Tumgik
anggidinda · 25 days
Text
Hi There!
I’m Anggi. I started out as a chemical engineer, but life led me on a journey where I discovered my true passion for writing and education. From Indonesia to Sweden, where I embraced motherhood and connected with an incredible community of parents, I’ve learned that the journey of parenthood is both beautiful and challenging.
When the pandemic hit and everything changed, I felt the need to do something meaningful. That’s when I started “Be Happy Parents,” an online space where parents—especially moms—can find support, reassurance, and a reminder that they’re not alone. Motherhood can sometimes feel isolating, but it doesn’t have to be.
Now, as I work towards my Master’s in Psychology, I’m channeling my experiences into content creation and marketing, especially in the mental health field. I’m all about helping others feel empowered and understood. Whether it’s through my writing, my academic work, or my journey as a mom, I’m here to share, support, and collaborate.
Let’s connect and see how we can create something amazing together! ✨
1 note · View note
anggidinda · 2 years
Text
The Science between Sugar and Emotion, Rasanya tak Semanis Efek Jangka Panjangnya
Minggu terakhir September lalu, Es Teh Indonesia (ETI) menjadi viral di jagat dunia maya setelah melayangkan somasi pada salah satu pelanggannya. Pelanggan tersebut membagikan cuitan di Twitter yang mengatakan bahwa rasa minuman ETI terlalu manis seperti mengandung gula tiga kilogram. Meski akhirnya kasus tersebut mereda, namun efeknya berbuntut panjang di sosial media. Akibat tweet tersebut, masyarakat jadi mulai menyadari banyaknya kandungan gula yang mereka konsumsi. Respon pun mulai berdatangan, dari mulai cuitan para tenaga medis yang mengingatkan untuk mengurangi asupan gula, badan BPOM yang dituntut untuk mengatur regulasi pemberian informasi kandungan gula, hingga bea cukai yang diminta membuat cukai minuman berpemanis.
Memangnya, berapa sih batas konsumsi gula dalam satu hari?
Rekomendasi global dari WHO untuk konsumsi gula adalah 25 gram per orang per hari, lebih rendah dibandingkan kebijakan dalam negeri. Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) merekomendasikan batas konsumsi gula per hari adalah 10 persen dari total energi, yaitu 200kkal. Konsumsi tersebut setara dengan gula empat sendok makan atau 50 gram per orang dalam sehari.
Rekomendasi Kemenkes RI tentang pembatasan konsumsi gula di Indonesia bukan tanpa alasan. Konsumsi gula, khususnya minuman yang dimaniskan dengan gula, dianggap bertanggung jawab terhadap peningkatan penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2) secara global (Lean & Te Morenga, 2016). Penambahan berat badan dan kejadian DMT2 berasosiasi dengan pola makan dan gaya hidup yang berkaitan dengan tingginya konsumsi minuman manis. Asupan gula yang tinggi ini menjadi faktor risiko komplikasi makro vaskular seperti arteri koroner; arteri perifer, dan serebro vaskular (Merlotti, 2014).
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF), Indonesia termasuk lima besar negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia. Evaluasi per dekade yang dilakukan IDF menunjukkan bahwa jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 7.29 juta. Jumlah ini meningkat menjadi 19.47 juta atau sebesar 167% di tahun 2021.
Mirisnya, dalam laporan "Bubble Tea in Southeast Asia" yang dirilis oleh Momentum Works, nilai pasar boba di Asia Tenggara diperkirakan mencapai US$3,66 miliar atau sekitar Rp54 triliun pada 2021, dan Indonesia tercatat sebagai pasar minuman boba terbesar, dengan estimasi nilai pasar US$1,6 miliar atau sekitar Rp24 triliun. Hampir 50% pasar Asia Tenggara “dikuasai” oleh Indonesia.
Selain diabetes, apakah ada efek samping lain jika kita mengonsumsi gula secara berlebihan?
Ya. Selain berefek pada fisik, diet tinggi gula juga memiliki efek terhadap psikologis yang berkaitan dengan brain, mind, and behavior (otak, pikiran, dan perilaku). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Noble dan kawan-kawan pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa diet tinggi gula berasosiasi dengan gangguan kognitif, neuroplastisitas negatif, seperti gangguan pada hippocampal, serta gangguan emosional seperti kecemasan dan depresi.
Pada penelitian lain, asupan makanan dan minuman berpemanis juga berkaitan dengan gangguan mental umum (common mental disorder/CMD) dan depresi. Pria dengan asupan gula yang tinggi dari makanan atau minuman manis, memiliki prevalensi terkena CMD sebesar 23% dalam kurun waktu 5 tahun. Efek buruk asupan gula pada makanan dan minuman berpemanis ini ternyata mempengaruhi kesehatan mental jangka panjang (Knüppel et al., 2017)
Bagaimana gula bisa mempengaruhi kondisi psikologis kita?
Segala hal yang terjadi dalam tubuh kita dikontrol dan dikendalikan oleh otak. Otak terdiri dari sel-sel saraf, atau neuron, dan sel-sel pendukung yang disebut dengan sel glial. Meskipun kedua jenis sel otak ini memiliki kebutuhan metabolisme yang berbeda, namun sumber energi utama bagi keduanya sama, yaitu glukosa.
Berat otak kita memang hanya 2% dari total berat badan, akan tetapi ia mengonsumsi energi sebanyak 20% dari total energi yang ada di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena otak memiliki pekerjaan yang cukup kompleks seperti proses belajar, proses mengingat, dan proses kognitif. Konsumsi energi ini bahkan lebih tinggi pada anak-anak yang mana bagian otak dan tubuhnya sedang berkembang pesat (Goyal, 2018).
Fungsi dan pertumbuhan otak sangat diatur oleh molekul kimia di dalam otak yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter ini juga bertanggung jawab sebagai arsitek perkembangan otak. Asupan tentu menjadi hal penting dalam mempertahankan kondisi dan keseimbangan dalam neurotransmiter. Apabila keseimbangan komponen dalam neurotransmiter terganggu di periode-periode perkembangan tertentu, maka ia dapat menyebabkan berbagai gangguan yang berpengaruh terhadap proses belajar, mood (suasana hati), dan juga perilaku (Levitt et al., 1997).
Gula, dalam hal ini glukosa, merupakan sumber energi utama otak. Terlalu banyak gula membuat otak menjadi mode overdrive dan overstimulation. Ketika otak terlalu mengalami stimulasi berlebih, efek jangka pendeknya adalah tubuh menjadi hiperaktif dan adanya perubahan suasana hati, sedangkan efek jangka panjangnya berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif saat dewasa (Beecher, 2021).
Selain pada area otak dan proses berpikir, asupan gula berlebih juga memiliki efek pada perilaku, salah satunya adalah emotional eating. Emotional eating atau makan emosional terjadi ketika kita menggunakan makanan sebagai sarana untuk meregulasi emosi yang kita rasakan. Ketika kita melakukan emotional eating, kita makan bukan karena kita lapar, tapi karena kita merasa makanan dapat menenangkan kita ketika kita marah, sedih, stres, dan perasaan negatif yang lainnya. Hal ini bisa terjadi karena pada saat kita dalam keadaan tertekan, tubuh kita berusaha merespon dengan cara mengurangi efek dari stres tersebut. Di dalam otak kita, sebagian besar rasa stres diatur oleh axis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Menariknya, aktivitas axis HPA ini berkurang setelah kita mengkonsumsi makanan yang mengandung gula (Ulrich-Lai et al., 2011). Setelah makan makanan yang mengandung gula, level stres menurun, otak menjadi lebih tenang. Siklus ini membuat kita mengaitkan makanan dengan ketenangan dan akhirnya membuat emotional eating menjadi kebiasaan.
Gula juga memiliki efek adiktif karena merangsang neuron yang berkaitan dengan sistem reward (penghargaan) pada otak yang dikenal dengan nama sistem limbik. Saat sistem limbik ini teraktivasi, ia akan menghasilkan emosi pleasure (kesenangan) yang akan memicu kita untuk mengkonsumsi gula terus menerus (Avena, 2008). Di dalam sistem limbik juga terdapat amigdala yang memproses segala informasi yang berkaitan dengan emosi terutama yang berkaitan dengan mode fight or flight (melawan atau lari). Aktivasi yang berlebihan pada amigdala bisa memicu emosi negatif seperti ketakutan dan kecemasan. Mekanisme saraf yang tumpang tindih ini jika berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan efek negatif seperti perubahan perilaku yang impulsif, regulasi emosi yang buruk, dan jika konsumsi gula sudah mencapai tahap kronis maka akan ada kaitannya dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental di masa mendatang. (Jacques et al., 2019; Knüppel et al., 2017)
Intervensi Makro dalam Penurunan Konsumsi Gula
Studi klinis dan epidemiologi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara asupan gula dalam minuman berpemanis (sugar-sweetened beverage/SSB) dengan obesitas dan DMT2. Ironisnya, SSB mudah sekali diakses oleh anak-anak, bahkan dengan izin dan sepengetahuan orang dewasa. Anak-anak di Amerika Serikat mengkonsumsi dua kali lipat kebutuhan kalori yang berasal dari SSB seperti soda, minuman buah, serta minuman berenergi (Johnson, 2009). Sayangnya, belum ada data mengenai jumlah konsumsi minuman berpemanis pada anak-anak maupun orang dewasa di Indonesia. Namun berdasarkan kenyataan di lapangan dan laporan nilai pasar, konsumsi minuman berpemanis di Indonesia termasuk tinggi.
Hubungan antara SSB dengan obesitas dan DMT2 merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan solusi yang komprehensif. Perlu adanya kebijakan mengenai makanan di tingkat nasional, lokal, bahkan sekolah sebagai bentuk intervensi penurunan konsumsi gula. Di Amerika, intervensi berbasis sekolah diaplikasikan dalam program National School Lunch Program (NSLP) yang menyediakan makanan bergizi seimbang yang terjangkau (bahkan gratis) di dalam sekolah seperti di kafetaria, vending machine, dan juga kantin. Program ini telah menunjukkan efek positif terhadap pencegahan dan penurunan asupan SSB dan obesitas (Veugelers & Fitzgerald, 2005) dan membantu meningkatkan perilaku hidup sehat (Budd & Volpe, 2006).
Selain kebijakan sekolah, pajak juga dapat mengurangi konsumsi SSB melalui kebijakan insentif ekonomi secara langsung, mengalokasikan pendapatan ke dalam program yang mendukung makanan sehat, dan mengampanyekan efek buruk dari SSB. Namun, tarif pajak yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk memiliki efek terukur pada berat badan (Yoshida, 2018). Selain itu pemerintah juga bisa membuat regulasi terkait pemasaran dan iklan pada makanan dan minuman berpemanis serta mendorong industri makanan agar mereka memberikan label nilai gizi pada setiap produknya (Harris & Graff, 2012).
Membatasi Konsumsi Gula dengan Kecerdasan Emosi ala Daniel Goleman
Dalam buku Emotional Intelligence, Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional atau EI adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi kita dan orang-orang di sekitar kita. Orang dengan kecerdasan emosional tingkat tinggi tahu apa yang mereka rasakan, apa arti emosi mereka, dan bagaimana emosi ini dapat memengaruhi keputusan yang dibuat oleh diri sendiri dan juga orang lain.
Penelitian-penelitian yang sudah dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa ada hubungan timbal balik antara makanan, khususnya dalam hal ini adalah gula, dan emosi. Ketika kita bisa mengontrol emosi kita, kemungkinan besar kita juga bisa mengontrol asupan makanan kita.
Menurut Goleman, ada lima tingkatan atau elemen dalam EI, yaitu self-awareness (kesadaran diri), self-regulation (regulasi diri), motivation (motivasi), emphaty (empati), dan social skill (kemampuan bersosial). Masing-masing tingkatan tersebut bisa kita elaborasi untuk mengontrol konsumsi gula kita dan juga orang-orang di sekitar kita.
