yunoia
Kadangkala
795 posts
"lupa tak sampai telinga | nyali tak sampai ada"
Don't wanna be here? Send us removal request.
yunoia · 5 years ago
Text
“Aku sama sekali tidak membencimu. Aku hanya membenci bagaimana takdir kita berdua yang tak pernah bisa sejalan. Dekat tapi tidak terikat, jauh tapi tak saling melepaskan.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
yunoia · 5 years ago
Text
Tumblr media
Sekali lagi, caramu bercanda meninggalkan bekas, Tuhan
Tumblr media
Esok hari, apa lagi?
0 notes
yunoia · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Mungkin saja kita pernah berpapasan tapi tidak saling menyapa. Mungkin saja kita pernah berada di jalan yang sama namun tidak dipertemukan. Mungkin saja kita pernah menunggu di halte dan di peron yang sama, namun tidak disadarkan.
Dan untuk semua kemungkinan-kemungkinan itu. Memang belum saatnya untuk kita diperkenalkan. Lalu, ketika Ia berkata “sekarang.” Maka serumit atau sepadat apapun hari itu, tak ada yang dapat mencegah sebuah pertemuan, sebuah perkenalan. Tak peduli sejauh apapun jarak, sekalipun kemungkinan kita pernah dibersamakan pada suatu tempat itu tidak ada. Bila sudah saatnya. Maka tak ada yang dapat mencegah. Biarkan semesta dan skenarioNya berbicara membuat kau bahagia. .
#udahlamagakcappanjang #tumblr #story #daily #life #whenimeetyou
264 notes · View notes
yunoia · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Ramadhan, Masih ku simpan erat dalam rasa, degup jantung kala jumpa dirimu kali pertama.
4 notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Video
Rindu, puan Bukanlah seperti deburan ombak, yang menghempas kemudian berlalu, Ia selalu meninggalkan sesuatu, di dalam hati kecilmu Rindu, sayang Bisa menjelma menjadi ribuan doa; harapan tentang pertemuan selanjutnya Atau Sekedar sapa- yang dihasilkan dari keberanian yang susah payah dikumpulkan Pun menjadi benci; karna sekuat apapun kamu mengacuhkannya, sebanyak apapun genggam baru menawarkan bahagia, yang ada di hatimu hanya satu nama.
1 note · View note
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Jika dadamu sudah tak sanggup lagi membendung rindu, maka jangan ragu untuk berpulang, karena rindu terlalu berat untuk ditanggung sendirian
1 note · View note
yunoia · 8 years ago
Text
Wanjiiiiiiiirrrrr!!!!!!
The Way I Lose Her: Almost is Never Enough
Aku rasa ini bukan cinta. Cinta bukanlah seperti ini. Cinta seharusnya tidak membuatmu menghancurkan dirimu sendiri hanya demi orang lain– 
.. yang bahkan jelas-jelas tidak memilihmu.
                                                           ===
.
Hari sudah menyentuh pukul setengah 11 malam. Karena merasa sudah terlalu lama nongkrong di luar, kami bertiga setuju untuk kembali ke sekolah. Tapi sebelum pulang, Ikhsan meminta Cloudy untuk mengantarkannya beli martabak dulu di sekitar daerah Kosambi Bandung, karena dia baru inget kalau punya janji beliin martabak buat anak-anak panitia yang lain. Tolol emang.
Karena jalanan sepi banget, Cloudy jadi tidak perlu terlalu was-was membawa kendaraannya melaju menembus udara Bandung yang dingin banget kalau udah malem gini. Kami berdua berhenti tepat di depan pasar Kosambi. Di sana ada cukup banyak jajanan malam seperti tukang martabak, roti bakar, gorengan, lupis, kue pasar, surabi, juga tukang bubur 24 jam yang paling terkenal di Bandung. Bubur Bejo. 
Ikhsan memesan martabak, sedangkan gue berjalan menunju salah satu kios rokok di sana.
Tumblr media Tumblr media
-Gue nggak nemu foto Bubur Bejo yang bagus nih. Btw kapan-kapan kita Night Culinary di Bandung bareng yuk!!-
 .
Ada lemari es kecil di kios tersebut, gue buka dan melihat-lihat isi di dalamnya. Seperti biasa, tanpa sadar gue mengambil Teh Kotak dingin walau sekarang Bandung lagi dingin banget. Sejenak setelah mau membayar, gue baru inget kalau ternyata gue sudah berjanji untuk tidak menyentuh minuman ini lagi.
“Bikin penyakit nih minuman.” Tukas gue dongkol dalam hati.
Tapi, untuk mengembalikannya ke dalam kulkas pun gue juga enggan. Gimana ya, rasa-rasanya melepaskan karena dipaksa keadaan padahal masih nyaman itu berat banget rasanya. Seperti sengaja nyisain kulit ayam Kiepsi buat dimakan di akhir, tapi ternyata malah dicolong temen. Bete banget rasanya.
Gue puter-puter itu Teh Kotak dingin, beberapa kali menghitung jari sambil bergumam, “Beli? Jangan? Beli? Jangan? Beli? Jangan?”, pengen beli tapi bikin bete. Pengen nggak beli, tapi dingin-dingin begini enaknya minum Teh Kotak. Bener deh malem-malem itu enaknya sambil minum Teh Kotak dingin. Sambil jalan-jalan di mobil, buka kaca, atau naik motor. Bawaanya adem kaya kipas angin kosmo-wadesta.
Karena masih sibuk merhatiin Teh Kotak di tangan, tanpa gue sadari Cloudy membuka kulkas yang ada di hadapan gue itu, mengambil Aqua dingin lalu dengan tiba-tiba merebut Teh Kotak yang sedang gue pegang dan menggantinya dengan Aqua dingin
Gue langsung menengok. Dan Cloudy hanya diam mengembalikan Teh Kotak itu ke tempatnya.
“Jangan minum itu lagi.” Ia kemudian menatap gue dan menunjuk ke arah Aqua yang lagi gue genggam, “Minum ini aja. Teh Kotak itu nggak baik buat kesehatan badan,” Kata Cloudy sambil membayar minuman dingin itu ke akang-akang di dalem kios rokok,
“..Juga nggak baik buat otak.” Sambungnya lagi.
Gue tidak menjawab. Gue hanya manggut-manggut aja dinasihatin gitu sama ini orang. Yaudah deh toh dia ada benarnya juga. Mungkin yang gue butuhkan sekarang adalah orang yang memang berani dengan terang-terangan memukul gue ketika gue hampir aja melangkah ke jalan yang salah lagi.
Gue mengelupasi plastik di tutup botol itu. Gue lihat dari jauh Ikhsan masih menunggu antrian martabaknya dibuatkan. Karena warung martabaknya penuh dan banyak yang antri, gue sama Cloudy lebih memilih berdiri di depan kios rokok ketimbang nemenin si Anak Tukang Duku itu ngantri beli martabak.
“Are you okay?” Kata Cloudy tiba-tiba setelah melihat ke arah Ikhsan juga.
“Ngg?” Gue menengok ke arahnya, “Honestly.. I don’t know,” Balas gue jujur sambil meminum Aqua dingin itu lalu menutupnya kembali.
“You feel…” Ada jeda sedikit di mulut Cloudy,“…different.” Lanjutnya lagi.
Gue menengok ke arahnya, lalu kembali melihat ke depan.
“Ya, aku juga merasanya begitu.”
Kami berdua masih berdiri saling bersampingan dan melihat ke arah yang sama, ke tukang martabak yang jaraknya tak jauh ada di depan kami berdua. Jalanan yang lenggang serta percakapan-percakapan para muda-mudi yang nongkrong malam-malam seakan menjadi backsound tersendiri buat kami berdua malam ini.
“Padahal sebelumnya, aku bisa merasakan semuanya loh.” Tukas gue sambil memainkan plastik tutup botol Aqua itu.
“Maksudnya?” Tanya Cloudy tanpa melihat ke arah gue yang ada di sampingnya.
“Aku sempat merasa ini semua itu nyata, seperti akan berhasil, seperti hanya tinggal bertahan sedikit lagi dan tidak mungkin gagal. Seperti sudah berlari panjang, lalu tiba-tiba kau melihat garis finish di depan sana. Meski sudah tergopoh-gopoh, rasanya aku pasti bisa menyelesaikan ini semua dan keluar menuju garis Finish,” Gue kembali meneguk Aqua dingin itu dalam-dalam, “Tapi sekarang? Aku masih merasakan perasaan itu, tapi entah kenapa rasa-rasanya jadi berbeda.”
“Berbeda gimana?”
“Asing.”
“Asing?”
“Iya, Asing. Seperti menjadi turis di kotamu sendiri.”
“Seasing itu kah?”
“Entah, tapi rasanya seperti tidak diterima di lingkungan yang kau buat sendiri.”
Gue menghela napas panjang dan melihat jauh ke arah jalanan di depan.
“Kalau tau jadi seperti ini, kalau tau malah berakhir seperti ini…”
Belum sempat melanjutkan kalimat, tiba-tiba Cloudy bersenandung,
“And I never meant to cause you trouble, And I never meant to do you wrong, And I, well, if I ever caused you trouble, Oh no, I never meant to do you harm.” Katanya sambil melantunkan salah satu Reff dari lagu Coldplay – Trouble.
Gue langsung ketawa kecil, “Nah! Iya kaya gitu!”
Cloudy juga tertawa kecil. Tumben, ini pertama kalinya kami bisa akur kaya begini. Biasanya di setiap gue ngomong, pasti aja jadi dosa di muka dia. Kayaknya semua yang gue omongin itu mirip sama orang lagi makan mie rebus terus bersin sampe mie yang dia makan keluar semua dari hidung. Alias dihina abis-abisan.
