Text
Aku Tidak Pernah Bermimpi untuk Berhijab
Di lapangan SD. Aku ingat aku tengah memakai kerudung putih di Hari Jumat. Ya, setiap Jumat seragam kami celana hitam dan atasan putih dengan jilbab.
Saat itu aku dan teman-teman (yang tentu aku lupa siapa) sudah berada di akhir fase, alias sebentar lagi kami sudah masuk SMP. Kami di sana bersalaman (aku tidak ingat kami tengah mengobrol atau berpas-pasan) dengan guru penjas kami.
“Cantik-cantik ya… pakai jilbab,” kata beliau. Beliau menambahkan, “Nanti kalau sudah lulus, pakai jilbabnya jangan Hari Jumat aja ya…”
Kami hanya tersenyum, tapi tentu saja masuk kuping kanan keluar kuping kiri, karena di dalam pikiranku, aku masih merasa ingin menikmati rambutku. Benar, rasanya rambut itu mahkota, bahkan walau aku tidak memiliki rambut yang terlihat bagus, jatuh, halus, dan berbentuk seperti orang-orang ngehits saat itu. Biasa saja, tapi tanpa rambut, rasanya seperti tidak menjadi perempuan. Tidak ada yang bisa dimainkan oleh tangan. Percayalah, menyisir rambut dengan telapak tangan dari arah kening ke belakang, atau sekedar memindahkan seluruh rambut ke bahu kanan, bahu kiri, atau ke belakang, mengucir, menjepit dengan jepitan, rasanya nyaman, dan entah bagaimana membuatku merasa “cantik” dan lebih percaya diri.
Nanti pakai bajunya panjang saja, menutup siku, menutup lutut, kan yang penting tidak terlihat lekuk tubuh kan? pikirku, mencari-cari celah bagaimana pun caranya aku tidak mau memakai jilbab sebelum rambutku sepanjang yang kuinginkan dan aku puas menjadikannya mahkota sebagai seorang perempuan, lagi lagi, walau aku tak memiliki rambut berperawatan dan tak pernah meriasnya aneh-aneh.
Saat masuk SMP, aku memakai jilbab karena diwajibkan. Tapi sepulang ke rumah, aku masih melepaskannya. Aku masih betah dengan celana pendek dan kaos, apalagi kalau naik sepeda. Suatu hari saat aku les bahasa Inggris, guruku entah bagaimana menanyakan tentang jilbab, “jadi kalian kerudungan itu ke sekolah aja?”
Jujur aku tidak ingat sejak kapan, namun di suatu masa, bersamaan ketika aku sedang menyukai seorang kakak kelas (lol wkwkwk, biasa, anak SMP, tapi aku bukan orang yang ekspresif, dan sampai saat ini pun aku tidak pernah kenal atau pun berkenalan dengan orang tersebut). Saat aku sedang dilanda apa yang orang sebut dengan “jatuh hati” “jatuh cinta” atau apalah, aku sedang sering-seringnya mengikuti perlombaan di luar sekolah, dan aku selalu ingin menang karena aku ingin maju ke depan saat upacara, apalagi kalau bukan supaya “dilihat” oleh orang yang seringnya baris di barisan depan itu? Haha…
Poinnya bukan itu, selama aku berjuang, aku banyak berdo’a, dan semakin banyak berdo’a, aku semakin banyak berpikir. Kok banyak banget minta sama Allah, tapi aku acuh ga acuh ya sama perintahnya Allah, mulai dari shalat, sampai hijab.
Suatu masa aku bermimpi berturut-turut yang salah satunya aku ingat aku memiliki rumah besar yang aku desain sendiri (dulu aku ingin jadi arsitek karena suka main the sims) namun tiba-tiba matahari terbit dari barat, rumahku terbelah, dan aku mendengar suara yang mengingatkanku bahwa walau tiap manusia sudah punya takdirnya masing masing, tapi aku sendirilah yang memilih untuk masuk surga atau neraka. Dan karena selama ini aku hanya melakukan sesukaku, tahu sendiri kan jawabannya? Mimpi serupa datang seolah aku sedang diingatkan akan sesuatu. Aku memikirkannya. Sampai suatu masa aku memikirkan tentang hijab dan memutuskan untuk mulai “tidak buka-buka” hijab lagi, setidaknya saat keluar rumah, walau aku masih belum berhijab juga saat di lingkungan sekitar rumah.
Selama SMP, aku berhijab. Aku masih memakai levis ketat, paris, karena saat itu pengetahuanku memang sebatas “pakai jilbab” dan aku berusaha mempertahankannya, maksudnya mempertahankan untuk selalu memakainya.
Di akhir kelas 9, aku memutuskan untuk masuk MAN, karena semakin hari, (banyak hal yang terjadi dan membuatku berpikir namun aku takkan membahasnya) aku merasa sangat haus akan ilmu agama. Ya, selama ini aku punya agama, tapi aku tak pernah benar-benar tahu tentang agama, aku bahkan tidak pernah menganggap agama sebagai orientasi hidup.
Aku masuk MAN, dan di sana aku bertemu dengan berbagai manusia dari latar belakang yang beragam, dan banyak yang berasal dari pondok. Aku sangat ingat aku sering melihat dua orang sosok kakak kelas yang sering bersama, berpakaian panjang-panjang, dan kalem. Rasanya adem melihat mereka. Seringnya terpapar dengan pemandangan yang membuatku merasa tenang, adem, dan nyaman, aku pun ikut-ikutan.
Aku ikut mencoba cara mereka memakai kerudung, aku ikutan cara mereka menyetrika kerudung dobel, memilih bahan yang tebal, dan lain-lain, sampai aku sadar bahwa berpakaian seperti ini, yang dulu aku pandang berlebihan, lebay, atau gimana gitu, ternyata “nyaman”, sangat nyaman.
Dan aku pun perlahan belajar tentang berpakaian syar’i. Oh ini berpakaian yang dianjurkan oleh Islam, alias berpakaian syar’i.
Apakah mudah? Bagiku, mudah tak mudah, terutama saat ini masih hal yang aneh di lingkungan terdekatku, pun mungkin juga bagiku, sebelum aku tercemplung sendiri. Dulu, mama beberapa kali pernah merasa khawatir kalau aku sampai berlebihan. Namun lama kelamaan, melihat aku yang bertahan dan tetap nyaman dengan “gaya”ku, mama mulai menerima perlahan, seperti mulai membelikanku rok ketimbang jeans, membelikanku kaos kaki, menanyakanku ketika ingin beli kerudung apakah aku nyaman menggunakannya (apakah kependekan, ketipisan atau lainnya), membelikan gamis, dll.
Sampai saat ini, menutup aurat masih sesuatu yang aku pelajari dan berusaha untuk perbaiki sedikit demi sedikit. Contohnya lagi seperti menutup aurat di depan keluarga yang tidak senasab, karena bagi masyarakat kita, sudah jadi saudara dan keluarga ya sudah, sehingga aneh kalau tetap pakai hijab di depan keluarga. Tantangannya jauh lebih besar saat orang di sekitar menganggap apa yang kita lakukan tidak masuk akal.
