Text
Mayoritas orang-orang bahagia justru tidak mengumbar kebahagiaan di sosial media. Sebab, mereka yang benar-benar berbahagia, tidak lagi butuh pengakuan, pencitraan atau pembuktian akan kebahagiaan mereka itu—apatah lagi dari manusia-manusia maya?
3K notes
·
View notes
Text
INTOLERANSI
-INTOLERANSI-
Dewasa ini acapkali terdengar kata "intoleransi"
Dengan dalih tidak menerima atau tidak bersimpati
Dengan satu dua perayaan atau ucapan agama lain pada suatu negeri
Pada mimbar-mimbar semu banyak juga tertulis "intoleransi"
Baik secara tersurat maupun hanya makanawi
Tak ikut sama sekali sudah mesti dicap "intoleransi"
Ikut sana-sini malah jadi kaum yg "mbingungi"
Status 'ulama dan umaro menjadi headline terkini
Mulai dari yang mencoba "bertoleransi", sampai yang menuai "kontroversi"
Heranya, setelah gempita hari raya usai
Omongan mereka kembali menjadi ampas basi
Didengar pun tidak, apalagi dita'ati
Apalagi mahasiswa zaman kini
Sudah menjadi menu yang tak asing lagi
Intoleransi berseliweran di kamar kost, kontrakan, bahkan di kampus sendiri
Tak canggung kita meng-unggah jadi apdetan terkini
Walaupun dalam hati, kita tau terkandung di dalamnya Intoleransi
Sekarang sudah tambah parah lagi
Social Media bukan cuma milik orang bergaji
Walaupun belum pandai gosok gigi,
Anak kecil sudah lihai memainkan jemari
Bisa dibayangkan bagaimana anak SD berkomentar di kolom-kolom terkini
Kelereng bukan lagi mainan sehari-hari
Suara anime terganti dengan caci maki
Sampai-sampai mereka punya sebutan masa kini
karena sering membuat kita mengerenyitkan dahi
Apa namanya tuh? "Kids, zaman-now" seperti yang didengar Pak Habibie
Padahal eh padahal nih
Sadar tidak sadar nih
Yakinlah penduduk negeri Wkwkland ini
Pasti menyukai yg namanya Intoleransi
Mulai dari anak kecil sampai yg sudah aki-nini
Padahal eh padahal nih
Belom tentu kita punya satu unsur yg hilang dalam Intoleransi
Entah karena kurangnya gaji
Atau faktor ketidakmerataan distribusi
Tapi seringnya sih, karena kurang diskusi
Bertetangga tidaklah ada lagi
Makan bersama bukan budaya lagi
Satu unsur penting, yang membuatnya intoleransi atau tidak intoleransi
Unsur penting yang biasanya mahasiswa tidak bisa beli
itulah KORNET, unsur terunik yang sering hilang dalam Intoleransi
Tanah Wkwkland,
Desember 2017
Rabiul Akhir 1439 H
TND
NB:
*INTOLERANSI
(Indomie Telor Kornet pake Nasi)*
3 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/804a11f64e6649bcb5eb8dcd1fb7d116/tumblr_p0yid9DFTX1ubakjgo1_540.jpg)
Ummatan Wahidatan http://tubagusnaufal.blogspot.com/2017/12/ummatan-wahidatan_14.html
0 notes
Text
fiqh
jika kita memaknai islam hanya dengan sekumpulan aturan hitam dan putih yang harus ditaati, maka disiplin ilmu fiqih tidak lagi diperlukan. Sebab peran dan fungsi fuqoha sudah bisa tergantikan dengan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan. Sesederhana decision tree yang terdiri atas ratusan if then else.
Namun beragama sesungguhnya tidak sesimpel itu. Jika kita menganggap islam sebagai solusi, maka kita harus bisa menempatkan Islam sebagai petunjuk untuk mengantarkan ummat dari kondisi real menuju kondisi paling ideal. Di sinilah peran fuqoha dalam merumuskan langkah tentang bagaimana mengantarkan ummat menuju kondisi ideal.
Maka dari itu, fiqih banyak sekali macamnya.
Seperti fiqih Tamkin yang mengajarkan kita tentang jalan menuju kemenangan. Seperti Manhaj Ishlah wa Taghyir yang mengajarkan kita cara-cara untuk memperbaiki kondisi ummat dan menggerakkan ummat. Syekh Qardhawi pun memperkenalkan Fiqih Minoritas untuk saudara kita yang tinggal di negeri yang jarang banget penduduk muslimnya.
Intinya, fiqih itu tidak sekedar membahas tentang hukum. Tetapi juga tentang sikap kita terhadap hukum. Sikap terhadap hukum ini yang kadang masih kurang kita kaji sehingga kita kadang tergagap-gagap dan reaktif ketika menghadapi kondisi yang tidak ideal.
semisal, kita tahu bahwa LGBT dilarang dalam islam. Namun ketika kita nemu temen kita yang LGBT, tentunya kita nggak cukup dengan mengatakan:
“Ittaqillah. Takutlah kepada Allah, etc..etc..”
Fiqih yang mengajarkan kita bagaimana mencari langkah terbaik agar teman-teman yang kadung terjebak dalam dunia LGBT bisa mendapatkan solusi yang mashlahat dan tidak menyakitkan.
pun ketika ngelihat temen kita yang mendadak lepas jilbab,
fiqih pula yang mengajarkan kita untuk memperlakukan mereka dengan cara yang baik. Tidak cukup sekedar memberikan ayat yang bilang itu salah, ini benar.
