Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
👉🏻🙂
Sudah cukup lama beredar sticker Whatsapp :
Semua itu soal mindset.
Lagi-lagi apa? Mindset.
Saking seringnya kata “mindset” digaungkan, mudah bagi kita melupakan makna kata tersebut yang sebenarnya dan apa sih implikasi dari penggunaan kata tersebut.
———
Untuk mengingat makna kata “mindset” dengan mudah, mari bayangkan sesuatu yang sederhana : kotak-kotak besi. Sekarang letakkan bayangan kotak-kotak besi dengan bayangan rumah kita. Apa yang tergambar dalam benak kita?
Jika kotak-kotak besi berada di rumah kita, atau lebih tepatnya di jendela rumah, kita akan menyebutnya sebagai “teralis”. Dan jika kotak-kotak besi ini menjadi pembatas antara rumah kita dan dunia luar, maka sebutannya akan berubah menjadi “pagar”.
Namun, saat kita meletakkan bayangan kotak-kotak besi dengan sesuatu yang tidak nyaman dan tidak kita sukai — mungkin juga bagi beberapa orang, rumah tidak menandakan rasa aman dan nyaman — kita dapat menyebutnya sebagai “penjara”.
Kotak-kotak besi yang sama dalam bayangan kita, saat diletakkan dalam konteks berbeda, akan menghasilkan makna yang berbeda juga.
Konteks inilah yang sering kita sebut dengan mindset.
———
Seorang teman lama pernah bercerita tentang perkataan kurang mengenakkan yang dia terima dari seseorang. Bingung harus memberikan nasehat apa, aku pun menjawab : “mungkin dia asal ngomong aja kok itu, ga dari hati.” Temanku lantas membalas dengan perkataan yang tidak pernah kulupakan :
“Ga mungkin, Tif. Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati.”
Sering kali kita ringan lidah, tapi saat perkataan kita ternyata menyakiti hati orang kita bilang : “maaf, tidak bermaksud.”
Itulah yang kita sebut dengan mindset :
Sesuatu yang tertanam dalam pada alam bawah sadar kita, yang ‘keluar’ secara otomatis dan konsisten, bahkan meski kita tidak bermaksud demikian.
Karena sifatnya otomatis dan konsisten, kita seringkali sulit mengendalikannya. Oleh sebab itu, penting bagi kita membangun mindset yang sehat. Sehingga kita tidak perlu khawatir dengan apa yang secara otomatis dan konsisten ‘keluar’ dari dalam diri kita.
———
Bagaimana menilai kondisi mindset kita? Sadari dan perbaiki respon kita dengan memperbaiki akar-akar pemikiran (atau apa yang ada di kedalaman hati) kita.
Sebagaimana pohon diketahui dari buahnya, apa yang menjadi karakter dan kebiasaan kita [dalam pemikiran, perkataan, dan tindakan] menggambarkan sehat atau tidaknya mindset kita.
Mindset membuat segala respon kita hampir-otomatis. Oleh sebab itu kita harus mengambil waktu tersendiri untuk berusaha menyadari respon kita dan merenungkannya :
- bagaimana respon saya hari ini,
- mengapa saya merespon demikian — apa akar pemikirannya,
- apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki akar pemikiran tersebut agar respon ke depannya menjadi lebih baik.
Merenungkan respon kita bukanlah sebuah tindakan “tinggal di masa lalu dalam penyesalan” yang memang tidak boleh dilakukan. Merenungkan respon adalah tindakan take a step back to move forward better, sehingga memang perlu untuk kita lakukan jika kita mau menjalani hidup kita dengan lebih baik.
Selain itu, merenungkan untuk mencari akar terdalam dari respon kita memang baik, tapi tidak sebaik jika kita mengaplikasikan hasilnya. Semua orang bisa memikirkan perubahan, tapi tidak semua orang benar-benar mau untuk menjalani perubahan. Oleh sebab itu, kita harus mau — berkomitmen — untuk keluar dari zona nyaman, demi menjadi pribadi yang lebih baik.
———
Kesimpulannya, sesuatu yang tidak kita sadari sedang mengendalikan diri kita, yaitu mindset kita sendiri.
Kabar baiknya, kita bisa mengatur mindset kita untuk “meningkatkan kualitasnya. Namun, membiarkannya begitu saja akan otomatis “menghancurkan mutu” hidup kita.
Pilihannya bergantung pada kita. Apakah kita mau memberi waktu dan keluar dari zona nyaman untuk menjadi pribadi yang lebih baik?
Jawaban ya atau tidak, masing-masing akan memberikan hasil akhir yang jauh berseberangan. Jadi ambillah pilihan dengan bijak, dan laksanakan dengan penuh komitmen. Demi masa depan yang lebih baik☺️☺️☺️
0 notes
Text
Setelah hampir dua bulan tidak menulis , aku kembali dengan
#1 BOOK REVIEW😆!
Buku yang dibahas kali ini adalah Host the Holy Ghost. Ditulis oleh Vladimir Savchuk, dan bisa kalian dapatkan di sini. E-book buku ini tersedia secara gratis dan legal tentunya💪🏻😆
Ini merupakan buku rohani pertama yang kubaca di 2024. Juga menjadi buku pertama yang selesai kubaca tahun ini. Karena kurasa insightful dan recommended, jadilah ku gunakan untuk berlatih.
Orang bilang menulis dilatih dengan me-review bacaan.
Di bagian awal sampai pertengahan memang buku ini cenderung ‘mengingatkan’. Berbagai kebenaran di dalamnya kurasa sudah diketahui oleh Kristen lama. Namun, banyak pembelajaran baru memasuki bagian tengah hingga akhirnya.
Salah satu hal yang kusuka adalah buku ini menjawab pertanyaanku. Mungkin juga pertanyaan banyak orang.
Bagaimana cara kita mendengar suara Roh Kudus?
Penulis menjawabnya dengan framework berpikir yang runut. Sehingga, lahir pemahaman yang kokoh dengan pondasi Firman Tuhan.
Jawabannya kutemukan di Chapter 7. Di sana dijabarkan alur untuk hidup dalam tuntunan Roh Kudus. Semua berawal dari lahir baru. Kemudian dilanjutkan dengan mengisi diri dengan berelasi.
“… leading follows filling. After Jesus was filled, He was led. This happens naturally because we will be led by whatever we are filled with.”
Aku jadi sadar, diriku sendiri tidak terisi dengan banyak Firman. Sangat sedikit waktu yang kuluangkan membangun relasi. Aku hanya datang membawa kebutuhan-kebutuhan.
