breakoftheday
Daun Perak
16 posts
Only stories are forever. Enjoy today, everyday.
Don't wanna be here? Send us removal request.
breakoftheday · 29 days ago
Text
Perkopian Era
Sebagai orang yang gak begitu suka minuman manis, aku sempat ketergantungan dengan kopi. Bener-bener saat kuliah tuh di manapun pesennya kopi lagi kopi lagi.
Biasanya jika lagi nongkrong sama temen-temen, aku pesen coffee latte biar gak terlalu pahit. Kadang temen juga suka menjamu pake Arabica. Nah, di kosan juga stok kopi Excelso, lumayan pricey untuk seorang anak kosan, tapi berhubung rutinitas, jadi yaa dianggarkan uangnya. Tiada hari tanpa kopi pokoknya.
Setelah lulus, aku yang ingin mengontrol jam tidur mulai mengurangi konsumsi kopi. Bahkan resolusi tahun ini pun cukup terukur tegas : maksimal tiga kali per bulan.
Aku merasa ini bukan cuma pengendalian waktu tidur, tapi juga pengendalian pangeluaran. Ngeluarin uang 7-20 ribuan beli kopi gak akan kerasa, tapi bakal membengkak jika dikali dalam setahun. Aku selalu mengingat ini jika sedang ingin banget minum kopi.
Nah, karena intensitasnya sedang ditekan drastis, makin ke sini entah kenapa tubuhku jadi gak toleran lagi sama kafein. Tiap minum kopi bawaannya sakit perut, asam lambung naik, dan kecemasan meningkat.
Apakah dulu saat tiap hari minum kopi sayanya begini? Sulit mengingatnya, tapi memang jaman kuliah beneran suliiitt atur pikiran yang berlebihan, kecemasan yang bertubi-tubi. Hanya saja aku gak pernah anggap penyumbang kecemasan itu salah satunya adalah kopi.
Belum lagi tiba-tiba gemetar atau gerak motorik keganggu. Kayak orang kedinginan tapi gak lagi di bawah AC sama sekali. Padahal cuma abis makan es krim yang dicampurin kopi.
Dan begitulah, ketergantunganku dengan kopi mengendur namun membuat tubuh gak familiar lagi. Padahal pernah “sedekat” itu dulu. 🤣🤣 Mungkin memang kalau udah gak cocok, gak perlu dipaksakan. Daripada makin sakit yaa kan cuma karena keinginan semata. 🤣
Oh iyaaa, sekarang kopi jadi self reward aja. Tanpa kopi pun aku tetep kesulitan tidur, namun rasanya untuk kecemasan berlebihan sudah jauh tertinggal pada diriku yang lama.
Biasanya kalau lagi nongkrong di akhir pekan sama temen, aku pesen hot coffee latte atau es kopi susu banana. Setelah itu gejala cemas muncul mendadak. Ah, dewasa dan drama kecocokan sama makanan memang riweuh banget, yaaa! 🤣
Pariaman. 27 Oktober 2024. 01:30
0 notes
breakoftheday · 2 months ago
Text
Roommate Biggest Conflict
Selama ini kupikir masalah dengan roommate itu sesederhana kebiasaan sehari-hari di rumah yang berbeda, namun lebih dasar lagi : perbedaan personal value.
Bab pertama buku “I Graduated : Now What?” yang membahas soal pemilihan tempat tinggal cukup menggambarkan keseharianku sebagai anak kos. 🤣☝🏻
Tahu gak apa konflik terbesar bersama teman sekamar/sekosan/sekontrakan yang sering terjadi? Kesadaran untuk beres-beres. ✨
Aku yang memiliki personal value cleanliness ini terbiasa langsung beberes setiap melihat ada yang kotor dan berantakan. Misal, ketika menggunakan dapur, aku akan langsung mencuci peralatan masak dan makan. Jadi, jika ada yang ingin masak setelahku yaa bisa sat set langsung masak aja. Aku meyakini kalau barang yang sudah dipakai harus dikembalikan ke tempat semula dalam keadaan bersih. Jangan repotin orang lain.
Masalahnya, ada tipe orang yang beberesnya nunggu mood. Peralatan masak dan makan yang kotor ditumpuk dulu di westafel untuk dicuci sekalian dalam satu waktu. Rumah baru disapu saat bekerja tanpa disuruh. Beneran nunggu semuanya berantakan baru niat beberes. ☹️
Akhirnya apa? Ya, aku jadi kesel, dong. Sekali dua kali ditegur gak paham-paham, akhirnya terpaksa menempel kertas peringatan di dapur, “Cuci peralatan setelah masak.” Ciwi-ciwi pasti pada familiar dengan segala jenis tempelan serupa. 😛
Menurutku, ngekos adalah sarana menumbuhkan tanggungjawab kolektif sebagai seseorang yang hidup di tengah masyarakat.