Fiqih itu tentang cara berpikir. Tentang kesungguhan kita dalam menggali hukum-hukum dalam Al Qur’an serta teladan-teladan dari sunnah Rasulullah sehingga membentuk kita menjadi muslim yang dapat melihat kebenaran sekaligus mampu mengantarkan ummat pada kebenaran dengan sebaik-baik akhlak.
Teringat ketika sahabat hendak menghardik badui yang buang air kecil di masjid, Rasulullah justeru hadir dengan wajah yang ramah. Menunggu badui tersebut menyelesaikan hajatnya, baru memberi tahu bahwa masjid tempat sholat tidak boleh dijadikan tempat untuk buang hajat. Lantas Rasulullah yang memberi teladan untuk membersihkan tempat tersebut.
Akhir cerita, si badui masuk islam karena kebaikan akhlak Rasulullah.
Gue nulis ini bukan buat judging siapapun. Hanya dengan banyaknya inbox yang nyuruh gue nulis tentang mbak Rina Nose yang copot jilbab, gue ngerasa mengolok-olok beliau merupakan sikap yang tidak peka.
Kita nggak pernah tau apa yang ngebuat orang berubah. Proses hijrah itu panjang dan halangannya banyak. Maka ketika ada temen kita yang tersendat dalam prosesnya, mestinya kita lebih peka untuk memberikan dia pelukan.
Itu pilihan sikap pribadi gue.
Tapi poin penting dalam tulisan ini bukanlah mbak Rina Nose ~XD
gue berharap kita berusaha untuk tidak jadi ummat yang reaktif dengan apa yang terjadi di media sosial. Kembalilah ke perpustakaan, kajilah Islam dengan disiplin ilmu yang utuh sehingga kita bisa menemukan akar permasalahan ummat dan menyelesaikan masalah tersebut dari akarnya.
gue kadang ngerasa hidup di dua dunia yang beda.
gue sering nemu ulama yang alim nan tawadhu. Yang kalo misal gue denger beliau mengkaji Al Qur’an, gue selalu nemu pemahaman baru. Meanwhile di sisi lain, gue nemu temen yang nggak punya trust ke ulama karena mereka masih ngelihat ulama-ulama toh banyak salahnya ~XD
rasanya kita terlalu lama memandang islam hanya sebagai kumpulan aturan dan menilai islam dari figur-figurnya. Padahal penting banget buat kita untuk mengkaji islam melalui diisiplin-disiplin ilmu yang paling dasar.
Ga harus sampe tingkat ulama. Tapi minimal kita enggak lagi menjadi yang reaktif, menghargai pandangan-pandangan orang lain dengan penuh hormat tetapi juga dengan sikap yang kritis dan tepat sasaran.
So ayo belajar fiqih :))
210 notes
·
View notes
Text
Tak apa sederhana,
yg penting bermakna
Tak apa sementara,
yg penting berasa
Begitulah dunia
Menjadi tak begitu penting kenampakan fisisnya
Saat unsur intrinsik sudah menelisik dalam dalam
TND
1 note
·
View note
Text
Bagaimana Saya Menyikapi Kebrutalan dan Kriminalisasi Aparat terhadap Aktivis Mahasiswa 20 Oktober Lalu?
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/3441ee3e2feabf43387fff04f28619e3/tumblr_inline_oybal05flh1rwsobp_540.jpg)
Post kali ini agak panjang dan berbeda dengan biasanya. Saya ingin angkat bicara mengenai demonstrasi mahasiswa pada 20 Oktober kemarin yang berujung penganiayaan dan penahanan aktivis mahasiswa oleh aparat. Dalam beberapa tahun terakhir mahasiswa melakukan demonstrasi, baru kali ini mendapatkan perlawanan sangat brutal dari pihak aparat. Beredar luas foto korban luka-luka yang dihajar aparat.
Demonstrasi ini dilakukan oleh aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dimana di dalamnya tergabung BEM-BEM dari berbagai universitas. Mereka mengambil momentum peringatan tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK untuk mengevaluasi dan menyampaikan tuntutan janji-janji kampanye yang belum dipenuhi.
Wildan, koordinator BEM SI, adalah salah satu yang tak luput dari bogem mentah aparat. Saya kenal Wildan, kami sempat bertemu saat sama-sama menjadi narasumber sebuah acara di Undip. Sepintas, pembawaan Wildan cukup tenang dan bukan tipikal perusuh. Hati saya teriris melihat foto babak belur Wildan beredar di media sosial. Sontak ramai terjadi perbincangan di kalangan mantan-mantan aktivis mahasiswa. Mulai dari group whatsapp presiden BEM Seluruh Indonesia angkatan saya, sampai group whatsapp presiden BEM Undip lintas generasi. Hingga akhirnya alumni aktivis dari setiap kampus mengeluarkan kecaman dan pernyataan sikapnya.
Buat saya peristiwa ini menarik, dimana tindakan represif aparat telah memancing solidaritas aktivis dan mantan aktivis mahasiwa. Dan dengar-dengar akan ada aksi solidaritas susulan untuk menuntut pembebasan empat orang mahasiswa yang dijadikan tersangka.
Bagaimana pandangan saya?
Ini adalah dinamika dalam negara demokrasi. Siapapun warga negara dijamin haknya untuk mengemukakan pendapat dan dilindungi undang-undang. Masing-masing pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Mahasiswa ingin aspirasinya didengarkan dan bertemu langsung dengan presiden. Aparat yang tugasnya menjaga ketertiban ingin semuanya aman, tertib, dan terkendali; aparat tak ingin disemprot atasan karena tak becus menjaga ketertiban. Pada satu titik ekstrim dimana dua-duanya saling bersikeras dengan apa yang mereka perjuangkan, benturan-benturan itu pasti akan terjadi dan tak bisa dielakkan.
