Text
Air Hangat
Saya hampir lupa entah sejak kapan menjadi pecinta air hangat, entah karena terdiagnosis asma saat kuliah atau justru karena terkena Covid. Awalnya memang karena sakit, tapi kok ya lama-lama betah banget. 🤣
Teman saya sering bilang, “Seriusan lu makan seblak sepanas ini mesennya Nutrisasi hangat?” Kalau meminjam istilah bahasa Minang, orang seperti saya dibilang “sampu”, keadaan badan berkebalikan sama cuaca. Belum lagi dibilang seperti orangtua karena mesen jahe hangat.
Ya, saya senang-senang aja dibercandai, sebab saya tahu mereka peduli. Misalnya, kalau kami sarapan bareng di pagi hari, mereka akan mencarikan teko berisi air hangat. Kalau gak hangat, pasti bilang, “Sie, airnya kurang hangat, nih.” Ada juga yang menghadiahi saya termos kecil untuk jadi botol minum di kantor. Ah betapa pengertiannya.
Jika kemaren saya bilang merapikan tempat tidur adalah pembuka dan penutup hari, maka aktivitas tak kalah penting lainnya adalah minum air hangat. Ada momen-momen di mana minum air hangat terasa istimewa, terutama saat perasaan terhubung dengan diri. Saya merasakan kehangatan mengalir dari tenggorokan sampai lambung, membawa gelombang tenang yang tak terjelaskan.
Foto ini saya ambil beberapa bulan lalu di sebuah penginapan. Saat itu, saya habis diguyur hujan di perjalanan 4 jam. Sudah pukul sebelas malam dan hujan tidak berhenti. Syukurnya, ada warung buka dan saya membungkus jahe dan teh hangat, lalu menikmatinya di rooftop penginapan ini sampai dini hari. Jika saya pergi berolahraga, entah lari, badminton atau bersepeda, termos air hangat pasti dibawa. Belum lagi jalan-jalan jauh, termos tersebut saya simpan di bagasi motor. Pokoknya bestie banget, deh.
Cuaca dingin atau panas, tidak masalah, selama membuat saya menikmati hari dengan tenang. 🤩🤍
Pariaman, 7 Januari 2025
0 notes
Text
Ritual Pagi
Setiap pagi, sebelum memulai hari, ada satu kebiasaan yang selalu saya lakukan : merapikan tempat tidur. Saya jadi teringat momen pertama kali ikut lomba nyanyi saat TK, saat itu saya menyanyikan lagu anak “Bangun Tidur Kuterus Mandi” yang cuma terdiri dari empat kalimat sederhana. Siapa sangka, merapikan tempat tidur menjelma jadi kebiasaan saya hingga dewasa.
Sejujurnya saya tidak begitu tahu persis, apakah aktivitas ini sepele atau tidak, karena melakukannya sangat mudah, rasanya sih semua orang seakan pasti melakukannya, kan?
Setiap merapikan tempat tidur, saya merasa ada capaian kecil yang berhasil saya raih di pagi hari. Seperti sinyal, “oh, semangat, kamu dah siap hadapi hari ini!” Padahal sederhana saja, tinggal melipat selimut, menyusun bantal dan merapikan ulang alas kasur. Tidak hanya sebagai pembuka aktivitas pagi, tapi juga jadi penutup aktivitas di malam hari.
Kadangkala saya bangun terlambat dan buru-buru sehingga hanya menyembunyikan selimut yang berantakan di bawah bantal, lalu pergi ke kantor. Pagi yang dimulai dengan terburu-buru tersebut ternyata jadi awal dari huru hara lain yang bisa saja terjadi seharian. Intinya, mood saya berantakan sendiri.
Ketika saya sedang banyak pikiran, tempat tidur saya juga berantakan. Saya pun akhirnya menyimpulkan, kebiasaan ini cukup memberikan gambaran bagaimana saya melalui sebuah hari. Jika saya memulainya dengan rapi, maka segala sesuatu rasanya cukup terkendali.
