Suka dengan pendidikan anak usia dini, parenting, nilai dan makna kehidupan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
“NGERTENI GAYANE GUSTI ALLAH”
"Allah knows and you do not know".
Hidup sering kali berjalan dengan cara yang tidak kita duga. Orang yang kita pikir akan selamanya bersama, tiba-tiba menjauh. Orang yang dulu hanya kenal sebatas nama, kini menjadi bagian penting dalam hidup kita.
Semua ini membuat hati bertanya, “Kenapa semua ini terjadi?” Jawabannya sederhana, tapi mendalam: Allah punya caranya sendiri.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Ayat ini seperti alarm yang mengingatkan, bahwa kita manusia hanya mampu berencana, tetapi Allah yang menentukan. Perjalanan hidup yang penuh liku ini adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna, meski sering kali tak terlihat oleh mata manusia yang terbatas.
Ada saatnya Allah menjauhkan kita dari sesuatu yang kita inginkan. Tapi, pernahkah kita berpikir, mungkin Allah menjauhkan untuk mendekatkan yang lebih baik? Ketika sebuah pintu tertutup, itu bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal bahwa ada pintu lain yang lebih cocok untuk kita. Mahfudzot Arab berkata, “Man jadda wajada, wa man shabara zhafira” (Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya, dan siapa yang bersabar akan menang). Sungguh, tidak ada perjuangan yang Allah biarkan berlalu sia-sia.
Maka, berhentilah mengira bahwa segalanya harus sesuai dengan keinginan kita. Kehidupan ini lebih besar dari apa yang kita rencanakan. Percayalah, Allah tidak pernah keliru dalam meletakkan takdir. Dia tahu kapan waktu terbaik untuk mempertemukan, memisahkan, mendekatkan, atau bahkan menjauhkan. Tugas kita hanya berusaha sebaik mungkin, lalu bersandar sepenuhnya pada-Nya.
Hiduplah dengan keyakinan bahwa setiap langkah, baik atau buruk di mata kita, adalah bagian dari kasih sayang-Nya. Sebab, yang tertakar tak akan tertukar. Apa yang ditetapkan Allah akan selalu menjadi yang terbaik, bahkan jika saat ini kita belum bisa memahaminya.
19 notes
·
View notes
Text
Jurang
Hi semua. Tulisan ini mungkin cukup sensitif dan membutuhkan empati untuk membacanya dengan hati-hati, karena akan menggunakan sudut pandang perbanding-bandingan. Sesuatu yang mungkin tidak nyaman untuk dibaca bagi sebagian orang.
Dalam proses mengamati sekaligus menjalani kehidupan selama 34 tahun ini, terasa sekali bahwa fase yang sedang dijalani saat ini itu benar-benar jelas sekali garis batas kehidupan satu sama lain, antara diri kita dengan orang lain itu kelihatan sekali.
Dulu sewaktu kecil, sewaktu seru-serunya menjadi anak-anak, tidak memandang dunia dari sisi materi, tidak bingung bangun tidur harus bekerja, bahkan ini mungkin terjadi hingga kita SMA. Antara kita dengan teman kita itu sama, sama-sama di fase berjuang. Lagi di fase belajar untuk mewujudkan mimpi masing-masing. Ngerasain kelas yang panas tanpa AC bareng-bareng, naik motor iring-iringan, dan semua aktivitas yang membuat kita terasa tidak ada bedanya satu sama lain. Coba deh perhatikan, teman-teman kita semasa TK, SD, SMP, ataupun SMA dulu. Inget nggak serunya bermain bersama, paling satu-satunya hal yang membuat kita berkompetisi saat itu adalah rangking kelas. Itu pun kadang sadar diri kalau udah ada yang langganan juara kelas berturut-turut, kitanya juga nggak berkecil hati karena tidak juara kelas, enjoy aja, dan ya berjalan sebagaimana biasanya.