Negara kita tidak sedang baik-baik saja
Adalah naif jika ada yang mengatakan bahwa negara kita sedang baik-baik saja. Saya tidak sedang ingin memaparkan data-data yang mendukung premis saya ini. Tapi saya rasa, kamu yang sedang membaca tulisan ini akan sepaham, bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Kita tak bisa memasrahkan begitu saja nasib bangsa ini kepada seorang sosok yang dipuji-puji media. Bagi saya, banyaknya puja-puji tentang sosok yang sedang berkuasa sekarang ini tak lebih dari propaganda. Karena, janji-janji banyak yang dikhianati dan belum direalisasi. Apakah kamu yakin bahwa semua orang-orang yang berkuasa di pemerintahan adalah orang-orang yang sepenuhnya jujur, bebas dari korupsi dan intrik-intrik politik? Tentu tidak.
Partisipasi sesuai peran masing-masing
Sebagai warga negara harus tetap berpartisipasi dengan usaha yang kita bisa dan peran yang sedang kita jalani. Dulu saat saya menjadi presiden mahasiswa, saya cukup getol bersuara di demonstrasi-demonstrasi jalanan dan media sosial. Sekarang setelah saya menjalani peran yang lain, tentu saya tak lagi berorasi di jalanan, kecuali lingkup demonstrasinya adalah masyarakat umum seperti aksi bela islam 212 kemarin. Bagi mahasiswa, aktivisme dan gerakan adalah adalah salah satu bentuk partisipasi dari sekian banyak partisipasi mahasiswa dalam bentuk yang lain—selain pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Itu kenapa ada satu kementerian sosial-politik yang menggawangi gerakan-gerakan mahasiswa di tengah kementerian bidang yang lain dalam sebuah struktur organisasi BEM.
Bicara soal peran, cukup rumit agaknya. Bagi kamu, mahasiswa yang sama sekali tak pernah terjun dalam diskusi-diskusi dunia gerakan mahasiswa dan sosial-politik, akan sulit mengerti mengapa aktivis-aktivis itu getol sekali menyuarakan. Mengapa tak menggunakan cara lain yang lebih adem dan sopan saja. Bahkan kamu bingung aspirasi siapa yang sebenarnya disuarakan, dan kamu risih karena bagimu demonstrasi tak lebih hanya menyebabkan kemacetan dan rusuh-rusuh seperti yang media kabarkan. Dan lebih tak akan mengerti lagi jika kamu adalah orang yang sangat berkecukupan dan berlatar belakang keluarga yang bukan kalangan menengah ke bawah. Ketika kamu tak pernah menyaksikan atau merasakan susahnya hidup secara langsung, akan sulit bagimu untuk mengerti bagaimana penderitaan itu.
Kenapa demonstrasi selalu di jalanan, bikin macet dan rusuh?
Demonstrasi tentu akan mengambil tempat di jalanan atau tempat-tempat publik yang bisa dilihat banyak orang dan diliput media. Karena memang tujuannya untuk mengambil perhatian: perhatian rezim yang berkuasa dan perhatian masyarakat. Tapi sayang beribu sayang, angin sedang tak bertiup ke arah mahasiswa. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai masa depan bangsa, dalam mengawal kebijakan, mereka berkali-kali menyurati pemerintah untuk dapat audiensi, tak kunjung terpenuhi. Eskalasi berlanjut: mengadakan demonstrasi jalanan. Apesnya, jalanan kita memang sudah macet dari sananya karena kapasitas jalanan sudah tak mampu menampung jumlah kendaraan di atasnya. Dan tentu, kehadiran massa demonstrasi di jalan akan jadi bulan-bulanan para pengendara kendaraan bermotor. Dan pasti, aparat akan kesal karena menganggap anak-anak muda ini tak lebih dari pembuat masalah yang menambah beban kerja mereka dimana seharusnya mereka bisa santai-santai saja di bawah pohon yang rindang. Media-media tak mau ketinggalan. Kepentingannya adalah bad news is a good news. Maka angle-angel berita yang diangkat ke publik adalah kericuhan, bakar-bakaran, atau dorong-dorongan pagar. Malah ada, massa demonstrasi mahasiswa diminta untuk dorong-dorong pagar agar dapat angle foto yang bagus dan berita yang ‘bagus’. Alhasil, citra gerakan yang didengar masyarakat luas semakin buruk.
Mahasiswa sebagai kontrol dan penyeimbang penguasa, apa maksudnya?
Bagi aktivis mahasiswa, kebohongan dan ketidakadilan penguasa adalah sasaran perlawanan. Mereka ingin menjadi sebagaimana Soekarno dan Hatta yang lantang melawan penjajah sejak masa mudanya. Mereka ingin menjadi Soekarno yang pidato dan pemikirannya pada usia 14 tahun sudah membuat heboh organisasi Jong Java dan penjajah. Atau seperti Hatta yang di masa mahasiswanya sudah memimpin Perhimpunan Indonesia di Belanda dan menggelorakan pergerakan kala itu. Bagi para aktivis, pergerakan dan perlawanan tak pernah mati, dan merupakan warisan turun-temurun bapak-bapak bangsa ini.
Aktivis mahasiswa melihat kekuasaan yang absolut akan selalu cenderung korup. Sekalipun sudah ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif seperti kata Montesquieu, tetap mahasiswa perlu ambil andil sebagai parlemen jalanan yang menjadi kontrol dan penyeimbang. Siapapun itu yang di tengah pusaran kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak akan lepas dari jerat-jerat politik yang penuh intrik dan cenderung korup. Maka, mahasiswa harus tetap hadir dengan suara lantang.
