It's about me! Perjalanan kehidupan yang sayang untuk dibuang.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Nonton Stand Up Lucu Tanpa Tawa
Hmm.... ini cerita yang lumayan aneh tapi sayang untuk dilupakan. Kapan lagi nonton standup yang sebenrnya lucu banget cuman gabisa ketawa karena sakit perut. Ya, ini ceritanya nyambung sama cerita sebelumnya yang tiba-tiba jajan di rumah sakit swasta tanpa ada rencana sebelumnya. Yaiyalahya, gaada sakit yang direncanain.
Jadi aku sama temenku, Yolanda, udah beli tiket ini 4 bulan sebelumnya. Iya, jadi pas beli kita yakin banget kalau 4 bulan lagi aku akan dalam keadaan sehat dan masih bisa ke Bandung sebagai seorang wanita single yang bakal nonton standup Abdur dengan penuh tawa.
Tapi, yang namanya manusia, kita hanya bisa berencana dan skenario Allah-lah yang paling sempurna. Ceilah, klise banget ya. Tapi faktanya, 4 bulan setelah beli tiket standup aku udah nikah dan fakta lainnya aku sakit di hari H. Sedeeep!
Cuman kan ga seru ya, kalau udah sampai Bandung, udah diniatin buat nonton tapi gagal gara-gara sakit. Akhirnya the power of bismillah, agak sedikit maksain buat nonton juga. Jujur saja badanku rasanya pada berteriak 'woi lagi sakit ini, istirahat aja!'. Karena setibanya di venue, tiba-tiba pusing, mual, pegel-pegel ah ga jelas deh pokoknya. Cuman boleh lah ya sekali kali ngikutin ego.
Jujur itu show lucu banget! Show-nya berbobot dan respect deh sama Abdur Arsyad dan para opener lainnya yang ga kalah kocak. Tapi sedih banget sempet ketiduran dikit dan kurang enjoy duduk kelamaan dalam kondisi yang tidak baik baik saja.
Well, this is such a nice story! Kapan lagi aku nonton standup pas lagi sakit. Kapan lagi aku nonton standup sambil ditanyain 'Mau pulang aja?' tiap 20 menit sekali. Kapan lagi aku nonton standup ketawa 20 persen, 70 persen sisanya mikirin badan yang tidak bisa diajak kerja sama.
Bukti kalau aku beneran nonton standup.
Abis itu, kita pulang dan tidur dengan nyenyak. Sambil ngeluh, kenapa sih sakitnya kudu hari ini, kenapa ga kemaren atau besok aja. Tapi senengnya, Alhamdulillah aku melewatinya bareng suami dan untung dia baik, jadi tetep aja diturutin kemauan aneh istrinya.
0 notes
Text
Tumbang di Jalan
Mungkin buat yang sudah kenal aku jauh sebelum ini akan merasa aneh kalau seorang Tuti bisa tumbang di sebuah perjalanan. Dan itu liburan! Akupun heran.
Kita, keluarga WFH yang cuman bisa jalan jauh pas weekend sebenernya sangat-sangat menunggu weekend tiba. Kemaren (11/2), kita udah nyiapin semuanya dari mulai pesen motor, mikirin pake baju apa biar lucu sampe pilih destinasi wisata yang mau kita kunjungi. Kapan lagi kan weekend di Bandung.
Malam jumat, sebenernya aku sudah merasa ada yang aneh dengan badanku. Tapi masih sangat bisa diajak bekerja sama, kita masih jalan ke DU, menikmati beberapa jajanan dan ya ngobrol biasa seperti layaknya orang hangout berdua.
Tapi, di pagi harinya, saat semuanya sudah siap. Nampaknya suamiku juga sudah bersemangat untuk bermotoran ria, tubuhku semakin terasa aneh. Ya, tuti is being tuti. I will try to be biasa aja biar bisa jalan. Kapan lagi main ke Bandung, bisa jadi baru punya kesempatan ke Bandung lagi tahun depan, atau bahkan lebih lama lagi. Aku tidak mau menyiakan kesempatan ini.
Kita pergi ke tempat sarapan yang mana itu salah satu comfort food-ku di Bandung. Di tengah perjalanan sebenernya perutku sudah sangat tidak nyaman, tapi kayaknya akan membaik kalau diisi dengan makanan hangat, pikirku saat itu. Aku memang tidak menceritakan apa yang sesungguhnya aku rasakan pada suamiku, karena aku tidak mau plan jalan kita gagal cuman karena aku sakit perut.
Setibanya ditempat makan, dihadapkan dengan keramaian, tiba tiba badanku rasanya mau pingsan aja. Udah gaada keinginan buat sarapan sama sekali. Tapi masa mau minta pulang, suamiku kan pasti lapar.
Disela menunggu makanan tiba, kamar mandi tiba-tiba menjadi penolongku. Ya, aku diare!. Dan setelah makanan tiba, baru beberapa suap aku menyendok makanan. Tiba tiba aku benar-benar mual dan tidak bisa dipertahankan. Satu hal yang sangat kusyukuri adalah kita memilih sebuah tempat makan yang sangat proper. Sehingga, saat semua ini terjadi, hanya aku, suamiku dan Tuhan yang tahu.
Sepulang dari tempat sarapan, kondisiku memburuk. Baru pertama kalinya aku merasakan sakit perut yang sebegitunya. Percayalah, rasanya seperti ditarik, diplintir, kemudian ditahan selama beberapa menit, baru kemudian dilepas. Dan itu terjadi seperti sebuah infinite loop, yang berulang tanpa ujung. Ah, malas sekali buat mengingatnya lagi.
Sejujurnya kalau perjalanan ini asalah solo trip, aku pasti akan memilih membeli obat yang menyebabkan kantuk dan membiarkannya seharian. Tapi, saat itu ada suamiku yang sangat mengkhawatirkan kondisiku. Dan akhirnya, kita memutuskan untuk memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit swasta di Bandung. Itung-itung sekalian ya ngerasain rumah sakit mahal.
Singkat cerita aku mendaftar, diperiksa serta menunggu pembayaran dan obat. Dan tiba-tiba aku benar benar pusing, sakit perut dan mual secara bersamaan. Maunya sih langsung pingsan aja ya biar suamiku yang repot. Kayaknya ini adalah the worst sakit perut yang pernah aku rasakan. Huh!
Finally, cerita weekendku berakhir di kasur hotel sambil merengek minta ini itu yang sebenarnya tidak mengurangi rasa sakitku sama sekali. Tapi setidaknya aku senang melihat suamiku mengkhawatirkanku dan memberikan seluruh perhatiannya kepadaku. Haha. Lain kali boleh lah ya, aku diperhatiin segitunya pas lagi ga sakit. Wkwk.
0 notes
Text
Menjalani Tahun Baru dengan Teman Baru
Januari 2023. Bulan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya menjadi bulan yang sungguh luar biasa. Hidup bersama seorang teman baru. Iya benar-benar baru bagiku. Karena aku baru mulai berkenalan dengannya belum genap tiga bulan sebelumnya. Perkenalkan, teman itu adalah suamiku. Teman hidupku, yang aku harapkan bisa menjadi partner dalam melakukan apapun sepanjang hidupku.
Menikah dengannya adalah keputusan terbesar yang aku buat sepanjang hidupku. Bagaimana tidak, dia, laki-laki yang baru aku kenal, kuizinkan untuk mendapatkan hak kepatuhan dariku. Meski akupun tidak yakin bisa benar-benar mematuhinya, hehe.Tapi insyaAllah, ini adalah keputusan terindah dan aku tidak akan menyesalinya.
