Bukan siapa-siapa. Hanya anak Guru TK dan PNS yang tidak ingin hidupnya berlalu saja tanpa makna. Terobsesi pada kata-kata yang cerah-gerakkan manusia. Senang mendengar dan berbagi cerita.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
Saya akan terus menulis dan berbagi. Meski bukan di platform ini. Silakan kunjungi blog saya yang baru di https://www.alfisyahrin.com
1 note
·
View note
Text
Silakan gaes~
Tentang Hal Hal yang Meresahkan dalam Hidup :)
Teman - teman..Bolehkah saya mengetahui hal hal apa saja yang kerap kali kamu resahkan dalam hidup? :)
Jawabannya bisa kamu message ke saya atau ceritakan ke email saya di [email protected].
Siapa tahu ada satu orang dari teman teman yang bisa saya hadiahkan buku yang tepat untuk menjawab kegelisahannya yang akan saya kirim dengan selembar surat dari temanmu ini :).
Partisipasi kamu sangat berarti untuk saya. Kamu bisa juga mereblog postingan ini supaya sampai pada seorang teman yang entah siapa yang mungkin saja sedang membutuhkan semangat :) meski dari seorang sahabat yang asing..
Cheers,
Alizeti
48 notes
·
View notes
Video
youtube
Untuk siapa pun yang resah dengan koleksi buku-buku Islam di toko buku yang jumlahnya makin banyak tapi temanya itu-itu aja, gue punya rekomendasi buku bagus untuk kalian.
3 notes
·
View notes
Text
Pesan untuk Aktivis Mahasiswa
Pesan ini saya tuliskan karena kecintaan saya pada negeri dan kepercayaan saya pada peran penting segelintir mahasiswa yang (sering kali dianggap) “sok peduli”, “sok mengatasnamakan rakyat”, “sok jagoan”, “sok gaya”, dan “sok-sok” lainnya: aktivis mahasiswa. Jika kalian memiliki adik, kakak, teman, atau kenalan yang merupakan aktivis mahasiswa, tolong sampaikan, saya punya pesan untuk mereka.
Saya ingin memanggil kalian sebagai kawan. Umur kita tidak berbeda jauh. Belum lama saya pun masih berada dalam posisi seperti kalian.
Tetaplah berpihak dan bergerak! Berapa banyak pun kawan kalian yang ditangkap dan dikriminalisasi. Betapa pun sepinya jalan yang sedang kali tapaki. Betapa pun minimnya apresiasi. Betapa pun riuhnya hujatan dan cemoohan dari bangku penonton. Betapa pun tulinya telinga-telinga pembesar yang ingin kalian ingatkan.
Meski tujuan gerakan tak selalu berhasil bertemu dengan kenyataan. Setidaknya bagi diri kalian masing-masing, sudah ada goresan cinta pada negeri ini yang tertulis tulus dalam jiwa kalian. Negeri ini punya janji pada seluruh warganya dan kalian ingatkan para pengemban amanah untuk tunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Tapi kawan, kecintaan kalian yang tulus pada negeri ini itu tidak cukup. Romantisme berlebihan hanya akan membawa kalian pada “patah hati”. Kalian harus belajar untuk melihat bukan hanya negeri ini, tetapi juga diri kalian (dan saya beberapa tahun lalu) secara lebih realistis. Mari saya tunjukkan.
Waktu kalian itu hanya sebentar! Status kalian sebagai mahasiswa itu hanya sementara. Di zaman ketika lulus cepat tidak menjadi tuntutan, toh pada akhirnya mahasiswa tetap harus menanggalkan juga status mahasiswanya. Entah dengan ijazah dan toga atau selembar surat keputusan saja.
Waktu sebagai aktivis mahasiswa pun juga begitu. Kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa hanya 1 tahun. Aktivis mahasiswa dari organisasi lain dengan periodisasi yang berbeda pun juga terikat dengan kesementaraan status sebagai mahasiswa. Perubahan apa sih yang bisa kalian wujudkan? Mari lebih realistis, tetapi jangan sampai pesimis.
Dengan waktu yang begitu singkat, kalian mungkin pada akhirnya lebih memilih untuk fokus pada persoalan-persoalan besar, monumental, dan media-friendly. Imaji peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun bersejarah dalam gerakan mahasiswa dalam skala nasional pun terus terngiang-ngiang dalam kepala kalian dan terucap dalam orasi-orasi kalian. Begini, saya tidak ingin mengatakan apa yang kalian lakukan itu salah. Tapi saya ingin kalian membuka pikiran pada alternatif lain untuk mengoptimalkan waktu yang singkat.
Cobalah kawan. Fokuslah pada persoalan-persoalan yang “kecil”, dekat, dan memungkinkan kalian untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ingin kalian wakili suaranya. Dalam sejarah pergerakan mahasiswa di UI yang saya ketahui, pendampingan terhadap pedagang korban penggusuran oleh PT. KAI dan sekolah Master Depok adalah dua contoh pilihan gerakan yang bisa replikasi. Meskipun keduanya masih bersifat reaktif. Walaupun bisa jadi kalian memang berpikir bahwa pilihan yang tersedia untuk gerakan mahasiswa memang harus reaktif. Seperti ungkapan yang dulu sering saya dengar saat mengikuti demo mahasiswa, “jika mahasiswa turun ke jalan, berarti kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.”
Variasikan referensi untuk mengembangkan cara pandang dan metode gerakan. Waktu yang singkat ini harus kalian manfaatkan untuk sebanyak mungkin melakukan eksperimentasi untuk menemukan cara-cara paling efektif dalam mempengaruhi kebijakan agar seiring berjalan dengan keberpihakan kalian pada orang-orang tertindas.
Modifikasi kegiatan sosial kalian agar juga memiliki dimensi politik kewargaan. Orang-orang miskin yang kalian beri pelayanan atau pemberdayaan itu juga merupakan warga negara yang bisa jadi tidak dipenuhi seluruh haknya oleh negara. Sewaktu menjadi Korbid Sospol BEM UI, saya arahkan panitia Gerakan UI Mengajar 4 untuk tidak hanya mengajar selama sebulan tetapi juga mengumpulkan data dan menyusun laporan rekomendasi untuk Pemerintah Daerah setempat. Karena pelembagaan melalui kebijakan lah yang akan membuat praktik baik dapat terus berjalan secara berkelanjutan. Meski belum terwujud, saya pun sempat mengarahkan agar Rumah Belajar BEM UI dapat menginisiasi gerakan bersama dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) lain di Depok.
Karena waktu yang singkat ini pula, jangan pernah lupakan masa depan kalian. Rencanakan karier kalian dan pikirkan bagaimana caranya agar kalian bisa tetap berjuang untuk orang-orang yang tertindas setelah tak lagi jadi mahasiswa. Rawat terus kecintaan kalian pada negeri ini! Bekerja di NGO memang lebih cocok untuk kalian, walaupun bekerja di tempat lain pun sesungguhnya juga tidak menutup pintu kalian untuk tetap terlibat dalam gerakan.
Jika kalian gagal menyadari kesementaraan status kalian, memanfaatkan waktu yang singkat dengan sebaik-baiknya, dan memikirkan bentuk aktivisme yang tepat saat pascakampus, kalian bisa jadi hanya akan menjadi seperti orang-orang yang hari ini terus menerus nyinyir pada kalian: “Ke mana mahasiswa?”
Mereka adalah orang-orang yang gagal menemukan bentuk aktivismenya saat pascakampus dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat perubahan kini. Semoga itu bukan saya dan juga bukan kalian, kawan.
Muhammad Alfisyahrin
6 notes
·
View notes
Text
Tulisan terbaru saya: review buku “Kekerasan dan Identitas” karya Amartya Sen.
Salah Paham Identitas yang Membahayakan
Bedah buku “Kekerasan dan Identitas” karya Amartya Sen oleh Muhammad Alfisyahrin, alumni Sosiologi FISIP UI.
Ilusi bahwa manusia hanya punya satu identitas tunggal dan pemilihan warga dunia secara simplistik ke dalam perabadan-peradaban seperti yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam buku Benturan Antarperadaban (1996), menurut Amartya Sen dalam buku Kekerasan dan Identitas, adalah salah satu sumber kekacauan utama dari berbagai problem di dunia. Mulai dari konflik antar kelompok etnis sampai terorisme global yang menggunakan simbol Islam.