Tapi kan mahasiswa belum lulus, sepintar apa sih mereka mengevaluasi kebijakan pemerintah dan memberikan evaluasi?
Nah, inilah masalahnya. Ada orang yang terlampau skeptis tentang kapasitas mahasiswa dalam mengontrol pemerintah. Ada pula yang terlampau menuntut bahwa mahasiswa harus membawa kajian matang yang disertai analisis dan data-data yang tajam. Pertama, mahasiswa adalah kaum intelektual. Kedua, mahasiswa bukanlah pakar bergelar profesor atau peneliti yang luar biasa lengkap data dan analisisnya. Ketiga, adalah tidak tepat jika terlalu menuntut organisasi dan mahasiswa menjadi organisasi yang sangat mapan dari segi struktur, manajemen, finansial, dan fungsi. Pahamilah bahwa, satu kali periode kepemimpinan dalam organisasi mahasiswa itu tak lebih dari satu tahun. Periode yang singkat tentunya akan membuat sulit organisasi dan gerakan ini menjadi mapan secara sempurna macam lembaga analis-pengkaji kebijakan profesional—entah apa namanya. Tiga poin ini tak akan pernah dapat titik temu. Maka jalan tengahnya adalah, jangan kekang mahasiswa dengan pemikiran dan pilihannya. Mereka sedang belajar dan berkembang pula. Biarkan mereka berkreasi sesuai dengan kapasitas dan perannya. Akan selalu ada orang yang merasa tak nyaman dengan kesemena-menaan penguasa, yang merasa perlu untuk menjadi oposisi siapapun penguasa di masanya. Pengekangan justru akan semakin mengobarkan api perlawanan. Begitulah wataknya.
Ah, aku gak percaya dengan gerakan-gerakan mahasiswa itu, mereka ditumpangi kepentingan politik!
Yap! Bicara soal tumpang-menumpangi gerakan, dari dulu memang santer yang mengatakan bahwa gerakan dan demonstrasi mahasiswa itu ditumpangi. Sejujurnya saya pun tidak seratus persen menolak opini itu. Kenapa? Karena senior-senior yang dulu adalah aktivis mahasiswa, sekarang telah berganti peran, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi politikus. Memang ada, beberapa senior nakal yang berusaha menyetir gerakan adik-adiknya. Tapi tunggu dulu, mahasiswa tak sebodoh itu untuk disetir. Saya menyaksikan sendiri, pada masa saya, ada beberapa gerakan yang ditumpangi, tapi lebih banyak yang menjaga idealismenya dan menjaga jarak dengan senior yang ada di lingkaran kekuasaan. Ini pilihan sih, tergantung siapa dan bagaimana pimpinan gerakan mahasiswa yang sedang memimpin. Ini jadi peran kamu selaku sesama mahasiswa untuk bisa mengontrol agar gerakan dari aktivis mahasiswa tak menjadi tumpangan orang-orang jahat. Bukan malah menggembosi gerakan dari dalam dengan caci maki dan tuduhan tanpa bukti, apalagi skeptis akut macam kids jaman now.
Gimana saya gak skeptis? Karena apa yang disampaikan aktivis mahasiswa dalam setiap demonstrasinya adalah kritik-kritik yang menyerang pemerintah. Bahkan tak jarang pernyataan-pernyataannya cukup keras dan berlebihan.
Nah, ini. Kamu perlu mengerti, bahwa jiwa-jiwa muda adalah jiwa-jiwa yang memberontak sebagaimana pada setiap zaman anak-anak muda adalah yang paling getol melawan zona nyaman dan pengekangan. Ruh demonstrasi adalah perlawanan. Kalau bukan untuk melawan kebohongan, kezhaliman, dan ketidakadilan penguasa, maka tak akan ada demonstrasi. Para aktivis berkumpul bukan untuk membuat puja-puji. Kalau untuk puja-puji, tentu namanya bukan aktivis, tapi relawan. Kalau untuk puja-puji, tentu kegiatannya bukan demonstrasi, tapi kampanye. Gerakan mahasiswa menempatkan dirinya tidak satu kubu dengan penguasa, tapi menjadi oposisi yang akan tampil mengoreksi. Tentu tak mudah bagimu untuk menerima hal ini, setidaknya keep calm saja ketika melihat orasi, cuitan, dan komentar lantang teman-temanmu yang aktivis.
Jadi, gimana tanggapan saya terhadap kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan aparat kepada aktivis mahasiswa pada demonstrasi 20 Oktober lalu?
Well, saya menentangnya. Saya mengecam segala bentuk tindakan represif pemerintah terhadap gerakan mahasiswa. Sekalipun ada aturan yang membolehkan aparat mengambil tindakan mulai dari himbauan persuasif sampai pembubaran paksa jika demonstrasi melebihi batas waktu yang ditentukan, saya rasa kekerasan berupa pemukulan sampai kepala pecah dan berdarah itu tak lebih membuat citra aparat menjadi keparat. Bagi saya, kekerasan tak pernah dibenarkan dalam sebuah negara demokrasi, terlebih kepada orang yang menyampaikan pendapat. Kenyataan bahwa di negeri yang mengaku telah meninggalkan otoritarianisme, menyampaikan kritik dan pendapat masih dilawan dengan pentungan dan bogem mentah, membuat saya kembali mempertanyakan demokrasi dan posisi pemerintah kita.
