Text
Jam 2 malam, @ bertanya, "Apa yang masih kamu jaga hari ini, Kar?"
.
Dia mengatakan MASIH dengan hati-hati. Dia tahu, dulu, banyak sekali yang saya jaga: sahabat, karya, posisi...
.
Saya sangat menjaga perasaan sahabat dan menyenangkan mereka seakan-akan mereka itu tidak akan bahagia tanpa saya.
.
Saya sangat marah setiap karya saya dihujat seakan-akan karya itu sepenuhnya adalah hasil dari kemampuan saya.
.
Dan saya betul-betul tidak bisa menggeser posisi saya sebagai orang yang paling dipercaya dalam sebuah organisasi.
.
Semua itu pelan-pelan Allah ambil.
.
Saya sudah tidak peduli bagaimana sahabat yang saya cintai satu persatu Allah takdirkan jauh dari saya. Saya percaya Allah-lah yang akan menjaga mereka ketika mereka mau dijaga Allah.
.
Saya tidak ambil pusing ketika ada komentar jelek atas karya saya. Justru saya sangat senang ketika banyak orang menghabiskan waktu memikirkan perkembangan saya dalam berkarya.
.
Saya juga tidak merasa memiliki posisi apa-apa sekarang. Saya bebas melakukan apa pun yang Allah suka tanpa khawatir terhadap besarnya nama kampus dan segala embel-embel di dalamnya.
.
Saya percaya bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah.
.
Tentu, semua butuh pengorbanan.
.
Butuh pengorbanan untuk meruntuhkan apa-apa yang selama ini saya jaga. Dan, sekarang, saya masih merasa banyak tandingan-tandingan Allah yang menguasai diri saya. Tapi saya belum tahu apakah itu.
.
"Apa yang masih saya jaga, mungkin..." saya berkata lirih malam itu sambil memeriksa ke dalam hati, "Harga diri."
.
"Kamu tahu gak Kar apa yang paling dijaga sama Maryam, ibunda Isa?"
.
"Apa?"
.
"Kehormatan," kata kawan saya itu. "Dia perempuan yang gak pernah sekalipun deket sama laki-laki. Dia benci difitnah. Tapi Allah ngebuat dia jadi wanita yang hamil tanpa suami! Allah pengen ngetest kecintaan seorang hamba dan Allah pengen dia kembali."
.
"Waduh!" saya terpekik dan memikirkan bagaimana seandainya saya berhadapan dengan situasi di mana saya harus mempertaruhkan harga diri.
.
"Inget apa yang paling dijaga sama Ibrahim? Anaknya! Tapi Allah minta anaknya itu. Nah kita sanggup gak ya Kar, kehilangan apa yang selama ini kita jaga?"
.
Saya terdiam.
.
#renunganhariini #muhasabah
Sc: instagram.com/kartinifastuti
5 notes
·
View notes
Text
Obrolan dengan istri waktu weekend:
1. Kalau dikasih umur panjang, saya tidak mau kelak tinggal bersama anak-anak. Lebih baik hidup berdua dengan istri saja sampai tua. Kami tidak mau merepotkan orang lain.
2. Saya ingin sampai tua seperti Bapak, sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain, walaupun itu ke anak dan istri sendiri. Kalau ada urusan dinas, saya lebih suka pergi dan pulang sendiri ke/dari stasiun/bandara/pool travel, toh taksi/uber/gojek ada banyak. Maka jangan tersinggung kalau saya tidak mau diambilkan nasi atau disiapkan baju. Saya tidak mengawini kamu supaya saya bisa mendapatkan layanan semacam itu. Jangan merasa rikuh juga kalau setelah makan saya ikut membereskan piring kotor, itu sudah sewajarnya dalam kehidupan suami istri yang egaliter (sama rata).
3. Saya ini penakut, makanya tidak suka berhutang. Lebih baik kendaraan dan rumah kita sederhana, tapi hidup tenang. Meskipun begitu, saya tidak ingin kamu hidup susah. Sudah fitrah setiap perempuan untuk hidup enak (asal tidak berlebihan), dan tanggung jawab suami untuk bekerja keras menyediakannya.
4. Kelak kalau anak-anak sudah besar, saya ingin mereka bangga dengan karakter dan isi otak orangtuanya, bukan semata dengan isi rumah dan tabungannya.
5. Andaikata kita nanti ada yang jadi pejabat, saya tidak mau kalau datang ke kawinan dapat jalur VIP dan skip antrian salaman ke pengantin. Menurut saya yang seperti itu adalah urusan personal, dan apa jeleknya toh mengantri dengan sabar barang 10-15 menit.
5. Kamu malu/rikuh dilihatin orang-orang ketika mengembalikan baki makanan ke tempatnya, saat makan di KFC/McD? Saya tidak. Di Belanda kita melakukan itu dengan senang hati, dan itu adalah kebiasaan yang baik. Kita tidak berhenti melakukan kebiasaan baik hanya karena lingkungan tidak melakukannya. Maka saya pun cuek saja dilihatin orang-orang setiap kali pergi berdua saja dengan Kinan. Apa salahnya seorang bapak mengasuh anaknya. Saya ingin kita menjadi keluarga yang tidak terlalu memikirkan omongan orang lain untuk hal-hal yang tidak esensial. Every family are for themselves.
6. Kita kasih nama tengah anak kita, "Zahid", harus selalu diingat tujuannya. Boleh dia pintar, boleh dia berprestasi, tapi harus selalu rendah hati. Orang pintar banyak, tapi tidak semua rendah hati dan punya empati ke lingkungan sekitar.
7. Janganlah kamu mengurusi urusan orang lain. Banyak detail yang kita tidak tahu. Asumsi kita itu bisa saja salah.
8. Saya ini kalau ngomong blak-blakan, tapi tidak pernah saya bermaksud untuk menyakiti. Jadi kalau ada salah, mohon maaf dan silakan dikoreksi, saya akan terima. I'm no superman, masih perlu banyak belajar. Keluarga saya mendidik untuk memperlakukan isteri setara dengan suami. Semua keputusan diambil bersama dan didiskusikan.
Disarikan dr rully tri cahyono
0 notes
Text
Hari Ibu bukan Mother’s Day!
Setengah abad lebih bangsa ini mengingat 22 Desember sebagai hari ibu. Waktu yang cukup lama kadang tidak selalu berarti baik, karena alih-alih semakin meresapi perayaan hari ibu, putaran zaman malah menggerus makna hari ibu itu sendiri.
Lalu bagaimana seharusnya kita memaknai hari ibu? Mau tidak mau kita harus menilik kembali sejarahnya. Hari ibu resmi dirayakan secara nasional di Indonesia sejak tahun 1959. Ketika itu Presiden Soekarno meresmikan hari ibu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959. Tanggal 22 Desember dipilih karena 31 tahun sebelumnya pada tanggal yang sama Kongres Perempuan Indonesia pertama diselenggarakan. Hal ini berbeda sekali dengan kebanyakan negara di dunia yang merayakan mother’s day pada Minggu kedua bulan Mei. Bukan hanya tanggalnya yang berbeda tetapi makna dari hari ibu dan mother’s day itu pun sangat berbeda pula. Jika di negeri lain, mother’s day dirayakan “sebatas” untuk menghargai jasa para ibu, maka hari Ibu di Indonesia memiliki arti yang lebih dari itu. Pemilihan 22 Desember sebagai hari Ibu tidak lepas dari perjuangan para kaum wanita dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan menegaskan bahwa wanita merupakan bagian integral yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia. Mungkin terdengar sederhana di abad ini, tetapi tidak di tahun 1928.
Perjuangan Para Muslimat
Salah satu penggagas Kongres Perempuan Indonesia adalah ‘Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom bagi Wanita Muhammadiyah yang didirikan pada 19 Mei 1917. Bersama dengan Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, Jong Islamieten Bond dan perkumpulan perempuan lainnya ‘Aisyiyah memperjuangkan hak-hak perempuan utamanya masalah pendidikan dan hukum bagi perempuan yang ketika itu masih menjadi masalah besar. Adanya perkumpulan perempuan berbasis Islam dalam Kongres tersebut mematahkan tudingan bahwa nilai-nilai Islam lah yang pada zaman itu menjadi penghalang bagi hak asasi perempuan, karena yang sebenarnya terjadi nilai-nilai tersebut bukan berasal dari Islam melainkan sisa-sisa zaman feodal ketika Islam belum hadir. Maka tidak aneh ketika perkumpulan perempuan seperti ‘Aisyiyah pun turut bergabung dalam pergerakan ini. Hadirnya perkumpulan wanita Islam dalam kongres juga turut mengawal kongres agar tidak jatuh pada feminisme yang cenderung liberal.
Hari Ibu bukan Hari Perempuan
Ada banyak pendapat kenapa pemerintah menetapkan 22 Desember sebagai hari ibu, bukan hari perempuan. Terlepas dari itu, pemilihan kata ibu dibanding perempuan memang lebih tepat. Pada tahun 1935, Kongres Perempuan Indonesia sepakat, salah satu cara Perempuan Indonesia membantu kemerdekaan Indonesia adalah mereka berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan. Ya, mereka dengan penuh kesadaran mengambil peran sebagai Ibu Bangsa. Bahwa dengan menjadi ibu perjuangan seorang perempuan dapat lebih optimal untuk kemajuan bangsa.
Ibu adalah sekolah, jika kau siapkan ia dengan baik, Maka kau telah menyiapkan generasi harapan Ibu adalah taman, jika kau tata dan kau rawat, Maka ia akan menjadi indah menghijau hamparan Ibu adalah guru para pendidik ulung Yang pengaruhnya menyebari segala penjuru dunia peradaban
(Hafizh Ibrahim)
14 notes
·
View notes
Text
Palestina Adalah “Qadhiyah Markaziyah” Kita
@edgarhamas
Umur umat ini sudah 14 abad lamanya. Sebuah umat besar, yang ujung timurnya ada di Jepang, dan ujung baratnya ada di bilah-bilah tanah Alaska. Umat Islam, 1,3 miliar jiwa, hidup terombang ambing kini dalam kekalutan.
Masalahnya adalah; sebenarnya umat ini kuat, bahkan musuh Islam tahu itu. Hanya saja, setelah melalui pertempuran panjang melawan umat Islam, para musuh menyadari; bahwa untuk melawan singa gagah itu, mestilah buat ia lupa bahwa ia adalah singa. Akhirnya, mereka mengambil jalan; lakukan apapun agar umat Islam melupakan “muqaddasat” mereka.