31 Desember 2022 resmi statusku berubah menjadi seorang istri. Rasanya aneh. Takut. Tapi aku senang. Perasaan yang terlalu kompleks untuk dijelaskan. Kami melewati malam kami dengan bercerita mengenai kehidupan, aktivitas sehari-hari yang biasanya dilakukan oleh masing-masing sebelum akhirnya kami menikah. Tampaknya malam itu memang tidak senyenyak biasanya. Aku masih terkaget-kaget bahwasanya statusku bisa berubah sebegitu cepatnya. Takut. Khawatir tentang bagaimana caranya aku bisa melewati hari esok dan seterusnya dengan seseorang yang baru saja aku kenal, memenuhi pikiranku di setiap detiknya.
Hari pertama di bulan Januari-pun tiba. Aneh sekali ternyata ketika aku terbangun dari tidur dan ditanya ‘Bagaimana tidurnya? Nyenyak?’. Dan pertanyaan itulah yang selalu muncul hingga satu bulan aku menjalani kehidupan dengannya. Seru ternyata.
Awal Januari (1-3), kami memutuskan untuk tinggal di hotel sejenak agar kami beradaptasi dengan lebih cepat. Banyak kejadian lucu, cerita aneh dan memalukan yang terjadi disana. Aku mulai merasa nyaman dan senang untuk berbagi banyak hal dengan dia. Uhuy!. Disisi lain, pada saat itu aku merasa menjadi seorang istri yang jahat dan tidak ada patuh-patuhnya dengan suamiku sendiri. Aku tidak menunaikan kewajibanku terhadapnya tetapi selalu mengharapkan dia memberikan hak-hakku secara utuh. Tapi itu yang membuatku bisa cepat jatuh hati kepadanya. Aku merasa sangat dihargai dengan antusiasnya, kesabarannya, pengertiannya dan usaha serta kegigihannya dalam upaya membuatku nyaman untuk tinggal bersamanya.
Kalau yang baca ini adalah Muhamad Syamsul Huda, selamat mas! Aku sudah jatuh hati kepadamu pada fase ini. Saat kita pulang ke rumah, untuk pertama kalinya jalan-jalan yang lumayan jauh, mempersiapkan diri pergi ke Solo dan Jogja untuk menghabiskan jatah cuti, aku benar-benar excited! Jauh lebih excited dibandingkan aku travelling sendiri apalagi ke tempat yang sudah biasa aku kunjungi. Aku benar-benar ingin menunjukkan bahwa mengunjungi atau melakukan aktivitas di tempat baru itu tidak kalah menyenangkannya dibandingkan dengan sekedar menonton pertandingan dota!
Kembali ke timeline, hari kamis (5/1) aku dan suamiku berangkat menuju Solo dan tinggal di sebuah hotel sembari mencari informasi kontrakan yang bisa kita sewa, setidaknya untuk beberapa bulan pertama setelah pernikahan. Pencarian kontrakan ini masih berlanjut hingga hari Jumat. Rasanya area Solo dari paling utara hingga paling selatan sudah dikunjungi. Tapi akhirnya, keputusan kami tetap jatuh pada tempat yang pertama kali kami kunjungi. Memang bukan di Solo, tapi sangat dekat dengan Solo. Tempat inilah yang menjadi tempat tinggal kami hingga saat ini.
Jumat sore, kami langsung tinggal di kontrakan itu. Ternyata perjalanan mencari kontrakan cukup membuat energi kami terkuras. Walaupun mulut bilang ‘ah ga capek kok, biasa aja’ tapi tampaknya tubuh kami bereaksi sebaliknya. Saat itu, untuk pertama kalinya emosi kami tidak senada. Perasaan capek, terburu-buru dan ekspektasi tentang apa yang harus dilakukan hari esok menimbulkan adanya miskomunikasi diantara kami. Tapi hei suamiku, percayalah hari itu adalah salah satu hari yang sangat berkesan buatku. Hari dimana aku benar-benar merasakan bahwa suamiku juga begitu menyayangiku. Entah itu benar atau tidak, tapi aku anggap itu benar. Aku lemah, saat dia memandangku sambil menunggu penjelasan dariku.
Long story short, esoknya kami pergi ke Jogja dan menghabiskan 4 hari dengan penuh canda tawa disana. Aku tidak akan menceritakannya disini karena terlalu banyak hal yang sayang untuk dilupakan. Akan kuceritakan secara terpisah. Sepulang dari Jogja, aku mengunjungi rumah orang tuanya untuk pertama kali. Jujur, masih ada ketakutan apakah nanti mertuaku akan menerimaku dengan baik? Apakah aku bisa menjadi menantu yang baik versi mereka? Apakah akan ada keluarganya yang mengomentari penampilanku? Dan banyak pertanyaan tidak penting lainnya. Ya, memang benar, itu hanya ketakutanku saja. Karena ternyata, semuanya berjalan dengan sempurna.
Setelah itu, di kontrakan baru, kami mulai tinggal dan menjalani rutinitas sehari-hari seperti bekerja, makan dan tidur dengan perlengkapan seadanya. Hubungan kami tumbuh begitu pesat. Sudah tidak ada lagi kata jaim, malu, tidak nyaman dan hal-hal negatif lainnya. Aku benar-benar sangat menikmati peran baruku dan sangat mencintai sahabatku, pacarku dan teman hidupku!. Aku percaya dalam sebuah hubungan pasti tidak melulu tentang canda dan tawa, sesekali boleh ada tangis, marah dan kecewa. Tapi hei Syamsul Huda, laki-laki yang sudah dipilih dan memilih untuk hidup bersama. Jangan pernah bosan, ya! Mungkin akan ada tanjakan dan tikungan tajam di depan, jadi mari kita tangguh bersama!
Alay dan cringe banget emang. Tapi memang inilah sepenggal cerita cintaku.
Thanks for reading~
0 notes
Text
Sekumpulan Orang-orang di Stasiun
Jakarta. Hujan deras mengguyur kota metropolitan yang rentan ini. Was was dengan rencana impulsif mengunjungi kota kembang karena satu dan lain hal, akan gagal begitu saja karena tak mampu menerjang hujan yang teramat derasnya.
Pukul 08.00, hujan mereda. Dengan cepat aku ambil ransel, memakai sepatu. Tak peduli wajah kucel cap bantal yang masih terlihat kental di wajahku. Jalanan kota jakarta yang sangat bersahabat membuat orang" yang terlalu santai dengan waktu seperti saya tidak punya ruang untuk berleha-leha. Belajar mengatur waktu di kota ini adalah keharusan. Setengah jam menunggu akhirnya sebuah mobil avanza tiba di depanku yang siap mengantarku ke pasar senen.
Agar tidak terlalu akward, seperti biasa basa basi menjadi solusi paling ampuh yang hampir selalu kupilih. Bercerita tentang kehidupan Desa menjadi topikku pagi ini. Ya, bagi saya yang memang mimiliki cita cita menjadi petani cukup senang dengan pembicaraan singkat tadi.
Stasiun senen memang tidak pernah sepi ya, termasuk hari ini. Banyak sekali pemandangan yang bisa aku lihat. Keretaku berangkat pukul 09.15. Sambil menunggu aku memilih duduk di ruang tunggu bagian luar sambil melihat-lihat orang yang berlalu lalang.
Ada yang masih muda dengan kopernya, bapak-bapak, hingga nenek-nenek dengan tumpukan kardusnya. Akan selalu menjadi pemandangan yang indah. Lebih banyak senyum merekah yang kulihat daripada wajah kecut yang telihat. Semoga semuanya selamat sampai tujuan ya! termasuk saya.
Ada satu pemandangan yang akhirnya mencuri perhatian saa sejenak. Seorang bapak yang sudah tua dengan jaket gojeknya yang sudah kusam sedang mengantar putrinya kedalam stasiun. Sambil mengelus rambut putrinya, dan membawakan ranselnya terlihat wajah penuh kasih sayang yang dicurahkan. Tentunya dengan penuh harapan akan putrinya untuk selamat sampai tujuan.
