Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Lagi suka dengan kalimat ini:
Setiap orang memiliki dosanya masing-masing.
Mungkin dosa kamu bukan mabuk-mabukan, bukan berzina, bukan meninggalkan shalat, bukan korupsi, bukan berdusta, bukan menipu.
Tapi sesimpel merasa dirimu lebih baik dari mereka.
"Merasa dirimu lebih baik dari mereka", dosa yang simpel, tapi sebenarnya fatal. Karena bisa saja dengan satu istighfar mereka di sepertiga malam, maka Allah hapus semua dosa mereka. Tapi dengan sedikit saja kita merasa lebih baik dari mereka, maka Allah hapus semua pahala amal kita.
Karena Allah yang berkuasa menghapus semua dosa hamba-Nya ketika mereka bertaubat, juga berkuasa menghapus semua amal hamba-Nya ketika mereka menyombongkan diri.
See? Betapa sering kita tertipu dengan ujian ini?
Ternyata jembatan shirath memang sesempit itu. Mungkin ini kenapa shalat diakhiri dengan salam ke kanan, dan salam ke kiri.
Karena tujuan kehidupan bukan hanya tentang kanan atau kiri, bukan hanya tentang benar atau salah, bukan hanya tentang baik atau buruk. Tapi tentang salam.
Keselamatan saat kita berada di golongan kanan, juga keselamatan saat kita tak sadar masuk golongan kiri. Keselamatan saat kita berada di atas kebenaran, juga keselamatan saat kita terjerumus dalam kesalahan. Keselamatan saat kita melakukan kebaikan, juga keselamatan saat kita tak sengaja melakukan keburukan.
114 notes
·
View notes
Text
Heal Yourself: Tumbuh dari Luka
“Jika kamu menelusuri perjalanan dan pengalaman hidupmu sampai dengan hari ini, luka apa yang paling berperan untuk menumbuhkanmu hingga menjadi seperti sekarang ini?”
Saat bertemu dengan sosok-sosok yang inspiratif, saya selalu bertanya-tanya tentang pengalaman dan perjalanan hidup seperti apa yang menumbuhkannya sedemikian rupa hingga ia bisa menjadi dirinya yang seperti sekarang ini. Sebab, bagi saya, pasti selalu ada perjalanan hidup yang luar biasa di balik orang-orang yang istimewa.
Mereka yang sukses dengan karya-karyanya, mencapai mimpi-mimpi terbaiknya, dan tumbuh menjadi orang besar, rasanya tidak mungkin terlahir dari pengalaman dan perjalanan hidup yang biasa-biasa saja, bukan? Begitu pula dengan mereka yang punya pemikiran-pemikiran yang bijaksana, yang cerdas dalam bersabar, yang kuat kebergantungannya kepada Allah, dan yang punya value hidup yang tidak tergoyahkan, pastinya mereka pernah melewati perjalanan panjang yang berisi tempaan, benturan, atau segala jenis kondisi lainnya yang tidak menyenangkan. Bagaimana denganmu? Pengalaman hidup seperti apa yang menumbuhkanmu hingga menjadi seperti saat ini?
Tidak sekali, saya pun beberapa kali pernah mendapatkan pertanyaan serupa dari orang lain. Seperti suatu hari, ketika saya sedang berkenalan dengan suatu lingkaran pertemanan baru. Saya tentu tidak banyak menceritakan tentang diri saya, tapi, beberapa teman menangkap profil saya di media sosial hingga, enatah mengapa, mereka pun bertanya tentang apa yang membentuk diri saya hingga menjadi diri yang seperti sekarang ini. Menariknya, diantara pertanyaan-pertanyaan yang saya terima, ada satu pertanyaan yang membuat saya justru terinspirasi untuk menelusuri kembali perjalanan-perjalanan diri, katanya, “Apakah jiwamu pernah terluka? Luka apa yang kemudian membentukmu menjadi seperti sekarang ini?” Pertanyaan itu kemudian membuat saya tersenyum, teringat betapa baiknya Allah sebab Dia menumbuhkan diri saya sedemikian rupa lewat berbagai hal yang semula saya kira petaka sebab saya merasa terluka karenanya.
Luka, ternyata satu kata itu punya makna yang sangat berdinamika. Kehadirannya tentu tidak pernah diharapkan ada oleh siapapun. Bahkan, jika bisa, kita cenderung untuk selalu menghindari luka dan rasa sakit untuk kemudian mendekati kenyamanan dan kebahagiaan, bukan?
Begitulah, kehadiran luka memang lebih sering dihindari, tapi justru diam-diam ia berperan penting untuk menampa diri.
