Media untuk berekspresi tanpa takut untuk dihakimi, namun belajar menerima kritik ✨
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Aku membenci jadwal yg berubah-ubah dan buru-buru. Tp rupanya Allah ingin mengujiku dengan segala hal yg aku hadapi jadwalnya berubah kalau nggk ya buru-buru.
Dari menikah yg buru-buru karena orang tua pengen aku nikah di tahun ini dan aku pengennya nikah di tahun depan. Alhasil semua gak sesuai dengan ekspektasiku dan banyak menimbulkan kecewa mendalam.
Kedua jadwal ukom yg tiba-tiba berubah H+2 setelah aku menikah. Yg jelas aku sudah tak sanggup belajar kala itu. Sangat mengecewakan. Kalau dalam dunia mobile legend disebut double kill.
Ketiga, jadwal ujian pppk yg sangat cepat padahal biasanya pusat itu jadwalnya paling akhir. Dan dibarengin dengan aku ada homecare an aku jg tak sanggup membagi waktu untuk belajar. Aku tak sepintar itu. Triple kill
Dan blm lagi tuntutan-tuntutan keluargamu, entah itu kamu atau kakakmu yg menyuruhku bekerja di jkt cepat-cepat. Kenapa sih semua orang hobi cepat-cepat kalau kita bisa menikmati suasana yg sedang kita jalani sekarang ?
Jujurly aku capek bgt. Lelah dan capek lah ingin me time. Ingin mengekspresikan apa yg aku mau sendiri. Ingin memilih pilihanku sendiri. Tp kenapa harus serba cepat ? Kenapa harus serba dipilihkan ?
Percayalah aku tak sehebat itu yg mampu menuruti semua tuntutan kalean 😭😭😭
0 notes
Text
Sekarang aku paham apa arti sekufu itu. Karena lucu rasanya kalau jokes dia lucu, bagi kita hinaan.
Dan sakit juga rasanya kalau bagi kita prioritas dan bagi dia hal yang bisa ditunda-tunda alias enggak penting
0 notes
Text
Ku tutup laptopku lalu ku matikan paket data dan wifi di smartphoneku. Ku ubah settingan di HP ku menjadi silent.
Ku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur kos yang super nyaman meskipun mungkin. Ku peluk erat boneka gembrot pemberian ill dengan erat. Lalu tak berapa lama tiba-tiba menetes deras air mata ini.
"Huaaaaaaaaahuhuhuaaaa hiks hiks hikss", tangisku sambil memeluk erat boneka gembrot yang menutupi hampir seluruh tubuhku.
Aku akhirnya menumpahkan semua rasa sakit beberapa hari ini ke dalam tangisan yang sungguh pecah. Aku terus meraung-raung dan menumpahkan semuanya.
Meski masih sesegukan, aku terus berusaha agar tangisku pecah. Aku berusaha sekuat mungkin agar emosi ini keluar dan tidak terjebak dalam pikiranku saja.
Benar, memang 2 hari terakhir ini aku sedang kalut sekali. Banyak drama kehidupan yang harus aku lalui di tengah padatnya kegiatanku sehari-hari. Dan entah kenapa hari kemarin rasanya menjadi nominasi hari tersial dan terburuk dalam hidupku untuk saat ini. Runtutan kejadian menyebalkan dan di luar dugaan datang silih berganti menghampiri. Aku sampai rasanya tak sanggup, hampir-hampir demam aku dibuatnya. Lalu segera ku cegah perdramaan demam itu dengan meminum satu sachet tolak angin yang sudah ku beli sebelum dinas malam kemarin.
Semua berawal dari bimbingan online yang diadakan kemarin pagi jam 9. Aku sudah sangat muak saat bimbingan itu, ketika aku tau bahwa teman-temanku tak ikut menjawab pertanyaan yang diajukan dosen kepada kami. Hanya aku saja satu-satunya yang standby di sana. Lalu drama pun berlanjut dengan adanya chat masuk dari calon kakak iparku yang menanyakan tentang bagaimana planning kita kedepannya untuk tinggal dimana setelah menikah. Aku tertegun sejenak, aku tak langsung membalas pesan itu namun hanya ku lihat dari notifikasi layar saja, jadi belum terlihat sudah di read olehku meskipun aku sudah tau isi pesannya apa.