Namun, pertolongan Allah itu dimana-mana. Contohnya kemana pun aku pergi, kebetulan sekali aku dipertemukan dengan orang-orang yang menguatkan prinsipku untuk berpakaian sesuai syari’ah, bahkan sama-sama sedang berjuang dengan itu.
Ya, aku tidak pernah bermimpi untuk berhijab. Jangankan memimpikannya, terbesit dalam kepala pun tidak ada, kecuali disertai dengan penolakan dan usaha untuk menghindarinya dan memalingkan diri darinya. Tapi, baiknya Allah, tidak pernah berhenti mendatangkan hidayah walau berkali-kali kutolak dan kuhindari, sampai akhirnya aku menerima dan mulai untuk mensyukurinya.
Semoga Allah selalu melimpahkan kita dengan hidayahnya, dan memberi kita kemampuan untuk selalu menerimanya, kini, dan nanti.
1 note
·
View note
Text
Vaksinasi 22 Juni
23 Juni 2023. Aku membuka buku yang sudah lama belum kulanjutkan, Educated karya Tara Westover, sebuah hadiah dari sahabat lama yang katanya ia memberikan itu kepadaku karena aku suka Bahasa Inggris. Di dalamnya, aku menyelipkan sebuah kartu vaksinasi (sebenarnya tidak benar-benar kartu, karena nyatanya itu berbentuk surat di kertas ukuran A4) COVID-19. Vaksin pertama, sebuah cerita yang, aku tidak menyangka menjadi kenangan yang tidak ingin kulupakan.
22 Juni 2021
Aku bersama dengan mama, dan tetangga kami yang baik hati, menuju ke salah satu fasilitas kesehatan BUMN untuk mendapatkan vaksin setelah kehabisan jatah di alun-alun. Sebenarnya aku tidak terlalu terburu-buru ingin divaksin. Kalau bukan karena rencana keberangkatanku ke Italia yang mengharuskan vaksin dua dosis, aku tidak akan melakukannya.
Ini kedua kalinya kami mengunjungi faskes tersebut, namun qadarullah, kabarnya beberapa dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas dalam pemberian vaksin tersebut dikarantina karena salah satu dari mereka terinfeksi.
Kami pun menuju ke salah satu puskesmas di kota kami. Bukan kecamatanku, aku ingat betul. Namun ternyata yang vaksin hari ini adalah para pegawai dan ini adalah vaksin kedua. Yasudahlah, pikirku, siapa tahu nanti bisa dapat yang Astra Zeneca. Namun tidak dengan mamaku, rupanya ia memiliki sensitifitas terhadap waktu yang lebih baik daripada aku--walau aku akui aku sangat sensitif dengan waktu.
Mama berbicara kepada petugas yang ada, seperti orang yang menawar di pasar, “...satu aja, karena mau pergi ke luar negeri.”
Petugas itu melirik pada teman-teman mama, kemudian berkata, “Boleh bu, tapi setelah antrean terakhir ya, dan ini hanya anak ibu saja, jangan sampai yang lain iri...blabla...”
Kami setuju, namun kami tetap memberitahu para tante yang sudah menemani kami. Mereka mendukung dan pulang duluan. Hanya ada aku dan mama di sana, menunggu sampai semua antrean habis, kemudian pulang setelah aku vaksin.
Kami akan pulang jalan kaki, mama bilang mama tahu jalan memotong. Di tengah perjalanan mama melihat tukang pot dan mampir. Aku menemaninya, kemudian kembali jalan.
Tidak banyak yang kami bicarakan, dan bukan kejadian yang besar. Namun bagi orang seperti aku, menghabiskan waktu secara privat dengan seseorang yang penting dalam hidupku, adalah sesuatu yang sangat berarti. (Sebab aku adalah orang yang sangat menghargai waktu dan kehadiran, orang yang I prefer your presence to your present. Sebut saja, aku akan sangat lebih menghargai (bukan berarti lainnya tidak kuhargai, hanyasaja ini lebih istimewa) dan merasa disayangi, oleh orang yang memberikan sebagian waktunya untukku daripada orang yang memberikan hadiah padaku bahkan walau sebesar bulan.)
Jika diingat lagi, itu adalah pertama kalinya setelah beberapa waktu, aku kembali menghabiskan waktu hanya berdua dengannya (selain membuat sistik di dapur selama COVID, namun itu tetap saja ada orang lain di rumah), dan tidak menyangka itu akan menjadi salah satu dari terakhir kalinya. Kini, itu adalah kenangan yang sangat aku syukuri pernah terjadi, walau aku ingat aku benar-benar kelelahan saat itu.
Tak sampai di situ, pada jadwal vaksin kedua, ayahku tengah terkena COVID--cukup parah, namun kami ingin merawatnya sendiri--dan kami semua dikarantina lebih dari sepekan sehingga kami melewatkan kesempatan vaksin COVID kedua. Namun, kedekatan mama dengan salah satu tetangga kami yang baik hati yang merupakan tenaga kesehatan, membantuku untuk menyelesaikan vaksinku agar aku bisa berangkat ke Italia. Lagi-lagi mama…
Katanya dibalik pria yang hebat ada wanita hebat, namun aku beritahu, pun dibalik wanita yang hebat (emm, khusus aku, aku tidak hebat, namun kata tersebut anggap saja penghargaan karena aku tidak berhenti sampai akhir) ada wanita yang lebih hebat pula. That’s her.
Gadis yang selama ini dibangga-banggakan oleh orang sekitarnya, sebenarnya hanya orang yang beruntung karena dukungan dan do’a kedua orang tuanya.
Ya, begitulah, aku sudah bilang ini bukan cerita tentang hal yang besar, hanya hal kecil yang berarti besar.[]
0 notes
Text
Do’a yang Dikayuh Takkan Jatuh
Do'a itu memang sudah sering diulang. Entah sejak kapan pengulangan itu dimulai, yang jelas beberapa memori masih membekas di pikiranku.
Tahun 2020, semua orang harus di rumah. Karena sering di rumah, aku sering menonton kanal Live Makkah. Memang itu yang sering kita setel apalagi sebelum tidur. Namun tahun itu, karena aku berada di rumah, aku lebih sering menontonnya.
Setiap kali kami menonton itu dan terlintas perandaian akan berada di dalamnya yang terucap melalui kata-kata, kami menjadikannya do'a. Jika angan itu datang saat aku sendiri, pun, aku menjadikannya sebuah do'a. Terus menerus hingga aku tak tahu sudah berapa kali aku pernah berkata "Ya Allah, aku ingin berada di sana."
Yang menjadi puncaknya adalah saat aku pergi ke Italia. Beberapa kali aku merenung tentang bagaimana Allah menggerakkan semesta-Nya, memperjalankanku begitu jauhnya dengan mudahnya, dengan cara yang tak pernah kusangka-sangka. Lagi-lagi aku menyebut cerita yang disampaikan oleh Ustadz Yusuf Mansur.
