Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Cabut Aku dari Rahimmu, Ya?
Grace Christiani, 28 Januari 2025
But when i see my parents… they were just adults when i was a kid. But as i grow older, I see that my mom and dad are just people too. No one is a perfect grown up.
Vernon, 2024.
Dulu, aku benci kala Mama berucap padaku dengan nada tinggi, matanya melotot bak ingin melompat keluar, dan kepalanya merah berasap layaknya tungku api membakar habis yang ada di dalamnya ketika aku berbuat kesal dirinya. Toh, pikir kecilku selalu membenarkan apa yang kupikir seru. Bahkan saat aku tak berbuat apa-apa, acap kali Mama bertingkah seperti aku baru saja menghancurkan dasar bumi, meluluhlantakkan tanah tempat ia berpijak, sampai-sampai setiap gerak-gerikku salah di matanya.
Seiring berjalannya waktu, seiring tunas kecil itu bertumbuh menjadi pokok teduh, banyak ilmu yang sudah ditelannya. Kala pokok yang satu berbuah lebat, pokok yang lain tertimpa badai. Salahkah pokok yang satu menyimpan dendam dan melampiaskannya pada si pokok yang beruntung itu? Salah. Layakkah pokok yang beruntung membenci pokok yang sial itu? Layak. Toh, keduanya sama-sama tak sempurna, sama-sama awalnya tunas yang tak kenal dengan tanah yang ditinggalinya.
Seperti halnya bumi yang tak pernah adil tingkah lakunya, manusia tak pernah sama pengadilannya. Kupikir dahulu Mama ada jelmaan penyihir yang menyiksa anak-anak nakal, ternyata ia hanya seorang gadis yang mimpinya direnggut oleh anak nakal itu. Anak nakal itu dengan egois bertumbuh dalam rahimnya, mencuri tiap kunyahan yang ditelannya sehingga ia sukar 'tuk kenyang, menyita waktunya karena ia terlahir rapuh dan manja, menyiksa tubuh dan pikirannya sebab si anak nakal tak dapat hidup tanpa ibunya. Padahal, si ibu juga adalah anak nakal ibu yang lain, yang ingin menjadi egois terhadap setiap kasih ibunya, yang punya mimpi untuk mengelilingi dunia, yang punya mimpi untuk terbang bebas di angkasa.
Tak sampai di situ saja, dunia seakan-akan belum puas menyiksa, hari ini ia menangis. Tidak, tidak, tidak. Si anak nakal tak ingin nenek sihirnya menangis. Si anak nakal kini tahu bahwa mamanya bukanlah nenek sihir, tapi adalah serupa dengannya, anak nakal yang sama. Si anak nakal tak mau membenci si nenek sihir lagi. Si anak nakal membenci dirinya. Si anak nakal tak mau mamanya menangis, dan jika mati adalah jawabannya, maka si anak nakal ingin mati saja.
Ya, mati saja.
Cabut aku dari rahimmu.
0 notes
Text
Tiga di Awal Tahun: Selamat Ulang Tahun, Bumi
Grace Christiani, 1 Januari 2025
Kini, di saat jemariku mengetik tiap kata di halaman ini, tubuhku menggigil hebat. Dinginnya hari tanpa matahari dan berada jauh di atas permukaan laut sungguhlah luar biasa, terutama bagiku, orang dataran rendah.
Ah, sudah tak terasa bumi telah mengakhiri satu putaran baru mengelilingi matahari. Pekerjaan yang sungguh membosankan dan repetitif. Namun, ia melakukannya lagi, mengakhiri tahun yang chaos ini. Ia tak berhenti berotasi dan berevolusi, memberi para penumpangnya lembaran baru dan alasan untuk hidup. Matahari 'kan terbit lagi, bunga 'kan mekar lagi, hari baru 'kan tiba lagi, dibawakan oleh si bumi tua yang tak jemu-jemu melakukan tugasnya.
Ini kali pertama bagiku merayakan tahun baru di luar kota kelahiranku. Rasanya? Entahlah, tak menyenangkan jika aku mengetik secara gamblang bahwa aku tak merasakan apapun spesial, kecuali dingin yang terus menerus merangkulku. Mungkin, langit malamnya yang menyajikan puluhan bintang di kanvasnya yang hitam pekat itu menjadi nilai plus. Entahlah, semakin tua umur bumi, semakin banyak daun-daun yang dahulunya hijau, yang menyimpan kesenangan dan semangat si gadis kecil itu, gugur satu per satu. Aku tak mau, aku tak ingin. Akan tetapi, si dewasa terlalu lelah untuk memupuk pohon yang perlahan kehilangan harapnya itu. Setelah melalui setahun penuh badai dan kekeringan, ia mulai lelah untuk tetap berdiri dan bertumbuh. Namun, untungnya ia masih punya matahari untuk memandikannya cahaya melalui firman-Nya dan keselamatan-Nya, ia masih punya air dari tanah untuk memuaskan dahaganya lewat penyemangatan Roh Kudus, dan masih banyak mineral yang tersembunyi di seluk beluk tanah sebagai jelmaan anugerah dan berkat dari Allah. Si pohon hanya perlu berusaha untuk ... tumbuh dan bertahan, bukan?
