adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh orang-orang dalam kondisi tertentu.
Bersyukur itu mudah, tapi sabar adalah hal lain.
Barangkali beberapa orang bersyukur bisa makan dengan nasi dan sambal terasi hari ini, tapi belum tentu mereka bisa sabar melihat orang-orang dengan pakaian dan aksesoris mewah membuang sisa makanan mahal mereka.
Barangkali beberapa orang bersyukur masih berpenghasilan meski jauh di bawah UMR, tapi belum tentu dia bisa sabar melihat orang dengan mobil selusin mengeluh tidak memiliki uang setelah membayar cicilan rumah mahal mereka.
Barangkali beberapa orang bersyukur memiliki satu istri yang tidak neko-neko, tapi belum tentu dia sabar melihat orang dengan tiga istri mengeluhkan istri-istrinya dan berniat menambah istri lagi.
Dan lain-lainnya, dan lain sebagainya. Banyak kasus serupa yang saya yakin sering kalian temui. Ketahuilah bahwa saya, saat ini, berada di situasi seperti itu.
Bagaimana kondisi Bumi di masa kalian?
Pada zaman saya hidup, situasi dan kondisi memaksa masyarakat menjadikan jumlah harta yang dimiliki sebagai standar keberhasilan seseorang. Harta di sini bukan berarti teman, keluarga, atau nama baik, melainkan uang dan seluruh benda yang bisa dicairkan menjadi uang.
Apa di masa kalian juga begitu? Sudahkah keadilan terjadi di masa kalian? Masihkah ada kesenjangan sosial yang menjadikan kelompok tertentu tidak mendapatkan hak hidup yang sama seperti yang didapatkan kelompok lain?
Di zaman saya, ada kondisi seperti itu. Di mana seluruh lapisan masyarakat mempunya standar penilaian akan kaya dan melarat, berhasil dan gagal, juga kesuksesan yang sama, seberbeda apapun kondisi ekonomi dan sosial mereka. Namun, kemudahan dan kesulitan yang dihadapi masing-masing lapisan masyarakat jauh dari keadilan.
Yang kaya, mewariskan kekayaan. Yang miskin, harus kerja keras, banting tulang, putar pikiran untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Apakah di zaman kalian juga begitu?
Saya, sungguh, tidak pernah merasa bahwa saya hidup sebagai orang yang miskin. Karena nyatanya, tidak sedikit dari tetangga saya yang hidup jauh lebih susah dari keluarga saya. Betapa konyolnya jika saya merasa bahwa saya miskin, sedangkan masih banyak orang yang kondisi ekonominya lebih buruk dari kami.
Tapi seperti yang sudah saya katakan di awal, rasa syukur dan sabar adalah dua hal yang berbeda.
Saya bersyukur memiliki orangtua yang peduli terhadap status jomblo dan pengangguran saya, meski sering kali saya geram saat mereka mengisahkan sulitnya hidup mereka di masa lalu sebagai alasan untuk menyalahkan pilihan hidup yang saya ambil.
Dulu, sekarang, dan suatu saat nanti adalah tiga waktu yang tidak sama. Dengan kondisi dan situasi hidup yang mungkin lain. Dengan tantangan dan kemudahan hidup yang sangat mungkin tidak sama.
Katakanlah apa yang saya alami saat ini, tentu tidak bisa saya jadikan standar untuk menasihati anak saya kelak. Walau tentu saja, bisa saya jadikan dongeng pengantar tidur bagi mereka.
Saya bersyukur memiliki keluarga yang sayang pada saya, meski sering kali sabar terasa sangat sulit saat mereka marah, kecewa dan intonasi-intonasi tinggi mereka lontarkan untuk menyalahkan saya. Apalagi saat, standar untuk menyalahkan yang mereka pakai adalah kehidupan mereka di masa lalu.
Umur segini masih lajang adalah kesalahan. Kalau sudah sarjana harus punya mobil dan rumah besar. Acara politik hanya boleh ditonton orang kaya saja. Jam sembilan malam belum tidur berarti kejahatan. Dan lain-lainnya, dan lain sebagainya.