Beliau pernah berkata dalam suatu kesempatan, bahwa yang memperjalankan manusia ke mana pun mereka berada itu Allah. Sebagaimana Ia memperjalankan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan ke Sidratul Muntaha hanya dalam satu malam, maka sudah pasti lebih mudah baginya memperjalankan kita ke tempat mana pun yang Ia kehendaki di bumi ini. Buktinya, ketika kita ada di tempat kita sekarang.
Aku sadar, Allah yang telah memperjalankanku. Sebab untuk memperjalankan diri sendiri, aku jelas tidak menyanggupi. Adakah uang sebanyak itu untuk pergi ke Italia? Bahkan tinggal berbulan-bulan? Tidak. Namun Allah menggerakan semesta untuk memperjalankanku tanpa harus memikirkan itu semua.
Beberapa waktu di Eropa kadang membuatku merasa sepi. Bukan karena tidak punya teman atau tidak punya kegiatan. Namun aku sangat merindukan suasana kemudahan ibadah, serta teman yang sama-sama semangat beribadah. Pasalnya ini adalah negeri yang mayoritas non-Islam, sehingga agak sulit menemukan orang yang saling menguatkan tiang masing-masing.
Beberapa kali aku menatap peta dunia. Italia itu jauh, dan aku mulai berkata kepada Tuhanku, "Ya Allah, Italia itu ternyata jauh, namun begitu mudahnya Engkau memperjalankanku. Ya Allah, sesungguhnya rumah-Mu (baitullah al Haram) itu lebih dekat. Jika dengan mudahnya Engkau memperjalankanku kemari, bukankah lebih mudah bagi-Mu untuk memperjalankanku kesana?"
Batin itu menguat saat aku pergi ke Vatikan. Kalau kau tahu, Vatikan itu ibarat tempat umrohnya orang Katolik di seluruh dunia. Siapa pun pasti ingin mengunjungi gerejanya. Pada saat itu, tanpa kekurangan rasa syukurku bisa menyaksikan dan merasakan keindahan kota, aku merasa ini bukan tempatku. Aku merasakan kesedihan pada sisi lainnya. Seperti seorang anak yang merindukan "rumah", aku merenung, "Ya Allah, Engkau bahkan memperjalankanku kemari dan memperlihatkan keindahannya. Sesungguhnya, aku berharap Engkau memperjalankanku ke rumah-Mu. Masa, aku pernah kemari, namun tidak pernah ke Makkah?" begitu ucapku dalam hati, berulang kali, berhari-hari.
Setiap kali aku merasa sedih karena suatu perkara atau memiliki masalah dengan seseorang (setiap manusia pasti pernah punya salah satu sama lain, kan? Dan itu hal yang wajar) aku meminta kepada Tuhanku, "Ya Allah, lapangkan hatiku untuk ikhlas, sesungguhny aku meminta kepada-Mu surga, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk bisa berada di rumah-Mu."
Dan lain-lain. Aku tidak pernah menyesal berdo'a. Entah sebanyak apa hal yang pernah terbesit di pikiranku yang selalu kuganti menjadi do'a sampai aku saja kadang lupa akan hal tersebut. Namun Tuhanku tidak pernah lupa.
Di Bulan November, saat keinginanku untuk pulang ke rumah tak tertahankan, dan kebetulan terfasilitasi dengan adanya acara nikahan sepupuku di Bandung, aku mendapatkan kejutan. Kala itu kakakku menanyakan padaku, "Ayah udah bilang belum?"
"Apa?"
"Ayah mau umroh katanya. Udah niat kali, dari dulu, kalau udah pensiun mau umroh. Kemarin ngajak saya, tapi kan kasian adeknya (anaknya), jadi suruh ajak kamu sama Mala, biar ngga sendirian."
Hatiku seketika termenung. Aku menunggu sampai ayah benar-benar mengatakannya. Ia pun menanyakannya saat di rumah. "Kakak masuk lagi kapan?"
"Kaka mah nggak ada libur… kan skripsian."
"Ayah mau umroh."
"Kapan?"
"Ya, liat dulu di travelnya adanya kapan."
Beberapa hari kemudian, aku menanyakan apakah ayahku sudah menanyakan ke travel, dan saat itu juga kita ke travel. Saat itu urusan di rumah benar-benar sibuk, apalagi saat itu kucingku sedang sakit (patah tulang) karena kelindes mobil dan kami sibuk mencarikan dokter ortopedi untuk mengobatinya. Akhirnya kami dapat tanggal keberangkatan 30 Desember. Saat itu juga, ayah langsung deal dan melunasinya.
Sekitar tanggal 27 November, aku kembali ke Solo, mengkonsultasikan projek rekognisi pengelolaan lab-ku yang sudah kuselesaikan di rumah (aku memang sudah merencanakan mengerjakan semuanya). Pada 20 Desember aku kembali ke rumah lagi dan kami berangkat tanggal 30.
Semua terjadi sangat singkat dan tak terduga. Maksudku, rencana keberangkatan kami saja H-sebulan, tidak jangka panjang. Itu jelas mengejutkan bagiku. Apalagi itu perjalanan jauh. Tidak terduga. Ya, jalannya benar-benar tak terduga. Ya, aku percaya dan selalu percaya Allah mendengar do'aku dan aku tidak pernah kecewa sering berdo'a kepada-Nya. Setiap aku berdo'a ke tanah suci, ya, aku serius pengen banget kesana, aku juga yakin Allah pasti akan memperjalankanku ke sana. Namun, aku tidak pernah menyangka secepat ini. Di tahun ini?
Allah mengabulkan beberapa do'a Pertama, adalah tentang mengunjungi baitullah. Kedua, aku pernah curhat sama Allah sambil ngebatin, ketika aku mulai ngerasa kesepian saat lagi senang-senangnya namun senangnya hanya dirasakan sendiri. Aku bilang, bahwa aku pengen banget kalau jalan keluar negeri ada temannya, sama mahram atau pun pasangan, terlebih dengan orang tua, setidaknya sekali saja. Ketiga, aku pernah ngebatin, karena pasporku yang hanya 5 tahun (paspor 10 tahun baru ada setelah aku punya sudah paspor) aku berdo'a supaya aku bisa pergi kemana-mana lagi, supaya paspornya terisi.
Aku tidak menyangka waktunya adalah tahun ini. Bahkan belum genap setahun setelah kepulanganku ke Indonesia. Aku juga tidak menduga tempat itu adalah baitullah, dan orang itu adalah ayah dan adikku, keluargaku sendiri.
Begitu sempurna rencana Allah yang tak terduga. Direnungi lebih dalam lagi, ada hal yang lebih luar biasa lagi.
Allah itu, tidak memperjalankan seseorang tanpa tujuan. Kau tahu istilah perjalanan adalah hiburan bagi hati yang sedih? Ya, ini tentang perjalanan yang Allah buat untuk menghibur hati yang sedih. Allah tahu hati hamba-hamba-Nya yang bukan hanya rindu, namun juga sedang rapuh, membuat kerinduan itu semakin besar adanya.