Apa itu muqaddasat? Muqaddasat adalah hal-hal yang sakral dalam ajaran Islam. Sesuatu yang menjadi simbol utama umat Islam. Generator yang menggerakkan jiwa semilyar umat Islam. Al Qur'an, Rasulullah, kota Makkah dan Madinah, juga Al Aqsha, adalah bagian sangat penting dalam muqaddasat kaum Muslimin.
“Kamu sekalian tidak akan bisa mengalahkan orang-orang Islam di medan pertempuran fisik”, kata raja Louis IX Panglima Perang Salib VII kepada menteri dan pasukannya, “pertama, kami harus mengalahkan mereka dalam pertempuran pemikiran, buat mereka jauh dari muqaddasat mereka, lalu barulah kamu sekalian bisa menaklukan mereka dengan mudah.”
Nah, itulah yang membuat pada tahun 1948, ketika zionis yahudi masuk ke Palestina dan mengumumkan berdirinya penjajahan mereka, tidak sedikit orang Palestina yang seakan tak percaya, menganggapnya sebagai sebuah candaan atau perkara biasa. Sebab saat itu, faktanya, umat Islam sedang kehilangan kesadaran mereka untuk berjihad. Ini terjadi hingga 1987, ketika akhirnya seorang Syaikh bernama Ahmad Yasin, berhasil membangkitkan kesadaran berislam pada jiwa rakyat Palestina.
Palestina adalah Qadhiyah Markaziyah kita, artinya; permasalahan utama kita. Setiap pahlawan di sepanjang zaman, selalu menjadikan Palestina sebagai final stage yang jadi target utama. Sebab memang pada hakikatnya, di tanah itulah pusat kekuatan dunia, sehingga banyak sekali kekuatan besar berencana merebutnya. Diantaranya pasukan salib dari 22 negara Eropa, pasukan Mongol, pasukan Napoleon Bonaparte, hingga blok Sekutu dalam Perang Dunia I.
Bayangkan betapa mahalnya tanah Palestina, sehingga ketika Theodor Hertzl -dia adalah pemimpin utama dan pertama zionid yahudi modern- datang kepada Sultan Abdul Hamid II Khalifah Utsmani, hanya untuk menyewa satu desa mungil di Palestina sebagai pemukiman Yahudi, Sultan menjawab,
“Nasihati Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini, karena ia bukanlah milikku. Tanah ini adalah hak Umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiramnya dengan darah mereka.”
Maka, jika kemarin ada yang bertanya, “kalau sekedar memprotes trump dan zionis di media sosial, mengadakan aksi, membuat seminar dan kajian, apakah tidak ada gunanya juga?”
Jawabannya; satu pertanyaan; Apa kira-kira yang zionis yahudi takutkan? Sungguh yang mereka takutkan adalah ketika umat Islam kembali memiliki perhatian dan komitmen untuk membebaskan Masjid Al Aqsha.
Seorang pemuda Indonesia di ujung pulau di balik bilik kamarnya, mengkaji Palestina dan mengilmuinya, adalah lebih menakutkan bagi zionis daripada konferensi negara-negara sedunia yang hanya berujung gagasan hampa.
Maka, jangan pernah remehkan langkahmu sendiri, sahabat. Ialah Palestina, “jika memang kita tak bisa untuk melangkah di atasnya, marilah kita melangitkan doa sembari menitipkan surat cinta pada angin; katakan pada Palestina, bahwa aku mencintainya.”
Bangunlah Al Aqsha di hatimu, niscaya kelak ia akan kembali tegak berjaya di muka bumi.
545 notes
·
View notes
Text
Deadline
Kartika f astuti
DEADLINE
Baru saja saya mengejar deadline Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam sebuah event. Deadline itu bikin saya resah. Saya jadi teringat masa-masa kuliah.
Teman-teman bilang saya deadliner. Padahal, rasa-rasanya, dulu saya tidak pernah mengejar deadline pengumpulan tugas. Beneran deh. Lebih tepatnya, saya sengaja ngelewatin setiap batas deadline. Biarlah deadline yang mengejar saya. Biarkan saya berlari. Saya menyukai detik-detik menegangkan. Ups, jangan dicontoh.
Tetapi entah kenapa kali itu saya kepikiran terus. Mungkin adakalanya seseorang berubah untuk pelan-pelan menghargai waktu. Semakin tua nyatanya kesibukan semakin tak terkendali.
Saya menghubungi panitianya dan menanyakan apakah masih ada kelonggaran. Waktu itu hampir jam dua belas malam. Karya tulis saya masih terhitung tujuh puluh persen. Tambahan satu jam dengan jurus mabuk ala keyboard ranger mungkin cukup untuk merampungkannya.
Tidak lama, panitianya merespon, “Baiklah. Ditunggu sampai pagi.”
Saya melotot. Tak menyangka sekaligus lega. Saya bisa santai berjam-jam!
Pelan-pelan saya mengayunkan kepala ke bantal lalu jatuh tertidur dan bermimpi bertemu dosen yang sering saya lalaikan tugas-tugasnya. Aduh, itu berasa nyata. Bahkan detail mimpinya saya ingat persis.
Saya bangun berkeringat dingin dan dengan menyesal mengirimkan karya seadanya. Oh, Tuhan. Saya merasa gagal bahkan sebelum saya menatap judul karya tulis saya di folder laptop. Saya memang menyedihkan.
Hari itu akhir pekan. Ada seorang teman yang tengah menempuh S2 di jurusan Mikrobiologi dan baru selesai sidang setelah penantian yang cukup lama. Dia petantang-petenteng membawa kardus bekas. Saya diajak untuk menemaninya menjemput buku-buku di sebuah gang di Ciumbuleuit.
Begitu sampai di lantai dua sebuah rumah, saya mendapati banyak sekali buku bergambar kuman, bakteri, kumannya bakteri, atau sejenisnya—yang satu bukunya setebal tiga tumpukan bantal. Judul-judulnya sulit saya hafal.
Saat semuanya gotong royong mengangkut buku-buku itu ke lantai bawah, saya bertanya, “Buku sebanyak ini kok dikasih sama kamu?”
Teman saya tidak lantas menjawab. Ia cipika-cipiki dengan perempuan berambut pirang yang memakai tanktop, membetulkan kunci pagar, lalu menyalakan motor. Satu kardus buku-buku itu telah diletakkan di jok motor untuk saya peluk. Agaknya lebih berat daripada beras satu karung.
Di perempatan lampu merah, teman saya baru bercerita, “Kar, itu temen sekelas aku. Jenius loh orangnya. Tapi enggak tahu kenapa, tesisnya ditolak terus sama dosen. Sekarang dia di-DO.”
“Iya?”
Gara-gara saya kaget, motor pun oleng. Klakson bersahutan. Lampu berkedip merah.
Teman saya masih bercerita sambil melajukan kembali motornya, “Dia pindah ke swasta di jurusan yang beda. Makanya, buku-bukunya sekarang dikasih ke aku.”
Suasana kemacetan hari itu mengarahkan kami untuk bicara tentang kesibukan. Teman saya berujar, “Kalau Tesis ratusan lembar bisa ditolak, ibadah kita selama ini diterima enggak ya?”
Saya terdiam.
“Dan kalau deadline dari dosen bisa diundur, deadline panggilan dari Allah kan mana bisa ya?”
Saya tidak sanggup berkata apa pun.
“Deadline kita kapan, ya, Kar?” teriak teman saya, mengira saya tidak mendengar. “Kar?”
Lewat kaca spion, dia melirik raut wajah saya yang tiba-tiba sendu. Nada bicaranya langsung berubah. “Masalahnya deadline dari Allah itu enggak dikasih tahu nih. Kalau dikasih tahu kan kita bisa nyantai. Lah, kalau besok kita mati gimana? Emang kita pede ketemu Allah dalam keadaan gini?”
Saya merenung ke dalam diri saya sendiri. Mungkin selama ini saya hanya sebatang lilin yang menerangi diri saya sendiri sampai lambat laun meleleh dan habis. Mungkin selama ini saya hanya melakukan rutinitas untuk memuaskan diri saya sendiri.
Saya lalu bertekad untuk menyalakan sumbu lilin yang lain, memberikan cinta seluas-luasnya. Semata agar api tidak redup di tangan saya. Kebetulan saya ada janji ketemu anak kedokteran yang sedang ko-as di RSHS. Itu kali kedua saya bertemu dengannya. Kami membahas istilah medis dan berbagi cerita soal keluarga.
Di masjid, saya sesenggukan dalam rukuk dan tumpah air mata saya sewaktu sujud. Shalat magrib hari itu ternyata dilanjutkan dengan shalat jenazah.
Siapa yang sedang terbaring dengan berbalut kain batik itu? Saya tak tahu. Tapi saya bayangkan saya sedang dalam keadaan seperti itu. Tidak mampu bergerak lagi. Deadline saya berakhir, tinggal digiring ke tanah.
Usai melipat mukena, perempuan itu bertanya, “Kakak kenapa?”
“Sedih aja. Inget dosa.”
“Ya ampun. Aku kapan bisa nangis segitunya?”
“Justru Kakak lagi nangisin diri Kakak yang enggak mampu nangis akhir-akhir ini," saya terkekeh. "Kakak sebel sama diri Kakak yang sombong, yang ngerasa pinter, ngerasa cukup. Mungkin emang bener, seruan Allah itu datang dari diri yang ngerasa bodoh."
"Bodoh?"
"Saat ngerasa bodoh, saat itulah kita ngerasa kurang. Jadinya kita terbuka, banyak cerita dan banyak ngedengerin orang. Berbagi pikiran, bukan malah adu wawasan.”
---
Setiap orang punya waktu kejutan, punya deadlinenya masing-masing. Bisa jadi besok atau sekarang atau lusa.
Saya ingat, dalam sebuah reuni organisasi, ada seseorang yang sempat bertanya, “Kalau kita semua tahu bahwa deadline matinya kita itu besok, setelah divonis dokter kena kanker misalnya, apa yang mungkin kita lakukan?”
Kebanyakan orang mengatakan mereka akan memperbanyak zikir, taubat, berbagi dengan sesama, minta maaf serta berterima kasih pada orangtua. Ada juga yang bilang siap menikah seketika itu juga. Semua punya jawaban dan alasan masing-masing.
“Terus apa jawaban kamu, Kar?” tanya mereka.
Saya bilang, “Belajar.”
Semua saling berpandangan. Entah saat itu saya menemukan jawaban dari mana. Tapi sekeras apa pun saya berpikir, yang keluar hanyalah menimba ilmu.
“Belajar.” Beberapa detik kemudian saya melanjutkan kata-kata saya, “Belajar biar diterima taubatnya. Belajar biar tahu hadiah apa yang paling mewakili rasa terima kasih aku sama orangtua, belajar gimana jadi orang yang baik, belajar cara ngendaliin hawa nafsu, belajar cara ngelurusin niat. Belajar biar hidup aku, semua ibadah aku dalam waktu yang tinggal sehari, enggak sia-sia.”