Terbangun terlalu dini, kini waktu telah menunjukkan pukul setengah 4 pagi. Waktu yang cukup nyaman untuk menarik napas sejenak dan beristirahat di saat yang lain tengah terlelap. Manusia selalu diberikan waktu 'tuk berhenti sejenak dari ricuhnya kehidupan, dan lagi-lagi, bumi masih berputar. Duduk sejenak dan menyaksikan bagaimana memoriku merekam 366 hari yang lalu, yang mana hidupku berubah layaknya ombak ganas di samudera, yang tak pernah tertebak tingginya gelombang yang ia buat. Terkadang ia merendah, seakan-akan ingin menelan tiap benda yang berlayar di atasnya ke dalam laut, terkadang ia melambung tinggi seperti ingin membalikkan kapal besar yang menantangnya. Apapun itu, tetap saja, dunia tetap berputar.
Saat menghadapi si monster ganas itu, kupikir aku dapat mengendalikan kapalku melaluinya. Namun, aku gagal. Kapalku terhempas jauh dari tujuanku dan aku kehilangan arah. Kini, aku belajar, bahwa aku harusnya memberikan kemudi pada si ahli kapal, penuntun hidupku. Walaupun terkadang, dagingku masih bertumpu pada yang bukan diri-Nya, untungnya si ahli kapal adalah penyabar dan penuh kasih. Di hari pertama di tahun baru ini, biarlah kumulai dengan belajar menyerahkan segalanya pada si ahli dan mengucap syukur senantiasa bahwa setidaknya ... kapalku belum tenggelam.
Berbicara tentang bumi yang juga telah berulang tahun hari ini, aku juga belajar. Si bumi tua yang tak pernah lelah melakukan tugasnya, si bumi tua yang tak pernah mengeluh walaupun selalu melakukan hal yang sama, si bumi tua yang tak pernah marah walaupun sering sekali tak dihargai dan malah dilukai oleh manusia, si bumi tua yang mengajariku untuk menghargai hal-hal kecil. Planet kecil yang mengelilingi bintang tuannya di tengah semesta luas tak terhingga, si bumi tua, kuucapkan selamat ulang tahun. Izinkanlah aku untuk terus belajar, terus dididik untuk mengasihimu, mengasihi tiap hal yang berdiri di atasmu, mengasihi tiap hal yang membuatku hidup.
Ah, tak terasa sudah lama sekali aku tak mengetik. Rasanya begitu berbeda, dan aku sadar bahwa kualitas dari ketikanku menurun. Mungkin, di lain waktu, aku akan kembali lagi, memahat ideku ke dalam kata-kata lagi.
Selamat ulang tahun, Bumi.
0 notes
Text
Untukmu, Sang Pencipta Peradaban Manusia
Grace Christiani, 12 Mei 2024 (Unfinished)
Sosok yang membentuk dan menghantarkan manusia ke dunia lewat darah dan dagingnya, siapa yang tak tahu betapa hebatnya sebuah kata ibu? Terlalu besar yang diperbuat oleh insan yang dikenal oleh seluruh makhluk hidup yang ada di alam semesta itu, baik panggilannya berupa mama ataupun induk, sebab mereka yang datang darinya tak henti ingin memberikan yang terbaik untuk membalas jasanya, walau hanya terbatas pada karya-karya seni yang tak akan mati oleh waktu ataupun memanjakan sang jembatan kehidupan di sepanjang masa hidupnya. Ataupun kepadanya dihadiahkan sebuah hari jadi untuknya dirayakan oleh seluruh belahan bumi, Hari Ibu.
Bertaruh nyawa bukanlah perkara mudah untuk membawa nyawa baru tumbuh dan mekar di dunia. Rasa sakit dan pengorbanan yang luar biasa haruslah menjadi materai untuk mengemban panggilan seorang ibu. Lalu, perihal mengenai pengorbanan dan pertaruhan nyawa melalui rasa sakit yang luar biasa sebagai tanda bahwa sebuah pribadi layak berperan sebagai ibu adalah sebuah miskonsepsi yang sudah berakar sangat dalam dalam stereotip masyarakat. Mengapa sebuah tugas mulia ini harus didasarkan pada luka dan penyesalan seumur hidup oleh yang menunaikan?