Entahlah, aku akan selalu tertarik dengan pemandangan seperti itu. Karena pasti akan selalu muncul wajah Ayah sekejap setelahnya. Sesosok cinta pertamaku yang tak pernah tergantikan. Walopun ayahku teramat jarang sekali bilang sayang atau sekedar menepuk pundak dengan mengatakan Ayah bangga denganmu, Nak. Tapi cintanya tak pernah tergantikan dengan siapapun. Tentu dengan caranya sendiri.
Bagiku, romantis adalah ketika bisa tertawa dengan Ayah hanya karena gelitikan badan saat santai beristirahat. Haha, melihat temanku yang setiap hari ditelepon sekedar menanyakan kabar, kadang suka ingin diperlakukan seperti itu. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Aku tau Ayah adalah salah satu orang yang paling mengkhawatirkanku tapi bukan orang yang bisa menyampaikannya dengan baik. Mungkin karena dari kecil jarang banget mendapat kata sayang, membuatku juga memiliki karakter yang sulit mengungkapkan perasaan.
Kembali dengan pemandangan tadi, aku menjadi teringat pengorbanan seorang Ayah yang luar biasa hanya untuk membuat anaknya tersenyum. Walopun dulu aku sering banget kesel kenapa ayah gabisa seperti ayah temenku sih yang akan selalu menuruti keinginan anaknya. Kenapa harus susah sih cuman mau minta ini aja. Tapi semakin aku bertambah usia, aku baru tau bahwa beliau adalah orang yang sangat memikirkan apa yang aku inginkan. Hanya kadang terbentur dengan keterbatasan.
Umur bapak bapak yang aku liat tadi, tak terlalu jauh dengan umur ayahku. Membuatku ingin sekali mengatakan 'terimakasih' sudah membuatku hingga titik ini. Terimakasih sudah mengajariku realita hidup yang tidak pernah akan biasa biasa saja. Mengajariku bagaimana menerima keadaan. Dan mengajariku untuk berjuang lebih keras. Terimakasih sudah selalu mengajarkan bahwa adil itu tidak selalu sama.
Dan benar kata Ayah, semakin banyak masalah yang datang, semakin membentuk untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Terimakasih untuk selalu membuatku ingat bahwa kehidupan mereka jauh lebih berat dari kehidupanku sekarang. Lalu kenapa tidak pernah bersyukur? Kalau hidup selalu dibanding-bandingkan ya tidak akan ada habisnya.
Terimakasih stasiun, sudah membuatku bersyukur pagi ini!!
-Kereta Serayu, 18012019 pukul 10.45
0 notes
Text
Insecure?
Hai Thumblr! Lama ya sudah tidak menulis disini.
Tadi siang kuturuti keinginanku buat nonton film Imperfect yang sebenarnya sudah diinginkan sejak lama tapi ditahan-tahan (demi kantong tidak kering). Ekspektasiku dengan film ini sebenarnya nggak tinggi, awalnya karena aku suka soundtracknya dan sempet baca potongan bukunya (karena ga pernah baca sampe selesai, hehe). Aku seseorang yang percaya bahwa setiap orang punya insecuritiesnya masing-masing.
Manusia memang tidak sempurna. Jadi wajar kalau kita melakukan kesalahan. Tapi, setiap kesalahan pasti ada konsekuensinya. Itu yang terkadang membuat manusia seolah dituntut untuk sempurna. Contohnya, sekarang aku insecure dengan pekerjaanku. Aku merasa tidak tau apa-apa dan aku takut sedikit saja aku melakukan kesalahan mungkin akan berdampak ke yang lainnya. So, aku memutuskan menonton film itu hanya sekedar untuk bilang kepada diri sendiri bahwa you’re not alone. Daan ternyataa filmnya baguuuuus!!!! hehe.
Ya, sesuai dengan filmnya yang mengangkat isu body shaming. Mungkin, banyak orang yang gatau kalau aku juga insecure dengan diri sendiri. Sampai wisuda kemarin aku menggunakan baju serba gelap adalah hanya semata mata biar aku tidak terlihat gemuk! wkwk. Kalau aku bilang ini pasti akan dihujat oleh orang yang mendengar. But it’s real!!!
Why? Karena 80 persen dari sepupuku adalah perempuan. Dari belasan cucu-cucu nenekku hanya dua orang yang laki-laki. Lho bukanya seneng? Ya, ada senengnya dan ada tidaknya. Salah satu kekurangannya adalah selalu dibanding-bandingkan. Kebetulan, semua sepupuku dianugarahi paras yang cantik, langsing, tidak terlalu hitam, tinggi dan akan selalu cocok menggunakan gaun apa saja. Sehingga, kumpul keluarga besar seperti saat lebaran misalnya menjadi acara yang agak menyebalkan bagiku.
Harusnya kamu bersyukur dong! Ya, perempuan mana sih yang suka dibilangin gendut, item, pendek, bulet berkali-kali? Saat aku masih SD, aku juga ga peduli mau dibilangin apa aja, masih nggak ngerti apa-apa. Tapi sejak SMP, bahkan kakaku sendiri jarang banget mau pergi denganku. Yang selalu diajak main olehnya ya sepupuku, padahal aku dengan sepupuku seumuran. Sekalinya mau pergi bareng, itupun dipilihin baju mana yang cocok untuk aku pake. Semua yang aku punya, dimata kakaku adalah jelek, dari mulai sepatu, tas, bahkan sampai baju. Katanya gada yang modis kalo dipake olehku. Tapi untungnya perseteruan aku dan kakakku berakhir saat aku masuk SMA. Dimana, aku sudah belajar apapun yang dikomentar olehnya hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Budheku, tanteku, omku, bahkan sepupu-sepupuku juga sampai sekarang kalau aku pulang dari perantauan juga masih selalu komen ‘tambah gendutan ya kamu, udah kayak bagong, nambah item juga ya, padahal udah dikota’. Ya, responku memang hanya akan tertawa dan bilang ‘Iya, aku seneng disana soalnya, jadi gendut’.
Tapi kadang, otak, hati dan mulutku berbeda pendapat. Mulutku bisa berkata ‘ya gapapa’, tapi mindsetku sudah tersetting bahwa tuti jelek ya, wajahnya bulet banget ya, tubuhnya bentet banget ya, kulitnya kusem banget ya, bibirnya item banget ya, bodynya gada bentuknya ya, gapernah bisa modis ya, dsb. Dan akhirnya mengurung diri dirumah menjadi hobi saat aku pulang dari perantauan.
Lho tapikan temen temen kamu ga pernah komentar? Ya, memang benar, entah aku yang ga peduli atau memang benar adanya jarang yang berkomentar dengan mengatakan ‘tuti jelek banget ya’. Tapi, yang ada di minsetku sudah tertanam sejak bertahun-tahun lamanya. Sampai wisuda, yang baru kemaren sore aja refleks untuk mencari pakaian dengan warna serba gelap. Jadi keliatannya suram banget ya, udah item pakai jilbab juga item. Ya, bahaya sekali bukan?
Tapi itulah hidup. Terkadang menjadi cuek dan keras kepala memang perlu untuk bisa menjaga agar tidak menyakiti diri sendiri. Ya, apalagi perempuan yang memang sudah dianugerahi oleh Sang Pencipta hati yang lembut. Sehingga, bagiku gapapa bikin tameng, gapapa cuek, selama itu bisa membuat diri ini lebih menyayangi diri sendiri. Seperti pesan terakhir dari film itu, cantik belum tentu bahagia. Yah, walaupun sampai sekarang masih sering nggak pede dengan penampilan sendiri, setidaknya aku sudah berusaha untuk tidak menyakiti diri sendiri. Kalau diri ini sampai terlalu sering tersakiti, nanti gada lagi yang akan menemaniku menggapai mimpi-mimpi dalam tidurku hehe.