Ayah, siapa yang tidak patah hatinya kehilangan seorang belahan hati tiba-tiba? Di saat yang sama masih harus mengasuh anak-anak perempuannya, dan sudah waktunya menikmati hari tua berdua. Saking patahnya, bahkan aku sendiri saja suka ikut menangisi begitu mengingatnya, padahal luka itu bukan milikku sendiri. Aku, aku tidak bilang kalau ujianku paling besar. Namun, jujur, tahun 2022 adalah tahun yang sulit bagiku. Tidak ada yang tahu dan tak perlu tahu (sebab aku tak berharap ada yang mengalami hal yang sama), pulang dari jauh saja lelahnya sudah memakan hingga ke tenaga. Aku harus kembali merekonstruksi, mengingat kembali, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan seolah itu adalah lingkungan yang baru kutemui. Ditambah keguncanganku saat aku tahu aku kehilangan seseorang yang berharga saat aku sedang tak ada. Walau demikian, aku berusaha untuk tetap jalan pelan-pelan, walau sebenarnya tidak selalu mau melakukannya, sampai akhirnya satu demi satu kewajiban bisa kuselesaikan. Banyak hal terjadi dalam satu tahun dan aku takkan cerita semua, yang jelas aku hanya berusaha menjalaninya dan menyerahkan sisanya pada Yang Maha Kuasa. Bahkan ketika aku mengingat kembali, aku sering tak percaya sudah sampai di sini saja. Tapi, janji Allah, barangsiapa bertakwa kepada Allah (setidaknya berusaha tetap di jalan yang diridhai-Nya, walau pastinya setiap manusia sesekali salah dan khilaf), akan Allah beri jalan keluar, dan memberikan rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka. Ya, bukan pertama kalinya, namun lagi-lagi aku menyaksikan kebenaran ayat ini. Dan adikku, yang menyaksikan sendiri ketika pertama kali mama jatuh pingsan sebelum akhirnya benar-benar tak bisa terbangun lagi. Dia adalah pendiam dan pemendam, tidak ada yang tahu isi hatinya.
Dan Allah memanggil kami bertiga. Kenapa kakakku tidak? Bukan karena Allah tidak tahu dan tidak mau, namun pada waktu ini, Allah sedang menghiburnya dengan rezeki lain berupa kehadiran seorang suami dan anak yang bisa menghiburnya, lagipula anak itu juga titipan untuknya yang belum bisa ditinggalkannya. Semoga suatu saat mereka menyusul segera. Aamiin.
Allah memanggil kami bertiga, seolah Ia ingin menghibur hati kami, dan mungkin memang iya. Lagipula, kenyataanya iya. Ia panggil kami, Ia mampukan kami, dan Ia hibur kami di rumah-Nya sendiri.
Istimewanya lagi, kami berada di Mekkah bertepatan dengan ulang tahun mama, yaitu tanggal 1 Januari. Tahun lalu, hal yang membuatku patah hati adalah ketika aku telah mengumpulkan segala macam hal-hal kecil (kau tahu, aku mengumpulkan gula dan garam saset resto Italia, sengaja membeli beras Italia yang besar-besar untuk menyisakannya setengah pak sehingga bisa kubawa pulang, membawa setengah bungkus tepung tipe O Italia karena mama penasaran dengan tepung di sana, serta berniat membawa tepung roti yang belum sempat terpakai dan tidak mau dibawa teman satu kitchenku karena beratnya juga), sampai menyiapkan oleh-oleh sekaligus hadiah ulangtahun dari Venice dan Belanda (yang pastinya akan kusampaikan telat karena aku baru pulang Februari) yang tidak pernah kuberitahu padanya bahwa aku sudah menyiapkannya; namun aku dihadapkan dengan keadaan dimana aku tidak bisa membuatnya melihat dan menikmati itu semua. Jangankan itu, aku bahkan tidak bisa membuatnya tahu bahwa aku sudah menyiapkan segalanya untuknya, sebab ia pergi, bahkan sebelum aku pulang.
Aku yakin ia akan senang dan senyum-senyum saat melihatnya dan saat aku mengatakan bahwa aku sudah bawakan spesial untuknya, namun ternyata aku kehilangan kesempatan itu. Aku kehilangan kesempatan terakhirku untuk memberikan sesuatu yang istimewa untuk membahagiakan hatinya.
Namun hari itu, 1 Januari 2023, Allah menunjukkan sebaliknya. Ia memutar kesedihanku menjadi kebahagiaan, sebab Ia menempatkanku pada tempat dimana aku mendapatkan kesempatan kedua untuk memberikannya hadiah yang jauh lebih istimewa: sebuah do'a dari tempat yang paling istimewa.
Benarlah janji Allah, Ia takkan mengambil sesuatu dari hamba-Nya, kecuali Ia telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik dari yang diambil-Nya. Ia mengambil kesempatan itu, lalu Ia memberikanku kesempatan itu, dalam bentuk yang lebih baik, bahkan yang terbaik.
Beberapa hal yang digarisbawahi dari ceritaku ini. Satu, jangan pernah berhenti mengayuh do'a. Apa pun yang terbesit di kepalamu, jadikanlah do'a. Gimana maksudnya? Ya komunikasikan kepada Allah. Perdengarkan kepada Allah sebelum kepada manusia. Kita tak pernah tahu do'a mana yang Allah kabulkan terlebih dahulu, namun di luar itu, setidaknya dengan demikian kita merasa senang karena dua hal. Pertama, telah melepaskan ganjelan pikiran itu dengan menitipkannya kepada zat yang tidak pernah tidur, tidak pernah lupa, dan Maha Berkuasa. Kedua, karena kamu telah berkomunikasi dengan penciptamu, yang paling mencintaimu, yang paling tahu kamu, yang paling "mau" mendengarkanmu, dan paling bisa mengabulkan keinginanmu. Berbicara dengan Allah adalah suatu nikmat yang tidak bisa dibeli dengan apa pun.
Dua, selalu pasang mindset bahwa Allah itu Maha Tahu, Maha segala-galanya. Jadi, apa pun yang diberikannya pasti selalu tepat. Tepat waktu, tepat sasaran, semuanya tepat. Tuhanku tidak pernah keliru, tidak pernah tidur, dan tidak pernah lupa. Kalau sudah pernah berdo'a, yasudah, serahkan sama Allah, biar Allah yang lakukan bagian-Nya. Yakinlah bahwa hal baik apa pun itu, pasti datang di saat yang tepat. Bahkan sebelum hal yang kita "pandang" baik yang kita inginkan itu datang pun, Allah sudah mendatangkan hal-hal baik lainnya, hanyasaja, kita jarang menyadarinya karena terlalu terfokus pada hal yang kita inginkan.
Ketiga, bahwa Allah tidak mengambil sesuatu kecuali Ia telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk hamba-Nya. Jika "kamu sedang merasa" kebahagiaanmu hari ini sedang diambil oleh Allah (aka lagi sedih, dll, ya walau sebenarnya Allah ngga pernah benar-benar mengambil kebahagiaan kita namun pikiran kitalah yang menyebabkan kebahagiaan tersebut lepas dari tempatnya), maka yakinlah bahwa Allah pasti akan mengembalikan kebahagiaan itu dalam bentuk yang lebih baik, yang lebih luar biasa, dan lebih tak terduga.