Memang bukan jumlah amal yang membuat kita selamat. Tapi rahmat-Nya. Maka, sampai deadline waktu kita tiba, jangan lupakan belajar untuk mendapatkan rahmat itu karena Allah.
Bandung, 2017
1 note
·
View note
Text
Menikahkan orang lain?
Wkwkk mungkin istilah yg tepat bukan menikahkan ya berasa penghulu, ngecomblangin deh. Cung yg suka ngecomblangin? Tos! Sama dong kita. Dari jaman smp kerjaannya begitu tuh. Ngecomblangin orang nikah padahal dirinya jomblo. Yang begini nih yang bikin dijitak 😅
Ngecomblangin orang itu seru! Seneng rasanya ngeliat yg baik bisa ketemu yg baik yg sholeh ketemu yg sholeh. Beuh.. berasa Allah taro surga lebih cepat depan mata. Adem bener.
Orang sholeh kesendiriannya aja pahalanya udah banyak apalagi kalau dibikin nikah, 24 jam isinya bisa pahala semua dah. Dari mulai mereka akad sampai mati, kite-kite kecipratan tuh pahala tiap detiknya. Masyaallah :')
Iri! sama orang yg bisa nyomblangin pasangan ini nih. Ga kebayang pahalanya yang digaet segeda apa.
Saat pasangan itu tlah menjadi seorang ayah & ibu. Sang ayah pernah mengambil dan langsung mengendong anaknya yang sedang asyik bermain bersama teman-temannya. Kemudian ia berkata," Aku tidak menikahi ibumu agar kamu sekedar bermain dengan yg lain. Tapi aku menikahi ibumu agar kamu membebaskan Al Aqsha."
Dasyat ga tuh? Apalagi pas ada adegan si anak jatuh, ayahnya nanya," Itu pasti sakit, kenapa ga mengerang?" kemudian sang anak menjawab," Wahai ayah, tidak pantas bagi seorang pembebas Al Aqsha mengerang."
Ya Allah.. Masih bocah udah bisa ngomong begitu. Sampai akhirnya Allah memeluk mimpi itu jadi kenyataan di tgl 2 Oktober 1187. Ialah sang Shalahuddin Al Ayubi, penakluk Al Quds/Jerusalem, yang lahir dan dibentuk dari orangtua yang memiliki impian yang sama sebelum menikah.
Sebuah impian untuk memiliki pasangan hidup yang berorientasi membebaskan Al-Aqsha. Jadi kalau hari ini orientasi nikah kita masih pada tahap menghilangkan rasa sepi, yuk kita revisi biar pahalanya bisa kaya bom kebaikan. Yang ga abis-abis walau kita udah ndak ada. Menaklukan Roma misalnya? 😉
Ya Allah moga makin banyak ketemu orang kece kaya begitu di dunia dan semoga-semoga-semoga kita juga bisa begitu. Biar kalau Allah panggil kapanpun, tabungan pahala kita cukup buat nyelematin diri dari hisabNya.
Terakhir, sejarah membuktikan bahwa dari dulu sampai sekarang, Al Quds/Jerusalem milik muslim. GO GO GO PALESTINE ! I'M COMING !!!
📷 jurnalislam.com
0 notes
Text
Rizki
Penyemangat dipagi hari
Kalau rizki itu diukur dari kerja keras ... maka kuli bangunan lah yg akan cepat kaya
Jika rizki itu ditentukan dr waktu kerja maka warung kopi 24 jam lah yg akan lbh mendapatkanya ...
bahkan mungkin mampu mengalahkan rstoran cepat saji.....
Jika rizki itu milik orang pintar .maka dosen yg bergelar panjang yg akan lbh kaya ...
Jika rizki itu karena jabatan maka presiden dan rajalah orang yg akan menduduki 100 orang terkaya di dunia ...
Rizki itu karena kasih sayang Allah.
" Mengejar rizki..jangan mengejar jumlahnya ... Tetapi berkahnya "
( Ali bin Abi Thalib )
MESKIPUN LARI, RIZKIMU AKAN TETAP MENGEJARMU
“Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya.” (HR Ibnu Hibban No. 1084)
Miskin kaya sudah ada yang mengaturnya.
ABDURRAHMAN BIN AUF SELALU GAGAL JADI ORANG MISKIN
Jika tiba-tiba kondisi ekonomi "down", saya selalu terhibur mengingat kisah bisnis Abdurrahman bin Auf, tentang investasinya membeli kurma busuk.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, Abdurrahman bin Auf r.a akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya.
Ini karena orang yang paling kaya akan dihisab paling lama.
Maka mendengar ini, Abdul Rahman bin Auf r.a pun berfikir keras, bagaimana agar bisa kembali menjadi miskin supaya dapat masuk syurga lebih awal.
Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi busuk. Lalu harganya jatuh.
Abdurrahman bin Auf r.a pun menjual semua hartanya, kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga kurma bagus.
Semuanya bersyukur..Alhamdulillah..kurma yang dikhawatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras! Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf. Sahabat gembira.
Abdurrahman bin Auf r.a pun juga gembira.
Sahabat lain gembira sebab semua dagangannya laku.
Abdurrahman bin Auf r.a gembira juga sebab...berharap
jatuh miskin!
Masya Allah....hebat
Coba kalau kita? Usaha diuji dikit, udah teriak tak tentu arah.
Abdurrahman bin Auf r.a merasa sangat lega, sebab tahu akan bakal masuk surga dulu, sebab sudah miskin.
Namun.. Masya Allah
Rencana Allah Subhanahu wa ta'ala itu memang terbaik..
Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita, Raja Yaman mencari kurma busuk.
Rupa-rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit menular, dan obat yang cocok adalah KURMA BUSUK !
Utusan Raja Yaman berniat memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf r.a dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.
Allahu Akbar....
Orang lain berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin tapi selalu gagal. Benarlah firman Allah:
"Wahai manusia, di langit ada rezki bagi kalian. Juga semua karunia yang dijanjikan pada kalian " (Qs. Adz Dzariat, 22 )
Jadi.. yang banyak memberi rezeki itu datangnya dari kurma yang bagus atau kurma yang busuk?
Allah Subhanahu wa ta'ala lah yang Memberi rezki
Semoga kisah ini dapat menyuntik kembali semangat dalam diri kita semua, yang sedang diuji dalam pekerjaan dan usaha kita, UNTUK LEBIH MENGUTAMAKAN URUSAN Kepada Allah dibanding urusan dunia yang sementara ini, aamiin.
Kisah diatas sesuai dengan hadist
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya.
Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ”
0 notes
Text
Suami Bagimu Belum Tentu Ayah Bagi Anak-Anakmu
The world has change, and from year to year, children become fatherless - Anonymous
Seorang ahli psikologi berkata bahwa dunia berubah. Semakin banyak anak-anak yang yatim sekalipun ia memiliki seorang ayah. Ayah yang kehadirannya kian lama tak dirasakan lagi. Peran ayah kini kian lama kian bergeser. Hanya menjadi pencari nafkah tanpa memedulikan bagaimana tumbuh kembang anaknya karena sudah percaya pada ibunda. Maka ketika hasil pendidikan ibu yang didadaptkan tidak sesuai ekspektasi, akhirnya ayah cenderung menyalahkan istri, “Kamu nggak becus mendidik anak!”.
Al Ummu, Madrosatul Ula, Ibu adalah madrasah pertama
Begitulah dalih yang barangkali sering dijadikan landasan mengapa seorang ayah sangat sibuk menafkahi. Namun teruntuk para ayah dan calon ayah (seperti saya :p) sadarlah. Ibu memang madrasah pertama bagi anak-anaknya. Namun ayah adalah kepala sekolahnya. Wahai para calon ayah, engkaulah kepala sekolah yang kelak akan menentukan visi bagaimana sekolah pertama anakmu kelak. Bisa kita bayangkan bagaimana seorang guru tanpa kepala sekolah. Ia bisa mendidik, namun tak punya arah yang jelas bagaimana peserta didik itu nantinya. Analogi itu pun sama dengan pendidikan anak.
Dan kau Ayah, adalah kepala sekolah bagi anak-anakmu
Peran ayah pun telah dicontohkan dalam Al-Quran. Ada Luqman, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, dan Imron. Merekalah contoh ayah-ayah yang luar biasa dalam mendidik anaknya. Seorang peneliti asal timur tengah, Sarah binti Halil, dalam tesis nya di Universitas Ummul-Quro, Makkah menuliskan bahwa dalam Al-Quran tertulis dialog ayah dengan anaknya sebanyak 14 kali, sedangkan dialog ibu dan anaknya hanya 2 kali. Tentu itu bukan merupakan sebuah kebetulan, sebab Quran adalah firmanNya. Hitunglah, 14 dibanding 2. Maka sudah jelas, peran sentral ayah dalam dunia anak tak terbantahkan.
Hanya visi saja tentu tidak cukup. Seorang ayah sekaligus menjadi evaluator bagi anak-anaknya. Layaknya seorang pemimpin yang memiliki visi, ia pastilah yang paling tahu ke mana visi itu dibawa, dan di mana letak kesalahannya. Pun demikian dengan ayah, ia akan tahu ketika anak yang didiknya melenceng dari visinya. Tentu di sini tidak sekedar menjadi evaluator layaknya di perusahaan, namun tentu anak punya cara tersendiri agar evaluasimu mendidik, bukan membebani mereka.
Sebab itulah wahai calon ayah dan mungkin ada ayah yang sudah membaca, karena kau lah sang penentu visi. Kau adalah kepala sekolah, bukan penjaga sekolah. Kepala sekolah adalah sang pembawa visi sekaligus evaluator. Penjaga sekolah adalah dia yang datang ketika lampu rusak, dapur bocor, kran mampet. Kau juga bukan donatur sekolah yang datang ketika sekolah membutuhkan uang. Kau adalah kepala sekolah, kunci dari pendidikan anak-anakmu.