Ketika kita memiliki kesadaran diri, kita bisa mengenali, memahami, dan menghargai setiap emosi yang kita rasakan dan juga mengetahui kelebihan dan kelemahan apa yang kita miliki. Hal ini bisa membantu kita untuk terus berpikir kritis sebelum mengambil keputusan yang tidak hanya akan mempengaruhi diri kita saat ini namun juga diri kita di masa depan, termasuk tentang makanan. Ketika kita memiliki kesadaran diri yang baik, tentu kita bisa tahu dan paham apakah boba milk tea ukuran large yang sedang diskon saat ini adalah sesuatu yang benar-benar kita butuhkan atau tidak. Apakah membeli donat 1 lusin dengan promo buy 1 get 1 adalah hal yang esensial dan harus dilakukan atau hanya demi kesenangan dan emosi sesaat saja? Apakah demi bisa mengisi perut atau hanya untuk konten sosial media belaka?
Setelah kita bisa menguasai kesadaran emosional kita, langkah selanjutnya adalah kita bisa belajar mengelola emosi tersebut, terutama emosi negatif, dengan cara yang efektif. Mengurangi asupan gula yang adiktif sangat mungkin membuat keinginan kita untuk mengonsumsi manis-manis menjadi lebih meningkat. Kita bisa saja melakukan impulsive buying dan emotional eating di awal bulan pasca gajian dengan promo makanan yang bertebaran. Namun, dengan adanya kesadaran diri, kita jadi lebih mudah untuk meregulasi hal-hal yang bersifat emosional tersebut. Kita secara sadar mungkin saja bisa melakukan hal-hal seperti off sosial media terlebih dahulu agar tidak merasa FOMO dengan postingan kawan-kawan yang suka jajan, atau bisa juga melakukan puasa Senin-Kamis agar asupan makanan manis bisa berkurang, atau mendaftar layanan katering sehat selama satu pekan di awal bulan.
Yang ketiga adalah motivasi. Menghentikan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan pasti akan sulit, untuk itulah kita perlu motivasi agar kitab isa membentuk kebiasaan baru yang lebih sehat. Afirmasi positif seperti, “I am getting better and better everyday, and my future-self will be proud of and thanks me later!”.
Setelah melalui ketiga hal di atas, kita jadi jauh lebih mengerti dan memahami diri sendiri. Dengan pemahaman yang seperti itu, kita jadi lebih mudah berempati dengan orang lain dan bisa memiliki kemampuan sosial yang baik. Ketika nantinya kita menjadi seseorang yang besar dan memiliki power untuk mengubah sesuatu, dalam kasus ini misalnya pembuat kebijakan regulasi pembatasan konsumsi gula, tentunya kita bisa membuat peraturan-peraturan yang bijak, mudah diaplikasikan oleh siapa saja, namun juga berorientasi pada tujuan yang memberikan manfaat bagi orang banyak.
  Referensi Jurnal:
Avena, N. M., Rada, P., & Hoebel, B. G. (2008). Evidence for sugar addiction: behavioral and neurochemical effects of intermittent, excessive sugar intake. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 32(1), 20-39.
Beecher, K., Alvarez Cooper, I., Wang, J., Walters, S. B., Chehrehasa, F., Bartlett, S. E., & Belmer, A. (2021). Long-Term Overconsumption of Sugar Starting at Adolescence Produces Persistent Hyperactivity and Neurocognitive Deficits in Adulthood. Frontiers in neuroscience, 15, 670430. https://doi.org/10.3389/fnins.2021.670430
Budd, G. M., & Volpe, S. L. (2006). School‐based obesity prevention: research, challenges, and recommendations. Journal of School Health, 76(10), 485-495.
Goyal, M. S., & Raichle, M. E. (2018). Glucose requirements of the developing human brain. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition, 66(Suppl 3), S46.
Harris, J. L., & Graff, S. K. (2012). Protecting young people from junk food advertising: implications of psychological research for First Amendment law. American journal of public health, 102(2), 214-222.
Jacques, A., Chaaya, N., Beecher, K., Ali, S., Belmer, A., & Bartlett, S. (2019). The impact of sugar consumption on stress driven, emotional and addictive behaviors. Neuroscience &Amp; Biobehavioral Reviews, 103, 178-199. doi: 10.1016/j.neubiorev.2019.05.021
Johnson, R. K., Appel, L. J., Brands, M., Howard, B. V., Lefevre, M., Lustig, R. H., ... & Wylie-Rosett, J. (2009). Dietary sugars intake and cardiovascular health: a scientific statement from the American Heart Association. Circulation, 120(11), 1011-1020.
Knüppel, A., Shipley, M. J., Llewellyn, C. H., & Brunner, E. J. (2017). Sugar intake from sweet food and beverages, common mental disorder and depression: prospective findings from the Whitehall II study. Scientific reports, 7(1), 6287. https://doi.org/10.1038/s41598-017-05649-7
Lean, M. E., & Te Morenga, L. (2016). Sugar and type 2 diabetes. British Medical Bulletin, 120(1), 43-53.
Levitt, P., Harvey, J. A., Friedman, E., Simansky, K., & Murphy, E. H. (1997). New evidence for neurotransmitter influences on brain development. Trends in neurosciences, 20(6), 269-274.
Merlotti, C., Morabito, A., & Pontiroli, A. E. (2014). Prevention of type 2 diabetes; a systematic review and meta‐analysis of different intervention strategies. Diabetes, Obesity and Metabolism, 16(8), 719-727.
Michael E. J. Lean, Lisa Te Morenga, Sugar and Type 2 diabetes, British Medical Bulletin, Volume 120, Issue 1, 1 December 2016, Pages 43–53, https://doi.org/10.1093/bmb/ldw037
Noble, E. E., Hsu, T. M., Liang, J., & Kanoski, S. E. (2019). Early-life sugar consumption has long-term negative effects on memory function in male rats. Nutritional neuroscience, 22(4), 273-283.
Ulrich-Lai, Y. M., Ostrander, M. M., & Herman, J. P. (2011). HPA axis dampening by limited sucrose intake: reward frequency vs. caloric consumption. Physiology & behavior, 103(1), 104-110.
Veugelers, P. J., & Fitzgerald, A. L. (2005). Effectiveness of school programs in preventing childhood obesity: a multilevel comparison. American journal of public health, 95(3), 432-435.
Yoshida, Y., Simoes, E.J. Sugar-Sweetened Beverage, Obesity, and Type 2 Diabetes in Children and Adolescents: Policies, Taxation, and Programs. Curr Diab Rep 18, 31 (2018). https://doi.org/10.1007/s11892-018-1004-6
Referensi lain:
Goleman, D. (1996). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. Bloomsbury Publishing.
https://thelowdown.momentum.asia/3-66billion-bubble-tea-market-southeast-asia/
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6312345/bpom-buka-suara-soal-viral-es-teh-indonesia-wajib-cantumkan-kadar-gula.
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6313406/heboh-kasus-es-teh-indonesia-ini-batas-konsumsi-gula-per-hari-menurut-kemenkes.
https://theconversation.com/how-does-excess-sugar-affect-the-developing-brain-throughout-childhood-and-adolescence-a-neuroscientist-who-studies-nutrition-explains-173214
10 notes · View notes
anggidinda · 2 years
Text
I’m going to activate this tumblr in 3...2...1
(pendidikan 4.0, tugas ujian dikumpulin via tumblr wkwk)
2 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Text
Kadang kadang aku ingin jadi laki laki, yang bisanya cuma bangun makan main tidur lagi. Ngga peduli sama sekitar. Yang penting hati senang. Karena sudah susah payah kerja untuk anak istri.
Kadang kadang aku capek jadi perempuan. Naluri keibuan bikin aku memikirkan banyak hal. Mau tiduran, oh iya gaada makanan. Mau scroll instagram, oh iya anak harus diajak main agar tumbuh sehat dan berkembang.
Kadang aku sengaja menyisakan banyak hal dari pekerjaan yg harus aku lakukan, biarin aja ngga kelar, siapa tau ada yg tergerak hatinya untuk menyelesaikan. Meskipun kadang aku lagi yg harus turun tangan, bukannya jadi ringan, malah jadi tambah beban.
Jangan iri katanya. Beban kerja yg ditanggung lelaki dan perempuan sama. Oh ya? Perempuan kalau kerja juga sepertinya tetap harus turun ke dapur, tetap harus ngurusin anak. Meskipun mungkin ngga terjun langsung, tapi pasti ada beban di pikiran, nanti pada makan apa ya, anakku di rumah gimana yaa.
Huft. Susah memang jadi perempuan.
Makannya kita diganjar dengan surga di telapak kaki.
Eh? Begitu bukan?
8 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Text
"Namanya rumah tangga, semua keputusan harus diambil berdua"
-Iyalah, kalau keputusan diambil rame rame namanya bukan pernikahan, tapi arisan.
1 note · View note
anggidinda · 5 years
Text
Tidak Mengagungkan Kemewahan
Dulu saya pernah baca tulisan Aditya Mulya, saya lupa detailnya, tapi bagus sekali isinya, tentang gimana beliau membesarkan anak anaknya lewat dua keadaan berbeda. Kadang tidur pake AC, kadang tidur di lantai. Kadang naik angkot, kadang dijemput supir. Dan berbagai contoh lainnya.
Lalu diakhir dia bilang kalau dia begitu karena dia ingin anaknya ngga takut dengan keadaan prihatin, tapi juga ngga kaget ketika ketemu dengan kemewahan.
Asli ini value yg bagus menurut saya.
Di jaman sekarang dimana semua orang berlomba lomba untuk menunjukkan status sosial di media sosial untuk mendapatkan pengakuan (apa? Sukses? Mapan? Kaya raya?), saya rasa perlu usaha lebih untuk bisa menerapkan value di atas. Anak anak kita nanti akan mengakses itu semua. Kalau gampang silau, susah juga. Soalnya kadang orang ngga liat prosesnya kan, tau tau lihat hasilnya kaya raya bergelimang harta, dikira tanpa usaha. Kalau mereka pengennya instant gimana?
Ngga usah jauh jauh deh, anak anak tanpa akses sosial media aja kalau liat temen pake barang baru bisa iri, iya ngga?
Tapi itu bisa diminimalisir sih kayanya. Dari siapa? Dari kita, orang tuanya.
Kalau dari awal orang tuanya memuja kemewahan (sesuatu yg baru, yg bagus, yg mahal, melihat sesuatu dari price tag) yaa berat juga usahanya untuk mewujudkan mimpi punya anak yang sederhana dan bersahaja.
Contohnya, saya. Wkwk.
Dulu saya tau, ada barang murah, ada barang mahal. Kalau mahal berarti bagus, kalau murah berarti jelek. Itu pandangan saya waktu kecil. Setiap beli barang pasti dibilang "ini mahal lho!". Lama lama jadi ada perasaan bangga punya barang mahal.
Terus selalu ada statement "kasihan" ketika kami melihat ada orang yg keadaannya di bawah kami. Kasihan, ngga punya mobil. Kasihan, rumahnya kecil. Dan sebagainya.
Lalu Qadarullah semua berubah cepat, saya yg tadinya tinggal dekat ibukota tiba tiba harus pindah ke Jogja. Biasa diantar jemput supir, tiba tiba harus naik angkot. Biasa beli barang di mall, tau tau belanja apa apa ke pasar. Komentar keluarga besar saya? Iya, kasihan. Jadi, saya mengasihani diri saya sendiri waktu itu.
Nasehat kaya "ngga usah malu kalau naik motor" itu ngga mempan buat saya yg tau prestige-nya naik mobil. "Ngga papa belanja di pasar", hhh sebagai anak kemaren sore yg mulai ngerti merk bagus dan mahal, pernah lho saya ngguntingin semua label baju saya, biar ga keliatan merknya gitu wkwk.
Padahal ya, ngga ada yg peduli! Serius deh.
Lalu, ketika akhirnya keluarga kami dapat kesempatan memperbaiki "taraf hidup". Tau apa yg kami lakukan? Kami berusaha membuktikan ke sekitar kami kalau "nih lho, sekarang kami bisa." Nunjukin beli ini itu, jalan kesana sini, just like the old days.
