wrotewaka
wrotewaka
Jiko
2 posts
📍Here is the archive of one short story.
Don't wanna be here? Send us removal request.
wrotewaka · 2 years ago
Text
Knock
Tumblr media
“Can I heal this loneliness by sitting beside you and chatting for a while until the sun goes down?”
— Anonymous
***
Menyelesaikan tugas rumah itu tidaklah mudah, barangkali dengan sepasang netra yang memiliki manik abu ini bisa memandang seberapa bersih dan tertata setiap benda di tempatnya—kemungkinan besar aku tidak akan kesusahan untuk membersihkan partikel-partikel debu yang menumpuk di setiap benda tak terjamah.
Hari ini hari sabtu, hari yang nyaris membuat aku ingin sekali memakan sebilah pisau jika seandainya Molly, anak anjing berjenis Labradoodle itu tidak menggonggong lalu melemparkan benda tajam itu dari tanganku ke sembarang tempat. Yeah, ini adalah hari di mana aku akan segera menginjak ke-15 tahun. Hari yang sungguh memuakkan, jujur saja aku mengungkapkan seberapa membosankannya karena percuma saja Mama meminta aku menjaga rumah ini sendirian.
Maksudku, aku memiliki sepasang netra yang di mana manik itu amatlah kelabu. Kendati ada seorang pencuri mencari-cari barang berharga, kemungkinan dia juga akan terheran-heran saat aku tidak menoleh ke arahnya. Sepasang netra ini hanya memandang lurus semilir angin yang menghalau dari jendela kamarku, meski memandang, belum tentu aku bisa melakukannya seperti beribu manusia di luar sana yang suka shopping dan traveling.
Saat ini aku hanya merenung, memikirkan dan bertanya-tanya; apakah dunia di luar sana indah? Atau barangkali, apa saja sih yang selalu membuat orang di dalam layar kotak itu terkagum-kagum mengunjungi tempat yang belum terjamah kakinya sendiri?—aku hanya ingin mengetahuinya lebih banyak, petang di mana Mama pulang dengan suara mengalun rendah, dia hanya mengatakan bahwa ia lelah, pekerjaannya mempersulit dirinya untuk bergerak dari antah-berantah kemiskinan dan selalu mengatakan bahwa setidaknya aku menjalani hobi ketimbang memandang jendela kamar yang sungguhan aku sendiri tidak mengetahui di depan sana ada apa saja.
Mama tidak pernah memberitahuku, apalagi Ayah. Beliau selalu pulang larut ketika aku tidur dan Beliau pula akan berangkat ketika aku masih belum terjaga. Selalu, ingin, dan penasaran. Aku ingin tahu rupa pria paruh baya itu, ingin tahu betul apakah Mama sungguhan menikahi pria tertampan sampai-sampai aku sering mendapatkan surat dari Beliau mengenai Mama harus bersyukur dan sepantasnya ia mengakui bahwa anaknya itu cantik dari gen Ayah yang sudah tampan.
Akan tetapi itu seolah sebagai cerita karangan semata, malam itu aku terjaga karena kerongkonganku begitu kering. Meski netra ini tak dapat memandang apa saja yang terjadi, rungu ini bisa dengan jelas mendengar suara bising dengan vas bunga yang terjatuh. Tubuhku gemetar kala itu, mendengar semua apa yang tak pernah aku ketahui kebenarannya.
Jelas itu bukan Ayahku, Mama selalu memanggil nama beberapa pria di antara napas tertahannya. Tak lupa si pria yang menahan memekik kenikmatan yang aku yakini kedua orang dewasa itu melakukan sesuatu yang menjijikan di ruang tamu. Setiap malam aku selalu menahan gejolak yang memanas dalam pelupuk, kendati dada ini sesak dan menggigit bibir agar tak meluncurkan tangisan pecah. Tetap saja, perihal tidak meloloskan satu air merembes hingga dagu bukanlah keahlianku. Hingga beberapa malam yang aku lewati sepanjang satu bulan penuh, kini aku sudah mulai terbiasa dan melamun dengan rungu mendengar suara bising itu ketika terjaga.