Saat jiwa kita terluka, seperti apa bentuknya? Tidak seperti luka pada fisik yang bisa kita lihat dengan jelas, luka-luka di jiwa kita adalah sesuatu yang tak kasat mata. Perih tapi tak berdarah, pedih tapi tak memerah. Lantas, dari mana luka itu datang? Ada banyak pintu-pintu tak terduga yang bisa membuat luka masuk dan menyapa kita, lalu mendiami sudut-sudut ruang yang ada di dalam hati kita. Betapa tidak, sebab nyatanya kita bisa terluka karena diri kita sendiri, karena orang lain, atau bahkan karena sebab-sebab lain yang tidak pernah kita kira sebelumnya. Tidak hanya itu, konon apa-apa yang kita cinta bisa membawa luka, pun yang membawa luka bisa menumbuhkan cinta. Ah, tak tertebak!
Jika kita mengingat-ingat kembali, diantara luka dan bahagia, manakah yang sebenarnya lebih banyak menumbuhkan diri kita? Manakah diantara keduanya yang pada akhirnya menerbangkan syukur kita dengan lebih tinggi? Setiap kita tentu saja punya jawaban yang beragam, tapi sebagian besar tentu akan sepakat bahwa lukalah yang punya peran lebih besar untuk menumbuhkan diri kita, hingga pada akhirnya kita pun melihat sisi baik yang kemudian bisa kita syukuri. Bukankah demikian? Sebab,
Sejak kedatangannya, luka menawarkan kesempatan belajar yang sangat banyak kepada kita: tentang penerimaan, kerelaan menjalani ketetapan, berdamai dengan segala yang tidak menyenangkan, hingga mengeja peristiwa demi peristiwa agar terpetiklah sekeping hikmah yang tak terbantahkan.
Ada sebuah pandangan umum dalam kehidupan manusia yang mengatakan bahwa jika kita dapat melewati suatu luka, maka kita akan mempelajari sesuatu dari luka tersebut. Tapi, apakah luka bisa begitu saja menumbuhkan kita seperti kalimat “what doesn’t kill you makes you stronger” yang kita dengar dalam lagu lagu atau nasehat orang bijak? Tentu saja tidak!
Dari luka menjadi makna, dari terpuruk menjadi bangkit lalu berdaya, semua tentu tidak terjadi begitu saja, pun tidak secepat jentikkan jari para pesulap di panggung-panggung pertunjukkan. Ada proses, pemaknaan, perjalanan, dan upaya yang sayangnya tidak semua orang mau menjalaninya. Maka, tak heran jika pada akhirnya ada dua kelompok manusia pasca terluka, yaitu mereka yang tumbuh dari luka dan mereka yang terus membiarkan luka menggerogoti diri dan hidupnya, membiarkan dirinya jadi tak berdaya. Kira-kira, di kelompok manakah kita berada?
Memang, tidak pernah ada janji kemudahan yang ditawarkan oleh luka agar kita dapat bertumbuh karenanya. Tetapi, selalu ada ranah upaya bagi kita agar kita dapat memaknai luka dengan lebih bijaksana. Pemaknaan yang baik dan bijaksana itulah yang kita butuhkan untuk dapat bertumbuh pasca terluka.
Tidak ada satu manusia pun yang tidak pernah terluka. Setiap kita pasti punya luka. Bahkan, boleh jadi luka yang kita punya itu saat ini masih berdarah dan memerah tanpa kita tahu bagaimana harus mengobatinya. Kabar baiknya, kesempatan bertumbuh pasca terluka itu selalu tersedia.
Melalui tulisan-tulisan pada serial “Heal Yourself: Tumbuh dari Luka” ini, bagaimana jika kita berproses dan berupaya bersama-sama? Semoga pada akhirnya kita bisa memaknai luka sebagai pesan cinta paling bijaksana dari-Nya, yang selalu ingin menumbuhkan kita dengan cara-Nya yang tak pernah bisa kita duga.
___
Sumber inspirasi:
Rendon, J. (2016). Upside, The New Science of Post-Traumatic Growth. Touchstone.
202 notes
·
View notes
Text
Gemuruh
Kadang yang membunuh kita itu bukan orang lain melainkan diri sendiri semisal berpikir terlalu berlebihan setelah berbincang dengan teman, padahal teman kita saja orangnya santai dan menganggap pembicaraan sebelumnya tidak berarti apa-apa atau berpikir berlebihan tentang hal-hal yang belum terjadi. Kita banyak langsung mengasumsikan seolah ketakutan kita pasti terjadi, padahal belum tentu. Satu lagi kita juga kadang menganggap diri kita tak layak mendapatkan sesuatu yang baik hanya karena merasa kita tidak pantas.
Mengapa kita demikian? Seolah apa-apa yang akan terjadi kepada kita adalah hal-hal yang tak baik. Pada akhirnya kita gak jalan, gak berkembang. Dan buruknya yang membuat kita diam di tempat adalah diri kita sendiri bukan orang lain.
Bisakah mulai dari sekarang kita percaya dengan diri sendiri? Percaya bahwa hal-hal baik selalu ada untuk kita, bahwa setiap manusia punya keberuntungan masing-masing yang Allaah kasih, bahwa kita layak menjalani hari sebagai manusia yang positif.