Tempo hari, tepatnya di Hari Ibu, kutemukan beberapa kutipan singkat yang tentunya menjunjung tinggi kekuatan dan kehebatan para ibu yang ada di dunia. Namun satu hal yang terus menjalar melalui lintasan-lintasan neuron saya adalah perihal sosok ibu sebelum ia secara biologis dinobatkan sebagai seorang ibu. Ada jiwa kanak-kanak yang belum sempat merasakan apa yang namanya perjalanan menjadi dewasa, namun secara paksa didewasakan sesuai dengan hukum masyarakat yang entah dasarnya apa untuk menuntun jiwa baru yang tumbuh di dalam tubuhnya agar dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang manusia ketika ia telah lahir. Ada jiwa yang masih ingin terbang bebas menyicipi tiap sisi galaksi yang dapat ia raih, namun kedua sayapnya harus dikekang oleh beban yang masyarakat timpakan kepadanya sejak ia tiba ke dunia, melahirkan seorang anak. Jiwa-jiwa itu dulunya disebut sebagai seorang gadis yang senyumnya dapat melelehkan gunung es terbesar, yang hatinya lembut dan tegar sehingga dapat menjinakkan tiap ombak yang menderu, namun harus terjebak dalam tanggung jawab besar, menikah dan melahirkan.
Bingungnya, banyak sekali bibir yang mengatakan bahwa menjadi seorang ibu adalah sebuah anugerah. Untuk sebagian besar kasus, memang benar adanya. Namun terlalu banyak perempuan yang harus menderita karena menjadi seorang ibu. Sebagai contoh, ibu saya.
Saya tahu saya tidak bisa langsung menyamaratakan bahwa tiap ibu di dunia sama seperti ibu saya, namun hidup bersama dengan sosok yang mengandung saya selama 9 bulan itu selama 17 tahun sudah cukup banyak memberikan saya bahan-bahan mentah bagaimana dunia memandang seorang ibu yang pastinya harus saya cerna seiring bertambahnya usia. Bagaimana lingkungan patriarki secara semena-mena merusak mahakaryanya yang ia jaga seumur hidupnya, anak-anaknya, hanya untuk menimpakan tiap kesalahan kepadanya. Seorang ibu adalah dasar dari berjalannya kehidupan yang ada di bumi, dan sayangnya lingkungan patriarki memandang sebelah mata akan hal itu. Dengan mata kepala saya sendiri, menyaksikan bagaimana buah hati si ibu dengan sesuka hatinya melukai si pemberi kehidupannya sudah menjadi tontonan saya sehari-hari.
Kelahiran adalah sebuah anugerah, itu memang benar adanya. Namun sayangnya masyarakat telah membentuknya sebagai sebuah kutukan, sebab kelahiran itu kini harus disambut oleh pengorbanan yang terlalu besar dari si ibu. Mengenai kelahiranku, sudah berapa banyak pesan tersirat yang dikonsumsi pikiranku bahwa mimpi-mimpi ibuku padam ketika aku ada di kandungannya? Seberapa besar gudang penyesalan yang ibuku bangun ketika ia memilih agar eksistensiku ada di dunia? Seberapa besar luka yang sudah tercipta setiap kali tumbuh kembangku membawa masalah dan sakit padanya? Tidak hanya dari diriku, juga pasangan hidupnya yang tak becus dalam memenuhi janjinya untuk memberi bahagia di sepanjang hidupnya. Kala aku ingin tahu kenapa ibu sungguhlah tangguh, ia hanya menjawab bahwa kelahiranku adalah anugerah dan menjadi seorang ibu adalah karunia. Tapi ... betulkah adanya? Lalu kenapa dunia seakan-akan menghina keberadaan penciptanya itu sendiri? Apakah alasan klise itu hanya dibuat-buat untuk menjustifikasi ketidakadilan dunia atas mulianya gelar seorang ibu? Kelahiranku sebagai seorang manusia?
Mengapa menjadi seorang ibu harus dibutuhkan pengorbanan?
0 notes
Text
Kekal
Grace Christiani, 15 April 2024 (Reupload from X, 13 Januari 2024)
Memang benar adanya bahwa benda mati adalah tak bernilai dibanding setitik kehidupan yang menumpukan nyawanya pada bumi. Namun, siapakah yang dapat bertahan dari dahsyatnya hukuman waktu?