Pernah pada satu kesempatan, aku bertanya kepada Mama. Aku ingin mengetahui pria mana saja yang memberikan aku surat bertumpuk di dalam laci, tapi kamu tahu apa yang beliau jawab? Jawabannya itu nyaris membuat aku menggelengkan kepala dengan tangisan pecah pagi itu. “Pria mana? Dengar, Nak. Mama membawa mereka hanya agar kecukupan kita terpenuhi. Bekerja di salah satu toko roti milik Nenek Go saja tidak cukup tahu, lagipula Mama bekerja di sana karena Mama kasihan dengan Nenek Go yang tinggal sebatang kara. Kalau Ayah, dia sudah meninggalkan kita semenjak Mama melahirkan dirimu. Dan yang aku ketahui dari kabarnya, si berengsek itu sudah mati satu tahun lalu.”
Terdengar sangat menggelikan. Maksudku, benarkah pria yang memiliki darah daging serupa denganku sudah tiada satu tahun lalu? Lantas siapa yang mengirim surat di pos lalu di bawa oleh Molly kepadaku? Mama saja tak pernah mengizinkan pria asing itu membuka pintu kamarku untuk mengetahui gadis macam apa yang terlahir dari rahimnya.
Dapatkah aku mengatakan, “Wow. Ini keajaiban! Maksudku, sungguhan Ayah telah tiada dan meninggalkan aku ketika aku lahir? Jika iya, apa gunanya dia memberikan surat setiap satu pekan dengan bumbu cinta dan kasihnya? Mama saja tak mengetahui betul sudah berapa lama aku mendapatkan surat itu. Yang pasti, aku selalu mendapatkan surat itu dari pertama kali aku bisa membaca huruf Braille dan tak mendapatkan surat lagi semenjak aku mengetahui kebenarannya.” Hanya saja, pada siapa aku mengadu pernyataan bodoh itu? Ha ha ha, Mama saja sudah pusing dari pagi sampai petang mengurus toko roti sepi milik Nenek Go lalu terjaga sampai pagi lagi dengan beberapa pria yang siap memborbardir dirinya sampai rusak.
Menurutku, Mama itu mesin. Sebuah robot yang diciptakan hanya untuk bekerja banting tulang siang dan malam, meski pekerjaan malamnya terdengar kotor—well, untuk manusia semacam kami yang hidup pada roda yang berada di bawah, kami tidak akan pernah dilirik pula oleh dunia. Jadi sah-sah saja jika pekerjaan yang dilakukan Mama itu cukup untuk membuat aku menjaga perut ini terisi.
Namun kali ini aku jenuh, Mama akan pergi setiap hari sabtu. Dia mengatakan bahwa dia akan menambah lebih pengalaman bekerjanya di dunia ini. Setidaknya Mama sudah berjanji akan mengatakan apa saja yang ada di dunia ini berdasarkan pengalamannya keluar dari kota Gangnam. Aku sih setuju, sebab penawarannya cukup membuat aku antusias jika Mama pulang pada hari minggu seraya membawa buah tangan Kue Beras.
Molly terus menggonggong. Aku tahu bahwa dia jenuh seharian di dalam kamar bersama denganku, pada akhirnya sore di hari sabtu ini aku memutuskan keluar dari rumah setelah memegang tongkat sebagai penopang dan tali yang telah aku pegang di salah satu tanganku untuk mengawasi Molly tidak berkeliaran di luar sana.
Molly juga pandai dan cerdik. Dia jelas mengetahui semua jenis isi pakaian yang diberikan Mama, dengan begitu tanganku hanya dapat menggunakan pakaian yang dipilih Molly, sedangkan Mama akan selalu memuji bahwa aku memiliki fashion yang tak jauh berbeda dengan aktris di televisi. Padahal Molly yang memilihnya, kemungkinan Molly terinspirasi mendekor diriku yang kuyu ini menjadi kelinci percobaan dalam isi kepala Molly. Aku tahu, niatnya baik. Jadi tak masalah jika Molly selalu mengatur cara berpakaian diriku.