Tindakan represif justru akan semakin mengobarkan api perlawanan. Kriminalisasi justru akan memancing para mahasiswa semakin solid untuk membebaskan rekannya. Berlama-lama menahan para mahasiswa itu justru memperpanjang waktu bagi para mahasiswa untuk berkonsolidasi dan membuat eskalasi gerakan berikutnya. Karena ini sebuah gerakan yang dinamis, maka kita akan sulit memprediksi eskalasi apa yang terjadi berikutnya.
Saya berpikir, mengapa presiden tidak menyempatkan saja untuk menemui para demonstran.
Oh, ya tidak bisa. Keselamatan dan kehormatan presiden dipertaruhkan kalau seperti itu. Kalau ada yang nimpuk batu gimana? Kalau ada yang mencaci-maki gimana?
Oke, saya bisa mengerti. Mengapa tidak menerima beberapa perwakilan mahasiswa untuk masuk ke halaman istana dan bertemu presiden? Perhatikan, bertemu presiden di halaman istana, bukan di dalam istana. Kalau di dalam istana saya bisa prediksi, akan muncul penolakan. Karena mereka tak ingin dianggap berkhianat dengan masuk ke istana yang nyaman, disuguhi makan-minuman, sementara kawan-kawannya berpanas-panasan di jalanan. Setidaknya setelah bertemu presiden, mereka akan melihat penghargaan dan keseriusan presiden menanggapi aspirasi mereka. Setidaknya, ini akan meredam gejolak dan emosi para demonstran. Saya rasa, presiden kita masih orang yang sama dengan yang dicitrakan media sebagai orang yang merakyat, tak pilih-pilih bertemu dengan siapa saja, dan rendah hati itu. Lantas mengapa begitu takut, Pak? Mengapa aparat begitu panik, sampai baku-hantam dan kriminalisasi begitu?
Taufik Aulia Rahmat | Presiden BEM Undip 2014
960 notes
·
View notes
Text
Buat Apa Repot Banget Belajar Sekarang? Kayak Mau Nikah Besok Aja~
Hallo, generasi millenials! Apa kabar quarter life crisis? Semoga tidak menggalaukanmu sedemikian rupa, ya! Eh hmm, memangnya apa sih yang sering jadi sumber kegalauan anak muda zaman now? Apa lagi kalau bukan tentang masa depan? Tentu saja! Salah satunya adalah tentang pasangan hidup: siapa orangnya, bagaimana pertemuannya, kapan menikahnya, dan seterusnya. Tanpa disadari, kegalauan tentang masalah yang (di)besar(-besarkan) ini seringkali mengambil energi yang sangaaaaat besar. Padahal,
jauh dari pada kegalauan-kegalauan receh itu, ada lebih banyak hal yang lebih penting untuk digalaukan, seperti misalnya, “Apakah benar sudah siap menikah? Sudah siap menjadi pasangan? Sudah siap diamanahi Allah keturunan? Sudah siap menjadi orangtua?”
Sayang sekali, kebanyakan yang terjadi seolah seperti orang yang belajar berenang setelah langsung tenggelam ke air dan belajar setelah ujiannya memang ada, padahal semuanya akan lebih baik jika persiapan dan belajar dilakukan sebelum ujian. Begitupun dengan pernikahan dan pengasuhan, dimana kelak perempuan akan menjadi madrasah pertama sedangkan para lelaki akan menjadi kepala sekolahnya. Maka, laki-laki dan perempuan sama-sama perlu memahami persiapan pernikahan dan pengasuhan.
Mampu Menikah Bukan Sekadar Tentang Materi dan Finansial
Kepada para pemuda, Rasulullah berpesan untuk menikah jika memang telah mampu menikah. Tahukah kamu? Yang dimaksud dengan mampu dalam konteks ini bukanlah tentang kemampuan untuk bisa membayar kontrakan, cicilan kendaraan, atau biaya walimah besar-besaran. Bukan itu. Tapi, mampu disini juga berarti kesiapan mengasuh karena pernikahan berarti sebuah gerbang dimana nanti akan ada keturunan-keturunan yang dihasilkan.
Sebuah ayat pengingat dari Allah dalam Al-Qur’an pun telah membahas mengenai pentingnya kesiapan mengasuh ini untuk dipersiapkan, yaitu
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” - Q.S An-Nisa : 9
Nah tuh, hendaklah takut kepada Allah kalau meninggalkan keturunan yang lemah. Memangnya, lemah disini konteksnya apa, sih? Apakah tentang harta yang kurang cukup? Apakah tentang fisiknya yang sering sakit? Bukan, lemah disini adalah lemah dalam menghadapi tantangan zamannya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di ayat tersebut kita juga diperintahkan untuk berkata benar, yang ternyata tidak hanya mencakup perkataan, tapi juga perbuatan dan keputusan yang dibuat untuk anak, yang ketiganya haruslah benar. Ini berperan dalam praktik-praktik sederhana. Bagaimana kita bisa mengatakan apa yang benar kepada anak-anak kita sementara kita tidak mengetahui yang benar itu apa?
Mempelajari Ilmu Pra-Nikah Ternyata Belum Tentu Mempelajari Kesiapan Mengasuh
Pernikahan adalah tentang ibadah seumur hidup yang menghabiskan lebih dari setengah usia kita. Pasca menikah, tugas yang paling identik untuk diemban oleh sepasang suami isteri adalah mengasuh anak. Tapi, hal ini seringkali menjadi luput untuk menjadi perhatian anak-anak muda, seolah menikah selesai dengan urusan antarpasangan saja. Ini bukan sekedar asumsi atau cerita, karena data dari statistik pendaftar Parents Prouductive menggambarkan
62% anak muda mempelajari pra nikah, tapi ternyata, jumlah yang belajar dan mempersiapkan pengasuhan jauh lebih sedikit daripada itu, yaitu 21,6% saja.