Sementara itu, jika memang suatu hari terasa begitu berat, setidaknya saya pulang dengan menemukan kasur saya yang rapi, sehingga rasanya tidak ada lagi yang lebih buruk akan terjadi.
Saya pun teringat, di jaman ngekos dulu, kalau saya meninggalkan kamar beberapa hari atau bulan, secapek-capeknya pasti saya mulai dulu dengan merapikan tempat tidur, mengganti alas kasur dan mengibasnya sebelum rebahan. Hal ini mengalirkan rasa tenang untuk saya yang parnoan pada hal mistis, padahal tidak ada yang mistis-mistis.
Salah satu impian saya di masa depan adalah punya kasur yang nyaman, yang tidak memberi kesakitan di punggung setiap bangun. Saya ingin apapun yang saya hadapi, ada tempat tidur yang menerima saya apa adanya. ✨
Pariaman, 6 Januari 2025
0 notes
Text
Hidup yang Bergerak
Setiap kali berlari, saya pasti mengeluh dalam hati, “Duh kenapa sih harus lari, ingin rebahan aja.” Apalagi saat kepala saya berdenging dan mata berkunang-kunang. Padahal kalau saya melihat semangat yang ditularkan oleh sahabat saya, Bajus, yang bulan Januari ini mencetuskan ide #30hariberlari (#30haribercerita saja saya belum tentu konsisten wkw), saya merasa harusnya lari menjadi kegiatan semenyenangkan itu.
Tapi pagi ini, saya mendapatkan suatu pelajaran tak terduga, membuat saya berpikir ulang tentang apa artinya hidup yang “bergerak”.
Seperti biasa, setelah mengeluh, saya akan rebahan mengumpulkan energi untuk kegiatan akhir pekan lainnya. Saya pun teringat ada pesan tak terbaca sebelum keluar rumah pagi ini. Pesan tersebut dari seorang teman Insta yang meminta saya untuk memberikan review jujur pada dua bagian awal tulisannya yang mengangkat tema seputar perjalanan batin seseorang yang kehilangan “hidupnya”. Saya pun memberikan tanggapan yang netral, meski cerita tersebut membuat saya berfirasat bahwa beliau ingin berbagi bagian hidup yang selama ini tersimpan rapi. Saya cukup terkejut melihat beliau terus mengetik selama tiga jam.
“Sie, karena kita sudah berteman dan aku ngerasa kita sudah lebih dekat juga, aku rasa gapapa juga kalau Sie tau keadaanku.” Satu demi satu kalimat pun perlahan mengalir dan saya terdiam membaca pesan tersebut.
“Sie, aku… I’m paralyzed. Ya aku lumpuh sie, gak bisa jalan. Sejak Januari 2007.”
Beberapa waktu lalu, saya teringat beliau menulis status sedang berbahagia karena akhirnya bisa membuat KTP. Saya penasaran, beliau lebih tua enam tahun, bukankah harusnya sudah punya KTP? Saya saja bahkan sudah tiga kali ganti karena yang lama rusak dan sudah upgrade foto terbaru.
“Waktu itu kenapa aku “norak” bikin KTP, karena itu pertama kalinya. Dengan kondisiku yang seperti ini, sulit membawaku ke sana. Untuk berfoto juga sulit, karena kupikir bakal duduk, kan. Sementara aku bukan hanya tidak bisa jalan, tapi juga gak bisa duduk tegak. Badanku tidak kuat menopang, Sie. Duduk senderan bisa, alhamdulillah,” Masih, masih terdiam. Saya kehilangan kata membayangkan 18 tahun kehilangan kemampuan fisik. Saya berdebar karena daftar kehilangan ini pasti akan panjang.