Jangan membunuh diri dengan pikiran dan asumsi yang membuat mata buta dari melihat yang baik-baik. Tak ada untungnya. Kalau overthinking membuat kita semakin melemah dan rendah diri, lebih baik redam itu dalam-dalam sampai tak terlihat lagi wujudnya. Tidak mau kan hidup selamanya dalam gemuruh yang tak berkesudahan? Kepala kita berhak diisi oleh yang baik-baik.
@terusberanjak
87 notes
·
View notes
Text
Tahun 2024 bagiku tahun spesial penuh dengan kesan juga pempelajaran. Biasanya setiap tahun aku lalui seperti biasa, ada kesan tapi tak spesial.
Awal tahun diriku memutuskan untuk mendaftar beasiswa S2 dengan kondisiku di perkebunan kelapa sawit dan seotang perempuan membuat akses ke kotaku terbatas.
Cerita ini dimulai dengan mendaftar kampus tujuan, lolos dan memperoleh LoA sebagai salah satu syarat untuk mendaftar beasiswa. Selanjutnya, mempersiapkan berkas administirasi seperti essay, rencana studi, surat rekomendasi dosen, surat keterangan sehat, bebas narkoba dan lain-lain.
Sampailah saat pengumuman seleksi administrasi, aku dinyatakan tidak lolos. Panitia membuka masa sanggah, alhamduillah kesempatan kedua aku lolos.
Setelah dinyatakan lolos administrasi, aku mempersiapkan diri untuk tes wawancara. Mengikuti mock up-mock up gratis setiap malam dan ikut les mock up dari sebuah lembaga yang rekomen.
Sampailah pada saat pengumuman, aku dinyatakan tidak lolos. Huaa sedih tentu. Ternyata teman seperjuanganku buanyaaak bangeeet yang tidaak lolos, kuota dipangkas banyaak. Aku tidaak tauu apa penyebabnya, ganti rezim kah, anggarannya dialokasikan ke pos-pos lain atau ada mafia beasiswa? Hm entahlah.
Ikhtiar untuk mewujudkan impianku lanjut S2 dengan beasiswa tidak mudah dan tidak gratis perlu budget yang harus dipersiapkan terlebih aku yang tinggal di pedalaman.
Bersamaan dengan pengumuman beasiswa, aku sakit tepatnya di awal bulan Oktober. Kali pertama selama aku bekerja aku izin tidak masuk kerja karena sakit. Sakit yang buat aku kesakitan saat berjalan, sholat harus dengan duduk kaki selonjoran dam ruang gerakku terbatas. Mengkonsumsi obat dari dokter yang berbeda-beda. Terjadi selama 2 bulan. Mendengar kabar sakitku dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, keluarga dan aku sepakat akhir tahun 2024 memutuskan untuk resign kembali ke Jawa.
Alhamdulillah menjelang beberapa hari kepulanganku ke Jawa keadaanku jaauh lebih sehaat & bisa bergerak seperti biasa.
Dalam setiap keputusan selalu ada hal yang dikorbankan dan risiko yang harus siap dihadapi. Bismillah 2025 semoga selalu dalam penjagaan Allah, dijauhkan dari hal-hal buruk. Aamiin
0 notes
Text
dipertanyakan
memohon kepada Allaah bimbingan dan kemantapan hati terhadap segala keputusan yang telah kita pilih (bagi diri sendiri) itu perlu. sebab akan selalu ada orang-orang yang tidak sepenuh hatinya menghargai pilihan kita. mereka hanya baru bisa "menghargai" setelah "mempertanyakan" pilihan yang sudah jelas-jelas kita putuskan. pertanyaan yang tidak diminta; sekadar memberi makan ego untuk menyudutkan. bagi mereka, pilihan kita itu adalah pilihan yang keliru padahal telah melalui serangkaian jatuh bangun yang tidak mereka tahu.
"kenapa gak ...... aja?" "kenapa gak coba ...... dulu?" "kenapa gak gitu dan gini?"
dan masih banyak bentuk kenapa lainnya. memaksakan persepsi hidup yang mereka yakini terhadap hidup yang tidak mereka jalani.
semoga Allaah senantiasa meneguhkan hati dan menguatkan langkah kita menuju apa yang kita pilih dan dipilihkan-Nya.
©colorious | 25.1.16
20 notes
·
View notes
Text
Iman kepada Takdir
Kamu lagi resah nggak sama masa depanmu sendiri? Bingung sebenarnya nanti akan seperti apa, sehingga sekarang hati dan pikiran diliputi sama kekhawatiran dan ketakutan akan hari esok. Apakah akan menikah dengan psangan yang baik? Atau bahkan, apakah akan menikah? Apakah nanti bisa punya rezeki buat beli rumah, bayar anak sekolah? Nanti kerja jadi apa, sesuai passion apa enggak? Dan semua pertanyaan yang muncul secara sekilas di kepala.
