Text
Lelaki pertama yg menitipkan luka
lelaki yang bangun kesiangan
dulu yang hanya sanggup aku bangunkan
bahkan matahari sekalipun merasa segan mengusik atau sekadar mengingatkan
lelaki yang semalam tidur pulas
membayar tuntas letih yang seharian menguras
lelaki yang kukagumi tampak mengayomi
menyayangi tanpa bahasa mulut
lalu, sekelompok lelaki asing tak kukenal yang mengaku teman
tercium gelagat pecundang penuh hasutan
merasakan prasangka ketidakbaikan
bermodal kecurigaan bocah dengan rasa keluguan
lelaki yang tidur nyenyak di malam hari digoyah dari sana sini
aku dengar sesas desus keburukan hati-hati yang haus kekuasaan dan kehormatan
ya, lelaki yang sering ku belikan rokok ke warung depan
dihadang dan dicatuk oleh hantu-hantu kepicikan
ia diuji dari segala sisi
lalu pada malam yang berat
ia sempatkan bercerita tentang kesah yang menekan dadanya
tentang ular-ular lapar hitam yang melingkari badan
walau aku dianggap belum paham
tetap aku ia percayakan
padanya, aku tetap menyimak dan menyimpan
aku hanya paham ia sedang gundah saja, dan aku tak suka
lalu tak lama,
ia takluk juga dengan dunia
dunia kejam yang memaksaku melepas genggaman tangannya
ia direnggut paksa dan aku terjatuh dari pelukan hangatnya
aku tak rela
ia menyerah dan pergi meninggalkan rumah
tiang rumah roboh dan patah
lalu aku terluka
disudut sepi aku menyepi dan mengutuk segala
tak terima dengan realita yang mengiris-iris dada
menghajar mimpi-mimpi yang sudah kutulis bersama lelaki terhebat di istana kecil yang ia bangun dengan peluh dan cinta kutulis sebagai pahlawan pertama di buku harian kelas 2
aku paham, pada masa aku belum paham tentang rasa wanita yang kucinta pertama perihal luka
luka yang jelas berbeda dengan yang aku punya
lukaku menjadi jadi
dijangkiti rasa iri
ya, ia membangun rumah lain dengan tiang rumah lama yang ia bawa pergi
dendamku semakin menjadi
lalu, aku hilang kendali
dunia mereka ku abaikan tak peduli
ku bangun duka di sudut-sudut berduri
hingga setiap ku bergerak ke setiap sisi
darah mengalir tak henti-henti
lama-lama luka jadi benalu
menggerogoti hati hingga ke ulu
perihal rasa kecewa yang ku jaga
ku pupuk dan ku beri ruang di aku
aku dimakan putus asa
kekecewaan pada lelaki yang dulu menomorsatukan
berubah jadi mengabaikan
aku semakin terluka
semua warna di duniaku hanya sejenis saja
ketidak pahaman ku menjelma dendam membara
aku menyalahkannya
aku menganggkap ia telah memberiku pisau untuk membunuh mimpi yang dulu ia bangunkan
aku terlampau jatuh
hariku terlalu fokus pada tiang rumah yang hilang
hingga ku rasakan hanya tets hujan menusuk di malam
atap rumah sudah raib sebagian
rumah jadi dingin dan menggigil demam
aku berkutat di rumah ku sendiri
wanita pertama di rumah sedang memintal kayu untuk dijadikan penyangga tiang yang hilang
lalu, saudara sibuk entah dimana
ya,lelaki yang hobi mendengarkan musik dangdut dan genre minang lokal itu tidak membawaku disakunya
ia lupa memasukkan aku di dompetnya
ia lupa aku menunggu ia di depan rumah sudah berbulan-bulan
dengan jiwa kecil dulu yang ia dekap
sebesar aku digerogoti luka,
sebesar aku merindu dan mencinta
lelaki yang dulu memintaku mencabuti uban dan menjanjikan upah
kupanggil ia, ayah.
aku masih gadis kecil yang sering kau ajak berbincang di teras rumah.
rindu, kutitip lewat angin musim hujan rute dimanapun kau singgah.
anak gadis lukamu yang durhaka dan penuh gundah.
padang, 12 november 2017 kamar kos yang jauh dari rumah. memperingati hari ayah.