Ingatan saya pun mundur pada percakapan lampau kami. Beliau sudah menebar kalimat yang banyak maknanya sejak awal. Saya sadar, tapi saya selalu seperti itu, tidak ingin bertanya, tidak jika memang beliau memilih batasnya dalam bercerita. Mengapa? Karena saya selalu berharap orang yang saya kenal, hidup dengan sempurna. Membaca ulang pesan lama rasanya jadi jauh lebih bermakna dari yang sudah saya kira. Saya tetap sesak.
“Dulu aku juga ingin jadi PNS, tapi jadi guru. Meski cita-cita pernah berubah, pernah pengen jadi guru, pernah pengen kerja kantoran, trus pengen jadi guru lagi. Tapi Allah berkehendak lain, gak jadi dua-duanya.” Beliau memperbarui pesan ini dengan menambahkan, “ Ya karena aku harus melepas mimpiku karena kondisiku.” Impian bersekolah tinggi, impian memiliki pasangan, dan impian untuk bekerja.
Awal saya mengenal beliau memang melalui media sosial saja. Saya rutin mendapatkan teman online melalui komunitas dan kami saling bertukar cerita di pesan. Beliau orang yang ceria, super ceria. Setiap mengetik sesuatu, panjang-panjang. Sama sekali gak keliatan kalau beliau ada keterbatasan, termasuk dalam mengetik pesan.
Singkatnya, dari sebanyak itu cerita yang saya bagikan (karena beliau nampaknya super excited dengan hidup saya yang terasa tidak menarik ini), saya jadi merasa bersalah saat pernah bilang, “Aku gak punya bakat bisnis, Kak. Aslinya aku suka jalan-jalan 🤍, tapi jalan-jalan abisin duit, yaa. 😭😭🤣”
Balasan beliau saat itu : “Wkwk... Sie aku ketawa pengen ngakak baca ini🤣. Klo aku jalan nggak ngabisin duit juga gapapa Sie.. 😆” Ya Allah, Ya Allah, saya merasa bersalah sekali memikirkan betapa tidak berterima kasihnya saya pada hal-hal yang sudah saya miliki.
Hidup saya memang tidak selalu happy kiyowo, saya pernah mengalami titik hilang arah untuk terus melanjutkan. Kadangkala saya pun sudah tahu jawaban dari kekosongan yang sempat terjadi di kepala, namun saya tetap kesulitan mengatasinya. Saat itu, saya merasa saya butuh pertolongan. Saya terlalu sering mengandalkan diri. Saya marah kenapa saya harus mengatasi sendirian. Sementara itu, secara kontradiktif seseorang yang sedang mengirim pesan pada saya saat ini sudah 18 tahun hidup dengan penuh ketergantungan pada orang lain. Mengingat keceriaan yang beliau tularkan di pesan-pesan kami selama ini, saya mencerna keterkejutan, meski beliau mengira saya tidak terkejut sama sekali. Saya sulit mengekspresikan diri dengan benar.
Percakapan kami tentu saja sangat panjang, saya memutuskan hanya berbagi beberapa halnya saja. Teringat bahwa saya baru saja mengeluhkan lelahnya bergerak, berlari, berkegiatan, saya perlu banyak intropeksi diri lagi. Saya bisa membayangkan pasti sudah segala cara yang beliau lakukan untuk bisa sembuh. Karena itu, yang bisa saya lakukan adalah memberikan dukungan agar beliau terus menulis, meski menulis bukan hal yang mudah, apalagi menggali ingatan lampau yang emosional dan traumatis.
Tantangan #30hariberlari yang saya komentari, “Duh gue gak kuat keknya segitu, sebulan maksimal delapan hari aja itu mah,” pun jadi kebanting dengan kalimat, “Menulis gak gampang buatku, Sie, apalagi aku gak suka menulis jurnal atau diary. Baru nulis 1 Juni tahun lalu. Awalnya aku bikin challange 30 hari belajar duduk dan gagal, it is okay, aku sudah berusaha. 🤣”
Setelah merefleksikan ini memang tidak menjamin saya akan lebih rajin bergerak, tentu karena membangun kebiasaan tidak bisa dalam semalam. Namun, saya harus lebih mencerna lagi apa saja keluhan yang saya keluarkan. Jangan berkali-kali sampai akhirnya jadi tukang keluh. Saya pun tidak perlu menegasikan struggle personal dan akan tetap dalam prinsip pertemanan saya sedari awal, karena personality-nya, bukan apa aja yang melekat pada dirinya. Saya menghargai sekali kesempatan mendengarkan beragam cerita, lain waktu akan saya ceritakan kisah teman lainnya, jika ada yang membaca ini.