Laa hawla walaa quwwata illa billah
-Rahma
0 notes
Text
Gadis Berlipstik Hitam
Apa yang kau bayangkan? Ya, seorang wanita dengan pakaian--aku tak tahu nama jenisnnya yang jelas--serba hitam. Sebuah jaket kulit hitam dengan rok pendek hitam. Cuaca sedang dingin, makanya ia memakai stocking atau kaos kaki hitam (aku tidak tahu, aku sudah lupa) untuk menutupi kakinya. Yang menarik perhatianku adalah ia memakai riasan wajah yang warnanya hitam-hitam.
Kalau di Indonesia, tidak usah dipungkiri, orang dengan dandanan seperti itu mungkin akan membuat kita merasa seram, kalau tidak kita akan mempersepsikan ia sebagai anak punk dan sejenisnya.
Ia berjalan dari arah Piazza dei Signori ke arah Via VIII Febbraio saat aku tengah berjalan sebaliknya. Aku memandangnya berjalan dengan percaya diri, sembil berbicara dengan teman yang ada di sampingnya (aku tidak ingat berapa). Kejadian itu berlangsung sangat singkat, hanya sekian detik, namun ingatan itu selalu hangat sampai saat ini. Tahu kenapa?
Hidup di Eropa, khususnya Italia, sebagai seorang muslim, tidak sulit tapi juga tidak mudah. Di sana kau harus menyusun kebiasaan baru, menyesuaikan kepadatan yang tak sama sekali menyisipkan waktu shalat dengan waktu shalat yang tidak pernah tiada di mana pun berada. Akan sulit untuk membuatmu mengerti bagaimana bisa, sebab keadaan sekitar kita yang alhamdulillah cukup baik akan sulit membuatmu sampai kepikiran sampai sana, tapi yang jelas bahkan untuk kewajiban dasar seperti shalat wajib pun bisa membuatmu bertanya “Kenapa aku melakukan ini?” saat berada di sana, dan jika bukan karena pertolongan Allah atas keimanan kita, kalau bukan taufik yang Allah berikan (yang mana pastinya itu adalah buah dari usaha kita untuk mengikuti petunjuknya, jadi jangan beralasan “aku belum dapat hidayah), meninggalkan shalat itu akan menjadi semudah membalikkan telapak tangan.
Sulit untuk membuatmu mengerti, tapi hal sedasar itu, yang tak pernah bahkan tak seharusnya kita pertanyakan, bisa tiba-tiba muncul dan jika saja Allah tidak menolongmu, niscaya itu dapat mengguncang semua yang telah kau bangun. Tak sering, hanya sesekali. Dan kurasa itu karena kita mulai menyadari dan merasa asing. Asing karena kebanyakan orang tidak seperti kita, sehingga kita hanya bagian kecil. Hari demi hari, kebiasaan kita yang berbeda dari yang lain membuat kita mempertanyakan apa yang sebenarnya kita lakukan, mengapa begini dan begitu. Jika saja kita tidak pernah tahu agama kita, jika saja kita tidak pernah memiliki ilmu, tidak memiliki iman yang kuat, maka meninggalkan dan mengabaikan itu semua adalah hal yang sangat mungkin terjadi dalam seketika. Hadits bahwa orang muslim itu hidup seperti dipenjara itu semakin benar adanya. Lucunya, yang menjadi cobaan adalah kamu akan merasa bahwa kamu sendirilah yang membuat dirimu terkekang, sehingga kamu akan berpikir kamulah harus berubah dan--bisa saja--harus meninggalkan itu semua, padahal perasaan itu bisa saja muncul hanya karena perasaan asing tadi.
Aku? Tentu saja aku sering merasa asing. Bukan pertama kalinya, bahkan di negeri sendiri pun pasti pernah bertemu lingkungan, situasi, orang, atau kondisi yang membuat kita merasa asing. Namun kali ini berbeda, benar-benar asing dari segala hal. Terkadang aku jadi sering bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Contoh seperti bagaimana aku ingin mempertahankan shalat, dan lama kelamaan merasa kenapa kamu ribet sekali? Kenapa nggak dijamak saja? Ah, Allah juga tahu shalat di sini susah, dan sebagainya. Aku tidak ingat apa yang kupertanyakan, yang jelas penampilanku yang aku sadari berbeda dari yang lain, caraku memilih makanan yang mungkin lebih cerewet dari yang lain, bagaimana aku memikirkan rencana shalat di mana saja seharian ini, kadang membuatku bertanya-tanya kepada diriku sendiri.
Apakah aku mempersulit diri? Kenapa begini dan begitu. Alhamdulillah, aku bersyukur Allah masih menitipkan iman dalam hatiku, dan aku bersyukur kemari di usia segini, bukan dulu saat aku masih SMP, saat aku belum tahu agama. Pasalnya aku sudah punya mimpi dan niatan ingin sekolah ke luar negeri sejak aku SD dan aku bersyukur Allah baru mengabulkannya sekarang. Karena hidup di luar negeri membuka banyak sisi dalam pikiranku, dan pengaruhhnya benar-benar sesuatu yang melekat. Andai aku belum pernah belajar agama, mungkin aku tidak bisa memilah mana yang harus diambil dan mana yang tidak,
Ya, pertanyaan-pertanyaan--yang mungkin saja bisikan dari setan--yang sering muncul di kepalaku itu perlahan-lahan membuatku merasa kurang percaya diri. Ya, simplenya, coba bayangkan kamu ke sebuah acara yang dresscodenya hitam putih dan kamu memakai pakaian pink. Sebagian besar pasti merasa malu, karena beda sendiri, aneh, dan kalau bisa lebih baik berganti pakaian segera. Begitu yang pernah kurasakan.
Namun hari itu, saat aku melihat gadis itu, aku melihat hal lain.
Di sini, semua orang hidup dengan prinsip hidup mereka masing-masing. Tidak ada kata yang bisa menjelaskannya dengan tepat, namun yang jelas setiap orang hidup bebas, dan dengan begitu masing-masing memiliki orientasi dan prinsipnya masing-masing. Orang-orang yang taat, orang-orang yang senang belajar, orang-orang yang senang berteman, yang senang jalan sendiri, family people. Pun cara berpakaian mereka yang berbeda-beda dan tak peduli bagaimana orang lain melihatnya; ibu-ibu gereja yang taat yang berpakaian rok tiga perempat dan penutup kepala, para wanita yang memakai pakaian fashionable seperti sedang fashion show padahal hanya jalan di jalanan, para muslimah yang memakai hijab, orang-orang India yang pakaiannya sederhana, dan aku yang menutup auratku sebagaimana Tuhanku memerintahkanku.
Mereka ada yang liberalis, religius, ateis, demokratis, skeptis, dan lain-lain, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan aku?
Mereka punya pendirian mereka, maka seharusnya bukan kesalahan jika aku memiliki pendirianku sendiri. Aku berbincang dengan diriku sendiri, jika ditanya bagaimana dengan aku, maka jawabanku adalah “aku seorang muslim”. Yang biasanya aku tidak suka dipanggil alim atau religius di Indonesia (karena terkesan sangat-sangat tinggi), di sini aku akan dengan lugas mengatakan aku seorang yang religius. Ya, karena orientas utama yang aku ikuti, prinsip dasar hidupku, adalah agamaku (dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk dan pengarahnya).