Ada hening sebentar sebelum kemudian gue kembali melanjutkan cerita lagi,
“Ini seperti.. Aku tau semua ini salah, iya aku sadar. Aku hanya akan mengulang-ngulang kesalahan yang sama lagi dan lagi. Tapi bukannya merasa kecewa, aku malah merasa sakit seperti ini hanya mirip sebuah cubitan kecil. Entah karena aku yang makin kuat, atau memang aku sudah kebal dikecewakan seperti ini?” Ujar gue,
“Dan kamu tau apa yang paling menyebalkan dari itu semua?”
“Apa?” Tanyanya.
“Aku takut aku nggak masalah sama sakit ini. Seperti kecanduan. Kecanduan untuk disakiti. Dan itu yang paling menakutkan. Aku jadi merasa tidak akan takut lagi kehilangan, meski tau bakal disakitin lagi, bakal dilukakan lagi, aku tidak peduli. Aku akan terus mengejarnya. Dan itu tuh benar-benar menakutkan.”
“Pathetic banget sih jadi cowok.”
“Maybe I am.”
“Can I give my opinion?”
“Sure.” Jawab gue meski tahu pendapatnya bakal nyakitin banget.
“Di mata wanita, laki-laki seperti ini itu menyedihkan sekali. Gimana ya, tapi rasanya sudah tidak menarik lagi. Kehilangan jati diri menariknya di mata perempuan. Mungkin analoginya seperti ini, kamu tau kan kalau perempuan seneng banget belanja lipstik? Nah seseneng-senengnya perempuan belanja lipstik tapi kalau lipstiknya patah, mau mahal juga itu perempuan ogah buat dapetin lipstik itu lagi. Walaupun ya sebenarnya ya masih bisa dipakai sih itu lipstik.”
Gue mendengarkan pelan-pelan sambil mencoba elus-elus hati.
“Laki-laki di mata wanita itu menarik karena dia memang berdiri sendiri, angkuh, teguh, tidak mudah didapatkan, tidak mudah ditaklukkan, memimpin jalan, membuka ruang, tak mudah kalah oleh pendapat perempuan, berkepribadian, punya tujuan, dan tau ke mana dia akan melangkah. Walaupun aku nggak mau mengakui ini karena aku bisa melakukan itu semua sendiri tanpa harus bergantung sama laki-laki, tapi ada kalanya aku juga seneng kok pendapatku dipatahkan. Keinginanku ditolak. Permintaanku diabaikan. Disuruh mengikuti tujuannya. Disuruh diam saja dan membiarkan ia yang memegang kendali. Aku sebenarnya nggak mau ngakuin ini, tapi most of all woman will agree with my words tonight.” Katanya lagi.
Gue menengok menatapnya.
“Dan dari perkataan aku barusan, apakah kamu masih mempunyai sifat-sifat itu di mata wanita?” Tanyanya.
Gue berpikir sebentar sambil garuk-garuk dagu, “Masih kok!” Kata gue nggak mau kalah.
“Iya mungkin masih. Tapi mungkin di mata orang lain. Kalau di mata cewek yang pergi ninggalin kamu itu? Masihkah?”
Deg! Jantung gue serasa ditusuk sama sendok nyam-nyam. Cenut-cenut tapi perkataan itu ada benernya juga.
Di depan Ipeh, rasanya gue selalu mengalah hanya agar ia senang. Selalu mengikuti kemana pun ia pergi hanya agar ia nyaman. Jangan-jangan, karena itulah Ipeh tidak memandang gue ada?
“See? Like I said before, you’re feel different. And now I know why.” Cloudy mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan, “Now you know why I’m glad you two got separated. Finally you get over her. The Pill which you think can cure you, silently it’s kill you.”
Seseorang yang kau pikir hadir untuk menyembuhkanmu, ternyata adalah seseorang yang melukaimu dalam-dalam dengan cara memelukmu erat agar belatinya menancap lebih tajam.
Mungkin itu yang Cloudy maksud. Gue tidak membantah pernyataan Cloudy malam ini, rasa-rasanya semua yang ia katakan itu tidaklah salah, dan gue mengakui itu. Mungkin gue selama ini sudah kehilangan jati diri. Sebagai laki-laki yang menarik, sebagai laki-laki yang berdiri, bukan yang tunduk.
Ikhsan datang menghampiri kami berdua.
“Bentar ya bapak ibu, dua antrian lagi nih baru dibuatin pesenan gue.” Kata Ikhsan cengengesan. Kayaknya nih anak kagak punya beban hidup sama sekali deh.
Walau saat itu dia ada masalah sama Tasya, kok dia keliatan seneng-seneng aja ya? Gue kadang iri sama nih anak.
“Lamaan dikit juga nggak papa.” Bales Cloudy yang kemudian di-oke-in sama Ikhsan dan ia kembali ke tukang martabak meninggalkan kami berdua.
“How did you lose her?” Tanya Cloudy setelah memasukan telapak tangannya ke dalam lengan sweaternya lebih dalam.
“I didn’t,” Jawab gue sambil sedikit tersenyum.
“Aku tidak kehilangan dia. Tidak. Tidak sama sekali.” Gue melanjutkan.
“Kok gitu?” Tanyanya.
Gue melihat ke arah Cloudy, “Because.. She was never mine.”
Ada mimik kaget gue lihat di wajah Cloudy ketika mendengar perkataan gue barusan. Sebuah kalimat singkat yang gue balur dengan senyuman, yang padahal gue tercekik hebat ketika mengatakannya. Seperti sedang mencekik leher sendiri.
“Dia adalah analogi paling tepat dari sebuah kata Hampir. Hampir bahagia, hampir bersama, hampir dimiliki, dan hampir berhasil.” Tukas gue sambil meminum kembali air yang  sudah tinggal sedikit ini,
“Tapi.. entah kenapa, aku tetap merasa kehilangannya.”
Cloudy hanya diam memeluk dirinya sendiri. Mungkin angin malam sudah membuatnya malas berkata panjang-panjang dan lebih memilih bungkam ketimbang menyanggah semua perkataan gue barusan.
“Kamu tau? Dia hampir saja berhasil, bukan dia, tapi kami berdua. Entah hampir atau tidak, tapi yang jelas aku juga sadar bahwa dia juga punya rasa. Dan dia tau kalau aku juga mencintainya. Meski tau dia sudah dimiliki orang lain, dulu aku masih tetap mencintainya sebesar aku masih memiliki kemungkinan untuk memilikinya. Tapi yaaa, semua berakhir di kata-kata Hampir, bukan di kata-kata Berhasil.” Gue memasukkan tangan kiri gue ke dalam saku celana.
“Sekeras apapun mencoba, apapun yang aku lakukan kemarin itu kayaknya semua akan berhenti di kata-kata ‘bagus, tapi bukan itu yang dia cari.’, ‘Good, but Im not Enoguh’, kamu ngerti nggak?”
Cloudy masih saja diam.
“And damn! That hurt so much,” Gue kembali mengingat segala perjuangan yang sempat gue lakukan untuk mendapatkan Ipeh dulu.
“Kalau saja.. Kalau saja kami berdua berhasil melewati semua kata hampir itu, mungkin walaupun berpisah, semuanya nggak akan sesakit ini. Nggak akan semembingungkan ini. Setidaknya jika semua jelas, berpisah pun rasanya akan punya alasan yang pasti. Tapi kami tidak berhasil, benar-benar tidak berhasil. Kami hanya menyentuh kata Hampir.”
Ada hening yang lama menyelimuti kami berdua.
“Kami hampir bersama,” Gue mulai cerita lagi, “Dan mungkin karena hal itulah rasa-rasanya perpisahan ini sakit sekali. Lebih dari semua sakit yang pernah aku lalui kemarin.”
Gue menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya ke angkasa.
“Aku hampir menjadi orang yang pertama di hidupnya, tapi ternyata tidak. Dia hampir mencintai aku dengan seluruhnya, tapi semuanya luruh begitu saja. Bahkan terkadang sampai detik ini aku selalu berpikir salahku itu apa. Apa yang kurang? Aku salah di mana? Di hari apa aku kehilangannya? Di kesempatan yang mana hingga aku benar-benar tidak bisa lagi menjangkaunya? Waktu mana yang salah? Dan benar-benar menyakitkan menyadari bahwa kami berdua hampir sedikit lagi mencapai garis akhir yang disebut dengan bahagia, namun tiba-tiba takdir membuat kita berjalan saling bersebrangan. Hahahaha takdir memang brengsek banget ya.”
Gue terkekeh mengingat betapa bodohnya gue. Berjuang kuat-kuat padahal tahu apa yang sedang gue perjuangkan itu adalah sebuah kesalahan. Gue masih berpikir bahwa akan ada sebuah harapan kecil di mana kami akan berhasil melalui semua mimpi buruk ini. Tapi sialnya, karena bergantung di harapan kecil itulah yang sekarang malah membuat gue sangat terluka seberat ini.
Setelah ucapan gue yang panjang lebar tersebut, Cloudy tetap saja diam di samping gue tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Gue awalnya nggak curiga, sebelum tiba-tiba dia memukul lengan gue keras.
Buk! Gue sontak terkejut sambil memegangi lengan gue.  Tapi bukannya berhenti, Cloudy malah memukul lengan gue lagi dan lagi.
“Aduh aduh, oi apaan nih?!” Kata gue sambil masih melindungi tangan gue dari pukulan Nenek Lampir ini.