Sebab ayah yang sukses, bukanlah sosok yang hebat dalam karirnya, sosok yang banyak prestasinya, atau sosok yang kaya raya. Ayah yang sukses adalah ketika anak lelakinya kelak berkata, “Aku ingin seperti ayah” atau anak perempuannya berkata, “Aku ingin memiliki suami seperti ayah”
- George Hilbert
822 notes
·
View notes
Photo
Jaman dahulu banyak orang mendewakan IQ. Sekarang ini banyak penelitian yang menawarkan pandangan yang berbeda. Di buku ini, dibahas tentang bagaimana memori kerja (working memory) otak kita memiliki peran penting untuk menjalankan aktivitas dan berkarya dengan produktif. . . Salah satu hal yang menentukan keberhasilan seseorang adalah kemampuannya untuk menunda kesenangan (Delay of Gratification). . . Misalnya, kamu akan ujian besok tapi gebetan kamu ngajak main. Kalau kamu memori kerja kamu besar, kamu akan sanggup menahan godaan itu sehingga kamu menolak ajakan gebetan demi belajar dan dapat nilai 100 di sekolah. Setelah dapat nilai 100 baru kamu ajak dia jalan, dan dia bakal lebih bangga karena jalan sama orang yang nilai ujiannya 100. . . Tapi, kalau memori kerja kamu (ibarat RAM di komputer) rendah, kamu akan kesulitan untuk memproses prioritas, mengelola fokus, dan kalah dengan godaan. Kamu nekad jalan sama gebetan. Besoknya ujian kamu nilainya jelek. Besoknya lagi rupanya gebetan kamu jalan sama orang lain yang nilainya 105!! 😭😭😭💔 . . Hal sama juga berlaku untuk diet. Orang dengan memori kerja lebih tinggi cenderung bisa menahan godaan makanan enak waktu dia lagi diet. . . Kamu sendiri gimana? Apakah kamu tipe yang jago menunda kesenangan sesaat demi keuntungan yang lebih tinggi di kemudian hari? Tag temen-temen kamu yang sering impulsif dan nggak pikir panjang sebelum melakukan sesuatu! 😂😂
#faktamenarik #thenewiq #sains #edukasi #rekomendasibuku #memorikerja #workingmemory #book #bookquote #psychology #psikologi
130 notes
·
View notes
Text
MURABBIYAHKU EMAK-EMAK
(buat para akhwat, yang ngaji ke para emak spesial)
Mochamad Redza Kusuma
Para aktivis dakwah muslimah yang berstatus emak-emak itu bagi saya luar biasa. Mereka rela berbagi waktu, tenaga, dan pikiran antara kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, dengan kesibukan membina para akhwat di luar rumah.
Julukan "istri sholihah" seolah nggak cukup buat mereka, yang sering disempit-artikan sebagai 'istri yang taat kepada suaminya, pakai hijab syar'i, shalatnya tepat waktu, rajin baca quran, selalu masak masakan buat keluarga, mendoakan suami yang sedang kerja, nyetrika dan nyuciin baju anak, serta bikinin teh kalo suaminya pulang'.
Mereka meluaskan makna sebagai 'istri' dengan berjihad membina kaum perempuan, mengajari baca Quran dan menanamkan nilai-nilainya kepada kaumnya, serta menjadi partner dakwah yang tak kalah trengginas dengan suaminya.
Ada diantara para emak, yang juga berkarir di profesinya. Mereka berdakwah di sana. Kalaupun tidak berkarir, mereka bukan pengangguran. Mereka menjadi pengurus RT/RW, ibu-ibu PKK, takmir masjid, komunitas lingkungan, dsb.
Murabbiyah emak-emak begini 'terpanggil' untuk mengalokasikan waktunya mengurus rumah tangga, guna mentarbiyah akhwat-akhwat muda yang lagi nyari jati diri dan memperbaiki pemahaman agamanya.
Dibalik kedatangan murabbiyah emak-emak hadir di majelis halaqah ilmu, ada kisah-kisah yang tidak nampak oleh mata, yang tak diketahui oleh para mutarabbinya itu.
Dua jam sebelum ngisi liqo, sang murabbiyah emak ini harus memastikan magic jar terisi nasi buat makan anak dan suami yang ditinggalkannya. Cucian sudah kelar, dan jemuran sudah diangkat, terutama bila mendung mendulang.
Waktu yang ada ia gunakan buat mengalihkan perhatian anak-anaknya yang kecil itu bermain, agar tidak rewel ditinggal ibunya. Kadang sang anak ditidurkan, lalu si emak mengendap-endap keluar rumah berangkat liqo.
Teriris hati si emak, bila anaknya ditinggal, nangis sembari mengintip dari jendela memanggil-manggil nama ibunya. Tapi si emak tak punya, pilihan: Dakwah must go on!
Siapa yang menjaga anaknya? Suaminya! Si bapak harus pulang kerja lebih awal, agar si emak bisa mempersiapkan keberangkatannya, kemudian menggantikan si emak njaga anak-anak.
Di sebalik materi Ma'rifatullah, Sabar, Keutamaan Al Quran, Syahadatayn, Fiqih Dasar, Hadits, Tazkiyatun Nafs, dan lain sebagainya yang sedang disampaikan si emak, ada tangis anaknya di seberang kilometer menanti si emak pulang. Ada tumpukan setrikaan baju yang duduk manis. Ada adonan kue yang pending diteruskan karena waktu halaqah yang mepet. Ada gaji si suami yang harus rela dipotong karrna memperpendek jam kerjanya demi menggantikan si emak ngurus anak-anak mereka.
Ada salah seorang ummahat (istilah keren emak-emak aktivis dakwah) yang saya kenal, tetap mengisi liqo di pekan HPL-nya. "Ahh, melahirkan itu cepet kok," pungkasnya sembari memilin pita rambut anak perempuannya yang ke-5.
Kalau besok ngisi liqo, maka jam 10 malam emak-emak buka buku dan mereview bacaan untuk disampaikan esok harinya. Kenapa begitu? Nunggu anak-anaknya tidur, dan nunggu sang suami tuntas mencurahkan isi pikirannya sebelum tidur.
Kalau ada jadwal tatsqif, dauroh, kajian, ta'lim, emak-emak murabbiyah ini menyempatkan nyatat materi yang dibawakan ustadz sembari matanya mengawasi polah krucil-krucilnya, telinganya waspada mengenali siapa yang nangis : anaknya atau anak orang lain, dan tangan kakinya sigap melindungi balita-balita agar tidak nyungsep dari tangga, atau terjerembab di kubangan becek.
Emak yang lain ada yang sepeda motornya kecemplung selokan gara-gara banjir menutup jalanan, dan basah kuyup seluruh rok dan gamisnya, plus anak-anak kecil di dalam gendongannya, demi menempuh perjalanan menunaikan hak tarbiyah binaan. Sedangkan si binaan mengirim pesan ke HP-nya : "Afwan ga bisa dateng liqo mbak, depan rumah lagi hujan"
Belum selesai ujian perasaan ke para emak wonder woman ini, ehh, ada ustadz muda ngomong "Liqo itu gak ada di zaman Rasulullah, isinya bukan ilmu agama, tapi ajakan revolusi" Ngga salah kalo para emak murabbiyah jadi kepingin ngeruqyah itu ustadz yang asal nyablak. Belum tahu the power of emak-emak tu ustadz. Ngomong asal bunyi laksana meremas bidjie sendiri.
Ada juga emak-emak yang mengisi liqo di kos-kosan binaannya jam 6 pagi (para mutarabbi adalah mahasiswi unyu-unyu) dan ada salah seorang peserta yang ngekosnya di tempat yang sama masih tidur kemudian dibangunkan oleh sang emak murabbi tersebut. "Dek, dek bangun, waktunya liqo" sapa sang murabbiyah.
Udah gitu, si akhwat kesiangan itu bergegas bangun, mandi secepatnya, lalu masuk ke kamar kos tempat diselenggarakannya acara halaqah sembari berucap, "Afwan, ana ijin mau kuliah".... Asyeeekkkk...
Para gadis jaman now, habis shubuh seneng banget kembali meluk bantal dan selimut. Tidakkah mereka kuatir, saat nanti menjadi seorang ibu, apa jadinya jadwal sekolah anak-anak mereka bila waktu untuk menyiapkan sarapan, setrika seragam, mandiin anak, melayani suami, dan segudang aktivitas yang hanya bisa dikerjakan di pagi hari, hilang dengan molor ke tempat tidur?
Mungkin belum terdengar ke telinga para akhwat shalihah nan imut ini kisah tentang ummahat di daerah, yang punya 14 anak, dan kesemuanya dibesarkan tanpa sentuhan asisten rumah tangga sama sekali!
Tidak usah jauh-jauh nonton Drakor, para perempuan super sabar, tabah, dan tangguh itu ada di dekat lingkungan mereka sendiri; lingkungan tarbiyah yang berhasil mencetak profil emak-emak patriotik, heroik, dan cinta agamaNya.
Saya pernah dapat cerita, tentang para akhwat-akhwat muda yang ditinggal pergi rombongan rihlah dakwah, karena datang ke lokasi kumpul kesiangan. Jadwal jam 6 pagi berangkat, ehh, jam 7 dia baru sampai di lokasi ngumpul.
Tidakkah para akhwat muda itu malu, padahal dia hanya mengurus dirinya seorang? Sementara si emak-emak itu tidak hanya mengurus dirinya, tetapi juga suaminya, anak pertamanya, anak keduanya, dan seterusnya...
Kecenderungan untuk berleha-leha, sering dijumpai pada mereka yang punya kecukupan materi. Meski tidak selalu begitu. Para akhwat kinyis-kinyis ini lupa, bahwa semua fasilitas dan kemudahan hidup berkuliah ini hanyalah titipan dari Allah melalui orang tua mereka. Saat mereka menjadi ibu bagi anak-anaknya, masihkah dia berharap kenikmatan hidup serba berkecukupan itu selalu menetap pada dirinya?
Kamu, akhwat tertarbiyah, tapi hobi banget telat hadir liqo? Sebaiknya kamu sadar, murabbiyahmu yang emak-emak ini ninggalin keluarganya dengan sejuta kerempongan yang tidak diceritakannya kepadamu.
Jodoh ingin tepat, tapi liqo dateng telat... emejing...
0 notes
Text
Tentang Yusuf
Kajian Dhuha Kuttab Al-Fatih
Siroh dalam Al-Quran
Kisah Yusuf Sebagai Kisah Terbaik
Ust. Budi
Al-Quran ialah kitab yang isinya sejarah, namun berbeda dengan buku sejarah. Dalam Al-Quran, sejarah yang disajikan ialah sejarah yang akan menjadi panduan.
Salah satu kisah yang diabadikan dalam Al-Quran ialah kisah Nabi Yusuf. Kisah Nabi Yusuf ini disajikan lengkap dalam satu surat utuh yang juga dinamakan surat Yusuf.
Rasulullah banyak mengambil ibroh dari kisah Yusuf. Aisyah juga mengambil ibroh dari kisah Nabi Yusuf saat hadits ifki menimpanya.