Setelah bimbingan ku akhiri, aku lalu menghela nafas panjang. Lalu menelpon ill untuk menanyakan aku harus menjawab apa atas pertanyaan tersebut.
"Yaudah jawab aja sesuai dengan kesepakatan kita",ujarnya santai.
"Yaudah aku jawab aja gini yah, kita mau tinggal disana 2 tahun aja sih mbak kemungkinan dan seterusnya ya mungkin ada rencana pindah",ucapku memastikan kembali atas jawaban yang akan aku berikan.
"Ya gitu aja beb",ujar ill singkat.
Tak berselang lama, akupun segera membalas pesan tersebut sesuai dengan yang aku bahas dengan doi. Namun ternyata responya di luar nalar. Kakanya ill nggak terima dan marah, kecewa sambil kata-katanya memojokkan aku. Seolah aku yang menyetting semuanya menjadi seperti ini.
Tanpa berfikir panjang, aku screen shot pesan dari kakanya dan aku kirimkan ke ill. Aku pun ikut tersulut marah hari itu. Seharian aku sudah lembur dan otakku sudah penuh dengan bimbingan tugas malah ditambah drama seperti ini.
Ternyata doi pun juga marah ke kakanya. Sambil mengatakan bahwa dia tidak berhak untuk mengatur-atur atau ikut campur urusan kita. Aku kebingungan, takut, sedih, sebal, kecewa dan marah campur aduk menjadi satu. Aku tak tahu bahwa semuanya akan serunyam ini, padahal besoknya aku hendak ke Jakarta.
Perdebatan panjang pun berlangsung selama kurang lebih 1 jam. Ill segera menghubungi aku dan memastikan bahwa semuanya sudah beres. Namun tak berselang lama, kakanya kembali menghubungiku lewat chat. Dia mengatakan bahwa dia tidak akan berkomentar apapun lagi dan meminta maaf sudah mencampuri hubungan kita. Aku tak segera membuka chat tersebut. Aku masih marah pada ill. Dan aku menyibukkan diri dengan membalas pesan-pesan yang lain di whatsapp.
Kurasa aku sedang stress parah. Ku raih obat sirup berwarna pink yang selalu menjadi penolong pertamaku ketika aku gastritis akut. Ku tenggak 10cc obat tersebut lalu aku bergegas memasak.
Barulah sekitar pukul 14.00 WIB aku membalas pesan kakanya. Dan mengatakan maaf kembali. Rasanya masih tertekan banget, aku membayangkan situasi yang tidak mengenakkan ini selama berjam-jam. Tak lama ada lagi drama baru yang muncul di babak kehidupan pahit ini. Yaitu pembagian hasil peminatan KTI kemarin. Seperti yang sudah di jadwalkan, kami memang di sarankan untuk mengisi peminatan KTI. Namun ternyata peminatan tersebut lahan praktiknya di tangerang semua. Yang mana tentu kita sebagai orang yang kuliah sambil bekerja di Serang sangat tidak memungkinkan untuk praktek di sana. Seharian grup ricuh karena hasil peminatan tersebut. Kepalaku mulai pening, aku merasa badanku demam lalu segera ku raih smartphoneku dan aku setel mode silent. Segera ku raih guling dan ku benamkan kepalaku di bawahnya.
Ternyata hari-hari panjang ini berlalu sampai malam. Aku tak kunjung berhenti memikirkan kejadian yang terjadi seharian ini. Sampe aku dinas pun aku tak bisa fokus, hanya terasa lelah lalu segera tidur. Aku sunguh tidak kuat menghadapi kenyataan hari ini yang di luar ekspektasiku.
Pagi harinya aku bergegas pulang lalu menjemur pakaian yang ku cuci kemarin. Disitu pikiranku makin meraung-raung. Ingin berteriak kencang namun takut akan menghebohkan warga kosan. Akhirnya aku pun menjemur baju sambil terisak dan berfikir bahwa mungkin akan lebih baik kalau aku mati saja. Aku tak sanggup tertekan seperti ini, ucapku dalam hati sambil terisak.
