Text
Waktu dan Bersama Siapa
Sepertinya memang begitulah sifat waktu, mudah menguap jika tak digunakan dan kekal dalam catatan amal jika digunakan. Sungguh dua sifat yang sangat bertolak belakang: menguap atau kekal. Artinya ada atau tidak ada. Sayangnya, dalam catatan amal kita waktu yg menguap tetap akan dipertanyakan, diminta pertanggungjawabannya. Seram yaa 😨
.
Sepertinya memang begitu, siapa temanmu begitulah sifatmu. Kamu baik pasti berteman dengan orang yang baik. Kamu jahat sudah pasti ditemani setan.
Kamu memang tak akan pernah ditanya tentang kejahatan atau keburukan orang yang bersamamu. Amalmu ya amalmu, amalnya ya amalnya. Sayangnya, menjadi berbeda ketika ada cinta di sana. Tiba-tiba saja urusannya menjadi urusanmu, bahkan akhiratnya bisa jadi menjadi akhiratmu. 😵
.
Waktu dan bersama siapa adalah rahasia paling menakjubkan bagiku. Waktu dan bersama siapa adalah rezeki paling berharga bagiku. Karena apa? Tak ada amal jika tak ada waktu dan tak kenal cinta jika sendirian.
.
Waktu yang dijalani bersama seseorang memang tak mudah, tapi juga tak membuat sengsara. Karena yang terlahir adalah sebuah kesabaran. Sesuatu yang jika kamu memilikinya maka tak ada yang akan membuatmu terlampau sedih. Sebab kesedihan lebih dekat pada kekufuran.
Waktu yang dijalani bersama seseorang memang menyenangkan, tapi jangan sampai kepayang. Karena yang terlahir adalah sebuah kesyukuran. Sesuatu yang jika kamu memilikinya maka tak ada yang akan membuatmu terlampau senang. Sebab kesenangan lebih dekat pada kelalaian.
.
Waktu dan bersama siapa. Dua hal yang ku mohonkan padaNya agar kelak keduanya menjadi sebab indahnya hidupku di masa setelah kehidupan ini.
Magetan, 45 hari setelah 1/9.
4 notes
·
View notes
Text
Baca hal2 spt ini sebenernya hanya ingin mengamalkan ayatNya, "Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yg berpikir (QS. Ar Ra'd: 3) (QS. An Nahl: 11) (QS. An Nahl: 69) (QS. Ar Rum: 21) (QS. Az Zumar:42) (QS. Al Jatsiyah:13) :"
Fitrah tak Tuntas, Pernikahan terancam Kandas
[REPOST DARI UST. HARRY SANTOSA]
Tingkat perceraian di Indonesia sungguh mengerikan, yaitu 300.000 lebih pertahun, itu artinya kurang lebih 960an per hari, atau 36 lebih kasus per jam. Penyebabnya beragam, namun umumnya karena banyak fitrah yang tak tuntas ketika masa anak dan masa muda sebelum pernikahan. Nah ledakannya terjadi di dalam pernikahan.
Barangkali banyak orangtua yang masih memuja akademis dalam pendidikan anak anaknya, masih memuja mengasah otak dan melejitkan kecerdasan anak anaknya, namun sayangnya, kebahagiaan masa depan anak anak kita bukan tentang banyaknya pengetahuan yang dihafal atau kecerdasan otak yang diasah, atau keterampilan bekerja yang dilatih keras, namun tentang bagaimana potensi potensi yang Allah berikan sejak lahir itu tumbuh dengan hebat dan paripurna sehingga bahagia. Bukan tentang apa yang nampak terlihat, tetapi tentang apa yang memberi dampak hebat.
Ketahuilah bahwa fitrah yang tak tumbuh dengan paripurna dan tuntas sejak masa anak, ledakan hebatnya juatru muncul ketika masa pernikahan karena di masa inilah kita hidup bersama pasangan dan memerlukan sinergi dalam peran bersama baik dalam mendidik generasi maupun dalam mewujudkanperan spesifik keluarga yang memberi manfaat dan menebar rahmat. Bayangkan kira kira apa yang terjadi ketika banyak fitrah yang tak tumbuh tuntas ketika seseorang menikah? Masa pernikahan yang seharusnya masa bersinerginya potensi fitrah, jadi masa saling menyalahkan.