Tapi coba lihat semuanya sekarang. Perbedaan antara kita dan teman-teman bisa kayak bumi dan langit dari sisi kehidupan. Di umur yang sama, ada yang masing single, ada yang sudah punya anak mau masuk SD. Ada yang sudah punya rumah, ada yang masih ngontrak. Ada yang kerja dengan gaji puluhan bahkan ratusan juta per bulan, ada yang berjuang biar bisa UMR aja alhamdulillah. Ada yang lagi jalan-jalan ke berbagai kota atau negara, ada yang lagi langganan ke psikolog/psikiater. Ada yang berubah jadi kriminal, ada yang menjadi seorang alim. Ada yang lagi kesulitan finansial, ada yang lagi lapang banget sampai bisa bersedekah tanpa berpikir panjang. Ada yang pernikahannya bahagia, ada yang sudah menjadi duda dan janda.
Perbedaan itu terpampang secara nyata. Dan itu dialami oleh diri kita sendiri dan juga orang-orang yang dulu sekali, tidak begitu lama, mungkin 15 atau 20 tahun yang lalu adalah orang-orang yang bareng sama kita. Yang dulu sama-sama memikirkan tugas sekolah, les bareng-bareng, kalau libur sekolah bikin agenda kelas, kalau ramadan bikin acara bukber kelas. Kalau lebaran, rame-rame keliling antar rumah-rumah.
Tapi perbedaan nasib, garis takdirnya bisa sejauh itu. Kadang, diri sendiri pun merasa begitu asing dengan segala jurang yang ada, begitu tinggi perbedaan yang dimiliki. Kadang, diri juga mengukur-ukur diri sendiri, bertanya-tanya mengapa ada yang bisa sejauh itu sementara kita terasa jalan di tempat, gitu-gitu aja.
Tanpa sadar, bahwa "gitu-gitu aja"nya diri ini juga ternyata jadi sesuatu yang amat berharga bagi teman kita yang lain. Hidup yang saling melihat ini, rasanya semakin membelalakkan mata di umur sekarang. Umur-umur yang menurut kita harusnya sudah bisa mencapai hal-hal tertentu dalam hidup, tapi kita baru mencapai sebagian kecil atau bahkan belum sama sekali.
Kemarin waktu baca threads, ada sebuah utas yang kurang lebih bilang begini : "Umur 42, belum punya rumah sendiri, masih ngontrak pindah-pindah, kendaraan cuma motor ada 1, anak ada dua udah sekolah semua, tiap bulan gaji ngepres buat semuanya. Nggak apa-apa kan?" Dan jawaban orang lain yang membalas, begitu "nyesss" pada baik-baik.
Kadang mulai mikir juga, apa selama ini kita terlalu lama hidup dalam bubble. Hidup dalam perspektif bahwa keberhasilan-keberhasilan itu harus mencapai ini dan itu. Ditakut-takuti jika kita tidak begini dan begitu, nanti hidup kita akan menderita. Hidup kita akan gagal. Gagal menurut orang yang menebar ketakutan tersebut.
Dan kita lupa dan tidak pernah diajari untuk bagaimana caranya bisa bahagia dengan alasan-alasan yang amat sederhana. Kebahagiaan kita penuh dengan syarat, syarat yang kita buat sendiri, tapi sekaligus syarat yang amat sulit untuk kita sendiri penuhi. (c)kurniawangunadi
191 notes
·
View notes
Text
Jadi makin yakin 😉
Mempertanyakan
Berselancar di media sosial, terus banyak ketemu sama kekhawatiran orang. Beberapa pertanyaan, mengusikku. Membuatku bertanya-tanya apakah aku hidup dalam bubble? Atau, serandom apa sih lingkungan seseorang hingga untuk hal yang basic aja masih dipertanyakan? Misal pertanyaan seperti ini: ada nggak sih cowok yang baik, shalat 5 waktu, tidak merokok, bertanggungjawab, tutur katanya baik, kalau suka sama cewek langsung berniat baik buat menikah, bukan buat main-main?