Mataku sudah berkaca-kaca sedari tadi. Dan boomm pecahlah tangis itu di siang hari sampai aku tertidur.
Aku menuliskan tweet "Rasanya nggak kuat pengen mundur aja" di aplikasi twitter. Yang mana aku tahu dengan pasti cowokku akan membacanya. Namun aku tahu dia sedang bekerja. Aku ingin marah, aku ingin bilang menyerah padanya, namun ku tahan. Ku tulis chat tersebut di dalam kontak my reminder yang biasa aku buat reminder tugas kuliahku. Dan kutumpahkan semua perasaanku di sana. Aku langsung tertidur dengan isi kepala yang hampir meledak.
Seusai sholat magrib, handphoneku berdering yang sudah ku pastikan bahwa itu adalah ill yang menghubungiku. Aku pun marah, menangis dan terisak sambil menceritakan keluh kesahku. Aku rasanya sudah tak sanggup memendam ini sendirian. Aku rasanya pengen mundur. Aku rasanya pengen udahan aja, gausah nikah aja aku enggak kuat. Namun lagi-lagi bukan ill namanya kalau tidak menenangkanku. Awalnya dia pun marah dan berontak, dia juga lelah namun tidak menyerah. Tapi setelahnya aku paham bahwa maksudnya adalah menyuruhku untuk tetap tegar dan tidak menyerah. Dia ingin aku mengurai satu per satu isi kepala yang hampir meledak ini. Dia ingin aku memutuskan apa yang ingin aku lakukan terlebih dahulu tanpa membuatku sakit dan tetap nyaman untuk dijalani.
Aku pun tersadar bahwa yang salah itu hanyalah pikiranku. Sebenarnya hatiku sudah tau ingin melangkah kemana dan berbuat apa. Namun, karena semua berkecamuk jadi satu, rasanya pikiran ini akan meledak.
Dan sekali lagi aku ingin memeluknya dalam doa. Aku begitu bersyukur memilikinya. Laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Sungguh tidak pernah rasanya sekalipun aku dituntut olehnya melakukan hal yang tidak aku suka. Dia selalu mengingingkan aku menjalani kehidupan yang aku suka dan membuatku nyaman. Dari kejadian hari ini aku belajar, bahwa tidak semua ucapan harus kita hiraukan. Karena kembali lagi kita tidak bisa mengontrol perbuatan dan perkataan orang lain. Kita hanya bisa mengontrol perbuatan dan perkataan kita sendiri. Dan ingat, kita juga hanya manusia biasa yang tidak bisa menyenangkan semua orang :)
0 notes
Text
Kali ini aneh, sudah 3 hari belakangan rasanya batreyku habis padahal aku sedang tidak praktek ke puskesmas. Sungguh keadaan yang aneh. Aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri. Aku kenapa ya ?
Aku tidak sedang sibuk nugas atau praktek tapi hari2 ku terasa begitu berat. Buat bangun pagi pun rasanya sangat berat. Apalagi mengerjakan tugas yang penuh dengan pemikiran yang matang rasanya sangat-sangat berat. Ketika hendak memulai menulis, lagi-lagi aku mencari pencerahan di smartphone ku. Lagi-lagi semua materiku ada disana, tapi aku hanya terdistraksi dengan notifikasi-notifikasi yang masuk secara bergantian.
"Arrrgggghhhhh",teriakku sebal.
Aku hanya mengacak-acak rambut sambil berguling-guling di kasur yang super nyaman meskipun seprainya belum aku ganti 2 bulan.
Sedih rasanya ketika melihat jam sudah pukul 13.00 WIB dan aku tidak melakukan apa-apa padahal aku sudah pulang sejak pukul 11.00WIB yang lalu.
Sering ku bertanya-tanya dalam diri. Aku ini sebenarnya lelah memang butuh istirahat atau aku hanya butuh produktifitas ?