Saat Fathu Makkah pun, Nabi berkata pada para pembesar Quraisy. Nabi mengumpulkan mereka dan bertanya, "Apa yang kira-kira akan kulakukan pada kalian?" Para pembesar ini berkata, "Engkaulah saudara kami yang mulia, anak dari saudara kami yang mulia." Rasulullah membalas, "Hari ini aku akan berkata sebagaimana perkataan Yusuf pada saudaranya: Sudah tidak ada lagi kesalahan kalian. Pergilah, kalian semua kubebaskan."
Inilah akhlak mulia para Nabi. Mampu memaafkan di saat keadaan sangat mudah untuk membalas.
Berhati-hatilah dalam berinteraksi dengan saudara. Bisa jadi, saat kita menorehkan luka pada saudara kita, nanti suatu saat justru kita yang akan mengiba belas kasih saudara kita itu.
Kisah dijadikan sebagai ibroh agar kita dapat terhubung dengan Nabi-nabi sebelumnya. Kisah inilah yang menjadi jembatan penghubung antara kita dengan mereka.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf: 2)
Awalan surat ini menjadi mukadimah yang luar biasa dalam kisah Yusuf. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab agar kalian berakal. Maksud berakal di sini ialah berilmu. Mengapa harus bahasa Arab?
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hal ini karena bahasa Arab ialah bahasa yang paling fasih, yang paling jelas, dan paling luas. Bahasa Arab ialah bahasa yang paling mampu mengungkapkan makna yang diinginkan dalam jiwa. Karenanya, inilah kitab paling mulia yang diturunkan oleh Allah dengan bahasa paling mulia, diturunkan pada Rasul yang paling mulia, oleh malaikat yang paling mulia, dan di bulan yang paling mulia.
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Yusuf: 3)
Ahsanal Qasash artinya kisah terbaik. Seluruh kisah dalam Al-Quran ialah kisah terbaik, namun dalam surat Yusuf ini ada pengkhususan.
Ada beberapa cara bertutur Allah, dua di antaranya ialah:
1. Kisah yang kronologis, dimulai dari kecil hingga dewasa, misalnya kisah Nabi Yusuf.
2. Kisah yang disebar dalam beberapa surat, ibarat puzzle, misalnya kisah Nabi Musa.
Saat itu, kisah Nabi Yusuf tidak diketahui sebelumnya oleh masyarakat Quraisy mau pun Yahudi. Oleh karena itu, Yahudi berkomplot dengan Quraisy untuk menanyakan kisah Nabi Yusuf pada Rasulullah.
Allah pun menurunkan kisah Yusuf. Kisah ini bukan hanya sebagai jawaban atas pertanyaan orang kafir, namun juga menjadi jawaban atas kondisi umat Islam. Surat Yusuf ini turun di masa Amul Huzni, tahun kesedihan di tahun 10 kenabian. Dan begitulah sejarah, ia mampu menjawab segala hal yang menjadi permasalahan zaman.
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (Yusuf: 4)
Kisah Yusuf dalam Al-Quran dimulai dengan dialog mengenai mimpi Nabi Yusuf bahwa 11 matahari, bintang, dan bulan bersujud kepadanya. Menariknya, keseluruhan kisah Yusuf ini diawali dengan mimpi Nabi Yusuf, di tengahnya ada mimpi (mimpi dua orang yang dipenjara bersama Yusuf), dan di akhirnya pun ada mimpi (mimpi penguasa Mesir).
Penakwilan Nabi Yusuf atas mimpi penguasa Mesir inilah yang menjadi penyebab dibebaskannya Nabi Yusuf dari penjara. Dan akhir kisah Nabi Yusuf merupakan takwil atas mimpi Nabi Yusuf.
Mimpi adalah hal yang penting dan mulia jika mampu didalami oleh ahli ilmu. Nabi bersabda bahwa tidak ada yang tersisa dari kenabian melainkan mubasyirat (kabar gembira) yang didapatkan dari mimpi.
Akhir kisah Nabi Yusuf menjadi takwil atas mimpi Nabi Yusuf yang di awal.
Bintang: saudaranya
Matahari: ayahnya
Bulan: ada yang berpendapat ibunya.
Salah satu pelajaran dari mimpi ini, laki-laki diibaratkan matahari, perempuan diibaratkan dengan rembulan.
قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (Yusuf: 5)
Nabi Yakub berpesan agar jangan sampai Nabi Yusuf menceritakan mimpi ini kepada saudaranya, karena nanti mereka akan membuat makar. Nabi Yakub juga mengajari bahwa setan itu musuhnya manusia.
Ternyata, meskipun tidak diceritakan pada saudaranya, saudara Nabi Yusuf tetap membuat makar pada Nabi Yusuf, yaitu dengan membuang Nabi Yusuf ke dalam sumur.
Nabi Yakub pun bertahan selama 80 tahun dalam keyakinan bahwa Nabi Yusuf masih hidup. Keyakinan ini didapatkan dari penakwilan atas mimpi Nabi Yusuf.
Beberapa pelajaran dari kisah Nabi Yusuf:
1. Pentingnya pendidikan anak di usia dini. Nabi Yakub dan Yusuf berpisah selama 80 tahun, namun Nabi Yusuf terus mengingat pendidikan yang dilakukan oleh ayahnya ketika Nabi Yusuf masih kecil.
2. Bertanya adalah kunci kebesaran ilmu. Ibnu Abbas dikaruniai Allah hati yang berakal dan lisan yang mau bertanya.
3. Penting sekali untuk berlaku adil pada anak-anak kita. Saudara Nabi Yusuf ingin membunuh Nabi Yusuf diakibatkan sifat hasad, meskipun pada akhirnya tidak jadi dibunuh, tapi hanya dibuang ke sumur. Saudara Nabi Yusuf merasa bahwa bapaknya lebih mencintai Yusuf dan Bunyamin. Hasad ialah dosa pertama di langit dan di bumi. Bahkan hasad di antara saudara dapat menyebabkan pembunuhan.
4. Balaslah kebaikan dengan kebaikan. Inilah akhlak para Nabi.
Dalam sabdanya, Nabi menyuruh kita membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan jika tidak mampu, balaslah dengan mendoakannya.
5. Untuk membahasakan tipu daya, Allah menyebutkan bahwa tipu daya setan ialah lemah, sedangkan tipu daya wanita besar.
Hal ini bukanlah bermaksud merendahkan wanita, namun menjadi peringatan bagi para laki-laki dan wanita.
Tipu daya istri penguasa Mesir:
-Memfitnah Nabi Yusuf, padahal dirinya yang menggoda Nabi Yusuf
-Mengundang para wanita yang menggosipkan dirinya dengan Nabi Yusuf
Mengapa Penguasa Mesir ini tidak terlalu marah dengan kelakuan istrinya? Menurut Ibnu Katsir ada dua kemungkinan:
1. Penguasa ini berhati lembut
2. Penguasa ini memiliki aib yang semisal pula dengan istrinya
6. Milikilah hati yang lapang. Tidak perlu mengungkit kesalahan saudara kita di masa lalu. Inilah akhlak para Nabi. Nabi Yusuf tidak mengungkit kesalahan saudaranya di masa lalu. Nabi Yusuf memosisikan dirinya sebagai adik dari saudara-saudaranya.
Di akhir kisah Nabi Yusuf, seluruh keluarganya pun berkumpul kembali, diundang ke istana, dan bersujud pada Nabi Yusuf sebagai bentuk penghormatan. Bersujud pada manusia saat itu masih diperbolehkan sampai zaman Nabi Isa.
Seluruh peristiwa yang dialami Nabi Yusuf menjadi pengantar menuju takdir baik Nabi Yusuf, yaitu menjadi Nabi dan penguasa di negeri Mesir.
Inilah Nabi Yusuf, yang masuk penjara karena ketampanan wajahnya, dan dikeluarkan dari penjara karena ketampanan hatinya.
2 notes
·
View notes
Text
Menyembunyikanmu dari hiruk pikuk dunia.
Kecantikanmu itu berbeda. Aku melihatnya setiap hari dengan mata kepalaku. Cantikmu itu mengalir dalam sifat, seperti ketaatan, keikhlasan, kesabaran, dan hal-hal yang membuatku merasa tentram.
Aku sengaja menyembunyikanmu dari hiruk pikuk dunia. Sebab, dunia kita adalah dunia yang kita bangun dengan kepercayaan bahwa yang kita lihat dengan mata ini adalah fana. Semuanya akan berakhir, cantik akan menua, kekayaan takkan dibawa mati, dan hal-hal lain yang akan berakhir.
Aku menyembunyikanmu dari hiruk pikuk dunia, biar orang melihat dan merasakan kecantikanmu dari akhlakmu. Bukan dari hasil riasan berjam-jam dan baju kekinian yang kemudian kamu pajang di halaman media sosialmu. Orang akan mengenalmu dari kebaikan budi, kebermanfaatan, peran, pemikiran, kecerdasan, sumbangsihmu pada umat, dan hal-hal lain yang jauh lebih bermakna dari pakaian dan riasan.
Aku akan menyembunyikanmu dari hiruk pikuk dunia. Agar kamu bisa menjadi dunia yang terbaik bagi anak-anak kecil yang lahir di rumah tangga kita. Menjadi dunia yang layak untuk tumbuh besar mereka. Dunia yang akan mengajarkan mereka dan membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Biar dunia kita ini sunyi, sepi.
Kita tidak harus dikenal banyak orang untuk bisa menjadi lebih bermanfaat, untuk memiliki nilai lebih sebagai manusia. Kita hanya perlu menjadi orang baik, berbuat baik, membantu banyak orang, berkata-kata yang baik, lemah lembut terhadap semua makhluk, bekerja dengan ikhlas, berbakti kepada orang tua, berbuat baik pada tetangga, menyanyangi anak-anak, dan semua kebaikan lain yang bisa kita lakukan tanpa harus berdandan terlebih dahulu, tanpa harus memiliki kuota internet untuk memuatnya dalam live video.
Kita tidak perlu mencatatnya, dua malaikat kecil di sisi kita sudah melakukannya untuk kita. Setiap hari, tanpa lelah.
Untuk itu, izinkan aku untuk menyembunyikanmu dari hiruk pikuk dunia, istriku :)
Yogyakarta, 7 November 2017 | ©kurniawangunadi
3K notes
·
View notes
Text
#random thought
Tadi gue nonton film Posesif dan masih berasa shock. Dari film itu, gue jadi ngerti kenapa ada banyak orang yang memilih bertahan dalam Toxic Relationship. Ada ibu-ibu yang tetep bertahan dalam KDRT karena takut kehilangan. Ada temen-temen gue yang ga mau pisah sama pacarnya meskipun hubungan mereka creepy banget mirip Lala sama Yudhis di film posesif.