Dewasa ini semakin sadar, karena beriman kepada Takdir Allah itu ternyata nggak mudah sama sekali. Dulu waktu kecil, aku bertanya-tanya kenapa harus ada iman kepada takdir?
Kini setelah dewasa dengan segala shick-shack-shock nya baru tersadar dan tertampar. Hidup ini ternyata memang rumus dasarnya adalah uncertainty kecuali beberapa hal yang udah dijamin sama Allah. Dan kita sebagai manusia selalu ingin bisa mengendalikan sesuatu, bahkan kalau bisa mengendalikan masa depan sendiri. Sayangnya tidak.
Untuk bisa memahami dan meresapi dengan bersungguh-sungguh bahwa ini adalah takdir yang terbaik juga tidak mudah. Sama sekali bukan hal yang mudah. Kita menjalaninya tertatih-tatih, menangis dalam sunyi, susah tidur, susah makan. Bagaimana caranya melihat itu sebagai takdir terbaik? Jawabannya cuma satu, iman. Lihatlah dengan keimanan.
377 notes
·
View notes
Text
Romantisasi Luka
Bacaan ini menggunakan perspektif muslim dan value dalam agama. Luka yang pernah kita miliki di masa lalu, karena keluarga, karena kejadian-kejadian tertentu, karena pengalaman buruk, biarlah ia berlalu. Kita hanya perlu menerimanya dengan hati yang lapang bahwa itu memang bagian dari diri kita. Tidak perlu kita bawa terus menerus ke hari ini. Kita bawa agar orang merasa kasihan dengan diri kita, kita bawa untuk membenarkan semua pandangan-pandangan hidup kita, kita bawa untuk menjadi pembenaran dari hal-hal yang sebenarnya tidak patut kita lakukan saat ini.
"Kayak kamu tahu aja jadi aku!" "Kamu kan gak menjalani apa yang aku jalani, jangan sok tahu!" Melupakan bahwa kita bertumbuh, bahwa kita berada dalam sebuah koridor-koridor keimanan sebagai seorang muslim. Sehingga, tidak semua pemikiran yang menurut kita benar itu juga benar dan boleh dalam perspektif kita sebagai seorang muslim.
Semua luka dan trauma menjadi pembenaran untuk semua pandangan yang kemudian kita ajukan kepada orang lain untuk juga sepakat bahwa tidak apa-apa demikian, padahal kata islam tidak demikian. Dan itu sering sekali kutemukan, bertebaran di media sosial.
Toleransi kita terhadap pemikiran yang keluar dari islam jadi semakin besar, karena menganggap itu adalah buah dari pengalaman. Lupa bahwa dalam menjadi seorang muslim, mau seluruh manusia di dunia ini mengatakan bahwa daging babi adalah halal tapi jika menurut Allah haram, maka semua pendapat manusia itu tidak penting. Pun demikian dengan pemikiran kita sendiri, saat kita menganggap itu tidak apa-apa dan boleh saja, pemikiran kita tidak berarti sama sekali kalau Allah mengatakan itu tidak boleh dan tidak sesuai.
Luka-luka yang kita miliki, jangan sampai membuat kita mengagungkan cara berpikir kita sendiri, mengagungkan pemikiran kita yang seolah-olah sangat modern dan terbuka. Sampai berpikir bahwa semua orang harus memiliki pemikiran itu agar hidup mereka bahagia.
Lupa bahwa kita berjalan di atas pijakan seorang muslim, yang menyatakan bahwa kita harus berpikir sekaligus bertakwa. Tidak hanya menjalani kehidupan beragama hanya dengan perasaan saja. Luka-luka yang telah menjadi trauma yang mendalam, jangan sampai membuat kita kehilangan iman dan islam. Anugrah yang sebesar itu, kini kita merasakan seperti menggenggam bara api. Meski demikian, jangan dilepaskan. (c)kurniawangunadi
220 notes
·
View notes
Text
Pintu yang Ditutup
Beberapa hari lalu, merasa sangat beruntung karena bisa mendapatkan perspektif ini saat ngobrol dengan salah seorang guru kami.
Tak akan ada seorang manusiapun yang pernah bisa mengambil rezeki kita. Mau bagaimapun caranya. Meski ia menutup semua pintu yang kita miliki, rezeki itu akan tetap datang dengan jalan yang lain.
Kalau saat ini, kita melekatkan rezeki pada pekerjaan, pada hal-hal yang sedang kita lakukan. Semua itu bisa tiba-tiba hilang entah karena bencana alam, karena kemalingan, karena kecelakaan, karena di PHK, dsb. Mungkin kita akan jatuh, keyakinan kita ikut jatuh. Pikiran kita kalut, berujung depresi. Berujung ketakutan untuk mengambil keputusan-keputusan besar yang baik. Dan berbagai macam hal yang tak mampu kita lakukan karena takut rezeki yang telah kita genggam, hilang.