The broken will always be able to love harder than most. Once you have been in the dark, you learn how to appreciate everything that shine. ☘️☘️
Dan ini tanggapan beliau dengan reaksi saya :
Pariaman, 5 Januari 2025
0 notes
Text
Tanpa Izin
Kayaknya orang-orang pasti pada pernah punya pengalaman tersendiri perihal pergi main tanpa sepengetahuan/seizin orangtua, deh. Saya 10 tahun lalu adalah si perempuan bandel itu.
Sebagai seseorang yang tinggal di pesisir, saya cinta sekali dengan pantai. Tempat tinggal saya pun punya pariwisata pulau yang cantik. Sayangnya, orangtua tidak mengizinkan saya menyeberang ke pulau. Mereka khawatir jika sesuatu terjadi dengan saya di atas lautan sana, meski pulaunya terlihat dekat jika saya duduk di tepi pantai dan meski saya memakai pelampung.
Saya yang penasaran ini akhirnya pergi diam-diam. Izinnya pergi berenang di kolam hotel dekat pantai. Nyatanya, saya dan dua orang teman memesan tiket menyeberang ke pulau. Excited banget dong, soalnya bakal jadi pertama kalinya saya berlayar di lautan. Cuaca hari itu cerah dan laut begitu biru.
Laut yang saya kira tenang itu ternyata penuh riak. Kapal kecil yang kami naiki berbeda dengan tipe kapal ke pulau tersebut di hari ini. Jarak saya dan laut rasanya begitu dekat dan seketika perut saya pun mual. Mencoba tidak banyak bicara untuk tidak muntah pada perjalanan yang tidak memakan waktu sampai setengah jam, akhirnya saya pun sampai di pulau dengan selamat.
Kami bermain air sepuasnya, berfoto-foto. Benar, ternyata pulaunya cantik banget! Hanya saja, karena saya pergi tanpa izin, kami harus kembali lebih cepat. Kami tidak membawa pakaian ganti, menyeberang ke daratan utama pun serba lengket. Supaya tidak terlalu berbohong, kami memang lanjut ke kolam renang hotel. Lalu mengeringkan diri.
Lalu kapan izinnya? Setelah kembali ke rumah, beberapa hari kemudian. Jangan ditiru, ya! Itulah kali pertama dan sejauh ini masih kali terakhir saya ke pulau. Meski saat ini saya bekerja di bidang “pantai”, kebetulan yang lucu, saya belum pernah lagi menginjakkan kaki ke sana.
Mungkin karena saya penasaran ingin naik kapal ke lokasi yang lebih jauh, seperti Mentawai, atau sudah tidak ada energi lagi. Yang pasti, pada masa itu, saya akan mengutamakan izin orangtua agar perjalanan saya lebih tenang dan menyenangkan. Selalu bawa restu orangtua di setiap langkah, ya!
Pariaman, 4 Januari 2025
0 notes
Text
Ikan Kecil di Laut Lepas
Sebagai anak daerah yang menginjak Pulau Jawa pertama kalinya untuk kuliah, saya punya harapan besar. Bagaimana tidak, mendapatkan kesempatan besar belajar di salah satu kampus terbaik (menurut Webometrics) adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya.
Namun, di balik perasaan bangga tersebut, saya kerap merasa kecil dibanding teman-teman yang lain. Terbiasa menjadi si nomor satu atau setidaknya selalu di lingkungan kelas unggul, serta dianggap cerdas, saya merasa kecil saat berada di kelas perkuliahan yang berisi putra-putri terbaik di penjuru negeri, terutama mereka siswa unggulan di Pulau Jawa. Jika perkuliahan adalah hamparan laut luas, saya hanya salah satu ikan kecil di dalamnya.