I mean, seperti apa sih lingkungan orang yang bertanya hingga shalat 5 waktu itu sebuah hal yang asing, bertutur kata yang baik juga hal yang asing? Aku yang hidup di lingkungan yang biasa melihat itu kan jadi bingung, itu ada di mana? Aku yang berelasi dengan teman laki-laki yang pada mashaAllah baiknya, saleh, terakhir kali aku 1on1 sama seorang laki-laki yang lagi diskusi mau nikah juga sebaik itu niatannya untuk memuliakan calon istrinya. Ini yang bertanya, berada di lingkungan seperti apa hingga ada pertanyaan seperti itu? Dan kalau sadar bahwa di lingkungannya demikian, kenapa tidak berusaha keluar dari sana? Apakah pikiranku ini jadi nirempati? Aku pun bingung.
Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang berasal dari kata tanya yang senada : Masih ada gak sih? Masih ada gak sih yang menilai seseorang bukan dari fisiknya?
Masih ada gak sih yang nggak ngumpetin uang dari pasangannya?
Masih ada gak sih yang bersedia tinggal serumah sama ortuku nanti kalau aku menikah?
Masih ada gak sih yang setia sama satu pasangan aja?
Masih ada gak sih yang ini dan itu....
Dan beragam pertanyaan mirip lainnya. Aku belum bisa memahami. Dia tinggal dimanakah? Apakah yang terjadi dalam hidupnya? Sehingga dia tidak bisa menemukan semua itu di dalam radar pengelihatan dan hati di sekelilingnya? (c)kurniawangunadi
141 notes
·
View notes
Text
Dipikirkan Lebih Dalam
Dipikir-pikir, kasihan sekali orang-orang yang hatinya dipenuhi rasa benci dan pendendam. Menyimpan bara sekian lama dalam hati, menyimpan semua hal buruk itu seorang diri. Sementara orang yang tak disukainya, melupakan semua hal buruk yang terjadi. Apalagi, jika kesalahan itu bukan berasal dari orang lain, melainkan tersebab oleh diri sendiri. Diri sendiri yang kerasa kepala dan merasa benar. Sungguh kasihan.
Dipikir-pikir, kasihan sekali orang yang hidupnya penuh dengan prasangka dan kecurigaan. Susah membangun kepercayaan kepada orang lain. Hidupnya kesepian, mudah kehilangan dan menghilangkan orang-orang yang ingin percaya padanya, tapi hanya karena kesalahan setitik, dihapus semua kebaikan-kebaikan yang pernah terjadi. Diputus pertemanannya. Pasti sulit sekali hidupnya yang tak percaya siapapun.
Dipikir-pikir, kasihan sekali orang yang hidupnya penuh dengan amarah. Merasa menjadi korban dari semua kondisi hidup, mungkin disebabkan oleh trauma dari keluarganya, dari orang-orang terdekatnya di masa lalu. Hingga, untuk merasakan bahagia saja tidak bisa. Isinya hanya marah-marah, mudah marah. Pasti sesak sekali hidupnya.
Dipikir-pikir lagi, kalau ketemu dengan orang-orang yang seperti itu. Memang ada rasa kesal, rasa marah, rasa kecewa yang mungkin akan muncul. Akan tetapi, berujung pada rasa kasihan karena betapa hidupnya sulit tenang, sulit bahagia, setiap hari harus bergulat pada pikirannya sendiri, tidak mampu menerima kenyataan bahwa dirinya terluka dan sangat mudah melukai orang-orang disekitarnya. Hingga akhirnya, dia pun ditinggalkan, dijauhi.
Dipikir-pikir lagi, memiliki pikiran yang tenang itu rasanya berharga sekali. Hidup yang penuh interaksi dilema dengan banyak manusia, bisa lebih mudah dijalani karena bisa lebih tenang dan tidak reaktif. Kadang, arus kehidupan yang deras ini bukan untuk kita lawan sekuat tenaga. Malah nanti kita kehabisan tenaga.
Setelah dipikir-pikir semakin mendalam, makin banyak-banyak berdoa agar diberikan ketenangan jiwa. Jika ada luka dan trauma di dalam diri, semoga itu tidak melukai orang lain. Jika itu melukai orang lain, aku tidak merasa terlalu tinggi hati untuk meminta maaf duluan :)
(c)kurniawangunadi
162 notes
·
View notes
Text
Dear, semesta.
