A girl with a thousand words that she keeps on her heart. Sometimes she write it, if she will.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bu, mungkin aku terlalu perasa dalam menyikapi banyak hal. Saat engkau mengabaikan perasaanku, akupun belajar untuk mengabaikan emosi yang orang labelkan itu buruk. Namun, semakin dewasa aku melihat diriku tak bisa lagi merasa. Aku terlihat aneh di mata orang karna tak bisa berempati dengan orang lain
Aku pikir itu suatu pencapaian dan merasa diriku lebih baik dari mereka. Ternyata aku salah, Bu. Belakangan aku pelajari, sikap seperti itu bukan hal yang bijak, Bu.
Aku akhirnya belajar untuk mendefinisikan emosi dalam diriku. Bu, ternyata emosi itu bersifat netral dan wajar aku alami. Yang membuatnya buruk ketika seseorang mengeluarkannya dengan cara yang buruk. Bu, ternyata tidak apa-apa saat seseorang merasa sedih, marah, kesal, bahkan kecewa. Tuhan ternyata memang menciptakan semua itu.
Menyadari itu, aku merasa menjadi manusia biasa, Bu. Dan aku tidak perlu merasa “berbeda”.
5 notes
·
View notes
Quote
Bu, aku merasa sendiri dan sedih Sedih karna aku merasa diabaikan Aku diabaikan oleh orang yang aku sayang Aku merasa kesepian karna aku tidak bisa cerita ke siapapun termasuk ibu Bu, masa kecilku aku hadapi sendiri Segala ketakutan dan pengabaian Juga rasa marah dan kecewa Setelah dewasa, ternyata sesepi ini Aku takut cerita sejak kecil karna ibu menghakimiku segitu hebatnya Aku butuh sandaran dan nasihat, tapi harus ke mana karna ibu tetap seperti itu Bu, kita satu atap tapi berbeda rasa Aku kesepian dan hilang arah
bercerita
0 notes
Text
Terimakasih diriku yang pernah menulis ini. Saat ini orangtuaku tidak sedih lagi jika anaknya besok dipinang orang lain. Inginnya seperti itu, tapi sejauh ini belum ada yang datang. Tak apa. Justru dari sini aku dapat semangat untuk menjalani apa yang sedang diberikan Allah untukku 💕
Karir vs Nikah
Setelah selesai sholat Dhuha, seperti biasa, kupanjatkan doa-doa, pujian-pujian pada Sang Kuasa. Tak terasa, air mata menetes seiring lirih doa yang kupanjatkan. Dipersimpangan jalan, aku galau. Entah doa yang seperti apa yang kupanjatkan, tak tahu.
Ingin hati memohon padaNya, agar gerbang pernikahan itu Ia perkenankan segera mendekat padaku. Seketika menyadari, seseorang yang kuharapkan menjadi pendamping hidup, tak kunjung memberi tanda akan meminang. Memaksanya tak mungkin, tapi apa memaksaNya juga pantas?
Berpikir sejenak, bagaimana jika dengan lelaki lain? Lantas tersadar, bahkan restu untuk menikah saja belum didapat. Khawatir ditinggal jauh (lagi) selalu kulihat setiap kali membicarakan tentang pinangan. Baru pembukaan, wajahnya berubah jadi sendu sedan.
Kutenangkan diri dengan membaca KalamNya. Azan berkumandang, kujeda sebentar.
"Ping", bunyi ponselku berbunyi. Pemberitahuan sebuah postingan menyematkan akun instagramku.
Aku kegirangan dalam hati. Nama lengkap beserta gelarku, juga foto diri yang ada di postingan itu membuatku senyum-senyum sendiri.
"Ibu lama-lama bisa dibayar mahal...", teringat ucapan atasanku.
Hmm.. Baru saja aku terpikir tentang menikah, pertanyaan baru muncul. Apakah dengan menikah aku tetap bisa menjalani karirku? Bukankah saat ini aku sedang semangat-semangatnya meniti karir? Bagaimana dengan impianku melanjutkan studi, apakah semua bisa terjadi jika telah menikah?
Dahulu, aku cukup katakan "Ya makanya cari laki-laki yang mau ngebolehin kerja dan ambil S2". Tapi sekarang, melihat realita rumah tangga yang dijalani kakak-kakakku, tak semudah itu mengambil keputusan. Menjadi wanita karir, akan ada risikonya. Mengambil studi profesi setelah menikah, akan ada risikonya. Pun, menjadi ibu rumah tangga ada risikonya.