Jika mereka dengan percaya dirinya berdiri dan berjalan dengan prinsip mereka, sama seperti bagaimana gadis berlipstik hitam itu berjalan dengan gaya pakaiannya, maka mengapa aku harus minder berjalan sebagai seorang muslim? Berpakaian serba panjang, selalu bertanya-tanya ini halal atau tidak, mau shalat dimana. Itu semua karena aku adalah seorang muslim, karena aku sudah memilih menjadi seorang muslim, dan petunjuk Al-Quran dan sunnah lah yang sudah seharusnya jadi sandaran. Jadi, mengapa harus bertanya-tanya lagi? Mengapa harus minder, takut, padahal kita berada di jalan yang benar? Atau setidaknya di jalan yang tidak merugikan--bahkan tidak membolehkan untuk merugikan--orang lain. Kita diajarkan melakukan yang baik dan seharusnya itu membuat kita bangga.
Terkadang kita yang baru berhijrah selalu takut dan malu saat berbeda dari biasanya (karena mulai memilih melakukan yang lebih baik), tapi ingat, jika orang lain bisa hidup dengan pilihan mereka, maka itu artinya kita juga punya hak hidup dengan pilihan kita. Dan bersyukurlah untuk kamu yang telah memilih untuk hijrah ke jalan yang lebih baik. Semoga Allah menuntun kita selalu, dan mewafatkan kita dalam keadaan husnul khatimah.
Dan inilah ingatan yang sangat segar dari seorang gadis berlipstik hitam. Terimakasih, karena saat itu, kau sudah menguatkanku dengan pilihanku diriku sendiri.
0 notes
Text
Cerita Genting di Stasiun Amsterdam
Aku kebelet pipis, sementara kereta itu akan datang kurang lebih 20 sampai 15 menit. Sambil menunggu tante yang masih beli makanan untuk bekal kami, aku pun berpikir kilat. Aku yakin bisa kembali dalam waktu segitu. Stasiun di Eropa dipenuhi dengan petunjuk arah karena segalanya dibuat seinformatif mungkin sehingga seseorang tidak perlu mencari orang untuk tahu arah.
Di lorong itu beberapa tanda toilet terlihat berurutan. Sepertinya hanya satu arah. Aku hanya tinggal mengikuti arah kemudian kembali ke arah yang sama.
“Gais, kalian di sini, aku ke kamar mandi, sebentar. Aku ngebut.”
Aku berjalan cepat, seperti biasanya. Berjalan lurus menuruni tangga sampai beberapa kali sampai akhirnya sampai keluar di jalur yang tegak lurus dengan arahku berjalan. Aku belok ke kiri, mengikuti tanda.
Arhhh! Ternyata antreannya sangat panjang! Lima detik merenung, aku tidak mungkin sampai. Aku pun berbalik arah, kemudian berbelok ke kanan, seperti sebelumnya, but, another surprise, jalan masuknya dibatasi oleh pembatas otomatis yang hanya bisa terbuka dengan tiket. Tiketku ada di teman-temanku yang menunggu, tak ada cara lain selain mereka membawanya kemari. Namun, bagaimana?
Aku menelpon, namun aku disemprot, mungkin karena kami juga sudah kelelahan berjalan keliling Amsterdam, “Ngga ketemu, Ma, ini bentar lagi keretanya... Aduh, ada-ada aja...blablabla” karena merasa tidak ada solusi bahkan memperburuk keadaan, aku menutup telponnya.
Tak lama, seorang polisi datang, aku menghampirinya dan mengatakan apa yang terjadi.
“Aku tidak sengaja keluar dan tiketku ada di teman-temanku di dalam...”
Aku berbicara panjang dan lebar. Ia mengangguk sampai aku diam, kemudian berkata, “Oke, oke, tapi kau sedang berbicara dengan polisi dan aku tidak tahu cara menolongmu. Lebih baik kau datangi pusat informasi, terimakasih.”
WHAT? One more surprise.
And one more, pusat informasinya ternyata adalah ruang di sebelah kiriku. Tepat di samping palang-palang otomatis tadi. Aku menyampaikan keluhanku, kemudian syukurlah kemudian salah satu dari mereka membukakan pintunya untukku.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Walau aku sudah di dalam, aku merasa sangat asing dengan lingkungannya. Inikah yang kulalui tadi? Kenapa berbeda? Aku berhenti di tengah-tengah, melihat kanan dan kiri. Tidak ada hal yang kukenali. Aku benar-benar penuh tekanan. Jalan kemudian kembali, sampai akhirnya aku melihat papan peron.
"Peron berapa?” tanyaku pada temanku singkat, “aku ke sana langsung.”
Aku langsung sampai di atas, ada kereta yang sedang diam namun aku tidak tahu apakah itu keretanya karena jamnya berbeda. Lagi-lagi, sebuah momen sulit. Aku tidak tahu harus masuk atau tidak. Kalau aku masuk tapi salah, aku dalam masalah. Kalau aku tidak masuk dan itu adalah keretanya, aku juga dalam masalah. Aku terus menghubungi kawanku, walau aku tahu sinyal kartu SIM mereka benar-benar buruk, tidak selancar milikku. Sampai akhirnya aku bisa bertemu dengan mereka dan kami langsung bergegas memasuki kereta.
Rasanya lega, walau masih merasa panas. Aku menenangkan diri dan napasku. Kita semua lelah, namun, setidaknya kita sudah bersama-sama menuju Sloterdijk, dengan tambahan cerita genting yang seperti ini tentunya.
Amsterdam Centraal, memang terlalu besar.
Satu pesanku, jangan pernah berjalan sendirian jika kau baru pertama sampai di sana.
0 notes
Photo
📸 Pinggiran Amsterdam (di Sloterdijk) https://www.instagram.com/p/ClUuNncyW7h/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Photo
Wanita Swiss yang Duduk Di Sebelahku
Waktu balik dari Sloterdijk (Belanda) ke Brussels (Belgia), aku duduk bersama orang Swiss, negara ingin sekali aku kunjungi. Ia lahir di sana, namun tinggal sekian tahun di Amsterdam, sendiri, untuk bekerja. Dan aku memiliki percakapan yang entah kenapa saat itu berkesan bagiku.
Aku tidak bisa menebak usianya, kemungkinan 30an. Rambutnya dipotong pendek hingga aku sempat mengiranya laki-laki sampai akhirnya aku bicara saat aku hendak meninggalkan barangku karena ingin ke toilet.
Sepanjang jalan (kecuali saat aku ajak ngobrol) ia membaca sebuah buku. Sebuah pemandangan yang sangat khas di sini, melihat orang yang membaca bukan gadget di transportasi umum. Aku mengajaknya bicara hanya saat ia sedang tidak fokus membaca, aku tahu bagaimana spasi dan privasi orang Eropa dan aku tak mau mengganggunya.
"Jadi Anda tinggal di Amsterdam?"