Ketakutan yang membuat hidup terasa semakin sempit, menilai diri begitu kecil, hingga tidak lagi memberi arti-arti besar pada mimpi-mimpi sewaktu kecil. Tak mampu lepas dari keterpurukan yang berlarut-larut. Karena takut, hilang rezeki.
Jangan takut.
Mau dunia sebentar lagi berakhir. Jika ada sesuatu yang memang jadi rezekimu, ia akan datang menghampirimu. Selama kita memiliki iman dan islam, maka itu sudah lebih dari cukup.
Cukuplah untuk terus berpikir baik pada diri kita sendiri dan Sang Pencipta. Karena Ia yang mampu menciptakan alam semesta ini, apa yang kita mintakan di dunia ini tidak sulit sama sekali bagiNya. <3
304 notes
·
View notes
Text
Hanya melalui pertentangan terhadap gagasan-gagasan kita dapat belajar bersikap kritis terhadap diri sendiri, berupaya mencapai kerendahhatian intelektual.
— Tariq Ramadhan
91 notes
·
View notes
Text
Apakah Aku Harus Hidup dengan Caranya Agar Juga Berhasil?
Mendewasa, membuat kita mungkin terpapar dengan bagaimana cara orang lain menjalani kehidupannya. Ada yang begitu tenang, ada yang begitu cepat, ada yang mengejar dunia, ada yang mengejar akhirat, ada yang bekerja terus menerus, ada yang memilih keluarga sebagai prioritas utama, dan berbagai macam cara menjalani hidup.
Lalu kita melihat bagaimana diri kita sendiri menjalani hidup. Mulai berpikir, "Apakah aku harus seperti mereka juga untuk bisa berhasil? Apakah aku harus menggunakan cara hidup yang sama agar bisa mencapai semua mimpi-mimpiku? Apakah benar jalan untuk ke mimpiku adalah jalan yang sama dengan milik orang lain?"
Meski kita kadang lupa bahwa latar belakang setiap kita itu sangat berbeda. Ada yang lahir dari keluarga bahagia yang tanpa trauma, tapi ada yang sebaliknya hingga hidupnya dipenuhi rasa tak percaya kepada orang lain. Ada yang hidup dengan berkecukupan, ada yang dulunya kekurangan. Ada yang memiliki keluarga kecil yang hangat bersama pasangan, ada yang setiap hari isinya pertengkaran. Ada yang keluarganya sangat mendukung mimpi-mimpinya, ada yang keluarganya memiliki mimpi yang berbeda dengannya. Ada yang harus jadi tulang punggung keluarga, ada yang tidak memiliki tanggungan apapun di hidupnya. Ada yang bisa sekolah dengan mudah, ada yang harus berhenti sekolah karena tidak adanya biaya.
Sebeda itu latar belakang yang kita miliki tapi kenapa kita terus menerus berpikir bahwa jalan kita harus sama. Apalagi menjejalkan kepada orang lain agar bisa seperti dirinya, harus menjadi seperti apa yang ia lakukan sebelum-sebelumnya?
Untuk itu, kenalilah dirimu dengan baik. Kenali hal-hal yang menjadi nilai yang membentukmu. Telusuri jejak perjalanan hidupmu. Pahami mengapa kamu ada di dunia ini. Lihat lebih jeli peran-peran apa yang membuatmu bisa menjadi manusia yang berarti. Tidak selalu hidup itu harus bergelimang materi. Tidak harus dikenal oleh semua orang. Tidak harus hidup di kota-kota metropolitan.
Hiduplah dan hidupi dirimu. Perhatikan dengan seksama orang-orang yang amat menyayangimu, yang jika mereka kehilanganmu mereka akan terus mengingatmu serta tak berhenti mendoakanmu. Bukan mereka yang dengan mudah menggantikanmu, bahkan saat kamu masih ada. (c)kurniawangunadi
144 notes
·
View notes
Text
Belajar Mengakhiri
Tumbuh dewasa mempertemukan kita dengan banyak hal yang rasanya harus kita pelajari. Menempatkan diri kita pada kondisi awal untuk banyak hal, belajar ini dan itu, memulai ini dan itu. Banyak hal yang ingin kita kuasai, ingin kita segera lakukan.
Sampai-sampai di saat dewasa, seiring berjalannya peran-peran baru yang mungkin kita ambil, prioritas yang mulai berubah, dan segala hal yang terjadi membuat kita harus mengakhiri sesuatu. Tapi, kita tidak tahu cara mengakhirinya dengan baik.
Beberapa pertemanan juga mungkin telah melewati masanya, orang-orang yang dulu dekat, suka pergi bareng, tiba-tiba menjauh dengan sendirinya. Tidak ada masalah apapun, tapi tiba-tiba saja rasanya semakin jauh dan semakin jauh hingga benar-benar menghilang tanpa sempat kita ucapkan salam perpisahan.