Sungguh, saya bersyukur memiliki keluarga yang utuh. Sebab tidak semua anak seumuran saya masih memiliki orangtua yang utuh. Saya sadar seutuhnya, bagi saya yang belum memiliki suami apalagi anak, orangtua adalah semangat hidup itu sendiri. Sayangnya, ternyata untuk sabar, rasa syukur tidak selalu membantu. Sedangkan diam, tak selalu adalah jalan keluar.
Amarah yang tersimpan sering kali tumbuh menjadi gunung es, mungkin akan mencair sedikit demi sedikit, atau seketika menimbulkan banjir.
Melihat gunung es di hati saya berada di level berbahaya, siang ini saya putuskan menulis. Berharap perlahan-lahan amarah mencair tanpa harus terlontar melalui lisan.
Bagi kalian yang membaca tulisan ini, sekali lagi saya berpesan: jangan jadikan apapun yang terjadi di masa sekarang sebagai standar hidup kalian di masa depan. Kita berbeda masa, kondisi dan situasinya pun pasti tak sama.
Jangan hidup demi masa lalu, tengoklah sejarah agar kalian punya semangat untuk menggapai harapan, dan hiduplah demi masa depan.
Sabar benar-benar sangat sulit, tapi saya kira saya, mungkin juga kalian, hanya butuh terus berjuang, sesering apapun kegagalan itu datang. Tentang apa yang ada di masa depan itu sendiri, biarkan Tuhan yang menentukan.
Semoga saya dan kalian, selalu didekatkan dengan kesabaran.
Pituruh, 15 Februari 2018
1 note · View note
elasrihanda · 7 years ago
Text
Sebuah Mimpi dan Rasa Iri.
Dilan, perlu kau ketahui bahwa rasa iri jauh lebih berat dari rindu. Barangkali itu kenapa Tuhan melarang kita untuk iri, tapi mengabadikan Muhammad dalam doa-doa kita. Karena iri jauh lebih berat dari rindu.
Kalian pernah menangis karena merasa iri? Saya sedang, saat menulis susunan kata yang kalian baca ini. Rasanya, seperti patah hati saat apa yang sangat saya mimpikan justru diraih orang lain. Tapi dari rasa iri ini, saya tahu ternyata masih banyak hal yang ingin saya capai. Sebab sebelumnya, saya kira saya sudah tidak menginginkan apapun dalam hidup ini.
Sayangnya, saya harus menerima fakta pahit bahwa hal-hal yang saya impikan terletak di Langit. Sedangkan saya adalah makhluk tanpa sayap yang hidup di Bumi. Merasa iri kemudian menangis tak lantas membuat Ibu Peri datang menjumpai saya dan membantu saya terbang ke langit untuk meraih semua mimpi-mimpi saya. Tapi entahlah, saya sering merasa lega setelah menangis.
Jika masih ingin meraih mimpi, cara satu-satunya yang harus saya tempuh adalah membuat pesawat terbang atau roket, sesulit apapun itu.
Lalu saya diam dan membatin, setelah saya berhasil membuat pesawat, apakah mimpi yang ada di Langit itu mampu saya dapatkan? Seperti apa tempat bernama langit itu? Luaskah? Sempitkah, sehingga hanya ada mimpi-mimpi saya saja di sana? Saya tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu sebelum mencoba terbang.
Saya pernah menjadi seseorang yang hanya mengandalkan sayap rapuh (bernama keberanian) untuk terbang. Sayap itu sobek terkena hujan lebat dan rusak kala menghindar cepat saat ada kilat. Nasib baik saya tidak tersambar petir, sebab jika sampai tersambar, tentu saja bukan hanya sayap itu yang rusak, diri saya sendiri pun sangat mungkin kehilangan nyawa.
Saya sempat sampai atas, meski tidak tahu seberapa jauh lagi jarak yang harus saya tempuh untuk sampai ke langit. Sebab sayap yang rusak dan keseimbangan semakin sulit dikendalikan, saya terbang ke bawah dengan cepat. Tidak jatuh, meski tekanan udara membuat tubuh saya nyaris remuk.