Sebagai seorang ekonom peraih Nobel Ekonomi yang juga banyak bicara soal kemanusiaan dan pernah menyaksikan secara langsung konflik sektarian di negara asalnya: India, perspektif Sen dalam buku berjudul Kekerasan dan Identitas (2016) tidak hanya otoritatif secara intelektual, tetapi juga sangat reflektif. Karena Sen tidak membahas sesuatu yang berada di luar sana. Sen membahas soal identitas. Soal kita.
Memahami Identitas
Kemajemukan bukan hanya terjadi antar kelompok sosial dan antar individu. Menurut Sen, setiap individu pada dasarnya juga selalu memiliki identitas yang majemuk. Hal ini berangkat dari afiliasi kita pada berbagai kelompok sosial. Saya misalnya adalah seorang warga negara Indonesia, beragama Islam, tumbuh besar di kota Jakarta, memiliki Ayah yang berasal dari Makassar dan Ibu yang berasal dari Minang, penyuka klub sepakbola AS Roma, bekerja di organisasi yang platformnya Hak Asasi Manusia, alumni Sosiologi FISIP UI, dan lain sebagainya. Dalam situasi sosial tertentu, saya memang harus memilih ketika ada dua atau lebih identitas dalam diri saya yang saling bersaing, walaupun dalam situasi sosial yang lain setiap identitas itu tidak saling bersaing. Meski dibatasi oleh lingkungan dan situasi sosial tertentu, selalu ada ruang bagi kita melakukan penalaran untuk menentukan derajat kepentingan relatif dari setiap identitas atau afiliasi kita pada kelompok sosial yang ada.
Menurut Sen, pandangan bahwa manusia hanya punya identitas tunggal adalah ilusi yang diciptakan oleh elit kelompok tertentu yang seringkali dijustifikasi oleh para intelektual. Identitas tidak sama dengan klasifikasi yang dipaksakan oleh orang lain terhadap diri kita. Tidak semua klasifikasi juga punya signifikansi sosial. Walaupun klasifikasi inilah yang seringkali menjadi dasar berbagai proyek penyeragaman melalui penanaman pandangan identitas tunggal. Dalam beberapa kesempatan, wujudnya agresif dan sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Identitas bukan pula sesuatu yang kodrati yang hanya perlu ditemukan. Pandangan seperti ini biasanya muncul dalam suatu kelompok yang punya kepentingan pelestarian budaya tertentu (misalnya kelompok suku-bangsa dan agama). Padahal dalam keterbatasan konteks budaya tertentu, selalu ada ruang sebenarnya bagi individu untuk melakukan penalaran dan memilih derajat kepentingan relatif dari budaya dalam komunitasnya. Lagipula, dalam banyak komunitas, budaya itu pun seringkali memiliki varian yang beragam.
Kesalahpahaman Memandang Identitas
Dalam buku ini, Sen juga mengkritik beberapa tesis atau anggapan yang berakar pada kesalahpahaman dalam memandang identitas, berikut ini adalah di antaranya:
1. Benturan antara Peradaban, tesis dari Huntington yang tidak hanya menjadi rujukan bagi penerima manfaat dari risetnya (Pemerintah Amerika Serikat), tetapi juga militan bersimbol Islam. Keduanya sama-sama memandang bahwa peradaban dunia memang pasti akan berbenturan. Selain karena berangkat dari asumsi ketunggalan identitas, tesis Huntington juga dikritik oleh Sen karena serampangan melakukan karakterisasi. Misalnya memandang India sebagai peradaban Hindu, padahal India adalah negara dengan penduduk muslim terbesar ketiga di dunia. Atau pandangan bahwa demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu pengetahuan adalah nilai-nilai yang khas Barat dan pencapaian murni dari peradaban Barat.
2. Memaksakan identitas muslim yang sejati dan moderat. Sen mengkritik upaya melahirkan identitas muslim yang sejati, moderat, toleran, dan pro-perdamaian dengan cara merangkul para ulama yang digunakan oleh negara-negara dalam memerangi terorisme yang menggunakan simbol Islam. Selain berpotensi menimbulkan arus balik ketika upaya tersebut justru dianggap mengganggu ajaran Islam yang esensi, cara tersebut juga berangkat pada pandangan bahwa seorang muslim hanya punya identitas sebagai seorang pemeluk agama Islam saja. Padahal banyak kiprah dan karya dari kaum muslim di bidang non-keagamaan yang tidak selalu lahir dari perwujudan identitas mereka sebagai seorang muslim. Upaya memerangi terorisme harusnya dilakukan dengan cara menguatkan identitas lain dari seorang muslim seperti identitas sebagai warga negara dan manusia global.
3. Barat dan Anti-Barat. Sen juga mengkritik sikap kebanggaan atas peradaban Barat dan sebaliknya sikap anti-Barat yang berangkat dari pandangan bahwa ide-ide seperti kebebasan dan pembelaan terhadap nalar publik adalah eksklusif hanya berkembang di Barat. Pengagungan atas nilai-nilai Asia dan pemahaman bahwa sesuatu yang Islami itu pasti bertentangan dengan Barat adalah contoh dari kutub lain yang juga berangkat dari pandangan tersebut.
Sen mengajak kita untuk senantiasa menyadari dan memberikan ruang untuk penalaran dan kebebasan kebebasan berpikir pada diri kita dan menghindari pandangan fragmentis yang menjadi landasan berpikir dari berbagai tragedi berdarah dalam sejarah kemanusiaan: mulai dari Yahudi di Eropa, Suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, Muslim di Bosnia, Warga Palestina, Etnis Rohingya, hingga orang-orang terkait PKI di Indonesia. Perlu ada inisiatif untuk terus mendorong keadilan global, bukan hanya soal ekonomi-politik, menurut Sen, tetapi juga soal rasa kebersamaan global. Sebuah identitas yang tidak akan menggusur kesetiaan kita pada berbagai identitas lainnya.
4 notes
·
View notes
Text
Pemikiran Karl Marx sebagai sebuah teori sosial tetap bertahan dan relevan karena selalu dikritik dan diperbaharui dengan konteks kekinian oleh para pengikut-pengikutnya. Sebaliknya, pemikiran Ibn Khaldun justru dipinggirkan dan dianggap sama sekali tidak relevan.
Pemikiran Ibn Khaldun dan Relevansinya Kini
Selasa, 10 Februari 2015, CEO Facebook, Mark Zuckerberg menggemparkan pengikut laman pribadinya dan pengguna Facebook secara umum dengan sebuah status yang mengatakan bahwa buku berikutnya yang akan dia baca adalah Muqaddimah, magnum opus dari seorang intelektual muslim abad pertengahan bernama Ibn Khaldun. Status itu menggemparkan karena banyak yang tidak menyangka seorang Zuckerberg yang beragama Yahudi itu ternyata memiliki ketertarikan pada karya akademik dari seorang intelektual muslim yang lahir ratusan tahun yang lalu. Ironis karena banyak juga kaum muslimin yang justru baru mengetahui atau baru ingin membaca Muqaddimah setelah mendengar kabar tersebut.
Namun sayangnya, mirip seperti sebagian kaum muslimin yang sekadar menjadikan Khaldun dan Muqaddimah sebagian bahan romantisme kejayaan Peradaban Islam, Zuckerberg pun masih terjebak pada semacam “ketertarikan historis” yang membatasi relevansi dari ide-ide yang termuat dalam Muqaddimah hanya pada zamannya dan menganggapnya sama sekali irelevan kini. Walaupun, dalam dunia akademik, di Barat maupun Dunia Islam, perdebatan tentang pemikiran dan kontribusi intelektual Ibn Khaldun sudah berlangsung sejak lama.
Buku berjudul “Ibn Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi” karya Syed Farid Alatas (2017) adalah karya yang baik untuk mengantarkan kita untuk melampaui pembacaan yang sekadar berupa “ketertarikan historis” kepada Khaldun. Syed Farid Alatas sendiri adalah seorang Profesor Sosiologi di National University of Singapore yang sudah sejak lama mengeksplorasi dan mencoba mengintegrasikan pemikiran Khaldun ke dalam rezim ilmu sosial modern.