Sore ini aku memakai kaos panjang dan jaket fleence ditambah kupluk rajut merah marun di kepalaku guna puncak kepalaku tidak ikut membeku dengan jalanan yang terasa dingin. Kamu tahu bagaimana aku mengetahui semuanya? Ya, Molly sajalah yang membuat aku memegang pakaian itu dengan seulas senyuman lebar. Pasalnya sembari Molly menumpukkan pakaian pada punggungnya, ia memutarkan perekam suara yang selalu Mama gunakan guna aku mengingat bentuk benda apa saja yang aku sentuh.
Tidak terlalu buruk jalan keluar rumah, rasanya begitu melegakan saat penghidu ini menarik napas hingga rongga dada ini terisi penuh dengan udara segar. Molly juga sabar, patut aku syukuri sebab dialah satu-satunya teman yang mau jalan bersama denganku, meski aku agak sedikit was-was karena setiap aku mendengar langkah beberapa orang berpacu melewati kami—Molly selalu menggonggong dan menggeram tak suka, seolah-olah dia itu membuat sebuah ancaman dengan mereka.
Hingga keningku mengkerut ketika hidungku terbentur dengan benda kasar, besar, menjulang tinggi. Jari-jemari yang memiliki titik sensor dalam meraba setiap tekstur kasar itu membuat aku menerka-nerka sampai aku mendengar suara tak asing berseru. “Itu pohon, Nona.”
Mengerling tak percaya, melirik kesana-kemari seolah aku akan mendapatkan presensi di hadapan kedua netra kelabu ini jika aku terus menoleh berulang kali. Namun kembali pada realita, pada akhirnya aku hanya menemukan kegelapan saja.
Menghela napas berat, wajahku berubah menjadi setengah mendung. Berjalan perlahan mendekati sebuah bangku taman yang aku yakini berada di sebelah pohon itu. Menjatuhkan diri di sana, memejamkan mata yang semakin membuat semuanya menggelap. Menghela napas panjang, kemudian beberapa sekon berikutnya aku merasakan penekanan di sisi bangku itu beriringan dengan derit kecilnya. Layaknya ada seseorang yang ikut duduk bersama denganku, namun aku mencoba tak mau mengacuhkan siapa yang mau ikut duduk bersama dengan si buta.
“Bisakah aku duduk di sini untuk menghapus kesepiannya?” tanyanya dengan suara berat yang mengalun lembut masuk ke dalam gendang telingaku yang sedikit bergetar.
Lantas aku tersenyum tipis seraya menjawab, “Sure. No problems, Sir.” Dan kami tergelak tawa dalam hitungan detik ketiga, kami saling menahan geli yang mendadak ada pada pusat perut.
“Jadi, Nona. Apakah kamu tidak mau bergabung dengan mereka?” tanyanya lagi dengan lembut, aku bisa merasakan bahwa ia itu pasti sedang menunjuk forum manusia entah dengan jari telunjuknya atau dagunya. Aku berdeham pelan, mengerjap sekali. “Mereka siapa? Aku saja tidak tahu apakah Tuan yang berada di sebelahku ini adalah pria muda atau—ekhem—haruskah aku meneruskannya?”
Buru-buru menukas, “Tidak, tidak. Sebaiknya jangan pernah dikatakan.” Sontak interupsi itu pun membuat kami kembali tergelak tawa, atmosfer yang aku rasa begitu sesak dan berat pun telah menguap.
“Iya, iya. Aku tidak akan mengatakannya,” ucapku sejenak menjeda. “Jika aku tidak lupa,” imbuhku yang membuat suaranya sedikit meninggi dan membuat helaan napas itu terdengar panjang. “Heiiiii ... kamu jahat kalau begitu.”