Lihatlah, betapa banyak keluarga yang mengalami kepribadian ganda, mereka beragama, namun tak beraqidah, mereka tahu ilmu agama namun galau karena gairah keimanan tak tumbuh menjadi wujud keluarga yang berani membela kebenaran, malah sebaliknya, rajin haji dan umroh, rajin zakat dan sedekah namun juga rajin korupsi dan manipulasi. Uang uang haram itu tidak dianggap lagi sebagai dosa, namun sebagai bagian dari upaya dan usaha dalam bingkai indah untuk membangun ummat, lalu mereka makan dan beri makan anak anaknya. Akankah keluarga seperti ini bahagia? Hidup senang barangkali iya, namun bahagia itu tidak bisa pura pura, ia bicara nurani yang tak dapat ditipu oleh pemiliknya.
Lihatlah pasangan yang galau karena fitrah bakatnya tak tumbuh tuntas paripurna. Berapa banyak ayah karir atau ibu karir yang salah karir, salah kuliah dstnya mereka tak tahu peran sejatinya dalam bisnisnya atau sosialnya, mereka hanya bekerja karena mengejar ambisi dan harta walau membingkai dengan ucapan agar keluarga bahagia. Namun kenyataannya mereka nampak lebih layak disebut tersesat dan tidak bahagia ketika mencari kebahagiaan, walau bergelimang harta maupun bergelimang hutang. Ayah karir dan ibu karir yang tak bahagia dan tak selesai dengan dirinya dan dengan karirnya maka akan sulit menjalani biduk pernikahannya. Mereka akan menjalani rutinitas yang menjemukan, liburan dan vakansi hanyalah sarana mengentaskan stress berkarir atau kesenangan semu bukan merajut peran, menjalin cinta dan kebersamaan untuk masa depan yang penuh manfaat dan rahmat.
Lihatlah pasangan yang menjadikan gelar gelar akademis sebagai kebanggaan dan prestise tanpa karya solutif, mereka tiba di masyarakat bagai orang yang mati. Fitrah Belajar dan Bernalarnya tak tumbuh paripurna menjadi peran inovasi untuk memakmurkan bumi dan menghebatkan alam tempat dimana ia dilahirkan. Kepandaian dan titelnya hanya untuk dijajakan dan untuk kesenangan dirinya, menaikkan pamor dan mencari uang, bukan untuk menjadikan keluarganya semakin inovatif menebar manfaat dan rahmat bagi semesta. Skripsi dan tesis bahkan disertasinya hanya pencapaian ambisi namun tanpa makna, kosong dari karya inovatif bagi masyarakat. Ilmu dan kepintarannya tidak dijadikan alat untuk semakin pandai mendidik anak dan jalan menemukan peran terbaik keluarga bahkan membuat semakin tak kenal dirinya dan membuat hubungan dengan pasangan dan anaknya makin menjauh dan kering.
Lihatlah pasangan yang gagap menjadi ayah atau gagap menjadi ibu. Ini bukan masalah kurang ilmu, namun sesungguhnya fitrah seksualitas mereka tak tumbuh tuntas paripurna, sementara mereka ragu menyambut fitrah kelelakiannya untuk menjadi suami dan ayah sejati atau ragu menyambut fitrah keperempuanannya menjadi istri atau bu sejati. Mereka berkilah tentang buruknya pengasuhan mereka di masa anak, mereka bolak balik mengeluhkan innerchild dan hutang hutang pengasuhan dsbnya, namun mereka tetap tak berani menyambut panggilan untuk menjadi ayah sejati dan ibu sejati, atau panggilan untuk menjadi suami sejati dan istri sejati. Alih alih menyambut panggilan fitrah ini, banyak para orangtua lebih pandai menitipkan dan mensubkontrakkan peran mendidiknya. Keluarga yang kosong dari proses mendidik anak sendiri, ayah yang galau dengan peran keayahannya dan ibu yang galau dengan peran keibuannya, suami yang galau dengan perannya sebagai suami dan istri yang galau dengan perannya sebagai istri adalah keluarga yang berpeluang besar berpisah.