Ketika kita setiap hari menggunakan kamar mandi, lalu lantai terasa licin, jangan sungkan untuk menyikatnya. Bukan nunggu siapa pun berinisiatif membersihkan. Ketika kita melihat keranjang sampah di dapur penuh dan menimbulkan bau, jangan sungkan untuk membuangnya keluar dan memasang plastik penampung sampah yang baru.
Usahakan sama-sama merawat fasilitas yang kita pakai bersama. ✨
Sederhana tapi gak semua orang mau. Kadang, biar lebih disiplin, dibikin piket, nanti ada aja alasan gak mau ngerjain. Ketika ini dikomunikasikan, pasti akan ada pihak yang defensif. Itulah mengapa hal sesederhana ini bisa jadi masalah besar. 🤣
Ada yang punya pengalaman yang sama? 😭
Pariaman. 29 September 2024. 01:04
0 notes
breakoftheday · 3 months ago
Text
The Goal of Public Service
Ada yang menarik dari apel pagi ini, ketika Pj Walikota menyuruh kami membaca pasal 3 dan 4 UU ASN, beliau berkata lantang,
“Anda melakukan pelayanan bukan untuk atasan, juga bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kepuasan masyarakat. Tolong dicamkan, demi kepuasan masyarakat, bukan kepuasan pimpinan/atasan, bukan kepuasan teman sejawat.”
Sekilas ucapan ini terdengar klise, ya. Tapi, perlu disadari bahwa masih banyak yang terikat dengan kehendak atasan yang macem-macem, entah untuk siapa sesungguhnya tujuan pelayanan. Hal seperti ini sudah terlalu rumit, aku pun tidak tahu harus darimana memperbaikinya.
Jadi, untuk sementara, lebih baik mengingat ucapan beliau baik-baik. 🩷
Pariaman. 12 Agustus 2024. 08:30
0 notes
breakoftheday · 4 months ago
Text
As an Adult, It is Not Everyone’s Responsibility to Remind Us
Suatu pagi, salah satu ibu di ruangan kerjaku bicara kira-kira seperti ini, “Ibu tidak perlu menegur-negur, kan kita semua udah besar, sudah punya kesadaran masing-masing.”
Meski saat itu ucapan itu beliau sampaikan kepada anak magang, tapi aku mengingatnya dengan baik, sebab sebagai manusia biasa, yang kadang ingin sesekali egois, aku juga menumpuk banyak kesalahan. Entah diam-diam atau terang-terangan.
Tapi kesalahanku adalah berpikir bahwa orang lain tidak tahu apa-apa. Berkaca kembali pada apa yang beliau katakan, orang lain memilih untuk membiarkan karena sebagai orang dewasa kita tidak perlu lagi harus senantiasa diatur, diarahkan atau dimarahi atas mana yang benar dan yang salah. Kita yang dituntut untuk sadar diri.
Jadi, aku bisa membayangkan betapa menyesakkannya ketika sudah tidak ada lagi yang akan mengingatkanku. Ini berbeda jauh dengan kehidupan masa sekolah di mana masih banyak yang mengontrol perbuatanku. Bahkan orangtuaku juga begitu, aku sudah tidak lagi diatur untuk hal-hal yang dulu bisa mereka ingatkan berulang kali.
Benar-benar dilepas untuk menjalani hidup secara mandiri.
Dari yang kuperhatikan, manusia dewasa menanggung beban moril berupa “rasa bersalah” setiap melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar. Dan jika disambungkan ke wejangan dari seorang kakak kenalanku, kebanyakan ketidaktenteraman hidup kita datang setelah kita melakukan hal-hal yang kita pun tahu itu tidak benar.
Nah, menurutku, defenisi dari “kebenaran” pun ambigu. Kebenaran bisa saja apa yang disepakati secara kolektif oleh semua orang. Contoh sederhananya, bila kubilang matahari panas, semua orang akan setuju.
Bisa juga tentang apa yang diinginkan secara personal meskipun itu akan bertentangan dengan banyak orang. Dan kebenaran seperti ini sifatnya subjektif, sebab cenderung menciptakan pikiran/keyakinan yang “dianggap benar” oleh diri sendiri dan semua orang harus toleran/terima. Inilah yang paling sulit, sampai hari ini aku masih sulit membedakan garis tipis antara “sikap egois” dan “memprioritaskan diri”. Aku terus saja mencari tahu di mana bedanya sampai sekarang.
Oleh karena itu, aku bersyukur berada di lingkaran orang-orang yang masih mau mengingatkan. Setidaknya ini membantu meski tidak sebanyak dahulu. Saat menulis ini, aku bisa membayangkan semua kebaikan dan pengingat yang kuterima, betapa baik dan pedulinya mereka padaku yang kerap egois berkedok memprioritaskan diri ini.
Ada salah satu quote dari Mark Manson yang lumayan nyelekit untuk mengakhiri tulisan ini :
“If you truly believe you don’t have to change anything about yourself, even at the very least the worst in you, and that people will just have to deal with it, then sorry, you’re still a child.”