Aku ingin menjadi perempuan yang menyikapi sekelumit liku dengan perilaku yang tenang. Meski kadang cara bicaraku masih sama berisiknya, meski cerita-cerita yang aku sampaikan masih sama riuhnya, dan meski kesedihan yang sesekali aku tunjukkan pada beberapa orang masih sama sembabnya.
Tetapi, semesta..
Aku ingin menjadi perempuan yang mengusahakan untuk tidak melimpahkan amarahku di hadapan orang yang juga sama belajar damai sepertiku. Aku hanya ingin menjadi perempuan yang tidak merahasiakan kesulitanku, namun tidak juga membuat orang lain kesulitan memahami maksudku.
Karena semesta,
Aku mengerti jika dunia tentu berputar pada radarnya masing-masing, perbedaan melahirkan teka-teki untuk manusia seperti kamu menemukan jawabannya.
88 notes
·
View notes
Text
Ah kenapa mirip sekali dengan keadaanku sekarang :)
Mewujudkan Mimpi di Umurmu Kini
Takut ya? Lebih menakutkan daripada bertahun yang lalu? Saat mimpi dibenturkan sama realita dewasa, bekerja dari pagi hingga petang, bahkan kadang jarang pulang. Harus membiayai diri sendiri, sebagian yang lain ikut membiayai keluarga, adik-adik, bahkan saudara jaug. Saat tanggungan diri seolah-olah hanya bertumpu pada diri kita. Mimpi kita terasa semakin tak nyata, jauh tak tergapai. Takut untuk mengubah lajur hidup, karena penuh ketidakpastian. Takut mengubah arah, karena takut ditertawakan.
"Buat apa susah-susah ke sana, padahal yang sekarang sudah pasti. Cari yang pasti-pasti saja!" Ujar mereka.
Aku tahu hatiku bilang apa, tapi otakku tak bisa menerima. Bahwa hidup yang sementara ini, jangan hanya memikirkan diri sendiri, katanya. Tapi hatiku bilang, kalau tidak bahagia, tiada ketenangan, buat apa dipertahankan?
Aku ingin sekali mengikuti kata hatiku. Tapi aku sangat takut tak bisa membeli makan besok. Takut tak bisa hidup nyaman. Takut sekali seperti tak bertuhan. Astaghfirullah hal adzim.
Kalau aku meniliki diriku berpuluh tahun lalu, aku tak sebahagia itu. Apakah aku bisa hidup dengan pilihanku? Apakah aku bisa menjalani hidup ini tanpa harus berpikir materialistik? Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa cukup, anugerahkan kepadaku keberanian. Anugerahkan kepadaku rasa aman. Bahwa menjadi hambamu, aku tahu takkan Kau biarkan kekurangan, takkan kau biarkan tersesat di jalan. Sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku saat aku kecil dulu, untuk berani bermimpi, mudah bahagia, dan tak melihat dunia ini dari sudut pandang uang. Sehingga aku merasa sangat berkecukupan :) (c)kurniawangunadi
336 notes
·
View notes
Text
Aamiin
Ini cerita tentang rumah yang aku impikan. Rumah yang artinya adalah tempat pulang, tidak harus berupa bangunan, bisa jadi ia adalah seseorang. Tempat paling nyaman untukmu bercerita apa adanya. Perihal hidup yang tidak selalu mudah. Perihal mimpi yang menggebu-gebu.
Tempatmu menjadi diri sendiri, tanpa takut dicaci. Berani berpendapat karena kamu didengarkan meski tak selalu dimenangkan. Berani mengkritik tanpa takut diisolasi. Bahwa sebanyak apapun perbedaan dan kesalahan, selalu memiliki ruang maaf dan maklum untuk kembali memberi rasa aman lagi. Rasa nyaman yang tak sembarang orang bisa mengisinya dengan tulus tanpa pamrih.