Aku menggelengkan kepalaku, menarik napas kemudian meremas tali yang masih aku rasakan bahwa Molly ada di hadapanku sedang memandang pemandangan yang tak pernah aku dapatkan seumur hidupku. Raut wajah yang semula cerah kembali menjadi sekelam langit yang siap menghujani bumi dengan rintikan air secara bertubi-tubi.
“Apakah anak anjing itu—“
“Molly.”
“Ah, iya. Maksudku, apakah Molly adalah teman yang selama ini kamu punya?”
Aku mengangguk mengiyakan, lalu aku merasakan bahwa ia seolah melepaskan penekanan di sebelah aku duduk—yang aku yakini bahwa ia pergi, lalu tak sampai dengan dua menit ia sudah kembali duduk di sebelahku. “Bisakah aku meminjam salah satu tanganmu?”
Alisku menyatu, “Untuk apa?”
“Untuk memberikan ini.” jawabnya langsung, sontak aku menyunggingkan senyuman getir seraya mengulurkan salah satu tanganku. “Aku bahkan tidak bisa mengetahui apa yang kamu maksud ‘itu’ Tuan.”
Lantas ia segera mengucapkan permohonan maaf penuh sesal. Aku pun merasakan suatu benda asing tergeletak pada telapak tangan, ibu jariku terus mengelus benda tipis itu. Rasa penasaranku semakin meningkat penuh antusias, “Apa ini?”
“Itu adalah daun Maple.”
Sepasang alisku terangkat, kagum dengan mulut yang sedikit menganga. “Woah, sungguhan Tuan?”
“Iya, kamu suka?”
Pipiku mengembung, “Coba deskripsikan daun ini lebih detail!” seruku setengah menuntut.
Ia terkekeh, “Kamu pasti sudah tahu bagaimana bentuknya bukan?”
Aku pun segera mengangguk, sejenak ia berdeham lalu mengelus puncak kepalaku. Membuat jantungku berpacu cepat disertai desiran darah yang tak kalah heboh. Pipiku terasa baru saja dipanggang, yang aku terka mampu membuat lawan bicaraku menahan tawa. Mengigit lidah, “Bi-bisakah kamu memberitahu apa yang tidak aku ketahui dari daun Maple ini?”
“Warnanya.”
“Oh, benar.” jawabku, mendadak perasaan kecewa itu berkunjung tak diundang.
“Kamu tahu warna hijau?”
Menggeleng pelan, suaraku merendah. “Tidak, aku hanya tahu bahwa warna hijau adalah hijau.” Dia tersenyum, hei—tunggu! Bagaimana bisa aku menemukan guratan tipis itu!
“Aku hanya menemukan kegelapan, di mana kegelapan itu hanya berwarna hitam.” imbuhku.
“Apakah kamu merasakan ada bagian yang kosong?” tanyanya spontan, lantas aku memiringkan kepala. Lidah ini terasa begitu kelu, “Iya, rasanya setiap aku terjaga atau pun tidak. Aku selalu merasakan kekosongan menggerayangi diriku.”
Semesta tidak mengutuk diriku, aku percaya bahwa itu bukanlah kesalahan terbesar di mana Tuhan menutup penglihatanku. Aku yakin bahwa saat ini dengan keadaan mata yang dipenuhi kegelapan ini suatu saat akan menjadi penghalang di mana suatu dosa besar tidak mungkin menjadi salah satu takdir kami saling dipertemukan.
Iris mataku terbelalak, manik sepasang netra ini berkaca-kaca. Tubuh mungil yang semula terasa begitu hampa dan tak memiliki jiwa pun terasa begitu hangat, begitu tangan besar melingkari tubuhku—refleks sepasang tanganku meraba setiap senti yang ada pada wajah rupawannya. Sukses membuat aku menggeleng tak percaya dengan guratan senyuman lebar, kupu-kupu di dalam perut pun mulai berterbangan.
“Tu-tuan ...”