“BEGO!! BEGO!! BEGOOOOOOOOOOOO!!!!!” Dia terika sambil masih terus mukulin lengan gue.
“HAH?! Gue salah apa lagi sih, Wajan?!”
“ELO ITU BEGOK!!” Sekali lagi ada tonjokkan keras di lengan gue sebelum kemudian dia diam dan menatap ke arah depan lagi sambil masih memasang wajah kesel.
Gue yang nggak ngerti apa-apa ini cuma bisa diem sambil masih mengelus-ngelus lengan gue yang sudah dizolimi sebelah pihak doang. Pukulannya nggak sakit sih, pukulannya masih termasuk dalam kategori lemah lembut jika dibandingkan dengan pukulan Ipeh yang isinya otot semua. Tapi tetap saja gue kaget pas dia tiba-tiba mukul gue kaya begitu. Kesurupan setan Kosambi kali nih bocah.
Cloudy mengatur nafasnya, sedangkan gue masih sedikit menjauh karena kaget akan tingkah lakunya yang tiba-tiba tadi itu.
Belum sempat ada penjelasan, pesanan Ikhsan ternyata sudah selesai dan kini ia berjalan menghampiri kami berdua.
“Woi Beauty and The Beast, gue udah beres nih. Yok balik ke sekolah.” Katanya cengengesan sambil menunjukkan martabak yang ada di dalam kresek yang ia bawa.
Cloudy mengangguk mengiyakan ajakan Ikhsan lalu menyenggol tangan gue pelan,
“Ayok pulang.” Katanya dingin sambil berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari gue.
Cloudy menyebrang duluan bareng dengan Ikhsan. Namun sebelum sempat gue nyebrang jalan juga, HP gue berbunyi, ada sebuah SMS masuk. Otomatis gue diam sebentar untuk membacanya.
From: Ipeh
“I Still want you.”
Tulis SMS-nya singkat. Dari beratus-ratus SMS yang dia kirim ke HP gue seharian ini, hanya sms ini yang gue baca, sisanya langsung gue hapus tanpa dibaca terlebih dahulu. Di depan kata-kata singkatnya itu, gue semakin terpaku di sisi jalan sepi ini.
I still want you too, Peh. Sebenarnya gue juga tersiksa di sini. Bahkan kalau malam ini atau besok lo datang ketemu gue terus memeluk gue erat meminta dimaafkan, gue pasti memaafkan elo. Gue nggak pernah sanggup untuk membenci lo sedikitpun. Setelah semuanya yang kita lalui bersama, benci seharusnya bukanlah jalan akhir dari cerita ini. Jika dibandingkan dengan luka yang kita berdua derita, bahagia yang pernah kita lalui dulu itu jauh lebih banyak. Jadi, benci bukanlah jalan akhir yang pantas dari cerita ini.
Gue akan keluar dari OSIS kalau itu adalah taruhan yang harus gue bayarkan hanya agar gue dan Ipeh bisa memperbaiki ini semua. Apapun berani gue pertaruhkan for her. Namun, sudah begitu terlambatkah ini semua?
Sudah tidak bisa diperbaiki lagi kah kisah kami berdua?
Bagimana aku bisa membencimu, Peh? Jika alasanku untuk bahagia masih namamu juga? Aku masih menginginkanmu, masih menginginkan kita. Meski kau telah benar-benar menghancurkan semua, meski kamu telah memotong urat nadiku hingga aku terkapar kesakitan dan memilih untuk mati saja, aku masih tetap menginginkanmu.
Apakah kita harus berakhir seperti ini? Apakah ini memang akhirnya? Apakah dari semua bahagia di awal cerita, dari semua takdir yang membawa kita di banyak ketidak=-sengajaan hingga kita bisa begitu saling menyayangi seperti dulu itu, inilah akhir  yang harus kita derita bersama?
Biar bagaimanapun, aku tetap tidak bisa membencimu. Bahkan mungkin jika kau datang menemuiku malam ini sambil membawa tangis di kedua bola mata indahmu itu, aku akan langsung memelukmu erat dan melupakan semua hal keparat yang kita lalui sore tadi.
Meski kau hancurkan hatiku hingga tercerai-berai, aku masih berharap kau akan datang dan menyatukan semua kepingannya lagi. Sama seperti dulu waktu kita pertama bertemu, sama seperti ketika aku patah lalu kau datang mengisi penuh ceritaku.
Aku rasa ini bukan cinta. Cinta bukanlah yang seperti ini. Cinta seharusnya tidak membuatmu menghancurkan dirimu sendiri hanya demi orang lain–
.. yang bahkan jelas-jelas tidak memilihmu.
“Dimas?”
Tiba-tiba gue dikagetkan oleh suara lembut yang membuat gue kembali sadar dari lamunan gue barusan. Cloudy ada di sana. Dia kembali datang menyebrangi jalan hanya untuk menemui gue di sisi yang satunya. Dia datang.
Dia mencariku.
Dia bertanya, memanggil nama gue berulang kali sambil memegang pundak gue. Gue yang tadi masih tertunduk melamun menatap tulisan di HP gue tersebut langsung melihat ke arahnya.
“Sometimes, the person that you’d take a bullet for is behind the trigger.” Ucap Cloudy pelan ketika gue menatapnya.
Cloudy kemudian menggandeng tangan gue dan menariknya menyebrangi jalanan yang sebenarnya sudah sepi dari kendaraan sama sekali. 
Sebelum masuk ke dalam mobil, Cloudy membalikkan badannya dan menatap gue sekali lagi. Kali ini tatapannya berbeda, lebih sendu ketimbang biasanya.
“Lets go home.”  Ucapnya pelan sekali. 
Gue hanya mengangguk mengiyakan tanpa menjawab sepatah kata apapun sebelum kemudian kami berdua masuk ke dalam mobil.
Love.. Love shouldn’t like this. Because Almost, Almost is never enough for love.
.
.
.
                                                       Bersambung
Previous Story: Here                                                
254 notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Text
Me: I want to travel
Bank account: you can afford to walk downstairs
167K notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Hai! :)
0 notes
yunoia · 8 years ago
Text
Anjiiiiirrrrrrrrr!! Scene "Pulsa dia abis" nya tasya ini warrrrrrrrbiasaakk bahahahahakk 😂😂😂😂😂😂😂
The Way I Lose Her: A Night To Remember
Setelah semua yang pernah dilalui bersama, kini kita bertingkah selayaknya kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Sejauh itu.
                                                       ===
.
Trrrt…
Lagi situasi genting begini tiba-tiba HP gue bunyi memecah keheningan di antara kami berdua. Gue rogoh ke dalam saku untuk melihat siapa yang nelepon gue kala itu, tapi begitu gue lihat ada nama Ipeh di sana, gue langsung matikan dan kembali memasukannya ke dalam saku.
“Nggak diangkat?” Tanya Cloudy tiba-tiba setelah melihat raut wajah gue berubah.
Gue melihat ke arahnya, “Eh? Kagak ah.”
Gue kembali menaikan tangan menutupi jalan Cloudy,
“Heh! Jawab gue jangan malah diem begini. Nggak baek lama-lama di dalem wc cewek, ntar ada Mr.Gepeng baru tau rasa.”
“…”
Cloudy melirik ke arah saku tempat gue menyimpan HP, lalu kemudian melihat ke arah gue lagi.
“Gue akan jawab kalau lo mau jawab pertanyaan gue.” Tukasnya dingin.
“Lah kok pertanyan gue malah dibales sama pertanyaan lain sih?!”
“Yaudah kalau nggak mau. Minggir gue mau ke lapang.”
“Eh eh eh, iya deh iya. Mau tanya apaan emang?”
“Tell me what happen with you 3 hours before.”
“…” Gue menelan ludah. “Kagak ada pertanyaan lain apa?” Lanjut gue.
“Jawab aja.”
“Jangan pertanyaan itu ah, itu masalah pribadi itu.”
“Ya lo pikir masalah gue suka sama siapa itu bukan masalah pribadi gue sendiri apa?!”
“Iya juga ya.” Jawab gue sambil memasang tampang bego.
“Udah ah! Tinggal jawab aja ribet banget.”
“Ngg.. Aduh gimana ya. Hmm.. Aduh..” Gue makin bingung.
Sebenarnya tanpa Cloudy minta juga gue bakal cerita sih, hanya saja untuk saat ini gue masih belum menemukan saat dan kata-kata yang tepat untuk memulainya. Gue masih merasa masalah antara gue dan Ipeh ini tuh janggal, dan selama gue masih belum menemukan jawaban fix-nya, rasanya gue masih susah untuk cerita sama orang lain.
“Ah yaudah, gue juga udah males buat ngejawab pertanyaan lo. Lagian gue suka sama siapa ya urusan gue, ngapain juga lo mau tau. Emang lo siapa? Udah awas, gue mau ke lapang. Gue nggak mau nanti malah jadi ada berita aneh gara-gara ada yang ngeliat gue sama lo di dalem WC cewek begini. Awas!” Cloudy menurunkan tangan gue yang sempat menghalangi jalannya itu dengan kasar lalu begitu saja pergi meninggalkan WC cewek.
“Lah nih anak malah ninggalin gue! Woi! Cloudy!!” Gue berlari menyusulnya keluar.
Meski saat itu Cloudy berjalan cepat, gue yang lari-lari kecil ini pada akhirnya sempat menyusulnya juga. Gue berjalan di sampingnya sambil masih memasang tampang penasaran.
“Heh! Pelit amat lu sama temen sendiri. Jawab kek, gue penasaran nih..” Tanya gue sambil masih berusaha berjalan dengan tempo yang sama.