Akhirnya, aku sangat terdorong untuk refleksi diri serta evaluasi. Memperbaiki waktuku dalam “saat teduh” dan membangun sikap hati yang tepat.
“Kita baiknya datang kepada Tuhan dengan tangan kosong”, kata seorang temanku. Saat dia mengatakannya, aku merasa bingung.
Bagaimana dengan semua pertanyaan dan kebutuhanku?
Namun, buku ini memberi contoh relevan : perbandingan Daud dan Saul. Tentunya perbandingan ini didasarkan pada Firman Tuhan, yaitu Kitab Samuel.
Selain itu, banyak perumpamaan, kisah Alkitab, dan kebenaran Firman yang dicantumkan. Itu juga salah satu poin tambah buku ini. Kekayaan penggunaan Firman dan kisah Alkitab.
Di beberapa bagian memang terdapat pengalaman penulis. Namun, jumlahnya tidak lebih banyak dibanding pembahasan Firman. Dan semakin kubaca, semakin banyak kebenaran Firman yang kudapat. Bahkan, cukup banyak ayat yang baru kusadari korelasinya dengan Roh Kudus.
Banyak kisah dan ayat digunakan. Mulai dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Kisah Yesus hingga Paulus. Perubahan Petrus hingga Pentakosta.
Sebuah bagian buku ini membahas kisah Petrus menyembuhkan orang lumpuh. Penulis tidak menggunakannya untuk membahas kuasa Roh Kudus. Tetapi ia menggunakannya di bagian awal. Dimana ia menyamakan orang lumpuh seperti Kristen kebanyakan. Kristen yang memiliki Roh Kudus, tapi tidak berjalan bersama-Nya. A Crippled Christian.
Buku inipun membahas tujuan Roh Kudus bekerja di dalam dan melalui kita.
“Manifestations are not the goal; the message of the gospel to save the lost, which is the mission of the Holy Spirit, is our primary goal!”
Karena dijuluki Forgotten God, seringkali aku lebih menjunjung Roh Kudus. Bahkan kadang sampai mengesampingkan Yesus. Mungkin karena rasa familiar terhadap pembahasan mengenai Kristus. Juga pesan-Nya yang sederhana kadang membuatku skeptis. Namun, buku ini mengingatkanku untuk ga memisahkan Yesus dan Roh Kudus.
“The Holy Spirit’s relationship with you is based on Jesus, period. Not on your hunger, humility, or holiness.”
Sungguh membebaskan! Roh Kudus tidak bekerja berdasarkan keseriusanku atau kemampuanku. Dan buah Roh — buah, bukan buah-buah Roh, artinya satu kesatuan — tidak terbangun dengan usahaku. Satu-satunya yang perlu kubangun dengan serius adalah relasiku. Relasi yang erat dengan Allah.
Kesimpulannya, buku ini membangun perspektif baru terhadap Firman. Dan melaluinya kita diberikan pemahaman, mendasar maupun mendalam, mengenai Roh Kudus. Semua bagian sangat bermanfaat untuk dibaca. Jadi pastikan kalian membaca sampai akhir halaman ya. Sekian review kali ini, semoga bermanfaat. Ciao!🫡
0 notes
Text
AAAAAAAAAIII DIDN’T HAVE TIME TO WRITE AND SUDDENLY COMES AKHIR BULAN😣🫠
Awal tahun ini diawali dengan ku membuat berita (tetapi belum publish-publish heu nnt ya kalo ada hasilnya diupdate lagi😁😁)
Karena belum kepikiran topik menulis, jadi aku masukkin aja ya my-barely-newbie-digital-scrappy semoga bisa menjadi reminder akan memori sepanjang bulan ini😆😆😆
0 notes
Text
SELAMAT MENGAKHIRI 2023!
Senang bisa bersama dengan para pembaca selama 2023, kiranya tetap ada kebersamaan dan kekeluargaan yang harmonis dan positif selama 2024 nanti☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️☺️
Karena momen yg cukup baik untuk melakukan refleksi dan memulai kebiasaan baru, mari memulai 2024 dengan journaling!
Untuk kalian yang masih bingung harus apa kalo mau journaling, prinsip pertama dan terpenting adalah DO!
Siapa yang di sini pernah main The Sims? Dulu aku pun suka banget main The Sims, tapi sayangnya niat bermainku tidak pernah bertahan lama. Ga jarang terjadi saat dimana aku baru aja bikin orangnya, eh tiba-tiba males buat lanjutin. Setelah kupikir-pikir, alasannya simpel : aku si perfeksionis ini mau ‘melahirkan’ kehidupan yang sempurna sampai-sampai aku menghabiskan waktu buat memulai tapi ga melanjutkan. Masih inget banget dulu aku pernah menghabiskan dua jam penuh buat bikin orang ter-perfect sejagat The Sims tapi akhirnya aku muak dan sakit mata gara-gara bikin orang itu jadi aku ga main lagi. Dan waktu ada niat buat main lagi aku malah bikin orang baru😂
Tendensi perfeksionis ini masih aja ada di dalam diriku, termasuk dalam hal journaling. Pernah juga aku menghabiskan waktu hampir satu jam buat cari template journaling yang bagus, sampai-sampai pas udah nemu aku malah kelupaan apa yang mau ditulis🤣 Jadi aku pun masih belajar untuk menjaga kebiasaan journaling ini. Namun dalam hal journaling, ataupun seluruh kebiasaan baik lainnya, kita harus belajar untuk menjadikannya sustainable di dalam hidup kita, ga cuma “panas-panas tai ayam”🙂
Bagaimana?
Langkah pertama dalam DO adalah DO IT SIMPLE. Janganlah seperti oknum birokrasi yang motto-nya “kalo bisa dibikin sulit mengapa harus dipermudah”, karena ini bakal bikin kita males duluan.
Langkah lain dalam DO adalah DO IT WITH JOY. Lakukan journaling dengan “menempelkannya” pada sesuatu yang kita suka. Contoh, karena aku suka banget nulis-nulis tapi ga suka coretan dan berantakan — balik lagi, jiwa perfeksionisku🙂 — jadi aku prefer membuat digital journal, karena aku bisa mengatur warna, ukuran, dan susunan tulisan sesukaku. Buat temen-temen yang suka gambar, journaling ga harus berupa tulisan kok. Baru-baru ini aku baru menemukan sebuah metode Mandala Art — belum ku explore lebih lanjut, tapi merupakan metode menggambar yang katanya bagus juga buat refleksi diri. Bahkan aku pernah mencoba voice note sebagai media journaling, tapi ternyata bukan style-ku hahaha. Jadi intinya, lakukan apa yang kita suka, bukan lakukan apa yang kita suka “bagaimana terlihatnya” di mata orang lain. Kata sebuah novel yang kubaca, setiap pemaksaan adalah bentuk ketidakjujuran.