Teori Kebangkitan dan Keruntuhan Otoritas
Dalam Muqaddimah, Khaldun mengklaim telah menciptakan sebuah disiplin ilmu baru yakni Ilm Al-Umran atau ilmu kemasyarakatan. Menurut Khaldun, bermasyarakat atau hidup berkelompok adalah kebutuhan yang niscaya bagi manusia untuk setidaknya 2 keperluan: 1) Memenuhi kebutuhan individu; dan 2) Melindungi diri dari ancaman pihak luar. Ketika ketidakadilan dalam pemenuhan kebutuhan tiap individu dan agresi pihak luar semakin tinggi, kebutuhan akan bermasyarakat juga akan beriringan dengan kebutuhan akan otoritas (mulk). Menurut Khaldun, faktor kunci yang mempengaruhi dinamika kehidupan bermasyarakat dan keberlangsungan sebuah otoritas adalah kuat atau tidaknya ashabiyah atau group-feeling dalam masyarakat atau kelompok tersebut. Pemikiran Khaldun terkait hal ini dapat diabstraksikan sebagai teori tentang kebangkitan dan keruntuhan sebuah otoritas.
Di zaman Khaldun, ada dua tipe masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat nomaden (umran badawi) yang hidup di berpindah-pindah di gurun yang penuh bahaya sehingga membuat mereka memiliki ashabiyah yang lebih kuat. Setelah itu, demi “kehidupan yang lebih baik”, mereka memutuskan untuk menduduki sebuah wilayah. Mereka kemudian secara perlahan berubah menjadi masyarakat tipe kedua menurut Khaldun, yakni masyarakat menetap (umran hadari). Masyarakat menetap akan terus menaikkan standar kenyamanannya dan hidup bermewah-mewahan. Di saat yang sama, otoritas, dalam hal ini adalah Raja, akan mulai meninggalkan orang-orang dalam kelompoknya yang dulu mengantarkannya ke posisi tersebut karena dianggap akan mengancam posisinya. Ashabiyah dalam masyarakat menetap pun perlahan melemah dan tinggal menunggu waktu sampai otoritasnya direbut –melalui pembangkangan dari otoritas di wilayah yang lebih kecil atau kudeta– oleh masyarakat nomaden lain yang ashabiyah-nya lebih kuat. Sejarah kerajaan muslim –Khaldun menolak menyebut mereka sebagai kekhalifahan– setelah Khilafah yang Empat adalah konteks historis dan gambaran nyata dari teori Khaldun tentang kebangkitan dan keruntuhan otoritas.
Metode dan Kritik
Selain disiplin ilmu baru dan sebuah teori, Khaldun juga berkontribusi secara metodologis dalam kritik sejarah. Di zaman Khaldun, sebagian besar kritik sejarah menggunakan kritik personal pembawa informasi sejarah yang diambil dari tradisi ilmu hadits. Padahal, untuk informasi tentang sesuatu yang sebenarnya terjadi (das sein), kejujuran perawi atau pembawa pesan tidak lagi terlalu bermakna jika sedari awal informasi tersebut sebenarnya tidak mungkin terjadi (absurd). Di sinilah pentingnya Ilm Al-Umran untuk mengidentifikasi “hukum sosial” tentang bagaimana masyarakat itu bekerja dan memandu kita menyeleksi mana sesuatu yang mungkin dan tidak mungkin terjadi. Seperti di zaman sekarang, hoax pun bisa disebarkan oleh orang-orang baik dan jujur.
Khaldun juga banyak mengkritik intelektual-intelektual lain di zamannya. Selain sejarawan yang meniru tradisi kritik dari ilmu hadits, Khaldun juga mengkritik:
Intelektual muslim yang hanya mengarahkan penalaran rasionalnya “sekadar” untuk mempertahankan dasar-dasar keimanan.
Filsuf muslim yang melakukan penalaran rasional terhadap hal-hal metafisik di luar jangkauan indera manusia.
Penganut sufisme yang mengandaikan pencapaian spiritual tertentu di luar jalan yang disediakan oleh syariat Islam.
Beberapa intelektual modern memandang penalaran sebab-akibat (kausalitas), gaya materialisme, dan penekanan pada das sein dari pemikiran Khaldun yang seolah-olah bertentangan dengan pandangan bahwa dinamika sejarah adalah hasil dari campur tangan Tuhan sebagai bukti dari sekularitas Khaldun. Sebaliknya, H. A. R Gibb justru memandang bahwa hubungan sebab-akibat kausalitas dalam pemikiran Khaldun adalah sunnatullah. Artinya, sebab dan akibat tersebut adalah ciptaan dari Allah SWT.
Relevansinya Kini
Dalam penelusurannya terhadap berbagai karya tentang Khaldun, Alatas (2017) mengkategorikan karya-karya tentang Khaldun ke dalam 7 kategori, antara lain:
Biografi
Karya tentang Ibn Khaldun sebagai pelopor ilmu sosial
Studi komparatif antara Ibn Khaldun dan ilmuwan-ilmuwan terkemuka Barat
Studi ekstensif tentang gagasan-gagasan di Muqaddimah
Aspek epistemologis dan metodologis teori Ibn Khaldun
Kritik dan analisis teoretis
Aplikasi kerangka teoretis untuk keadaan empiris
Namun, menurut Alatas (2017), sebagian besar karya tentang Khaldun hanya mencakup empat kategori pertama. Oleh karena itu, Alatas (2017) menawarkan beberapa contoh bagaimana membuat pemikiran Khaldun dapat relevan kembali dalam konteks kekinian, khususnya dalam rezim ilmu sosial modern, antara lain:
1. Mengembangkan argumen-argumen alternatif dalam topik-topik lama di kajian Islam.
Misalnya perdebatan tentang salah satu syarat khalifah yakni harus berketurunan Quraisy. Menurut Khaldun, syarat tersebut sebenarnya lebih terkait soal ashabiyah dari kelompok Quraisy saat itu yang memang paling kuat sehingga otoritasnya menjadi legitimate. Maka ketika otoritas Quraisy direbut oleh bangsa non-Arab, itu memang karena ashabiyah dari kelompok Quraisy melemah dan Khalifah dari mereka tidak lagi dapat menjalankan tugasnya. Jadi, syarat Khalifah harus berketurunan Quraisy itu sesungguhnya tidak dihapus, tetapi ditemukan makna esensialnya yakni soal legitimasi dan kompetensi untuk berkuasa yang tergantung pada kuatnya ashabiyah kelompok pendukung.
2. Mengembangkan sosiologi Khaldunian dalam konteks ilmu sosial modern.
a. Membawa Ibn Khaldun ke perspektif teoretis dalam ilmu sosial.
Alatas melakukannya dengan cara mengintegrasikan teori Marx dan Engels tentang asiatic mode of production dengan teori Khaldun tentang kebangkitan dan keruntuhan otoritas dalam menganalisis dinamika sejarah kerajaan Ottoman di Turki dan kerajaan Safavi di Iran.
b. Mengembangkan konsep-konsep Khaldunian.
Alatas melalukannya dengan cara mengkritik pandangan bahwa otoritas Khilafah yang Empat serupa dengan otoritas kharismatik ala Weber. Menurut Alatas, otoritas Khilafah lebih dekat dengan otoritas legal-rasional di mana kepatuhan sebenarnya diberikan kepada aturan Allah SWT, bukan kepada pribadi Khalifah yang sebenarnya hanyalah pengganti Nabi dalam menjalankannya aturan Allah SWT. Berbeda dengan otoritas di era kerajaan yang sebenarnya tidak terlalu terkait dengan kesetiaan otoritas dalam menjalankan mandat Allah SWT, tetapi lebih kepada kemampuan otoritas dalam menjalankan kekuasaan dan mengelola kekuatan.
c. Mengangkat topik-topik yang dibahas Ibn Khaldun
Alatas melakukannya dengan cara mengangkat pembahasan Khaldun soal korupsi yang merupakan dampak utama dari gaya hidup bermewah-mewahan yang keparahannya akan semakin meningkat di generasi-generasi dinasti berikutnya yang sudah terbiasa hidup sebagai masyarakat menetap yang penuh dengan kenyamanan.
Setelah mendengar contoh dari Alatas di atas, adakah yang punya ide lain untuk membuat pemikiran Khaldun tetap relevan dan signfikan?