Lihatlah pasangan yang tak bisa berkolaborasi apalagi bersinergi, berebut perhatian dan ingin menang sendiri, berambisi merubah karakter bawaan pasangannya, sulit akur dalam menetapkan kebijakan keluarga dstnya, mereka sesungguhnya pasangan yang tak selesai dengan fitrah individualitasnya atau egonya ketika masa anak anak. Ego yang tak selesai kemudian menuntut haknya ketika dewasa, padahal di saat dewasa itulah saatnya menunaikan kewajiban sosialitasnya. Maka di dalam pernikahan, ego yang tak selesai ini berubah menjadi keegoisan yang berujung kepada perceraian. Masing masing mereka sebenarnya tak siap memimpin dan tak siap terpimpin. Kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang paling akhir mendapatkan haknya, setelah menuntaskan kewajiban dan tanggungjawabnya.
Maka AyahBunda yang baik,
Mari fokus saja untuk saling mendukung untuk menumbuhkan atau mengembalikan cahaya fitrah pasangan masing masing, agar cahaya itu mengusir kegelapan, agar pernikahan itu menjadi cahaya yang menerangi sekitarnya.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah
41 notes
·
View notes
Text
Gelas dan Isinya
"Kamu tergantung isi dirimu, bukan kah kita hanya bisa memberi apa yg kita miliki?"
Bismillah,
Sebuah projek kebaikan agar diri ini terus ingat bahwa bekal belum cukup, belum cukup..
bersama @bintanglautmerah
0 notes
Text
Bahwa keyakinanmu,
Akan diuji sampai tak ada pilihan lain selain berserah padaNya..
Ya Rabb :")
#1
1 note
·
View note
Text
Noted.
Harga Menjadi Orangtua
Sejak memutuskan untuk menjadi ayah dua puluh empat jam bagi Rafika, banyak hal yang berubah dalam hidup saya. Mulai dari soal prioritas, jadwal harian, sampai milestone yang saya buat. Ini kali kedua saya mengubah life plan dan milestone kehidupan untuk menyesuaikan kondisi. Yang pertama, ketika saya “mendadak” menikah.
Sebenarnya sebelum Rafika lahir, saya dan Dek Zahra sudah mempersiapkan sedemikian rupa menyambut kelahirannya. Barang-barang yang perlu dibeli dimasukkan dalam wishlist lalu dipilih sesuai prioritas agar sesuai dengan saldo yang kami alokasikan. Pekerjaan dan tanggungan yang belum selesai dimaksimalkan agar selesai sebelum Rafika lahir. Bahkan, sampai jadwal harian dan pembagian tugas pasca Rafika lahir sudah kami rencanakan.
Hal tersebut kami lakukan sebagai ikhtiar untuk menyambut Rafika dalam kondisi terbaik. Mengingat hari-hari menjelang kelahiran Rafika, tanda-tanda persalinan seolah tak kunjung muncul. Kami berharap dengan ikhtiar tersebut, Rafika bisa segera lahir dan penantian kami berganti dengan tanggung jawab.
*****
Namun kenyataannya, ketika Rafika lahir, semuanya menjadi berantakan. Jadwal yang kami susun sebelumnya kacau. Pembagian tugas tidak lagi berlaku, siapa yang mampu dan masih ada tenaga, dialah yang mengambil tanggung jawab. Segalanya serba heboh dan chaos. Keadaan ini berjalan kurang lebih sampai dua minggu lamanya.
Kami tak lagi bisa meluangkan waktu untuk menulis. Waktu bersama Al-Quran untuk ziyadah maupun muroja’ah pun sebisanya. Dan yang paling kami khawatirkan adalah berantakannya amalan yaumiyah yang sudah kami jalankan selama ini. Ya, mungkin ini bagian dari risiko yang tidak kami perhitungkan ketika memutuskan untuk tinggal sendiri bertiga pasca persalinan Dek Zahra.
Mungkin terkesan lebay, tapi begitulah yang kami alami. Waktu itu, hampir setiap jam Rafika bangun, entah karena ingin minum ASI, gumoh, kolik perutnya, atau karena BAK dan BAB. Kami pun bergantian siaga untuk membantu Rafika agar tenang kembali. Entah berkah atau musibah, kami tinggal sendiri hanya bertiga, sehingga kami bisa mengatur segalanya sesuai sistem dan preferensi kami. Tidak ada intervensi dari orangtua. Sehingga kami cukup nyaman meski banyak kurang maksimal karena belum berpengalaman.