Selamat malam!
Jakarta, 11012020
1 note
·
View note
Text
Tentang Rasa Syukur
Akhirnya bisa menulis bukan tentang sebuah keluhan, bukan tentang sebuah cerita ketidakadilan, bukan pula cerita tentang iri hati terhadap pencapaian seseorang. Kali ini akan bercerita tentang akal sehat dan rasa syukur yang alhamdulillah masih Allah berikan diatas kegundahan hati yang teramat sangat dalam yang baru kulalui akhir-akhir ini. Kutuliskan ini, agar menjadi pengingat disaat aku harus terjatuh lagi di dasar yang lebih dalam. Walaupun, saat tulisan ini kubuat, aku masih dalam tahap berjuang menggapai suatu tujuan. Menggapai titik finish dalam perjalanan pendidikan S1-ku yang sungguh indah ini.
Terkadang aku lupa, bahwa hidup adalah ujian. Bahkan, sebenarnya bahagia adalah ujian. Dan seringkali aku lupa, bahwa dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa Allah pasti akan menguji hambanya.
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? [2] Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta. [3] (QS Al -’Ankabut : 2-3)
Seringkali akupun merasa bahwa sungguh dunia ini amat sangat tidak adil bagiku. Kenapa dia diberi jalan yang begitu mudah, kenapa dia semudah itu untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sedangkan, aku harus jatuh puluhan kali dan harus bangkit ribuan kali untuk menggapai sesuatu yang sama? why? Kenapa aku harus mengorbankan air mataku dan merelakan hatiku terluka untuk sesuatu yang bahkan orang lain bisa capai dengan hanya membalikkan telapak tangan saja? Ya, karena aku lupa, bahwa dalam Al-Qur’an juga sudah dijelaskan:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, dia mendapat (pahala) dari (kebaikan) yang dilakukannya dan dia medapat (siksa) dari kejahatan yang dilakukannya. ... (QS Al- Baqarah: 286)
Apakah masih kurang untuk menjawab bahwa yang aku rasakan selama ini itu adalah wajar? Sebuah pertanyaan untuk diriku sendiri yang terkadang hampir kehilangan akal sehatnya dan menomorsatukan perasaan.
Seharusnya, aku bersyukur, karena aku masih diberikan ujian. Dengan ujian yang Allah berikan, aku bisa menjadi semakin dekat dengan-Nya. Aku selalu merindukan waktu-waktu dimana aku bisa mengeluh, mengadu bahkan menangis sekencang-kencangnya dan akan merasa tenang seketika. Aku yang sudah jauh dengan masjid menjadi lebih dekat saat ujian berdatangan.
Saat aku mendapat ujian yang sangat berat dan bukan orang lain yang mendapatkannya, harusnya aku juga bersyukur, karena Allah sudah memilihku dan menganggapku kuat untuk menghadapi semua itu dibanding orang lain. Allah sedang menempaku untuk menjadi seseorang yang tangguh, yang mampu menjalani dan tumbuh di dunia yang keras ini.
Ternyata aku masih buruk memandang kehidupan. Aku masih selalu melihat satu titik hitam diatas kertas putih. Aku masih selalu membesarkan sebuah permasalahan dibanding mensyukuri apa yang Allah sudah berikan dan apa yang sedang diusahakan.
Aku sangat beruntung lahir dari keluarga yang hebat. Aku punya Ayah yang terlampau keren. Aku sangat paham, bahwa ujian yang Ayahku dapatkan jauh lebih berat dari yang aku rasakan. Ayah, mampu hidup seorang diri sejak kecil, hidup bermodalkan keberanian dan pemikiran saja, berhasil membuat membesarkan putra putrinya menjadi seperti ini. Aku beruntung karena aku bisa belajar dari kegigihan ayahku secara langsung. Tapi dasar Tuti. Terkadang, aku masih berkhayal akan sesuatu yang lebih. Padahal aku sudah diberi seorang Ayah yang terlampau sempurna, yang bisa menjadi Ayah, teladan, rival, motivator dan pendorong paling kuat untuk aku bisa berdiri tegap dan maju kedepan. Ah, butuh ribuan halaman untuk menceritakan betara beruntungnya diriku memiliki seorang Ayah seperti itu dalam kehidupanku.
Lalu, aku masih tetap kurang bersyukur.
Padahal, aku memiliki seorang Ibu yang paling keren sedunia. Ibuku adalah perempuan paling tangguh yang pernah kujumpai dari aku lahir hingga saat ini. Ibuku adalah manusia paling sabar. Sabar mengikuti roller coasternya ayah yang cukup ekstrim dan sabar menghadapi putra putrinya yang sulit sekali untuk diatur. Ibuku adalah wanita yang tidak pernah mengenal kata lelah. Dalam kesehariannya, ia rela bangun jam 3 pagi dan tidur jam 10 malam tanpa ada jeda istirahat dalam menjalankan pekerjaan paling mulia. Ibuku yang tidak pernah sedikitpun menuntut anaknya untuk sempurna, tidak pernah menunjukkan air matanya kecuali di sepertiga malamnya. Aku dilahirkan dari ibu yang sangat keren bukan? Kalau dibandingkan, masalahku masih sebatas semut kecil dibandingkan dengan permasalan ibuku.
lalu, aku masih tetap tidak bersyukur
Aku memiliki kakak, sekaligus teman, sekaligus musuh, sekaligus laki-laki yang akan selalu mengisi hatiku bersandingan dengan Ayahku. Yang akan marah saat aku disakiti dan yang akan selalu mengerti saat aku tak sanggup lagi membuat Ayah dan Ibuku mengerti apa inginku. Harusnya sudah cukup untuk bersyukur bukan?
aku tetap saja masih tidak bersyukur.
Aku hidup dengan banyak keberuntungan. Bahkan saat ini aku berhasil masuk perguruan tinggi yang dimimpikan saja tidak pernah. Aku bisa bertahan disini, aku punya teman yang sangat-sangat baik. Aku diberikan kepercayaan, aku diberikan banyak sekali bantuan bahkan dari orang yang sama sekali tidak pernah mengenalku. Aku hidup tanpa kekurangan. Bahkan aku berhasil membuat cerita perjalanan yang sangat menyenangkan, banyak kejadian yang mungkin tidak akan aku dapatkan kalau aku tidak menjadi siswa disini.
Tapi semua itu akan selalu dilupakan saat permasalahan datang. Seolah hidupku hanya sebuah lembaran hitam dan memiliki satu titik terang. Hidupku sangat suram, penuh masalah dan tidak ada kebahagiaan. Padahal, HIDUPKU PENUH KEBAHAGIAAN. Padahal, banyaaaaaaaakkk sekali hal-hal lain yang sangat indah yang tidak pernah kusyukuri. Banyak orang diluar sana yang menginginkan hidup menjadi seorang Tuti dan seharusnya, aku menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya.
Terakhir, terkadang memang harus merasakan kesakitan terlebih dahulu untuk naik tingkat. Seperti ulat yang menjadi kupu-kupu, semuanya tidak akan terjadi secara instan tanpa melewati ujian. Terkadang memang butuh waktu untuk diam, merenung, dan menangis untuk membuat diri ini menjadi lebih kuat. Kalau memang aku harus jatuh 100 kali maka aku akan bangkit 1000 kali untuk mencapi apa yang aku inginkan.
Terimakasih tumblr!! besok kita cerita lagi ya..
0 notes
Text
Sungguh, aku akan sangat merindukan kalian, jika kalian tau. Terimakasih empat tahun terakhirnya. Aku sangat beruntung mengenal kalian :)
0 notes
Text
Aku memimpikan satu orang saja yang mampu menepuk pundakku saat aku lelah dan mengatakan "SEMANGAT TUTI!!!"