Muhammad Alfisyahrin Alumni Sosiologi Universitas Indonesia
5 notes
·
View notes
Text
Trilemma Millenial dan Program Rumah DP 0 Rupiah
Sejak janji program rumah DP 0 rupiah dikampanyekan oleh Anies Sandi, pasangan calon Pilkada DKI Jakarta 2017, isu perumahan rakyat ramai menjadi perdebatan, baik di media sosial maupun di media arus utama. Setelah dinyatakan menang oleh quick count, sebagian netizen langsung ramai-ramai menagih janji tersebut agar segera terealisasi. Bahkan, ada pula yang ingin menjadi pindah menjadi warga DKI Jakarta –fenomena yang bukan hal baru sebenarnya.
Saya melihat ada polarisasi yang tidak proporsional dalam perdebatan dan tagih janji program tersebut. Di satu sisi, ada yang memandang program tersebut tidak realistis dan menagih dengan cara agak meremehkan. Di sisi lain, ada yang sepertinya berharap sesuatu yang sebenarnya belum atau bahkan tidak mampu ditawarkan oleh program DP 0 rupiah tersebut, setidaknya berdasarkan dokumen deskripsi program yang dirilis oleh tim kampanye Anies-Sandi.
Program Rumah DP 0 rupiah: Terobosan Branding
Dalam deskripsi tentang program perumahan, Anies-Sandi sebenarnya sudah menyebutkan kredit rumah murah berbasis tabungan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Baru pada tengah masa kampanye-lah, Anies-Sandi menemukan program DP 0 rupiah sebagai sebuah branding yang terbukti menjadi bahan perbincangan dan pro-kontra hingga sekarang. Padahal, kredit rumah murah berbasis tabungan sebenarnya bukan kebijakan baru. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) telah membuat kebijakan bantuan uang muka dan tabungan sebagai pengganti DP untuk TNI, Polri, dan PNS Kemenhan. KemenPUPR dengan dukungan Bank Dunia juga membuat program sejenis untuk pekerja informal.
Tidak hanya melalui campur tangan pemerintah, warga dan pengembang juga telah berupaya secara mandiri untuk menyiasati kewajiban menyiapkan DP rumah (tapak dan vertikal) yang cukup besar di awal tersebut. Ada warga yang kebetulan memiliki orang tua atau anggota keluarga lain yang bisa meminjamkan mereka uang tanpa bunga untuk DP. Ada juga pengembang yang memberikan kesempatan untuk mencicil DP sebelum mengurus KPR dengan Bank.
Jadi, menyiapkan uang dengan jumlah besar untuk DP memang menjadi salah satu kendala bagi warga untuk memiliki rumah. Menurut riset rumah123.com, butuh menabung sekitar 3 tahun untuk menyediakan uang untuk DP. Namun, jika dilihat secara lebih menyeluruh, program rumah dengan DP 0 rupiah Anies-Sandi ini sebenarnya adalah terobosan branding. Tidak baru, tetapi kehadirannya memungkinkan banyak pihak untuk terlibat, entah untuk mengkritik (baca: melengkapi) konsepnya, mengawal realisasinya, hingga ikut serta juga mengambil manfaat atasnya. Siapa yang tahu KemenPUPR sudah punya program sejenis sebelum DP 0 rupiah ala Anies-Sandi ramai jadi perbincangan?
Program ini pun berbeda dengan DP 0 rupiah dari pengembang yang biasanya hanya gimmick promosi. Rekan kerja saya di kantor pernah menjadi korban janji DP 0 rupiah dari pengembang yang kemudian mentok di Bank saat mengurus KPR. Rekan kerja saya itu tetap perlu menyediakan DP, meski saat itu pengembang sudah memberikan opsi untuk mencicil, rekan kerja saya tetap memilih untuk mundur. Kuncinya, DP itu tetap ada dan harus ada yang menalangi. Karena tidak semua warga lahir dari keluarga yang sejahtera, maka negara perlu hadir untuk mereka.
Namun, bagi generasi millenial dan kelas menengah, kesulitan menyediakan uang yang cukup banyak untuk DP memang satu persoalan, tetapi mereka masih memiliki persoalan lain. Lebih rumit dari dilema: trilemma.
Trilemma Generasi Millenial dalam Memilih Rumah
Saya ingin membatasi diskusi ini pada generasi millenial, sekelompok orang berusia 20an hingga 30an tahun yang tumbuh kembangnya beriringan dengan perkembangan internet dan teknologi informasi. Selain itu, generasi millenial yang saya maksud juga merupakan kelas menengah yang tinggal di Jakarta dan dicirikan dengan gaya hidup (konsumsi) tersebut yang membedakannya dengan kelas di bawahnya. Kategori ini mungkin problematik, tetapi akan membantu diskusi ini menjadi lebih spesifik.
Akses terhadap informasi dan kapasitas finansial yang dimiliki generasi millenial membuat mereka dipandang sebagai generasi yang banyak mau. Menurut Tapscott (2009), generasi millenial menyukai kebebasan (freedom) dan sesuatu yang bisa mereka sesuaikan sendiri (customization). Untuk urusan pangan dan sandang, karakter generasi tersebut relatif tidak menjadi persoalan. Mereka masih bisa menemukan titik temu dari dilema antara kapasitas finansial dan selera mereka.
Namun, untuk urusan papan atau rumah, generasi millenial berhadapan dengan trilemma: antara kapasitas finansial, selera (kriteria), dan ketersediaan rumah. Hipotesis tersebut berangkat dari refleksi pribadi saya dan wawancara singkat dengan beberapa teman saya yang baru menikah atau usia pernikahannya di bawah 3 tahun.
Teman saya yang pertama, punya kriteria rumah harus rumah tapak, entah di komplek atau perkampungan. Lokasinya di Jakarta atau yang terjauh di Depok. Teman saya yang kedua ingin membeli rumah tapak di Depok atau paling jauh di Bogor dengan kriteria lahan yang luas dan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak. Saya dan istri saya pun akhirnya lebih cenderung kepada rumah tapak di komplek setelah melakukan perbandingan dan survei. Depok pun menjadi pilihan lokasi saya dan istri saya.
Akankah saya dan kedua teman saya tersebut berhasil mendapatkan rumah impian kami? Pengalaman teman saya yang ketiga bisa menjadi pembelajaran. Pada akhirnya, beberapa kriteria memang perlu dikorbankan. Teman saya yang ketiga itu kini telah memiliki rumah di Kabupaten Bogor. Hanya 30 menit menggunakan motor ke tempat kerjanya di Depok dan berada di tengah antara rumah orang tua dan mertuanya. Rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan utama dan harganya pun bisa dijangkau oleh dirinya dan suaminya. Namun, teman saya yang ketiga itu harus berkorban untuk mau tinggal di perkampungan yang kondisi air, drainase, dan pengelolaan sampahnya kurang baik.
Millenial lain bisa jadi punya selera dan kriteria yang berbeda dengan saya dan ketiga teman saya tersebut. Namun, kapasitas finansial dan ketersediaan rumah pada akhirnya membatasi kebebasan millenial untuk memilih rumah sesuai dengan selera dan kriteria idealnya.
Riset rumah123.com menggambarkan trilemma yang dialami millenial ini dengan cukup baik. Bagan di bawah ini menggambarkan sebagian besar rumah (tapak dan vertikal) yang tersedia justru berada di sisi yang lain dari mayoritas kapasitas mencicil (30% dari penghasilan bulanan) dari millenial di Jakarta. Potret serupa bahkan juga terjadi di daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai daerah penyangga Jakarta.
Dengan rerata peningkatan harga rumah yang lebih tinggi daripada rerata peningkatan penghasilan, millenial bisa jadi akan menghadapi situasi yang lebih buruk dari sekadar mengorbankan kriteria rumah impiannya: menyewa tanpa memiliki rumah seumur hidup.
Millenial Butuh Lebih dari Sekadar DP 0 rupiah
Walaupun dalam dokumen deskripsi program rumah DP 0 rupiah, Anies-Sandi telah menegaskan bahwa program tersebut hanyalah satu satu dari program besar hunian terjangku. Millenial tetap perlu sadar bahwa program yang dijanjikan Anies-Sandi di Jakarta nanti itu belum bisa menjawab seluruh kebutuhan dan harapan mereka soal rumah.