Bebatuan yang bertahta di kasta terendah, menjadi pijakan untuk yang hidup mampu menimbun ingatan sedari lahirnya bumi, ataupun laut yang menelan jutaan ton sampah setiap harinya, menyimpan tiap kenangan yang tak terhitung jumlah dan umurnya.
Bahkan kekekalan hanyalah sebuah kata yang dapat diemban oleh benda-benda mati itu dalam perwujudan yang disebut sebagai seni, sementara yang berjiwa hanya dapat memuntahkan omong kosong tentang hidup selamanya, dan yang pantas baginya adalah kematian seutuhnya.
Apakah materi-materi yang tak bernyawa itu punya akal? Mungkin makna dari mengalahkan waktu tak akan pernah mereka mengerti, namun Sang Pencipta mengizinkannya untuk menjadi hadiah bagi benda-benda yang dianggap oleh yang berakal sebagai sampah tak berharga.
Jadi, I WAS INSPIRED BY WHAT DIO SAID TO PUCCI WKWKWK i didn't think this almost gay anime could give me such a philosophical thing.
0 notes
Text
Missing Those Old Days
Grace Christiani, 15 April 2024
I hate to realize that I'm growing up.
Benci rasanya ketika luapan emosi itu membuncah kala aku sadar bahwa kasur tua nan lapuk itu kini sudah tak sanggup menangkup tubuhku yang sudah tumbuh. Masih tercetak jelas dalam kepala ketika kasur itu rasanya begitu luas hingga aku selalu iri dengan kaki si empunya yang selalu mampu meraih ujungnya, sedangkan milikku masih hanya mampu menggapai setengah luasnya. Aku masih mampu mereplikasi rasa itu dengan jelas, ketika kedua pemilik kasur itu—kakek dan nenekku—mengapit si kecil diriku erat, melindungiku dari imajinasi-imajinasi seram kala aku masih cilik itu. Kini aku sadar betapa kecil dan sempit kasur itu, namun hebatnya ia mampu menyimpan tumpukan kenangan masa kecilku bersamanya.
0 notes
Text
Alam, Dekaplah Kami dengan Indahmu
Grace Christiani, 28 Juni 2023

Setelah menyesap satu gelas teh hangat dan menghabiskan sebungkus Pop Mie, aku memutuskan untuk membuka ponselku dan merangkai kata-kata untuk dicurahkan dalam teks ini. Ditemani pemandangan danau yang berada pada 905 meter di atas laut, serta angin malam yang tak lelah-lelah menyapa tubuh, aku merealisasikan keinginanku yang sedari tadi menggebu-gebu untuk dilakukan, yaitu mengetik kekagumanku pada alam. Tepat di sampingku kedua orang tuaku tampak begitu serius berbincang, seperti sedang rapat RAPBN. Karena itu, sambil menunggu kedua beliau mengungkapkan isi hati masing-masing, aku juga mencurahkan isi kepalaku di platform ini.
Jujur, aku tak tahu harus memulai dari mana. Terlalu banyak hal yang berdesakan di kepalaku menunggu untuk dibagikan dalam teks ini. Dengan tanganku yang sedikit menggigil, pikiranku sedikit pusing pula menyusun berbagai kalimat pujian dalam otak untuk menjadikan teks ini menjadi layak baca. Karena jikalau mencakup keindahan alam, ribuan kata-kata tak cukup untuk mereplikasi isi hatiku dengan sempurna.
Dari Medan, kami menggunakan fasilitas tol untuk mempersingkat waktu agar sampai di tujuan dengan cepat. Dalam waktu dua jam kami melalui jalan khusus yang hanya boleh dilalui mobil dan sejenisnya itu, saya hanya disuguhi pemandangan berhektar-hektar sawah, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet. Aku tidak menganggap hal itu membosankan, namun yang disajikan dari hal itu bersifat repetitif, sehingga aku berharap ada lebih dari itu semua untuk kulihat. Untungnya, setelah melewati Kota Tebing Tinggi dan Pematang Siantar yang super padat, aku seakan dijemput oleh banyak spesies tumbuhan—mungkin. Selagi indera pendengaranku dimanjakan oleh lantunan lagu, indera penglihatanku menikmati tumbuhan-tumbuhan secara abstrak memenuhi sekeliling—kecuali jalan yang kami lintasi. Walaupun terkadang aku dibuat kesal oleh kendaraan-kendaraan lainnya yang menghalangi jarak pandangku, tapi apa boleh buat juga. Kamera ponselku pun berkali-kali kubuka untuk sekedar mengabadikan pemandangan yang kami lewati, kecewanya hanya foto-foto blur yang aku dapatkan. Menyerah, kuletakkan kembali ponselku dan kembali memutarkan lagu, dan membiarkan mataku menerima impuls-impuls itu untuk kuingat dalam otak.