Dengan segala benturan jalan untuk menikah, aku merenungi dalam-dalam. Sementara di depan mata ada pekerjaan yang jelas-jelas harus dijalani, bukannya bisa jadi jalan ibadah juga jika dilakukan dengan tulus ikhlas mengharap ridhoNya? Sama seperti soal ujian, bukankah di dunia ini dahulukan persoalan yang mudah dahulu?
Baiklah, aku putuskan untuk menjalani apa yang ada dahulu. Sambil memperbaiki diri, membaktikan diri pada orang tua, dan meluruskan niat.
1 note
·
View note
Text
Katarsis
Benar-benar tidak ada yang memaksamu memilih pilihan itu. Tidak orangtuamu, tidak saudaramu, bahkan tidak kekasihmu. Kamu yang mungkin memaksakan dirimu sendiri menopang beban itu. Atau, kamu yang mungkin hanya menganggap bahwa itu beban padahal kalau dipandang dari sudut lain, bisa saja bukan. Apa tidak capek? Terlihat bisa diandalkan nyatanya terbebani? Apa tidak capek? Berkata iya nyatanya tidak? Apa tidak capek terus membohongi diri sendiri? Jujur saja, kamu hanya manusia biasa. Semua orang juga punya masalah. Hidup enggak pernah baik-baik saja. Tapi yang terpenting jalani semuanya dengan kesabaran dan rasa syukur. Ayok kamu pasti bisa! Gak ada yang sia-sia di dunia ini. Yang saat ini kamu bilang beban pasti ada hikmahnya. Udah gak usah khawatirin masa depan. Khawatir impian kamu bisa jadi gak tercapai? Kaleemm... Rezeki enggak kemana. Husnudzon terus sama Yang Kasih Rezeki. Woles, enggak usah cemas. Kamu hidup di dunia ini gak sendiri. Kamu gak akan susah, jatuh terjerembab kalo ngandelin Yang Punya Hidup. Santuy, jalanin aja. Oke? 🤗
0 notes
Text
Karir vs Nikah
Setelah selesai sholat Dhuha, seperti biasa, kupanjatkan doa-doa, pujian-pujian pada Sang Kuasa. Tak terasa, air mata menetes seiring lirih doa yang kupanjatkan. Dipersimpangan jalan, aku galau. Entah doa yang seperti apa yang kupanjatkan, tak tahu.
Ingin hati memohon padaNya, agar gerbang pernikahan itu Ia perkenankan segera mendekat padaku. Seketika menyadari, seseorang yang kuharapkan menjadi pendamping hidup, tak kunjung memberi tanda akan meminang. Memaksanya tak mungkin, tapi apa memaksaNya juga pantas?
Berpikir sejenak, bagaimana jika dengan lelaki lain? Lantas tersadar, bahkan restu untuk menikah saja belum didapat. Khawatir ditinggal jauh (lagi) selalu kulihat setiap kali membicarakan tentang pinangan. Baru pembukaan, wajahnya berubah jadi sendu sedan.
Kutenangkan diri dengan membaca KalamNya. Azan berkumandang, kujeda sebentar.
"Ping", bunyi ponselku berbunyi. Pemberitahuan sebuah postingan menyematkan akun instagramku.
Aku kegirangan dalam hati. Nama lengkap beserta gelarku, juga foto diri yang ada di postingan itu membuatku senyum-senyum sendiri.
"Ibu lama-lama bisa dibayar mahal...", teringat ucapan atasanku.
Hmm.. Baru saja aku terpikir tentang menikah, pertanyaan baru muncul. Apakah dengan menikah aku tetap bisa menjalani karirku? Bukankah saat ini aku sedang semangat-semangatnya meniti karir? Bagaimana dengan impianku melanjutkan studi, apakah semua bisa terjadi jika telah menikah?
Dahulu, aku cukup katakan "Ya makanya cari laki-laki yang mau ngebolehin kerja dan ambil S2". Tapi sekarang, melihat realita rumah tangga yang dijalani kakak-kakakku, tak semudah itu mengambil keputusan. Menjadi wanita karir, akan ada risikonya. Mengambil studi profesi setelah menikah, akan ada risikonya. Pun, menjadi ibu rumah tangga ada risikonya.
Dengan segala benturan jalan untuk menikah, aku merenungi dalam-dalam. Sementara di depan mata ada pekerjaan yang jelas-jelas harus dijalani, bukannya bisa jadi jalan ibadah juga jika dilakukan dengan tulus ikhlas mengharap ridhoNya? Sama seperti soal ujian, bukankah di dunia ini dahulukan persoalan yang mudah dahulu?