Nah langkah-langkah lainnya bisa kalian baca di Atomic Habits by James Clear 😁😁😁 Ini bukan pesan sponsor pastinya, dan beberapa tahun lalu waktu aku pertama kali baca bukunya pun aku ga langsung bisa mengaplikasikan semuanya. NAMUN TETAP TENANG JANGAN KHAWATIR! Membangun hidup serta kebiasaan baik itu bicara soal day by day dan tidak instan — bahkan bikin mi instan pun perlu waktu. Semua mimpi kita yang sebesar dunia pun tidak akan ada artinya jika tidak bisa kita daratkan menjadi tindakan sehari-hari☺️
So, start small because small is big and small matters!
0 notes
Text
LIVE YOUR OWN LIFE
Sungguh, awalnya pembuatan laman ini adalah untuk melatih skill menulis, dan sama sekali tidak bermaksud untuk membawa kepercayaanku di dalamnya. Namun, karena hasil perenunganku tentang hal ini sangat liberating bagiku jadi ga ada salahnya lah ya hehehe. I hope this truth liberates you as well.
“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.” - Ibrani 12:1 TB
Sebenarnya ayat ini sangat sering dibagikan, sampai mudah buat kita auto berasumsi “sudah tahu arah pembicaraannya”, but please bear with me guys🙏🏻
Saat ayat ini dibagikan, orang sering berfokus pada kata “beban” di dalamnya. Disampaikan bahwa bukan hanya dosa, ada juga “beban” yang harus kita tanggalkan. “Beban” ini sering dibilang sebagai “sesuatu” yang bahkan sebenarnya baik, bukan sesuatu yang salah, tapi karena kita terlalu fokus padanya, “sesuatu yang baik” ini sadar ga sadar malah menjauhkan kita dari apa yang seharusnya kita lakukan, perlombaan yang diwajibkan bagi kita. JADI, “beban” adalah perlombaan yang tidak diwajibkan bagi kita.
Contoh : FOMO. Sebagaimana akronimnya, fear of missing out adalah petaka dimana ketakutan mendorong kita untuk mengikuti orang-orang (re: gaya hidup atau trend terkini). Ya vape, investasi crypto, hingga cicilan mobil atau kartu kredit. Kalo ga salah, banyak ga sih orang yang menceritakan pengalaman mereka dengan pendahuluan : awalnya sih cuma ikut-ikutan.
Banyak orang, termasuk aku juga, tanpa sadar driven by this fear sehingga berjuang keras memenuhi checklist demi checklist yang berurutan:
◻️kerja di Jakarta
◻️punya pacar
◻️nikah umur 25
◻️punya anak 3
◻️beli rumah umur 30
◻️bisnis
◻️so and so and so
Bahkan aku sendiri ga sadar sama ketakutanku ini sampai aku memasuki usia 25 — yang sekarang hampir 26 — dan gagal mencapai tiga checklist teratas itu. Dan baru saat ini aku sadar : kita tidak diwajibkan untuk mencentang semua hal di atas.
SETUJU BANGET bahwa ga ada yang salah dengan sukses besar di umur 25, malah keren sekali. Tapi bukan berarti gagal atau berhasilnya hidup seseorang ditentukan seberapa banyak terpenuhinya checklist di atas. Lebih daripada memenuhi semua kriteria itu, we need to figure out what we have been called to do and do it passionately.
Mengapa? Karena saat kita hidup sesuai dengan panggilan kita, kita berlomba dalam hal yang memang diwajibkan bagi kita. Tetapi saat jalan hidup kita ditentukan sama ketakutan kita, kita akan melakukan sesuatu yang ga seharusnya kita lakukan.
Albert Einstein bilang : “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”
Belajar buat menemukan apa yang benar-benar kita sukai dan benar-benar bisa kita lakukan, dan usahakanlah dengan baik. Ga ada yang tahu, mungkin karya atau cerita hidup kalian bisa memengaruhi dunia seseorang — untuk kebaikan ya tentunya semoga — dan membuat dia berpikir : oiyaya, memang ada jalan lain di dunia ini, and it’s perfectly fine!
Jadi begitulah kawan-kawan. Apapun pilihan kalian, JANGAN LUPA BAHAGIA!🫶🏻
0 notes
Text
NAFSU
Merupakan sebuah kata yang sulit terucap dari mulut hampir setiap orang karena erat dengan konotasi yang sangat buruk, bahkan cenderung terasa menjijikan —walaupun kita sering menggunakannya bersamaan dengan kata ‘makan’, tapi rasanya hanya itu yang menggambarkan kata ‘nafsu’ dalam konotasi biasa.
Apapun yang didasari nafsu tidak akan menghasilkan buah yang baik.
Hal ini sendiri tergambar dalam pengertian nafsu menurut KBBI : dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik.
Hal yang benar tidak dilahirkan oleh nafsu. Adam dan Hawa makan di dalam nafsu dan berakhir dalam dosa. Bahkan anak-anak yang lahir berdasarkan nafsu, walau dalam ikatan pernikahan, bisa menjadi ‘buah’ yang tidak baik.
Anak bisa jadi dianggap sebagai masalah, sehingga diaborsi, atau dianggap merepotkan, sehingga tidak dihargai.
Itulah sebabnya bahkan pernikahan pun harus dilandaskan komitmen, bukan hanya perasaan. Karena perasaan sering beriringan dengan nafsu.
Sedihnya, atau lucunya, orang seringkali menganggap kata nafsu hanya berkaitan dengan berahi. Padahal, walau berat untuk mengakui fakta ini, nafsu merupakan sahabat ego/gengsi, sesuatu yang melekat erat dalam diri manusia dan akan menjadi akar berbagai masalah jika tidak dibatasi. Dalam aspek apapun. Seksual, emosional, bahkan finansial.
Tindakan yang kita lakukan karena ‘baper’ kepada seseorang juga merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu.
Tindakan yang kita lakukan karena ‘kesal’ kepada seseorang merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu.
Bahkan, keserakahan atau ketamakan pun merupakan salah satu akibat seseorang terburu hawa nafsu.