Dua minggu berjalan, kami mulai mendapatkan polanya. Kapan Rafika lapar, kapan Rafika akan BAB, apa tanda kalau dia tidak nyaman, dan seterusnya. Kami pun mulai menyusun ulang jadwal harian. Kapan harus mencuci, melipat baju, membersihkan rumah, hingga keluar untuk belanja. Dan, alhamdulillaah, sampai hari ini kami terus belajar lifehack dan pola kehidupan Rafika yang berubah seiring perkembangannya.
Kami juga belajar bagaimana memberikan treatment untuk Rafika supaya nyaman dan tentang. Mulai dari digendong tegak, digendong tengkurap, dibacakan Al-Quran, diperdengarkan dzikir dan shalawat, dan segala macam treatment lainnya. Ya, banyak sekali hal yang kami pelajari khusus untuk Rafika, baik dari buku, pengalaman orangtua, cerita teman, dan lainnya. Itupun kami pilih dan dibuat custom untuk Rafika.
*****
Dua minggu pertama kelahiran Rafika, benar-benar mengajari kami tentang harga menjadi orangtua. Ya, setiap kali saya kelelahan menggendong, punggung saya sakit saat mencuci popok, saya jadi lebih banyak ber-istighfaar atas semua dosa saya terhadap orangtua. Betapa mahal harga menjadi orangtua bagi seorang anak. Cinta orangtua terhadap anak akan menuntut pengorbanan seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari pekerjaannya, karirnya, waktunya, sampai perhatiannya. Itulah harga yang harus dibayar sebagai orangtua.
Saya kadang menangis ketika sedang sangat lelah. Ya, saya menangisi betapa teganya saya membantah orangtua. Betapa beraninya saya menyakiti hati orang yang dulu melakukan hal yang saat ini saya lakukan. Saya menangis karena membayangkan bagaimana sakit hatinya Bapak dan Ibu ketika saya marah atau tidak taat pada mereka. Astaghfirullaah.
Pantas sekali!
Pantaslah jika Al-Quran yang merupakan kalaamullaah mengatakan,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai pada usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Surat Al-Isra’ ayat 23).
Lihatlah bagaimana Allaah swt dengan jelas mengingatkan kita tentang cara bergaul dengan orangtua. Bahkan, sekedar membantah dengan kata “ah” saja sudah cukup akan menyinggung perasaan orangtua. Apalagi jika kemudian membentak dan memarahinya. Dan saking pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua itu, Allaah swt meletakkannya tepat setelah perintah untuk ber-tauhid kepada Allaah swt.
Meski begitu, bagaimana pun mulianya orangtua, mereka tentu pernah salah. Dan ketika orangtua salah, wajib bagi kita untuk mengingatkannya, bukan malah menjerumuskannya. Maka, perhatikanlah bagaimana Allaah swt mengajarkan adab untuk mengingatkan orangtua yang salah di akhir ayat di atas dan ayat berikutnya.
Pertama, yaitu mengingatkan dengan perkataan yang mulia. Dalam arti, puji terlebih dahulu pendapat atau tindakan orangtua kita. Besarkan hatinya terlebih dahulu. Baru kemudian kita berikan contoh atau pilihan lain yang lebih baik dan tepat untuk dilakukan.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.” (Surat Al-Isra’ ayat 24)
Dan seluruh tahapan perkataan yang mulia di atas harus dilakukan dengan cara yang rendah diri. Ingat! Tidak cukup rendah hati di hadapan orangtua, tapi harus rendah diri. Posisi kita terhadap orangtua harus lebih rendah. Seperti misalnya seorang budak terhadap tuannya, seorang karyawan terhadap majikannya, seorang tentara kepada jenderalnya, dan seterusnya.
Dan jika nasehat serta peringatan yang kita sampaikan tidak digubris oleh orangtua, kita tak bisa memaksa mereka. Ingatlah posisi kita yang harus lebih rendah. Maka, adab yang diajarkan oleh Allaah swt ketika kita bertemu dengan kondisi ini adalah mendoakan mereka seperti yang diajarkan oleh Allaah swt di akhir ayat di atas,
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”
Satu hal penting lagi yang Allaah swt ajarkan kepada kita tentang adab bergaul dengan orangtua adalah, tidak boleh kita membenci, marah, ataupun kesal dengan keputusan orangtua. Allaah swt yang Maha Lembut telah memfirmankan peringatannya,
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Surat Al-Isra’ ayat 25).