Ah lebay kamu Tut, nyatanya kamu selalu punya Tuhan yang tidak hanya memberikan semangat, tapi memberikan segalanya. Berharap kepada manusia hanya akan membuatmu kecewa.
Ayo hidupmu masih panjang!
0 notes
Text
Perjalanan Baru Akan Dimulai
Kemarin, aku bercerita tentang daratan, dari mulai konvoi bagaikan segerombolan geng motor hingga berbagai jenis kereta, dari mulai kereta antar kota, KRL, hingga kereta bandara. Bercerita tentang stasiun dan bandara di Bandung dan Jakarta. Kini, aku ingin bercerita tentang langit dengan keindahan gradasi warnanya, tentang awan dengan segala macam bentuknya, tentang ketinggian yang takkan mungkin bisa dicapainya dengan sekali lompatan saja. Bukan hanya tentang Pulau Jawa, tapi juga pulau diseberang sana, Sulawesi lebih tepatnya.
1 Januari 2018
Pukul 03.00 WIB, kami mulai bersiap untuk membereskan barang-barang bawaan dan bergegas check in di Bandara. Kami mulai memilah-milah kembali barang-barang yang akan dimasukkan kedalam bagasi dan yang akan dibawa untuk disimpan di kabin pesawat. Masih ingat tentang bulpoint laser yang kuceritakan kemarin? Kalau lupa, boleh baca lagi saja ya. Kami sempat ragu untuk membawanya ke ruang tunggu dalam keadaan utuh. Ah, sayang sekali kalau sampai tidak lolos scanning. Akhirnya, kami putuskan untuk mengambil baterai laser itu. Perlahan luthfi membukanya dan ‘Cetarrrr’ suara benda jatuh. Benar sekali dugaan kamu, baterai dalam laser tersebut hilang sebagian dan sudah menggelinding entah dimana. Tiga menit, empat menit kami mencarinya, tapi tetap tidak menemukannya juga. Sejenak kami teringat, mungkin ini sebuah karma atas perbuatan tercela yang kami lakukan sebelumnya (ada di cerita sebelum ini).
Kami mulai berefleksi, perjalanan yang akan kami lakukan adalah perjalanan yang jauh disana, yang bahkan sanak saudarapun kami tak punya. Hanya berharap bantuan orang yang belum tentu mereka akan mempercayainya. Kejadian ini mengingatkan pada kami, agar senantiasa berusaha untuk menjaga perilaku/tindakan, perkataan dan mengatur lapangan parkir yang ada di hati dengan sebaik-baiknya.
Sekitar pukul 05.45 WIB, pesawat kami take off dari Bandara Soekarno Hatta dan tiba sekitar pukul 09.00 WITA di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Apabila sesuai dengan jadwal, kami akan melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat pukul 11.00 WITA dan tiba sekitar pukul 11.40 WITA di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Kami mengisi waktu transit di Bandara Sultan Hasanuddin untuk berkeliling, sekedar cuci mata, seolah kami sedang berada di mall sebuah kota. Selesainya kami berkeliling, kami memtuskan untuk duduk di dekat gate pesawat yang akan membawa kami nantinya. Namun, benar adanya bahwa manusia hanya mampu untuk berencana. Pengumuman delay penerbangan pesawat kami menggelegar di sudut-sudut Bandara. Pesawat yang akan membawa kami baru akan diterbangkan pukul 12.30 WITA. Ah, transit kami menjadi semakin lama terlebih dengan kondisi perut yang sudah mulai tak bersahabat. Sejak kemarin siang, kami hanya mengonsumsi roti untuk sekedar mengganjal perut dan hal tersebut harus terulang kembali hingga sore hari. Sebagai generasi micin, aku merasa sudah sangat muak dengan roti saat itu. Tapi, hanya makanan itu yang dapat menyelamatkanku dari rasa lapar ini hehe. Mungkin hal tersebut juga sama dirasakan oleh ketiga temanku lainnya.
Saat kami berkeliling Bandara menunggu jadwal penerbangan pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin
Saat menunggu pesawat menuju Luwuk di Bandara Sultan Hasanuddin
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada kabar buruk yang datang menghampiri kami. Rencananya, saat tiba di Luwuk kami akan di jemput oleh Pak Fadli, seorang guru di SMAN 1 Totikum yang tinggal di Luwuk. Saat kami mendarat di Makassar, beliau sudah mengabarkan bahwa akan menjemput di Bandara pukul 11.00 WITA. Namun, karena ada delay penerbangan pesawat, kami mencoba untuk menghubunginya kembali, ternyata beliau sudah ada kegiatan diatas jam 12 siang dan lokasinya berada di kota. Sehingga, dengan berat hati beliau pamit untuk pergi, mendadak tidak dapat membantu kami dan kami harus menerima dengan lapang dada sekaligus mencari alternatif lain. Mengharapkan bantuan orang semendadak itu dirasa sangat sulit. Kami masih berpikir sederhana, toh nanti bisa menginap semalam lagi di Bandara, atau langsung saja mencari kapal yang dapat mengantarkan ke pulau tujuan dan menghubungi pihak-pihak lain yang bersedia membantu di pulau seberang.
Pukul 12.30 WITA sudah terlewat, namun belum ada pengumuman ataupun panggilan mengenai pesawat kami. Ternyata saat kami tanyakan kembali, pesawat kami delay lagi dan baru akan berangkat sekitar pukul 14.00 WITA. Ah, akupun mulai bosan menunggu handphone dan kamera yang ditinggal tuannya entah kemana. Akhirnya kukeluarkan jurus emak-emak yang aku miliki untuk berbincang-bincang dengan bapak ibu sekitarku. Hehe, gapapa lah ya biar ga keliatan sendirian amat, setidaknya bisa ada temen ngobrol. Ternyata, dari tiga orang yang sempat kuajak ngobrol dari mulai membicarakan Pulau Sulawesi, pertanian, perikanan, kelautan, haji hingga transmigrasi ada dua orang yang ingin pulang ke sebuah pulau kecil didekat luwuk dan menaiki pesawat yang sama. Ah, akhirnya pembicaraan kamipun semakin meluas hingga hal-hal tidak penting seperti membahas perbedaan antara Coto Makasar dengan Soto yang ada di Jawa. Haha, sebenarnya aku sama sekali tidak tau, hanya berlagak antusias dengan apa yang sedang dibahasnya. Lumayan. Nggak penting banget ya aku tulis.
Saat mengetahui pesawat ternyata delay hehe
Saat aku ketahuan sedang membuat forum bertiga dengan bapak ini, yang satu lagi sedang pergi. Ternyata temen-temenku membeli jajanan bermicin biar tidak mabok roti katanya dan ternyata aku dibeliin, makasih ya.
Akhirnya, pesawat yang kutunggu telah datang, kami bergegas memasuki pesawat dan disambut dengan senyum cantik pramugarinya. Ya, perjalanan ini hanya sekitar 30-40 menit saja. Saat kami akan mendarat, wow, indah sekali pemandangannya. Ternyata, Bandara ini sangat dekat sekali dengan bibir pantai. Rasa kesal yang muncul karena harus menunggu sekitar 4 jam, terbayarkan sudah melihat indahnya alam semesta. Bandara ini sungguh unik, dengan desain kuno dilengkapi dengan tangga berselimut karpet merah, seperti untuk dilewati para raja. Menarik sekali, ah aku bingung menuliskannya dalam kata-kata.
Punggung gege yang menuai banyak like dari netijen
Pemandangannya sebenernya bagus banget
Jalannya pake karpet merah
Di sebuah lorong di Bandara Syukuran Aminuddin Amir
Kalau dilihat dari samping.