Kata ini enggan keluar dari mulut setiap kita. Tapi, apakah itu juga tertahan dalam tindakan kita? Rasanya tidak. Itulah mengapa saat ini timbul banyak tindak kriminal dan perpecahan. Sayangnya, orang-orang yang bertindak demikian kebanyakan tidak sadar diri atau bahkan tidak mau mengaku. Saat ketahuan, orang dengan mudah menjawab khilaf. Sungguh mengecewakan dan menyedihkan.
Tentu bukan hanya orang sekitar. Akupun membicarakan diriku sendiri yang kerap kali bertindak dalam nafsu dan emosi belaka, terutama di tengah padatnya lalu lintas salah satu kota termacet ini.
Oleh sebab itu, aku harus membuat monumen pengingat berupa tulisan ini, agar aku ingat untuk mengevaluasi diri dengan objektif dan menanyakan : tindakanku ini atas dasar apa?
Jika kita tidak bisa bersikap objektif terhadap diri sendiri, dengan penuh kerendahan hati kita perlu meminta bantuan orang lain untuk ‘menilai’ kita. Walaupun akan menyakitkan, tentu ini diperlukan demi pertumbuhan karakter kita.
Selain ‘nafsu’, tentu banyak dasar lain dalam hati manusia yang membuahkan kebodohan dan kehancuran. Namun, tetap lebih baik untuk menyadari satu kesalahan dan memperbaikinya, daripada membiarkan diri buta sepenuhnya.
Demikianlah sepercik refleksi diri di akhir bulan yang indah ini. Kiranya bulan depan penuh dengan keindahan dan sukacita buat setiap pembaca☺️👍🏻
0 notes
Text
KONSISTENSI
Alasan terbesarku tidak mengenakan make up hingga saat ini adalah : inkonsistensi.
Segala sesuatu hanya akan memberikan dampak jika dilakukan berulang — konsisten.
Seperti skincare yang hanya akan memberikan hasil terbaik jika digunakan setiap pagi, atau setiap malam, atau setiap pagi dan malam.
Seperti antibiotik yang hanya akan memulihkan kesehatan, sebagaimana kata dokter, saat dikonsumsi setiap waktu yang dijadwalkan, mungkin setiap 8 jam sekali, atau setiap jam 3 sore.
Relasi dapat berjalan minim salah paham jika didasari pengertian dan komunikasi setiap hari. Ngomong-ngomong, bahkan pengertian dan komunikasi setiap hari pun belum menjamin lancarnya sebuah relasi.
Jadi, kembali lagi, itulah alasanku belum menggunakan make up. Aku merasa belum mampu menggunakannya secara rutin dan konsisten. Sayang soalnya kalau make up-nya keburu expired karena jarang dipakai.😅😅😅
Demikian segala hal lain, karakter maupun kebiasaan, hanya akan menghasilkan buah setelah melewati musim bernama konsistensi.
Olahraga yang bermanfaat bagi tubuh harus dilakukan setiap pagi, atau setiap sore, atau minimal setiap minggu. Diet pun baru berhasil menurunkan berat badan setelah dijalankan berturut-turut, tidak banyak cheating day-nya.
Orang dipanggil si ramah karena rajin tersenyum, rajin menyapa, dan rajin mengobrol. Disiplin atau pemalas, jujur atau pembohong, hemat atau boros merupakan karakter yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebiasaan yang bersangkutan.
Jadi, apa pembelajaran yang bisa kita ambil?
Pertama, jangan beli skin care atau make up cuma karena diskon (hehe) kecuali butuh — misalnya mau mencoba apakah akan cocok di kulit kita — atau kebanyakan uang (kalau kebanyakan uang pun jangan deh, sayang kalau sampai expired sebelum habis😅).
Selanjutnya, jangan sampai kita punya ekspektasi yang salah, yaitu mengharapkan keberhasilan besar atas apa yang baru kita mulai. Melakukan sesuatu yang baru bisa berhasil — makanya ada yang namanya beginner’s luck — tapi tidak selalu pasti berhasil. Malah banyak orang bilang bahwa percobaan pertama pasti gagal.
Jadi, jangan mengharapkan travel pack skin care bermerk ternama yang dibeli saat diskon akan otomatis menjadikan kulit bersih setelah beberapa kali pemakaian. Bahkan skin care ternama pun hanya akan berhasil menjaga kulit tetap bersih jika digunakan terus-menerus.
Jangan juga berharap jalan kaki tiga puluh menit setiap bulan bisa menjadikan tubuh kita sehat dan bugar, karena rasanya akan lebih banyak pengaruh yang dihasilkan oleh gula-gula yang kita konsumsi selama sebulan tersebut😅.
Akhir kata, bukan tidak boleh untuk kita membangun sesuatu. Malah sangat harus, terutama kebiasaan baik. Namun, kita harus mampu memilah apa yang benar-benar ingin dan mampu untuk kita bangun. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, pemikiran, dan tenaga kita yang menyebabkan kita tidak akan bisa konsisten dalam segala bidang.
So, choose your life and prioritise wisely to optimise your potential and live effectively!
1 note
·
View note
Text
SUKURIN!
(((sebenernya udah pernah nulis dengan judul semacam ini, tapi ya gapapalah ya buat reminder diri sendiri)))
Kemaren pergi dinas luar ke Surabaya dan di tengah sepuluh jam perjalanan pulang, ada yang bilang : “wah kalo pulang mah kerasa lebih cepet ya”. Setelah dipikir-pikir bener juga. Akhirnya kuputuskan untuk ga kebanyakan tidur seperti waktu pergi dan lebih banyak menikmati pemandangan-pemandangan hijau di sisa perjalanan pulang.
Melihat kampung, gunung, dan sawah-sawah dengan beberapa anak bermain atau bantu-bantu orang tuanya mengangkat barang, dan melihat para bapak ibu petani menggunakan topi anyam sambil mengerjakan padi dan di tengah terik matahari membuatku berpikir : pasti melelahkan sekali bekerja di luar ruangan, dan pantas saja mereka punya kulit secoklat itu. Aku sendiri juga berkulit sawo matang dan tidak putih, tetapi melihat anak yang masih kecil sudah bekerja keras hingga tidak peduli dengan warna kulitnya membuatku sadar bahwa dunia ini sangat luas, dan kehidupanku sendiri masih sangat sempit.
Tidak dipungkiri, kita semua pun menghadapi kerasnya dunia, hanya bentuknya saja yang berbeda. Polusi dan desak-desakan menaiki transportasi publik misalnya. Tapi untukku yang tidak suka bergerah-gerah di bawah panas matahari karena gampang berkeringat, bekerja di dalam ruangan dengan AC yang bisa kuatur sendiri ternyata sebuah hal yang patut disyukuri. Selanjutnya aku jadi memikirkan bahkan hal kecil lain yang bisa kusyukuri, seperti masih bisa dinas luar ke Surabaya dan menikmati Rawon Setan, bisa punya uang untuk beli oleh-oleh, bisa badminton, tennis, jalan sore setiap bulan, dan bahkan masih bisa menikmati kopi manual brew V60 di pagi hari.