Namun, bukannya menjawab, Cloudy malah tiba-tiba berhenti begitu saja. Sontak gue juga ikutan ngerem dan memandangnya dengan tampang serius. Tapi Cloudy nggak mau kalah dan malah memasang tampang lebih serius. Serem banget. Galon dispenser aja langsung kempes kalau dibentak sama dia saat ini juga.
“Tanpa harus lo beritahu juga gue udah tau garis besarnya.” Tukasnya tiba-tiba.
“Eh?” Gue sedikit kaget.
“Masalah cewek tomboy itu kan? Pada akhirnya semua selesai dan berakhir sebagai elo yang nggak dipilih, kan?”
Gue kaget. Kaget sekaget-kagetnya. Ini anak wetonnya apa sih?! Kok bisa ngeramal begini?! Keturunan Limbat nih pasti.
“Gotcha! Dia diem. Berarti tebakan gue benar.”
“Lah?! Jadi tadi tuh elu cuma nebak-nebak doang?”
“Ya siapa juga yang bisa tau. Lo pikir gue bisa baca pikiran orang apa?”
“Anjir gue kira elu udah tau?!”
“Bego.”
“…”
“Tapi kalau boleh gue ngasih tanggapan, pardon me, but I really happy to hear that.”
Gue yang sempat ngelamun tadi langsung terkejut dan melihat ke arahnya.
“Sorry, but your work lately is not good at all. Lo nggak seperti waktu dulu di Museum itu. Pekerjaan lo jadi banyak yang salah. Dan tebakan gue benar, lo jadi seperti ini karena cewek tomboy itu. Sorry to say, but she’s not good for you.” Ucapnya ketus lalu berbalik dan pergi begitu saja ke lapangan meninggalkan gue sendirian.
.
                                                                        ===
.
Kesel? Iya. Jujur gue kesel banget. Meskipun gue sudah tersakiti dengan begitu sangat oleh Ipeh, tapi rasanya baru kali ini gue merasa kesal mendengar semua perkataan Cloudy barusan yang tampaknya merendahkan Ipeh—walau dengan perkataan yang jelas-jelas merendahkan gue.
Gue tidak setuju! Ipeh tidak membuat gue jadi banyak salah, itu cuma karena gue nggak fokus aja. Ipeh malah membantu gue untuk jadi lebih baik, lebih senang menjalani hari. Dan Cloudy seharusnya tidak berhak menghakimi Ipeh seperti itu, dia tidak tahu berapa banyak kejadian bahagia yang gue dan Ipeh lalui sebelum bertemu dengannya kala itu.
Ah! Cinta memang sialan!
Bahkan sudah disakiti dengan sangat pun, gue masih membelanya seperti ini. Gue merasa benar-benar seperti pecundang detik ini.
Kembali ke cerita.
Begitu gue memasuki lapangan basket, anak-anak yang lain udah bubar dan beberapa ada yang memilih pulang, tapi ada juga beberapa yang masih sibuk ngurusin alat musik di panggung, listrik beserta genset untuk menyalakan lampu, mengatur ulang spanduk, dan lain-lain.
Gue celingak-celinguk nyariin Ikhsan berharap ada temen ngobrol. Dan gue dapati dia sedang naik di atas ring basket buat ngatur lampu beserta anak-anak logisitik kelas satu yang lain.
“Woi anak setan! Ngapain dah lu malem-malem di atas? Ati-ati kesurupan nanti.” Kata gue yang kemudian dibarengi dengan tawa-tawa teman-teman yang lain.
“Datang-datang ngajak berantem si Combro. Apaan sih lu?! Mending bantuin gue sini masangin lampu. Udah mepet ini waktunya takut nggak keburu.”
Karena gue saat itu nggak ada kerjaan dan kebetulan mungkin bisa ngobrol sama Ikhsan juga, akhirnya gue nurut buat nemenin si Monyet masang lampu. Dengan sigap gue langsung naik ke atas Ring basket dengan cara memanjat tiang pancang di belakangnya.
“Hahaha anak keturunan monyet cepet bener manjatnya.”
“Tai lu. Sini, apa yang bisa gue kerjain?”
“Ambil paku sama palu noh, pasangin paku di sini.” Ikhsan menunjuk ke salah satu tempat di papan basket. “Jangan terlalu dalem pakunya, ntar susah dicabutnya.”
“Kaya kuntilanak aja pake acara nyabut paku.” Bales gue ketus.
“Heh! Pamali ngomongin kuntilanak malem-malem gini! Kesurupan wewe gombel baru tau rasa lo nanti.”
“Elo sendiri juga ngomongin setan, anjeng.”
Ikhsan cuma tertawa gitu aja dan melanjutkan memasang tali buat lampu-lampu.
Sambil masih fokus menalikan tali lampu, Ikhsan melirik ke arah gue, “Lo bakal nginep Dim hari ini?” tanyanya.
“Enggak kayaknya. Pengen tidur gue, mana tadi siang kehujanan lagi, jadi pilek nih.”
“Yeee itu sih salah lo sendiri. Udah kaya India aja lu sakit hati doang pake acara lari-lari di bawah hujan.”
“Diem lu, gue jorokin dari atas sini tau rasa nanti!”
Lagi asik gelut di atas tiang basket, salah satu anak logistik di bawah memanggil kami berdua.
“Woi suami istri sakinah! Salah satu dari elo ada yang ngurus lampu di gerbang depan dong. Kurang orang nih. Di sini cukup satu orang aja.” Katanya.
Gue melirik ke arah Ikhsan.
“Elo aja sana Dim, gue kan udah duluan di sini. Sebagai pendatang baru, elo aja yang ngurusin gerbang. Sana-sana hus.” Ikhsan mendorong gue agar segera turun.
“Jahat amat lu sama temen sendiri. Gue sumpahin besok pagi kalau makan nasi, nasinya bukan dari beras padi, tapi dari beras kencur!”
Ikhsan cuma bisa ketawa ngakak waktu gue ngomong begitu. Bukannya tersinggung, lah dia malah bahagia di atas ring basket karena berhasil ngusir gue.
Setelah sempat ngobrol sebentar tentang konsep bersama para anak logistik, akhirnya gue cabut ke gerbang depan sekolahan yang dekat dengan parkiran motor. Karena kondisi lingkungan sekolah yang tidak cukup besar, maka panitia tidak menggunakan gerbang depan sekolahan sebagai gerbang masuk para pengunjung Bazzar.
Kepala sekolah tidak mengizinkan karena takut ramainya pengunjung Bazzar nanti bisa merusak taman-taman kecil yang ada di deket gerbang sekolah. Jadi walaupun nanti gerbang sekolah hanya dipakai buat parkir para panitia dan mobil sound system, tetap saja harus diberi penerangan dan dihias agar terlihat bagus dari luar.
Ketika orang-orang yang lain lebih memilih fokus mengurusi penerangan di area bilik-bilik penjualan anak kelas satu, hanya ada segelintir orang yang mau memasang penerangan di area gerbang sekolah. Jadi otomatis saat itu keadaannya tidak cukup terang, hanya sekedar lampu penerangan ala kadarnya.
Dengan berbekal paku dan palu serta segulung kabel untuk lampu, gue mulai memasang kabel lampu di daerah-daerah yang tidak terlewati oleh orang agar tidak putus atau sobek jika diinjak mereka nanti. Setelah memasang kabel, gue harus menutupi seluruh badan kabel dengan selotip hitam.
Setelah itu pekerjaan gue selanjutnya adalah pemasangan lampion, tapi untuk kali ini gue hanya cukup memasang beberapa saja karena sisanya sudah diurus oleh kakak kelas yang lain. Waktu sekarang sudah semakin malam, tapi bagusnya setelah sempat hujan besar tadi sore, kini langit malam menjadi cukup cerah. Bulan hampir berdiri di puncaknya, dan jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Hanya tinggal memasang dua lampu lampion lagi sebelum tiba-tiba ada yang memanggil gue dari belakang.
“DIMAS!!” Teriaknya.
“Paan?” Jawab gue tanpa menengok dan masih fokus mengaitkan kait lampion. Gue sudah cukup fasih sama suara nyebelin ini.
“Kamu ngapain sih di sini?! Aku cariin dari tadi tau nggak?! Aku udah muter-muter jauh sampai ke bilik kelas kamu terus balik ke dalem kantin tapi kamu malah ada di sini! Gimana sih?!”
Lha emang yang  nyuruh dia buat nyari gue siapa dah?! Ngapa gue disalahin lagi?!
Gue tidak menghiraukan pertanyaannya. Tapi bukannya dia bete karena gue cuekin lalu memilih pergi, eehh dia malah makin ngerepotin gue. Emang udah tipikalnya kaya begini dari pertama gue kenal dulu. Bikin ribet doang kaya kaca Helm yang bautnya udah kendor terus nutup-nutup sendiri tiap ada polisi tidur.
“Heh! Ditanyaain malah nggak jawab! Nggak sopan!” Kepala gue dia pukul pake gulungan kertas.
“Lo ngapain sih di sini?!” Tanyanya galak yang sekarang ada di sebelah gue, marah-marahin gue seakan gue udah punya salah sama dia.
“Rapat Karang Taruna.” Jawab gue dingin.
“Nggak lucu!! Udah berhenti ngurusin lampu, tugas elo kan nemenin gue, Dimas!”
“Lah, sejak kapan?!” Gue nggak terima.
“Lo kan dulu disuruh kang Ade nemenin gue buat cari sponsor.”
“Nah iya, cuma sampai cari sponsor doang kan tugas nemenin elunya?”
“Kata siapa?! SAMPE BAZZAR INI SELESAI!”
“…”
“Heh! Kok diem?!”