Kesiapan mengasuh anak-anak muda zaman now ternyata rendah, hal ini didukung juga oleh fakta bahwa pengasuhan ini tidak ada sekolahnya. Tidak ada sekolah menjadi ibu atau ayah, padahal untuk profesi-profesi lain ada sekolahnya, bahkan untuk menjahit pun ada kursusnya. Nah, dengan akses belajar dan akses informasi yang saat ini meluas, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa membenarkan kita untuk menunda-nunda belajar dan mempersiapkan diri.
Belajar bisa dari mana saja, tapi masalahnya, apakah kita mau melakukannya dengan menginvestasikan waktu, tenaga, dan mungkin juga uang kita?
Silahkan ditanyakan kepada masing-masing hati :”)
Memangnya, Apa yang Membuat Kita Perlu Memiliki Kesiapan Mengasuh Sejak Dini? Engga Nanti Aja Kalau Sudah Dekat ke Akad atau Kalau (Istri) Sedang Hamil?
Pertama, karena kita tentu ingin nurut kepada Allah dan menhindarkan diri dari meninggalkan keturunan yang lemah seperti yang telah dibahas dalam Q.S An-Nisa ayat 9 tadi. Berkaitan dengan hal ini, dalam sebuah kesempatan, Ibu Elly Risman pernah menyampaikan,
“Kalau sama Allah aja kamu engga takut, terus kamu mau takut sama siapa?”
Kedua, karena kita kelak akan menga/suh generasi dengan tantangan zaman yang berbeda. Sebagai generasi Y (lahir di rentang tahun antara 1980 – 1994), disadari atau tidak, kita seolah dipaksakan orangtuanya untuk sekolah setinggi-tingginya dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, akibatnya generasi Y dapat unggul secara akademik tapi tidak siap menjadi suami/isteri dan orangtua. Padahal, generasi Y ini mengemban amanah yang sangat besar di transisi generasi karena berada di masa peralihan antara 2 generasi yang sangat berbeda. Amanah apakah itu? Amanah mengasuh digital native, yaitu anak-anak yang sudah terpapar teknologi sejak lahir, bahkan sejak di dalam kandungan.
Persepsi masyarakat dalam mengasuh adalah learning by doing. Bahayanya, hal ini justru dekatnya dengan trial and error. Padahal, pengasuhan tidak bisa diulangi lagi dan akan ada banyak penyesalan yang terjadi setelahnya jika gagal. Kalau begitu, apa yang akan terjadi jika kita sebagai generasi Y ini mengasuh anak tanpa persiapan?
Kemungkinan paling mungkin adalah kita akan mengobservasi cara pengasuhan orangtua kita dulu dan dia menggunakannya lagi untuk mengasuh anak-anak kita, padahal zaman sudah berbeda.
Tidak hanya itu, parenting is all about wiring, bahaya kan kalau ada rantai pengasuhan yang salah yang kemudian kita tularkan lagi pada anak-anak kita?
Ketiga, kesalahan pengasuhan akan berakibat pada kondisi BLAST pada anak-anak, yaitu bored-lonely-afraid/angry-stress-tired, sehingga mereka akan rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat.
Ada sebanyak 87 juta anak Indonesia (yang saat ini berusia 0-19 tahun) yang akan mengisi posisi pemimpin negeri ini di tahun 2045 (di usia emas sebuah negara). Siapakah mereka? Mereka adalah anak-anak kita, yang dilahirkan dari generasi kita. Bayangkan bagaimana jika mereka BLAST? Padahal, generasi yang kelak memimpin negeri ini di 2045 haruslah menjadi generasi yang BEST (Behave-Empathy-Smart-Tough), yaitu yang berbudi pekerti baik, memiliki rasa kasih sayang, punya kecerdasan emosional, cerdas, dan tangguh sejak dari rumah karena di luar banyak sekali tantangan yang dihadapi.
Kalau Begitu, Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?
Pertama, kenali diri sendiri, pahami bahwa setiap orang terlahir unik, berdamailah dengan masa lalu dan terimalah bahwa seluruh kejadian di masa lalu itu adalah bagian dari diri kita, terima kekurangan dan kelebihan, jadilah diri sendiri.
Seseorang yang tidak kenal dirinya sendiri cenderung akan mencari-cari pasangan yang sempurna untuk menutupi kekurangan dirinya. Padahal, seperti yang dikatakan ustadz Salim A Fillah, jangan menikah dengan ekspektasi, tapi menikahlah dengan obsesi, yaitu tidak mencari pasangan yang sempurna tapi kita bertekad kuat untuk menjadikan dan mendidik pasangan kita sempurna di mata Allah. Maka, carilah yang di kepalanya ada ilmu, di hatinya ada takwa, dan di tangan ada kebaikan yang kelak akan kalian lakukan berdua.
Kedua, sadari bahwa kita kelak akan menjadi orangtua. Ketiga, pilihlah calon yang terbaik, karena hak pertama anak adalah dipilihkan ayah/ibu yang terbaik untuk kita (ikhtiar untuk menjadi suami/istri terbaik). Keempat, rumuskan tujuan pengasuhan, yaitu tentang mau jadi apa anak kita, bagaimana akan mengasuhnya, keluarga kita mau jadi apa, pasangan kita mau jadi apa, dan seterusnya.