Aroma citrus bisa aku tangkap dengan jelas, tinggi badannya bisa aku terka bahwa ia jauh lebih tinggi daripada diriku yang memiliki tinggi 170 senti meter. Dan beberapa menit yang berlalu telah menjadi saksi di mana aku bisa menangkap jelas senyuman manis pemilik aroma citrus kasturi itu mendekap hangat.
“Arachne Mourgen. Aku membawa kabar baik untukmu Sayang, bahwa malam ini kamu bisa melihat mimpi dan di sanalah kamu dapat melihat apa yang ingin kamu lihat.” tuturnya.
Aku masih belum percaya, ucapan manisnya itu mungkin saja menghipnotis beberapa gadis terutama diriku jika terlalu lama membuatnya menjadi si besar kepala. “Ba-bagaimana caranya? Itu pasti hanya buaian saja! Apa yang kamu mau?!”
Dan satu hal yang mustahil dapat dipercaya untuk hari ini, dengan bulu roma yang meremang itu aku dapat merasakan kehangatan senja sang mentari akan berpulang dengan gelengan lembut lawan bicaraku. Ia mengusap wajahku sampai aku tidak menyadari bahwa sepasang mataku ikut terpejam. “Caranya mudah. Pertama, jangan pernah menanyakan siapa aku dan keberadaanku. Maka, apa yang mustahil kamu katakan tadi bisa menjadi tidak mustahil.”
“Lalu bagaimana dengan persyaratan kedua?”
Tidak ada jawaban. Dan aku bersumpah pada malam di mana Mama kembali sesuai dengan janjinya yang membawa Kue Beras, aku tidak akan melupakan kisah di sore hari pada hari sabtu itu—bukan ilusi atau pun imajinasi yang menjerat diriku untuk terus berkhayal, melainkan pintu ajaib yang sudah terbuka untukku.
Knock! Knock![]
FIN.
Sep, 9, 2020
1 note · View note
wrotewaka · 2 years ago
Text
Di Bukit Dalmaji
Tumblr media
Kata orang—si budak cinta, kehidupan tanpa sesosok yang dicintai itu terasa hampa. Lautan biru yang menghiasi sebagian pasir putih itu tidak akan pernah terlihat begitu indah jika hati sudah dilanda krisis. Tetapi Jimin tidak menyetujui itu sebagai mana yang menurut perspektifnya sendiri ialah sunyi. Jimin memang tidak pernah selarut ini dalam kubangan air kotor untuk menumpahkan kesedihannya, barangkali kausalitas kegalauan ini yang berkontinu merupakan bagian di mana obat itu sudah tak dapat menyembuhkannya kembali.
Choi Phyllis adalah obat. Dan Jimin tak ayal lagi jika memang dunianya sekarang tanpa sesosok gadis jelita itu sedikit lebih menyesakkan. Kendati kehidupannya terasa pahit dikecap, toh Jimin tak menjadikan soal perihal obat memang pahit tak terkecuali sirup rasa jeruk dan obat mag. Pokoknya, Phyllis adalah satu obat murni yang Tuhan persembahkan sebagai penyembuh segala jenis penyakit yang menggerogotinya.
Well, meski kenyataan pelik. Bukan berarti Jimin harus mengakhiri hidupnya karena tak memiliki obat spesialnya. Dia masih waras (dalam artian sekitar 5% kewarasan itu ada dan sisanya 90% mengabur entah ke mana). Seharusnya yang menjalani terapi bersama Jung Hoseok itu adalah gadisnya, namun sepertinya yang kesakitan akibat pasca-trauma itu bukan pula Phyllis seorang. Rupanya Jimin juga secara tak sadar menderita depresi persisten atau distimia.