“As an adult, it’s your responsibility to figure out which of your traits are toxic and are negatively impactful towards other people and the ones you love.”
Pariaman. 9 Agustus 2024. 20:12
0 notes
breakoftheday · 4 months ago
Text
Menunggu Kemustahilan
Sepertinya aku sedikit iri dengan orang-orang yang “vokal”, tahu cara menyelamatkan dirinya dari situasi yang mungkin bisa lebih buruk dan mampu mengabaikan efek debar tidak nyaman setelahnya.
Berbeda denganku, si kerbau yang dicucuk di hidungnya. Tidak punya daya untuk membebaskan diri dari kungkungan perasaan tidak nyaman dan tidak puas. Merasa gelisah dan terus menyuburkan keluh kesah yang tertanam dalam hati.
Jika ego adalah sebuah benih, maka kubiarkan dia dorman di bawah tanah. Dia tidak mati, hanya berdiam diri dan menanti datangnya pemantik untuk tumbuh menembus lapis tanah yang berusaha menguburnya dengan baik.
Aku tidak menginginkan pemantik apa pun, karena aku senang menganggap segala sesuatu tidak pernah terjadi. Aku berupaya mengabaikan itu.
Namun, siapa yang paling damai hidupnya? Justru bukan aku. Semua yang kulakukan hanyalah penundaan, semacam rasa optimis bahwa berubah jadi lebih baik merupakan keniscayaan.
Aku harus tahu waktu yang tepat untuk pesimis soal ini, sebab memang ada orang tertentu yang tercipta tak tahu diri dan tak tahu diuntung. Tak akan ada yang namanya memikirkan perasaan orang lain. Orang seperti ini tahu cara mengeksploitasi kebaikan, yaitu dengan menghirup dan meraup sebanyak-banyaknya kesempatan untuk melakukan keegoisan yang lebih jauh lagi. Seringkali melebihi batas toleransi dari kebaikan itu sendiri.
Bagaimanapun, kebaikan ya kebaikan. Kehadirannya murni, orang yang menerimanya lah yang mencemari. Aku harus belajar untuk tidak terlalu optimis soal orang lain akan berlaku lebih baik, sebab jika memang ingin, tentu akan langsung dilakukan. Aku menunggu sebuah kemustahilan dan seharusnya ini jadi kali terakhirku untuk peduli.
Kurasa, setiap perbuatan akan diminta pertanggungjawabannya. Entah aku bisa melihat bentuk pertanggjawaban itu di dunia ini secara langsung atau tidak, kuharap aku sudah lebih dulu menyelamatkan diri dan memaafkan ketidakmampuanku saat ini dalam bersuara.
Diam tidak selamanya emas.
Pariaman. 8 Agustus 2024. 00.31
0 notes
breakoftheday · 10 months ago
Text
Melihat Mereka yang Tiada
Suatu malam, saat sedang makan nasi goreng, seseorang di depan saya tiba-tiba celetuk, "Sie, gue tahu apa kunci supaya kita gak melulu bandingin hidup sama orang lain. Kan lu suka gitu tuh."
"Memangnya apa?"
"Sering-sering melihat orang meninggal."
Meski rasanya menyeramkan, maksud di baliknya masuk akal. Pikiran susah sekali dikekang ketika lagi ingin mode negatif. Selalu saja beraksi jika melihat sesuatu yang tampaknya lebih baik pada diri orang lain.
Kita manusia punya hidup masing-masing. Tiada gunanya apa yang kita capai ketika ajal pun akhirnya datang. Melihat orang yang meninggal tentu memberikan rasa nyata betapa cepatnya segala sesuatu bisa terenggut dari diri seseorang : pencapaiannya, penderitaannya, hidupnya. Barangkali mereka yang pergi itu sedang dalam masa jaya-jayanya. Ketika terbujur kaku, semua sirna.
Dengan itu, saya pun percaya bahwa segala sesuatu itu sudah digariskan. Tidak perlu menuntut semua bisa digapai secepat kilat, seakan waktu yang kita punya hanya sebentar. Sabar. Sabar. Sabar.
Dulu, saya pernah lihat kalimat ini lewat di laman media sosial, "Lagi asik mengejar dunia, tau-tau meninggal dunia". Jujur merasa takut bacanya. Benar saja, mau jadi setinggi apa pun, pada akhirnya punya akhir yang sama. Mungkin karena itulah pembandingan ini cuma bisa dilakukan pada sesuatu yang hidup, sebab masih berlangsung.
Pesan untuk diri saya sendiri, janganlah terlalu menyiksa diri, apa lagi yang kurang dicukupkan oleh-Nya?
Pariaman. 17 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 10 months ago
Text
Rumah
Adakalanya ketika sedang merasa energi meredup, saya berpikir, harusnya saya berada di tempat lain, melakukan sesuatu yang berbeda. Seperti orang-orang.
Namun, jika pun misal saya saat tidak berada di sini, apa mungkin pikiran semacam itu lenyap? Atau justru saya malah berpikir harusnya berada di rumah?