Pertama, pilihan rumah yang bisa disediakan di Jakarta untuk millenial hanyalah rumah vertikal dan rumah tapak dengan akses motor. Ini situasi riil di Jakarta yang membuat banyak pihak awalnya sempat sangsi dengan program rumah dengan DP 0 rupiah. Hal ini karena rumah yang dibayangkan oleh mereka adalah rumah tapak di komplek dengan akses mobil. Anies-Sandi juga punya kontribusi dalam “menyembunyikan” pilihan rumah yang tersedia di Jakarta tersebut. Dalam trilemma millenial, program DP 0 rupiah ini lebih banyak fokus pada sisi kapasitas finansial. Di satu sisi, kampanye soal hak warga atas perumahan memang penting, tetapi menyampaikan secara jelas rumah seperti apa yang bisa dimiliki juga tidak kalah penting. Apalagi untuk millenial yang banyak mau.
Kedua, program ini nanti hanya akan berlaku dalam wilayah kewenangan Anies-Sandi, yakni Jakarta. Padahal sebagian millenial, misalnya saya dan ketiga teman saya di atas, justru lebih rela berkorban tinggal di luar Jakarta, dibandingkan harus berkorban tinggal di rumah vertikal misalnya. Seperti yang disampaikan rumah123.com dalam risetnya, pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat harus menyadari bahwa persoalan akses terhadap perumahan ini bukan hanya persoalan masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga millenial kelas menengah berpenghasilan nanggung. Kabar dari KemePUPR bahwa mereka bersama World Bank akan membuat program skema pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan nanggung adalah kabar baik yang juga harus ditagih. Bisa jadi scaling-up dan adaptasi program DP 0 rupiah ala Anies-Sandi ini menjadi program nasional akan mampu mengakselerasi upaya Pemerintah mengurangi backlog (kekurangan) perumahan yang setiap tahun kinerjanya cenderung stagnan.
Selagi Anies-Sandi masih belum on board dan KemenPUPR juga belum meluncurkan program pembiayaan perumahan terbarunya, sambil menunggu dan tetap menagih janji, millenial tetap harus berjuang dan berkorban untuk memiliki rumah.
Mohon bersabar, ini ujian.
Muhammad Alfisyahrin Millenial, Warga DKI Jakarta
2 notes
·
View notes
Text
Swastanisasi Pelayanan Publik di Jakarta
Saya kaget ketika sedang mengurus administrasi pernikahan saya tahun lalu. Pelayanan di kelurahan dan kecamatan berubah. Semakin mirip seperti Bank. Lebih cepat dan lebih nyaman. Saya sepertinya tidak sendiri. Banyak pula warga yang memberikan testimoni serupa ketika mengurus administrasi di Pemerintah Provinsi Jakarta sekarang. Yuddy Chrisnandi, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, bahkan mengatakan pada tahun 2014 bahwa penyelenggaraan pelayanan publik di Jakarta adalah contoh yang harus diikuti Pemerintah Daerah lain.
Benarkah pelayanan publik di Jakarta lebih baik kini? Pembukaan tulisan ini adalah jawaban cepat atas pertanyaan tersebut. Namun, kita butuh pembacaan yang lebih utuh dan mendalam untuk mendapatkan jawaban yang lebih tepat. Karena penyebaran hoax terjadi bukan hanya karena adanya niat jahat, tetapi juga karena ketidakhati-hatian dalam membaca dan menyimpulkan. Karena pelayanan publik bukan hanya soal administrasi dan perizinan.
Tulisan ini akan mencoba membaca potret pelayanan publik di Jakarta secara lebih utuh dan mendalam sekaligus mengafirmasi keputusan KPU DKI Jakarta yang menggabungkan tema Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik dengan Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah sebagai keputusan yang tepat.
Arus Kebijakan Neo-Liberal dan Swastanisasi Air
Pelayanan Publik di Jakarta tidak bisa kita lepaskan dari konteks arus kebijakan neo-liberal ala konsensus Washington yang sejak runtuhnya Uni Soviet semakin dianggap sebagai the only one solution. Indonesia mulai ikut serta secara intensif dalam arus ini pada medio 1970 dan 1980an.
Di Jakarta, swastanisasi air adalah contoh konkret dari derasnya arus kebijakan neo-liberal dan dampaknya bagi kualitas pelayanan publik. Sebagai bagian dari deal dengan Bank Dunia untuk menutupi hutang PAM Jaya dan kebutuhan dana untuk perluasan jaringan pipa air, PAM Jaya kemudian diswastanisasi per Juni 1997. Pengelolaan air pun diserahkan kepada Lyonnaise des Eaux (PT PAM Lyonnaise Jaya –disingkat Palyja) dari Perancis yang berkongsi dengan Salim Group untuk menguasai sebelah barat sungai Ciliwung dan Thames Water dari London (PT Thames PAM Jaya, sekarang menjadi PT Aetra Air Jakarta) berkongsi dengan Sigit Hardjojudanto, putra sulung Soeharto, yang menguasai sebelah timur Ciliwung.
Dampaknya, warga pun harus membayar air dengan lebih mahal. Studi kasus pelayanan Palyja di Muara Baru, Jakarta Utara (Triyananda, 2013) menunjukkan adanya pembiaran Palyja terhadap praktik mafia air yang dilakukan oleh pengusaha hidran umum. Saat air dari Palyja di pipa-pipa warga tidak keluar atau keruh, warga yang biasanya hanya membayar Rp 1.050/m3 harus membeli air pada pedagang eceran -yang mendapatkan airnya dari pengusaha hidran umum- hingga Rp 125.000-250.000/m3.
Pada Maret 2015, akibat melanggar HAM dan dilakukan tanpa tender, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebenarnya sudah membatalkan kontrak PAM Jaya dan dua perusahaan pengelola air tersebut. Namun, putusan itu kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Negara seolah-olah tidak mau menjalankan mandat dalam pasal 33 UUD 1945 untuk kembali mengelola air demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Meskipun pada Februari 2015, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun, swastanisasi tidak hanya terjadi dan dapat dibaca secara sektoral, tetapi juga dalam paradigma pelayanan publik yang digunakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Paradigma inilah kemudian yang men-drive definisi kita tentang apa itu pelayanan publik yang berkualitas dan bagaimana cara memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Swastanisasi Paradigma Pelayanan Publik
Bersamaan dengan arus kebijakan Neo-Liberal, muncul paradigma New Public Management (NPM) dalam pengelolaan pelayanan publik yang populer dengan adagium, “run government like a business”. Menurut paradigma ini, birokrasi harus dikelola se-efektif dan se-efisien mungkin untuk memberikan hasil terbaik dan memenuhi kebutuhan pelanggan (Gaebler dan Osborne, 1992). Customer First!
Perbaikan pelayanan administrasi dan Transjakarta yang memberikan kepuasan kepada individu yang menjadi “pelanggan” pelayanan tersebut adalah contoh konkret penggunaan NPM sebagai paradigma dan orientasi perbaikan pelayanan publik oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Penggunaan Qlue sebagai kanal pengaduan juga menunjukkan keinginan kuat dari Pemprov untuk mendapatkan feedback dari “pelanggan” demi pelayanan yang lebih baik.
Namun, paradigma NPM tersebut kemudian dikritik oleh Dernhart dan Dernhart (2003). Mereka mengajukan paradigma New Public Service (NPS) yang memandang birokrasi adalah alat warga yang harus tunduk pada kehendak warga terkait apa kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Artinya, tidak seperti pelanggan yang dipandang secara individual dan partisipasinya hanya dibutuhkan sebatas feedback di tingkat implementasi, warga dipandang secara kolektif dan partisipasinya diperlukan sejak tahap perencanaan.
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah contoh baik penerapan NPS. Dalam pasal 20 ayat (2) penyelenggara layanan diwajibkan untuk melibatkan masyarakat dan pihak terkait dalam penyusunan Standar Pelayanan Publik. Fyi, standar pelayanan menurut UU Pelayanan Publik di pasal 1 butir 7 adalah “tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji Penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.” Standar pelayanan publik tersebut berdiri di atas asas kepentingan umum, kepastian hukum, partisipatif, keterbukaan, akuntabilitas, dan asas-asas lain yang tertulis dalam pasal 4 UU Pelayanan Publik.