Tapi Hoseok yang bernotabene konselor baginya pernah mengatakan, “Itu tidak perlu dicemaskan. Distimia akan hilang timbul dalam waktu 2 tahun, kita hanya perlu memulihkan setidaknya reaksi emosional dan pola pikiranmu yang kacau, Jim. Biarkan dirimu menerima semua yang telah terjadi perlahan demi perlahan supaya distimia itu tidak berkesinambungan mengganggumu dalam kehidupan normal.”—Iya, Jimin harus hidup normal kembali. Tanpa belenggu ataupun pengekangan untuk menghilangkan dirinya sendiri, Jimin harus hidup sebagai mana mestinya sesuai dengan perputaran bumi pada porosnya.
Baik kenangan baik dan buruk, Jimin selaku pemeran utama pada panggung dunianya sendiri harus bisa menikmati anugrah kehidupan yang sang Pencipta itu berkahi padanya. Setelah hiruk pikuk terlewati, sudah semestinya pula Jimin membuat kisah barunya kembali. Walau ia tak bisa melukiskan tinta pena takdir bersama Choi Phyllis, toh ia yakin dapat mempunyai pengganti seseorang yang akan sudi menemaninya hingga akhir hayat. Pelajaran kehidupan pun sudah memberikan Jimin maupun yang lainnya bahwa setelah badai yang berlalu akan ada pelangi indah yang terbentang luas.
Kehilangan pasti terasa sepi. Tapi jika sudah dikembalikan pada si pemilik yang sudah lebih piawai merawat miliknya, tentu si pemuda bibir plum itu siap berbahagia kembali dengan kisah barunya. Senyuman yang menyungging di bibirnya merekah sempurna, sebuket bunga lavender ia persembahkan pada batu nisan yang menuliskan nama gadisnya terpampang leluasa. “Sudah 5 tahun berlalu, Lis. Aku melewati rutinitas keseharianku tanpamu sejauh ini cukup terbilang, yah, aku mampu mengatasi kesakitanku tanpa obat spesial. Kau tahu, masih ada banyak obat yang dapat menyembuhkan satu kesakitan yang mendera setiap manusia.” katanya, tanpa memudarkan senyuman manis kelewat kentara.
Terdengar helaan napas itu memanggil semilir angin musim dingin itu menghalau pula. Jimin membuka sarung tangan rajut berwarna kuning di tangan kanan, memamerkan kelima jemari bantet miliknya sudah terselipkan cincin terbuat dari bahan platinum yang melingkari jari manisnya. “Bagaimana, Lis? Bagus tidak dengan pilihanku? Aku sedikit gugup untuk melamar dia. Apa kau akan menodongkan pistol air jika aku mengompol karena terlalu gugup?”
Terkekeh sendiri, Jimin bisa membayangkan gadis yang sedang ia ajak berbicara itu pasti akan meracau dan memaki dirinya yang payah mengutarakan perasaannya. Dasar Jimin bodoh. Sontak Jimin pun tergelak tawa sendiri lantaran sepintas bayangan ekspresi jengkel Phyllis menggelitiknya. “Astaga, meski kau sudah tak dapat aku lihat dengan nyata. Bayangan ekspresi cemberutmu itu menggemaskan!”
“KAK JIMIN!”                      
Sekonyong-konyong suara teriakan memanggil namanya itu terdengar menyerupai teriakan Phyllis yang pada kejadian trauma itu berlangsung menghantam tubuh semampai si empu terpental jauh melebihi 4 kilometer di depan sana dengan dorongan kereta api yang langsung berhenti mendadak. Sontak tubuhnya meremang ngilu, pandangannya menatap kosong tumpukan salju dingin yang berjatuhan pada tangan kanan yang mati rasa tak memakai sarung tangan. Bercak darah membayang-bayang di atas salju yang putih.
“KAK JIMIN!”            
Jimin tersenyum tipis, menghela napas dengan kepulan putih keluar dari mulutnya seraya menoleh menghadap si sumber suara yang terus meneriaki namanya. Pandangannya berubah lebih sendu, sempat terkekeh kecil mana kala ia menangkap dengan jelas si gadis mungil berusia empat setengah tahun itu terjatuh dan tenggelam dalam tumpukan bukit kecil salju. Sempat-sempatnya kejadian yang terasa melankolis itu beralih menjadi menggelitik ketika gadis mungil itu mengadu manja. “Aduh! Kak Jimin, aku jatuh!”