Rumah. Tidak satu dua orang yang mengatakan bahwa saya enak di rumah, semua sudah tersedia, tidak perlu khawatir dengan masa depan, tidak perlu memikirkan biaya hidup. Memang. Memang begitu. Saya tidak punya jawaban lain.
Sejatinya manfaat berada di rumah setimpal dengan tantangannya. Misal, desakan demi desakan lebih nyata. Bukan cuma dari keluarga inti, tapi juga keluarga besar, tetangga, hingga teman orang tua. Kadang tukang galon dan gas pun. Beda kalau misal cuma didesak dari jauh, lewat telepon atau saat pulang kampung, desakan di rumah tidak kenal waktu. Bisa saja desakan itu datang saat baru terbangun, dalam obrolan di rumah duka, atau saat lagi menyapu.
Kedua, yang perlu diurus bukan lagi diri sendiri, tapi seisi rumah. Jika saya lebih rajin dari yang sekarang, sepertinya saya pun percaya diri menyebut diri paket lengkap. Rumah beres. Kerjaan beres. Namun, saya memang bukan orang yang beres, jadi, tidak sepaket lengkap itu. Hahaha.
Ketiga, di samping menghadapi perubahan suasana hati rekan kerja dan atasan, lebih berat menghadapi perubahan suasana hati orang tua dan adik saya.
Begitulah rumah. Jika sedang bergembira hati, saya bahagia sekali karena bekerja tidak jauh darinya. Masih sempat tidur siang sebentar. Ada yang berbahagia jika saya sedang bersukacita. Jika pun merasa pusing, tempat saya lahir ini sudah menghadirkan kelebihan alamnya untuk saya nikmati.
Lalu apa tantangan terbesar yang harus saya kalahkan? Perasaan nyaman untuk terus begini saja. Tanpa pernah berpikir untuk mengembangkan diri. Menerima apa adanya. Kemampuan "to fight for this life" pun menurun. Saya belum melakukan sesuatu yang berarti untuk hidup saya sendiri padahal sampai mati pun saya akan tetap di sini.
Pariaman. 14 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 10 months ago
Text
Tiga Tahun Melihatnya
Perempuan itu, lagi-lagi dia tertidur cepat malam ini. Kurasa meski usianya bertambah tua dan dia sibuk bicara resolusi sana-sini, dia tak lebih dari seorang siput pemalas. Bukan tanpa alasan, aku sudah menyaksikannya kurang lebih tiga tahun. Dia tidak berubah. Selalu saja tanpa arah.
Dia senang membanggakan aku ke semua orang, mengambil gambarku, lalu membagikannya di media sosial. Katanya dia adalah pembaca, tapi sejak akhir tahun, hanya sesekali saja dia nampak memegang buku. Padahal, tidak ada hal mendesak yang harus dia lakukan, hanya siklus tidur lagi dan tidur lagi.
Sulit untuk memahaminya, isi pikirannya. Kadang dia berjongkok menatapku, mencari-cari apa yang mau dia ambil, namun ujung-ujungnya hanya membersihkan debu yang melekat padaku. Setelah itu, dia kembali menaiki kasur. Tidak jadi melakukan apa yang dia rencanakan.
Ketika dia tidak ada di kamar, kudengar seisi rumah membicarakannya. Anak ini, entah apalagi yang diperbuatnya yang membuat orang-orang lelah menghadapinya. Mungkin inilah alasan kenapa aku tidak marah padanya, dia butuh didukung, itu saja. Meski sedikit sedih, karena sepertinya apa yang kupunya sedang tidak bisa menghiburnya sama sekali.
Dia terlalu banyak berpikir dan terlalu banyak berencana. Itu sebabnya tidak ada yang akhirnya dia lakukan. Apa aku harus membuat perhitungan, misal dengan merobohkan diri agar dia menyadari keberadaanku? Oke, aku tahu dia sadar, tapi tidak sepenuhnya sadar. Setidaknya, daripada dia seperti pengangguran begitu, lebih baik cari jawabannya dengan mengambil salah satu dari yang kupunya ini, buku-buku yang tak disentuhnya ini, biar pikirannya jernih dan biar dia juga ketemu apa yang dia butuhkan.
Terakhir kulihat dia sudah mulai rutinitas lari lagi. Mungkin tak akan beberapa lama lagi sampai dia menyentuhku. Ya sudahlah, ini hidupnya, dia yang memutuskan. Orang lain pun sulit mengaturnya, apalagi cuma aku yang hanya bisa menatapnya dalam diam.
— Rak buku
Pariaman. 13 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 10 months ago
Text
Lebih Mengerti
"Udah gampang panik belum umur segini?" "Gue gak panik, orangtua yang panik." "Nah itu, kenapa orangtua kita ini pada panik, sementara kita santai-santai aja."