Setelah sekitar satu jam lebih kami seakan-akan didekap pepohonan di antara kami, akhirnya hamparan Danau Toba tiba untuk merangsang neuron-neuron di sarafku untuk terkagum. Tampaknya juga hujan kegirangan saat kami tiba, karena beberapa titik air juga menghiasi kaca mobil kami, dan dalam sekejap sudah memenuhinya. Namun, selang beberapa menit, akhirnya awan sudah selesai menumpahkan isinya, sehingga kami memutuskan untuk membuka jendela mobil, menikmati sejuknya angin dan membingkai keindahan Danau Toba dengan lebih lagi. Walau di beberapa titik ada orang-orang yang membangkar sampah, merusak kenikmatan yang alam berikan. Setelah melihat-lihat berbagai tempat makan, kami pun memarkirkan mobil kami di salah satunya dan memesan makanan untuk mengisi kekosongan perut. Dan inilah puncaknya, saat pupilku tak dihalangi kaca mobil lagi, aku duduk tepat diujung tempat makan tersebut, menghadap langsung karya Sang Pencipta yang luar biasa.
Saat turun dari mobil, tubuhku masih tak terbiasa setelah diguncang dalam mobil akibat jalan yang berkelok-kelok dan tak selalu mulus, juga perbedaan tekanan udara sedari kami di dataran rendah hingga berada di atas lebih dari 900 meter di atas laut. Namun setelah duduk dan menyusuri setiap sudut dari Danau Toba yang dapat digapai mataku, aku terkagum hebat dan cepat-cepat mengambil foto, menjadikannya sebagai cendera mata saat kami kembali nantinya.
Rasanya tak tampak ujung dari danau vulkanik terbesar di dunia itu saat aku berusaha menyingkap setiap sisinya, walau beberapa menit kemudian jarak pandangku terpotong oleh hujan yang turun di tengah danau itu. Kupikir, dengan kedatangan hujan itu, aku tak dapat menikmati esensi dari keindahan danau yang menjadi tujuan kami sedari awal, namun ternyata alam tak henti-henti membuat jiwaku memujinya. Dari jauh, rembesan air tampak dengan jelas, seperti teh yang dituangkan dari pot awan, mengisi sebuah cangkir yang luar biasa luas. Tak jarang kilat guntur menunjukkan dirinya, menyita fokusku dan seakan-akan menyuruhku untuk tidak beranjak dari memandangnya. Sekali-kali kudapati perahu dan sampan yang berlayar dari ujung ke ujung danau tersebut, dan lucunya otakku menginterpretasikan sebagai potongan sayur yang mengambang di permukaan sup super besar.
Kini, waktu tampaknya tetap disiplin berjalan, tak membiarkan kami untuk berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Matahari sudah turun menyelesaikan kewajibannya, digantikan bulan yang tak tampak eksistensinya karena tertutup awan—sepertinya. Karena titik-titik juga hujan tak absen untuk turun sedari kami datang, hamparan bintang yang kukira akan muncul di kanvas cakrawala juga kemungkinan diselimuti oleh tumpukan awan, sehingga sekarang yang terlihat hanyalah layar hitam dengan beberapa sinar kecil di beberapa titik, berasal dari lampu-lampu bangunan dengan manusia yang masih beraktivitas di dalamnya.
Kini, aku hanya menunggu untuk kedua orang tuaku berpindah tempat lagi—yang kemungkinan akan terealisasikan setelah berjam-jam berbincang dengan kerabat yang tak kukenal sama sekali, aku memandangi berbagai kendaraan yang sibuk lalu-lalang dikejar waktu, dan mengingat kembali karya Sang Pencipta yang telah Ia lukis dengan baik.
Thanks,
Grace.
0 notes
Text
Kagum yang Mekar pada Pukul Satu Pagi
Grace Christiani, 24 Juni 2023
Kali ini, saya buka tulisan ini dengan sebuah kebingungan. Entah apa yang merasuki dan mendorong intensi saya untuk mengetik beberapa kalimat, yang saya yakin akan bertumbuh menjadi rentetan paragraf. Lucunya, impulsivitas ini hanya akan muncul di waktu-waktu tertentu, seperti sekarang di mana harusnya tubuh ini sudah beristirahat dan mungkin mendapat bunga tidur yang indah.
Tapi, kita semua tahu, terutama sebagai remaja yang tak ingin lepas dari gawainya—atau mungkin saya saja?��barang sehari, saya yang belum dijemput kantuk memutuskan untuk berselancar dalam aplikasi Twitter. Jujur, saya sedikit terpaksa membukanya karena awalnya hanya untuk menghibur diri saja dan menghemat pemakaian data, namun tetap cukup menyenangkan membaca tiap tweet yang terlewat dalam timeline saya. Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk lanjut membaca thread kisah alternative universe yang sudah saya simpan cukup lama, dan berujung pada kedua jempol saya yang kini sibuk mengetik mengenainya.