Capek tau hidup kaya gitu. Susah. Ngos ngosan. Asli.
Butuh justifikasi dari orang lain kalau kami sudah sukses, mapan, dan mampu dari segala aspek. Punya rumah besar, mobil, baju bagus, itu aja yg dikejar. Padahal di atas langit, masih ada langit bukan? Kaya lomba ngga kelar kelar.
Sampai akhirnya saya menikah dan keluarga suami ternyata sangat bersahaja dengan apa yg mereka punya. Value keluarga besar kami berbeda. Tau apa nasehat yg diterima masing masing dari kami sebelum menikah? "Kamu jangan ngikut keluarga dia, dia yg harus berubah agar seperti kita". Wkwk ribet ya, yaa karena value yg berbeda itu tadi.
Tapi menikah itu ga sesederhana itu. Apalagi waktu itu kami merantau, ngga ada yg memandu dan ngomong ini itu soal mau dimana kemana keluarga ini. Meskipun banyak drama awalnya, tapi asyik juga rasanya meramu value bagi keluarga kecil kami, tentunya butuh waktu yg lama dan trial error tiada henti. Sampai akhirnya saya baca tulisan Aditya Mulya itu. Kayanya itu penggambaran pas tentang tujuan kami sebenernya.
Pr berikutnya, gimana caranya?
Yaa itu, orang tuanya harus pinter pinter ngasih aksi nyata soal value tersebut. Sambil mikir gimana yaa cara pembiasaannya dan perilaku sehari harinya.
Akhirnya saya dan suami sepakat untuk ngga melabeli hal hal dengan ukuran uang, ngga ada istilah mahal murah. Kami menerapkan kalau kita butuh sesuatu, yaa kita beli. Sesuai kebutuhan, dan budget.
Mau beli baju? Sepatu? Silahkan. Tapi ngga pernah bilang ooh ini mahal, ini murah, engga. Kalau lagi butuh dan harganya mahal, yaa dibeli. Tapi kalau ternyata dengan harga murah sudah dapat yg sesuai kebutuhan, yaudah, ngga masalah.
Ngga pernah juga justifikasi enak yaa naik mobil, engga. Apalagi Lila cukup kritis, suka banget tanya "kenapa kita naik mobil?" Jawabannya yaa yg logis, karena takut hujan misalnya, karena mau pergi dengan barang banyak, karena mau jemput uti, yg gitu gitu. Bukan yang "karena enak naik mobil, ga panas, ga sumuk." Ngga gitu, nanti anaknya ngga nyaman dikit terus rewel, protes. Lah salah siapa.
Pergi keluar kota nginep di hotel, yaa kasih tau kenapa kita nginep, karena rumah jauh, ngga mungkin kalau langsung pulang, jadi nginep di hotel. Atau kalau pas jalan-jalan terus dia nanya "kenapa jalan-jalan?" Yaa jawab aja karena mau beli seuatu, karena mau main di playground, apalah apalah, yg jelas. Jangan yang "karena bosan di rumah", nanti kalau anaknya minta jalan jalan terus, marah. Laa gimana? Yg doktrin rumah bikin bosan siapa?
Mau makan di tempat makan, kalau kami sih langsung to the point "makan mie jawa yuk!" Atau "makan ikan yuk!", terus kalau misal ditanya "kok makan disini?" Ya jawab aja yg logis, karena makanannya enak. Bukan karena tempatnya bagus dan harganya mahal. C'mon, kuliner legendaris tu ngga mikirin tempatnya AC apa engga, instagramable apa engga. Please, gudeg pawon? Mangut mbah marto? Wkwk. Nanti kalau anak ngajak makan di tempat bagus terus, sambat, duitnya habis buat jajan di tempat mahal. Lha siapa yg suruh bilang tempat makan bagus itu enak?
Dulu waktu kecil, mama bilang, aku dan adekku ngga bisa makan selain hokben dan kfc. Kalau mudik ke jogja, bahkan papa mama harus masuk ke kota untuk cari mall dan makan di kedua tempat tersebut. Ribet banget ya gue jadi anak, dosaa dosaa Astagfirullah 😂 tapi dari situ saya jadi tau pointnya, bukan kami yg minta sejujurnya. Tapi karena bentukan orang tua kami seperti itu, dibiasakan seperti itu, jadi ngga tau kalau ada makanan selain itu. Ditambah lagi dengan alasan biar ga ribet, kalau itu pasti dimakan. Makin makin lah aku ngga punya pilihan.
Yaa gitu deh kurang lebih. Apakah cara kami ini berhasil? Belum. Belum tau. So far Lila anak yg easy going, diajak kemana ayuk aja, lebih milih motor daripada mobil (we consider to talk to her about the environmental effect soon), masih ngga ngerti apa itu mahal murah, mulai ngerti kalau temennya punya barang baru tapi ya kalau ngomong ke saya atau suami semacam "mba X tasnya baru loh, fyi aja" ngga yg minta.
Nah yg masih jadi PR tu itu, budaya pamer itu wkwk. Namanya anak kan yaa kalau ada barang baru pasti ada kecenderungan untuk bilang bilang. So far sih saya kalau diskusi sama Lila saya balikin lagi, kira kira kalau temennya pamer pamer itu dia merasakan apa, dia nyaman ga dengan perasaan itu, kalau udah gitu dia biasanya ilang sih keinginan untuk pamer. Tapi kalau ngga diingetin suka lupa. Apalagi kalau temennya suka mancing "Lila, aku punya ini baru looohh!!" Iih ada tu yg kaya gitu, tiap ketemu pamer mulu, mana suka ditambahin bumbu bumbu "Kamu ga punya kan? Yeyee aku punya~" kalau Lila diam, dia makin menjadi. Aduuh ingin ku sate rasanya 😂
Ini makin lama makin jauh dari konteks ga sih? Wkwk
Tapi yaa ini, hal hal kecil ini memang yg kami lakukan untuk bisa mencapai value impian kami. Tetap nyaman dengan kesederhanaan, tapi ngga norak pas dapet kemewahan.
Semoga kita semua bisa seperti itu ya, mari saling doakan 🤗
11 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Photo
Tumblr media
Lila My Dear, kalau minta apa apa mintanya sama Allah ya. Tapi jangan lupa, harus terus usaha. Karena doa dan usaha harus jalan sama-sama. Kalau ngga dikasih jangan sedih. Bisa jadi ada kejutan lain yg Allah kasih. Tahun lalu, Lila minta hal sederhana (hayo tebak apa 😁) Sekarang kok makin tambah tambah aja Tapi ngga papa, besok besok jangan cuma minta duniawi ya. Minta ditentramkan hatinya juga Karena hati yg tentram mahal harganya 😊 Ee.. tapi doa yg pertama diaminkan juga boleh lho pemirsa 😂 https://www.instagram.com/p/B3SQ2VBBAju/?igshid=340bgqbkknol
1 note · View note
anggidinda · 5 years
Text
Gothenburg, The City Where We Read for Our Children
Sudah 5 bulan tinggal di sini baru kerasa rinduuu sekali tinggal di Swedia. Ngga bosan-bosannya saya cerita tentang Swedia, karena bagi saya negara ini too good to be true. Saya takjub dengan kenyataan bahwa hubungan kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah bukan hanya sebatas jargon dan slogan semata. Selain hal-hal yang udah saya ceritakan sebelumnya, ada hal lain yang bikin saya takjub, dan belum pernah saya ceritakan mendetail, yaitu kota tempat kami tinggal, Gothenburg.
Ada banyak hal yang saya kagumi dari kota ini. Akan saya ceritakan ulang nanti satu per satu. Bukan, bukan untuk membandingkan enaknya di sini dan di sana, tapi lebih ke arah ngasih tau, ada loh tempat tempat seperti ini, kita juga bisa kok jadi seperti mereka.
Oke, karena di bulan ini ada hari aksara dan gerakan sadar literasi sedang gencar-gencarnya, saya akan cerita soal tema yang sama. Sudah siap membaca “dongeng” tentang sebuah kota yang bisa menggerakkan seluruh elemen masyarakatnya untuk meningkatkan kemampuan literasi bersama?
Sebagai gambaran awal, di World’s Most Literate Nation Ranked yang dibuat oleh presiden Central Connecticut State University di New Britain, negara negara Skandinavia masuk ke dalam jajajran 5 besar (Swedia menduduki peringkat 5). Negara- negara ini ngga main-main dalam menjadikan literasi sebagai salah satu prioritas urusan dalam negeri. Sementara Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara yang disurvey. Meskipun survey ini hanya berdasarkan 5 kategori, termasuk jumlah dan ukuran perpustakaan serta jumlah pembaca koran, namun hal ini sedikit menggambarkan bahwa literasi masih menjadi PR terbesar negara kita.
--
Oke, kembali ke Gothenburg.
Gothenburg, sebuah kota yang terletak di barat daya Swedia, kota terbesar kedua, memiliki pelabuhan terbesar se-negara Nordic.  Letaknya yang dekat dengan laut membuatnya menjadi kota yang cukup berangin. Orang ngga akan tahan berdiri lama-lama di luar, apalagi jika sudah memasuki waktu musim gugur seperti saat ini. Oleh sebab itu, Gothenburg memiliki banyak fasilitas umum indoor, termasuk perpustakaan. Tercatat ada 28 perpustakaan yang terintegrasi satu sama lain di kota ini.
Nongkrong dan menghabiskan waktu di perpus mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, termasuk saya pada mulanya. Tapi surprisingly, perpus menjelma jadi satu-satunya tempat yang kami tuju ketika kami ngga tau harus kemana. Ketika mendengar kata perpus, yang terbayang pada mulanya tempat yang membosankan, penuh rak-rak buku dan kursi berjajar.  Tapi bayangan itu langsung hilang ketika pertama kali saya kesini. Waktu itu saya sedang hamil besar 9 bulan. Fasilitas yang nyaman seperti kursi besar, sofa lengkap dengan ottoman, dan quiet room cukup  membuat saya nyaman menghabiskan waktu berjam-jam disana, bahkan kadang sampai ketiduran. Mau makan? Tersedia café yang lengkap dengan menu vegan maupun non-vegan.
Tumblr media
Apalagi sejak Lila lahir. Semakin banyak fasilitas perpus yang bisa saya nikmati. Membawa bayi usia beberapa minggu ke perpus mungkin terdengar aneh ya? Tapi disini engga sama sekali. Ada satu section sendiri bagi bayi dan balita, namanya miini. Di section ini, semua lantainya beralaskan karpet tebal dan empuk.  Di setiap sudut sudut dinding dilapisi oleh busa tebal, untuk menghindari benturan. Terdapat mainan dan kolam bola juga. Belum lagi spot spot unik yang memang didesain untuk memberikan kenyamanan bagi orang tua dan balita yang akan membaca buku.  Pilihan bukunya pun beragam dari  mulai board book, sound book, serta buku-buku ilustrasi bergambar lainnya.
Tumblr media
Disana, kita juga ngga perlu panik ketika si bayi cranky ingin menyusu atau buang air. Terdapat family room dengan ruangan menyusui dan kamar mandi yang disertai dengan changing table. Di family room ini juga terdapat microwave dan wastafel. Kadang kami memanfaatkan fasilitas ini untuk dinner bareng di perpus hehe, jadi saya dan Lila membawa bekal dari rumah, nanti si Ayah akan nyusul kesana selepas pulang kerja. Bersyukur sekali kami ngga perlu keluar dana untuk menikmati itu semua.
Di sebelah section miini, ada section yang dikhususkan untuk anak anak sekolah dasar hingga remaja.  Terdapat ruangan khusus untuk melakukan kegiatan seperti menggunting, mewarnai, dan menggambar, lengkap dengan semua sarana dan prasarananya. Selain itu terdapat pula games seperti halma, catur, dan board game. Pilihan bukunya juga sangat beragam, dan ada satu lemari yang berisi buku-buku dari  berbagai negara.