0 notes
Text
Hari terus berganti, tp ragaku masih enggan berpindah tempat. Rasanya terlalu nyaman untuk tiduran dan scroll tiktok selama berjam-jam. Aku pun sering menanyakan apa sih why ku ? Hanya terus bertanya dan bertanya, tanpa mampu menjawab, tanpa tau cara nya memulai.
Sering kali diri ini terasa begitu sepi, hingga sesak nafas. Seperti di himpit dalam ruang sempit tanpa cahaya dan udara. Padahal nyatanya hidupku baik-baik saja. Ruang yg ku tempati cukup luas, uangku tidak kurang untuk membeli apa yang aku mau, aku selalu punya tempat untuk pulang dan bercerita. Entahlah apakah aku hanya lelah dengan rutinitas ? Atau memang aku sudah kehilangan arah
0 notes
Text
Gema takbir sudah berkumandang sejak tadi pagi, namun diri ini masih menahan lapar dan haus. Sering kali terjadi perbedaan dalam pelaksanaan ibadah, namun tak meruntuhkan ukhuwah islamiah. Karena semestinya meski berbeda waktu, kita tetap satu tujuan.
Aku buru-baru bangun dari tidur siangku yang lelap, ketika kernet bis meneriakkan kata "terminal pakupatan, terminal pakupatan". Aku terkejut ternyata secepat itu bis melaju dari Bekasi. Ku gendong tas ransel yang kubawa sejak 2 hari yang lalu. Sesampainya di kos, aku buru-buru mengambil wudhu dan sholat ashar. Karena aku teringat akan janjiku untuk homecare di rumah pasien. Ku hidupkan stater motor dengan beberapa kali percobaan, lalu akhirnya bisa ku kendarai seperti biasanya. Jalanan berbatu dan terjal tak menyurutkan niatku dalam membantu pasien. Ku pasang selang makan dengan hati-hati, lalu ku berikan edukasi mendalam terkait dengan penyakit yang di deritanya. Setelah izin pamit, aku di berikan selembar amplop berisi uang sebagai kesepakatan atas jasa yang telah ku berikan. Aku mengucap alhamdulillah sambil tersenyum menatap isi amplop itu, lalu aku bergegas pulang untuk berbuka di akhir-akhir Ramadhan.
Perut penuh sesak, ku rebahkan badanku di depan boneka beruang coklat pemberian Ilham. Lalu ku telepon orang rumah untuk mengisi kekosongan kegiatan malam itu. Hanya sekitar 10 menitan kita saling mengobrol, lalu ibu berpamitan ke masjid dan aku segera menutup telepon. Aku scroll sosmed untuk melihat bagaimana keputusan sidang isbat malam ini. Dan hasilnya sama seperti dugaan awal, tetap di hari Sabtu tanggal 22 yang artinya besok masih puasa.
Perutku sudah tidak begah lagi, tapi tiba-tiba hati ini sesak. Ku coba melangkah keluar, membuka jendela dan pintu kamarku. Namun tetap sesak. Ku tatap foto lebaran 4 tahun yang lalu, tak terasa meleleh air mata ini di pipi. Semakin sesak rasanya dada ini, meski semua ventilasi terbuka lebar. Aku mencoba mengambil air wudhu untuk sholat isya namun aku malah tersedu-sedu seusai sajadah ku gelar di depanku. Sungguh aneh, aku tak pernah sesakit ini saat Lebaran. Kali ini benar-benar berbeda. Aku menangis sejadi-jadinya di atas sajadah, aku terus menyebut-nyebut nama Allah sambil meminta agar tahun depan bisa lebaran bersama keluarga. Hatiku sesak, tangisku pecah namun kata-kata sulit keluar dalam diri ini. Ku coba alihkan rasa sakitku dengan scroll medsos namun tetap saja sulit. Hati kecilku terus bertanya-tanya, apakah aku siap pindah kerja dekat rumah tahun depan? Atau apa yang sebenarnya aku inginkan?
0 notes
Text
Hiruk pikuk kota ini rasanya nggak cukup untuk membuatku lelah dan kehabisan energi.
Sepulang dari praktek ners ku, seperti biasa aku segera menelponnya. Laki-laki yang sudah ku percaya untuk setia berkomitmen denganku.