Pelanggan atau Warga: Studi Kasus Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta
Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta adalah bukti lain dari swastanisasi pelayanan publik. Survei Kompas yang terbit pada 22 Januari 2017 menunjukkan bahwa 7 dari 10 warga Jakarta yang disurvei tidak mengetahui tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Tahu saja tidak, bagaimana mau terlibat. Itulah penjelasan dari survei Koalisi Warga Jakarta 2030 pada tahun 2010 yang menemukan bahwa 98% warga Jakarta yang disurvei tidak terlibat dalam proses penyusunan RTRW. Di saat yang sama, ada 2% yang terlibat sangat jauh dalam penyusunan RTRW. Kehadiran pulau reklamasi dalam RTRW sebelum ruangnya benar-benar ada merupakan bukti nyata dari partisipasi sangat aktif dari big customer yang melampaui prosedur perencanaan di DKI Jakarta.
Di tengah gambaran yang tidak komprehensif tentang kehendak dan kebutuhan warga secara kolektif atas ruang dan dominasi big customer, Pemprov justru menggiatkan penggusuran atau relokasi –jika harus menggunakan istilah yang diperhalus itu– secara paksa dengan dalih untuk kebaikan warga yang lebih banyak. Selain itu, Pemprov juga berangkat dari asumsi yang salah tentang tanah negara yang setelah Indonesai merdeka, maknanya bukan lagi dimiliki, tetapi dikuasai oleh negara (pasal 33 UUD 1945). Pasal 18 dan pasal 27 UU No.5 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Agraria juga menyatakan bahwa pencabutan hak kepemilikan warga untuk kepentingan umum harus dikompensasi dengan ganti kerugian yang layak.
Tidak hanya bermasalah asumsi dan perencanaannya, relokasi paksa tersebut juga dilakukan dengan prosedur yang melanggar hukum. Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik menyebutnya sebagai penyimpangan yang menjurus ke arah maladministrasi. PTUN bahkan memvonis bahwa penggusuran di Bukit Duri dan rencana Penggusuran di Bidara Cina tidak sah. Akan tetapi, kini permukiman warga sudah rata dengan tanah dan arus kas masuk dalam kantong keluarga mereka belum pulih seperti sedia kala. Sebaliknya, hutang mereka justru bertumpuk karena tunggakan sewa rusun yang menurut Pemprov lebih baik untuk mereka. Sekali lagi, menurut Pemprov, bukan menurut mereka.
Seorang pelanggan dalam skema bisnis memang akan selalu berusaha dipuaskan. Akan tetapi, pelanggan tetap saja tidak berhak terlibat dalam perencanaan perusahaan yang memutuskan arah kerja perusahaan, mekanisme dan tata kelola yang akan dijalankan, produk atau jasa yang akan dijual, dan segmen pasar yang akan disasar. Pelanggan tidak lebih dari sekadar individu-individu dengan karakter dan selera serupa yang kemudian dikelompokkan sebagai segmen dalam sebuah kolektif bernama pasar. Jika tidak sesuai selera, pelanggan bisa memilih produk atau jasa yang lain. Jika tidak sesuai dengan daya belinya, pelanggan membeli produk yang mirip dan perusahaan lain alias barang KW.
Begitulah DKI Jakarta saat ini sedang dikelola. Pilihannya seolah-olah hanya dua: menerima atau cari ruang dan wilayah lain selain Jakarta.
Merebut Kembali Pelayanan Publik di Jakarta
Semua metode perjuangan pasti memiliki titik lemah. Seperti perjuangan litigasi yang butuh waktu lama, energi ekstra, dan kadang kemenangannya di meja pengadilan pun sulit dieksekusi di lapangan, begitu pun dengan perjuangan politik dalam kerangka elektoral. Tidak ada jaminan memang kandidat yang berlaga tidak akan ingkar janji. Namun, melewatkan momentum ini hanya akan membuat swastanisasi pelayanan publik terus terjadi dengan skala yang makin luas dan penetrasi yang makin dalam.
Oleh karena itu, agar pelayanan publik bisa direbut kembali, warga perlu memilih pemimpin yang paling membuka ruang partisipasi. Pemimpin yang memandang warga sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang perlu didengar kehendaknya dan dilibatkan dalam merencanakan berbagai urusan yang terkait dengannya. Termasuk soal mau dibawa ke mana ruang dan wilayah bernama DKI Jakarta. Relokasi mungkin akan terjadi, hanya jika warga merasa perlu dan ingin untuk pindah ke tempat lain. Tempat yang menurut mereka lebih baik. Usulan Kampung Susun di Kampung Pulo yang difasilitasi oleh Komunitas Ciliwung Merdeka adalah satu dari beberapa rencana yang ternyata bisa lahir dari pendekatan partisipatif yang menempatkan warga dalam posisi yang tepat. Warga Kali Code bahkan sudah membuktikan mampu merumuskan dan merealisasikan rencana penataan ruang demi kepentingan umum secara partisipatif.
Namun, perlu diingat, kalau pun kandidat yang paling membuka ruang partisipasi itu nanti menang, perjuangan belum selesai. Inilah titik krusial bagi warga. Potensi kandidat terpilih itu untuk ingkar janji harus dicegah dengan cara terus memperkuat kolektivitas di akar rumput dan memanfaatkan secara optimal ruang-ruang partisipasi yang telah terbuka.
Pertanyaan kini, siapakah pemimpin yang paling membuka ruang partisipasi itu? Saya ingin itu menjadi pertanyaan yang kita jawab setelah debat nanti malam. Namun, bagi saya, pemimpin itu pastilah bukan pemimpin yang telah terbukti ingkar janji dan memposisikan warga sebagai pelanggan yang tidak berhak terlibat dalam proses perencanaan, kecuali bisa membayar banyak.
Muhammad Alfisyahrin Warga Tanjung Priok, Jakarta Utara
Sumber gambar
3 notes
·
View notes
Text
Gimana rasanya nikah?
Awalnya saya tidak ingin menulis tentang pernikahan. Entah mengapa. Semacam bukan saya aja gitu. Banyak pula yang kaget ketika saya memutuskan menikah tahun lalu. Dengan Rina pula.
Tapi pertanyaan di judul tulisan ini seringkali ditanyakan kepada saya. Mulai dari teman kantor hingga teman waktu di kampus dulu. Mungkin juga ada yang ingin bertanya kepada saya tetapi belum sempat bertemu belakangan ini.
So, here it is. Ini jawaban saya.
Nikah itu tidak selalu menyenangkan, tetapi baik.
Saya merasa punya kepentingan untuk menyeimbangkan persepsi tentang pernikahan di beberapa lingkaran pertemanan saya. Oke, mengkampanyekan pernikahan sebagai satu-satunya jenis relationship memang baik. Akan tetapi, tanpa informasi yang utuh, akan banyak anak-anak muda yang ingin menikah karena membayangkan hal-hal menyenangkan di dalamnya.
Saya dan istri saya beberapa kali berbeda pendapat, bahkan berdebat. Sejak kami merencanakan pernikahan kami, bahkan hingga sekarang. Saya pernah kesal dengan istri saya. Istri saya? Lebih sering lagi kesal dengan saya.
Tapi semua ternyata bisa menemui kata sepakat. Ternyata kata “maaf” memang punya dampak yang luar biasa.
Nikah itu baik karena ini adalah tahapan berikutnya dalam pendewasaan kita. Pada umur berapa pun kita menikah. Kita akan menghadapi tantangan yang serupa -meski tentu saja kadarnya berbeda: beradaptasi dengan pasangan dan tentu saja keluarganya.
Supir kantor saya pernah bercerita bahwa dia dulu pacaran dengan istrinya yang sekarang selama 7 tahun. Setelah menikah, apa yang terjadi selama 7 tahun itu seolah kembali ke titik nol. Banyak yang berubah. Banyak yang berbeda. Meski orangnya sama.
Dalam sosiologi, perubahan ini terjadi karena dulu saat pacaran mereka bertemu di front stage yang penuh make-up dan sandiwara. Setelah menikah, mereka kini bertemu dengan waktu yang lebih lama di back stage yang sangat jujur dan apa adanya.