0 notes
Text
Lelaki pertama yg menitipkan luka
lelaki yang bangun kesiangan
dulu yang hanya sanggup aku bangunkan
bahkan matahari sekalipun merasa segan mengusik atau sekadar mengingatkan
lelaki yang semalam tidur pulas
membayar tuntas letih yang seharian menguras
lelaki yang kukagumi tampak mengayomi
menyayangi tanpa bahasa mulut
lalu, sekelompok lelaki asing tak kukenal yang mengaku teman
tercium gelagat pecundang penuh hasutan
merasakan prasangka ketidakbaikan
bermodal kecurigaan bocah dengan rasa keluguan
lelaki yang tidur nyenyak di malam hari digoyah dari sana sini
aku dengar sesas desus keburukan hati-hati yang haus kekuasaan dan kehormatan
ya, lelaki yang sering ku belikan rokok ke warung depan
dihadang dan dicatuk oleh hantu-hantu kepicikan
ia diuji dari segala sisi
lalu pada malam yang berat
ia sempatkan bercerita tentang kesah yang menekan dadanya
tentang ular-ular lapar hitam yang melingkari badan
walau aku dianggap belum paham
tetap aku ia percayakan
padanya, aku tetap menyimak dan menyimpan
aku hanya paham ia sedang gundah saja, dan aku tak suka
lalu tak lama,
ia takluk juga dengan dunia
dunia kejam yang memaksaku melepas genggaman tangannya
ia direnggut paksa dan aku terjatuh dari pelukan hangatnya
aku tak rela
ia menyerah dan pergi meninggalkan rumah
tiang rumah roboh dan patah
lalu aku terluka
disudut sepi aku menyepi dan mengutuk segala
tak terima dengan realita yang mengiris-iris dada
menghajar mimpi-mimpi yang sudah kutulis bersama lelaki terhebat di istana kecil yang ia bangun dengan peluh dan cinta kutulis sebagai pahlawan pertama di buku harian kelas 2
aku paham, pada masa aku belum paham tentang rasa wanita yang kucinta pertama perihal luka
luka yang jelas berbeda dengan yang aku punya
lukaku menjadi jadi
dijangkiti rasa iri
ya, ia membangun rumah lain dengan tiang rumah lama yang ia bawa pergi
dendamku semakin menjadi
lalu, aku hilang kendali
dunia mereka ku abaikan tak peduli
ku bangun duka di sudut-sudut berduri
hingga setiap ku bergerak ke setiap sisi
darah mengalir tak henti-henti
lama-lama luka jadi benalu
menggerogoti hati hingga ke ulu
perihal rasa kecewa yang ku jaga
ku pupuk dan ku beri ruang di aku
aku dimakan putus asa
kekecewaan pada lelaki yang dulu menomorsatukan
berubah jadi mengabaikan
aku semakin terluka
semua warna di duniaku hanya sejenis saja
ketidak pahaman ku menjelma dendam membara
aku menyalahkannya
aku menganggkap ia telah memberiku pisau untuk membunuh mimpi yang dulu ia bangunkan
aku terlampau jatuh
hariku terlalu fokus pada tiang rumah yang hilang
hingga ku rasakan hanya tets hujan menusuk di malam
atap rumah sudah raib sebagian
rumah jadi dingin dan menggigil demam
aku berkutat di rumah ku sendiri
wanita pertama di rumah sedang memintal kayu untuk dijadikan penyangga tiang yang hilang
lalu, saudara sibuk entah dimana
ya,lelaki yang hobi mendengarkan musik dangdut dan genre minang lokal itu tidak membawaku disakunya
ia lupa memasukkan aku di dompetnya
ia lupa aku menunggu ia di depan rumah sudah berbulan-bulan
dengan jiwa kecil dulu yang ia dekap
sebesar aku digerogoti luka,
sebesar aku merindu dan mencinta
lelaki yang dulu memintaku mencabuti uban dan menjanjikan upah
kupanggil ia, ayah.
aku masih gadis kecil yang sering kau ajak berbincang di teras rumah.
rindu, kutitip lewat angin musim hujan rute dimanapun kau singgah.
anak gadis lukamu yang durhaka dan penuh gundah.
padang, 12 november 2017 kamar kos yang jauh dari rumah. memperingati hari ayah.