Rumah yang didalamnya adalah sepasang yang saling mengusahakan satu sama lain. Saling menjaga. Saling percaya. Saling merasa ingin memberi lebih untuk mencipta bahagia. Saling memeluk rasa takut satu sama lain. Dan tentunya saling menggenggam tangan untuk tidak meninggalkan saat alur cerita sedang jatuh-jatuhnya.
Semoga dalam perjalanan hidup ini, setidaknya kamu memiliki rumah itu. Tempat pulang untuk sejenak mengambil jeda. Untuk sedikit menghela napas. Untuk sekedar saling menguatkan "kita akan baik baik saja".
Putri
61 notes
·
View notes
Text
2024 dan Pekerjaanmu
Teman-teman, cuma mau bilang, kalau di tahun saat ini kondisi ekonomi lagi nggak baik-baik saja. Kalau kamu tidak ada alasan yang kuat untuk resign kayak sakit, kesehatan mental, lingkungan toxic, harus pulang karena ortu sakit, dsb. Bertahanlah dengan pekerjaanmu meski itu mungkin menjemukan. Saya sebagai orang yang saat ini jadi karyawan (kerja ditempat orang lain), jadi freelance, dan sekaligus punya usaha sendiri. Ngerasa banget lesunya ekonomi selama beberapa bulan terakhir. Sampai beberapa kali saya sendiri harus mengurangi jumlah karyawan karena efisiensi. Bukan keputusan yang mudah bagi pemilik usaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, tapi memang keadaannya tidak bisa dipungkiri dan keputusan harus diambil.
Buat teman-teman yang dapat rezeki lebih soal harta, tolong jangan disimpan aja, diputarlah dengan dibelanjakan ke dagangan teman, ke pasar, dan lain-lain agar terjadi perputaran uang di tengah-tengah kondisi saat ini. Itu akan sangat membantu bagi orang lain.
Buat teman-teman di sini yang jadi pemilik usaha, UMKM, dan sebagainya. Semangat yaaa :)
289 notes
·
View notes
Text
A Worthy Crisis
Kurasa, krisis yang sedang kualami ini dapat kulihat sebagai sesuatu yang berharga untuk kualami. Tanpa krisis, mungkin aku akan terus terbelenggu pada keputusan-keputusanku sebelumnya yang semakin memberatkan hidupku. Mungkin aku akan hidup dengan jalan yang sama sampai mati, tidak berani untuk mencari kehidupan lainnya yang lebih baik.
Mungkin aku akan berhenti di tempat karena ketakutan dan ketidaktahuan. Pemikiranku tak berani memikirkan hal-hal terbaik yang mungkin kumiliki, karena aku terlalu takut untuk membuat keputusan baru.
Krisis ini pun membuatku semakin mengenal diri dengan lebih mendalam, memahami hal-hal yang penting dan esensial dalam hidup. Mengenal mimpiku yang lama kukubur karena takut mewujudkannya.
Krisis ini memaksaku untuk berpikir, berani, dan bertindak. Krisis ini telah mengoptimalkan semua hal yang kumiliki, hal yang sempat kuragukan dari diriku sendiri. Kini kurasa saatnya aku membuat keputusan besar, untuk hal-hal yang kutuju dalam hidup dan menenangkan pikiranku yang riuh selama ini.
Bahkan krisis ini berhasil membuatku terpaksa utk berani berjalan maju meski dengan segenap rasa takut. Rasa takut yang telah bertahun-tahun membelenggu langkahku.
(c)kurniawangunadi
82 notes
·
View notes
Text
A Worthy Crisis
Kurasa, krisis yang sedang kualami ini dapat kulihat sebagai sesuatu yang berharga untuk kualami. Tanpa krisis, mungkin aku akan terus terbelenggu pada keputusan-keputusanku sebelumnya yang semakin memberatkan hidupku. Mungkin aku akan hidup dengan jalan yang sama sampai mati, tidak berani untuk mencari kehidupan lainnya yang lebih baik.
Mungkin aku akan berhenti di tempat karena ketakutan dan ketidaktahuan. Pemikiranku tak berani memikirkan hal-hal terbaik yang mungkin kumiliki, karena aku terlalu takut untuk membuat keputusan baru.