“Tau ah males gue.”
“Cepetan ih temenin gue! Masih banyak yang harus dikerjain juga. Gue nggak mau jalan-jalan di sekitaran sekolah malem-malem begini, Dimas!”
“…”
“Belom lagi kalau nanti ada kubangan air, kan nggak ada lampu. Mana gelap lagi ah. Terus ini juga kertas rundown kebasahan air hujan. Aduh Dimas! Dengerin gue nggak sih?!”
Ya Robb, kenapa sih dia yang salah tapi ujung-ujungnya malah nama gue yang dia sebut :(((
“Data barang jualan anak-anak kelas satu juga harus gue rekap ulang ini. Malem-malem begini lagi aduuuh. Pokoknya masih banyak banget yang harus gue kerjain. Ayo cepet ih! Udah dong masang lampunya! Biar orang lain aja yang urus.”
“IYA IYA BAWEL AH! SATU LAMPION LAGI NIH NANTI DAH GITU BARU GUE TEMENIN!”
“Kok elo jadi marah sih?”
“YA DIPIKIR AJA! HIH..”
“Apaan deh. Cepetan, gue tungguin di sini yaa..”
Cloudy kemudian berjalan ke arah teras pos satpam dan duduk di sana melihat ke arah gue yang masih sibuk masang lampion. Sebenarnya lampionnya tinggal dipasang begitu aja sih, tapi sengaja gue lamain karena gue males nemenin dia kemana-mana.
Dia melipat kakinya sambil memasang earphone mendengarkan lagu-lagi dari Ipodnya. Di sampingnya ada berbagai kertas yang nggak gue ngerti gunanya apa. Sesekali dia bersenandung membuat gue jadi melirik sedikit ke arahnya.
Trrrtt.. Hp gue bergetar lagi.
Gue turun dari kursi tempat gue memasang lampion tadi, lalu melihat siapa peneleponnya. Dan lagi-lagi ada nama Ipeh muncul di situ. Bukannya suasana hati jadi lebih baik, gue malah jadi makin senewen dan menekan tombol reject kencang-kencang sambil mendengus kasar. Setelah mati, gue masukan HP gue ke dalam saku.
“Dim.” Tiba-tiba Cloudy memanggil. “Dia lagi?” tanyanya yang lalu melepaskan earphone yang dari tadi bertengger di telingannya.
Gue tidak menjawab, gue hanya melihat ke arahnya lalu kembali naik ke atas kursi.
“Dim.”
“Dim..”
“Dimas.”
“Woi Dimas..”
“Dimas!”
“DIMAS!”
“DIMAAAASSS!!!”
“APAAN SIH CLOUDY?! BERISIK TAU NGGAK?!”
“Yee malah marah, sini, duduk sini bentar. Gue mau ngomong.”
“OGAH!”
“Dimas ih! Gue mau ngomong..”
“Bodo amat! Elo aja yang kesini. Yang punya urusan kan elo.”
“Nanti gue kasih tahu deh siapa gebetan gue.”
Gue langsung menengok. Memasang tampang curiga. Jangan-jangan gue mau ditipu lagi nih.
“Serius?” Tanya gue sedikit nggak percaya.
“Iya cepet, duduk sini dulu.”
“Yaudah deh. Bentar.”
Akhirnya gue turun dari kursi lalu menghampirinya dan duduk di sebelahnya dipisahkan oleh tumpukan kertas-kertas.
“Siapa?” Tanya gue langsung ketika gue baru saja duduk.
“Bentar, sebelum itu ceritain dulu garis besar kejadian tadi sore.”
“Kan! Gue ditipu lagi kan! Kagak mau ah.” Gue kembali berdiri dan pergi memasang lampion lagi.
Kini Cloudy juga ikut berdiri dan mendatangi gue. Tapi gue tidak menghiraukannya dan masih serius benerin lampion.
“Siapa yang lebih bodoh? Mencintai pacar orang, atau mencintai orang lain padahal sudah punya pacar?”
Dengan polosnya Cloudy bertanya seperti itu di sebelah gue.
“…” Gue tidak menjawab dan masih tetap pura-pura serius memasang lampion.
“Gue nggak pernah sih ada di posisi ini, tapi kalau dipikir-pikir, bukankah kalau memang suka, kalau memang sayang, nggak seharusnya semudah itu memilih orang lain?”
Cloudy kini bersandar di gerbang melihat ke arah gue.
“Pernyataan itu bisa untuk dua orang tadi. Kalau memang cinta rasanya untuk memilih orang lain pun tidak akan kepikiran. Juga, kalau memang cinta, rasanya menaruh rasa selain sama pacarnya itu termasuk hal yang tidak mungkin. Kalau sudah tidak cinta kenapa tidak sama-sama pergi? Pergi meninggalkan pacarnya mungkin, atau mungkin juga pergi meninggalkan orang yang sudah punya pacar.”
Cloudy melipat tangannya dan memandang ke arah langit malam.
“Sekarang pikir deh, jika dia memilih dan senang serta nyaman bersama orang yang bukan pacarnya hanya karena orang itu selalu ada ketika dia butuh, kenapa bukan orang itu saja yang dipilih? Logikanya sih, menurut gue karena orang itu ‘just not enough.’ For her, dan gue rasa orang itu juga tahu, hanya saja orang itu memilih untuk tidak mau tahu. Such as denial.”
Gue melihat ke arahnya, cukup tertohok oleh pernyataan yang ia lontarkan barusan. Cloudy melirik ke arah gue, lalu kembali melihat lurus ke depan.
“Bodoh kan? Bodoh banget. Kaya nggak ada pilihan lain aja.” Sambungnya, “Ada kalanya berjuang juga perlu tahu waktu, perlu tahu tempat. Nggak mungkin kan berjuang untuk sesuatu yang nggak jelas. Mana ada pahlawan Indonesia yang berjuang tanpa ada alasan penting di belakangnya. Mereka berjuang untuk sesuatu yang mereka punya, untuk mepertahankan yang memang milik mereka. Tapi, di kasus ini, berjuang untuk mengambil milik orang lain itu lantas apa bedanya sama penjajah?!”
Ada sedikit nada kesal keluar dari mulut Cloudy, gue nggak tahu kenapa.
“Ngabisin waktu, ngabisin tenaga. Kok mau-maunya sih?!” Cloudy menatap gue.
Gue diam sebentar, mengaitkan lampion tadi lalu kemudian turun dari kursi dan berdiri di hadapannya.
“Coba tanyakan pertanyaan itu sama diri sendiri, seseorang yang juga sedang jatuh cinta pada cinta yang tidak jatuh kepadanya.” Balas gue dengan nada berat tanpa ekspresi seperti biasanya.
“…”
.
                                                            ===
.
Angin berhembus kencang, membuat suasana Bandung malam ini semakin dingin. Namun tidak di antara kami berdua. Gue yang memang sedang sedikit kesal dengan Cloudy membuat pembicaraan yang tadi sempat berjalan begitu saja tiba-tiba berubah menjadi sebuah hening yang cukup panjang.
Sehabis perkataan gue barusan, Cloudy terlihat ingin menjawab tapi tidak menemukan kata-kata yang tepat. Berulang kali ia mencoba bersuara namun mulutnya kembali tertutup.
“Bodohkah berjuang untuk seseorang yang kita sayang? Bukankah kamu juga sedang begitu sekarang?” Kata gue masih dengan ekspresi yang sama.
“…”
“Bukankah itu juga yang mantanmu lakukan dulu hingga dia beberapa kali ngajak gue berantem di luar sekolah?”
“…”
“Bukankah itu juga yang dilakukan oleh orang-orang yang kamu tolak cintanya? Mereka berjuang untuk sesuatu yang mereka sayang. Bodohkah?”
Cloudy hanya menatap gue dingin.
“Tapi mereka semua punya pilihan kan?!” Balasnya.
“Iya, tapi bisakah mereka memilih pilihan yang lain?”
“Bisa dong!”
“Bisakah kamu berhenti mencintai orang yang sedang kau cintai sekarang itu?”
“…”
“Bisa?”
“Bi.. Bisa kok!” Jawabnya tak mau kalah.
“Lantas kenapa nggak kamu lakukan?”
“Itu.. Itu karena.. Ngg.. Karena.. Gue.. Ih!! Kenapa lo jadi mojokin gue sih?!”
Lagi ngobrol serius seperti ini tiba-tiba ada angin tidak sedap lewat di tengkuk gue, membuat bulu kuduk gue berdiri semua. Sontak gue menengok ke belakang.
Oh ternyata ada Ikhsan lewat. Dia melihat gue lagi ngobrol berdua lalu kemudian belok berjalan ke parkiran. Kampret, bikin kaget aja. Bener-bener deh gue nggak bisa ngebedain mana yang keturunan manusia sama mana yang keturunan demit.
Gue kembali menatap Cloudy.
“Kalau begitu bolehkah gue memilih?”
“Bo.. boleh. Emang seharusnya kamu memilih kan?”
“Kalau gue memilih untuk berjuang mendapatkan hati lo lagi. Apakah gue bodoh?”
“Eh?”
Tiba-tiba ada hening panjang lagi. Suara hembusan angin terasa begitu keras di antara dua percakapan yang tak bersuara ini.
“Tapi.. Tapi kamu kan udah janji.” Jawabnya pelan.
“Nah, bodohkan jika gue seperti itu?”
“Ngg.. itu..”
BREM!! Tiba-tiba ada suara motor dinyalakan. Kenceng bener! Gue langsung nengok ke arah parkiran. Dan seperti yang gue duga, si Ikhsan lagi manasin motor malem-malem begini. Anjir itu anak ganggu bener dah, bahkan dari jarak jauh pun bisa terasa hawa mengganggunya. Kagak tau gue lagi ada di situasi serius apa?!