Sama seperti episode-episode sebelumnya. Dia mengajakku berdebat perihal cowok yang meminta nomer hp ku atau user instagramku. Yang ku anggap remeh, atau bahkan "lah ig doang ini". Aku tak pernah merasa bahwa cowok akan sesensi itu jika ada orang lain meminta nomer atau akun ceweknya.
Ku kira ini hal yang wajar, karena foto profil whatsapp ku pun bersama doi. Dan foto di album instagramku juga ada foto doi.
Namun tidak dengan pemikirannya. Dia selalu merasa bahwa aku over friendly ke cowok yang baru dikenal.
Ku lanjutkan perdebatan malam ini dengan mengirimkan pesan survey ke beberapa teman cowok di kerjaanku. Dan yap, jawaban mereka netral. Sangat wajar jika ada cewek friendly ya biasa saja, tidak usah dibawa baper.
Akhirnya aku menang telak atas tuduhannya.
Telpon pun sepakat kita matikan, karena merasa sudah sangat lelah dan mengantuk. Namun entah aku kerasukan ide dari mana, tiba-tiba aku mengupload foto ku di Singapore dan membuat sebuah stori dari akun ngerti saham yang aku kutip dengan sebuah quotes.
Tak berselang lama, sebuah dm masuk. Deg, ini adalah cowok yang tadi meminta ig ku. Awalnya aku menanggapinya santuy, tapi lama kelamaan ini cowok emang terkesan membuka topik.
Aku sudah coba skip dan bahkan aku sempat menyebut-nyebut nama doi ku. Tapi tetap saja ini cowok cari topik.
Malam ini aku baru sadar, bahwa sebuah kekhawatiran dari cowokku itu nyata adanya. Sebuah upaya cowok caper itu ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Aku selalu percaya "Seorang tamu tidak akan pernah masuk, kecuali kita yang membukakan pintunya". Dan aku gamau membuka pintu itu kecuali untuk orang yang memang sudah aku percayai untuk menjadi tempatnya pulang~
0 notes
Text
Teruntuk laki-laki yang selalu aku bilang "gendut" atau "ci cemok" tapi tidak pernah marah.
Teruntuk laki-laki yang setiap habis dapet duit selalu bilang "kamu pengen apa, sana beli. Kamu mau ke salon, sana pergi. Kamu mau digofoodin apa sana pesen, aku yang bayar"
Teruntuk laki-laki yang tiap aku mengeluh capek, dia selalu bilang "sana ke salon creambath, sana ke salon pijat refleksi. Atau kamu mau kemana, bilang yaa"
Teruntuk laki-laki yang tak pernah bisa marah lebih dari satu jam saat bertengkar denganku.
Teruntuk laki-laki yang bekerja dengan semangat untuk menghalalkanku.
Entah kenapa malam ini terasa begitu haru bagiku, tanpa aku sadari aku seringkali tidak bersyukur memilikimu. Aku yang seringkali marah karena hal sepele, yang sering membentakmu, yang sering mengatakan hal buruk padamu, memberimu banyak pressure dan hal buruk lainnya yang sering ku lakukan padamu. Karena sudah terlalu lama sendiri dan terluka, aku seringkali menyamakanmu dengan yang lain, yang juga menyakitiku. Padahal selama ini kamu tak begitu.
Malam ini, ketika aku menyadari betapa baiknya kamu. Aku sungguh-sungguh ingin berterimakasih, meski aku tau kamu selalu bilang "makasih buat apa sih". Namun aku ingin mengucapkannya lewat tumbler.
Aku tau, kamu bukanlah manusia sempurna. Masa lalumu mungkin buruk, namun kamu sudah banyak berubah. Kamu mungkin bukan laki-laki yang aku inginkan, namun tanpa ku sadari kamu adalah laki-laki yang sangat aku butuhkan.
Setelah bertemu kamu, aku jadi percaya bahwa laki-laki baik itu masih ada di dunia ini. Setelah bertemu kamu, aku merasa bahwa semua kesedihanku di masa lalu rasanya tak sepadan dengan kebaikan yang kamu berikan.