Ikat Dulu Untamu, Lalu Bertawakkallah
Semua orang terinstall untuk bisa jadi orangtua, memang begitulah fitrahnya. Tapi, jangan kemudian berleha-leha. Ikat untamu dulu, usaha dulu, belajar dulu, bersiap dulu, baru setelahnya tawakkal kepada Allah.
“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zamannya, bukan di zamanmu.” – Ali bin Abi Thalib
_____
Tulisan ini adalah resume materi Parents Prouductive sesi pertama yang diolah kembali agar lebih mudah untuk dicerna. Judul asli materi ini adalah “Menjemput Amanah Baru: Mengasah Asa, Menyemai Generasi” yang disampaikan oleh Ahmad Sa’ad Ibrahim, seorang inisiator NuParents dan edukator Parenting Era Digital.
Sampai bertemu di review-review selanjutnya. Untuk membaca tulisan parenting atau pra-nikah lainnya, klik disini.
791 notes
·
View notes
Text
It's just that...
when I see you take on stuff, and get all messed up... It kinda... hurts me
It hurts so much inside, that I can't just leave it alone, y'know?
Uzumaki Naruto, 2017
0 notes
Text
"Each of you is a leader. And every leader will responsible for what've their lead to.
It is sure a burden for each human, but as long as their faith to Allah still exist, The Greatest's power will guide them to become stronger and stronger to bear the burden."
TND
0 notes
Text
Bahagia itu sederhana. Bersama kawan seperjuangan, atau keluarga. Melepas penat, tertawa bersama. Hanya butuh satu, yakni keyakinan akan hadirnya bahagia.
TND
0 notes
Text
Aku tuh Udah Sabar!
"Hijrah, perlu tekad sekuat baja. Namun istiqomah, perlu kesabaran yang tiada batasnya"
-Taufik Aulia
Sabar.
Sebuah kata yg diucapkan mudah sekali, namun sulit terealisasi. Setidaknya sulit untuk terealisasi maksimal.
Sabar.
Pasalnya, sering kita sudah merasa "sudah sabar". Namun hati ini measih ngedumel dengan segala macam faktor-faktor yang membuat diri tidak nyaman.
Sabar.
Memang untuk sabar, perlu yang namanya keyakinan. Yakin pada akibat-akibat baik yang pasti terjadi saat kesabaran diamalkan.
Sabar.
Memang untuk tetap yakin, perlu yang namanya fokus. Fokus saja pada tujuan. Fokus saja pada akhir, bukan apa yg di depan mata saja.
Sabar.
Memang untuk fokus, perlu yang namanya pengkondisian.
Sebaik-baik kondisi dapat hadir (atau lebih tepatnya dihadirkan) oleh Tuhan.
Sabar.
Maka pada akhirnya, do'a merupakan pangkal dari segala tips. Ibu dari segala trik. Senjata dari sebaik-baik senjata.
Dengan keyakinan sebagai amunisinya.
Sabar.
By the way, sudah berapa kali kamu membaca kata sabar?
Cukup sabarkah kamu membacanya?
Banyak nasehat kesabaran yg tlah kamu baca. Kalo untuk menunggu si dia?
ya.... sabar aja :)
Semarang, 12 Oktober 2017
sedang mencari pelipur lara
di saat sang listrik sedang pergi tuk sementara
-TND
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/4eec6b13947e9a80167947ec0261b766/tumblr_inline_oxpefa8l1n1tz3o72_540.jpg)
3 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/8db6bb1987bbc8c89778d9426224c4ae/tumblr_oxhsd7s8AY1ubakjgo1_540.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/97f271d8b9a369838567d504f58d2c72/tumblr_oxhsd7s8AY1ubakjgo2_540.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/294bb661c81c81264cd0f135f92962e9/tumblr_oxhsd7s8AY1ubakjgo3_540.jpg)
Seringkali hidup memberikan kode secara elegan Kode terkait apa-apa yg kita lewatkan, apa-apa yg terabaikan Hal penting yang dulu kita perjuangkan Namun begitu saja terbuang karena mengejar angan Penahkah muncul, lintasan akan hangatnya dekapan ibunda Atau sejuknya nasihat ayahanda Pernahkah tersibak, kenakalan kita terhadap mereka Bahkan sampai membuat mereka berderai air mata Pernahkah teringat, cita-cita kita tuk bahagiakan mereka Sekalipun hanya dengan ijazah, sebagai pembuktian kemampuan anaknya Sungguh keberkahan hidup terletak padanya Do'a mereka merupakan kendaraan surga yang nyaris sempurna Mari belajar tuk selalu bahagiakan mereka Mari kelak laukan hal serupa, untuk anak-anak kita 😊 Semarang, 08 Oktober 2017 baru saja terbangun dari mimpi tidur siang sarat makna -TND
0 notes
Text
Perempuan Konservatif
Kepada teman lelaki, karena hidup ini prinsip…
Maafkan, bila sampai hari ini tak pernah ku izinkan kamu menyeruput gelas ku. Entah itu kopi, teh, atau susu. Entah itu dengan sedotanmu apalagi sedotan ku. Karena bagiku, air di gelas tidak untuk dinikmati bersama. Terkecuali kita adalah mahram yang yang telah disyariatkan agama. Bila mau, aku lebih baik memberimu gelas yang baru atau memesankan satu lagi untukmu. Dan aku lebih memilih tak meminumnya lagi jika kamu berani seruput itu. Begitupun sendok. Aku takkan mau meminjamkannya demi kamu yang kelaparan sekalipun. Akan ku carikan sendok atau garpu yang baru.