Seluruh tindakan kita terhadap orangtua tidak boleh ada benci atau kesal sedikitpun. Karena sewaktu kecil, orangtua tidak pernah kesal ataupun membenci kita meski kita sering menyulitkan mereka, membuat mereka sakit, bahkan mempermalukan mereka.
Perhatikan bagaimana lembutnya Allaah swt mengingatkan kita, Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Mungkin di depan orangtua, kita tetap taat, kita tetap tersenyum. Tapi, begitu di dalam hati kita ada wajah yang berbeda, misalnya kesal, nggerundel, marah, dan lainnya, maka ridho Allaah swt tidak akan sampai pada kita.
Dan adab yang Allaah swt ajarkan kepada kita tentang bergaul dengan orangtua ini ditutup dengan ajakan untuk banyak-banyak memaafkan kesalahan orangtua agar kita tidak mudah menyimpan kesal dan amarah di dalam hati. Kenapa? Karena sebanyak apapun dosa dan kesalahan orangtua kepada kita, masih lebih banyak dosa dan kesalahan kita kepada Allaah swt. Dan bergaul dengan cara yang terbaik terhadap orangtua adalah sumber ampunan dosa kita dari Allaah swt.
Dan sepertinya, itulah yang hendak disampaikan oleh Rasuulullaah saw dalam haditsnya berikut ini,
“Celaka orang itu, celaka orang itu, celaka orang itu!” Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasuulullaah, siapakah yang engkau maksud?” Rasuulullaah saw menjawab, “Orang yang celaka adalah orang yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup, atau salah satu darinya, tapi dia masuk neraka (karenanya).“
Allaahumma (i)ghfirlanaa wa liwaalidainaa wa (i)rhamhum kamaa rabbaunaa sighaaraa. Semoga kita bisa beradab yang baik terhadap setiap orangtua kita, yang padanya tertawan keridhaan dan rahmat Allaah swt untuk kita.
116 notes
·
View notes
Text
Hati yang Tak Berujung
Kini yang aku lihat adalah tangan keriput, tubuh yang bungkuk, langkah yang tertatih, dan suara yang nyaris berbisik, jika kamu hanya melihatnya dengan mata mungkin tiada keindahan di sana.
Tapi, kemudian aku mendekat, agak berat memang, karena meski telah memasuki usia dewasa egoku masih cukup tinggi, sifat kekanak-kanakanku masih agak mendominasi. Beruntung Allah tetap menggerakkan langkah ini menujunya.
"Uci, mau sholat?"
"Uci, mau makan?"
"Mau ke kamar mandi?"
"Mau pergi ke luar?"
"Uci, mau A, B, C, ....?"
Uci adalah nenek. Ibu dari ibu. Buatku, kisah uci ku ini luar biasa, bagaimana Allah menakdirkannya untuk menjadi isteri ke dua dan mempunyai lebih dari 10 anak tiri, merawat alm kakek yg dimasa itu seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, Qadarullah punggungnya malah harus bersandar lama di tempat tidur. Di atas skenarioNya, Allah anugerahkan Uci hati yang tidak berujung dan memampukannya menjalankan peran dengan luar biasa.
Tak pernah membenci
Kata ibu, andai Uci mau sakit hati sudah banyak pasti orang yang merugi, tapi Uci sepertinya tidak mengenal kata itu, yang ia kenal adalah menyayangi.
Tak pernah pamrih
Kata ibu, andai Uci mau menagih sudah banyak pasti orang yang berhutang, tapi Uci sepertinya tidak mengenal kata itu, yang ia kenal adalah memberi
Tak pernah mengeluh
Kata ibu, andai Uci mau menyerah sudah banyak pasti orang yang tak terurus, tapi Uci sepertinya tidak mengenal kata itu, yang ia kenal adalah bersungguh-sungguh.
Dan inilah yang ku ingat tentangnya, Uci tak pernah panjang lebar dalam menasehati, hanya sepatah-sepatah petuah yang beliau ingatkan ketika kami mulai membandel. Hanya ucapan rindu dan ingin disayangi. Kalau pun ada kata seperti mengecam, itu hanya keluar saat tak tau lagi kata apa yang bisa membuat kami berhenti untuk tidak bandel.
Dan semua kata itu harus menempuh jarak waktu yang cukup lama, hingga kami bertambah usia, bertambah masalah, barulah ingat akan petuah-petuahnya yang sangat berharga, barulah ingat bahwa Uci memberi teladan yang luar biasa, barulah ingat inilah warisan yang begitu berharga.