Sekarang, esok dan seterusnya. Aku selalu berdoa yang sama, doa yang aku ucapkan bahkan ketika aku masih belum bertemu denganmu. Semoga dan semoga, kamu selalu sama, tidak pernah berubah sedikitpun rasanya kepadaku, tapi cukup berubah bersama-sama untuk menjadi lebih baik lagi di masa depan.
Kini, bersamamu aku menjadi yakin. Bahwa semua kesulitan itu masih bisa kita tertawakan bersama.
Thanks for loving me *INE*
1 note
·
View note
Text
Keringat mengucur deras membasahi tubuh dan keningku. Sambil terengah-engah aku mengingat kembali momen dimana ular besar itu melilitku dan sama sekali tak memberiku ruang untuk bergerak. Aku menggeliat kesakitan, namun orang lain tak mampu menolongku. Bahkan merekapun tak melihat ada ular besar membelit tubuhku. Aku terus teriak, sampe dimana akhirnya ular itu masuk ke dalam ragaku. Aku sedikit tersadar dan rasa sakit itu mulai memudar. Aku coba raba perlahan bahu kiriku, seperti ada tiga benjolan disana yang sebelumnya tidak pernah ada. Lalu aku mulai sadar bahwa ular itu telah masuk menyelinap dalam raga ini. Aku segera bergegas menemui seseorang yang sangat aku kenal baik. Aku memintanya mendampingiku, karena untuk saat ini diriku tidak benar-benar baik-baik saja. Akhirnya dia membuat benteng pertahanan untuk melindungiku, menggandeng tanganku lalu kita bersama-sama membaca doa-doa yang kita mampu ucapkan. Akhirnya gangguan kedua mampu kita halau, namun tubuhku masih rentan. Ku putuskan untuk minta dijemput pulang.
“Bu, aku ingin pulang. Jemput aku segera ke dermaga dekat kapalku bersandar. Akan ku kabari detailnya lewat chat whatsapp”, ucapku dalam telepon singkat itu. Tidak perlu menunggu lama, kedua orangtua ku segera tiba dan menjemput aku pulang. Setibanya di rumah, aku segera di bawa ke masjid dan ku jumpai sudah banyak orang berkumpul di sana untuk medoakanku. Aku mencoba mengingat kembali peristiwa singkat yang mengerikan itu, lalu ku ceritakan ulang di hadapan orang yang hendak mengobatiku. Aku ingat betul bahwa sebelum ada serangan, kaum ular itu sudah berhari-hari mengangguku dan membisikkan serta memaksaku untuk menyembah kaumnya. Aku tak sudi, tiap hari ku rapalkan doa-doa istigfar pelindung diri untuk menguatkan imanku. Namun tiba-tiba raja ular itu marah dan membelit tubuhku dengan sangat cepat.
Tak lama berselang, bahu kiriku di raba oleh seorang wanita yang mengaku bahwa dia akan mengobatiku. Aku tercegang, masih terdiam dan ragu. Aku kenal betul siapa wanita ini dan kenapa dia ? Kenapa bukan ustad, padahal aku tau dia tak punya kemampuan apapun. Namun aku tetap menuruti apa yang dia katakan. Perlahan dia meraba tiga benjolan besar di bahu kiriku. Lalu tiba-tiba dia menarik seekor ular piton dari dalam benjolan itu, namun ukurannya tak sebesar yang melilitku. Aku masih tidak percaya, karena ular yang melilitku tiga kali lebih besar dari ular yang ditarik oleh wanita ini.
“Ular ini sudah aku keluarkan dari tubuhmu ya ndok, ukurannya pun tak sebesar seperti yang kamu ceritakan”, ucapnya padaku.
“Aku pun heran Mak, kenapa ularnya hanya sekecil itu. Padahal aku ingat betul yang membelitku adalah raja ular piton yang sangat besar. Lalu bagaimana dengan benjolan kedua dan ketiga ?”, tanyaku.