Kira-kira begitulah percakapan saya dengan seorang sahabat. Sahabat saya lebih tua setahun, tapi nampaknya fokus hidupnya saat ini hanyalah berkelana mengunjungi destinasi ke destinasi, entah kapan destinasinya adalah membangun rumah tangga. Dia sempat bilang, sebelum menikah, ada 65 kota yang ingin dia kunjungi dahulu. Coba bayangkan, butuh berapa lama?
Saya pun begitu, mungkin tidak spesifik seperti sahabat saya ini, lebih ke merasa begitu muda dan belum siap untuk hal baru seperti pernikahan.
Baru-baru ini, saya menyadari betapa santainya saya yang merasa masih muda di tengah orang tua yang suasana hati mereka sepenuhnya sadar sudah tidak muda dan bisa pergi kapan saja. Kesadaran itu datang dari sakit yang berdatangan, rambut yang memutih, bahkan buat sekadar jalan saja sudah tertatih-tatih.
Saya selalu merasa Ayah dan Ibu muda, karena mereka masih aktif bekerja. Jadi selalu terlihat sehat. Saya lupa, mereka harus selalu sehat karena masih menghidupi kami bersaudara, sementara saya yang anak pertama baru mulai bekerja. Ada tanggungan di bawah saya yang harus dipastikan masa depannya. Keinginan mereka untuk melihat saya menikah pun tentu didasari banyak alasan yang masuk akal.
Hanya saja, ketidakdewasaan saya sempat menganggap kegelisahan mereka sebagai tanda bahwa saya anak yang menyusahkan atau ketidaksanggupan mereka untuk menerima keputusan saya. Saya anak yang dingin sekali dalam berpikir. Meski tentu, mereka sudah sadar bahwa sebenarnya saya tidak ingin menyusahkan mereka dan ingin dipercayai atas waktu yang saya butuhkan untuk siap.
Semoga Ayah dan Ibu panjang umur.
Pariaman. 12 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 10 months ago
Text
Bagaimana perasaanku?
"Osie, tinggal 2 menit. Sebelum hari berganti, bagaimana perasaanmu? Wkwk."
Inilah salah satu pesan masuk di aplikasi WA saya semalam, di menit terakhir sebelum hari lahir saya berlalu. Salah satu teman begitu bersemangat sekali menanyakan itu, padahal saya yang bertambah usia saja sudah tidur pulas sejak Maghrib, akibat mual ingin muntah dan juga kelelahan.
Jika ditanya soal perasaan saya di umur segini, yang seharusnya tidak begitu excited lagi merayakan pertambahan usia, jelas saja seperti berdiri di depan pintu masuk ke fase-fase mual dan kelelahan. Makin bertambah usia, makin bertambah masalah. Ya, gapapa, tandanya saya pun juga menguat sendiri.
Namun, pertanyaan teman saya ini sungguh menggelitik. Saya tidak akan menampik rasa terharu di hari kemarin. Meski telah menghapus notifikasi hari lahir di semua media sosial, ajaibnya masih banyak yang mengingatnya (Sekitar 8-10 orang tuh udah kategori banyak kan, ya? Wkw). Soalnya, saya menghindari perayaan, kalo mau ngasih kado boleh (ngelunjak).
Memang ada dua orang yang memberikan kado—saya begitu suka— dan ada satu lagi yang gak saya hitung, gak tau sebenernya mau ngasih saya untuk tujuan perkadoan atau memang ingin ngasih aja.
Yang jelas, inilah balasan WA saya tadi pagi :
"Perasaanku di hari pertambahan usia adalah bersyukur. Sebab, satu hari sebelumnya banyak kejadian bikin naik darah dan kemaren terasa netral aja, gak ada kejadian yang memerlukan pergolakan emosi. Normal day. Meski aku gak pasang pemberitahuan kapan bertambah usia karena kita sudah tuirrr, wkwkw, tp ternyata di usia ini aku masih menerima pesan ucapan selamat dari orang-orang yang mengingatku. So, kinda makes my heart warm."
Yang saya butuhkan di usia sekarang hanyalah hari yang normal. Jika tidak begitu membahagiakan, setidaknya janganlah sampai begitu meresahkan. Normal day is all I want in this age.
Diingat orang lain itu menghangatkan hati. Semoga saya pun juga senantiasa diberi kesehatan untuk mengingat mereka semua dengan memori-memori yang baik. 💛
Pariaman. 11 Januari 2024.
1 note · View note
breakoftheday · 10 months ago
Text
Menjajaki Ketakutan
Saya orang yang penakut. Takut berhadapan dengan orang lain. Takut menolak dan ditolak. Takut tidak disukai. Takut dianggap beban. Takut salah mengambil tindakan dan salah berucap. Takut mencoba hal baru. Banyak sekali.
Belakangan, saya mencoba mengendalikan ketakutan itu dengan berpikir seperti ini, "Jika saya coba lakukan, maka kemungkinan hasilnya 50:50, berhasil atau tidak. Namun, jika saya tidak mencoba sama sekali, maka sudah pasti hasilnya tidak berhasil."