Setelah aku semakin dekat padanya, ternyata yang ku lihat tak lagi sekedar seseorang yang berusia lanjut, Allah mampukan aku untuk melihat keriput itu sebagai goresan kisah perjuangan, bungkuk itu sebagai tanda besar pengorbanan, tatih itu gambaran kesungguhan, dan bisik itu curahan kasih sayang.
"Ya, Uci mau sholat tolong pakein mukena ya."
"Ya, Uci mau makan, tolong suapin ya."
"Ya, Uci mau ke kamar mandi, tolong ..."
"Ya, Uci mau ke luar, tolong anterin ya."
Diluar empat pertanyaan itu, pertanyaan A, B, C sering kali telat ku tanyakan karena ia berusaha melakukannya sendiri.
Ah, Uci..
Aku cucumu, tapi mungkin seujung hatimu belum tentu ada didiriku, ya setidaknya aku mengagumi orang yang tepat, seseorang yang memiliki hati tak berujung, hati yang siap menanggung apa pun di dalamnya tanpa perlu benci, pamrih, dan keluh.
Semoga tulisan ini menjadi saksi amal kebaikanmu. Aamiin.
Mohon doa agar beliau selalu dimudahkan diusia senjanya 🙏
2 notes
·
View notes
Text
Bertanya adalah cara terbaik untuk menghampiri jawaban, kok hampir? Karena jawaban sudah punya waktunya sendiri untuk menampakkan diri, tapi ikhtiar tetap harus dilakukan.
Menjelang Ramadhan
1 note
·
View note
Text
Baper.
Malam itu rembulan seperti enggan menentramkan hati seseorang yang sedang menanti kehadirannya, hampir 2 jam ia menunggu, sesekali menatap ke atas berharap langit sedikit terang agar apa yang dirasakannya tak terasa sekelam itu.
"Door!" Tiba-tiba suara yang sangat dikenalnya membuyarkan lamunannya. "Ampun deh Raaaa, jangan melamun di tengah malem gini, di kebon lagi, nanti kalo kesambet gimana? Aku bakal bilang ke orang2 klo aku ga kenal kamu. Haha"
"Yaudah, ngapain masih disini!" kataku kesal.
"Haha, santai sih, baper amat." katanya santai.
Aku menjauhinya, aku tau dia tak pernah bisa diajak serius, kadang aku kesal, tapi aku butuh seseorang seperti dia karena kadar keseriusanku kadang akut dan menyebabkan orang-orang meninggalkanku, tapi dia tidak.
Kalau sudah begini, Nana tau aku benar-benar tidak bisa diganggu, tapi tetap saja dia tidak akan menyesali ledekannya tadi. Aku terdiam, tetap menyalahkan rembulan yang tak kunjung menyapa.
Beberapa menit berlalu, aku meliriknya, ternyata dia masih di sana. Tumben sekali ia anteng dengan sebuah buku, sesekali ia tersenyum dan manggut-manggut.
"Ya, sepertinya yg aku butuhkan memang bukan bulan, tapi matahari." gumamku. Akhirnya aku dekati Nana si Matahari, karena penasaran juga dengan buku yang dibacanya.
"Aduh-aduh kok gelap gini, lagi asik-asik baca juga."
"Ih Nanaaaa!"
"Haha, usir dulu itu mendungnya, aku lagi baca, ga suka yang gelap-gelap" katanya meledek.
"Aku lagi baper." kataku akhirnya
"Aku ga akan tanya kenapa." jawabnya.
"Lho, kenapa? Emang kamu ga mau tau?."
"Nggak."
"Kamu ga peduli?"
"Iya, aku ga mau terjebak dalam gosip atau fitnah."
"Laaah, kok jadi gosip atau fitnah?"
"Kamu pasti mau bilang tentang perlakuan atau perkataan seseorang yang bikin perasaan kamu jadi buruk kan? Padahal belum tentu maksud dia berkata atau berlaku itu untuk memperburuk perasaanmu."
"Iya, makanya aku baper."
"Iya, itu baper yang ga bagus. Bawa Perasangka."
"Bukannya Bawa Perasaan?"