Tumblr media
Dengan fasilitas seperti itu, rasanya ngga mungkin anak-anak ngga tertarik untuk pergi ke perpustakaan. Ngga cuma anak-anak aja, kakek nenek juga suka kesana lho untuk sekedar membaca koran, atau fika bareng teman temannya yang lain. Di basement, tersedia juga game elektronik seperti nitendo wii, dan play station. Ada juga ruangan yang bisa dipinjam untuk rapat atau sekedar belajar bareng. Ruangan tersebut dilengkapi dengan proyektor, meja kursi, dan yang pasti kedap suara. Mahasiswa banyak yang memanfaatkan fasilitas ini. 
Terlihat sekali bagaimana perpus kota Gothenburg mampu memanjakan semua kalangan. Semua fasilitas tersebut gratis! Dan kalau kita sudah punya personnummer (semacam nomor KTP), kita bisa meminjam semua bukunya. Untuk koleksi baru biasanya waktu meminjamnya maksimal 1 minggu, tapi untuk edisi lama, seperti novel dan buku anak-anak bisa sampai 6 minggu, dan ngga ada batas maksimal jumlah buku yang bisa dipinjam. Rekor buku terbanyak yang saya pinjam di waktu yang bersamaan ada 24 buku wkwk. Tapi kalau telat kena denda, dan dendanya mahal, sekitar 18kr per buku per minggu, 30ribuan kalau dalam rupiah.
Satu lagi, demi memudahkan semua orang mengakses buku di perpustakaan, semua perpus yang ada di Gothenburg terintegrasi satu sama lain. Artinya, kita bisa meminjam buku di satu perpus, dan mengembalikannya di tempat berbeda, tergantung yang dekat yang mana. Ditambah lagi dengan adanya aplikasi perpus yang baru dilaunching akhir tahun lalu. Lewat apps ini, kita bisa memesan buku yang akan kita pinjam. Jika buku tersebut tersedia maka kita akan mendapatkan notifikasi dan kita bisa memilih di perpus mana kita akan pick up itu buku. Kalau udah mau menjelang waktu pengembalian, ada notifikasinya juga. Ngga ada alasan lagi untuk telat mengembalikan buku kan?
Wah baru ngobrolin fasilitas perpustakaannya aja udah panjang banget ya! Tapi memang menarik banget perpusnya. Dengar-dengar perpus di Stockholm dilengkapi hammock juga, jadi rasanya bener bener kaya di rumah dan bikin betah.
Saya makin menyadari keseriusan kota ini untuk membangun literasi ketika saya menemukan poster tentang milestone literasi anak usia dini. Jadi anak-anak balita di sana, ngga cuma dilihat kemampuan motorik dan sensoriknya aja, tapi juga kemampuan literasinya.
Tumblr media
Poster di atas kalau saya artikan, kurang lebih begini
Anak usia 12-18 bulan, kemampuan literasinya :
1. Menirukan dan menyebutkan gambar-gambar yang ada di buku 2. Mengerti bahwa setiap kata memiliki makna 3. Bisa membolak-balikan halaman buku 4. Minta dibacakan buku 5. Punya buku favorit yang minta dibaca berulang-ulang 6. Mulai punya ketertarikan terhadap buku dan membawanya kemana-mana
Dari sini saya mulai cari tau lagi soal pengembangan literasi di kota ini. Kesan pertama yang saya tangkap kok kesannya serius sekali sih dalam mengembangkan literasi?
Ternyata, usut punya usut, Gothenburg merupakan salah satu kota peserta Erasmus+ project yang bertema “open the door for reading” sejak tahun 2017, and they take it seriously. Dalam menyambut ulang tahun kota yang ke-400 pada tahun 2021 nanti, Gothenburg memulai kampanye Staden där vi läser för våra barn atau the city where we read for our children, dan mulai meluncurkan gerakan “Read Aloud” yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya membacakan buku ke anak setiap hari.
Dalam web resminya, mereka mengatakan butuh 3 hal untuk dapat menyukseskan hal di atas. Pertama, mereka harus meningkatkan pengetahuan soal literasi di dalam kota. Kedua, mereka harus meningkatkan promosi tentang membaca dan literasi. Ketiga, meraka harus meningkatkan kesadaran orang tua tentang pentingnya literasi sejak anak usia dini.
Ketika seorang bayi lahir di Gothenburg, maka dia memiliki hak untuk bisa mendapatkan kemampuan literasi yang mumpuni dari orang tuanya. Untuk meningkatkan kesadaran tersebut, para bidan dan petugas perpustakaan memberikan penyuluhan yang disertai dengan Bookstart, yaitu goodie bag yang berisi buku, pembatas buku dengan beberapa tips membaca, postcard dengan pesan read aloud yang bisa diwarnai bersama, serta beberapa flyer yang berisi tingkat perkembangan bahasa dan literasi pada anak usia dini. Sejak tahun 2018, mereka bahkan mulai melakukan home visit ke setiap rumah yang memiliki bayi berusia 6-12 bulan.
Sedangkan, untuk anak-anak usia 3-6 tahun, mereka memiliki goodie bag khusus yang bisa dipinjam di perpustakaan. Goodie bag berlabel Read Aloud tersebut berisi 5-6 buku yang memang dipilih sesuai jenjang usia mereka. Buku-buku tersebut biasanya bertema keseharian, lingkungan sekitar, keluarga, dan self awareness. Diakhir buku biasanya orang tua diajak berdiskusi bersama anak tentang tema tersebut, harapannya, dengan dibacakan buku-buku tersebut anak semakin mengenal dunia sekitar mereka, dan mereka merasa aman. Selain itu, diskusi juga memancing pengetahuan berbahasa si anak.
Tidak hanya buku, pemerintah juga menggalakkan program story telling di berbagai tempat-tempat umum seperti perpustakaan, playground, pusat kesehatan dan open preschool. Story telling ini berguna untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi bagi anak-anak tersebut.
Selain balita, pemerintah setempat juga mengadakan gerakan bagi anak-anak usia sekolah. Di tingkat dasar, setiap tahun pemerintah memberikan paketan buku-buku yang wajib digunakan saat circle time. Paket tersebut disertai dengan berbagai aktivitas dan diskusi singkat yang bisa dikerjakan oleh para siswa dan murid. Di tingkat lanjut, setiap tahun masing-masing anak diberi tugas untuk membuat resensi dari salah satu buku favoritnya. Hal ini semakin mendorong para siswa untuk aktif membaca.
--
Oke, dari tadi sudah ngomongin literasi, sebetulnya literasi tu apa sih?
Menurut KBBI, literasi adalah kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Lebih jauh lagi, literasi dihubungkan dengan kemampuan mengolah dan memahami informasi yang dilakukan ketika sedang menulis atau membaca. Jadi sebetulnya, literasi ini juga ada sangkut pautnya dengan kemampuan berbahasa.
Anak-anak usia dini yang diberikan pemahaman dan kemampuan dalam berbahasa akan lebih percaya diri dalam menghadapi dunia ke depannya karena dia mampu mengekspresikan dirinya. Anak-anak yang memiliki perbendaharaan kata yang kaya ketika kecil, dia dapat berkomunikasi dengan lebih cepat. Berdasarkan data dari studi The Millenium Cohort, anak usia 3 tahun yang dibacakan buku setiap hari akan lebih mudah untuk memulai sekolah. Dia memiliki kemampuan berkomunikasi dan berbahasa 2.8 bulan lebih cepat serta memiliki kemampuan matematis 2.4 bulan lebih cepat dibandingkan anak sebayanya. Kemampuan tersebut bisa berkembang pesat dan menghasilkan kemampuan komunikasi yang baik.
Kemampuan berkomunikasi inilah yang juga dibutuhkan oleh society kita. Dengan menginvestasikan sedikit waktu kita dan perhatian kita terhadap literasi, kita ngga cuma bisa mengubah anak kita sendiri, namun juga bisa memberikan dampak berarti terhadap masyarakat social secara keseluruhan di masa depan nati.
Hal ini sudah disadari oleh negara-negara Skandinavia, oleh sebab itu mereka benar-benar memperhatikan tingkatan literasi generasi selanjutnya demi mempertahankan eksistensi dan kesuksesan negara mereka di masa depan.
Coba kita lihat kejadian akhir-akhir ini di negara kita. Informasi simpang siur, banyak orang termakan berita hoaks, ujaran kebencian dimana-mana, dan hal-hal sedih lainnya. Sebetulnya hal ini bisa dihindari jika kita semua memiliki kemampuan literasi yang baik. Kita bisa mencari tau sumber berita kredibel, tidak asal menyebarkan berita bohong, yang berakhir dengan menambah keruh suasana yang sudah ada, serta, kita bisa belajar menyampaikan segala sesuatu yang kita inginkan dengan komunikasi yang efektif dan efisien.
Yuk kita sama sama tingkatkan lagi kemampuan literasi kita. Pemerintah kita juga sudah mulai membuat banyak gerakan sadar literasi kok, seperti Gernas Baku (Gerakan Nasional Orang Tua Membaca Buku) yang disampaikan melalui kemendikbud. Yuk kita sambut usaha pemerintah kita dalam mencerdaskan generasi selanjutnya.
Kalau kita mau usaha sama-sama kita ngga akan kalah keren kok dari Gothenburg. Siap menuju 5 besar jajaran World’s Most Literate Nation Ranked? 😉
2 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Text
Polusi dan Particulate Matter
Duh, agak berat ini wkwk.
Jadi beberapa saat yang lalu saya pernah diskusi intens dengan Pak Maul terkait risetnya, setelah sebelumnya setiap kali dia jelaskan aku cuma
Tumblr media
Sekarang aku jadi
Tumblr media
Oke. Cukup.
Disclaimer dulu. Ini semua berdasarkan apa yg saya tangkap dari ngobrol sama Maulana terkait risetnya di bidang pembakaran biomassa, kalau salah, kemungkinan besar saya yang salah paham atau salah dengar. Kalau mau diskusi lebih intens, hubungi beliau aja ya wkwk.
Jadi, tentang polusi dan particulate matter. Sempet rame kan awal awal bulan lalu soal polusi, baik di ibu kota maupun di daerah yang sudah sangat parah kabut asapnya. Baru baru ini kembali lagi terjadi kabut asap yang tebal. Saya sendiri baru lihat videonya huhu miris sekali lahan terbakar, asap kemana mana, dan setebal itu :(
Nah kadang kita suka liat tuh orang update instastory atau status FB pake aplikasi yang menunjukkan kadar AQI (air quality index) dalam satuan mikrogram/m3. Sebetulnya itu apa sih?
Gini temen temen, polusi itu ada yang berupa gas, seperti NOx dan SOx, yang mengakibatkan hujan asam, dan ada juga yang berbentuk padatan seperti Particulate Matter. Nah Particulate Matter (PM) ini terdiri dari 3 bagian, condensed organic material, soot particle, dan fly ash (inorganic). PM sendiri terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan ukuran, PM10 dengan ukuran 2,5 mikron-10 mikron, dan PM2,5 dengan ukuran lebih kecil daripada 2,5 mikron.
Sedikit bingung? Saya juga kok awalnya wkwk. Gini, PM itu bisa kita lihat kok, contohnya asap bus kopaja yang hitam mengepul. Nah itu. Asapnya itu mengandung PM dengan kadar soot tinggi. Soot ini gampangannya unburnt carbon lah. Karbon yang ngga terbakar sempurna. Karbon warnanya apa? Hitam. Jadi semakin besar soot, semakin gelap warna emisinya. Tapi ngga serta merta polusi itu harus hitam pekat. Kadang, polusi kadar PMnya rendah, ngga terlihat dengan jelas hitam tapi samar-samar, seperti kabut.
Terus bahaya ga sih itu? Semakin kecil PM, semakin berbahaya, kenapa? Karena makin kecil PM, dia beneran bisa masuk ke dalam bagian terkecil paru-paru kita. Iya kalau dia bisa keluar lagi? Kalau stuck dan menumpuk gimana? Coba kalau sistem paling vital di tubuh kita itu kesumbat gimana? Naudzubillah. Data dari WHO sendiri menunjukkan bahwa PM berkontribusi dalam 6.7% kasus kematian pada tahun 2012 atau sebesar 3,7 juta jiwa. Kasus tersebut berhubungan dengan kanker paru-paru, kardiovaskular, serta chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Oke, sampe sini bisa disimpulkan kalau ini kasus serius bukan?