Intinya, dengan melawan ketakutan, ada peluang hal baik yang akan terjadi, siapa tahu tidak seburuk yang saya kira. Dan kalau memang seburuk itu, bertambah lagi perasaan tertolak/gagal yang bisa saya biasakan sehingga lama kelamaan jadi merasa hal itu normal saja terjadi.
Nah, hal ini saya terapkan di beberapa momen dengan cara yang cukup acak. Misalnya memberanikan diri menghubungi editor freelance saya karena saya tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Menerka-nerka responnya, takut saya akan didepak gitu aja. Perasaan kalut semriwing beginilah yang saya coba hadapi hidup-hidup di tengah himpitan rasa takut.
Pernah juga suatu hari saya bertanya ke teman ingin meminjam uangnya dengan nominal cukup besar, padahal aslinya Rp100rb pun saya tidak suka meminjam. Untuk menerka, apakah jika misal saya meminjam uang padanya, dia bisa percaya saya. Ekspresinya ragu pada awalnya. Membuat saya ketar-ketir dan berbesar hati jika ditolak, berpikir jangan-jangan saya ini tidak bisa dipercaya dalam perhutangan. Tapi, teman saya bilang gini, "Diturunkan gimana? Duitku tidak ada segitu masalahnya, tapi diturunkan sedikit, insha allah bisa." Dengan pernyataan begitu saja saya sudah tersenyum dan berterima kasih.
Baru-baru ini, ketika mendapatkan tawaran baru, dari yang biasanya mikir, "Bisa gak, ya?" saya mulai menggesernya menjadi, "Ini bisa dipelajari. Ini sesuatu yang akan membuat saya berkembang lebih baik di bidang ini."
Sampai sekarang, ada lagi yang ketakutan yang belum saya jajaki dan entah kapan bisa saya taklukkan. Namun, poinnya adalah jangan biarkan rasa takut menguasai hidup sepenuhnya. Hadapi. Taklukkan.
Pariaman. 9 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 11 months ago
Text
Menyikapi Suasana Hati Seseorang
Bagaimana cara merespon kesedihan orang lain tanpa membuat yang bersangkutan tersinggung? Topik ini saya pikirkan saat membaca buku "Kau dan Aku, Kita (Tidak) Baik-Baik Saja". Buku ini menceritakan tentang Nina yang mengalami depresi pasca gagal melahirkan anaknya.
Nina cukup sensitif dengan berbagai reaksi yang orang lain tunjukkan saat mengetahui tentang anaknya yang meninggal. Entah itu perubahan raut wajah, sikap salah tingkah atau ucapan semangat agar dia bisa bangkit lagi. Ketidaksukaan Nina terlihat dari gesturnya, sehingga orang lain pun semakin gak enakan dengannya.
Tidak sulit menemukan orang seperti Nina di dunia nyata. Mereka yang sulit untuk kita terka suasana hatinya, sebab kebanyakan orang yang sedang terpuruk menolak beragam reaksi, termasuk reaksi positif yang kita coba ungkapkan dengan maksud baik.
"Yang sabar, ya" "Memangnya aku kurang sabar apa?" "Kamu kuat." "Aku memilih lemah saja jika dengan kuat harus mengalami ini." "Setelah ini akan diganti dengan rejeki yang lebih baik." "Mudah untuk dikatakan karena tidak pernah merasakan."
Masih banyak contoh lainnya sehingga sempat terbersit dalam benak untuk lebih baik tidak usah mengatakan apa-apa. Atau jika sedang mendengarkan, malah fokus menata apa yang mesti saya ucapkan supaya tidak salah kata, alih-alih berfokus pada apa yang diceritakan.
Bukan saya tidak pernah jadi seperti Nina, tentu saja pernah. Hingga saya pun menyadari, syukur sekali ada yang memberi perhatian, hanya saja kurang tahu caranya. Namun, saya pun tahu diri, ketika sedang dalam suasana hati buruk dan negatif, tidak ada ucapan manusia mana pun yang mampu memuaskan kekalutan saya. Tugas saya hanya satu, menghargai dukungan yang datang dengan bijak, tidak mengadili dan menghakimi jika dukungan itu memang tidak bermaksud menyakiti saya.
Selaras dengan ucapan Sasha—teman Nina—di buku ini : "Kau jangan tersinggung. Orang-orang itu, mereka cuma berusaha membantumu keluar dari jerat kesedihan. Kalau pun mereka pergi dan tampak menghindarimu, mereka cuma tak pernah tahu apa yang harus dilakukan pada orang yang baru saja kehilangan tanpa menyakiti dirimu."
Pariaman. 8 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 11 months ago
Text
Pertemuan Kembali
Hujan turun deras seharian. Sangat dan sangat deras hingga rasanya lebih baik tidur di rumah saja. Namun, sayangnya akhir pekan ini harus saya lewati di luar rumah. Ada beberapa keperluan dan janji menghadiri pernikahan teman saya sewaktu kuliah dulu di kota sebelah.