Gue kembali melihat ke arah Cloudy.
“Nah maka dari itu. Ada beberapa alasan yang nggak logis yang membuat gue tidak semudah itu pergi seperti yang lo pikirkan barusan.”
BREEEM!! Tiba-tiba motor si Monyet dibunyikan lagi. Udah 2x suara motor bangke itu dibunyikan keras.
“Kalau tahu udah nggak dipilih, kenapa malah memiilh bertahan? Bodohkah?” Cloudy kemudian membalikan seluruh pertanyaan gue.
Kini gantian gue yang terdiam
“Menunggu yang nggak pasti itu memuakkan. Maka jangan salahkan dia yang memilih orang lain ketimbang menunggu dalam sebuah ketidakjelasan.”
BREEEEEEEMMM!! 3x suara motor brengsek itu memotong pembicaraan gue ketika sedang penting-pentingnya. Kali ini suaranya lebih panjang. Sekali lagi bunyi bakal dapet payung cantik nih.
Cloudy melipat kedua tangannya,
“Mau menyalahkan orang lain? Bukankah ada alasan kenapa dia jadi memilih orang lain dan bukannya memilih menunggu? Pernahkan kamu pikirkan itu sebelumnya?” Sanggah Cloudy.
“Tapi.. tapi.. seharusnya bisa dikomunikasikan dulu kan sebelum memutuskan untuk mem..”
BREEEEEEEEEEEEEEEEM!!
“WOI ANJING BERISIK BANGSAT!!! KAGAK TAU ORANG LAGI NGOBROL SERIUS APA HAH?!” Gue naik pitam lalu ngelempar Ikhsan pake kayu triplek bekas alas lampion.
Ikhsan yang kaget dengan teriakan gue itu cuma bisa terdiam melihat ke arah gue penuh tanda tanya dari kejauhan di parkiran motor..
Sebelum kemudian..
BREEEEEEEM!!
Dia bunyikan sekali lagi motornya tanpa rasa bersalah.
Ya Robb :(((((
.
                                                          ===
.
Breeeemm…
Motor butut warna merah dia pacu pelan menuju gerbang sekolah yang sudah sedikit terbuka untuk keluar masuk kendaraan panitia. Sebelum keluar, ia berhenti di samping kami berdua lalu membuka helmnya yang tinggal setengah itu.
“Gimana? Informasi gue berguna kan?” Kata Ikhsan sambil membetulkan bentuk rambutnya.
“Hah?” Gue nggak ngerti.
“Lumayan.” Tiba-tiba Cloudy menjawab pelan.
“Eh?!” Gue langsung melihat ke arah Cloudy, Cloudy hanya menatap gue dengan tatapan sinisnya seperti biasa, kemudian gue menatap Ikhsan.
“Ada apaan nih?” Gue makin nggak ngerti.
“Dapet wejangan apa lu dari si Ibu tiri ini?” Tanya Ikhsan sama gue yang masih bengong.
“Hah? Jadi?! Elo yang ngasih tahu dia tentang masalah gue?!”
“Hooh.” Ikhsan angguk-angguk polos tanpa rasa bersalah.
“Anjir!! Temen macam apaan lo?! Rahasia temen sendiri dibongkar-bongkar! Bangke!”
“Sorry Dim Sorry, gue dijanjiin bakal ditraktir es jeruk sama dia soalnya tadi sore.”
“JADI HARGA DIRI GUE LO TUKER HANYA DEMI SEONGGOK ES JERUK DOANGAN?!”
“Ya mau gimana lagi, gue haus tadi sore.”
“Ya Allah, gue sumpahin lu mati di jalan ketabrak sepedah roda tiga!”
“Hahahaha.. Lagian gue nggak ngasih tahu semua kok, cuma garis besarnya aja. Dan tampaknya Ibu ini juga sudah memberikan elo wejangan yang cukup ampuh.” Tukas Ikhsan sembari menunjuk ke arah Cloudy.
“Tai ayam! Awas aja ya lu nanti! Lagian malem-malem gini mau kemana lu? Balik? Katanya bakal nginep?!” Gue keplak spion motor bututnya sampe menghadap ke atas kaya orang lagi berdoa.
“Yeee sok tahu lu Japra.” Ikhsan membenarkan spion motornya lalu kemudian berkaca sebentar, “Gue mau beliin anak-anak martabak. Lumayan tadi dikasih uang kas sama Lisa.”
“Dih, mau beli di mana?”
“Muter-muter aja cari yang enak.”
“Ikut dong gue! Bener-bener butuh angin seger nih.”
Tanpa persetujuan dari Ikhsan, gue langsung naik dan duduk di kursi belakang motornya. Ikhsan pun tampaknya tidak keberatan dengan keputusan sepihak gue barusan, dia langsung memasang helmnya. Tapi ternyata yang keberatan malah orang lain, siapa lagi kalau bukan si Nona Ribet.
Baru juga mau jalan 2 centi, Cloudy langsung menghalangi laju motor Ikhsan.
“Heh! Ngapain lu? Minggir sono. Mau bunuh diri?” Tanya Ikhsan ketus.
“Tabrak aja, San.. Tabrak. Gue Ikhlas.” Gue bisik-bisik dari belakang.
“Nggak tega anjir gue, Dim. Lagian motor begini kalau nabrak orang yang ada malah motor gue yang rusak.”
“Ah motor sama yang punya ternyata sama aja. Rongsok.”
“EH?! KENAPA LO JADI NGEHINA MOTOR GUE ANJING! NGAJAK BERANTEM?!”
“AYO BERANTEM SIAPA JUGA YANG TAKUT!”
“YEE TURUN LO DARI MOTOR MEWAH GUE!!”
“ENAK AJA. ELO AJA YANG TURUN SANA!”
“INI MOTOR GUE NJING!”
“YA TERUS?!”
“WOOOOOOOOOOOOOI!!!!!”
JEBRAK!! Tiba-tiba Cloudy memukul kepala motor Ikhsan keras sampai mesin motornya mati sendiri. Bener-bener motor butut. Dikeplak sedikit langsung soak dinamonya.
Kami berdua yang tadi mau berantem langsung menengok ke arah Cloudy.
“Gue ikut!” Katanya tiba-tiba.
“EH?!” Kami berdua terkejut.
“Apa?!” Ancam Cloudy.
“Elu mau naik motor ini juga? Tapi gapapa deh, di tengah aja sini Dee. Betul nggak, San?”
“Akur, Dim! Yuk Clow, dingin-dingin begini emang enak nduselan bertiga biar anget.” Ikhsan cengengesan.
“APAAN SIH KALIAN?!”
Dengan sigap Cloudy mengambil kunci motor Ikhsan sehingga motornya nggak bisa dinyalain lagi. Kami berdua cuma bisa diem aja ngeliatin tanpa perlawanan.
“Siapa juga yang mau naik motor uzur begini! Gue masih mau hidup!”
“…” Gue melihat ada setetes air mata Ikhsan turun mendengar motornya dihina begitu jahat sama orang kaya.
“Ayok, naik mobil gue aja. Sekalian makan malem, gue laper.”
Gue sama Ikhsan saling berpandangan. Ada rasa-rasa tidak setuju di benak kami berdua.
“Gue traktir.” Tambah Cloudy lagi.
“SIAP!!” Kami berdua langsung loncat dari motor dengan secepat kilat.
Ikhsan mengambil kunci motornya di tangan Cloudy itu lalu menaruh motornya kembali ke tempat parkir, setelah itu dia langsung berdiri di sebelah gue.
“YUK!” Jawab kami berdua kompak.
Cloudy cuma mendengus kasar, dia berbalik arah mengambil tasnya yang ada di teras pos satpam lalu pergi menuju tempat mobilnya di parkirkan di luar sekolah.
Begitupun dengan gue dan Ikhsan, Ikhsan langsung pergi mengikuti Cloudy dari belakang, sedangkan gue mengambil tumpukan kertas yang sengaja ditinggal Cloudy dengan dalil minta dibawakan tapi nggak mau minta tolong itu. Sebelum menuju mobilnya, Cloudy berjalan ke arah warung kopi depan sekolah.
Tampaknya ia sedang berbicara dengan supirnya, sebelum kemudian kembali menghampiri kami berdua sambil membawa kunci mobil.
“Loh? Nggak sama supir?” Tanya gue.
“Gue yang bawa.”
“Terus supir lo ditinggal gitu aja?”
“Iya, suruh nunggu.”
“…”
Kasian amat itu supir, punya majikan galak banget kaya bawang merah.
Tak cukup jauh, akhirnya kami mendapati mobil Cloudy setelah alarmnya dibunyikan dari jauh. Gue memilih duduk di belakang dan membiarkan Ikhsan di depan sebelum kemudian pas gue baru buka pintu belakang, gue langsung ditarik sama Ikhsan.
“Depan lo.”
“Kagak mau!”
“Yeee nggak tau terima kasih. Udah depan sono.”
“IH!! Curang!”
“Nurut!” Ikhsan memasang wajah galak, kali ini gue melihat dia agak serius.
Gue menghela napas, “Yaudah deh.” Akhirnya gue mengalah juga dan duduk di kursi depan, sedangkan Ikhsan bersenandung ria di belakang.
Gue memasang seatbelt, begitu juga dengan Cloudy yang tampak grogi di sebelah gue. Saat itu gue belum tau kalau ternyata Cloudy baru bisa nyetir mobil, jadi gue hanya menganggap sikap groginya ini hanya karena dia baru pertama kali pergi bertiga doang sama gue dan Ikhsan.