Kisah yang dibawakan cukup membuat saya terhibur, bahkan lebih dari cukup. Plot yang disuguhkan menunjukkan keunikan dari kisah ini sendiri, membuatnya menonjol dari sekian kisah yang telah saya baca. Terlepas dari genrenya yang sedikit ... tabu di masyarakat, namun tidak dapat dipungkiri kisah ini dikemas dalam diksi yang luar biasa indah bahkan memasukkan unsur-unsur istimewa yang membuat saya semakin mantap meletakkan kisah ini di deretan kisah favorit saya yang lainnya.
Lalu, mengapa kisah ini bisa seistimewa itu? Karena acap kali saya membaca narasi ciptaan si penulis, saya selalu terkagum bagaimana ia menghanyutkan pembaca dalam kisahnya melalui aliran alur yang tak terkesan memaksa, namun seakan-akan menjadikan pembaca sebagai tokoh yang bergelut dengan emosinya sendiri dan keadaan yang tak tertebak. Saya sangat enjoy akan hal ini, dan menurut saya semua plot twist yang diberikan untuk membumbui kisah ini benar-benar memberikan kejutan yang tak dapat diterka oleh saya—bukan bermaksud melebih-lebihkan—dan menghujani saya dengan emosi yang fluktuatif. Tak jarang luapan beraneka emosi membuncah dalam hati, padahal hanya bermodalkan ketikan dan argumen-argumen dari tokoh-tokoh fiktif yang tak nyata itu.
Namun, dari semua kata yang sudah saya ketik, itu semua hanyalah untuk menunjukkan kelihaian si penulis dalam bermain kata-kata, dan saya sangat suka akan hal itu. Bagi saya, menjadi penulis yang mampu merangkai tiap kata menjadi sebuah kisah yang memanjakan pembaca dan membawa mereka menikmati roller coaster emosi dengan mulus, itu adalah sebuah kehebatan. Si penulis dapat mengemas sebuah ide yang sangat unik dalam susunan bahasa yang terlampau indah—menurut opini saya sendiri—dan membentuk sebuah kisah yang jarang sekali ditemukan karena bersifat spesial. Saya sendiri cukup senang untuk menemukan kisah unik ini di dalam tumpukan threads alternative universe lainnya. Saya juga cukup suka dan semakin menambah kagum saya pada si penulis ketika ia memberikan topping pada kisahnya untuk mempermanis, yaitu menyelipkan fakta-fakta mengenai fisika (mekanika fluida, teori ketidakpastian Heisenberg, quantum entanglement) ataupun istilah-istilah dalam dunia kerja yang cukup menambah wawasan saya—walaupun saya tak paham sepenuhnya. Hal ini memperkuat keseriusan penulis dalam kisah ini, bahwa kisah ini bukanlah sebuah kisah bergenre romantis dan slice of life klise seperti yang lainnya.
Saat saya mengetik ini, saya juga teringat dengan sebuah narasi one shoot yang cukup menghibur juga. Mengangkat tema perselingkuhan, yang secara tak terduga membawa saya dalam perspektif pelaku perselingkuhan tersebut, dan malah sedikit merubah pandangan saya mengenai perselingkuhan—cukup dalam kisah ini saja. Saya bisa mengakuinya, narasi ini memiliki diksi yang sangat-sangat indah, tiap kali saya membaca kalimat-kalimat yang dihubungkan dengan titik itu, ada saja kata-kata yang harus saya tambahkan dalam kamus perbendaharaan bahasa saya untuk memperkaya diksi saya. Ini menunjukkan bahwa hanya lewat kata-kata yang diketik seseorang—maupun ditulis, terlepas dari apa pun bahasa yang digunakan—mampu menjadi karya seni yang menimbulkan kagum pada si penikmat. Tentunya pun, saat menyangkut karya seni, berbagai aspek dapat diangkat dan dihubungkan padanya, sebagaimana seni itu sangat berdampak pada tiap aspek kehidupan. Contohnya, bagaimana ada perubahan pandangan saya terhadap perselingkuhan di mana awalnya saya sangat menentangnya menjadi paham akan apa yang dirasakan oleh pelaku—mungkin khusus kisah ini saja yang menjadi sebuah kasus spesial—setelah mengarungi sebuah kisah yang bersedia menjadi media untuk menceritakannya. Lucunya pula, saya menjadi sedikit bersimpati ketika si pelaku merasa bersalah dan tahu bahwa yang ia rasakan dan lakukan ialah absolut salah, namun tetap bersikukuh untuk melanjutkan hubungan gelap mereka atas dasar kasih yang tak semestinya. Mungkin saya terbuai dengan bagaimana si penulis berusaha mengoles perselingkuhan mereka agar terasa tidak kasar dan melukai, bahkan menuntun kita untuk terus menikmati dan sabar menunggu hingga bom waktu hubungan gelap kedua pelaku meledak, meninggalkan bekas luka dan malu, serta pelajaran yang membuat kisah ini ditutup dengan cukup apik—walau akhirnya saya cukup kecewa ketika si penulis memutuskan untuk mengikat kembali hubungan kedua pelaku, namun kini tanpa embel-embel perselingkuhan.