Mengingat banyaknya hal yang bisa kusyukuri, aku jadi merasa kasihan melihat bapak ibu petani dan anak kecil yang harus membantu orang tuanya sepulang sekolah. Namun, anak kecil yang membantu mengangkat barang itu bergerak dengan penuh semangat dan wajahnya memperlihatkan senyum sumringah. Begitu juga dengan sekelompok anak-anak yang bermain di kebun.
Pemandangan tersebut membuatku sadar bahwa hidup tidak melulu tentang pencapaian, lebih dari menikmati dan mensyukuri kehidupan kita.
Aku sendiri sering banget disibukkan dengan perkara pundi-pundi. Walaupun bagus memang mempersiapkan diri demi masa depan yang gemilang, tapi kurasa makna masa-depan-gemilang itu bisa jadi berkurang kualitasnya jika dalam proses menuju ke sana kita tidak berjalan dalam sukacita dan menikmati hidup kita.
Jadi, memang sepertinya tidak menyelesaikan masalah apapun jika kita hanya berpikir : “sukurin aja udah sukurin!” Tapi tentunya jika kita punya pemikiran yang tenang dan ga terburu-buru menuju masa depan, kita akan bisa mencari langkah yang lebih efektif dalam mencapai masa depan sambil menjalaninya dengan bahagia dan rasa syukur. Kalo kata sebuah lagu : let’s live for today! ✌🏻😆
0 notes
Text
13 reasons to stay alive
1. You matter
If you've come to this and have met or known me, you're somewhat significant. Everyone I've met is amazing at living their days, beating obstacles, and embracing challenges time after time. Using them to enhance their skills, talents, and character.
Even though you have never met me, I still think you're amazing and can use whatever life throws at you to learn and grow at your own pace.
2. Life sucks
The issue is not you; it's life. It's completely normal if you feel inadequate because you have too many difficulties to wrestle with right now.
Breathe first, don't rush, and don't compare your awful and downspiral chapter to other people's happy and fantastic chapters. I, and you too, in your deepest heart, know you can manage this.
Maybe you can't fix all of your problems with perfect A's, but it's not your failure; it's simply the way of life, which has been too cruel to grant you perfect grades.
3. You've got potential
You may decide what life's challenges will do to you, refine you or define who you are. But I believe the first one is better.
Everyone fails their first time at something, so don't take your failure to heart. Rather, use it to develop some unseen mental muscles so that you'll be better prepared next time. After some practise, you'll realise that yesterday's fight was about refining and improving your talent rather than establishing and defining your identity as who you are now.
…
Actually, I don't think I need to give you numerous reasons to live.
I mean, there are a lot of reasons, like:
There are still a lot of beaches and mountains to discover.
You can still eat a lot of delicious cakes.
You still have a lot of skills you can develop.
But after all, I thought that :
simply seeing you breathe and exist was sufficient for me to figure out that life is worth living.
So, please, stay alive, and tell me the rest of the reasons that enable you to stay, maintaining life and hope altogether.
*All translations are dedicated to quillbot.com🙂🙏🏻
1 note
·
View note
Text
NOT LIKE MY DAD
Ada pepatah yang bilang : orang mungkin lupa sama perkataan kita, but they won’t forget how you make them feel.
I remember that happened once dimana gw, ibu, dan ayah gw sedang membicarakan seorang teman gw yang — jujur lupa obrolannya gimana dan bagaimana bisa sampai ke sana karena jarang banget topik ini terjadi dalam obrolan keluarga — seinget gw, gw bilang kaya : yah tapi dia mah cantik. But my dad replied : ah Fany juga cantik. And I was like : 🙄😅
Now time flies, dan memasuki masa silver-living — jangan tanya, ini cuma jokes bapack-bapack — alias 25 tahun, kusadari bahwa : not everybody has a heart of my dad (and my mom ofc).
Tidak semua orang menerima kita apa adanya.
Let me define what kind of world we��re living in. First, people tend to judge you by your looks. But now I think that’s normal. Gw sudah tidak menyalahkan orang-orang yang menilai buku dari cover-nya, karena gw sadar gw pun cenderung melakukan hal yang sama.
Beberapa bulan yang lalu, gw masih menganut prinsip “menjadi diri apa adanya”, so I didn’t do hairstyling and makeup stuff — walaupun ada yang bilang penampilan kita adalah bentuk penghormatan kita kepada orang yang akan kita temui — karena gw merasa ga menjadi diri gw sendiri.
Tapi gw sampai di satu kesimpulan bahwa kalau kita mencari pasangan hidup yang “setara”, kita ga cuma bicara tentang karakter, prinsip, sifat dan lalala lainnya, tapi ya bicara tentang fisik juga ya ga sih? Hal ini dibuktikan dengan kesetaraan dalam drakor-drakor yang pemainnya mulus semua, walaupun beberapa cameo cuma tampil di beberapa scene.
But here’s the second part. Even though we tend to judge people by their looks, we can't always judge people by their looks. Bahkan gw menyadari di seperempat abad kehidupan ini bahwa benar manusia itu tidak lekat dengan kata ‘selalu’.
Kalo kita orang yang peramah (atau pemarah), berarti kita seringnya menjadi ramah (atau marah), bukan berarti selalu ramah (atau marah). Orang yang bisa dipercaya pun akan ada saatnya jadi mengecewakan.
Kesimpulannya bukan jangan percaya siapapun ya, melainkan jangan menilai seseorang secara permanen (baik positif ataupun negatif) dalam pemikiran kita, apalagi kalau kita jarang ketemu dan hanya mendengar apa kata orang saja. Hal ini juga tentu berlaku dalam segala relasi termasuk dalam sosial media yaa. Banyak orang jahat yang bisa banget pura-pura baik, sebagaimana orang-orang baik ada aja yang ternyata socially awkward saat bersosialisasi.
Kesimpulan selanjutnya adalah jangan menempatkan nilai kita pada apa kata orang, karena bisa jadi orang-orang hanya melihat hubungan masa lalu kita dengan masa kini, padahal kita tentu bisa memutuskan mengubah takdir masa depan kita melalui pilihan-pilihan bijak di masa kini.