Dalam novel 9 dari Nadhira, Leila S Chudori, kita menemukan sosok Nadhira dan Utara Bayu. Dua orang yang sama-sama independen dan mungkin saking independennya sampai nggak sanggup memperjuangkan orang yang dicintainya.
Nadhira menikah dengan Niko dan kisahnya berakhir dengan perceraian meskipun sebenernya masih saling mencintai. Bagi orang yang independen, cinta aja kadang nggak cukup. Sama kayak Utara Bayu yang endingnya menikahi orang lain meskipun dia sebenarnya mencintai Nadhira. Menyedihkan karena di novel, diceritakan kalo di hari pernikahannya, tatapan mata Tara tidak bercahaya.
Baik Posesif ataupun 9 dari Nadhira sama-sama menceritakan kisah cinta yang banyak terjadi di dunia nyata, meskipun sebagiannya mungkin agak di luar jangkauan kita.
Posesif menggambarkan kisah cinta orang-orang yang tumbuh di lingkungan yang menciptakan lubang di hati masing-masing (entah itu bullying, keluarga yang over demanding, keluarga broken home, etc…etc…). Sehingga mereka memaklumi sikap saling menyakiti karena mereka takut kehilangan orang yang terlanjur dicintai dan terlanjur mengisi lubang di hatinya.
Meanwhile 9 dari Nadhira menggambarkan kisah cinta manusia independen yang terlanjur menganggap dirinya lengkap sehingga cinta dan kebersamaan dengan orang yang dia cintai tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang semacam ini biasanya agak susah invest banyak waktu dan tenaga demi cinta doang. Bukan karena takut disakiti. Tapi lebih karena takut attached dengan perasaannya sehingga mereka tidak lagi merasa bebas mengejar apa yang mereka cita-citakan.
Dulu pas masih kuliah, gue suka ngomentarin kisah hidup banyak orang. Sok tau ngasih advice macem-macem. Tapi semakin kesini gue semakin sadar bahwa kita nggak bisa sok tahu dalam menanggapi kisah orang lain.
Sebab dalam sebuah kisah tentang seseorang, yang terlibat bukan cuma orang tersebut. Tapi juga budaya, background keluarganya, masa lalunya, sifatnya, wawasan yang dia miliki, pengalaman dan banyak hal yang semuanya membentuk alur dan ritme dalam sebuah kisah.
Maka nggak heran kalo ada orang-orang yang lancar banget. Ta’aruf hari ini, tiga hari kemudian langsung nikah. Ada juga yang rumit macem Lala-Yudhis, ato Niko - Nadhira - Utara Bayu.
Gue sebenernya ga lagi bahas tentang kisah cinta sih. Tetapi lebih ke gimana budaya, background keluarga, masa lalu, wawasan, dan pengalaman bisa mempengaruhi kepribadian seseorang beserta jalan hidupnya.
Manusia itu menarik sekaligus rumit. Mereka punya banyak sisi yang tak bisa diamati dengan utuh hanya dalam sekali pandang. Pun juga sebenernya bukan tugas kita untuk memaksa orang lain menampakkan sisi yang tidak ingin mereka perlihatkan.
Gue punya temen macem-macem. Ada yang coming out sebagai LGBT, ada yang kena KDRT berkali-kali dari suaminya, ada juga temen gue yang semangat banget cerita tentang konsep open marriage dan polyamorous. Sesuatu yang sebenernya menurut nurani gue udah jahiliyah. Dan sialnya, ini realita yang ada di hadapan gue.
Ga gampang buat kita kalo udah kejebak dalam situasi kayak gini. Tapi balik lagi bahwa kisah tentang seseorang nggak cuma melibatkan orang tersebut, tapi juga segala hal yang membentuk kepribadiannya. Maka menyelesaikan kisah yang rumit dan abnormal seperti yang gue sebut sebelumnya, nggak cukup hanya dengan pendekatan “dosa dan pahala”, kita perlu sedikit berempati pada apa yang menyebabkan seseorang berperilaku demikian.
Kemarin, gue baca artikel yang ditulis ustadz Fauzil Adhim tentang Paradoks Pernikahan. Kita sering banget bicara tentang nikah muda, memperbaiki diri demi jodoh yang baik, dll, dsb. Tapi tak banyak yang berbicara tentang bagaimana mempersiapkan kematangan. Bagaimana kita berusaha selesai dengan ego masing-masing. Bagaimana kita berusaha lepas dari hantu masa lalu, dll, dsb.
Sebab pernikahan yang tidak diawali dengan kematangan, nantinya bakal menghadirkan pernikahan yang toxic dan menghasilkan anak-anak yang toxic juga. Fenomena kisah cinta di film Posesif, 9 dari Nadhira dan kisah cinta temen gue yang aneh-aneh, umumnya di awali dengan lingkungan dan keluarga yang nggak sehat.
Serem banget kalo misal indonesia beneran punya bonus demografi tapi toxic semua :(
Harapan gue sih kalo misal temen-temen nulis perkara nikah dan jodoh, selain tulisan tentang pengendalian perasaan yang menye-menye, ada tulisan-tulisan yang membahas bagaimana untuk mematangkan diri bagi orang-orang yang kehidupan masa lalunya terlanjur tidak ideal. Biar lingkaran setan antara keluarga toxic, anak-anak toxic dan kisah cinta toxic bisa terputus.
Keluarga itu pilar peradaban, sebuah lingkungan kecil yang harus kita bangun dengan sehat
253 notes
·
View notes
Photo
DARI HATI…
Bismillah.
Pernahkah terlintas apa yang memotivasi seseorang sehingga sangat rajin beribadah atau melakukan amalan kebaikan?
Mungkin karena dia bertaubat dan ingin lebih mendekatkan diri kepada Dzat Yang Maha Menciptakan. Mungkin juga karena amanah dari Orang Tuanya agar anaknya menjadi manusia yang Taat Perintah Agama. Atau mungkin karena dia berteman dengan orang-orang shaleh sehingga lebih banyak hal kebaikan yang dia lakukan.
Namun mungkin jawaban yang lebih spesifik adalah karena dia tahu ilmu nya dan dia amalkan.
Kenapa dia rajin shalat berjamah di masjid? Karena dia tahu ilmunya, bahwa Shalat berjama'ah lebih besar 27° pahalanya dibandingkan shalat sendirian, dia pun tahu bahwa jika seseorang melangkahkan kakinya ke Masjid untuk shalat berjama'ah maka baginya setiap satu langkah Allah gugurkan dosanya dan satu langkah lainnya Allah naikkan derajatnya.
Kenapa dia rajin melakukan shaum sunnah? Karena dia tahu bahwa kelak di Syurga ada pintu Syurga yang namanya Ar-Rayan dimana tidak ada seorang pun yang dapat memasukinya melainkan mereka yang senang berpuasa.
Kenapa dia rajin tilawah Al-Qur'an? Karena dia tahu bahwa pahala yang Allah berikan adalah 1 kebaikan di setiap huruf yang dia baca, dan dia juga tahu bahwa kelak Al-Qur'an datang di hari kiamat sebagai pemberi syafa'at.
Lantas bagaimana jika kita sudah tahu ilmunya, tapi kita tidak tergerak untuk mengamalkannya?
Maka periksalah hati kita, masihkah hati kita bergetar ketika nama Allah disebut? masihkah hati kita lunak dan merasakan ketenangan ketika mendengarkan Ayat-Ayat CintaNya dibacakan? Atau mungkin hati kita sudah keras bagai batu, hitam dan sulit tertembus oleh hidayaNya? (yang ini lirik lagu hehe)
Itu pasti karena dosa-dosa yang kita lakukan sudah seperti menjadi kotoran yang membandel di kain putih sehingga sulit dibersihkan.
Lantas kalau sudah seperti itu bagaimana? Kalau kata Pemuda Hijrah, langkah pertama untuk hijrah adalah tinggalkan dosa. Caranya? dengan banyak-banyak Beristighfar (Baca tulisan sebelumnya, karya muhammad asril maulana ) , mudah-mudahan Allah membersihkan dan melunakkan kembali hati kita.
Dan lagi-lagi mengutip dari salah satu Buku Karya A.Mukhlis, disana dituliskan:
“Di segumpal daging itu, berkumpul semua amal, sifat, masa lalu dan depanmu Yang bila ia hitam, hitam pula jiwamu Dan jika ia putih, putih juga dirimu Ia adalah nasibmu Yang gaib, yang selalu berbisik, yang paling bisa kau kendalikan.
Maka tidakkah kau berpikir Perjalanan ini harus dimulai darinya?”
Subhanallah… semua berawal dari hati kita, ibarat pasukan, Hati adalah Komandan nya dan anggota tubuh lainnya adalah prajurit nya.
Maka saatnya mengendalikan hati kita untuk berjuang dan membentengi hati melawan serangan hawa nafsu dan menguatkan hati untuk selalu istiqamah cinta kepada amalan amalan kebaikan.
Semoga Allah selalu Meneguhkan Hati kita di atas AgamaNya, dan Allah Mengarahkan Hati kita untuk selalu Ta'at kepadanya.
“Yaa Muqallibal Qulub Tsabbit Qulubana ‘Alaa Diinik” “Ya Musharrifal Qulub Sharrif Qulubana ‘Alaa Tha'atik”
By Faikar Azzam
Minggu, 16 April 2017 Jalan Tol Cikampek Ditengah Kemacetan, Menuju Tak Terbatas dan Melampauinya.
28 notes
·
View notes
Text
Jangan-jangan.
“…(Coba sehari saja) coba satu hari saja kau jadi diriku(Kau akan mengerti) kau akan mengerti bagaimana ku melihatmu..”
Tulus - Tukar Jiwa
Datangnya era teknologi masa kini berhasil mendorong segalanya menjadi lebih cepat, pun lebih mudah. Manusia dibuatnya makin tangkas. Lewat smartphone contohnya, segalanya jadi mudah untuk dilakukan : Pesan makanan lewat GoJek, bertukar kabar via grup Whatsapp keluarga, mengabadikan momen lewat Boomerang hingga memicu keributan di media sosial.
Kemajuan tersebut seperti anak panah yang siap untuk dilepaskan. Bisa nyasar, bisa tepat sasaran. Tergantung siapa yang memegang panahnya. Sadar atau tidak, para anak muda nya pun jadi bagian dari kemajuan tersebut. Mereka adalah para agen perubahan (katanya).
Namun di era yang serba maju ini, nyatanya tidak diikuti dengan kemajuan pada kedewasaan pikir di kalangan anak mudanya, dalam hal ini adalah mahasiswa. Banyak kegaduhan dan perdebatan sesama mahasiswa yang nampaknya semakin tak berujung. Perdebatan di warung-warung kopi, sekretariat lembaga mahasiswa hingga kolom komen postingan yang sedang viral.