Maafkan, bila sampai hari ini aku tak pernah terima tawaran mu diboncengi pulang, sekalipun kamu bilang lebih aman. Aku lebih memilih berjalan atau naik ojek dari pangkalan, dan bila kamu tetap mau, iringi saja aku bersama teman-teman dari belakang, atau pinjami saja aku kuda mesinnya dan besok ku kembalikan. Meski jauh jarak yang akan ku tempuh, meski siang atau malam.
Maafkan, bila gaya bicara ku lebih sering terdengar kasar, terkesan marah, seolah-olah datar. Bukan karena cuek, bukan karena emosi apalagi dendam yang terpendam, tentu juga bukan karena alasan kesukuan. Agaknya yang mendayu terlalu melihatkan kelemahan. Aku lebih memilih berlindung di balik ketegasan.
Maafkan, bila aku selalu menolak dipinjami jaket atau pakaian sejenisnya. Bukan karena kamu atau aku yang penyakitan dan khawatir tertular, tapi aku masih cukup kuat menahan kedinginan, meredam kepanasan karena lebih terbiasa memakai pakaian berlapis dan tebal. Sementara jaket hanya lah atribut tersier yang tidak begitu aku butuhkan dibanding kamu yang hanya mengenakan sehelai kaos oblongan, sehingga udara dan angin lebih mudah menggerogoti badan
Maafkan, bila aku memilih mengatup dua tangan saat bersalaman. Kecuali kamu adalah orang tua atau renta yang tak ada lagi nafsunya. Bukan karena kotor, tapi rasanya ada yang lebih penting dari sekedar berjabat tangan.
Maafkanlah aku untuk “ketidaknormalan” dan “keasingan” ini. Aku perempuan konservatif yang bersandar pada prinsip bahwa perempuan itu sangat dimuliakan Tuhan. Aku akan menjaga ini sampai waktu memutuskan….
Atas segala kekunoan ini, kita masih berteman, kan?
Alif III, 15 Juni 2015
48 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/8297d9e0aaa5462ef2ae922ca48e9a3c/tumblr_oxdwvzSMBH1ubakjgo1_540.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/f3b9060424fb229439c9b43af09e43ca/tumblr_oxdwvzSMBH1ubakjgo2_540.jpg)
Sejatinya, kecantikan tak dapat diukur berdasarkan fisik semata Fisik dapat berubah seiring waktu bertambah Sehingga, saat cinta dinisbatkan pada fisiknya Patut patut saja kita curiga padanya Cantik, mengarah pada konotasi perilaku dan pemikiran Tak elok dibayangkan seseorang dgn paras cantik namun tingkahnya serabutan Benar benar, #mncrgknskl Namun tak bisa juga kita pertuhankan isi hati, atau isi pikiran Lalu tak perduli rapihnya penampilan dengan alasan itu mah belakangan Semuanya kita usahakan beriringan Hati terpancing berubah oleh penampilan Penampilan terpancing berubah oleh akhlak nan menawan Semarang, 06 Oktober 2017 di sela-sela matahari yg sengatanya menawan -TND
2 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/fa99295813dc289aef15772aacb92ee2/tumblr_oxctf3Mwrj1ubakjgo1_540.jpg)
Ada kalanya kata tak dapat mengungkapkan. Tingkah dan laku akhirnya memperlihatkan. Maka tak selamanya hati menjadi wadah atas ucapan. Apalagi jadi orang yang dikit-dikit baperan. Karenanya kawan-kawan,, Sebuah trust merupakan kepercayaan. Dibangun atas hati, ucap, laku yang bersesuaian. Benar-benar #mncrgknskl Semarang, 05 Oktober 2017 di sela-sela keributan tak bersuara -TND
1 note
·
View note
Text
BUBARKAN SAJA
*WARNING*
Tulisan Berikut akan Terasa (sedikit lebih) SARKAS dibanding postingan-postingan sebelumnya. Sebelum baca, disarankan duduk tenanh dulu, ambil napas panjang, minum kopi atau teh kesukana anda, hirup nyaman, habiskan, cuci kaki & tangan, lalu tidur* (Lohhh ?! wkwk)
[BUBARKAN MENTORING, BUBARKAN KULIAH]
Jikalau ada yg salah dengan mentoring
Jikalau kita merasa didoktrin something strange ketika mentoring
Jikalau politik saja harus memobilisasi cah-cah mentoring
Maka tak tepat kalo salahkan mentoring
Namun lihat dulu kapasitas penerimaan kita
Juga lihat dulu maksud mentornya
Bisa jadi kita yg terlalu sombong, sehingga tidak nampak maksud aseli dari si mentor
Ataupun bisa saja mentor ya yg terlalu menggebu, sehingga salah dalam menempatkan penyampaian
Tapi sekali, bukan kegiatanya yg salah
Apakah engkau mau, wahai bapak/ibu yg diberi amanah di kampus
Jika kita sepakati untuk membubarkan perkuliahan di kelas
Diganti saja semua dengan praktik lapangan
Atau seminar yg pesertanya berjuta-juta
Dengan pembicara yg dianggap sudah terpercaya di kancah nasional
Presiden atau menteri, mislanya
Karena apa?
Karena anda, merasa dosen ini salah dalam memyampaikan teori
Karena anda, merasa dosen itu keliru memperhitungkan hasil perhitungan
Karena anda, merasa dosen anu sedang mendoktrin anda menjadi mahasiswa tak bermoral
Karena dosen anu, adalah kader partai politik tertentu
Haruskah dibubarkan saja kuliah di kampus ini?
Semarang, 03 Oktober 2017
Yang pernah dan masih mentoring,
-ND-
2 notes
·
View notes