Sepanjang perjalanan, pakaian saya tetap saja basah meskipun sudah memakai jas hujan. Saya pun tergoda mengurungkan niat untuk tetap kondangan, jadi berencana cuma urus keperluan saja lalu pulang. Tapi dipikir-pikir, sayang sekali tidak datang. Saya dan teman yang menikah tersebut sudah lama tidak bertemu. Kami pernah berada di departemen yang sama saat menjadi anggota BEM fakultas.
Di lokasi pesta—sebuah gedung aula milik RRI—saya terkesima dengan dekorasi bunga indoor yang ramai bernuansa putih dan merah muda. Cantik sekali. Tatapan saya jatuh ke arah pelaminan. Teman saya dengan suntiangnya terlihat begitu bahagia. Dua orang yang sedang berfoto bersamanya tak luput dari perhatian. Setelah melihat berulang kali, barulah saya menyadari bahwa mereka berdua teman BEM saya juga. Mereka anak Ilmu Tanah, saya anak Agronomi.
Dengan begitu bahagia, kami saling menyapa. Seriusan, saya bahagia sekali liat mereka. Apalagi salah satunya adalah teman percekcokan selama jadi anak BEM, dikit-dikit berantem. Hihi.
Kami mengobrol tentang banyak hal. Berhubung teman saya sekarang adalah Asisten di BUMN Perkebunan, saya pun nanya, "Kok bisa betah?" Jawabannya bijak, "Karena aku dah cukup menerima aja sama yang sekarang Yos, meski tahun pertama udah pernah bikin surat mau resign." Luar biasa.
Bertemu teman lama memberi udara segar buat saya. Sebab teman lama ini yang membawa perasaan nostalgia saat kami semua pernah berada dalam satu keadaan yang sama, yaitu menjadi mahasiswa. Selepas lulus, mana ada lagi keadaan yang sama, pasti sudah berbeda arah dan prioritas. Jadi, meski diguyur hujan sampai menggigil, saya bersyukur sekali bisa bertemu mereka dan berharap semoga ada kesempatan berikutnya untuk bertemu dan berbincang lebih banyak.
Pariaman. 6 Januari 2024.
0 notes
breakoftheday · 11 months ago
Text
Pesan Sebelum Pergi
"Eh, kalian gak iri liat persahabatan Enzy dan Jessica Mila?" "Apakah kita akan seperti itu, guys? Nikah di tahun yang sama?"
Begitulah obrolan grup WA kami pada Mei 2023 lalu. Grup WA tersebut berisi tiga orang anggota, yaitu saya, Tiara, dan Laila. Kami berteman karena sekolah di SMP dan SMA yang sama. Khusus untuk Laila bahkan sekampus dengan saya. Obrolan kami sering ngalor ngidul. Kadang membicarakan bias, kadang membicarakan progress hidup teman-teman sekolah kami dulu.
Saat itu memang lagi rame-ramenya bicarain pernikahan duo sahabat Enzy dan Jessica Mila yang gak begitu jauh jaraknya. Tumben sekali Laila "sok iyes" nanya nikah, secara spek kami jelas jauh dari spek Enzy dan Jessica. Kami jarang ngomongin soal kapan akan menikah. Secara pengalaman asmara, kami bertiga sama-sama bodohnya dan pemilih (tentu). Lagipula, kami sibuk sendiri. Laila lagi sibuk S2. Tiara sibuk jadi enumerator. Namun, grup itu selalu hidup, karena di sanalah kami sama-sama sambat soal hidup masing-masing.
Balasan saya waktu itu cuma "😴" dan balasan Tiara, "kalo gue aminkan, nanti kalian berdua yang pusing wkwk". Memang dibercandain aja.
Saat ini, saya membaca chat itu dengan perasaan patah. Sebulan setelah obrolan itu, Agustus, Laila berpulang untuk selamanya. Hancur sekali mendapati kabar duka dari orang yang tak terbayang akan pergi secepat itu. Linglung, kaget, merasa tidak percaya. Tapi itulah kenyataan menyakitkan yang harus diterima. Laila resmi tidak akan pernah hadir lagi di antara kami, termasuk jika saya akhirnya menikah nanti.
Sudah 14 tahun kami bertiga bersahabat, terutama saya yang sampai kuliah dan kerja pun, masih bersamanya. Kepergiannya meninggalkan kekosongan. Hal-hal yang biasa saya bagikan padanya, kini tertahan dan tertumpuk. Meski sudah mengikhlaskan, sesekali saya menitikkan air mata, terutama ketika saya sedang melihat hal yang mengingatkan padanya atau saat memiliki pencapaian baru lalu rindu reaksinya yang meledek sembari memberikan selamat.
"Harusnya dia ada melihat semua ini." Selalu itu yang saya pikirkan. Tapi obrolan kami kini hanya lewat doa, semoga dia tenang di tempat terbaik-Nya.
Pariaman. 4 Januari 2024.