Perdebatannya tak jauh-jauh dari saling tuduh, saling menyalahkan, saling merasa benar, dan berbagai hal-hal yang melukai solidaritas dan nilai-nilai intelektual di antara mahasiswa itu sendiri. Momentum yang terbaru adalah Aksi Nasional 20 Oktober lalu dalam rangka menyampaikan Evaluasi Kinerja Presiden Jokowi selama 3 tahun. Niat yang luar biasa luhur, namun tercederai oleh kericuhan di ujungnya, hingga penangkapan beberapa teman mahasiswa yang disinyalir bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Melewati batas waktu aksi yang diperbolehkan berdasar Undang-undang yang berlaku kata beberapa orang.
Presiden merakyat kok takut sama rakyatnya sendiri yang mau menyampaikan aspirasi kata sebagian orang lainnya.
Pelik.
Lalu, Salah kah mahasiswa yang aksi?
SALAH LAAAAH! Aksi kok sampe ngelewatin batas waktu. Situ mahasiswa tapi ga paham Undang-undang?
Benar kah mahasiswa yang aksi?
BENER DOOOOONG! Pak Presiden harus diingatkan akan janji-janjinyaaaa!
Salah kah mahasiswa yang aksi?
GILA AJAAA! JELAS SALAH! Mendingan lu beresin kuliah lu baru deh jadi politisi. Macem-macem aja tingkah lu.
Benar kah mahasiswa yang aksi?
YAAAA BENER! Kalau bukan Mahasiswa yang menjadi Agent of Change, siapa lagi yang mau mengingatkan Presiden?
Salah kah mahasiswa yang aksi?
SALAH PAKE BANGEEET! Kajian lu cuy, kagak jelas, eskalasi isu ga ada. Kacau deh. Mending balik aja sono ke kampus dicariin dosen pembimbing tuh.
Benar kah mahasiswa yang aksi?
YAKIN PASTI BENERRRR! HIDUP MAHASISWA, HIDUP RAKYAT INDONESIA!
……Begitu terus tanpa ada habisnya
Mendebat masalah teknis tentang aksi kemarin tak ubahnya perdebatan mana yang duluan antara ayam dulu atau telur dulu. Ra uwis uwis.
Karenanya, ada hal yang sesungguhnya jauh lebih besar dari perdebatan akan aksi minggu lalu yaitu tentang bagaimana perjuangan ini setelahnya?
Memperjuangkan teman-teman yang “dihabisi” saat aksi kemarin?
Boleh.
Terus mendesak Presiden untuk memenuhi poin tuntutan pada aksi yang lalu?
Bisa juga (bahkan wajib dilakukan rasanya).
Tapi coba lihat lah dengan kacamata yang jauh lebih besar dan hati yang lebih lapang. Memandang lah lebih luas bahwa banyak hal lain di belakang itu semua.
Ada yang aneh saat gerakan mahasiswa terlihat sepi-sepi saja, padahal gerakan tersebut memperjuangkan keadilan sesama.
Ada yang salah rasanya saat ada mahasiswa yang sedang bergerak demi kebenaran sementara kelompok lainnya habis-habisan mencela.
Ada yang membingungkan tatkala tiba-tiba muncul sebuah aksi yang mengatasnamakan mahasiswa dan membela keadilan, namun hati kecil berbisik, “Apaan sih ini? Gue gak merasa terwakili sama sekali.”
Mahasiswa bergerak tak lagi seperti lidi-lidi rapuh yang bersatu menjadi sebuah kekuatan yang lebih besar, tapi tak lebih dari pecahan kaca yang berserakan. Sendiri-sendiri.
Ada yang lebih besar daripada itu.
Lembaga mahasiswa dan berbagai gerakan mahasiswa lainnya yang eksis sampai hari ini nyatanya telah melewati berbagai macam tempaan dan ujian di setiap masanya. Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi pada hari ini. Berhasil lolos dari ujian tersebut, tapi kebanyakan justru jadi susah move on. Terjebak nostalgia kalo kata Mbak Raisa. Akhirnya apapun yang dilakukan lembaga mahasiswa, seolah ada sebuah kiblat paten yang “Harus seperti ini banget biar kaya dulu-dulu.”.
Padahal tidak hanya yang sepemikiran denganmu yang perlu kau perjuangkan dan kau naungi. Ada bermacam kids jaman now dan children yesterday afternoon yang perlu diakomodasi agar terwakili juga kepentingannya.
Jangan-jangan kita lupa bahwa setiap 1 orang yang mendukung, akan selalu ada 5 orang yang menolak. Begitu kata guru saya. Bukan hanya jadi mati-matian memperjuangkan yang 1 saja, lalu kemudian melupakan 5 lainnya. Namun pilih lah jalan yang mampu memudahkan semuanya.
Sulit, tapi bukan ndak mungkin.
Apatisme juga sedang asoy merasuk sendi-sendi perjuangan mahasiswa. Lu lu, gua gua. Dewe dewe ae. Apatisme layaknya ulat yang siap menggerogoti dan membuatmu membusuk. Ruang-ruang diskusi semakin sepi karena segalanya sudah tersedia di Line Today. Inovasi ajakan bergerak kreatif kekinian hanya dipandang sinis. Kegiatan mahasiswa dilihat sebatas formalitas menggugurkan program kerja. Mahasiswa kan tugas nya kuliah, lalu lulus, lalu bekerja. Kegelisahan mahasiswa aktipis kebanyakan dirasa bukan menjadi sebuah masalah. Tidak mewakili suara hati katanya. Ngeri.
Mahasiswa semestinya secerdas namanya. Jangan mudah emosi atau terpantik.
Mahasiswa harus menunjukkan kelasnya sebagai kaum intelektual yang punya tanggung jawab besar akan masa depan bangsanya. Lebih peduli.
Mahasiswa sebagai role model orang-orang terdidik dengan segala harapan orang banyak yang menggantung di pundaknya.
Mahasiswa bukan kaum sumbu pendek. Mahasiswa harus paham medan tempurnya. Keras, panas, penuh dengan intrik dan tipu-tipu.
Atau jangan-jangan,
Ada yang lebih besar daripada itu?
Sadar kah bahwa mungkin mahasiswa hanya lah domba yang sedang dibentur-benturkan kepalanya? Kesakitan tanpa tau apa yang dilakukan.
Atau mahasiswa hanya lah gundu yang coba ditabrak-tabrakkan kepentingannya? Supaya saling menyalahkan dan saling tak peduli. Sadar kah bahwa sesungguhnya ada yang lebih besar daripada itu?
Bahwa kita sepertinya kehilangan musuh yang sama? Langkah perjuangan yang sejalan? Pilihan bergerak yang seirama?
1928. Pemuda-pemuda sepakat bahwa kolonialisme adalah musuh dan tidak akan membawa bangsanya menjadi besar. Mereka perjuangkan kemerdekaan lewat deklarasi Sumpah Pemuda.
1966. Ketidakadilan hanya lah masa lalu, maka perjuangan atas nama keadilan adalah segalanya. Mereka sepaham untuk perjuangkan keadilan lewat Tritura.
1998. Tiada rasa yang lebih nikmat dari pada kebebasan. Terkekang puluhan tahun ternyata tidak membuat bangsa ini semakin dewasa. Bersama-sama mereka lakukan pendudukan gedung-gedung sentral di Ibukota sebagai wujud perlawanan. Penembakan beberapa aktivis hingga turunnya Presiden tercinta adalah tanda perjuangan bersama.
2017? Ternyata tak lebih dari perdebatan tak bermutu di dunia maya.
Jangan-jangan kita sedang melawan musuh yang tak nyata.
Kita sedang melawan musuh yang tak ada?
Jangan-jangan kita bingung sehingga hanya cela dan cemooh saja?
Kita bimbang hingga kesulitan mencerna keadaan?
Sadar kah?
Atau jangan-jangan hanya saya yang salah?
Ah, bodo amat lah.
Urusan pribadi saya juga masih banyak kok! Huft.
408 notes
·
View notes
Text
happines
tentang apa yang membuat kita bersedia tidur larut dan bergegas bangun ketika pagi.
Gue nggak nemuin awal yang asyik buat nulis cerita ini. Pas gue ngelewatin kota dengan gemerlapnya lampu atau berwarnanya foto-foto di Instagram, ada kalanya gue pengen banget cepat punya uang terus ngebeli semuanya dan bahagia. Then gue nanya ke diri sendiri:
“Pengen bahagia aja, ngapain nunggu duit sih?“
pernah temen gue nanya ke gue:
“Dea, what will you do if money isn’t an issue?“
“Gue pengen ngabisin waktu gue di tempat kayak bells lab”
“Lo nggak pengen ke maldives gitu?”
gue menggeleng.
dulu pas kecil, gue ngabisin waktu dalam kondisi terkucil. Pernah suatu hari, gue berharap punya popularitas. Dikenal banyak orang dengan banyak prestasi. Akhirnya gue nyadar kalo menjadi populer bukanlah keinginan gue yang sebenernya. Ia hanya timbul sesaat akibat reaksi dari segala hal yang gue alami di masa kecil.
nyatanya, gue itu manusia yang nggak suka sorotan kamera. Yang nggak biasa pose artsy buat dipasang di instagram. gue cuma manusia pemalu yang lebih suka guyonan bareng teman di forum-forum kecil.
ada masanya kita menggantungkan kebahagiaan pada popularitas, pada uang, pada pujian dan hal-hal semu. Tapi di ujung perjalanan, kita bakal sadar kalo semua sangat semu.
sejatinya yang membuat kita bahagia adalah rasa syukur, ridho, ikhlas dan rasa cinta kita pada kebaikan. Uang, popularitas dan pujian hanya sumber daya yang bisa kita genggam sewaktu-waktu lalu bisa pergi sewaktu-waktu pula.
uang dan popularitas bisa melipatgandakan kebaikan jika diamanahkan pada hati yang baik. sementara pujian (kadang) bisa kita pakai buat mengukur respon orang lain atas hasil kerja kita. tapi ketiganya nggak bakal bisa ngebuat kita ngerasa utuh selagi kita menganggap ketiganya sebagai sumber kebahagiaan. Yang ada, kita kejebak dalam hedonic treadmill.
Sorry kalo di sini agak nggelambyar. Ini sebenernya gue lupa, gue ngedraft buat ngomong apa ~XD tapi pas gue baca awal-awalnya, kok gue ngerasa diingetin sama diri gue sendiri:
“biarlah apa yang ada di dunia ini tetap kita posisikan sebagai sumber daya untuk menunaikan tugas kita sebagai khalifah di muka bumi. Jangan sampai disimpan dalam hati sampai mengkontrol tindakan kita”
kehitung empat tahun, gue nyoba baca buku-buku yang sebelumnya belom pernah gue baca. Gue nyoba tempat-tempat baru yang belom pernah gue kunjungi. Gue ngajak ngobrol orang-orang random yang bikin gue nanya ke diri gue sendiri:
“apa yang sebenernya gue cari?”