Oke, sekarang balik lagi ke Particulate Matter itu sendiri. PM bisa terbentuk karena adanya inefisiensi pembakaran. PM itu mostly komponennya adalah soot, dimana soot itu merupakan karbon. Kalau kita bisa convert karbon jadi CO atau CO2 semua sebetulnya, secara fisik dan kasat mata, bisa bersih itu polusi (CO dan CO2 juga polusi sebenarnya, tapi ini bahasan lain lagi). Sayangnya sampai sekarang, belum ada mesin bakar yang bisa seefisien itu, bisa convert 100% karbon hingga ngga bersisa. Soal pembentukan soot sendiri Pak Maul bilang:
Sebetulnya, semua proposed mekanisme pembentukan soot itu belum 100% experimentally proven di level mikroskopis. Karena challenge terbesarnya adalah, soot terbentuk di area flame yang sangat panas dan waktu reaksi nya luar biasa cepat. Belum ada alat analisis yang sanggup mengamati peristiwa ini.
Lalu penanggulangan PM di udara gimana? Sejauh yg saya tangkap, untuk mesin pembakaran diesel itu ada DPF, diesel particulate filter, sedangkan untuk exhaust gas after treatment dari batu bara ada electric precipitator. Jadi partikel exhaust gasnya dikasih elektrik biar bisa nempel sama dinding precipitatornya. Tapi itu luar biasa besar konsumsi listriknya.
Kalau skala rumah tangga ada PM indoor trapping, cara kerjanya mirip AC, jadi udara didinginin juga tapi sebelumnya dilewatin ke filter dulu untuk menjerap si partikel.
Kemarin sempet lihat iklan kipas angin beruap di salah satu toko alat rumah tangga. Menurut brosurnya, si uap ini bisa menghilangkan polusi. Hmm setelah denger penjelasan Pak Maul rasanya klaim tersebut harus diluruskan. Mungkin bukan menghilangkan polusi kaya yg hilang beneran atau partikel terjerap gitu ya, mungkin lebih ke arah menambah jumlah uap air yang ada di udara jadi konsentrasi PM di ruangan akan turun, gitu. Correct me if i'm wrong ya beb.
Lalu, soal kabut asap akibat terbakarnya lahan gambut. Ngga kebayang itu sebesar apa PM yang ada di udara. Balik lagi, PM terbentuk karena ketidaksempurnaan proses pembakaran. Kalau lahan gambut di luar terbakar, jelas prosesnya ngga akan sempurna. Idealnya, kalau mau terbakar sempurna kan sebetulnya hanya butuh oksigen sesuai dengan jumlah yang terhitung secara stoikiometri hingga menghasilkan emisi berupa CO2 (CHx + O2 --> CO2 + H2O). Tapi kalau di udara terbuka, yang dibakar kan ngga cuma karbon. Gambut sendiri selain komposisinya ngga 100% hidrokarbon, dia mengandung uap air juga. Belum lagi udara di sekitar pembakaran yang jelas ngga 100% oksigen. Ditambah lagi adanya angin yang menggangu proses pembakarannya itu sendiri. Jadi jelas banyak banget asapnya. Kalau saya ngejelasinnya terlalu belibet, mungkin bisa baca kutipan dari wwf berikut:
Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan, baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
Mudah mudahan ya segera turun hujan biar apinya padam dan asapnya hilang :’) tetap sehat dan sabar yaa teman temanku dimanapun berada, moga moga sabarnya diganti dengan pahala dan hal-hal baik yang berlipat ganda. aamiin.
--
Tumben-tumbenan ya ngomongin agak berat. Ini juga karena habis diskusi sama Maulana. Biasanya ngga begitu minat kalau dia ngomongin riset (wkwk sorry ayaah) tapi karena risetnya sedikit beririsan sama apa yang terjadi sekarang, terutama soal PM dan emisi, jadi tertarik deh dengerin ceritanya sekarang.
Sebenernya beliau itu risetnya specifically memodelkan pembakaran biomassa dengan CFD. Sebagai salah satu sumber energi alternatif dari fossil fuel, biomassa ini sebetulnya cukup menarik loh. Tapi kenapa belum hits? Sebetulnya cuma satu kendalanya, biomassa itu hasil pembakarannya kotor. 
Nah dengan melakukan riset permodelan pembakaran biomassa secara komputasi, harapannya kita bisa mempelajari pembentukan PM dan nantinya kita bisa mereduksi jumlah PM dari hasil pembakaran tersebut. Selain itu diteliti juga secara simultan gimana caranya dan kondisi operasi seperti apa yang bisa membuat pembakaran biomassa lebih efektif dan efisien.
Alhamdulillah, kemarin paper pertamanya lolos dan sudah dipublish. Alhamdulillah nya lagi, paper ini bisa diakses secara terbuka dan boleh didownload siapa saja. Doakan ya mudah mudahan ilmunya berkah, bermanfaat, dan mendatangkan kebaikan bagi beliau dan orang banyak. Aamiin.
Silahkan mengunduh papernya disini :)
1 note · View note
anggidinda · 5 years
Text
Gimana Rasanya Balik ke Indonesia?
Kalau diinget-inget, udah hampir 4 bulan saya pulang ke Indonesia. Kangen Swedia ga? Iya, tapi ngga sekangen itu sih. Tinggal pindah pindah sana sini bikin saya dengan jelas mengaplikasikan prinsip “bersyukur sama yang ada, ngga usah nyari apa yang ngga ada”. Soalnya kalau engga ga bisa menikmati hidup loh. Serius deh.
Contoh, kalau pas disana saya nyari siomay kang cepot, atau sate padang perempatan kentungan, ya ngga bakal ada lah. Terus craving itu mulu, ngliatin foto-fotonya, ngerasa iri dengan teman teman yang bisa makan itu, apa ngga sia-sia waktu saya? Padahal disana ada saray, ada kebab, buah mau apa aja ada. Kalau fokusnya ke yang ngga ada, yaa yang ada dan selalu setia bakal dianggep ngga ada, ketutup sama angan-angan semu belaka. Eh ini koneksnya apa ya wk.
Pun juga disini. Kalau saya nyari-nyari pancake selai lingonberry yaa ngga bakal ada juga. Padahal nikmat martabak ngga bisa didustakan bukan?
Haha jadi ngomongin makanan.
Ya gitu deh. Saya senang balik sini juga karena makanan wkwk. Disini makanan banyak jenisnya, harganya murah dan terjangkau. Yang terpenting, ngga harus masak kalau pengen ngemil siomay wkwk. Go food makin mapan. Diskon bertebaran. Mau minta apa lagi?
Iya disini panas, sumuk, tapi ada AC, kipas angin. Buka jendela juga pasti ada angin. Kalau keluar ngga ribet harus pake jaket ini itu.
Tapi ngga dipungkiri, saya pun rindu dengan kehidupan disana.
Salah satunya transportasi. Disana kemana-mana dekat, mudah, dan terjangkau. Kami ngga punya kendaraan pribadi disana, tapi mudah aja rasanya bepergian. Even ketika saya dan Lila harus pergi berdua ke luar kota. Nyaman, aman. Kami ngga ribet isi bensin, servis kendaraan, nyari lahan parkir, mikirin perawatan, dan sebagainya.
Disini rasanya kalau ngga ada kendaraan tuh agak terbatas. Oke memang ada gojek, grab, etc, tapi kalau dipikir mahal juga ya kalau mau keluar-keluar tiap hari. Mau naik bis kok ya jalan ke depannya jauuhh sekali. Lagipula kalau mau bawa stroller kok ya susah kalau naik kol jogja-magelang hehe.
Memang sih ngga bisa ngebandingin disini dan disana. Saya jadi paham transportasi publik kalau mau terintegrasi juga agak sulit. Transportasi publik mana yang bisa menjangkau antar dusun? Kenapa dusun? Soalnya kalau diperhatikan, daerah pemukiman kita ni ngga tercentral di titik titik tertentu. Pemukiman kita ni menjalar, masuk merata ke berbagai pelosok. Nah pelosok pelosok tadi itulah yang sulit terjangkau transportasi umum. Ya moga moga suatu hari ada solusi untuk hal ini. Memang alesan diatas terdengar egois, karena soal aku, aku, dan aku. Tapi kalau dipikir kami pun agak sedih sih nambah jumlah kendaraan di ruas jalan yang makin padat ini. Bikin tambah padat, belum lagi asapnya huhu.
Lalu..soal bersosial.
wkwkwk.
Saya seneng sih tinggal disini lagi. Dikerumuni keluarga. Ketemu sanak saudara. Tapi 3 bulan pertama kok rasanya lelah yaa. Soalnya gimana ya, saya, kami deng soalnya suami juga, kaya ngga ada waktu khusus untuk kami bertiga. Kruntelan, cerita-cerita, ya yang receh-receh gitu lah. Kadang harus kesini, kesana, balik lagi kesini, haduu sampe rumah capek, masing-masing cuma kedapetan ampas tenaganya aja. 
Itu baru fisik, belum emosional. 2 bulan awal kami tingal di rumah orang tua kami, masing-masing 1 bulan. Ya namanya tinggal di rumah orang tua ya jelas dimanja. Apa-apa disediain. Sampe-sampe saya ngerasa powerless. Ngga bisa nentuin apa yang mau saya lakukan sebenernya. Iya oke dimanja enak, tapi kalau keterusan lama-lama ngga enak juga kan. Ngerasa ngga bisa ngapa-ngapain dan ngga tau mau ngapa-ngapain tuh rasanya ngga enak asli.
Tinggal di rumah baru juga membuat kami harus adaptasi dengan tetangga dan lingkungan sekitar. Ikut kegiatan sana sini, ya arisanlah, tilik tetanggalah, lomba-lombalah, demo masaklah, ono ono wae wkwk. Itu juga habis tu waktu awal kita untuk yang gitu-gitu. Padahal kalau dipikir kami juga butuh adaptasi kan satu sama lain di tempat tinggal kami.
Sama.. kangen perpus.
Beli buku disini mahal banget gela wkwk. Disana gratis bisa pinjam perpus. Kalau disini beli buku yang kaya di perpus sana yaa lumayan lah yaa bisa buat makan 5 hari wkwk.
Tapi so far so good kok Alhamdulillah. Kami udah bisa adaptasi. Lila juga udah ngga nangis-nangis lagi nyari raspberry karena disini ada mangga. Udah ngga nge-mute instastory temen-temen yang masih ada disana (ini penting buat w wkwk biar ga iri). Udah mulai ngga capek ngepel serumah wkwk biasanya mung saknyukan ngepelnya. Ya gitu lah.
Doakan yaaa kami sehat dan bahagia dimanapun kami berada :)
4 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Text
Pisah ranjang (2)
Sekuat kuatnya dan sesiap siapnya mental orang tua, kadang-kadang ngga tega juga sama anak sendiri.
Gitu deh kayanya. Kadang kan kita sebagai orang tua pengen ya anak tu mandiri, apa apa sendiri, ga butuh kita lagi tapi tuh ternyata prakteknya ga semudah ituu. Pasti ada saat saat dimana kita ga tega. Atau ga tahan sama dramanya. Lalu memilih menyerah dan bilang yoweslah, coba besok lagi.
Hal yg sama juga berlaku di saya terkait pisah ranjang ini wkwk (baca part 1 nya disini).
Seperti biasa, saya selalu bilang kalau masing2 anak ini unik. Ga bisa disamakan. Pun dengan pengasuhan orang tuanya. Lila ni bukan tipe anak yg bisa ditegain beberapa hari lalu nerimo. Engga. Ada temen saya misah tidur sama anaknya dengan cara ditutup pintunya sampe pagi. Mau nangis jembret jembret juga ga bakalan dibuka itu pintu. Semingguan lah kaya gitu akhirnya anaknya mau tidur sendiri.