Saya tidak cukup pintar, tidak cukup mumpuni dan tidak cukup luar biasa untuk berbaur dengan teman-teman. Prestasi yang saya banggakan bukan apa-apa lagi. Saya ingat, sebelum memasuki kelas, grup begitu ramai dan kelihatan calon teman-teman saya punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi dan prestasi gemilang hingga tingkat nasional. Oh, saya ingat rasanya "kalah" sebelum memulai.
Selama perkuliahan, ternyata benar, saya kewalahan. Dari yang mengimpikan IPK 4 lalu digeser menjadi "minimal 3 aja deh." Saya senantiasa duduk di bagian tengah atau belakang agar tidak ada dosen yang menunjuk saya atau tidak perlu ada yang memerhatikan keberadaan saya. Padahal, selama sekolah, saya bisa bertengkar hanya untuk memperebutkan kursi paling depan. Belum lagi teman-teman saya ternyata punya daya analisis yang sistematis dan cepat, semua serba taktis, saya jelas tertinggal.
Di tengah perasaan kecil tersebutlah saya menjadi sekeliling saya sebagai inspirasi, bahwa setiap kami memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski saya tidak terlalu unggul dalam hal akademik dan komunikasi, kemampuan saya beradaptasi juga tidak bisa diremehkan. Menggeser pikiran dari "Saya gak bisa seperti mereka" menjadi "Jika saya berusaha lebih keras, saya pasti bisa seperti mereka."
Saya belajar dari nol, terus bekerja keras mencapai sesuatu dan bertumbuh. Saya sadar bahwa Tuhan beri saya kesempatan untuk belajar di sana pasti karena suatu alasan yang tidak saya ketahui saat itu. Perasaan kecil itu datang menghampiri sesekali, namun perasaan itu membawa saya menikmati perjalanan perkuliahan yang menyenangkan dan mendapatkan kesempatan untuk mengenal banyak orang, menjelajah banyak tempat dan menemukan diri saya yang sekarang.
Maka saya bersyukur bertemu dengan teman-teman yang keren tersebut sebab secara tidak langsung mereka semua menjadi salah satu bagian berarti dari perjalanan hidup saya.
Pariaman. 3 Januari 2025. 22:50
0 notes
Text
Progress Kecil di Tingkat Kepercayaan Diri
Sore ini saya baru melakukan sebuah langkah besar dan harus diapresiasi! Ya, meski mungkin ini gak terlalu “wow” buat sebagian orang, tapi berkaca pada kebiasaan saya ke belakang, jelas saya ingin mengingatnya dengan baik.
Saya paling gak suka dalam situasi bingung saat ketemu temen lama tapi lupa namanya. Apalagi kalau temen tersebut ingat nama saya, jadi merasa bersalah banget. Kadang saya membalas sapaan tapi ada efek “gantung” karena gak diakhiri dengan nama. Lebih seringnya saya puter balik biar gak berpapasan kalau saya cepat sadar dari kejauhan. Saya pelupa dan saya gak enakan, kombinasi keduanya bikin was-was.
Sore ini, ketika mengantre di ATM, saya melihat teman SMA juga ikut antre. Desakan untuk cabut sesegera mungkin dan nanti aja balik lagi ke ATM mulai datang. Saya pun berdoa agar teman ini gak menoleh ke belakang menyadari keberadaan saya. Namun, semesta tidak berpihak. Kayak terciduk, saya pun tersenyum.
Sembari menguasai diri, saya berupaya nanya dengan santai, “Aaa, siapa ya namanya? Aku lupa.” Terinspirasi dari momen ketika saya ketemu temen cowok dan mereka sukar mengingat nama perempuan karena dianggap pada mirip. Jika para lelaki bisa sok santai nanya kayak gitu, tanpa cemas berlebihan seperti ciwi-ciwi, maka saya coba balikkan keadaan, harus saya yang sok santai kali ini.