Kemarin, gue sempet ngobrol sama temen gue tentang target jangka panjang. Dan nyatanya, orang yang sering banget nulis cita-cita kayak gue, justeru ga punya tujuan yang spesifik ~XD
temen gue ada yang pengen jadi ibu yang profesional.
ada yang pengen kaya sebelum usia empat puluh.
banyak target-target yang kata mereka cukup ngebuat mereka untuk selalu bangun pagi dan segera berlari menuju apa yang mereka pengen.
Dulu, ketika gue masih kecil, gue pengen jadi dokter karena gue pengen bisa nyari obat yang enggak pahit. Pernah pengen jadi guru karena pengen baca buku dan tetep dibayar.
Menjelang dewasa, gue pengen jadi jurnalis atau kerja di TV. Gue suka dunia hiburan sebenernya. Tapi pas ortu nyuruh gue belok ke Informatika, gue rela-rela aja. Pas banyak mahasiswa yang curhat ke gue kalo mereka kuliah dipaksa ortu, gue bilang:
“Jangan ngebiarin hati kamu dibebani perasaan kalo hidup kamu dikendalikan ortu. Sekarang kamu ngejalanin kuliah bukan karena dipaksa ortu. Tapi karena kamu milih berbakti ke ortu dengan cara kayak gini. Meskipun sebenernya da cara lain. Udah ridho-in aja. Kalo udah ridho, kamu baru bisa move on. Ato kalo mau keluar, ya keluar aja. Ngomong baik-baik ke ortu. Jangan nyalahin mereka atas keputusan yang kamu pilih”
Intinya jangan pernah ngejalanin hidup kita setengah-setengah. Harus all out. Kalau sudah pilih A, jalanin yang A jangan tengok ke B.
Anyway meski gue sempet belok ke dunia teknologi, pas gue kerja, gue dipertemukan lagi sama dunia hiburan. Gue ngajar di Departemen Teknologi Multimedia Kreatif. Disana ada dua Program Studi. Satunya Teknologi Game, satu lagi Multimedia Broadcasting. Gue cukup bahagia di sini.
Balik lagi ke target sama ke pertanyaan apa yang lagi gue cari?
target gue cuma pengen lebih baik dari waktu ke waktu. Baik dalam artian punya kompetensi yang mumpuni di tempat gue kerja, plus bisa memanfaatkan kompetensi gue untuk hal-hal yang baik.
kenapa ga pengen bikin target yang spesifik cem bikin Lab, ato Punya duit semilyar?
kata temen gue, gue selalu maunya di zona nyaman. Kalo udah kayak gini, gue suka iseng jawab:
gue itu bisa nyaman di mana aja. Termasuk di zona ga nyaman pun bahagia. Elu mah, di zona nyaman aja masih ngerasa ga nyaman ~XD
Dunia bisa berubah, struktrur sosial, ekosistem bisnis dst dst akan selalu berubah. Gue ga saklek attached sama satu cita-cita tertentu. Gue cuma mau berlatih sampe panggung nemuin gue ~XD #bilangajamalesmikir #iyalah,gueditanyakapannyarijodohajajawabnyanyaridipaper. Yaa lagian ngapain dipikirin sih? Jalanin aja biar bisa menikmati hari ini.
Kadang kita menggantungkan kebahagiaan pada cita-cita yang masih terlalu jauh sehingga kita nggak bisa menikmati kebahagiaan hari ini dan nggak bisa meresapi nikmatnya dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayang.
Gue percaya, kalau Allah mentakdirkan kita buat mendapatkan sesuatu, hati kita, sadar nggak sadar akan mengarahkan segala ikhtiar kita untuk menuju kesana. Dan kalaupun kita sempet belok-belok muter kemana-mana, kita bakalan balik ke sesuatu yang ditakdirin buat kita.
Jadi dari tulisan yang muter-muter ini,
gue sebenernya mau ngasih tau kalo popularitas, harta, pujian bukan sumber kebahagiaan yang sebenernya meskipun ga bisa dipungkiri kalo harta yang digunakan dengan tepat bisa bikin kita bahagia.
bahagia itu dari hati kita yang selalu ridho sama setiap takdir.
gue ngerasa, sumber ketidakbahagiaan kita itu salah satunya adalah karena kita ga bisa memaafkan keputusan-keputusan kita yang salah di masa lalu. Buat gue mah, yaudahlah…move on aja. Manusiawi kok kalo kita pernah salah memutuskan sesuatu. Better segera sembuhin dari dan jalan lagi. Kalau toh kita ditakdirin buat mencapai cita-cita kita, sejauh apapun nyasarnya kita akibat salah ngambil keputusan, kalo kita keep moving forward, kita bakal kembali ke jalan yang benar.
Dan kalopun kita ga ditakdirkan kesana, pasti ikhtiar kita bakal membuahkan hal lain yang sama indahnya. Macem tokoh utama di film Passenger yang pengen tinggal di luar angkasa tapi gagal dan malah nemuin cinta *pret. Gue sebenernya ngomel-ngomel sih pas lihat film ini. Karena gue ngebayangin sci-fi yang gimana gitu eh nyatanya malah jadi drama ~XD
But in the end, dibalik cerita dangdutnya mbak Jennifer Lawrence sama mas Chris Pratt, gue dapet pelajaran random bahwa meskipun ga sampe tujuan, ga ada usaha yang dibiarin sia-sia gitu aja sama Allah yang mengatur takdir kita.
188 notes
·
View notes
Link
✨Parenting dalam Al-Qur'an 👤Irfan Habibie Martanegara 🌟The Quranic Essence of Parenting (video NAK) Poin2 penting dari video: “Apakah keyakinan seseorang hanya bergantung pada lingkungannya?” Ambil beberapa kisah di Qur'an>> 🔎Lingkungan yg sangat tidak mendukung untuk mempertahankan imannya. (Kisah nabi Ibrahim) 🔎Meskipun lingkungan baik tapi belum tentu juga semua anaknya akan jadi baik. (Kisah nabi Yaqub & Yusuf dg saudara2nya. ) 🔎Meskipun ayahnya seorang nabi tapi belum tentu anaknya akan beriman pada Allah. (Kisah nabi Nuh) 💡Intinya: kita tdk punya kontrol sama sekali mengenai anak2 kita, tapi kita punya responsibilities untuk mendidik mereka. Harus bisa membedakan kedua hal ini! ❗❗❗Permasalahan banyak keluarga saat ini: Ada beberapa ortu yg merasa anaknya berubah dari begitu baik, sopan, perfect menjadi pembangkang (completely becoming different people). Terjadi pertengkaran hebat antara ortu-anak. Penyebabnya: orang tua yg terlalu ‘sering’ menasehati anaknya, mengingatkan ibadah berkali2, sehingga tiba2 anaknya berkata that’s enough! I just wanna be happy. I don’t wanna hear that anymore. (Slam the door)😰 Peristiwa ini Allah jelaskan dlm Qur'an, itu bukanlah peristiwa baru tapi telah terjadi ribuan tahun lalu. Saran: untuk anak >> boleh saja mempertanyakan ttg agama tapi jangan perlakukan ortu dg merciless, karena mereka telah memberikan cinta dan perhatian yg berlimpah; untuk ortu >> teruslah berdo'a pada Allah seperti yg nabi Ibrahim, Yaqub, Nuh lakukan. Ketika anakmu sudah dewasa (>18thn) mereka secara langsung bertanggung jawab pada Allah, maka semakin kamu berusaha utk mengontrol mereka tell them what to do ‘pray pray pray’ >> the farther they will run from the prayer. 2 level relationship ortu-anak(semakin dewasa) >> 1. Spiritual relationship 2. Emotional relationship (just be mom or dad…just be a parent) Itu 2 hubungan yg berbeda & harus dipisahkan. Saat anak anda sudah dewasa, yang paling utama adalah menjaga hubungan emosional pada anak bukan spiritual (seperti seorang da'i/syekh yang terus2an menceramahinya), karena tantangan zaman sekarang anak2 (yg sudah remaja, beranjak dewasa) terkadang malah menolak mentah2 ketika ‘disuruh’ ortunya untuk beribadah, menonton ceramah… Maka jika kita merasa anak kita ‘out of control’ >> teruslah berdo'a pada Allah agar anak2 kita diberikan kemudahan untuk mendekat pada-Nya. Bersabarlah seperti yg nabi Yaqub contohkan ketika diberi kabar bahwa nabi Yusuf meninggal (demonstrate beautiful patience, keep smile, maintain the emotional relationship, just be a parent). Kemudian sbg ortu bisa meneladani Luqman, mencari waktu yg tepat untuk berbicara pada anaknya (strategi). Be wiser parent. Semoga Allah melembutkan hati kita dan anak2 kita untuk semakin dekat pada-Nya. ✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨ 🌟Urgensi mendidik anak🌟 Q.S. Al-Ghafir:7-8 Jika ortu dan anak ada pada level yg berbeda dlm surga, bisa saling menarik ke level yg lebih tinggi. Jadikan anak sarana untuk naik level surga. Q.S. Al-Mujadilah:16-17 Jika anak masuk surga, ortu masuk neraka, anaknya tidak bisa menarik ortunya. Karena itu tdk cukup hanya mengusahakan anak masuk surga, kita sendiri harus masuk surga terlebih dahulu. Minimal surga tingkatan paling rendah. Para ortu jangan hanya memikirkan anak tapi juga memikirkan diri sendiri untuk mendekat pada Allah. 🌟Hubungan ortu-anak🌟 Q.S. Yusuf:4 Ayah mendengarkan cerita anaknya meskipun tidak masuk akal (mimpi nabi Yusuf). Bentuk perhatian ortu = komunikasi yg baik sejak kecil. Q.S. Maryam:54-55 Hubungan anak dewasa-ortu adalah hasil dari anak saat masih kecil dg ortunya. 🌟Peran ayah🌟 Q.S. Al-Baqarah:132 Agama bukan warisan, tapi dari Allah. Pendidikan agama untuk anak dlm Al-Qur'an berasal dari ayah, jadi ayah harus belajar parenting juga. Ayah mendidik anak laki2nya untuk menjadi ayah yg baik. Selengkapnya di http://mirantibanyu.blogspot.co.id/2017/07/mendidik-generasi-membangun-peradaban.html
226 notes
·
View notes