Refleks tanpa diperintah pun ia beringsut dengan tungkai yang berjalan mendekati si kecil, kemudian mengangkat tubuh mungilnya keluar dari bukit kecil salju sedalam tingginya si gadis yang tertelan. “Tuh, 'kan, Kakak sudah bilang jangan ikut kemari. Kasian Kak Xana menunggu di dalam mobil sendirian.”
Si kecil memberengut dengan alis yang menukik tak setuju, “Kak Xana juga kemali!”
Alis Jimin terangkat satu, melirik sekilas melewati punggung si kecil yang berada dalam gendongannya. “Di mana? Tidak ada, Sky.”
Si empu bernama Sky itu nampak sedang berpikir laiknya orang dewasa. Dari kejauhan sekitar delapan langkah kaki pria dewasa, iris tajam Sky mendapati presensi yang menjadi buah bibir tengah memacu tungkainya berjalan kemari dengan butiran salju yang menjadi hujan di musim dingin. “Itu! Itu! Itu Kak Xana!”
Ah, dasar si keras kepala. Seulas senyuman simpul terpatri di wajahnya, kepalanya menggeleng tak percaya begitu gadisnya sudah terpampang nyata berada di hadapannya. Jelas-jelas Im Xana itu tidak pernah menyukai musim dingin. Berbanding terbalik dengan Choi Phyllis yang lebih menyukai hamparan salju dingin membelai langit biru.
“Lho, kenapa menyusul?”
Xana menarik napas setelah menormalkan deruh napas tersengal. Wajahnya memerah padam lantaran suhu di bukit Dalmaji menusuk-nusuk membeku. Begitu mendapati salah satu tangan Jimin terbentang memberikan ruang padanya, Xana pun langsung tenggelam dalam pelukan hangat di antara mereka bertiga. Tersenyum manis, Xana berbicara di depan dada si pemuda yang terasa nyaman dijadikan sebagai sandaran wajah beku miliknya. “Terimakasih, pendek.”
Jimin mendengus, “Berhenti bersikap angkuh, Xana. Aku tahu seberapa besar cintamu padaku, jadi jangan sok—"
“Kak Jimin bawel. Sudah belum menemui Kak Phyllisssss?” sela Sky, Jimin termenung seketika, kemudian menoleh ke belakang menemukan batu nisan Phyllis seolah memanggil namanya lalu memintanya memperkenalkan siapa saja yang ia bawa. Mengerjap, menatap skeptis pada Xana yang menanti kedua belah bibir plum itu terbuka.
“Ada apa, Sayang?” tanyanya, was-was sesaat Jimin menatapnya lekat.
Jimin menggeleng, tersenyum paksa. “Tidak, ayo! Kau mau menemui Phyllis, tidak?”
Xana tersenyum lebar dan manis sekali. Membelai rahang lelaki kesayangannya itu dengan lembut, tatapan sendu penuh cinta itu langsung menghipnotis Jimin yang meleleh dalam kurun waktu singkat. “Tentu, mengapa tidak? Dia adalah gadis yang sangat dicintai olehmu setelah Ibu.”
“Oh, ayolah. Berhenti menggodaku, Xana. Kau nakal!” kilah Jimin, pipinya bersemu merah muda menahan malu.
Xana terkekeh, memutar tubuh lelaki itu dalam sekali putaran lalu memacu tungkai mereka melangkah mendekati pemakaman Phyllis yang seolah samar-samar nampak menyambutnya hangat. Seulas senyuman manis Xana tidak pudar hingga detik selanjutnya yang akan mendatang, kira-kira begitulah yang terpikirkan Jimin sesaat ia mendapati gadisnya itu senang menjumpai pemakaman gadis tercintanya.