“Benjolan kedua merupakan kumpulan jin yang berada di sekitar kapal, mereka ikut masuk ketika ular itu masuk. Mungkin mereka adalah pengikut dari kaum ular tersebut”, ucap Mak Nani.
“Lalu bagaimana dengan benjolan ketiga Mak?”, tanyaku masih penasaran.
“Benjolan ketiga adalah pertanda bahwa tubuhmu masih rentan dan akan ada serangan lagi jika kamu masih berada di sekitar area kapal. Untuk itu lebih baik kamu beristirahat dulu di rumah, setelah aku keluarkan benjolan kedua di bahumu”, ucapnya menjawab semua rasa penasaranku.
“Tapi Mak, besok aku harus kerja malam. Aku tak mungkin bisa izin karena aku masih pegawai baru di kapal tersebut”, ucapku sambil menatap mata Mak Nani. Aku berharap ini semua hanyalah ilusi.
Dengan sabar Mak Nani menjawab, bahwa tidak ada acara lain selain menjauhkanku dari area itu. Namun jika memang aku memaksa untuk tetap bekerja, maka opsi terakhir adalah membuat benteng pertahanan.
Hari sudah berganti, waktu terus berjalan hingga terik matahari sudah berada tepat di atas kepala. Hari ini semua keluarga inti berkumpul bersama Mak Nani untuk menjelaskan strategi yang harus di lakukan untuk melindungiku dari serangan kaum jin itu. Kakak sepupuku masih terdiam, dia kebingungan kejahatan apa yang telah dilakukan oleh leluhurnya dulu hingga aku menjadi korban atas kejahatan makhluk halus tersebut. Orangtuaku terdiam, mengingat-ingat kembali perjanjian apa yang telah mereka sepakati dengan siluman ular tersebut, namun mereka tetap merasa tak pernah berbuat apapun.
“Oh aku ingat, dulu Pakde Tio pernah bergabung dengan klenik. Dan kamu sebelum bekerja sempat mampir dulu ke rumahnya untuk berpamitan. Aku rasa semua kekacauan ini berasal darinya”, ucap Kakak Sepupuku penuh dengan antusias.
“Aku akan menghubungi anaknya”,tambahnya lagi.
Setelah ucapan itu, perdebatan antar saudara pun terjadi di dalam grup keluarga besar. Tidak ada yang mau mengaku pun juga tidak ada yang mau mengalah. Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba aku terbangun. Aku mengerjap kan mata berkali-kali, sambil terengah-engah aku kebingungan karena hal yang aku alami tadi begitu nyata. Dada kiriku sakit, aku coba raih smartphone ku untuk melihat jam. Ternyata hanya dua jam aku tertidur, masih terlalu malam untuk menelpon orang rumah. Kuraih boneka beruang ku, sambil mencurigainya ada roh jahat di dalamnya. Namun aku tetap memeluknya, sambil mengatur nafas.
1 note
·
View note
Text
Masih terdiam dalam ruang sempit di malam yang sunyi. Hari-hari panjang sama sekali tak membuatku mengantuk meski terasa begitu melelahkan. Aku coba menghalau pikiran yang sedang kalut dengan menyesap teh manis buatanku, meski aku tahu resiko Diabetes tentu naik drastis jika kebiasaan ini aku lanjutkan. Tak mau gila sendiri, aku mencoba mendistraksi pikiran dengan membuka sosmed, berharap ada hormon endorphin datang dan membuatku tertawa meski aku tahu efeknya hanya sekejap.
Berkali-kali mengedipkan mata efek terlalu lelah memandang layar smartphone. Aku berharap pikiran liarku tentang kehidupan yang tanpa arti segera lenyap dan mengizinkanku untuk tidur walau sedikit sulit. Namun sama sekali hal itu tak terjadi. Aku letakkan smartphone jauh dari jangkauanku, lalu aku menutup mukaku dengan bantal. Ingin rasanya menjerit dengan kencang, namun aku sangat paham itu bukan solusi terbaik untuk saat ini. Aku biarkan pikiran itu berlalu lalang seperti ramainya jalanan di depan terminal Kota Serang. Mencoba meresapi kembali, alasan aku berada di sini.
2 notes
·
View notes