0 notes
Text
Jalan hutan belantara
jalan-jalan itu seperti tidak asing
rute nya sudah tergambar dalam batok kepala
tepi-tepi berbatu jua tak asing
lama-lama ku tempuh kusampai ke tempat yang sama
rerumputan yang menguning pernah kujumpai dengan warna berbeda
aku belum lupa bagaimana ia dibawa menari angin di suatu senja
kedai kelontong di pinggir jalan sudah bertranformasi menjadi barisan toko-toko mengkilap dimana etalase berjejer elok
lama perjalanan ku tempuh
kaki-kaki letih protes dan menuntut untuk diselonjorkan
peluh-peluh turun menyampaikan pesan dengan singgah di sudut bibir
terasa asin
rasa-rasa pahit bau menyengat tak sedap
lalu ku berbalik memandang kebelakang
ternyata, aku terkurung dan melewati jalan sama sekian kali tak hingga
jalan persimpangan yang harusnya berbelok ke blok sebelah
lama telah kubuat jalan lama jadi lingkaran yang membawa ke tempat yang sama namun tak lagi serupa
0 notes
Text
Batas mati rasa
perihal rasa
terlalu luas yang mesti digali ketika memutuskan untuk menelitinya.
perihal hati yang sudah berdarah lama
menjadi terlalu sensitif ketika di singgung barang sedikit saja
aku sepertinya dikurung rasa
aku jadi gila berputar dalam lingkaran hitam bernama luka
diejek ejek di olok olok waktu yang terlupa
gelombang lautan jiwa yang meng amuk asa
aku lupa, aku ingat, aku hilang, aku kutemukan
sendirian saja
0 notes
Text
Ribut
Oi
Oi
Oi
Telah terbaca yang sudah jelas tersirat
Bertranformasi jadi terang tersurat
Keberpihakan jelas adanya
Berbicara satu pihak subjektif
Yang menunjuk lebih tak objektif
0 notes
Text
Takut
gelap berangsur mendekati pintu
memasuki dan merasuki ke setiap tepi
mencoba mengeksekusi sedikit cahaya yang hampir sekarat dan mati
rupa-rupanya cahaya mampu melawan gulita
walau tersaruk dan berdarah
ia bangkit dan mendekap rasa sepi yang menggurita
diluar teman cahaya masih tegak kuat punya warna
0 notes
Text
ku ingin menemui titik (.)dan seru(!)
lalu, malah koma yang yang menyambut di depan pintu
ah, aku buntu(!)
0 notes
Link
0 notes
Link
0 notes
Photo


Bungaku Bungamu kita hirup saja bersama Lalu,bahagia dibagi rata
0 notes
Text
Rumah dulu
Malam-malam dingin Beberapa kendaraan lalu lalang menatap asing Aku sedang sendiri. Lalu dijangkiti sepi. Merayap dari ujung jalan jalan berbatu . Tempat aku bermain dulu dengan anak lain . Malam-malam didepan rumah tidak lagi ramah. Tetangga sibuk memagari rumah . Semakin tinggi tembok tentram lah hidup pikirnya . Malam ini dingin . Tapi hujan tidak turun . Mata sibuk menghitung jumlah kendaraan yg bergantian lewat. Senyap sunyi dalam suara pikuk . Jalan-jalan yang dulu ramah diinjak oleh orang-orang rukun damai tanah asri . Lalu ,waktu melesat jauh tak disadari Mati ditelan sibuk dan ego sendiri sendiri.
0 notes
Text
setiap sudut memutar filem-filem lama yang berwarna sepia dan dinding,lemari ,tumpukan kain ,karpet hanya memandang prihatin dengan mata berkaca-kaca iba tanpa dapat mendekap djiwa nelangsa di sudut lain itu .
0 notes
Text
Hewan yang mampu bangun pagi .begitu saja mengajarkan jika mereka mampu menciptakan harmoni tanpa perlu komunikasi.tapi manusia ,kenapa masih saling mengambil porsi peran dari sesama atau makhluk lain?
0 notes