Lila? Sehari digituin, bapernya bisa berhari hari. Nanti minta pangku lah, peluk lah, pokoknya saya bakalan ditawan seharian karena bikin nangis semaleman. Kami pun sebagai orang tua juga pengen Lila melakukan sesuatu tu dengan sadar atas kemauan dia sendiri. Bukan yg nyerah sama aturan dan keadaan. Makannya kami memilih untuk lepas pelan pelan. Makan waktu lama dong? O ya jelas. Belum denger cerita dia sapih menyusu kan? 8 minggu lho prosesnya hee lama ya 😅
Terus gimana tuh proses usaha pisah ranjang sejauh ini?
1. Sounding dulu
Teteppp. Ngebacot is my ultimate weapon wk. Diomongin dulu nih semingguan soal bobo sendirian. Jadi ngga langsung praktek. Dari situ kita tau kenapa anak ini gamau bobo sendirian. Takut gelap? Pasang lampu tidur. Gaada temennya? Kasih boneka besar. Mau cari bunda? Pintu gausah ditutup. Nego aja terus soal teorinya sampe jeleh, sampe muntah, sampe masuk ke alam bawah sadar dia kalau oh gapapa kok tidur sendiri.
Lucunya, Lila sempet nanya gini. "Bunda, bunda marah ga sama Lila?" Saya bingung kan saya kan ga marah. Terus saya tanya kenapa. Eeh tanya lagi dia "Kok Lila tidur sendiri memangnya Bunda marah sama Lila? Maaf ya Bunda.." terus mewek wkwk. Jadiii dia tu ada pikiran kalau tidur sendiri itu hukuman dan saya gamau tidur sama dia karena saya marah. Akhirnya saya tambahin tu "mantranya". Sering sering bilang i love you. Nah catetan jg buat saya, jangan sampe menjadikan tidur sendiri itu ancaman atau hukuman. Kaya "Awas ya kalau ga nurut nanti malam tidur sendiri!" Nah itu inget tu dia nanti, mikirnya disuruh tidur sendiri karena dihukum. Jangan ya..
2. Temenin dulu
Iya laah wkwk.
Saya belum sampe yg tahap ninggalin dia dalam keadaan terjaga terus cium dadah bobo tutup pintu, beluummm wkwk masih jaoohh.
Jadi tahapan untuk Lila ni saya bagi bagi. Satu tahap punya durasi beda-beda. Sesiapnya Lila. Tahap pertama tu bisa semingguan. Sisanya ngikutin dia sesiapnya kapan.
Pertama temenin bobo sambil peluk + pegang rambut + ngaji bareng sampe tidur (ini sama kaya rutinitas bobo dia cuma bedanya skrg di kamarnya dia aja)
Temenin sambil peluk, tanpa pegang rambut. Tapi sisanya sama. Lila tu kalau tidur suka mainan rambut saya, jadi ngelepas ini aja udah pr banget kaya mau lepas nenen wk.
Temenin bobo sambil ngaji tanpa peluk. Awalnya rewel minta peluk tp saya bilang "Bunda disini, Lila bisa dengar suara bunda kan?"
Temenin bobo tanpa ngaji tanpa peluk, udah diem aja di sebelahnya.
Nah terus kalau kebangun tengah malem pun saya tahap tahapin, awalnya tiap dia nangis, saya selalu datang, lama lama saya bilang, kakak yg jalan ke kamar bunda kan dekat. Terus dia protes kan ngantuk, saya bilang "kalau ngantuk ya tidur lagi" eeh beneran dong habis itu dia lancar tidur sampe pagi. Kayanya dia mager deh mau manggil saya juga wkwk.
3. Make a special morning greetings
Lila kalau bangun ga pake nangis, keluar kamar sendiri, heboh deh ayah bundanya.
"Good Morning Sunshineeee~"
"WOAAA ANAK BUNDA BISA BANGUN SENDIRIII!!!"
"WOAA AYAH KAGEETTT ADA ANAK KICIK JALAN SENDIRIAANN!"
Heboh lah. Intinya di encourage, disemangati. Tapi ga dipuji berlebihan. Intinya bukan hebat, mandiri, pinter, bukan. Yg ditekankan tuh "Lila bisa tidur sendiri, bangun sendiri, tanpa menangis"
4. Terus sekarang gimana?
Sampai jumat kemarin, total dia bisa tidur di kamarnya 5 hari berturut turut semaleman tanpa nyariin saya, bangun juga sendiri, ngga pake drama.
Terus... kemarin jumat dia demam.
Yak, coba baca kembali kalimat pembuka. Wk.
Sakit itu musuh terbesar kami deh kalau soal melatih kemandirian, soalnya kalau anak sakit tau sendiri kan lebih demanding dan yg pasti.., iya betul, kasian..
Kasian tidur sendiri, kalau kebangun gimana, kalau demam gimana, kalau dehidrasi gimana, mak nya mulai lebay.
Jadi yaa sekarang mulai lagi deh di fase awal wkwk. Tapi ya mudah mudahan nanti lancar. Doakan yaa!
Elah, tidur sendiri aja banyak banget yaa kayanya yaa wkwk, ribet ga sih bacanya? Pusing ga lo? Wkwk. Anak lain keknya biasa aja gitu hee. Tapii apa? Tiap anak beda. Yak betul.
Gue jaman sd masih nggedor kamar papa mama tiap malem, padahal tidur berdua sama adek. Kadang ditemenin encus. Tapi emang tetep beda sih rasanya kalau tidur di bawah ketek mama 😌
4 notes · View notes
anggidinda · 5 years
Text
Pisah Ranjang
Ambigu kali ni judul wkwk.
Sudah mau 3 tahun usia Lila, udah saatnya juga belajar tidur sendiri. Selain karena faktor usia, faktor dia ga bisa anteng di kasur bikin kami memutuskan untuk "pisah ranjang" sama Lila.
Awalnya kami coba waktu usianya 2 tahun lebih. Waktu itu kami masih tinggal di Swedia dimana rumah kami berbentuk apatemen tipe studio ukuran 25sqm. Praktis cuma 1 kamar doang, jadi tidurnya tetep sebelahan tp dia tidur di box. Gagal karena kami ga kuat iman wkwk ga kuat fisik juga seminggu lebih tidur ga nyenyak karena harus angkat angkat dia dari box berkali kali sepanjang malam. Mending kalau beratnya 3 kilo, ini udah setara tabung gas besar cyin, capek punggung eyke. Akhirnya kami urungkan niat kami pisah ranjang. Box dilipat dan kembali ditaruh di gudang. Yha.
Setelah kami pindah ke Jogja 2 bulan lalu, kami sudah memutuskan untuk pisah kamar sekalian. Menurut berbagai artikel yg saya baca sih katanya lebih mudah mengubah rutinitas ketika sesuatu perubahan besar diikuti oleh perubahan kecil lain. Dalam hal kami, pindah rumah lalu kami ikuti dengan rutinitas tidur kami.
Berhasil? O belum. Wkwk.
Tapi Alhamdulillah prosesnya udah jalan hampir sebulanan dan semakin hari semakin membaik, rekor dia tidur 5 malam berturut turut tanpa kebangun dan paginya keluar sendiri sambil bilang "Anaknya dah bangun nih!" Wk. Cuma 2 hari yg lalu dia demam dan batuk, tidurnya ga nyenyak jadi skrg ditemenin lagi deh :(
Mumpung masih nemenin dan kebetulan minum segelas kopi sebelum tidur (yha, pintar bu anggeey!) coba yaa ku tulis lagi usaha apa yg udah kami lakukan dan prosesnya kek mana ni pisah ranjang sama balita.
1. Sounding itu penting
Tiap anak tu unik, masing masing anak punya perbedaan. Nah Lila ini kalau kami perhatikan, dia nih mudah mengikuti instruksi kalau alasannya jelas, dan disampaikan secara verbal. Dia ni ngga mempan dibacain buku yg temanya soal anak yg bisa tidur sendiri gitu lho, istilahnya "gausah kode kode lah, lu mau gue tidur sendiri lu ngomong aja, gausah bawa bawa orang lain!" gitu wkwk. Sempet bingung cari alesan karena beberapa dimentahin mulu sama dia
B: bobo sendiri ya
L: kenapa?
B: kan Lila dah besar
L: bunda tidur dimana?
B: di kamar sebelah
L: sama ayah?
B: iya
L: kenapa? Kan ayah dah besar..
B: lha iya yak
Atau..
A: bobo sendiri ya
L: kenapa?
A: karena..ayah mau bobo sama bunda
L: aa.. aku juga mau bobo sama bunda
Tetot.
Ga mungkin kan kita bilang
B: bobo sendiri ya?
L: kenapa?
A+B: karena kamiiii mau parteeehhh sampe pageeeehhh
Hedeh.
Tapi akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di alasan "karena Lila sudah besar" terus kami explore lah "udah besar" tuh maksudnya apa, kalau udah besar tu bisa ngapain (Thx to Allie's book 'When I Grow Up') jadi dia sadar kalau dia tuh makin besar makin bisa ngapa2in tp makin banyak pula tanggung jawabnya, termasuk tanggung jawab ke diri sendiri.
Dan..ngasih tau jg kalau dia suka nendang pas tidur, jadi bikin kami sakit, ga bisa tidur, kalau tidurnya ga enak, siangnya ngantuk, nanti ga bisa main sama Lila deh, gitu.
2. Tekankan kepemilikan
Anak anak seumur Lila ni masih besar rasa kepemilikannya. Nah itu juga yg kami manfaatkan untuk melatih kemandiriannya.
Jadi dari awal kami ngenalin "kamar Lila", kami bener2 masukin semua barang dia kesana. Mulai dari lemari baju sampai buku buku. Kami juga bilang "Ini kamar Lila, bunda dan ayah ga boleh masuk sembarangan, kalau masuk bunda dan ayah harus ketok dulu, nunggu ijin dari Lila." Ya meskipun kamar dia ga pernah ditutup tapi kami berusaha untuk ketok ketok dulu sih kalau mau masuk. Dengan begitu dia jadi merasa kamarnya itu beneran punya dia.
Dan.. kalau punya sesuatu itu harus dijaga. Jadi kami minta dia untuk jaga kamarnya dengan cara tidur disana. Kalau dia gamau tidur disana, berarti itu kamar gaada yg punya dong? Kan kosong. Nah biasanya masuk di logika dia ni kalau begini.
3. Dekorasi kamar anak
Okee, dekorasi maksud gue bukan yg wooww kek pinterest gt. Sejauh ini dekorasi kamar Lila itu kertas2 kerjaannya dia (kaya bikin domba pake kapas, atau hasil mewarnai dia yg jelas keluar garis dengan perpaduan warna yg jelas abstrak), stiker Peppa, stiker McQueen, tempelan glow in the dark yg dipasang ga beraturan wkwk tp dia seneng nempelin itu.
Terus dia jg minta dibeliin sprei My Little Pony kalau udah bisa tidur sendiri. Begitu 1 malam berhasil, nagih lah dia. Tp ku juga menagih janji dia untuk tidur sendiri dengan senjata "kan udah beli sprei My Little Pony" wkwk emaknya gamau ngalah.
Dengan ditata sendiri kamarnya sama dia, dia merasa lebih nyaman tinggal disana. Meskipun menurut saya dekorasi yg dia buat bikin mata saya ga nyaman (wkwk) ga masalah, yg penting dia happy.
4. Bebersih sebelum tidur
Biasanya sebelum tidur kami rutinkan sikat gigi, cuci tangan dan kaki, dan pipis. Jadi harapannya, di tengah malam gaada lagi cerita bangun kebelet pipis, kaki gatel gatel atau ada makanan yg nyangkut di gigi.
5. Perhatikan jam tidur
Nah ini penting juga nih. Kalau bisa siang tidurnya maksimal 2 jam, dan bangun ga lebih dari jam 4 sore. Jadi malem tuh jam 9 udah masuk kamar dan siap siap tidur. Kalau bisa sore juga ada aktivitas fisik, jadi energinya beneran habis tu di malem hari, lebih gampang dan nyenyak tidurnya. Asal jangan over tired yaa, yg ada malah cranky.