Keluar sedikit dari Bandara akan menemukan air laut yang sangat jernih
Kami melupakan permasalahan kami sejenak sambil mengambil beberapa gambar dan mencoba tripod yang dipinjam dan dibawa oleh luthfi sebagai perlengkapan dokumentasi tim kami. Bersamaan dengan itu, kami melihat-lihat sekitar. Ternyata, posisi bandara itu cukup jauh dengan perkampungan warga. Kami baru tau, ternyata Bandara Syukuran Aminuddin Amir ini tutup pukul 17.00 WITA. Saat itu, sudah pukul 15.00 WITA dan kami belum menemukan seorangpun yang dapat membantu. Pelabuhan yang kami dapatkan informasinya bisa dikunjungi dengan jalan kaki sekitar 15 menit saja, ternyata hanya sebuah pelabuhan untuk kapal-kapal yang mengangkut barang. Angkutan umum yang diinformasikan ada sebelumnya, ternyata tidak. Disana hanya tersedia taksi-taksi yang siap mengantar ke kota dengan harga lima puluh ribu per-orang. Ah, berantakan sekali rencana kami. RAB yang kami miliki hanya lima ribu per-orang dan tidak ada RAB konsumsi selama tiga hari. Duh, aku lupa walaupun masih perjalanan, kami tetap butuh makan. Hehe, untuk masalah konsumsi memang aku yang salah.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya semuanya mencoba untuk mencari solusi. Gege mencari informasi tentang kapal ke Banggai Kepulauan yang akan berangkat malam hari, masjid dan segala kemungkinan lainnya kepada segerombolan supir taksi didepan bandara. Baps mencoba menghubungi ayahnya, mungkin saja punya kenalan yang bisa dimintai tolong untuk sekedar menjemput atau menampung kami semalam saja. Aku teringat, bahwa salah satu teman SMA-ku yang sudah lulus STAN dan tidak lain adalah sahabat Luthfi sendiri pernah membuat story di instagramnya bahwa ia ditugaskan untuk bekerja di Luwuk. Ternyata, Luthfi juga sudah menghubunginya sebelum kami berangkat. Katanya, dia sedang melakukan sumpah ca-PNS (?) di Palu. Tapi sebenarnya dia sempat menawarkan bisa singgah di rumah dinasnya. Sebuah peluang besar kurasa. Akhirnya, kami mencoba menghubunginya. Sebuah keajaiban tiba. Sahabatnya Luthfi, Reza namanya, sedang berada di ruang tunggu Bandara dan akan melakukan perjalanan pulang ke Luwuk dari Palu usai dari kegiatan dinasnya. Kamipun menceritakan kejadian hari itu kepadanya dan memohon bantuan darinya. Reza setuju dan kami menunggunya hingga tiba di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk. Sebagai informasi tambahan, mungkin hari itu perkenalan resmi pertama aku dan Reza. Kami memang satu sekolah, sudah saling mengikuti di media sosial, sudah pernah mengikuti bimbingan bersama dalam beberapa waktu tetapi tidak pernah berkenalan, karena sekolahku terpisah antara siswa putra dan putri. Sesungguhnya aku sangat merasa tidak enak, jelas sekali pasti aku menjadi beban. Mereka semua laki-laki dan masih muda. Entah kenapa, aku masih merasa canggung untuk berinteraksi langsung dengan laki-laki alumni sekolahku sendiri. Ya terkecuali dengan Luthfi karena terpaksa harus bertemu dengannya hampir setiap hari, hehe. Tapi, aku percaya mereka semua orang-orang baik yang tidak perlu khawatir kalau aku tidak akan mungkin ditinggal dijalan oleh mereka.
Kembali ke topik. Sembari menunggu Reza tiba, kami berempat menyempatkan diri untuk mandi. Cuaca disana sangat panas sekali, membuat kami yang sudah tidak mandi dua hari ini menjadi semakin kepanasan. Selepas mandi, ternyata masih ada drama lagi. Tadi aku bilang, kami membuka tripod yang dibawa kan ya. Dan salah satu bagian dari tripod, pengunci (?), atau apapun itu aku lupa terlepas dan hilang tak tau dimana. Padahal tripod itu milik ‘teman’ sangat dekatnya Luthfi di kampus. Huhu, kuharap semoga kalian tidak berantem gara-gara tripod. Kami sudah mencarinya dari pojok-pojok Bandara hingga pinggir pantai tetap tidak menemukannya. Dan memilih untuk ikhlas. Ah drama sekali ya keliatannya? Eits, ternyata ini hanya sebuah pemanasan untuk kejadian-kejadian menarik lainnya.
Hari ini saja, aku sangat bersyukur. Kami diberikan sebuah keajaiban yang tidak terduga bisa bertemu Reza dan mendapatkan pertolongan darinya. Bahkan, kami dibantu untuk pembayaran taksinya dan diantar ke beberapa pelabuhan untuk memastikan keberangkatan kapal menuju Banggai Kepulauan. Ohiya, Reza tidak sendiri membantu kami, ia juga mengajak temannya, Ivan namanya yang juga tak kalah baiknya dengan Reza. Sebenarnya ada kapal yang berangkat jam 21.00 WITA menuju ke Banggai Kepulauan. Akan tetapi, sepertinya kondisi kami saat itu tidak memungkinkan untuk memaksakan diri menyebrang malam itu. Kejadian hari ini, membuat kami sedikit was-was, bisa jadi akan terulang di pulau yang berbeda. Kami memutuskan untuk beristirahat di Luwuk, yang sudah sangat jelas ada Ivan dan Reza yang bersedia menampung kami.
Selepas beristirahat sejenak sambil sedikit bercerita seperti layaknya tamu dengan pemilik rumah dan menunaikan sholat isya, kami diajak untuk mencari makan diluar. Yeay! Akhirnya bisa terlepas dari yang namanya roti. Setelah kami membayar dan meminta nota kepada penjualnya, tiba-tiba sang penjual menawarkan sesuatu yang diluar ekspektasiku. Kami waktu itu menghabiskan uang empat puluh ribu rupiah, dan sang penjual bertanya, “mau ditulis berapa di nota? Lima puluh, Enam puluh, Tujuh puluh atau Empat puluh saja seperti harga aslinya? Biasanya kalau ada yang minta nota angkanya minta diubah?”. Aku kaget. Kujawab harga normal saja pak tidak apa-apa. Haha, ternyata masih ada aja yang seperti itu. Bergegas aku mengejar teman-temanku yang tadi sudah keluar dari warung terlebih dahulu.
Gege, Luthfi, Reza, Baps, Aku, Ivan (berurutan dari kiri)
Didekat tempat makan kami ada sebuah taman kota yang sangat indah. Suara deburan ombak yang memajakan telinga ditambah dengan bintang di langit dan bintang buatan dari rumah-rumah warga seolah mengitari taman itu, membuat suasana malam menjadi sangat lengkap. Rasa lelah dengan segala kejadian yang terjadi hari itu sejenak terlupakan melihat alam yang sungguh luar biasa itu. Saat kami sedang menikmati malam, tiba-tiba kak Nawir (pencetus DK) menghubungi kami, kalau dia sedang berada di Luwuk bersama adiknya hari itu juga. Dan ternyata, dia berada didekat kami. Wow!!! Sebuah kebetulan yang luar biasa. Dia bersama adiknya, Zikri memang sengaja ingin melakukan liburan di pulau kecil dekat Luwuk. Ternyata, mereka habis makan malam didekat taman dan kami juga habis menikmati makan malam diatas taman. Kami juga menyempatkan diri untuk berfoto-foto, mendengarkan cerita Reza tentang pembangunan kota Luwuk untuk dibuat menjadi Provinsi baru (atau sesuatu pokoknya aku lupa).