“Dim!” Tiba-tiba kepala Ikhsan nongol di antara gue dan Cloudy.
“Paan?”
“Mobil orang kaya kenapa bau Pandan gini ya?” Tanya Ikhsan polos, dan gue langsung ketawa ngakak.
“Mungkin minuman ale-ale-nya tumpah, San. Hahahahaha.”
“Hahahahahaha.” Ikhsan ikut ketawa sebelum kemudian kami berdua dicubit keras sekali secara bergantian sama yang punya mobil.
Setelah pelan-pelan keluar dari tempat parkir, akhirnya kami mulai jalan-jalan bertiga. Kecepatan mobil saat itu tidak terlalu kencang, bahkan termasuk lambat kalau kata gue.
“Kemana ini?” Tanya Cloudy.
“Lah, pan elu yang mau makan. Kita mah ngikut aja. Tul nggak sob?” Tanya gue.
“Betul sekali Bung Dimas.”
“Ih! Aku nggak hapal jalanan Bandung.”
“Yeeeeee ribet dah. Lu mau makan apa emang?”
“Apa aja. Terserah.”
“Pfft cewek di mana-mana sama, terserah mulu. Oi nyet, makan di mana?”
“Ke Dipatiukur aja, kita makan pecel lele atau ayam goreng. Di sana enak-enak terus murah pula. Yang pasti kenyang juga.”
“Yowes, gih maju sana Dee, gue yang nunjukin jalan nanti.”
Cloudy tidak menjawab, ia hanya fokus melihat ke arah jalanan dengan muka tegang banget. Dagunya sampai maju dekat stir saking fokusnya.
Breem.. Ckit… Brem.. Ckit.. Brem Ckit…
Hampir ada 10x mobil ini maju terus ngerem mendadak, terus maju, terus ngerem lagi, terus mati di tengah jalan karena lupa nginjek kopling.
“Dee! Elu bisa nyetir kagak sih?!” Gue mulai senewen gara-gara kecekek tali sabuk pengaman.
“Ngg.. Gue baru belajar nyetir bulan lalu.” Jawabnya sambil masih fokus jalanin mobil pelan-pelan.
Mendengar hal itu, gue langsung nengok ke belakang. Tampang Ikhsan sudah pucet banget, dia yang tadi ketawa-ketawa sekarang langsung hening kaya lagi berhadapan face-to-face sama Malaikat Izrail. Sambil masih gelagapan Ikhsan langsung meraih cepat sabuk pengaman di kursi belakang dan memakainya. Begitu juga dengan gue yang langsung mengencangkan sabuk pengaman diiringi dengan baca ayat kursi.
Sedangkan di belakang, Ikhsan langsung baca Al-Quran mini yang ia temukan di sebelah alat-alat solat kepunyaan sopirnya Cloudy.
.
                                                        ===
.
Akhirnya setelah melewati berbagai macam cobaan di jalan, dan berkali-kali hampir nabrak sampai disumpah-serapahkan oleh pengguna jalan yang lain, kami bertiga sampai dengan selamat di salah satu warung makanan Pecel Lele di pinggir jalan DU, samping kampus Universitas Padjajaran.
Begitu selesai parkir dengan selamat, Ikhsan langsung keluar dari mobil dan mencium tanah.
“YA ALLAH!! HAMBA MASIH HIDUP HAMBA MASIH HIDUP!!!”
Begitu juga dengan gue yang langsung memeluk Ikhsan dengan penuh haru.
Cloudy keluar dari mobilnya, lalu menghampiri kami berdua.
“Lebay! Ayo mana warungnya? Aku laper.” Kata Cloudy sombong yang kemudian kami lirik dengan tatapan penuh kebencian.
Kami bertiga langsung masuk ke warung pinggir jalan di sana dan duduk di satu meja yang sama. Ikhsan memanggil mas-masnya untuk membawakan menu, sedangkan gue langsung membuka sebungkus kerupuk buat camilan karena sudah terlanjur lapar berat.
“Clow, bener nih ditraktir?” Tanya Ikhsan sambil membuka-buka buku menu.
Cloudy angguk-angguk tanda mengiyakan.
“Asik, kalau gitu gue pesen ayam goreng, nasi uduk dua, sama es jeruk. Elo, Dim?” Ikhsan menyerahkan buku menu ke gue.
“Samain aja, tapi gue pecel lele. Tambahin kol gorengnya.” Kini gue menyerahkan buku menu ke Cloudy, “Dee, pesen apa?” Tanya gue.
“Kalian makan banyak bener.” Cloudy tampaknya sedikit terkejut melihat pesanan kami berdua.
“Ya namanya juga laper, habis kerja keras masang lampu, tul nggak nyet?”
“Hooh hooh.”
“Cepetan, mau makan nggak?” Tanya gue lagi.
“Nggak deh nanti aja, mau liat dulu.”
“Yasudah~ Mas!! Pesen mas!”
Si mas-mas-nya pun datang lalu mencatat pesanan kami berdua. Gue lupa satu hal penting yang menyebabkan Cloudy enggan memesan dan lebih memilih menunggu melihat makanan apa yang datang. Gue lupa kalau dia paling anti makan di pinggir jalan, selain masalah higienis, doi juga paling males kalau disuruh makan pake tangan.
Es jeruk pesanan kami berdua datang duluan. Tanpa pikir panjang langsung kami samber dan meneguknya dalam-dalam.
“Mantap! Bisa refill sepuasnya nih kalau ditraktir begini.”
“Hahaha setuju.”
“Dee, bener nggak pesen? Minum dulu deh apa gitu?” Gue menyenggol tangannya.
“Ngg.. Jeruk panas deh kalau gitu.” Cloudy sedikit ragu.
Mendengar pesanan Cloudy itu, Ikhsan yang tadi masih asik ngunyah es batu langsung nyeletuk,
“Yaelah jeruk kok diseduh aer panas. Jeruk itu paling enak diminum pake es. Namanya juga Es Jeruk. Mana seger kalau minum yang anget-anget.”
“Ih terserah gue dong! Lagian kalian berdua itu aneh tau nggak!”
“Aneh?” Gue menengok ke arah Cloudy yang duduk di sebelah gue.
“Iya! Kalian itu belajar nggak sih di sekolah?!”
“Belajar kok.” Jawab Ikhsan polos sambil nyamber kerupuk kepunyaan gue.
“Kenape emang?” Tanya gue heran.
Cloudy menaruh kunci mobilnya ke atas meja, lalu mengubah posisi duduknya jadi menyamping tanda mau ngobrol serius.
“Gini ya, malem-malem habis hujan begini itu nggak baik minum es. Apalagi kalau dibarengi dengan makan makanan berat, kalian enggak tahu? Penelitian menyebutkan meminum es setelah makan makanan berat bisa menyebabkan makanan jadi sulit dicerna. It slowing the digestion proses. Bisa menyebabkan kamu jadi kelelahan dan sulit melakukan aktifitas selanjutnya.”
Gue dan Ikhsan hening.
“Maka dari itu, paling bener itu minum jeruk anget. Kalian gimana sih?”
Gue menatap Ikhsan, Ikhsan menatap gue.
“Belum lagi bentar lagi Bazzar, kalian harus jaga kesehatan tau nggak?!”
Gue menaruh gelas Es Jeruk yang sudah hampir habis itu.
“Emang kamu nggak boleh minum air es, Dee?” Tanya gue.
“Enggak.”
“Ah kalau gue mah boleh-boleh aja sih minum air es, asal bukan Es Hardware.”
JRUOT!! Ikhsan yang tadi lagi negak es jeruknya langsung ngakak nggak karuan setelah dengerin penjelasan gue barusan, sampai-sampai dia nyemburin semua isi es jeruk yang lagi dia sedot saking ngakaknya.
“HAHAHAHAHAH GOBLOK!!! ES HARDWARE!! HAHAHAHAHAHA… LU MAU MINUM APAAN KALAU ES HARDWARE?! BAUT PAGER?! HAHAHAHA..”
Ikhsan ketawa ngakak sampai diliatin orang-orang yang lain. Begitupun gue. Sedangkan Cloudy cuma bisa bete omongan seriusnya malah dibercandain sama kami berdua.
“Nyesel aku jelasin pake ilmu pengetahuan.” Ucapnya sambil cemberut.
“Hahahaha sabar-sabar, yaudah bentar-bentar gue pesenin jeruk anget deh ya. Yakin nggak mau minum es?” Tanya gue sambil berusaha menahan tawa.
“Iya! Yakin! Apalagi es hardware!”
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA… "Ikhsan langsung tertawa ngakak untuk kedua kalinya, dan sekarang gue juga ngakak ngedenger Cloudy bilang seperti itu.
Tak butuh waktu lama, akhirnya pesanan kami semua datang. Satu pecel ayam, satu pecel lele, 4 nasi uduk, 2 es jeruk, dan satu jeruk panas. Begitu makanan datang, Ikhsan langsung nyamber tanpa pikir panjang, sedangkan gue mencoba menawarkan Cloudy sekali lagi, tapi dia tetap menolak.
"Nggak ah.” Katanya.
Yaudah deh, gue tau kalau dia lapar sebenarnya, kalau begitu biar sehabis ini gue yang ajak dia makan di tempat lain yang lebih layak deh.
Setelah izin sebentar, akhirnya gue juga menghabiskan makanan di atas meja dengan lahap. Cloudy hanya melihat kami berdua dengan tampang kaget, mungkin di benaknya sekarang ada rasa sesal karena ikut makan malam dengan kami berdua.