"Setiap masalah itu memang harus dihadapi dengan membawa perasaan, coba liat seorang Ibu, gimana dia bisa membantu menyelesaikan masalah anak2nya dan mengimbangi suaminya kalo ga bawa perasaan?"
Aku tersenyum mendengar penjelasannya, dia masih terus menjelaskan.
"Kalau kata orang2 baper itu bawa perasaan, aku ga setuju, haha, memang apa yg salah dengan perasaan? Yang salah itu adalah prasangkanya. Orang yang terlalu cepat membawa prasangka terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain akan cepat pula menghadirkan perasaan yang berlebihan. Ketika kenyataannya apa yg dikatakan org lain tidak sesuai dengan prasangkanya maka ia mudah kecewa, galau, sedih, bahkan marah. Perasaan senang dan bahagia pun bisa jadi negatif, kege-eran misalnya."
"Apa hubungannya sama gosip dan fitnah?" tanyaku
"Ketika kamu menceritakan perlakuan atau perkataan buruk orang lain terhadapmu, bisa jadi kamu sedang menggosipkannya. Kata-katamu yang bercampur dengan prasangka buruk akan mempengaruhi lawan bicara, iya kalau dia cukup bijak sehingga bisa membedakan mana yang bawa-bawa prasangka mana yang nggak. Kalau yang sdg kamu ajak bicara menelan bulat2 perkataanmu gimana? Belum lagi kalau prasangkamu sudah terlalu luas, bisa jadi kamu sdg memfitnah orang tsb dan itu lebih buruk dari perkataan atau perlakuannya padamu."
"Hmm, bener juga sih, ngeri juga ya. Kalau baper yang bagus apa?"
"Bawa perubahan. Seburuk apapun yg dikatakan atau dilakukan orang lain terhadapnya, ia akan berpikir untuk segera berubah bukan larut dalam prasangka."
"Misalnya?"
"Misal, ketika kamu menceritakan cita-citamu atau keinginan-keinginan mu pada seseorang lalu orang itu malah menertawakan dan mengatakan ga mungkin, terus kamu larut dalam prasangka "tidak mungkin" juga ya jelas ga mungkin, tapi kalau kamu berubah, memperbaiki diri agar cita-cita itu menjadi pantas bagi mu, maka kamu sudah melakukan baper yang bagus. Bawa perubahan."
"Hoo, gitu ya Na. Berapa lama kamu bersemedi buat menemukan makna lain dari baper itu? Hahahaha"
"Haha, yang penting kamu seneng Ra, bully aja aku gak papa kok, gak papa"
"Hahaha, jangan baper dong.."
***
"Malam punya rembulan, siang punya matahari. Menjadi sulit ketika kamu mencari matahari saat malam dan mencari bulan dikala terang. Kalau sudah begitu siapa yg salah? Ah, ya manusia memang begitu."
Perpen RaNa
Sepekan menuju Ramadhan, perubahan apa yang sudah direncakan?
23 Sya'ban 1440/ 29 April 2019
0 notes
Text
Ketika kamu merasa bahkan 1000 istighfar belum cukup untuk menghapus dosa-dosamu dalam satu hari. Terutama dosa-dosa yang tidak disadari :(
Jaga terus ya Rabb, agar hati ini tetap nyala karena iman
#jumatmubarak
0 notes
Text
Definisi berusaha yg terbaik adalah memulai dgn niat karena Allah, menjalani dengan penuh rasa syukur, berpikir positif, dan tentu saja bertawakal pada Allah bukan pada kemampuan diri.
Nasihat orang tua
0 notes
Text
Let's see. Siapa yang berhasil menang menghadapi diri sendiri duluan. Kamu atau aku?
1 note
·
View note
Text
Kenapa harus gengsi untuk menurunkan ego kalau dengan begitu kita bisa mempermudah urusan orang lain, bukankah akan menjadi pahala juga buat kita?
Apasihyangdicari
0 notes
Text
Jangan salahkan orang lain jika mereka mudah berprasangka yg tidak baik padamu, sebab sebelumnya kamu pernah tidak menepati janji, pernah melalaikan amanah, dan pernah tidak berkata jujur. Jangan salahkan orang lain, karena itu salahmu.
Cermin
0 notes
Text
Jangan terlalu banyak memuji, nanti kecewa. Jangan terlalu sering mengatakan maaf, nanti tak berharga. Kecuali, pada Allah.
0 notes