Baiklah, aku putuskan untuk menjalani apa yang ada dahulu. Sambil memperbaiki diri, membaktikan diri pada orang tua, dan meluruskan niat.
1 note
·
View note
Text
Hidupku, riuh dengan duniawi
Bolehkah aku menepi?
Aku rindu dengan sunyi
Rindu dengan ketenangan hakiki dari Sang Khaliq
Rindu bercumbu malam yang syahdu
Air mata yang keluar karna haru
Hingga tiba waktunya Subuh
Hati ini rindu.. Rindu bercumbu dengan kebesaranNya, rindu merasa tenang karna naunganNya
0 notes
Text
Terkadang, seseorang pergi bukan karna ada sosok lain. Bisa juga karna hadirnya tak dihargai, hilangnya pun tak dicari. Jadi hanya ingin mencintai diri sendiri
0 notes
Text
Kadang manusia baru sadar kalau memiliki, setelah ia kehilangan. Baru sadar kalau kesempatan itu ada, setelah ia melewatinya. Dari sekian banyak hal yang kita temui di dunia ini, bukannya sudah cukup jadi pelajaran berharga? Tidak lagi menyia-nyiakan yang selalu ada, tidak lagi mengulur waktu hingga kesempatan itu hilang.
Jika bisa menghargai orang-orang yang berarti, kenapa harus menunggu mereka pergi? Jika punya kesempatan untuk mencintai saat ini, kenapa harus ditunda? Jika bisa sekarang, kenapa menunggu nanti?
0 notes
Text
Kekuatan kata-kata
"Semoga kebaikan selalu menyertai untukmu dan kembali padamu pula lbh dr doamu kpd siapapun. Tetap semangat dan keep smile. Teruskan cita cita perjuangan dan harapanmu, jgn berhenti belajar dan bermanfaat meski kerap dilanda rasa malas, berbuat salah, dipersalahkan, atau bnyak tantangan. Jalani terus dg optimis. Proses dan hasil yakini pasti ada nilai kebaikannya, entah skrg atau akan kita petik di akhirat"
Begitu pesan terakhirmu untuk membalas semua pesan-pesanku yang, sudah sebulan baru kau baca.
Tiba-tiba saja hati ini menjadi senang dan tenang, sesaat setelah aku membaca pesanmu itu. Meski kita jauh, tapi kata-katamu sungguh bisa menghangatkanku. Aku tahu, tak selamanya hidupmu berjalan baik di sana. Tapi kau tetap berusaha memberi yang terbaik, untukku di sini.
Apa cuma aku yang kamu semangatin seperti ini?
Entahlah. Mungkin ada banyak. Tapi aku sadar, hal yang tak aku ketahui (dan jelas tidak bisa diusahakan agar bisa tahu) adalah ghaib. Bisa berkenalan, bertemu, dan akrab denganmu saja aku sudah bersyukur sekali. Usah terlalu memaksakan kehendak. Pasti ada hikmah di balik pertemuan kita, pun akan ada hikmah jika suatu saat nanti kita berpisah. See you soon!
0 notes
Text
Bulan pertama di 2020
Tahun 2019, aku berhasil menulis lebih dari 117 jurnal. Kenapa judulnya jurnal? Karna niat awalnya mau nulis setiap hari dalam setahun. Nyatanya? Konsisten itu jauh lebih sulit daripada memulai pertama kali.
Ya, mungkin itu salah satu pelajaran yang bisa aku petik dari tahun 2019. 2018 aku menulis cerpen untuk dimasukkan dalam buku antologi, 2019 aku belajar konsisten, dan akhir 2019-awal 2020 ini aku belajar lebih dalam lagi bagaimana menulis fiksi.
Menulis, sudah menjadi bagian hidupku. Menulis sepertinya benar-benar menjadi bakat terpendamku. Hehe.. Doakan saja 😊
0 notes
Text
Sometimes, your girl are insane in her period. Just enjoy it, yeah hahah
0 notes
Text
Jurnal #117
Aku ingin menangis. Benar-benar ingin menangis. Aku pikir, menyandarkan bahagia pada pola pikir itu sederhana. Ternyata tidak. Aku pikir, menjadi tidak peduli dengan sekitar itu sederhana. Ternyata tidak. Aku pikir, bisa bertukar rasa denganmu itu sederhana. Ternyata tidak. Ada banyak hal yang tidak bisa kukendalikan dan terkadang membingungkan. Harus mengurai dari mana? Entahlah.