Mungkin kita juga belum pernah belajar mengakhiri pekerjaan. Saat kita bekerja di tempat orang lain atau bersama dengan orang lain. Saat kita menemukan kesempatan yang lebih baik, menemukan hal yang kita cari. Kita harus mengakhiri satu hal untuk kemudian memulai hal baru lainnya.
Dalam perjalanan, bahkan saat kita mungkin sedang kebingungan bagaimana caranya bisa memulai fase baru menjalani kehidupan berumah tangga. Ada teman kita yang kesulitan untuk mengakhiri rumah tangganya yang sudah sulit diselamatkan karena perselingkuhan, kekerasan, dsb. Ia tidak pernah diajarkan keberanian untuk mengakhiri sesuatu. Dan kita pun demikian, belum cukup belajar keberanian untuk mengakhiri hal-hal buruk yang menyelinap dalam kehidupan kita.
Ada banyak hal yang butuh kita akhiri untuk keluar dari masalah atau untuk memulai hal baru. Tapi, apakah kita telah belajar banyak tentang cara mengakhiri agar sesedikit mungkin menyakiti diri sendiri? Agar apa yang kita akhiri itu benar-benar berakhir tanpa meninggalkan masalah-masalah baru?
Apa hal yang sedang ingin kamu akhiri tapi kamu sendiri kesulitan hingga saat ini?
(c)kurniawangunadi
300 notes
·
View notes
Text
Tenang di Dunia Yang Sibuk
Kalau kamu lagi ngerasa galau banget tentang hidup ini, aku saranin untuk nontonin konten Youtube dari Kang Zein Permana. Ajib banget.
Beberapa minggu kebelakang memang lagi marathon konten-konten beliau di Youtube. Ternyata ada loh psikolog muslim yang easy going dan relate banget sama anak muda.
Saat ini aku lagi baca buku beliau yang berjudul "Tenang di Dunia Yang Sibuk". Buku ini ngebantu banget dalam proses berdamai dengan gemuruh pikiran.
Boleh jadi, sebab riuhnya pikiran kita bukan soal dunia luar, tapi hilangnya komando kita untuk mengontrol pikiran kita sendiri. Kata beliau dalam bukunya, konflik terbesar yang dialami manusia adalah konflik dengan dirinya sendiri.
Pikiran kita ibarat lalu lintas yang padat berisi harapan-harapan, ekspektasi, memori, dan penyesalan masa lalu yang bermuara kepada persimpangan yang berisi utopia kehidupan, ekspektasi, standar orang lain, tekanan keluarga, atau ketakutan dalam menghadapi masa depan.
Lalu gimana caranya kita tenang?
Yang pertama adalah kesadaran. Ini mirip banget sama isi buku Remake dari mas Bagas Rais di tulisanku yang berjudul hidup untuk orang lain.
Kita harus sadar bahwa kita tidak bisa mengontrol faktor eksternal, yang bisa kita kontrol adalah persepsi kita sendiri. Dari sini kita harus menyeleksi arus informasi yang berpotensi menghilangkan jati diri. Hidup ini nggak boleh mematok standar dari orang lain. Seminimalnya itu.
Yang kedua adalah tanggungjawab. Hidup kita adalah tanggungjawab kita untuk mengaturnya. Mulai dari input seperti apa dan mau dibawa kemana.
Terkadang kesalahan kita tidak mampu menganalisis kebutuhan yang cocok untuk diri sendiri dan tujuan apa yang hendak dicapai. Dari sini akan berpotensi menjadi stress dan cenderung menyalahkan pihak lain atas kegagalan dari ekspektasi kita. Padahal semua bermula dari input yang kita berikan untuk diri kita sendiri yang kurang pas atau kadang too much information.
Yang terakhir adalah kemampuan menavigasi komplektivitas hidup. Soal ini kita perlu pinter-pinter cari lingkungan. Kita akan jadi wangi kalau dekat dengan penjual parfum.
Manusia tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, perlu ada orang yang saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan. Tapi ya namanya manusia pasti banyak mengundang kecewa kan? Ini balik lagi ke soal Tauhid bagaimana kita benar-benar meresapi kabar bahagia dan pertolongan dari Allah beriringan dengan ujian yang diberikanNya juga.
Urusan teknis, kita jalani apa yang bisa kita ikhtiarkan sembari tetap jangan hilang harapan. Kegagalan dunia itu adalah proses untuk pendewasaan diri.
Ya intinya jalani dan hadapi. Semoga Allah mudahkan. Aamiin.
Ahad, 08 Desember 2024 Sedang Belajar Tenang
68 notes
·
View notes
Text
Pengakuan Kesalahan
Mengikuti ego tidak akan ada habisnya
Justru itu seperti bola api
Maka, jika egomu sedang tergores diamlah
Kamu hanya butuh waktu mencerna semua lalu melihat dari sudut pandang kebaikan, jamgan ikuti egomu.