Jadi, sampailah kita di akhir postingan ke selusin — yeay! Ternyata aku bisa menjadi seorang blogger — stay tune untuk posting-an selanjutnya ya😆😆😆
Be content with yourself, but stay eager to learn new things!
0 notes
Text
Thoughtfully be …
I just found out that it’s really easy to picture that the world is against you, even on the smallest of matters.
Contohnya perkara chat di group yang ga direspon. Atau tiba-tiba ada kabar batal atas janjian yang sudah diagendakan dari waktu lama. And life was ok, until these two kinda things happened at the same time
“Ah elah, kenapa sih orang-orang ga suportif banget
Maybe that's what you’ve been thinking, because that’s how it was for me.
Namun, setelah mencoba berpikir lebih lanjut, gw jadi sadar bahwa perasaan me-against-the-world ini SEPERTINYA (karena belum pasti) adalah sebuah emotional or cognitive bias. Riset-riset-an gw melalui peramban memperlihatkan bahwa ternyata bias itu ada banyak sekali loh, sebagaimana gambar di bawah yang gw ambil dari beberapa laman.
<lihat gambar dulu kali ah, baru bisa lanjut>
Jadi ternyata, manusia itu memang makhluk yang tidak sempurna ya🤣🥲 Bahkan di buku 80.000 hours by Benjamin Todd dibilang : “we’re bad at predicting what will make us most happy, and we don’t even realize how bad we are.” Kalo kita aja ga tahu apa yang kita inginkan/pikirkan/rasakan dengan pasti, masa iya kita bisa judgementally mengetahui apa yang diinginkan/pikirkan/rasakan sama orang lain?
Mungkin (lagi-lagi) tidak ada kesimpulan atas tulisan gw kali ini, tapi setidaknya gw mau mendorong kita semua untuk belajar semakin menyadari serta memikirkan “hal yang kita pikirkan” dan “alasan kita memikirkannya” sebelum bertindak/membalas dengan kata-kata. Dengan demikian, menurut gw, bisa menjadi lebih intentional dalam langkah-langkah kita selanjutnya, ga cuma bereaksi sesuai keadaan.
Mengapa perlu? Karena gw yakin intentional thinking akan membantu kita melihat keadaan dengan lebih netral, sehingga bisa bereaksi dengan lebih baik saat dihadapkan dengan berbagai situasi/keadaan. Gw rasa sudah cukup sulit buat kita bertahan hidup di dunia yang keras ini, jadi tidak perlu lagi membuat diri semakin menderita dengan pemikiran-pemikiran negatif yang sebenarnya, kalau kita sadari, bisa kita kendalikan.
Begitu sobat-sobat. Semangat terus buat kita menjalani hidup di dunia ini, and please know that I’m rooting for your success!
2 notes
·
View notes
Text
JUST FOR ME
Kapan terakhir kali kamu melakukan sesuatu karena kemauan sendiri — bukan karena disuruh/dipaksa?
Disuruh/dipaksa yang dimaksud di sini bukan cuma tentang keadaan sekitar ataupun pendapat orang-orang sekitar, tapi juga pikiran kita tentang apa yang kira-kira orang lain pikirkan tentang kita loh.
Bagus memang memikirkan apa kata orang, dalam konteks yang benar. Misal kalo mau pergi ke pesta, kan ga mungkin kita pakai baju buat pergi ke pantai, “coba pikir, apa nanti kata orang?”
Sayangnya, kita seringkali ga membuat batasan yang sehat sehingga pemikiran tadi melebar ke konteks-konteks lain kehidupan kita. Coba pikir, kenapa sih kita pengen healing-healing? Apa benar karena kita sedang capek kerja? Atau sebenernya akarnya adalah ngeliat story temen yang kece banget foto di pantai/gunung/Jepang/Korea dan lantas kita membandingkan diri sampai merasa hidup kita ga ada apa-apanya di bandingkan mereka? Atau kenapa coba kita beli iphone walau tau tidak punya uang/uangnya bukan buat ganti hp? Apa bener cuma karena “pengen doang”?
Yuk coba cari dulu akar dari segala sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan sebelum kita bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan tersebut.
Orang cuma taro apa yang bagus dan jadi highlight hari mereka di Instagram, that’s why it’s called highlight, right? Mereka tentu ga posting saat mereka dimarahin atasan atau galau karena ga punya uang/pacar. So don’t compare your mundane moments with anybody else’s highlight moments. That’s not apple to apple. Selain itu, menurutku tidak bijak memang buat kita menggalau dan sibuk melimpahkan kekesalan, kegalauan, dan amarah kita dalam media sosial. Hal tersebut akan menjadi gambaran tentang gimana kita di mata orang lain. Makanya jangan sibuk cari uang/pacar ya, cari temen dan sahabat juga😀😀😀
Melihat apa kata/tindakan orang lain dan membandingkan hidup kita saja sudah sebuah masalah besar, tapi seringkali kita bikin-bikin masalah jadi lebih besar lagi dengan membiarkan apa yang kita pikir akan orang lain pikirkan tentang kita untuk mendikte kita dalam melakukan/tidak melakukan sesuatu alias gengsi. Gengsi lah kalo sarjana tapi kerjaan cuma dapet gaji UMR, gengsi lah gw cuma bawa Avanza, gengsi lah kalo ketemu temen terus pulangnya ga naik grabcar, gengsilah gengsilah gengsilah. Kita harus sadar bahwa gengsi ga membawa kita kemana-mana, and at the end of the day apa yang kita lakuin ga akan diperhatikan gimana banget kok sama orang lain.
Stop comparing and stop doing too much to please others if you’re not going to have as much fun doing it.
Semoga ini bisa menjadikan hari/minggu/bulan ke depan kita lebih bahagia dengan berusaha melakukan sesuatu atas dasar keinginan hati kita sendiri dan bukan hanya karena tuntutan dunia.
May your lives be thrilled, y’all!
4 notes
·
View notes
Text
INSIGNIFICANCE
Kita hidup di dunia yang semakin mementingkan diri sendiri — which is good asal tidak berlebihan, karena kita ga bisa “menuangkan” sesuatu yang tidak berisi. Sayangnya, kalau terbawa ke jalan yang salah, pandangan ini sangat mungkin menjadikan orang semakin rajin show off, in good and even turns-out-to-be-bad ways, tergantung sikap hati indotizen yang mengunggah dan melihatnya.