Taman kota Luwuk
Bertemu dengan kak Nawir dan Zikri
Saat taman mulai sepi, sekitar pukul 21.00 WITA, kami juga bergegas untuk pulang dan beristirahat mempersiapkan energi untuk keesokan harinya. Kami dipinjami satu rumah dinas oleh Reza dan dia bersama Ivan tidur dirumah depannya. Rumahnya Reza dan Ivan itu baru saja dibersihkan, jadi memang belum digunakan oleh mereka. Malam itu, gege memutuskan untuk tidur lebih awal dan aku, Luthfi dan Baps masih terjaga untuk menyelesaikan hal-hal yang harus diselesaikan. Sebenarnya, aku sudah mengantuk, tapi aku sedang berpikir, bagaimana caranya aku tidur berpisah ruangan dengan mereka. Haha, akhirnya yang kupikirkan ini disadari oleh Luthfi sehingga dicarikan karpet kecil oleh sang pemilik rumah agar kubisa tidur disalah satu kamar yang ada dalam rumah itu. Hehe, masih tetap dan selalu akan menjadi beban. Ternyata, perjalanan ini belum benar-benar dimulai. Besok mungkin baru akan dimulai.
Bersambung…
0 notes
Text
SELAMAT DATANG 2018!!
Ini foto tim Sula Bulavana yang diambil saat diklat
31 Desember 2017, tepat satu tahun yang lalu aku bersama ketiga temanku yang tergabung dalam sebuah tim bernama ‘Sula Bulavana’ pergi meninggalkan Bandung untuk melalangbuana ke sebuah pulau di antah brantah yang bahkan namanya saja baru ku ketahui dua bulan sebelumnya. Dengan ke-sok tahu-an anak remaja, kami pergi ditemani tas-tas berat yang katanya bekal untuk berbagi. Merasa menjadi orang yang sudah pintar karena berhasil lolos dari diklat-diklat yang melelahkan itu, sehingga menjadi berani untuk mangatakan ‘Ya, kami akan memberi’. Tak apa, itu adalah awal. Wajar kalau aku belum tau bahwa perjalanan ini bukan tentang memberi, melainkan tentang diberi. Perjalanan ini bukan tentang mengajar melainkan tentang belajar. Termasuk, belajar untuk melebarkan lapangan parkir dalam hati masing-masing. Agar, sebesar apapun masalah, halangan ataupun rintangan bisa ter-parkir secara nyaman di hati.
Awalnya, saat mempersiapkan segala kebutuhan sebelum berangkat, rasa bahwa diri ini sudah siap sempat muncul. Merasa bahwa sudah banyak ilmu yang kupelajari, sudah banyak inspirasi yang mampu dijadikan motivasi. Merasa sudah hebat. Tentu, aku salah. Ternyata aku berangkat bukan seperti tangki yang penuh, melainkan tangki yang siap untuk diisi. Ah, mungkin kau akan mengatakan bahwa ini omong kosong. Tak apa, kuharap setelah kisah ini selesai hingga aku pulang kembali ke Bandung, kau akan setuju dengan perkataanku. Ya, kita mulai saja kisahnya.
31 Desember pukul 09.00 WIB
Pagi itu, bukan hari yang cerah. Kampus Ganesha yang terasa amat sangat sepi membuat obrolan kami berempat terdengar sangat jelas. Ya, aku, luthfi, gege dan baps sedang bersiap sambil melakukan pengecekan barang di CC Barat kampusku. Sambil menunggu yang lain datang, kami bercerita, berangan, hingga bermain basket bersama, seperti biasa aku sebagai penontonnya. Bahagia sekali ya?
Mendekati pukul 11.00 WIB, satu persatu teman-temanku datang. Kampus yang awalnya sepi menjadi riuh tak karuan. Sibuk memastikan ini itu dan menerima semangat dari teman-teman seperjuangan. Rasa takut dan khawatir yang awalnya tak muncul sedikitpun, kini mulai bertumbuh. Apakah aku akan baik baik saja? Apakah aku bisa kembali dengan selamat? Apakah setelah kembali aku masih bisa kuliah (akan kuceritakan nanti)? Sebesar apakah nantinya kapal yang akan membawaku? Apakah itu aman? Aku sungguh takut dengan air. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul satu persatu dalam benakku. Tapi, melihat binar mata teman-temanku yang memberikan ucapan semangat kala itu, berhasil menampis satu persatu kekhawatiranku. Ah, aku sungguh rindu momen itu.
Sekitar pukul 13.00, kami sudah dipasangkan dengan kendaraan masing-masing dan bersiap menuju Stasiun Bandung. Jumlah kami saat itu cukup untuk membentuk sebuah geng motor untuk keliling Bandung. Ramai, karena kami tim yang berangkat paling awal. Sesampainya di stasiun-pun, kegiatan kami masih sama, dari mulai foto ala-ala, hingga tutorial mengangkat carrier (hehe, maaf belum pernah bawa seberat itu soalnya jadi nggak ngerti gimana ngangkatnya dengan baik dan benar).
Saat tim kami akan berangkat menuju stasiun (terimakasih untuk Rizal, Rama, Rais dan Isbram yang sudah menyiapkan transportasi hehe)
Terimakasih teman-teman yang sudah mengantar
Jam keberangkatanpun tiba, kami melambaikan tangan sebagai tanda selamat tinggal untuk teman-teman yang mengantar, begitupun sebaliknya. Semangat itu masih membara, selama perjalanan didalam kereta kami habiskan untuk bercerita, membaca ucapan-ucapan dari pengantar, melihat pemandangan sekitar hingga merencanakan rute tercepat untuk sampai di bandara. Maklum, malam tahun baru membuat kami khawatir dengan kemacetan kota Jakarta yang semakin tak terkendali. Sembari mencari alternatif, terbesit kabar bahwa kereta bandara masih dalam tahap uji coba sehingga harga yang diberikan masih harga promo. Wah, sebuah kesempatan. Kapan lagi bisa naik kereta bandara dengan harga yang bahkan lebih murah dari perjalanan menaiki damri. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak berhenti hingga Gambir, cukup di Jatinegara saja dan melanjutkan perjalanannnya menggunakan KRL menuju Sudirman untuk mendapatkan kereta Bandara di BNI City saat itu.
Senja di kereta
Kenakalan remaja mulai muncul di sela-sela bosannya menunggu kereta. Sembari menunggu KRL tujuan kami lewat, kami duduk di pinggiran sambil memainkan bulpoint laser yang dibawa luthfi untuk diarahkan ke orang-orang tertentu. Aku menceritakan ini bukan untuk menjelekkan. Nanti kita belajar bahwa sesuatu yang buruk akan dibalas dengan keburukan juga. Ya, nanti, tunggu saja.
Ketika keretanya tiba, ternyata ramai sekali. Kami seonggok manusia yang membawa tas cukup besar, agak ragu untuk memasukinya. Akan tetapi, demi mengejar jadwal kereta bandara kala itu, akhirnya kami memaksakan diri untuk tetap masuk dalam kereta yang cukup penuh itu. Tak masalah sebenarnya aku berdiri hingga stasiun selanjutnya untuk berpindah kereta. Tapi sial, pegangan di KRL itu terlalu tinggi untukku. Mencapainya saja tidak mampu. Kurasa aku sudah cukup tinggi. Namun, nyatanya aku harus menyadari bahwa aku masih membutuhkan suplemen peninggi badan. Sehingga, sepanjang perjalanan aku hanya berpegangan carrier luthfi agar bisa terjaga dari goyangan kereta. Terimakasih ya Lut, maaf memang merepotkan sekali ☹.
terjepiet di kerumunan orang
Beruntung kereta kedua cukup longgar dan kami masih bisa mendapatkan tempat duduk. Hehe, aku tidak perlu merepotkan orang lain lagi. Setibanya di stasiun, ternyata untuk menuju BNI City harus memutari jalan. Ah, aku cukup mengenal tiga temanku ini, pasti akan mencari jalan pintas untuk mempercepat tiba disana. Dan, ya, benar sekali. Kami memutuskan untuk melompati pembatas jalan. Terimakasih teman-teman, kalau tidak bersama kalian kutidak akan melakukan hal seperti itu hehe.