Saya tidak ingin menyerukan pada kalian yang belum menikah untuk segera menikah. Ada faktor kebutuhan, keinginan, dan rencana masing-masing orang yang berbeda yang bisa saya maklumi.
Saya hanya ingin menegaskan kembali jawaban saya atas pertanyaan di judul tulisan ini, menikah itu baik. Menundanya belum tentu membuatnya jadi lebih baik.
Muhammad Alfisyahrin @bang_alfi
9 notes
·
View notes
Text
LPJ 2016: Ujung Penantian
Allah SWT tahu dan selalu memberikan yang terbaik bagi kita. Termasuk saat kita diminta untuk menanti. Agar hal terbaik datang di saat yang paling tepat.
Ujung Penantian: begitulah aku menamakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dari perjalananku di tahun 2016. Semoga LPJ-ku ini bisa diterima dengan baik. Syukur-syukur, jika ada pembelajaran yang bisa dipetik.
1. Launching Kampanye dan Advokasi #SekolahAman
youtube
Meski aku sudah mengumpulkan foto, story, dan data sekunder dari pemerintah sejak Februari 2016, aku sebagai Program Officer Divisi Advokasi, Riset, dan Kampanye YAPPIKA-ActionAid harus menanti hingga Juni 2016 sampai Kampanye dan Advokasi #SekolahAman yang sekaligus menjadi inisiasi fundrasing diluncurkan ke publik. Karena banyak hal-hal teknis terkait fundraising yang perlu di-setup dan kami juga perlu menunggu persetujuan dari Sekretariat Internasional ActionAid di mana kami sekarang YAPPIKA menjadi bagian dari federasi tersebut.
Hasilnya, cukup memuaskan. Sudah ada lebih dari 1000 donor yang setuju untuk mendukung kerja-kerja YAPPIKA-ActionAid, baik #SekolahAman maupun kerja-kerja lainnya ke depan. 4 Sekolah yang kami dampingi di Kabupaten Serang dan Kabupaten Bogor kini juga sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Kami pun sudah melakukan perluasan wilayah kerja ke Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Provinsi “Juara” sekolah rusak. Kami pun kini punya duta yang akan membantu kampanye kami, seorang aktor kenamaan di Indonesia: Reza Rahardian.
Bahagia dan bangga rasanya ikut serta dalam proses tumbuh berkembangnya organisasi tempat kita bekerja. Ada kapasitas yang juga ikut tumbuh berkembang, ada rekam jejak yang perlahan mulai terukir.
2. Menikah dengan Rina Cahyani
A video posted by Muhammad Alfisyahrin (@bang_alfi) on Sep 4, 2016 at 3:45am PDT
Mulai merasakan ketertarikan dengannya sejak akhir 2011, aku perlu menanti kesiapan diriku sendiri untuk menyatakan cintaku pada Rina Cahyani hingga akhir 2015. Saat diriku sudah lulus kuliah dan bekerja. Setelah itu pun, masih ada beberapa kejadian lagi yang membuatku masih harus menanti. Alhamdulillah, tahun ini ujung penantianku tiba. Pada 28 Mei 2016 aku melamarnya dan pada 4 September 2016 aku pun menikahinya. Cerita lebih lengkap di balik proses pernikahan kami dapat dibaca di sini.
Beberapa teman kami terkejut dan bertanya-tanya “kok bisa?” Bagaimana bisa aku yang lebih suka dunia pemikiran dan aktivisme, menikah dengan Rina yang lebih meminati dunia traveling dan bisnis? Saat kemantapan sudah ada di hati kami, kami pun juga masih bertanya-tanya. Akan tetapi, perlahan hikmah di balik takdir Allah tersebut mulai tersingkap juga. Sepertinya ini memang cara Allah SWT untuk membuat kami bisa saling mengisi dan menguatkan.
3. Pulang Kampuang (Lagi)
Aku memang pernah pulang kampuang ke ranah minang pada 2012. Namun, saat itu, keluargaku disibukkan dengan suatu urusan yang membuatku belum bisa cukup menikmati eksotisme ranah minang. Setelah kembali ke Jakarta, aku pun memendam hasrat untuk kembali ke ranah minang suatu saat nanti.
Penantianku mencapai ujungnya pada 6 September 2016. Bersama Rina, aku kembali pulang kampuang. Bersilaturahim sekaligus menjelajahi eksotisme ranah minang. Seorang anak rumahan yang bahkan awalnya tidak tahu apa itu itinerary kini telah menemukan jalannya untuk lebih mengenal dan mencintai negerinya: menikah dengan seorang traveler. Bagiku, mencintai Rina adalah caraku untuk lebih mencintai Indonesia.
4. Berpendapat di Koran Tempo
Di era media sosial kini, setiap orang seolah-olah bisa berpendapat apapun. Cukup mendaftarkan diri pada sebuah platform dan mulai menulis. Akan tetapi, berpendapat di media cetak nasional tetaplah punya nilai tersendiri yang berbeda. Kita perlu bersaing dengan penulis lainnya dan tentu saja dianggap layak oleh redaksi media yang bersangkutan.
Saat masih menjadi mahasiswa, aku pernah berpendapat di media cetak nasional, yakni Seputar Indonesia. Akan tetapi, itu pun hanya di kolom suara mahasiswa. Beberapa kali mencoba mengirimkan tulisan di kolom Opini, tetapi hasilnya nihil.
Menurutku ada dua persoalan yang membuat pendapatku dianggap belum layak oleh redaksi saat itu. Pertama, pendapat yang dimuat di media cetak nasional haruslah pendapat dari orang yang memiliki latar belakang dan keahlian yang kredibel. Saat itu, sebagai mahasiswa, aku belum memilikinya. Kedua, pendapat itu juga haruslah berisi materi yang relevan dan bukti pendukung yang mencukupi.
Berbekal statusku kini sebagai staf divisi advokasi di YAPPIKA-ActionAid dan hasil riset kami dalam advokasi #SekolahAman, dua persoalan itu pun berhasil aku atasi. Ujung penantianku tiba pada 10 November 2016, tulisanku yang berjudul “Robohnya Sekolah Kami” dimuat di kolom Pendapat Koran Tempo. Versi digitalnya dapat dibaca di sini.
Alhamdulillah. Tidak ada satu kejadian pun di muka bumi yang terjadi tanpa izin Allah SWT. Begitu pun dengan semua penantian yang mencapai ujungnya pada perjalanku di tahun 2016. Semoga Allah SWT senantiasa memberiku petunjuk agar pada tahun 2017 dan seterusnya, aku bisa menjadi insan yang lebih kredibel dan bermanfaat.
Terima kasih atas kesabarannya untuk membaca sampai akhir. Tidak mudah melakukannya di era media sosial kini. Semoga harimu di sepanjang 2017 menyenangkan!
Muhammad Alfisyahrin
2 notes
·
View notes
Text
Perubahan Dekat
Besok, 71 tahun sudah Indonesia merdeka. Akan tetapi, 1 dari 3 anak masih menderita stunting (tubuh pendek) akibat asupan nutrisi yang tidak cukup atau tidak seimbang di 1000 Hari Pertama Kehidupan (Kemenkes, 2013). Anak stunting menjadi mudah sakit, tetapi Kartu Indonesia Sehat/BPJS yang orang tua mereka pegang sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) justru tidak bisa digunakan karena Fasilitas Kesehatan Tingkat I tidak tersedia di wilayah mereka.
Anak stunting juga akan sulit untuk berprestasi di sekolah dan bersaing di pasar tenaga kerja. Beberapa success story anak miskin yang bisa berhasil lewat pendidikan tidak bisa mengabaikan fakta lebih banyak anak yang sudah miskin juga tidak cerdas. Keselamatan anak-anak, baik yang stunting maupun yang tidak, juga terancam bahaya karena banyaknya sekolah rusak dan kekerasan di sekolah.
Ketimpangan kita pun semakin melebar. Koefisien Gini Indonesia naik pesat dalam 15 tahun, dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2015 (Bank Dunia, 2015). Namun, pengelolaan anggaran pemerintah sebagai dana yang diamanatkan oleh publik dan untuk publik tetap tidak efektif dan efisien. Unholy marriage pebisnis-politisi-birokrat tetap berlangsung dengan modus yang semakin bervariasi dan canggih. Maka total kerugian negara sebesar Rp 203,9 Triliyun dari Tindak Pidana Korupsi sepanjang tahun 2001-2015 hanyalah puncak gunung es yang belum mencerminkan seluruh ke-ngaco-an yang ada (Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, 2016).