Mungkin banyak orang berpikir bahwa mementingkan diri berarti memperlihatkan bahwa diri mereka “penting” dalam hal yang mereka lakoni, atau bahasa zaman sekarangnya menjadi “si paling”. Contoh seorang youtuber, ia baru dinilai “sukses” saat viewers-nya beribu-ribu. Atau pemusik yang merasa harus terkenal sampe dapet job dari orang ternama, karena merasa semakin dekat menuju istilah “ternama” tersebut. “Pokoknya kita harus terkenal/kaya raya deh. Baru namanya berhasil.”
Padahal, saat menjadi orang yang signifikan, tanpa sadar kita harus memenuhi standar dan kriteria apa-kata-orang. Kalau begitu, bukannya lebih enak tidak menjadi siapa-siapa? Menjadi seorang influencer, misalnya. Kita ga bisa bergerak bebas karena apapun yang kita lakukan akan langsung dinilai orang, bahkan untuk suatu kesalahan yang baru-sekali-doang-nih-ga-sengaja-pula-padahal-biasanya-engga pun orang akan berpikir “wah dia ternyata begitu orangnya”. Kita melakukan kebaikan apapun, ada aja orang yg berpikir jelek tentang kita. Apalagi kalo seorang influencer melakukan hal yang berbeda dengan kehendak indotizen, pasti langsung kena rujak. Padahal kehendak kan kehendak orang, tapi kenapa jadi kita yang repot?😅
Namun, kalau dipikir-pikir lagi, walaupun kita bukan siapa-siapa pun, pasti akhirnya setiap tindakan yang kita lakukan akan menimbulkan persetujuan dan pertentangan, ya ga sih? Dunia ini kan penuh dengan bermilyar orang yang masing-masingnya bisa jadi punya pola pikir yang berbeda, jadi tentu kita ga bisa menyenangkan semua orang, saat menjadi seorang berpengaruh ataupun saat menjadi bukan siapa-siapa.
Jadi akhinya gw sadari, signifikan atau tidak, semua harus diiringi dengan pemahaman dan penerimaan diri agar setiap tindakan/respon kita terhadap keadaan tidak menjadi pisau belati yang menyakiti diri sendiri. Banyak orang merasa harus kaya/terkenal dulu baru bisa bahagia. Tapi kalo dengan sedikit kita tidak bisa bahagia, apa yakin waktu punya banyak akan bisa bahagia? Manusa dikenal mudah merasa ingin lebih lagi dan tidak pernah puas. Sehingga daripada mementingkan : gimana caranya supaya gw terkenal/dikenal, lebih baik belajar menerima dan menjadi diri sendiri. Be yourself, and be authentic.
Selain itu, banyak orang cenderung menganggap keberhasilan berarti kesempurnaan, yang mengakibatkan orang menjadi defensive saat menerima feedback. Perbedaan pendapat seringkali dianggap sebuah bentuk perlawanan atau penolakan. Padahal, hidup memang tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi dan harapan kita. Dan sebenarnya, kegagalan justru bisa membawa pembelajaran yang membantu kita melangkah menuju keberhasilan, jika diterima dengan sikap yang tepat. James Clear, penulis Atomic Habits, bilang : "The trick to viewing feedback as a gift is to be more worried about having blind spots than hearing about them."
Dunia berpikir bahwa hidup adalah all or nothing, kalo lu ga keren banget berarti lu orang ga berguna. Padahal mau kita orang penting atau kita orang biasa, semua orang pasti memberikan dampak. Tidak selalu masif, memang, tapi bukan berarti tidak berpengaruh. Seperti sebuah peribahasa sunda : cikarak ninggang batu, laun-laun jadi legok. Saat kita belajar menjalani proses, semua yang terasa tidak signifikan ternyata bisa berdampak besar. Jadi, yuk belajar menerima dan menyadari kapasitas diri kita, sambil memaksimalkannya dalam menjalani hari-hari kita.
Jangan lupa rajin-rajin evaluasi diri ya sobat!😆
1 note
·
View note
Text
Ko-minus-kesyen
Alias komunikasi yang minus.
Kita semua tahu dan setuju bahwa komunikasi adalah kunci keberhasilan suatu relasi. Banyak masalah tenggelam atau timbul karena ada atau tidak adanya komunikasi, atau baik-tidaknya komunikasi tersebut.
Namun, kaum introvert kelas kakap tidak perlu khawatir, karena ternyata — berdasarkan kajian non-formal yang kulakukan atas fenomena pergaulan sehari-hari — komunikasi bukanlah satu-satunya jawaban. Kalian yang merasa belum mampu atau mau mengembangkan kapasitas berkomunikasi dapat memilih jalan ninja ini untuk di develop : PENGERTIAN.
Masalahnya, banyak orang yang memilih untuk tidak punya keduanya, termasuk saya — dulu. Tentunya sama seperti saya yang kemarin, banyak orang tidak sadar bahwa mereka memilih untuk bersikap demikian. Mereka menganggap bahwa mereka memang begitu orangnya. Padahal bisa jadi “ah gw kan emang gini orangnya” itu driven by rasa takut dapet respon yang buruk, rasa takut dikhianati, atau simply males dan egois (hard truth, right?).
Jadi, lain kali kita merasa tersinggung sama tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, coba pikir : kenapa kita ga coba tanya langsung aja alasan dia melakukan atau ga melakukan hal tersebut?Apakah karena kita merasa ga enak? Takut? Atau apa?
Kalau setelah memproses pemikiran tersebut kita tetap tidak mendapat jawaban, marilah kita masuk ke pintu selanjutnya, yaitu pintu pengertian. Bisa jadi orang itu ga sadar bahwa hal tersebut menjadi concern kita. Bisa jadi dia melakukan atau tidak melakukan hal tersebut karena dia ga tahu, dan kita hanya berasumsi bahwa dia tahu meski kita ga mengkomunikasikannya. Inget lagi seperti yang tadi dibilang, kalau kita ga mau belajar komunikasi, maka kita harus mau belajar mengerti.
Seperti lagu Berisik punya Dere, “kutulis ini bukan karena aku merasa paling benar” tetapi sebagai evaluasi diri dan reminder di masa depan, yang semoga juga bisa turut mengingatkan para pembaca sekalian.
Selamat akhir bulan dan semoga bulan depan bisa dipenuhi kebahagiaan, ciao!🤗
3 notes
·
View notes
Text
BUDAYA
Peringatan : Artikel tidak berisi solusi, hanya sambatan belaka.
Saat ini topik perbedaan sifat dan karakter antar generasi sudah jadi pembahasan umum, apalagi kalo bicara soal organisasi. Semua generasi dikenal punya ciri khas masing-masing, sehingga cara terbaik untuk menggerakkan generasi yang satu belum tentu dapat digunakan untuk generasi yang lain.