"Jimin sialan. Seharusnya kau memintaku menjumpai dia sebelum aku menyeret tungkaiku membeku di musim dingin. Masih ada musim sebelumnya selain musim dingin untuk aku menjumpainya!" ketus Xana tiba-tiba.
Yang dimaki lantas tersenyum simpul. Salah satu tangan yang menganggur itu melingkari bahu gadisnya yang kini memberikan sebuket bunga mawar putih. “Maaf, Phyllis. Aku rasa kau juga menyukai bunga mawar putih. Saat aku berniat memberimu bunga lavender, Jimin sialan ini sudah lebih dulu mengambilnya. Dia curang tapi aku benar-benar mencintainya! Benar-benar sial bukan? Kau pun merasa demikian pastinya.”
Jimin dan Sky yang mendengar itu terkekeh-kekeh. Mendapati Xana yang berceloteh sembari memaki dirinya guna mengungkapkan seberapa besarnya cinta itu sungguh hal menggemaskan lainnya setelah Phyllis yang selalu galak. Kendati mereka berbeda atau Im Xana bukanlah jelmaan reinkarnasi Phyllis. Toh, Jimin masih bisa bahagia dan merasakan cinta memenuhi rongga dadanya. Luar biasa sekali. Park Sky yang berada digendongan si pemuda pun berbisik setelah mencolek-colek pipinya, “Kakak, saatnya tiba!”
Iris kecilnya membeliak, ikut berbisik. “Di sini? Yang benar saja, Sky?!”
Si kecil merotasikan matanya sebal. “Dasal tidak lomantis! Kakak tuh halus secepatnya melamal Kak Xana di sini—di hadapan makam Kak Phyllis sebagai saksi atas cinta Kak Jimin telhadap Kak Xana! Begitu doang, apa susahnya, sih, Kak?”
Oke, di sini rupanya Jimin harus menelan harga dirinya bersama rasa jengkel. Untuk itu ia cuma mengikuti saran si cilik yang menatapnya penuh kemenangan akan ide cemerlangnya. Tetapi yang menjadi jengkel selanjutnya ialah pasti ide cemerlangnya itu tak percuma. Harus ada bayaran guna membalasnya. Anak menyebalkan. Menarik napas, “Baiklah, nanti saja meminta ini-itu, ya Sky? Uang simpanan Kakak cuma cukup untuk pernikahan Kakak dengan Kak Xana.”
Sky mendelik jenaka. “Ih, telalu pelcaya dili. Memangnya Kak Xana bakal mau menelimanya?”
Sial, beribu kesialan. Ada untung dan kesialannya yang membuat Jimin bersikap skeptis kepada Sky yang mencampuri urusannya. “Tidak tahu sih,” cicitnya.
Sky tertawa pelan. “Sudah, sudah. Coba saja sendili, Kak!” ucapnya sembari memberikan dua jempol untuknya.
Jadi setelah semuanya berakhir dengan pelik. Kehidupan tidak akan pernah terasa sulit kita nikmati jikalau seandainya kita dapat menerima yang sudah berlalu dan yang datang. Meski kita tak pernah tahu tujuan utama sang penulis menciptakan takdir aneh atau pun unik di setiap alur ceritanya pada tokoh pemainnya, intinya kehidupan yang benar-benar nyata itu harus kita hadapi atas kesulitannya dan menikmati setiap berkah yang ia berikan pada kita. Jimin pun tidak mungkin mendapatkan seulas bibirnya tersenyum lebih lebar kalau saja ia tak bertahan sampai detik ini, masa-masa kelam yang berlalu bersama Phyllis pun menjadi salah satu alasan kuat di mana Park Jimin maupun yang terlibat itu memiliki sebuah pernyataan aku mencintai diriku sendiri. Dan teruntuk Phyllis, di Surga, kau tidak memiliki sebuah alasan untuk tidak mencintai dirimu sendiri.[]
Fin.
Juli, 30, 2021
1 note · View note