Melompat pagar jalan
Yeay, ekspresi setelah berhasil lompat hehe
Tibalah kami di stasiun. Saat itu, masih dalam tahap pembangunan. Tapi sudah bagus sekali kondisi dalamnya. Kami membeli tiket, beristirahat sejenak sambil menikmati makan-makanan yang diberikan oleh pengantar tadi untuk sekedar mengganjal perut. Sekitar 1 jam kami menunggu, kereta yang kami harapkan tiba. Sepi sekali. Berasa satu gerbong itu hanya milik kami berempat. Sesampainya tiba di Bandara, ternyata kami harus menaiki kereta lagi untuk menuju ke terminal bandara. Kami tidak menyangka , ternyata pesawat yang kami naiki ada di terminal 2. Yeay, kami tersenyum lega, berharap bahwa kondisinya lebih nyaman untuk beristirahat dibandingkan di terminal 1.
Beli tiket di BNI City
Setibanya di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, kamipun bersiap untuk beristirahat secara bergantian. Walaupun saat itu, Gege tidak bisa tidur meski sudah dipaksa sekalipun. Kami juga merayakan tahun baru di Bandara bersama Fadhil (salah satu calon ekspeditor) dan temannya yang menyempatkan diri menjenguk kami di Bandara. Ah, baik sekali. Tahun-tahun sebelumnya aku merayakan tahun baru juga hanya dirumah, menunggu kembang api dari atap rumah dan hanya itu saja. Bahkan aku merasa sangat senang bisa melewati pergantian tahun baru ini ramai bersama kalian. Perjalanan ini belum dimulai ternyata. Jangan kesel dulu ya, emang bener ini belum mulai hehe
Bersambung…
0 notes
Text
Penjara Hijau itulah Istanaku
Berawal dari enam tahun yang lalu, ketika euforia kelulusan SMP masih melekat dalam diriku. Harapan dan cita-cita lugu masih memuncak juga dalam benakku. Menjadi seorang akuntan yang bisa bekerja di kabupaten adalah mimpiku kala itu. Tak pernah sedikitpun terbayang dunia perkuliahan pada logika-ku. Kondisi ekonomi keluarga-lah, faktor utama yang membatasi bermimpi terlalu tinggi.
Namun, skenario Tuhan berkata lain. Ayahku bersikeras untuk menyekolahkanku ke sebuah SMA swasta di Surakarta milik yayasan pengajian yang orang tua-ku ikuti. Alasan sebuah tanggung jawab mendidik putra-putrinya menjadi generasi yang baik dan ditempatkan pada lingkungan yang baik menjadi dasar tindakan ayahku. Ya, sebuah jalan yang bersimpangan dengan apa yang aku inginkan selama ini. Menuruti semua keinginan ayahku adalah opsi terbaik yang mampu kulakukan saat itu.
Seperti dalam QS Al Baqoroh : 216 ��Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Teeet… teeet… teeet..
Bunyi bel asrama yang tiap hari membangunkan lamunanku. Rutinitas yang padat, monoton dan tinggal jauh dari orang tua, kerap kali membuatku jenuh. Bagaimana tidak, aku yang dulunya begitu bebas kini terkurung diantara tembok-tembok kusam nan tinggi menjulang. Bahkan sekolahku yang terlihat indah dari depan tidak mampu kunikmati. Area perempuan yang hanya berjarak 2 meter antara dinding kelas dengan pagar sekolah, itulah area bermainku. Sempit.
Pernah sesekali aku ragu, katanya masa SMA adalah masa paling menyenangkan. Tapi, sepertinya pepatah itu tidak berlaku bagiku. Masa yang penuh dengan penderitaan, perjuangan dan keputusasaan. Masa dimana aku merasa menjadi manusia paling hina, ketika membaca QS Al-Fatihah saja harus disetorkan selama satu minggu baru mendapat predikat “Jayyid” dan diperbolehkan melanjutkan bacaan. Disaat yang lain sudah memiliki hafalan ber-juz-juz banyaknya. Padahal itu merupakan bacaan wajib yang harus di lafalkan setiap kali sholat. Malu? Iya.
Memberontak, hal yang kerap kali aku lakukan secara diam-diam. Ingin rasanya segera keluar dari sekolah ini. Menikmati masa putih abu-abu dengan kebebasan. Tapi semua itu gagal. Bulan, semester bahkan tahun berhasil kulewati dengan usaha. Kegagalan, ancaman skorsing hingga hukuman menulis ber-juz-juz ayat Al-Qur’an pernah aku lalui. Menyelundup seperti maling karena tidak ada yang mengantar ataupun menjemputku saat liburan tiba menjadi sesuatu yang akan selalu teringat dalam benakku. Tapi hal tersebut yang membuat aku sadar, bahwa sesungguhnya ditempat itulah aku diajarkan banyak hal. Aku dihadapkan pada miniatur kehidupan yang sebenarnya. Belajar untuk dewasa, mandiri, sabar, peduli dan banyak hal lainnya. Bahagia? Sangat!
Awalnya, motivasiku bertahan disana hanyalah perjuangan ayahku. Dimana, beliau rela kesana-kemari, bekerja jauh lebih keras demi melunasi tagihan sekolahku. Tempat yang biasanya disebut penjara hijau karena bangunannya yang hijau dan menujulang tinggi layaknya menampung para narapidana. Tapi, sebenarnya didalam penjara itu ada istana. Istana kebaikan yang hanya aku dapatkan ketika aku terjebak didalamnya.
Disini pula-lah mulai kurajut kembali mimpi-mimpi baru, yang awalnya mustahil menjadi hal yang mampu diraih. Aku bersyukur, memiliki kesempatan langka untuk bisa berkumpul dengan orang-orang hebat versiku di tempat yang bahkan tidak pernah muncul dalam mimpiku. Walaupun dengan segala keterbatasan yang harus kuterima, kesedihan yang kerap melanda dikala aku sudah berusaha memberikan yang terbaik namun tidak pernah dilihat hasilnya hingga aku terlepas dari kerangkang itu. Tapi, tidak apa-apa.
Terkadang, aku sebagai manusia masih terlalu sering mengeluh, egois hanya memikirkan bagaimana caranya aku bisa bahagia, tidak mau keluar dari zona nyaman dan iri dengan kondisi orang lain. Banyak-banyaklah memandang kebawah, agar senantiasa jiwa yang penuh dosa ini selalu beryukur akan apa yang sedang dihadapinya. (Nasihat buat diri sendiri)
0 notes
Text
Tersenyumlah bahwa hidup jauh lebih indah jika dinikmati dengan rasa bahagia :))
0 notes
Video
Nostalgia :’)
tumblr
Sesuatu yang tak akan bisa kita ulang lagi, tak akan bisa kita jalani bersama lagi, yang tak akan bisa kembali lagi seperti sedia kala. tapi ini adalah sesuatu yang hanya bisa kita rasakan kedekatan yang pernah ada dahulu, dan kita kenang sebagai kenangan termanis didalam memori kehidupan kita. terimakasih kawan atas semua cerita pedas, asam, manis, pahit dan semua rasa yang telah ada. terimakasih atas semua kebersamaan kita. hanya bisa kukenang, kurindukan, dan tak akan pernah kulupakan. iloveyou, imissyou, for everythings about us
3 notes
·
View notes