Bukankah kamu pernah bilang, kamu merasa seperti kehilangan dirimu sendiri?
2 notes
·
View notes
Text
Afirmasi
Kamu berharga dan layak mendapatkan hal-hal baik. Kamu punya banyak hal baik. Kamu memiliki kesempatan-kesempatan itu.
Hanya saja, mungkin selama ini kamu ketemu sama orang yang kurang tepat. Mereka yang terus menerus membuatmu merasa kurang, bersalah, dan merasa tidak berarti.
Hanya saja, mungkin selama ini kamu terjebak di tempat yang salah. Tempat yang terus menerus membuatmu merasa semakin merasa kecil, merasa kamu tidak bisa apa-apa, dan berujung pada hilangnya kepercayaanmu pada diri sendiri. Keraguanmu pada hidupmu sendiri semakin besar.
Kamu berharga. Kamu hanya butuh sedikit keberanian untuk pergi dari mereka dan meninggalkan tempat-tempat itu. Memang menakutkan, karena semuanya terasa samar di depan. Tapi lebih menakutkan lagi hidup dengan kondisi sekarang, seterusnya, selamanya. (c)kurniawangunadi
424 notes
·
View notes
Text
Membuat Pijakan Baru
Tumbuh dewasa dengan perasaan kalah, tidak berharga, dan buntu adalah proses yang amat melelahkan. Hal yang bahkan, kalau kamu lihat-lihat lagi, tidak pernah ada di dalam dirimu di masa lalu. Semua pikiran itu muncul karena mungkin kamu ketemu dengan orang-orang yang menggerogoti hal-hal berharga yang kamu miliki.
Tanpa terasa, lambat laun kamu kehilangan jati diri. Hingga untuk menumbuhkannya lagi, terseok-seok. Perasaan berharga yang pernah kamu miliki telah tercabik-cabik. Kepercayaan dirimu memudar. Dan keyakinanmu atas dirimu sendiri, menguap. Kamu menjadi orang pertama yang terus menerus menyangsikan mimpi dan keputusanmu. Dihantui dengan rasa takut akan hari esok, kegagalan, dan berbagai bentuk kekhawatiran yang ternyata sengaja ditumbuhkan di momen-momen sebelumnya.
Tapi sungguh, keberanianmu untuk keluar dari lingkaran setan itu adalah sebuah keputusan yang sangat luar biasa. Tidak mudah, tidak semua orang bisa, tidak semua orang berani. Meski kini kamu mengalami kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa, setidaknya hidupmu kini dalam kendalimu lagi.
Kamu bisa mengarahkan tujuanmu lagi. Menata sedikit demi sedikit mimpi yang pernah kamu miliki setelah bertahun-tahun dimatikan oleh orang lain.
Kamu hanya perlu kembali percaya bahwa kamu berharga. Kamu layak mendapatkan yang baik. Kamu pantas untuk memiliki mimpi-mimpimu. Dan selalu ada orang yang akan percaya dan yakin dengan kekuatanmu, kamu hanya belum menemukan mereka dalam jumlah banyak sebab kamu tidak pernah membicarakan mimpimu dan berjalan di atasnya selama ini.
Jalanlah. Meski dengan seluruh keraguan dan ketakuanmu. Teruslah melangkah! (c)kurniawangunadi
328 notes
·
View notes
Text
Memilih Pasangan Hidup
Setiap orang jelas memiliki valuenya masing-masing. Dan ketika kita bicara value, ini bisa bertentangan satu sama lain. Hanya saja, tulisan ini tidak ingin mempertentangkan itu. Penulis akan menggunakan sudut pandang orang pertama yang bersumber pada pengamatan, karena ini hal yang dirasa berlaku secara universal. Ada tiga hal yang mau kutulis, di luar soal bagaimana hubungan ia dengan Tuhannya. Aku mau nambahin beberapa aspek yang menurutku sangat krusial untuk dipertimbangkan secara mendalam.
Pertama, cara bicara dan apa yang dibicarakan. Karena dua hal tersebut mencerminkan isi kepalanya. Kalau kamu mendapati orang yang suka bergunjing, sindir menyindir, memfitnah, berkeluh kesah, berkata kasar, dan berbagai macam pembicaraan buruk. Pikirkan ulang untuk memilihnya sebagai pasangan hidup. Mungkin ia bisa jadi fit sama kamu, tapi apakah itu yang kamu harapkan saat kalian menjadi orang tua dan mendidik anak? Sampai sekarang, dalam berbagai kesempatan dan pengamatan. Kenapa anak-anak yang kutemui bisa sekasar itu, bisa senegatif itu, salah satunya dampak dari bagaimana bahasa dan cara bicara sehari-hari orang tuanya. Apalagi saat di level orang tua menganggap pembicaraan itu sebagai hal yang biasa, bukan hal buruk.