Apakah kita masih merasa negeri ini sedang baik-baik saja?
***
Aku sedang tidak mengajak kita untuk pesimis dengan masa depan negeri ini. Akan tetapi, bukankah berpura-pura seolah tidak ada masalah justru lebih berbahaya?
Resah. Itulah yang aku rasakan. Aku kerap kali bertanya, “Apakah yang bisa aku lakukan untuk mengubah keadaan?”
Keresahan itu perlahan memunculkan obsesi. Obsesi untuk berbuat. Obsesi untuk mendorong perubahan. Keresahan dan obsesi tersebut terus tumbuh-berkembang semenjak aku ditempa lewat pembinaan ke-Islam-an di SMA, terlibat aktif di organisasi kemahasiswaan, hingga sekarang bekerja di sebuah Organisasi Non-Pemerintah.
Beberapa aktivitas yang memiliki tujuan mendorong perubahan sudah beberapa kali coba ku lakukan. Mulai dari melalui riset-studi-pemantauan, pembinaan-pendidikan-pemberdayaan, diskusi-kampanye-penyebaran opini, demonstrasi-audiensi-lokakarya. Dalam kadar yang berbeda-beda, setiap metode tersebut bisa mendorong perubahan. Entah di level pengetahuan, sikap, atau tindakan. Entah dalam bentuk bertambahnya warga yang kritis dan peduli, terpilihnya pejabat publik yang berintegritas dan kompeten, hingga kebijakan yang menyelesaikan persoalan publik dengan cara yang efektif dan efisien.
Tapi belakangan aku menyadari bahwa eksperimentasiku dalam mendorong perubahan selama ini terlampau jauh. Landasan sikap dan tindakanku lebih banyak terkait dengan kepedulian dan profesionalitas. Bukan kepentingan. Padahal, kata seorang kawan yang sudah puluhan tahun bergulut di dunia gerakan masyarakat sipil dan advokasi kebijakan, gerakan atau inisiatif yang berkelanjutan biasanya adalah gerakan atau inisiatif yang berbasis pada kepentingan. Sesuatu yang harus diubah karena jika diabaikan akan berdampak pada yang bersangkutan. Lihat saja bagaimana solid dan persistennya serikat buruh dan petani. Atau asosiasi profesi lain yang saling melindungi ketika salah satu rekan seprofesinya terancam.
Bisa jadi karena aku yang belum memiliki kepentingan yang signifikan (mungkinkah?) atau aku yang belum menyadarinya.
Ke depan, aku berpikir untuk memulai perubahan dekat. Tidak jadi soal dampaknya nanti akan kecil-terbatas atau pun besar-masif. Satu hal yang pasti: perubahan itu haruslah sesuatu yang penting dan urgen. Sesuatu yang akan merugikanku jika aku biarkan, entah untuk jangka pendek atau pun jangka panjang.
Menurutku, ada beberapa pilihan institusi yang pengelolaannya bisa didorong menjadi lebih baik sehingga menghasilkan output dan outcome yang juga lebih baik. Mulai dari Rukun Tetangga, Rukun Warga, Sekolah, Posyandu/Puskesmas, hingga Kelurahan/Desa.
Namun, agar inisiatif perubahan tersebut bisa berbasis kepentingan, ada satu institusi yang sepertinya perlu terlebih dahulu dibangun: Keluarga.
Muhammad Alfisyahrin 16 Agustus 2016
2 notes
·
View notes
Quote
Terus berlari. Hingga dirimu tak menyangka langkahmu sudah sejauh ini. Tapi jangan lupa untuk berhenti. Sejenak. Mengatur nafas. Mengisi energi. Lalu segeralah kembali berlari.
Hai Tumblogger! Aku muncul lagi setelah sekian lama menghilang. Ke depan, semoga bisa kembali berbagi cerita.
9 notes
·
View notes
Quote
Apakah kau tidak merasa malu?
Allah tetap berikan semua nikmat, kesempatan, kekuatan, dan kebahagiaan ini padamu. Atas semua lalai, kufur, maksiat, dan dosa yang telah kau perbuat. Mungkin hatimu telah mengeras jadi batu. Hingga ia tak lagi mampu hadirkan air malu di matamu.
4 notes
·
View notes
Text
Malam dan Fajar
Siapa yang bisa sangkal Indahnya langit dan gemintang kala malam Beriring dengan lampu jalan Dan jutaan perasaan milik Nona dan Tuan
Bilakah malam akan berakhir? Nona dan Tuan tak memberi jawaban Saat itu, perasaan Nona dan Tuan membekukan waktu Meskipun itu semu Fajar akan segera datang
Aku pulang lebih awal Bukan karena aku tidak ingin melewati malam indah bersamamu Aku hanya lebih ingin menjodohkanmu dengan fajar Membuatmu jadi awalan untuk semua yang telah kuakhirkan Melampaui keindahan, kesenangan, dan kebahagiaan yang biasa kita dapatkan bersama malam
Aku ingin berjuang untukmu, bersamamu Sebagaimana aku berjuang untuk berjumpa fajar dengan mata berkunang Dari keduanya aku mendapatkan ketenangan
-Alfisyahrin-
sumber gambar
4 notes
·
View notes
Video
youtube
Karena persahabatan takkan bisa dipisahkan oleh jarak bahkan perbedaan zona waktu sekalipun
Persembahan dari Geng Satu Seminggu buat Istiqomah Nur Khasanah yang pagi ini berangkat ke Konawe, Sulawesi Tenggara. Demi sebuah tugas mulia: Mengabdi sebagai Pencerah Nusantara :-)
6 notes
·
View notes
Text
Senda Gurau
Jika dunia dan seisinya ini saja hanya senda gurau belaka, maka kisah jatuh dan patah hati tidak akan pernah bisa lebih dari itu.
Seindah dan semanis apapun kata yang tercipta dalam prosesnya, kisah romansa antar manusia takkan pernah bisa lebih romantis dari kisah kasih sayang Pencipta pada ciptaan-Nya.
Aku bukan Rangga dan kamu juga bukan Cinta. Aku juga bukan Galih dan kamu pun bukan Ratna. Kita pun tak pernah terobsesi menduplikasi kisah fiksi itu ke dalam realita. Biarlah Rangga-Cinta, Galih-Ratna, dan tokoh kisah romansa lainnya tetap berada di tempatnya.
Seperti halnya sesuatu yang terkadang meletup di hati-hati kita. Biarkanlah itu tetap berada di tempatnya: sebuah kotak bernama penghambaan dan ketaatan kepada Pencipta.
Sama seperti kisah fiksi yang tidak ada artinya dalam realita, begitu pula letupan di hati kita yang kan nir-makna jika keluar dari kotaknya.
***
Refleksi setelah nonton AADC 2 :-)
3 notes
·
View notes
Text
Kebertepatan
"Gak ada yang kebetulan di dunia ini,” koreksi seorang teman kepada saya ketika saya mengucapkan kata yang juga banyak diucapkan orang lain itu, “Yang ada adalah kebertepatan.”
Apa yang tidak kita kira, itu semua sudah ada di skenario-Nya. Penyerahan diri kepada-Nya adalah koentji. Mungkin takkan selalu senang, tapi kita akan selalu tenang. Kabar baik tidak membuat kita jumawa. Kabar buruk tidak membuat kita putus asa. Senyum dan air mata menjadi mungkin muncul dalam satu wajah.
Biarkanlah titik-titik hari ini tersambung di masa depan. Seperti titik lalu yang tersambung hari ini. Kita hanya perlu meyakini kalau semua titik itu akan tersambung di saat yang tepat dan dengan yang cara tepat.
Termasuk pertemuan dan perpisahan di antara kita. Biarkanlah itu semua menjadi rahasia yang melalui sang waktu, Allah SWT akan mengungkapkannya.
Cukuplah menjadi sebaik-baiknya kita. Sebaik-sebaik hamba-Nya.
7 notes
·
View notes