Di penghujung sebuah ungkapan kekaguman saya atas penulis-penulis hebat ini, saya merasa lega untuk mencurahkan isi kepala saya dan mungkin dapat tidur dengan tenang sebentar lagi. Melalui ketikan ini saya berharap untuk belajar dan belajar dari mereka yang lebih daripada saya untuk menjadi penulis yang luwes mengekspresikan kata-kata lewat ketikan dan tulisan, dan turut memberikan yang terbaik pada si pembaca. Mungkin saya sudah mulai terserang kantuk, sehingga kali ini saya menutup ketikan saya dengan singkat tanpa ada tambahan apapun. Sekian.
Terima kasih,
Grace.
0 notes
Text
Livin' In The Moment
Grace Christiani, 3 Juni 2023
Kemarin hari aku iseng membongkar beberapa kontainer milik tanteku. Sebenarnya, sejak kemarin tumpukan kontainer itu sudah menjadi target untuk kueksplor, namun kemarinlah menjadi waktu yang tepat bagiku untuk merealisasikan. Mumpung si empunya beserta anaknya pergi dan suaminya juga melaksanakan panggilan kerja, aku bisa leluasa untuk melakukannya—dengan izin yang secara tersirat kumintai pada si pemilik tentunya.
Ada beberapa kontainer yang terletak di ujung teras rumah kakekku dan semuanya kubuka dan kuperiksa isinya. Rasa penasaranku terlalu besar, bahkan cuaca terik tak menghentikanku sama sekali. Banyak kutemukan barang menarik, seperti buku, potongan koran Analisa, jam meja, botol, boneka, baju, dan barang-barang unik lainnya yang menggugah keinginanku untuk memilikinya. Aku tahu jika tanteku mengizinkanku untuk memiliki barang-barang itu, yah ... tak terlalu berguna juga. Ujung-ujungnya hanya terletak tak terpakai dan menambah sesaknya rumahku. Jadi kuurungkan niatku dan meletakkannya seperti—mirip—semula. Walau akhirnya dua kaset lagu rohani, buku kalkulus dan metafisika, dan ban lengan tanteku jadi korban untuk menambah koleksiku.
Memang membongkar semua itu memakan banyak waktu, dan bagian yang paling menghabiskan waktu ialah saat kutemukan album-album lama miliknya. Saat melihatnya di dalam kontainer, semangatku membuncah. Bersama adik sepupuku, ku, kami menyingkap memori-memori yang berusia lebih tua dari kami berdua di setiap halamannya. Tentu saja, karena album-album itu kami temukan dalam kontainer milik tanteku, hampir semua foto memuat wajah dan senyumannya.
Intensiku untuk merasakan momen-momen di setiap lembar foto terbayarkan dengan tiap-tiap gurat-gurat senyum yang terpampang di dalamnya. Kenangan-kenangan ketika tanteku masih bersekolah dan aktif dalam organisasi Boys' Brigade, serta foto-foto nenek, kakek, om, dan tante kala masih muda menyimpan memori mereka bertahun-tahun dengan baik. Tak lupa juga ibuku, yang di mana setiap kali kutemukan ia, terbesit di hatiku pujian betapa cantiknya ia—setara dengan idol K-Pop. Tak kusangka juga, ada sosok bayi kecil yang terselip dalam beberapa foto, dan ya, itu aku.
Setiap kali kubuka lembaran baru dan menemukan memori lama yang baru bagiku, kontemplasiku kini berputar pada bagaimana seorang tanteku, yang tersenyum lebar dan menguarkan jiwa yang bebas serta semangat remaja di setiap lembar foto yang melibatkannya, menjadi seorang ibu satu anak yang kukenal sekarang. Ataupun ibuku, yang tampak rupawan dan senyumnya indah kini berkutat mencari nafkah demi menghidupi kedua anaknya yang selalu menitipkan sakit kepala di kesehariannya (maafkan aku, ma). Omku juga, yang saat kecil senyumnya manis seperti gula—awalnya aku juga tidak percaya—yang jauh sekali dengan dirinya yang kukenal sekarang—tipikal bapak-bapak hamil 5 bulan dengan dompet setebal buku biologi.