Ternyata, tanggapan teman saya juga santai sembari menyebutkan namanya. Ah, satu situasi yang saya kira akan canggung dan bikin tersinggung ternyata bisa mencair. Kuncinya dari nada bertanya ternyata!
Akhir kata, saya berusaha memanggil namanya, misal, “Saya masuk ke dalam (ruangan ATM) dulu yaa, X.” Nah, gini kan enak, semoga ingatan saya bekerja sama di lain hari kalau kami bertemu lagi.
Bersikap lebih berani menunjukkan bahwa kita sedang bertumbuh dan belajar nyaman dengan diri sendiri. Mengakui kelemahan kita yang mudah lupa tanpa menyinggung seseorang. Barangkali, momen ini mengajarkan saya untuk hadapi masalah, meski sekilas terasa kecil tapi lucunya baru mampu saya atasi dan hadapi.
Pariaman. 2 Januari 2025. 20:03
0 notes
Text
Unpack What 2024 Meant For Me
Mengarungi 2024 terasa lebih tenang dari tahun sebelumnya, meski memang ada beberapa hal yang membuat saya merasa kalut setengah mati, namun tidak ada bagasi emosional yang saya bawa untuk tahun 2025 ini. Jika ditelaah kembali, salah satu alasannya adalah karena saya mulai belajar "perencanaan".
Untuk pertama kalinya, saya membuat "goal dump" dan "pencatatan keuangan". Mungkin terdengar terlambat di antara orang-orang sebaya saya (apalagi yang udah "besar" dan punya aset sana sini), namun senang sekali karena sudah memulainya. Tidak langsung sempurna, tidak langsung teratur, wajar, kan baru dijalani setahun. Hanya saja, untuk sebuah tahun pertama, dampaknya cukup terasa.
Pertama, saya jadi lebih menghargai kemampuan yang saya miliki. 2024 membuat saya mengaktualisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Mengelaborasikan kemampuan saya menulis, berbicara, dan hobi membaca, saya memberanikan diri untuk "tampil" dan menunjukkan sisi saya yang ekspresif pada lebih banyak orang. Tujuan saya hanya satu, menularkan energi positif untuk menarik lingkungan yang juga positif.
Kedua, saya lebih berani membuka diri untuk mengeksplorasi banyak hal baru. Senang mengingat rasanya merangkai buket sendiri, menghias bento cake dengan bunga-bunga yang saya sukai, hingga mengajak teman-teman dengan semangat yang membara untuk belajar bahasa inggris bersama. Senang juga melihat diri saya belajar cara menyusun script, memikirkan hook, atau mempelajari fitur-fitur media sosial meski sehari-hari ya saya bekerja di kantor pada bidang berbeda.
Ketiga, saya lebih percaya diri atas keputusan yang saya ambil.
Saya merasa lebih terarah di koridor yang saya kehendaki dan terjaga dari keputusan impulsif. Saya yang tidak sabaran mengenal arti menunggu. Saya yang berpikir hanya untuk kepuasan hari ini mulai mempertimbangkan kepuasan yang lebih besar di kemudian hari. Saya lebih terkontrol dari rasa takut ketinggalan. Saya sadar kapan saya butuh dan kapan hanya sekadar ingin.
Simpulannya, 2024 adalah tahun yang membuat saya jadi lebih menikmati ritme hidup sendiri, berbahagia bersama apa pun yang saya lakukan dan bersama orang-orang di sekeliling saya.
Saya memang tidak melaju secepat orang lain, namun perjalanan pelan ini ternyata memberi banyak udara untuk saya hirup lebih dalam. Barangkali, inilah yang saya impikan setelah sekian lama terus berlari. Semoga 2025 memberi energi lebih positif lagi untuk saya arungi.
Pariaman. 1 Januari 2025. 22:20
0 notes