Sama.. hindari makan manis setelah tidur siang! Lila nih agak sensitif dia sama gula, kena manis dikit bisa sugar rush! Wkwk. Mana mau tidur kaan kalau masih bertenaga.
6. Pilih kasur yang tepat!!1!!!!
Wkwkwk. Kami ngga sadar kalau pilihan kasur kami sejauh ini paling tepat untuk Lila, padahal dulu beli karena lihat harganya terjangkau aja haha.
Jadi kasur yang kami pilih ternyata bejenis pocket spring bed. Kasur jenis ini versi spring bed yang disempurnakan gitu lah kurang lebih. Kalau sping bed biasa kan per-nya sebelahan satu sama lain berjajar, nah kalau pocket spring bed ni masing masing per-nya dikantongin lagi. Efeknya apa? Transfer getaran antara sisi satu dengan yang lain jadi lebih rendah. Jadi kalau kita gerak gerak di satu sisi, sisi yang lain ngga akan kena efeknya. Terus? Jadinya bisa langsung ngacir setelah ngelonin Lila tanpa harus mengikuti jalan ninjaku wkwk. Mau langsung bangun, jalan, atau gulung gulung, Lila ngga akan kena efek apa apa, ga goyang sama sekali, kaya ga berasa. Asal ngga lompat ya haa.
Sama ukurannya juga diperhatiin ya. Kami memilih ukuran 120 untuk Lila karena dia kalau tidur kadang kaya main gobak sodor, pas tidur pala dimanaa, pas bangun udah beda lagi itu letaknya wkwk. Takut jatuh juga dia dari kasur pfft. Kalau yang anteng mah kasur single 90 juga udah cukup insyaAllah.
Gitu lah kurang lebih usaha usaha kami pisah ranjang sejauh ini. Prosesnya besok lagi kali ceritanya, dah ngantuk awak skrg ni.
Woiyak, jangan lupa tiap anak beda beda yaa. Mungkin cara di atas bisa ditiru, tp bukan berarti itu bisa bekerja di tiap anak, karena masing masing anak itu unik 🤗 ada yg mudah prosesnya, ada yg agak tricky, yaa dinikmati sambil cerita cerita kita disini. Kadang kadang hal yg menyebalkan bisa jadi hal yg menyenangkan kalau kita ceritakan ulang.
Selamat menyambut hari Senin!
5 notes · View notes
anggidinda · 6 years
Text
Channel YouTube Favorit
Halo Halo!!
Siapa yang disini suka membatasi anaknya main hp? Istilah kerennya meminimalisir screen time. Saya juga! Tapi saya ga 100% mengharamkan screen time. Cuma yaa diminimalisir aja. Hanya saat saat tertentu. Karena disadari atau engga, gadget itu membantu sekali, youtube khususnya, kalau kita lagi butuh melakukan sesuatu sendiri tanpa anak, misalnya, poop (wkwk), masak, atau nyolong waktu power nap hehe. Asli, udah masuk usia toddler kadang ibunya butuh banget tidur siang colongan, anaknya on terus, ibunya lebih mudah habis baterainya.
Sebetulnya, menerut saya, gadget dan teknologi itu ngga selamanya buruk, asal benar dan efektif, gadget malah bisa jadi sumber pembelajaran juga. Asal ngga mempelajari hidup orang lain aja. Eh. Kebanyakan baca lambe lambean sih. Wk.
Nah untuk channel youtubenya sendiri, saya beneran pilih, terbatas beberapa aja. Dan tentunya ga 100% saya lepas ketika nonton. Ini channel youtube favorit saya dan Lila.
Super Simple Song
Super simple song itu kumpulan nursery rhyme untuk anak anak. Saya pilih channel ini karena pronouncationnya paling jelas sih menurut saya, dan lagu lagunya mudah dihafal.
Dulu pas kecil, saya suka nyetel terus dengerin bareng-bareng, sebagai hiburan kalau saya dan Lila lagi bosen, sambil dijelasin ada gambar apa aja.
Sekarang, usia 2 tahun lebih, saya suka kasih dia 1 atau 2 video sehari kalau dia minta sebagai treat, nah, biar belajar ngomong Bahasa inggris juga, saya akali dengan cara saya kurangi speed videonya, jadi lebih lambat dan dia bias menyerap kata dengan baik. Kalau sudah begini biasanya ngga saya temani. Lumayan bisa selonjoran 3 menit hihi.
Baby Einstein
Baby Einstein itu kumpulan video sains untuk baby. Ada berbagai macam jenisnya, ada animal, benda langit, fenomena alam, dan sebagainya. Jangan dikira ini berat, engga, ini ringan banget. Judulnya aja untuk baby. Conversationnya dikit. Gambarnya yang banyak. Jadi orang tuanya yang dipancing untuk cerita
Contohnya ni, video tentang hewan yang tinggal di Savannah, naratornya Cuma bilang “Let’s find the animal that lives on the savannah..” terus nanti muncul gambar hewan-hewannya. Ada 4 hewan. Nanti dikasih tau itu hewan apa aja. Setelah itu mucul potongan-potongan video berisi keempat hewan tadi, tanpa ada naratornya, jadi kita bisa jelasin sendiri,“Ini gajah, dia selalu berkumpul bersama kawanannya..“ misalnya begitu.
Channel ini cocok sebagai pendamping media belajar Bersama orang tua.
Peppa Pig
Siapa yang ngga suka sama peppa? Haha. Videonya singkat, per episodenya 5 menit aja. Terus episodenya relatable banget dengan kehidupan balita sehari-hari. Lila mulai nonton Peppa usia 2 tahun ketika dia mulai memahami tentang alur cerita.
Ada satu episode yang cukup berkesan buat saya, jadi dulu Lila mau check up ke dokter gigi for the first time. Kami belum pernah baca buku tentang dokter gigi sebelumnya, dan ngga sempat pinjam buku di perpus juga. Akhirnya ada tuh video peppa ke dokter gigi. Saya jelasin deh nanti Lila mau seperti itu juga, seperti Peppa. Alhamdulillah, Qadarullah, Lila enjoy aja pas periksa gigi, dia tau soalnya apa yang akan dilakukan dokter giginya. Periksa aja.
Untuk Peppa, saya juga kurangi speed videonya. Biar makin mudah belajar pronouncationnya, karena akses Britishnya kental. Ibunya bias belajar juga. Dan percaya ngga, parentingnya mommy pig dan daddy pig itu cool juga loh. Kadang saya biarin dia nonton sendirian, kadang saya temani. Tergantung situasinya.
Maryam Masud
Saya tau video Maryam dari Iie (OMG, siapa sih ini disebut-sebut terus, wkwk, tunggu kisahnya). Waktu itu main ke rumah Iie, dan doi cerita Asiyah lagi suka dengerin youtube kakak Maryam. Jadi dia ini anak perempuan, usianya sekitar 8 tahun sekarang, seorang hafizah, tinggal di US. Sejak kecil, dia dan keluarganya konsisten bikin video dia ngaji di youtube. Ngga aneh-aneh. Ngaji aja. Isinya dia duduk, terus ngaji. Udah. Sesederhana itu. Tapi semakin dia besar, mulai ada banyak sih programnya kaya Qur’an with Maryam series, isinya dia ngaji sambil certain kisah tentang suart tersebut. Atau ada juga Ramadhan Challenge yang ngapalin 10 surat pendek selama Ramadhan. Sekarang dia juga punya adek namanya Fatimah, kadang mereka berdua bikin video ngaji bareng, doa bareng, atau main bareng.
Menarik sih ini menurut saya. Maryam adalah satu-satunya channel yang saya kasih lihat Lila tanpa saya dampingi. Semisal saya sholat atau masak, saya kasih aja tuh video Maryam. Karena memang ngga ada apa-apanya, ngaji aja. Dan Lila betah betah aja so far. Lalu, yang jadi nilai tambahnya adalah, ini juga bisa sebagai muroja’ah ketika saya dan ayahnya Lila lagi ngga begitu banyak ngasih waktu buat ngapalin surat. Sepenglihatan kami, Lila makin semangat mengaji ketika contohnya adalah anak lain yang sebaya atau sedikit lebih besar. Kaya diajarin sama temen sendiri gitu.
Daan Alhamdulillahnya lagi, kakak Asiyah juga bikin YouTube yang sama seperti kakak Maryam. Jadi makin banyak pilihan teman muroja’ah Lila hihi.
--
Itu tadi empat channel YouTube favorit kami. Sekarang YouTube juga jadi sumber referensi Saya semisal Saya ngga bisa menjelaskan sesuatu dengan baik dan butuh bantuan visual seperti cerita tentang apa itu tornado, atau siklus hidup kupu-kupu, langsung buka YouTube deh.
Saya percaya kok kalau teknologi itu hadir untuk memudahkan kita. Asalkan kita pinter cari celahnya. Toh nantinya anak kita akan tumbuh di era yang teknologinya jauh lebih maju daripada kita kann? Ngga bijak rasanya kalau harus mengharamkan interaksi dengan gadget. Tapi balik lagi, harus stick sama aturan yaa. Biar ngga kecanduan. 
Selamat berselancar di media sosial!
6 notes · View notes
anggidinda · 6 years
Photo
Tumblr media
Haloo! Assalamualaikum! Alhamdulillah buku antologi pertama dari #nulisyukbatch17 sudah mau naik cetak! Teman teman bisa PO mulai hari ini sampai 5 Maret. Harga 89.000+ongkir dari Kota Banjar, Jawa Barat. Ada 100 cerita tentang kami, para istri. Cerita bermacam-macam, dengan berbagai latar belakang, membuat buku ini hadir bagi para istri agar tidak merasa sendirian ❤ Kalau dibaca para suami bagaimana? Oh tentu bisa. Buku ini InsyaAllah membantu para lelaki menyelami rumitnya pikiran istri yang penuh misteri 😁 cocok juga untuk kado nikahan, sebagai bagian dari awal pembelajaran 🤗 Bagi yang berminat silahkan DM atau comment di bawah yaa. Doakan semoga banyak manfaat ❤ P.S.: InsyaAllah minggu depan saya mau ngadain #giveaway, stay tune yah 😘 https://www.instagram.com/p/BuN4BhSFK6D/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=mehbgapp4iws
1 note · View note
anggidinda · 6 years
Text
Saya salut deh sama orang yang bisa menutupi aib orang lain. Bukan aib yg bisa dighibahkan gitu, bukan. Lebih ke aib orang terdekat. Yang bisa disebarkan lewat cerita berbalut curhat. Yang ngga pernah bilang "Ayahku mah gini gitu, ibuku kan orangnya gini gitu, suamiku halah kaya gatau dia aja, istriku astagfirullah dia itu yaa..." yang gitu gitu tu lho. Yang dia sebetulnya merasa tertekan akan keadaan tapi ngga mau bilang bilang. Yang kalau ditanya is everything ok, yaa ok aja jawabannya sambil mesam mesem.
Mungkin ada yang bisa menyalurkan tekanannya lewat doa doa malam di atas sajadah, bermunajat sampai puas, yakin bahwa semua solusi pasti datang dari Yang Di Atas.
Nah yang bahaya tu yang kalau diem diem baik, tp taunya sakit, terus yaudah merasa ga kuat dengan tekanan terus memilih pergi selamanya diam-diam. Demi menjaga aib. Itu dosa ga ya?
8 notes · View notes
anggidinda · 6 years
Text
Tentang Credit dan Keikhlasan
Ketika kerja kerasmu tidak dihargai, disitu kamu belajar tentang keikhlasan
Gitu sih kata quotes yang tersebar di akun inspiratif masa kini atau pesan yang tersebar di grup whatsapp keluarga, yg biasanya cuma hasil forwardan, dan diawali dengan "selamat pagi sahambat sahabat.."