Begitu mungkin analogi yang mirip dengan apa yang saat ini saya rasakan.
Saya pernah nekat pergi ke Kota dengan modal keberanian meraih mimpi, mengejar cinta. Sampai akhirnya saya pulang dengan trauma menakutkan tentang tempat bernama Kota.
Kota adalah tempat yang sangat luas. Benar, seseorang yang saya sukai saat itu ada di sana, tapi mencari satu orang di Kota sama halnya mencari satu jarum di tumpukan jerami. Tanpa alamat yang jelas, apalagi belum pernah berkenalan sebelumnya, hanya keajaiban yang bisa mempertemukan kami dalam sebuah kebetulan.
Lama sebelum jatuh cinta pada lelaki itu, saya punya banyak mimpi. Salah satunya adalah melanjutkan kuliah ke sebuah Negeri di luar sana. Pagi ini, salah satu teman yang saya kenal meraih mimpi yang sudah lama saya pendam itu. Tahu seperti apa rasanya?
Barangkali seperti ini rasanya suka terhadap lelaki, tapi justru teman kita yang jadian dengan lelaki tersebut. Menyakitkan.
Sepagi ini saya sibuk menenang-nenangkan diri, menyumpal duka dengan sejuta alasan kenapa saya harus melumrahkan mimpi itu diraih oleh teman saya. Dia sepuluh level di atas saya dalam hal penguasaan Bahasa Asing. Dia berasal dari keluarga yang enteng mengeluarkan dana untuk kursus dan pendidikan anak-anaknya. Keluarganya sudahlah pasti mendukung dengan penuh cita-cita yang dia miliki. Saya dan dia, sama-sama warga Negara di kelas yang berbeda.
Saya kira iri adalah salah satu hal yang membuat hidup jauh dari kebahagiaan. Karena memang, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa saya, mungkin juga kalian, raih.
Barangkali saya tidak harus terbang ke Langit karena Tuhan tentu tahu, di Bumi adalah tempat terbaik bagi saya. Toh pada dasarnya, hidup bukan hanya tentang seberapa jumlah uang dan prestasi kita yang diakui banyak oleh masyarakat, kan? Tapi juga seberapa pandai kita bahagia dengan pencapaian kita di hari ini, seminim apapun itu bagi orang lain.
Saya tidak akan menghapus mimpi itu, meski juga tidak akan saya jadikan kiblat bagi hidup saya. Toh, saya punya banyak mimpi yang lain. Barangkali satu demi satu mimpi saya akan tercapai, meski entah sampai pada mimpi yang setinggi langit itu atau tidak.
Apapun yang akan terjadi di masa depan, saya tidak akan menghapus mimpi-mimpi saya. Sebab bagi saya, dari semua mimpi dan harapan dalam hidup, saya tahu bahwa napas yang berhembus, jantung yang berdetak dan otak yang berpikir memiliki kegunaan.
Tercapai atau tidak saya serahkan pada Tuhan. Tapi untuk seluruh harapan dan mimpi-mimpi saya itulah, saya hidup.
Saya hanya harus berusaha meraih, bukan iri dan tersakiti saat ada orang lain yang lebih dulu meraih mimpi yang sama dengan mimpi saya.
Sebab manusia berotak tidak hanya saya, bukan hal yang aneh jika seratus orang memiliki mimpi yang sama. Dan saya kira berhasil meraih mimpi yang sama, tak selalu berarti bahwa level keberhasilan mereka sama.
Bahkan sama-sama memiliki ijazah S1 saja, cara mencapainya tidak semua mudah dan semua sulit kan?
Saya kira begitu pula hidup dan impian, ini bukan tentang perlombaan, bukan tentang menang dan kalah, tapi tentang bagaimana cara kita mengisi kehidupan.
Setidaknya begitulah menurut saya, bagaimana menurut kalian?
Pituruh, 9 Februari 2018
1 note · View note