“Ya Tuhan, ini orang atau rayap sih? Makan kok barbar begini.”
Mungkin itu yang ada di benak Cloudy sekarang.
.
                                                            ===
.
Tak butuh waktu lama untuk melahap makanan yang tadi kami pesan, sekarang kami berdua sudah kekenyangan. Ikhsan memesan segelas es jeruk lagi, lalu kemudian mengangkat telepon di HPnya yang sudah dari tadi berdering. Kalau gue boleh tebak, pasti itu dari Tasya. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, hubungan Ikhsan memang sudah renggang sekali dengan Tasya oleh karena segudang masalah yang gue rasa masalah-masalah sepele.
Ikhsan izin pergi sebentar keluar warung meninggalkan gue berdua dengan Cloudy. Gue masih asik mainin air kobokan, sedangkan Cloudy masih terdiam mengaduk-aduk Jeruk Hangatnya.
“Bener nggak mau makan? Katanya laper?” Gue melirik ke arahnya.
“Enggak, nanti aja.”
“Boleh pake sendok kok.”
“ISH!” Cloudy menatap gue bete mengingat hal memalukan yang dia lakukan dulu.
“Sayang udah jauh-jauh ke sini sampe menantang maut di jalan tapi nggak makan. Enak kok makanannya. Cobain dulu. Gue pesenin ya?”
“Enggak! Nanti aja gue beli di tempat lain.”
“Deuh dasar. Udah ini mau kemana? Mau makan apa?”
“Belum kepikiran.”
“Yeeee…”
Kami berdua hening kembali, sebelum kemudian Ikhsan masuk lagi ke dalam warung dan duduk di hadapan kami berdua sambil melempar HP-nya ke atas meja. Gue dan Cloudy terkejut.
“Bangke emang! Ada aja masalah tuh ya. Pusing gue.” Kata Ikhsan.
“Berantem lagi?” Tanya gue.
“Iye! Masalah sepele pula. Cuma gara-gara gue belum izin sekarang nginep di sekolahan.”
“Yaelah gitu doang?”
“Hooh! Sepele kan?”
“Enggak juga sih.” Tiba-tiba Cloudy memotong, sontak kami berdua melihat ke arahnya.
“Kalian nggak tahu capeknya nggak dikasih kabar sama orang yang kalian sayang? Kalian sebagai cowok kok bisa tega sih? Udah untung disayang, diperhatiin, eh malah nggak mau. Terus pas ceweknya cuek, kalian malah balik ngejar-ngejar. Tipikal.”
Gue menatap Ikhsan,
“Ada benernya juga ini kata si Ibu Tiri, San.”
PLAK! Gue dipukul pake sumpit kayu sama Cloudy ketika bilang seperti itu.
“Pusing gue, Clow. Baiknya gimana nih?” Tanya Ikhsan.
“Not my business.” Jawab Cloudy dingin.
“Ish! Sama aja ah lu. Coba deh lu liat Dim, gue kan pernah ya ngirim SMS 'I Love You’ sama si Tasya kemarin, eh tapi dia malah bales, 'cepet tobat’. Lah anjing dikira gue lagi kesurupan apa pake disuruh tobat segala?!”
“Hahahahahaha..” Gue ketawa ngakak, dan sekarang Cloudy juga ikut ketawa ngedenger penjelasan Ikhsan yang kagak masuk akal.
“Pernah juga suatu saat gue lagi marahan sama dia, gue telepon dia buat minta penjelasan. Terus dia tutup telepon gue sepihak begitu aja. Mana alasannya nggak masuk akal lagi!”
“Emang apa alasannya?” Tanya Cloudy penasaran.
“Pulsa dia abis. LAH GIMANA PULSANYA BISA ABIS ANJING KAN GUE YANG NELEPON JUGA!!!”
“HAHAHAHAHAHAHAHA…” Cloudy ketawa keras, disusul gue yang juga udah sakit perut ngedenger tololnya temen gue yang satu ini kalau udah malem.
“Capek gue lama-lama. Tau gini mending Jomblo kaya elu, Nyet.” Ikhsan meneguk banyak-banyak Es Jeruknya.
“Yeee lu kira gampang apa jadi Jomblo? Gue jomblo begini aja bisa sampe kehujanan.”
“Hahahahaha itu mah elu aja yang tolol. Pan udah gue bilang dari dulu, cuy. Inget kagak?”
“Iye-iye bawel ah.”
“Emang bilang apa dulu?” Tanya Cloudy mencoba ikut-ikutan.
“Ya dulu gue bilang sama si Galing ini kalau bakal ada yang sakit hati dari hubungan ini. Eh pada akhirnya kejadian juga. Nggak nurut sih nih bocah sama gue. Mulut gue itu sakti. Inget, Nyet. Semua akan 'kata gue juga apa’ pada akhirnya.” Ikhsan nepuk-nepuk pundak gue pake kerupuk pangsit.
“Btw, tadi malem kejadian lagi loh, Nyet.” Gue mencoba membuka topik baru.
“Kejadian lagi?”
“Iya, tadi abis ngumpul-ngumpul di lapang kan gue izin tuh ke WC, nah pas mau balik, rasanya ada yang manggil-manggil deh. Dari arah kelas pula.”
“Dih?! Serius?!”
“Iya! Gue mau ngecek tapi rasa-rasanya nggak beres. Feels like something wrong.”
“Terus terus?”
“Mana lo tau kan kalau mau ke kelas kita otomatis harus lewat kelas B dulu. Inget nggak cerita Mai?”
“Yang ada putih-putih duduk di meja depan meja guru itu?”
“Iya.”
“IH WOI!! BISA NGGAK SIH TOPIKNYA YANG LAIN DIKIT!!!” Mendadak Cloudy melempari kami berdua sama sedotan kosong di atas meja.
“Lah kenapa? Kalau nggak mau denger mah ya tutup kuping aja.”
“Iya, bener kata si Galing. Terus terus Dim?”
“Niatnya sih mau gue cek nanti pas nginep H-2 Bazzar. Ikut?”
“SO PASTI LAH!!”
“ASTAGFIRULLAH!! SOMPRAL!!” Cloudy nutup telinga tapi tetep dengerin pembicaraan kami berdua.
“Ahahaha penakut ah lu. Btw Dim, besok kan si Gorila Ultah, sempatin mampir dulu ke kelas gih.” Kata Ikhsan.
“Jam berapa?”
“Istirahat pertama.”
“Oke oke. Yaudah yuk cabut, nih kasian Ibu Boss belum makan. Mau ke mana nih Dee dah ini?”
“Mcd aja udah Mcd yang deket sini.”
“Yowes ayo deh.”
“Ya Allah, saatnya mempertaruhkan nyawa lagi ini mah.” Ikhsan terlihat tersiksa banget buat masuk ke mobil Cloudy.
Cloudy menyerahkan uang traktirannya kepada Ikhsan agar dia bayar dan kami masuk duluan ke dalam mobil, tapi sebelum berjalan menuju parkiran tiba-tiba Cloudy berbalik,
“Bentar ada yang ketinggalan. Uangnya kurang. Gue ke Ikhsan dulu.”
“Sama gue aja sini.” Kata gue menyodorkan tangan untuk meminta uangnya.
“Enggak, nggak usah, lo tunggu aja di sini.”
Cloudy kemudian berlari ke dalam warung, meski gue sudah ada di luar, gue iseng ngintip sebentar ke dalem. Di sana gue liat mereka berdua lagi ngobrol sesuatu yang kayaknya serius. Gue yang emang pada dasarnya suka bodo amat sama masalah yang nggak ada sangkut pautnya sama gue ini ya hanya biasa saja melihat hal itu. Mungkin memang mereka lagi ngobrolin uang traktiran Cloudy yang kurang. Atau mungkin Cloudy lupa bawa duit. Ya hal-hal seperti itulah yang ada di benak gue saat itu.
Trrrt… Tiba-tiba Hp gue berbunyi lagi, dan seperti yang gue tebak, ada nama Ipeh di sana.
HP gue berbunyi cukup lama. Gue hanya memandanginnya seperti itu saja. Tidak bergerak, tidak tersenyum, hanya memandanginya. Tak lama kemudian, gue menekan tombol hijau di pojok kiri keypad HP N73 gue.
Answer.
“Halo..”
.
.
.
                                                              Bersambung
Previous Story: Here
177 notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Video
Pada suatu waktu, kita berselisih tentang siapa yang paling rindu Lalu sedetik kemudian kita tertawa, karna yang terpenting bukan siapa yang "paling", namun "saling"
0 notes
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Puan, bukankah waktu adalah hal yang paling berbahaya? Ia bisa menjelma menjadi apapun itu, termasuk rindu, pun ragu~
0 notes
yunoia · 8 years ago
Quote
Kau; Adalah yang terbaik, yang tak pernah kumiliki.
(via mbeeer)
924 notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Bukankah kita juga banyak menemukan saat kehilangan? Meskipun sebenarnya tak ada yang tuhan benar2 ambil dari kita, karna pada dasarnya, kita memang tak pernah benar2 memiliki, kan?
0 notes
yunoia · 8 years ago
Photo
😂😂😂😂😂😂😂
Tumblr media Tumblr media
182K notes · View notes
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Berhubung tadi mas gun abis upload foto BB, jadi merasa terpanggil juga 😂😂😂 . . . *dari fans hardcore Bukit Bintang* 😅😂😆
0 notes
yunoia · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Yawlah jarang punya foto diri sendiri, setelah sekian lama ngubek ubek galery dan akhirnya nemu ini~ terima kasih 😂😂😂 . . . And It was taken by you, right?
0 notes