Jujur saja, saat merenunginya, pikiranku tak kunjung menemukan ikatan yang dapat menghubungkan untaian memori masa lalu itu dengan kenyataan sekarang. Bagaimana sosok yang terlukis di dalam foto-foto itu menjadi sosok yang nyata dalam hari-hariku. Otakku susah payah menerjemahkannya, yang sayangnya sama sekali tak dapat kumengerti barang sedikit pun, hanya membuat kepala sakit. Namun akhirnya aku sadar, mengapa aku tak dapat menghubungkannya.
Sebab aku bukan mereka, aku tidak hidup dan mengalami momen-momen itu.
Mereka sudah mengalami setiap jepretan foto yang hanya kulihat sekilas itu, mereka telah merasakan tiap detik yang berjalan di dalamnya. Jikalau aku melihat foto diriku di waktu kecil, mungkin aku tak akan sebingung ini dan malah memutar sekilas perjalananku sedari foto itu diambil hingga aku menggenggam dan melihatnya.
Ya, mereka menikmati setiap momen di hidupnya dan mengabadikannya. Karena itulah aku yang tidak ada di dalamnya, tak dapat serta merta merasakannya dan memahaminya, karena itu adalah empunya mereka.
They are living in every moments, and they are grateful for it.
Itulah sebabnya aku langsung tersadar akan mereka yang tak pernah mengeluh dan menyesal atas kenyataan acap kali aku berpikir, apakah mereka menyesal dengan kehidupan mereka sekarang? Ataukah bahagia? ketika melihat tiap lembar foto-foto itu. Namun, dari kacamataku, dalam keseharian mereka tak pernah terucap sebuah penyesalan, walau hidup mereka benar-benar berputar 180° sejak kenangan itu terbingkai dalam foto-foto itu. Sebab mereka hidup dan menghargai setiap momen dalam hidupnya, foto-foto itu adalah secuil kenangan bahagia bagi mereka. Foto-foto itu menjadi pengingat, bahwa ada momen di dalam hidup mereka yang pantas untuk diabadikan sepanjang hidupnya.
Dari kisah mereka yang dapat kuintip sedikit, aku belajar. Mungkin, selama dua tahun pandemi seakan-akan memotong untaian benang alur kisah hidupku. Seakan-akan momen selama 104 minggu lebih itu tak rekat dalam album memoriku. Namun, mulai hari ini, aku mau menikmati setiap momen dalam hidupku, seperti yang mereka telah lewati.
Best regards,
Grace.
0 notes
Text
Jubah Maha Indah
Grace Christiani, 31 Mei 2023
Manusia dan seni ialah satu
Emosi bagai napasku
Perasaan bagai detak jantungku
Dan biarlah dunia tahu
Tak sebarang pun dapat mengungkung validasi rasaku
Tak sedetik pun kusiakan 'tuk menimbun ilmu
Sebab merdeka adalah empunyaku
Aku hidup bukan untuk lalu
Dan kuingin ia hidup
Berwujud dan bukan semu
Tumpah meruah dan tercurah
Lewat jubah jutaan rasa
Untaian kalbu kurajut sepenuh raga
Agar indahnya menang dari sang surya
Melambung tinggi dari setiap ekspektasi
Biarlah ia menginspirasi
Karena talentaku lebih berharga dari jutaan emas
Telah kupahat 'tuk jadi yang terhebat
Dan jubah itu, ciptaan jemariku
Akan bersinar kalahkan bintang
Jubah itu 'kan jadi banggaku
Dengannya kurebut semua podium
Kendati ia bukanlah sempurna
Sanjungan dan puji pantas baginya
Karena aku bebas
Bagai rajawali menggores cakrawala
Menyerbu tiap mangsa
'Kan jadi milikku seluruh piala
Dan kuingin kau kenakan itu
Hangatnya bahagia dan dinginnya sedih
Bara amarah dan pedih kecewa
Supaya semuanya tahu
Terangnya 'kan sinari bumi
Indahnya 'kan takjubkan seluruh jiwa
Ia akan jadi panutan
Merongrong tiap ide para seniman
Dan aku abadi di tiap benangnya
Tiap ikatannya menyimpan emosi
Interpretasi dan kebanggaan jiwaku
Jubah maha indah, karya seniku
Dedicated for FLS2N 2023.
0 notes