1 note · View note
breakoftheday · 11 months ago
Text
New Year, New Me? No. New Minute, New Me
Tiba-tiba kepikiran, "new year, new me" itu mungkin gak, sih? Bukan dalam artian harus jadi sosok yang benar-benar baru, tapi kemampuan meninggalkan kebiasaan lama yang merugikan diri. Tidak semua kebiasaan layak untuk kita pertahankan, bukan?
Namun, saya skeptis. Munculnya semangat untuk berubah itu persis seperti kembang api tahun baru. Mula-mula meletup bersahut-sahutan, setelah itu hening panjang. Kemeriahan sesaat. Ketika terbangun di pagi hari, tiba-tiba sudah ada saja satu resolusi yang gagal sendirinya.
Dipikir-pikir, slogan "new year new me" yang muncul setiap pergantian tahun ini tidak cocok dengan saya yang moody alias suasana hati mudah berubah. Lebih mudah buat bilang saya sebagai orang yang "new minute new me", karena kecepatan pergantian mood saya melebihi pergantian cuaca. Langit yang mendung menyiratkan pertanda hujan akan turun. Sementara, saya yang mendung bisa saja mendadak tertawa sendiri karena hal sepele.
Begitulah. Cukup mudah menemukan saya yang sedang berbahagia, lalu mendadak diam menahan amarah. Saya yang sehabis bicara tiba-tiba bengong panjang. Saya yang baru bilang ingin makan A, kemudian langsung bilang ingin makan B, C dan seterusnya. Saya yang menonton film biasa, gak begitu sedih, tapi lucunya malah nangis di adegan yang kurang sinkron buat nangis. Sekilas, saya terlihat seperti orang yang terencana dan terkendali. Nyatanya, saya bergerak berdasarkan suasana hati.
Sejujurnya, saya ingin meninggalkan kebiasaan "moody" ini. Bikin hidup gak stabil dan capek sendiri. Belum lagi jika begitu buruk, malah berimbas ke sekitaran. Tapi barangkali itu sudah menjadi rupa diri saya yang autentik? Yang jelas, nampaknya kali ini saya masih belum terbayang harus merealisasikan "new me" seperti apa. Mungkin nanti akan segera ketemu jawabannya.
Pariaman. 3 Januari 2024
0 notes
breakoftheday · 11 months ago
Text
Libur atau Liburan?
"Kemaren liburan ke mana, Sie?"
"Gak kemana-mana, Bang. Cuma liburan di rumah, yang penting tidak masuk kantor."
"Itu mah namanya libur, bukan liburan."
Begitulah percakapan singkat saya dengan atasan pagi ini. Masuk akal, karena memangnya mau kemana? Saya sudah bersyukur bisa istirahat dengan baik di rumah, sementara yang lain masih masuk kantor meski jelas-jelas hari libur. Tentu saja lebih mudah membandingkan diri dengan orang yang keadaannya lebih rumit dari kita, bukan? Sebab jika membandingkan diri dengan teman-teman yang bepergian kesana kemari (dilihat dari instastory mereka), saya pasti patah hati sendiri. Hwaha.
Nah, jadi teringat deh beberapa hari lalu, teman saya tumben nanya gini, "efek dari banding-bandingin diri tuh apa ya, Kak?"
Berhubung saya lagi baca buku "Kenapa Kerja Tak Habis-Habis" terbitan baru dari Iman Publication, jadinya dijawab berdasarkan insight yang baru saya dapatkan aja memang (biar cepet WKWK). Bukan ilmu baru, melainkan ilmu lama yang baru saya mengerti maknanya, yaitu Teori Perbandingan Sosial.
Pada dasarnya, kita akan membandingkan diri pada orang yang lebih baik dari kita (ke atas) dan orang yang tidak lebih beruntung dari kita (ke bawah). Efeknya bisa positif apabila kita merasa lebih termotivasi dan bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Namun, seringkali kita malah terbawa perasaan negatif. Cemburu sama yang dimiliki orang lain.
Kayaknya hari-hari kita ini muternya di dua hal, ya. Kita sendiri yang suka membandingkan diri atau pihak luar yang suka banding-bandingin kita. Mana yang paling beracun? Buat saya yang pertama. Karena ini yang paling susah diabaikan dan diatasi. Agak susah buat tutup mata dan tutup telinga, sebab sumbernya dari pikiran sendiri.
Oleh karena itu, "tepat efek" aja buat pembandingan diri. Kadang ada orang bilang, "buat apa bandingin diri sama orang yang di bawah kita? Berarti berbahagia di atas penderitaan orang lain?" Tidak sekaku itu artinya. Contohnya saja bagaimana saya yang selama liburan kemaren hanya di rumah jadi tenang-tenang saja, karena rekan kerja saya terus bekerja hingga tahun baru. Hal ini setidaknya membuat saya merasa cukup dan tidak menuntut lebih ke diri sendiri. Jika mendongak terus, tengkuk kita akan sakit sendiri, bukan?
Pariaman. 2 Januari 2024. 16:01
0 notes