Bagiku, lebih penting mengajarkan anak bisa berbahasa yang baik alih-alih bisa banyak bahasa. Karena kalau ia bisa menggunakan bahasa yang baik, tahu tata bahasa, tahu kapan penggunaan dan cara menggunakannya dalam beragam situasi. Itu jauh lebih penting daripada ngajarin dia bisa bahasa macem-macem. Nanti kalau sudah besar, ia bisa belajar bahasa-bahasa yang lain. Kedua, hubungannya sama harta. Ini sebuah hal yang mungkin tidak bisa secara kasat mata dilihat, tapi bisa diamati jika sudah mengenal. Bagaimana cara pandangnya terhadap uang. Apakah segala sesuatu diukur dari uangnya. Apakah uang jadi tujuan hidupnya. Apakah pengambilan keputusannya sangat bergantung dengan ada tidaknya uang. Dan berbagai percakapan yang bisa kamu simpulkan sendiri, ini orang dikit-dikit nyingung duit. Mulai pertimbangkan lagi. Uang (harta) penting, tapi bukan segalanya. Tidak semua hal didunia ini diukur dengan uang. Nanti kita lupa untuk bisa belajar ikhlas, bisa belajar tulus. Mengira semua hal pasti ada maksud dan tujuannya. Melakukan sesuatu karena ada maunya. Karena nanti anak-anak pun akan belajar cara hidup dan cara berpikir kita sebagai orang tuanya. Dan saat itu, saat kita mulai berhitung. Semuanya akan jadi transaksional. Ketiga, bagaimana ia ngehargai dirinya sendiri dan ngenal dirinya sendiri. Orang-orang yang pandai menghargai dirinya sendiri akan mudah respect sama orang lain. Bisa membuat keputusan-keputusan penting untuk dirinya dengan lebih mudah. Nanti, saat kita jadi orang tua. Ada banyak sekali keputusan yang bakal diambil, aku nemu banyak sekali orang tua yang membuat keputusan yang bagiku aneh, bahkan cenderung tidak masuk akal untuk hal-hal yang amat sederhana. Penilaian ini memang subjetif, tapi jika mau dilihat secara objektif pun tetap aneh.
Kemampuan untuk membuat keputusan yang baik adalah bekal yang krusial saat jadi orang tua. Karena waktu anak-anak kita masih kecil, kitalah yang akan membuatkan keputusan untuk mereka. Menemukan orang yang mengenal dirinya dan menghargai dirinya sendiri jadi sesuatu yang menurutku perlu untuk diupayakan. Selain kita juga berusaha untuk jadi seperti itu. Seseorang yang tak bisa membuat keputusan justru akan merugikan dan merepotkan orang lain, entah anaknya sendiri, pasangannya, atau bahkan orang-orang di sekitarnya. Semoga membantu :) (c)kurniawangunadi
454 notes
·
View notes
Text
“NGERTENI GAYANE GUSTI ALLAH”
"Allah knows and you do not know".
Hidup sering kali berjalan dengan cara yang tidak kita duga. Orang yang kita pikir akan selamanya bersama, tiba-tiba menjauh. Orang yang dulu hanya kenal sebatas nama, kini menjadi bagian penting dalam hidup kita.
Semua ini membuat hati bertanya, “Kenapa semua ini terjadi?” Jawabannya sederhana, tapi mendalam: Allah punya caranya sendiri.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Ayat ini seperti alarm yang mengingatkan, bahwa kita manusia hanya mampu berencana, tetapi Allah yang menentukan. Perjalanan hidup yang penuh liku ini adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna, meski sering kali tak terlihat oleh mata manusia yang terbatas.
Ada saatnya Allah menjauhkan kita dari sesuatu yang kita inginkan. Tapi, pernahkah kita berpikir, mungkin Allah menjauhkan untuk mendekatkan yang lebih baik? Ketika sebuah pintu tertutup, itu bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa ada pintu lain yang lebih cocok untuk kita. Mahfudzot Arab berkata, “Man jadda wajada, wa man shabara zhafira” (Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya, dan siapa yang bersabar akan menang). Sungguh, tidak ada perjuangan yang Allah biarkan berlalu sia-sia.
Maka, berhentilah mengira bahwa segalanya harus sesuai dengan keinginan kita. Kehidupan ini lebih besar dari apa yang kita rencanakan. Percayalah, Allah tidak pernah keliru dalam meletakkan takdir. Dia tahu kapan waktu terbaik untuk mempertemukan, memisahkan, mendekatkan, atau bahkan menjauhkan. Tugas kita hanya berusaha sebaik mungkin, lalu bersandar sepenuhnya pada-Nya.
Hiduplah dengan keyakinan bahwa setiap langkah, baik atau buruk di mata kita, adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Sebab, yang tertakar tak akan tertukar. Apa yang ditetapkan Allah akan selalu menjadi yang terbaik, bahkan jika saat ini kita belum bisa memahaminya.
19 notes
·
View notes