Iya. Bener kok. Saya mengakui. Apalagi dalam hal pengasuhan dan menjadi ibu. Keikhlasan agaknya ilmu yg harus dimiliki setelah kesabaran.
Sek. Sakjane, ini aku mau sambat wkwk.
Katanya lagi, duh lupa katanya siapa, lupa kalimat exactnya tapi intinya
Nikmatilah proses menjadi seorang ibu, karena ketika kamu berproses (hamil maksudnya) kamu itu pusat perhatian. Ibarat lukisan di ruang utama pameran. Nanti kalau udah lahiran, pusat perhatian itu ya anakmu, kamu itu ibarat figuranya aja, ada tp ngga dianggep. Pfft.
Ya bener ini. Saya inget banget quote ini karena paling relatable sih. Figura itu contoh tepat untuk menggambarkan sosok ibu dalam keluarga. Kalau lukisannya bagus, orang mana peduli sama figuranya? Ada atau engga aja mungkin ga dilihat. Padahal figura punya faktor memperindah lukisan juga. Tapi ketika lukisannya terlihat buruk, bisa jadi figuranya yg disalahin, ga matching lah, ga baguslah, dan sebagainya.
Itu sih yg saya rasain kalau ada yang komen..
"Lohh kok Lila bisa tau ini itu darimana??" YA KARENA DIAJARIN, MPOK...
"Lila sekolah aja biar pinter, jangan di rumah terus nanti ga berkembang.." MENURUT NGANA ANAK W GA BERKEMBANG HA
"Pinter ya Lila, iyalah bapaknya gitu.." MISIII NUMPANG LEWAAATTT
Coba coba ibu ibu pigura lain mana suaranya? Wk cari temen. Uhh suka sebel akutu. Mohon maaf ni dikira anak bisa pinter gitu kalau cuma disuruh nonton orang main FIFA terus? Atau cuma dibekelin hp yg tiap saat muter youtube yg mboh playlistnya apa? Nanti kalau anaknya salah dikit komennya..
"Gimana sih bundamu payah!"
"Bundamu gitu aja ga bisa!"
Yha. Lagu lama.
Pernah sekali tuh ada orang mau muji saya, sekali kalinya nih denger orang ngomong gini
"Wah, anaknya sehat, ibunya pinter ngerawatnya.." baru mau buka mulut untuk hilang makasi taunya ada yg nyautin di belakang "AH ENGGA JUGA"
Woyyy ucet. Kzl bat w.
Ya gitu sih, kapasitas saya memang masih sebatas itu, sebatas ingin kerja kerasnya diakui dan dihargai, karena jujur, saya buta ketika di masa awal saya menjadi seorang ibu, butuh darah, keringat, dan air mata bagi saya untuk belajar soal pengasuhan.
--
Ketika saya mulai lelah usaha saya dipandang sebelah mata, saya tuh malah jadi sadar, oh iya ya, apalah saya ni, ngga akan mungkin anak saya ngga bisa hidup kalau ngga dijaga sama Yang Di Atas. Apalah saya nih minta minta kredit agar orang tau anak itu hasil kerja keras saya? Kenapa gitu mau diakuin banget? Untungnya apa?
Ya susah sih, untuk belajar ikhlas, balik lagi ke quote awal tadi.
Lalu saya sadar, ngapain gitu saya minta minta kredit, minta minta diakui, sama orang? Kenapa ga ngelurusin niat lagi, membesarkan anak itu sebagai ibadah, bentuk syukur udah dikasih anak, ya dirawat dengan baik, bukan karena ingin terlihat hebat, tp nanti anak itu diminta pertanggungjawabannya. Hayolo. Saya siap ngga? Ada loh hal-hal yang jauh lebih besar dari omongan orang.
Gitu sih, kalau lagi bener pikirannya. Kadang.
Ya kalau pas lagi gitu saya berdoa singkat, "Ya Allah semoga hal kecil ini bisa memperberat timbangan amal saya di akhirat kelak." Ndak mau rugi juga akutu, udah usaha keras, masa ndak berdoa, nanti ga dapet apa apa. Padahal sakjane nek sambat yo ga dapet apa apa ga sih. Sesungguhnya kalau saya sambat maka saya merugi? Betul tidak?
Gatau sih bisa disebut ikhlas atau engga, karena saya masih mikir untung rugi, cuma rasanya beda aja pas inget, kalau mau minta apa apa tu ya minta sama Yang Maha Pemberi, kalau minta sama tukang minta-minta juga ya mereka ngga akan ngasih kita apa-apa. Kalau sadar akan hal ini tuh rasanya kaya omongan-omongan di atas tadi tu jadi yoweslah karepmu!
Ya itu tadi tapi. Harus sadar dulu. Kadang saya sadar sih.
Kadang.
Kadang juga engga.
--
Ya ini semacam pikiran negatif dan positif saya beradu jadi satu dalam tulisan, kalau lagi konslet, mikir part atas. Kalau lagi bener, bisa setenang yg di bawah. Apalah saya ni, hatinya mudah dibolak-balik.
5 notes · View notes
anggidinda · 6 years
Text
REFUGEE
Mulai bosan dengan buku buku yang saya baca, yang ngga jauh dari parenting dan psikologi anak, selama 2 tahun terakhir ini, saya memutuskan untuk mulai mencari bacaan dari section lain. Pengennya yang ringan, macem novel teenlit gitu wk, inget umur Buu, tapi juga pengen baca sesuatu yang ada manfaatnya juga, bukan cuma haha hehe. Terus pas banget kemarin muterin perpus, baru ngeh ada section untuk youth di lantai yang sama untuk anak-anak. So happy ndak usah effort naik tangga ke lantai lain. Mulai carilah di section itu buku mana yang nyantol yang mudah dibaca untuk mamak mamak tapi juga ngga yang ringan-ringan banget.
Harry Potter, skip.
Marry Poppin, skip.
Diary of Wimpy Kid, skip.
Udah mau menyerah, di ujung section nemu novel bersampul hitam yang cukup eye catching, it’s kind of adventure, just like the other youth novel, but sure, this is the real one. Real adventure in this cruel world.
Tumblr media
Dan di saat yang sama juga, di perpus sedang diadakan pameran dengan judul Min Flykt över Havet, Refugee Across the Sea. Dalam eksibisi tersebut, terpajang foto-foto, dokumen, serta video dari berbagai refugee yang masuk ke Swedia. Terdapat banyak video yang mewawancarai refugee yang berasal dari Jerman, dari perang Vietnam, maupun dari Syria. Ya, Swedia memang terkenal ramah terhadap refugee dari jaman Holocoust. Exhibition tersebut sudah saya datangi sebelumnya dan masih cukup teringat. Oke, saya ambil buku tersebut daann sudah selesai saya baca.
“Some novels are engaging and some novels are important. Refugee is both.”-Ruta Sepetys, #1 New York Time bestselling author of Salt to the Sea.
Saya setuju sama review beliau di atas. Itu juga yang saya rasakan di buku tersebut. Ceritanya bikin saya mau baca terus, dan historical facts nya menambah wawasan saya tentang kejadian-kejadian di masa lalu.
Buku ini menceritakan 3 kisah : Josef, Isabel, dan Mahmoud, dengan latar waktu dan tempat yang berbeda, mereka memiliki misi yang sama: melarikan diri. Pergi dari negaranya yang berkonflik.
Baca buku ini lalu mengingat exhibition tentang refugee, bikin saya bisa mengimajinasikan seperti apa rasanya jadi mereka.
Tumblr media
Josef, seorang anak Yahudi bertempat tinggal di Jerman, yang harus melarikan diri dan negaranya akibat kekejaman Hitler. Berlatar tahun 1930-an, Josef sekeluarga pergi keluar Jerman dengan menggunakan kapal besar bernama St. Louis. Mereka, dan 900-an keluarga Yahudi lain, berlayar ke belahan bumi lain, ke Kuba, untuk mencari suaka dan perlindungan.
Meskipun di kapal mereka diperlakukan layaknya seorang penumpang pada umumnya (mendapat kabin kelas 1, kamar full fasilitas, kolam renang, teater, dsb), Ayah Josef, Aaron Landau, menaruh kecurigaan yang sangat tinggi terhadap sekitarnya. Wajar, karena Aaron baru saja keluar dari camp konsentrasi Nazi bernama Dachau, tinggal disana selama 6 bulan setelah ditangkap pada Kristallnacht, the Night of Broken Glass. Ingatannya dan psikologisnya terganggu, membuat permasalahan sendiri pada keluarga Josef.
Foto di atas diambil di lokasi Öresund, selat antara Swedia dan Denmark. Pengungsi Yahudi dari Jerman bergerak mencari suaka sampai kesana. Setiap keluarga Yahudi wajib membawa surat dengan cap J besar berwarna merah, agar mereka mudah dikenali sebagai Jews.
Tumblr media
Isabel, seorang anak perempuan di Kuba, melarikan diri bersama keluarganya ke Amerika, demi keluar dari krisis berkepanjangan di Kuba tahun 1994, di bawah pemerintahan Fidel Castro.
Dia melarikan diri bersama ayahnya, ibunya (yang hamil 9 bulan), kakeknya, dan temannya, Ivan, serta keluarga Ivan. Mereka melarikan diri dari Havana ke Florida, melewati selat Florida, menggunakan kapal buatan sendiri, yang lebih terlihat seperti peti mati, daripada perahu.
Konflik yang dialami Isabel terjadi di perjalanan. Ya bayangin aja nyebrang laut dengan kapal seadanya, yang lama-lama bocor, terombang-ambing di laut, ada hiu, ada badai, motor kapal rusak, ngga punya peta, terdampar di Bahama hanya untuk ditolak, tujuannya cuma satu, kabur, untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Foto di atas sebetulnya foto refugee dari perang Vietnam, tapi cukup membuat saya membayangkan seperti apa rasanya menjadi Isabel.
Tumblr media
Mahmoud, seorang anak dari Syria, seumur hidupnya berusaha menjadi invisible agar tidak mendapat masalah di tempat tinggalnya, Aleppo. Tiba-tiba dia harus belajar menjadi visible, bahkan outstanding, ketika dia pergi begitu saja dari rumahnya setelah bom menghancurkannya secara tiba-tiba.
Cerita Mahmoud mungkin lebih saya pahami karena saya pernah mendengar ceritanya langsung dari mereka sendiri. Bagaimana mereka harus mengeluarkan banyak uang agar bisa keluar negaranya, melewati berbagai border negara, penolakan dimana-mana, menyebrang selat Mediterania agar bisa ke Yunani, tebak pake apa? Perahu karet!
Sama seperti Mahmoud yang menyebrang lautan dengan perahu karet, mengambang di tengah laut selama beberapa jam sampai akhirnya menabrak batu dan hancur. Dia harus bertahan hidup mengambang di laut semalaman.
Foto di atas merupakan tumpukan life jacket, yang mostly tidak berfungsi, yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya stelah sampai ke daratan. Persis seperti yang digambarkan Mahmoud ketika sampai di Lesbos. Dia bilang Lesbos itu cantik, dengan perbukitan berwarna pink, manis sekali. Tapi setelah didekati, ternyata itu bukan perbukitan pink, itu tumpukan life jacket.
Tumblr media
“Just because it’s not happening to you, doesn’t mean it’s not happening..”
Ya benar. Saya sendiri ngga pernah sebegininya tau tentang refugee. Sebelumnya cuma sekedar, oh kasihan. Udah. Tapi ngebaca ceritanya, ketemu dengan orangnya, melihat fotonya, rasanya, lebih, waah ternyata itu beneran terjadi dan dekat dengan kita, dan.. kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka!
Ngga pernah menyangka sebelumnya bahwa tinggal di negara yang aman dan damai merupakan sebuah nikmat yang harusnya bias saya syukuri. Indonesia memang masih negara berkembang, tapi kita negara yang aman, setidaknya dari saya lahir, sampai sekarang. Saya ngga kebayang gimana rasanya harus terusir dari negara sendiri. Mudah-mudahan negara kita selalu aman sejahtera.
Tumblr media
3 notes · View notes