"Ya"
"Sendirian?"
Ia memiringkan kepalanya setiap kali menjawab pertanyaanku, orang Eropa biasa melakukan itu.
"Iy-yaa," looks like I am the first one asking her a kind of question like that. Aku sempat berpikir mungkin ia tak begitu berharap ditanya dan sebaiknya aku selesai, namun ternyata ia melanjutkan, "Di sebuah apartemen kecil, tapi kadang temanku datang berkunjung untuk tinggal bersama namun tidak di waktu yang panjang, karena apartemenku kecil."
"Aku ke Brussels untuk menemui temanku," tambahnya.
Aku juga bertanya "Anda sering jalan-jalan?"
"Tidak," jawabnya, "Pertama karena aku tidak punya banyak uang, dan tidak punya waktu untuk jalan-jalan..."
Jleb.
Aku tidak tahu mengapa saat itu rasanya mengena. Hal pertama adalah soal waktu. Lihatlah kembali bagaimana waktu kita tersita dengan hal yang kurang bermanfaat--scrolling, ngerumpi tak kenal waktu, dll--padahal di sana ada yang sedang memanfaatkan waktunya untuk bekerja agar bisa bertahan hidup. Ya, hiburan itu penting, namun masa 24 jam yang kita punya isinya cuma hiburan lalu tidur? Kalau waktunya sudah kebanyakan untuk bermalas-malasan, itu sudah tidak wajar dan perlu dievaluasi ada apa.
Buruknya lagi, kita yang pemalas dan suka leha-leha ini, kalau ngeliat orang Eropa selalu ngira hidup di Eropa itu enak, dan enak-enak saja.
Ya, nyatanya memang enak, namun, mereka juga punya bayarannya yaitu jadi orang yang disiplin waktu. Ya, nyatanya memang enak, namun salah kalau kita mengira enak-enak saja. Mereka bekerja, pagi pulang sore. Ya, untungnya di Eropa sini mereka menghargai waktu istirahat sehingga kadang di saat kita butuh sesuatu di harj istirahat mereka, mereka tidak ada. Namun yang jelas mereka juga berjuang. Berjuang untuk hidup, kalian pikir di Eropa tidak ada yang homeless? Ada. Semuanya berjuang. Memandang sebelah mata kenikmatan mereka takkan membuat kita merdeka kawan. Satu hal. Kita dan mereka sama saja. Sama sama punya diri, punya potensi, punya lain lain. Kepala kita sendiri yang memberi perbedaan itu, yang membuat kita selalu berkata "Ya wajarlah, mereka kan ...()..." dan berujung menjadi pemalas.
Ia membungkus bukunya, yang ia bawa dan baca di perjalanan. Ia membungkusnya dengan kertas berwarna--aku tak tahu itu koran atau kertas kado--yang jelas ia membungkusnya, seolah ia tak mau buku tersebut lecek atau jadi jelek. Sebuah pemandangan baru, sebuah pemandangan yang sangat membuka pandangan.
-snr,
(Catatan 11 Desember 2022, Italia)
0 notes
Photo
Ini adalah tetanggaku. Sebuah taman yang dilengkapi dengan fasilitas bermain untuk anjing. Dan ke sana lagi, ada sebuah jalan bernama Via Monte Vodice yang memisahkan taman itu dengan sebuah resident bercat kuning seperti yang kau lihat. Di samping resident itu ada sebuah swalayan bernama Eurospar, tempatku biasa menghabiskan kurang lebih 20 euro per pekan untuk kebutuhan sehari-hariku bersama anak-anak satu kitchenku.
Aku tak tahu tapi rasanya satisfying memotret keadaan dari musim ke musim. Sayangnya aku tidak bisa melihat taman ini di musim semi karena sudah pulang di pertengahan akhir musim dingin.
Kau tahu, dunia ini tidak pernah berhenti. Walau tak selalu mudah, bumi tak pernah menolak satu pun musimnya. Tidak ada jalan bagi kita untuk lari dari sebuah musim, kita hanya punya jalan untuk menghadapinya, dan menikmatinya dengan cara kita sendiri. Tidak ada jalan menghindari sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, yang ada hanya pilihan untuk tenggelam di dalamnya, atau memulai untuk menikmati dan mensyukurinya.
0 notes
Text
Untuk mama,
tentang hal-hal yang ingin sekali kutunjukan padanya
namun menahannya sebab tak mampu menunjukannya bukan pilihan yang benar juga
Maka kutuliskan sebagian cerita sebagai ungkapan cinta
Untuk mereka yang selalu ada
Menunggu cerita dari jendela berbeda
Maaf, aku hanya membawa cerita
Semoga mampu membuatmu bahagia
0 notes
Text
dei regali
Sore itu, aku berada di ruang diskusi, baru saja usai berkumpul dengan sejumlah pengurus harian tetap ketiga dari unit organisasi mahasiswa kerohanian Islam. Aku bersama dengan Mbak Yayan, kakak tingkatku di Pendidikan Fisika.
Beberapa waktu lalu, aku baru saja menghadiri forum sosialisasi program Global Challenge (GC) yang diadakan rutin oleh International Office. Sebuah program yang membiayai mahasiswa terpilih untuk pergi ke luar negeri baik untuk kegiatan perkuliahan, simposium, konferensi, hingga magang dan pengabdian masyarakat. Terdengar menarik dan cukup membuatku semangat, namun tak bertahan lama. Kesibukanku sebagai sekretaris umum di Unit Ilmu Al-Qur'an membuatku tak punya waktu untuk sekedar cari-cari program yang pas dengan minatku dan timing yang disediakan oleh universitas. Ya, program itu menghendaki kita mencari sendiri apa yang ingin kita ikuti, kemudian di form pendaftaran kita menyebutkan kebutuhan biaya, deskripsi program, kontribusi program terhadap studi, serta motivasi kita mengikuti program terkait. Terlihat seperti aku tak bisa menyempatkan diri untuk mencari yang cocok denganku, namun hari itu di ruang diskusi, Mbak Yayan mengubah segalanya.
"Salah satu motivasi aku lagi adalah karena aku kan anak lembaga dakwah, dan seringkali orang berpikir kalau anak lembaga dakwah itu cuma bisa duduk di masjid, ngurusin kajian, dll. Kalau aku bisa dapet kesempatan ini dan pergi keluar negeri, itu merupakan dakwah bagi aku, karena aku memperlihatkan kepada orang-orang bahwa nggak sesempit itu. Kita muslim itu nggak sebatas bergaul di masjid, tapi juga berkarya di luar sana," begitu kata Mbak Yayan saat mencoba merayuku untuk ikut, "Ayo, Ara, ikutan! Lolos atau enggak, setidaknya sudah mencoba. Mumpung masih ada waktu!"
Perlu kau ketahui bahwa waktu yang dimaksud oleh Mbak Yayan itu kurang dari 12 jam. Hari itu juga adalah hari terakhir pendaftaran GC. Malam harinya, aku bergerak mencari dan aku submit pendaftarannya. Namaku keluar sebagai kandidat ke wawancara, namun qadarullah, COVID-19 menghentikanku. Aku harus pulang ke rumah segera karena kondisi KLB di Solo dikhawatirkan akan membuatku tidak bisa pulang kalau ditunda nanti-nanti. Tak lama kemudian, pihak kampus dimana aku mendaftarkan programku mengirimkan email berisi pembatalan program karena pandemi.