Satu contoh yang gw rasa relateable adalah urusan pola asuh, dimana dulu gw (millenial) merasa sering banget dimarahin, dan gw hanya bisa membiarkan telinga gw panas. Eh tiba-tiba sekarang adik gw (gen Z) malah berani ngejawab kalau kena marah, padahal menurut kita-kita dia emang salah Щ(ºДºщ)!!!
Dulu, takut-kena-marah hampir selalu jadi motivasi gw melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tapi sekarang lazim banget orang bilang : anak sekarang ga bisa dimarahin bunda, ngomongnya harus pelan-pelan🙏🏻 *Sungguh sulit menjadi penggiat ilmu parenting~*
Tapi berdasarkan penelitian tidak ilmiah yang gw lakukan, ada satu kesamaan yang dimiliki seluruh generasi (dengan syarat tinggal di Indonesia) yaitu ga enakan. Memang ada baiknya merasa ga enakan dan jaga perasaan. Tapi segala sesuatu yang berlebih tentu tidak baik. Termasuk masalah ga enakan ini yang menurut gw terlalu berlebihan sampai taraf tidak sehat.
Contohnya, ada yang ga mau ngomong masalah kerjaan temennya yang kureng karena nanti suasana jadi ga enak.
Atau penegur yang ga berani negur langsung jadi topik permasalahan harus muter-muter dulu sebelum masuk telinga yang ditegur.
Atau ada juga orang yang ga berani nolak kerjaan kurang penting walaupun kerjaannya sendiri amat menumpuk.
Gw ga tau apakah hal-hal di atas terjadi karena
budaya ga enakan yang overdosis di negeri ini, atau
orang-orang kurang berani, atau
orang-orang kurang profesional dan kurang memahami konsep menegur dengan baik dan benar, atau
orang-orang terlalu baperan???
Tapi gw sadar gw tidak bisa menyalahkan mereka karena mungkin kalo gw di posisi mereka gw akan melakukan hal yang sama. GW CUMA KESEL.
Di sisi lain gw pengen banget bisa bangun budaya baru dimana orang-orang berani menindaklanjuti yang salah dan tetap dekat dan bersahabat setelahnya, tapi…… setelah gw pikir-pikir,
sulit juga bangun budaya baru sendiri — kalo negur, gw bisa-bisa dianggap kurang ajar terus dikirim ke pulau seberang (huhu)
gw juga ga yakin apakah yang gw pikir benar itu benar-benar benar (nah loh, semoga paham).
Jadi, seperti peringatan di awal, tulisan ini hanyalah prasasti isi pikiran gw — dan bukan untuk disalahgunakan. Semoga di masa depan nanti pemikiran dan kedewasaan gw semakin bertumbuh, dan gw bisa tahu serta melakukan apa yang menjadi jawaban atas kebingungan dan kekesalan gw ini.
Dahlah, sekian dan terima gaji (besok) (asikk).
Ciao~
0 notes
Text
Promise me you'll think of us as a time in your life you enjoyed.
90 notes
·
View notes
Text
THE KNIFE
Suatu hari ku lagi berenang bareng sama keluarga di kolam sebuah hotel. Mulai nyebur dari pinggir nih, terus lanjut mau berenang ke tengah. Tiba-tiba si mama bilang : “eh awas itu ke sana makin dalem”. Karena ku bukan perenang ulung dan ga bisa ambil nafas panjang alias harus sering napak, otomatis jadi panik sendiri donggg, dan ku langsung heboh cari pegangan di pinggir kolam.
Ternyata kedalaman kolamnya tuh sama semua woy!Lucunya ku ga sadar sampai ada orang yang bilang, baru deh abis itu ku pikir ulang : “kayanya iya sih, tadi pas awal masuk juga segini.”
Jujur pasti aneh sih menurut pemikiran kalian, tapi percayalah ini benar terjadi.
Dari situ ku jadi sadar bahwa ternyata perkataan itu sangat berpengaruh, lebih daripada yang kita kira. Banyak anak merasa worthless karena tiap hari denger perkataan buruk dari orang tuanya. Dan seberapa sering kita posting/tidak posting sesuatu karena ingin/takut akan respon orang lain. Bahkan bullying juga berawal hanya dari kata-kata ejekan. Masalahnya, kalo orang lain sudah sakit hati, kita malah sering bilang : “baperan lu.” Hmmmmm???
Banyak yang bilang anak zaman sekarang terlalu gampang baper, dikit-dikit stress, dikit-dikit depresi. Tapi menurutku semua generasi tuh sama-sama punya emosi, yang mungkin membuat perbedaan adalah generasi sekarang lebih gampang bertindak berdasarkan emosi. Tentu hal itu ga selalu baik, tapi bukan berarti kita bisa menggampangkan emosi orang lain terus ngomong seenak jidat, lalu saat dia bertindak salah, kita bilang : “apaan sih? Gitu aja baper. Gitu aja emosi.”
If someone does something wrong because of our words, sometimes we need to realize that we played a part in his/her fault!
Sometimes ya, kadang bisa aja orang itu yang terlalu “mentalitas korban”, tapi itukan urusan dia dan hidupnya ya, di sini yang penting kita belajar jaga perkataan supaya ga berdampak buruk bagi orang lain.
Di sisi lain, bukan berarti kita ga boleh marah ya. Tentu ada saat-saat dimana kita memang harus “memukul punggung seseorang” dengan perkataan kita supaya orang ga menyimpang ke jalan yang salah. Tapi tentu semua perkataan harus melihat konteks dan keadaan penerimanya. Gimana caranya tahu kapan harus marah dan kapan harus lemah lembut? Jujur aku juga masih struggle buat memahaminya dan memang hidup tidak ada rumusnya🙂
Walaupun tidak ada rumusan waktu yang pasti, tapi kalo kita mulai belajar berpikir sebelum berkata-kata, dan belajar tidak emosi atau bertindak berdasar emosi belaka, kita pasti pada akhirnya bisa menumbuhkan kebijaksaan untuk menentukan perkataan terbaik di waktu terbaik.
Selain itu, kuharap ini bisa jadi reminder juga buat orang-orang yang sakit hati karena perkataan yang mereka dengar : percayalah, sebagian besar orang berkata-kata berdasarkan emosi semata. Jadi jangan mendasarkan pemikiran dan perasaan kamu pada apa yang sementara🥰
Selamat memasuki tahun baru dan jangan lupa untuk memulai kebiasaan baru, yaitu bijak dalam berkata-kata. Happy new year!🥳
1 note
·
View note