0 notes
Text
Jurnal #116
Aku tak tahu, apa perasaan seperti ini akan hadir juga nanti, ketika kau benar-benar telah disisiku. Aku menjadikan momen-momen menunggu kabar darimu adalah sesuatu yang begitu aku nikmati. Perasaan cemas, khawatir, bahkan takut bergumul jadi satu. Kemudian sesaatnya kuikhlas, pasrah, dan menerima jeda yang kini tercipta di antara kita. Begitu terus, hingga aku lama kelamaan nyaman dengan perasaan-perasaan itu.
Jika benar garis takdir mengizinkan kita bersama, mungkin perasaan itu akan berganti menjadi lebih indah dan bahagia untuk dirasakan bersama. Entah berlangsung sebentar atupun lama.
0 notes
Text
Jurnal #115
Beberapa hari yang lalu, Intan tak sengaja membuka sebuah kontak yang sudah lama tak ia hubungi. Biasanya, mereka saling berkabar, bertukar perasaan dan pikiran. Sejak beberapa bulan ini, keduanya begitu asing. Setelah pertengkaran hebat yang ia-juga-tak-tahu apa penyebabnya. Tiba-tiba saja perasaan lelaki yang dicintainya itu berubah. Sampai akhirnya kontak Intan diblokir oleh lelaki itu.
Kini, ia termenung melihat foto profil lelaki itu. Tulisan "life must go on" sungguh menjadi tanda tanya besar baginya. Entah badai apa yang pernah menerjang hidupnya, Intan merasa itu bukan hal sepele hingga bisa mengubah pribadi seseorang sebegitu drastisnya.
Meski ia khawatir, tetapi ia cukup menyadari dalam hati bahwa, mungkin dulu ia cukup berusaha untuk menyembuhkan luka lelaki itu, tapi saat ini sepertinya tidak lagi. Bukan berarti ia tidak peduli. Dia peduli, tapi lelaki itu tak memerlukan bantuannya. Lagipula, ia percaya bahwa setiap manusia punya cara sendiri untuk mengobati luka batinnya, dan dari sana manusia banyak belajar. Ia hanya bisa berharap lelaki itu bisa memaknai kehidupannya jauh lebih baik, saat ini dan kedepannya.
0 notes
Text
Jurnal #114
Begitupun dengan pertemuan kita, ketidakhadiran dirimu di sisiku, hilangnya kabar darimu, juga adalah sesuatu yang Dia tetapkan di antara kita. Entah niatmu baik atau buruk denganku, tugasku adalah berprasangka baik padaNya. Bahwa hadirmu, baik untukku. Hilangmu, juga baik untukku. Usah menghakimi dirimu dengan sikapmu yang seperti ini. Juga tak perlu dibebani dengan emosi sedihku saat ini. Harapku, tak tertuju lagi padamu. Ikhlasku, sepenuhnya kusandarkan padaNya
0 notes
Text
Jurnal #113
Inhale, exhale... Fyuuhh~
Setelah beberapa bulan tidak disetrum dengan stressor, kali ini baru 2 hari kerja rasanya pengin nangis. Tapi dari situ aku bersyukur, karna pada akhirnya aku bisa merasakan hal lain selain merasa biasa-biasa saja. Aku bisa merasa sedih, marah, pusing, bahkan muak. Ah, betapa rasa di dunia ini begitu banyak. Emosi negatif bukan berarti buruk. Justru itu yang menjadikan kita manusia, bukan? Emosi baik seperti senang, bahagia, terharu, dan sebagainya juga bukan berarti baik. Bahagia berlebihan juga enggak baik bagi keseimbangan tubuh. Ah, apalagi yang bisa kulakukan kalau bukan bersyukur ketika menyadari hal ini? 😊
0 notes
Text
Jurnal #112
Jika aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa kecil. Aku ingin menangis tanpa dijeda, bahkan dihentikan dengan kata-kata "udah ah gak usah nangis, cengeng!" atau bahkan ketika sedihku belum sembuh sepenuhnya, orang lain memaksaku untuk kembali ceria dan terlihat bahagia. Jika aku bisa bertemu dengan diriku yang masih kecil, akan kubisikan sesuatu padanya "tak apa menangis, itu manusiawi. Di masa depan, kau akan menemukan banyak hal yang biasa manusia rasakan, dan itu tak apa. Tugasmu hanya mengendalikan agar hal-hal manusiawimu itu tak menyusahkanmu bahkan orang lain. Saat ini, tak apa. Menangislah" sambil kupeluk diriku sendiri.
0 notes