Dear Siti Nur, It is with regret that we are writing to inform you that the 2020 UCL Summer School has been cancelled and we have closed applications for this programme. This decision was made following advice and guidance issued by Public Health England (PHE), the National Health Service (NHS) and World Health Organisation (WHO). Please accept our sincere apologies for any inconvenience caused. We are all very disappointed not to be able to welcome students to UCL this summer and hope you might still consider joining us next year. Thank you for your understanding. Best wishes, Kimberly
Kecewa tidak kecewa. Kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjuangan. Pasalnya aku memang ingin keluar negeri, sudah sejak SMP penasaran ingin merasakan keluar negeri tapi bukan untuk travelling, melainkan belajar. Namun tidak kecewa juga, karena lagipula aku juga tidak tahu apakah akhirnya aku akan diterima atau tidak. Lagipula keadaan COVID seburuk itu. Mau bagaimana lagi? Aku tak memikirkannya karena ya, aku juga masih di tahap awal dan seperti yang kukatakan sebelumnya, bahkan aku juga tidak tahu apakah aku akna diterima. Setidaknya, setahun ini aku bisa menikmati waktu di rumah bersama keluarga.
Katanya, jika Allah tidak memperkenankan do'a kita pada waktu yang kita inginkan, berarti Allah sudah punya waktu lain. Kalau Allah belum memberikan yang kita minta, berarti Allah punya yang lebih baik. Aku berencana, Allah berencana, dan Allah adalah sebaik-baiknya perencana. Singkat cerita, satu tahun berlalu, dan aku benar-benar tidak memikirkan itu. Namun tiba-tiba Allah mempertemukanku dengan jalan lain yang aku yakin tidak ada seorang pun di dunia ini yang pernah menduganya.
2021 adalah tahun pertama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program exchange mahasiswa seluruh Indonesia ke kurang lebih 90 universitas di seluruh dunia melalui programnya Indonesian International Student Mobility Award, dan kabar itu sampai di layar handphoneku. Atas izin Allah, dan dukungan orang tua, keluarga, dan sahabat-sahabatku, aku bisa merasakan bagaimana sekolah di luar negeri, walau hanya dalam waktu singkat.
Sometimes, we are asking for a drop, but Allah has prepared an ocean.
Begitulah yang kupahami.
Dei regali adalah sebuah frasa di bahasa Italia. Artinya some present, atau beberapa hadiah. Aku menyadari, semua yang ada di dalam hidupku, mulai dari bagaimana Allah menempatkanku di bangku kuliah di sebuah universitas di Jawa (kumohon jangan komen Banten juga jawa wkwkwk), bertemu dengan teman-teman yang baik dan suportif, unit organisasi mahasiswa yang berkesan, hingga perjalananku bisa merasakan kuliah di luar negeri (lagi-lagi, walau hanya dalam waktu singkat dan mungkin tidak ada apa-apanya ketimbang orang-orang yang sudah lulus sampai master dan Ph.D), adalah nikmat Allah, yang Allah beri cuma-cuma kepada hamba-Nya yang masih banyak kurangnya.
Aku tidak akan lupa saat aku menangis ketika hendak lepas landas dari Dubai ke Italia. Aku menangis bertanya-tanya dan tak menyangka ini nyata. Aku menangis saking takjubnya dengan segala episode yang ia siapkan untukku. Aku tidak kuat bahkan untuk sekedar memikirkan segala nikmat yang Ia beri padaku sampai-sampai aku menangis. Sama seperti apa yang sering dikatakan orang yang sedang diuji dengan ujian berat, saat melihat nikmat ini pun aku berkata, "Mengapa aku?". Betapa baiknya Ia memberiku sebuah jalan yang aku saja kadang terlalu pesimis untuk berpikir positif akan ujung jalan berkabut yang kulihat di hadapanku.
Aku tak bilang hidupku hanya berisi senyum ketawa ketiwi tanpa murung. Bahkan warna gelapnya justru yang membuat semua terlihat sempurna. Kusadari saat ku melihatnya kembali, bahwa gelap terang yang Ia hadirkan itu indah saat berdampingan, seperti komposisi warna dalam sebuah lukisan. Terkadang gelap datang sebagai penegasan, terkadang sebagai pengatur kecerahan agar tak berlebihan, dan semua itu membuat lukisan menjadi lebih indah dipandang.
Semua episode itu adalah hadiah. Bukan hanya sisi terangnya, tapi juga sisi gelapnya. Dan aku sadari dewasa ini, bahwa hadiah itu bukan berlaku hanya untukku, melainkan bagi orang-orang sekitarku, orang-orang yang mencintaiku dan aku mencintai mereka, orang-orang yang mampu membuatku merasa ada, orang-orang yang selalu ingin tahu bagaimana kabarku, bagaimana ceritaku, mereka yang takkan kulupa, baik yang masih ada atau pun sudah tiada, termasuk mereka yang tak tahu aku siapa namun datang untuk mencari sudut pandang yang berbeda.
Setiap orang tahu sesuatu dan tak ada satu orang pun yang tahu semuanya. Aku memiliki cerita yang tidak semua orang punya, dan sebaliknya aku tidak memiliki cerita yang orang lain punya. Lima bulan berlalu, dan aku sudah kembali ke tanah air. Sebuah waktu yang cukup singkat. Bagaimana pun, sampai saat ini, kenangan itu masih terputar hidup di kepalaku, dan suatu hari nanti mungkin akan hilang termakan waktu, hingga aku lupa betapa banyaknya nikmat dan kasih sayang yang Allah berikan padaku.
Menyimpan kenangan-kenangan itu dan berbahagia atas keberadaanya seorang diri membuatku merasa terlalu penuh. Padahal aku tetap butuh setidaknya satu gelas kosong untuk menerima sesuatu di masa kini, dan masa mendatang. Selain itu, menikmatinya seorang diri membuatku merasa seperti seorang yang rakus, padahal ini mungkin adalah kumpulan do'a orang-orang sekitar yang Allah kabulkan atas diriku. Oleh karena itu, izinkan aku berbagi, baik dalam tulisan atau pun jepretan. Kuceritakan beberapa yang aku bisa, sebagai hadiah, baik bagi diriku, maupun bagi siapa pun yang Allah izinkan menerimanya.
Aku tak bilang ini akan menjadi sesuatu yang brilian dan takkan menjanjikan sesuatu yang sempurna. Bagaimana pun, aku mencoba melawan perfeksionisme ekstremku yang kadang tak logis. Namun satu hal yang kupikirkan,
Jika aku menuliskannya, kelak jika seseorang membacanya, seseorang mungkin bisa lebih bijak dalam mengambil pelajaran, dan kelak jika diriku sendiri yang membacanya, semoga aku kembali tak lupa, bahwa Allah selalu ada untuk hamba-hamba-Nya.[]
1 note
·
View note