Krisis ini pun membuatku semakin mengenal diri dengan lebih mendalam, memahami hal-hal yang penting dan esensial dalam hidup. Mengenal mimpiku yang lama kukubur karena takut mewujudkannya.
Krisis ini memaksaku untuk berpikir, berani, dan bertindak. Krisis ini telah mengoptimalkan semua hal yang kumiliki, hal yang sempat kuragukan dari diriku sendiri. Kini kurasa saatnya aku membuat keputusan besar, untuk hal-hal yang kutuju dalam hidup dan menenangkan pikiranku yang riuh selama ini.
Bahkan krisis ini berhasil membuatku terpaksa utk berani berjalan maju meski dengan segenap rasa takut. Rasa takut yang telah bertahun-tahun membelenggu langkahku.
(c)kurniawangunadi
82 notes
·
View notes
Text
Cerpen : Selepas Sekolah
Masa-masa remaja yang dulu kulalui dengan ragam cerita, cinta monyet, merasa paling tahu, ke sana kemari tanpa harus tahu bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup - karena masih ditanggung sama orang tua. Kini telah sirna.
Ternyata selepas sekolah, seumur hidup kita akan bekerja. Paling tidak mencari cara untuk bertahan hidup dan membiaya hidup sendiri, jika kita masih sendiri. Kalau sudah berkeluarga, maka lain ceritanya.
Ternyata selepas sekolah, kehidupan orang dewasa yang dulu kusangka penuh dengan kekebasan karena bisa bepergian kemanapun tanpa izin, membeli apa yang disukai, jatuh cinta, dan segala hal yang dulu aku sangat tak sabar untuk segera dewasa. Kini telah menjadi kehidupan yang membuatku ketergantungan antidepresan, jamu tolak angin, minyak kayuputih, koyo, dan segala macam obat-obatan lambung.
Ternyata selepas sekolah, kita akan berusaha bertahan hidup. Bekerja apa saja yang halal selama bisa menghasilkan. Cita-cita yang dulu ditulis di buku gambar waktu TK banyak yang sudah dilupakan. Sementara dulu waktu aku kecil, aku berani bermimpi apapun, menjadi apapun. Kini, aku terlalu takut bahkan untuk bermimpi bisa menikah dan berkeluarga yang harmonis. Aku tak punya keberanian untuk mewujudkan mimpiku yang terasa kekanak-kanakan dan tak mau ditertawakan. Aku bahkan takut untuk menjadi diriku sendiri. Tidak menyangka, kalau jalannya seseru ini. Sampai-sampai aku tak sempat untuk merasakan banyak hal, karena badan sudah lelah dan pikiran sudah penuh. Waktu yang terus bergulir sering membuatku memiliki sesal, mengapa aku tak kunjung beranjak dari keadaan ini.
Apakah benar bahwa aku memiliki banyak pilihan dalam hidup seperti apa yang kusaksikan di Tiktok dan Instagram? Jangan-jangan memang aku tidak memiliki banyak pilihan, dan aku mendamba sesuatu yang tidak pernah ada sebagai takdirku.
Bukankah tidak apa-apa menjadi biasa saja dalam hidup? Apakah aku harus mencapai segala sesuatu seperti orang lain? (c)kurniawangunadi
107 notes
·
View notes
Text
"If you value your lives, be somewhere else" Terkadang, tempat dimana saat ini kita berada tidak sejalan dengan apa yang kita yakini. Dan dulu, kita memilih tempat ini bukan karena tidak tahu, tapi memang dulu kita belum memiliki valuenya.
Seiring bertambahnya usia, belajar ke sana-sini, pemahaman yang tumbuh, kita memiliki nilai-nilai baru dalam hidup yang sudah tidak lagi relevan dengan tempat kita berada sekarang. Mungkin di tempat kerja, di lingkungan, di pertemanan, dan lain-lain.
Dan kita dihadapkan pada pilihan apakah tetap berada di sini karena perasaan sungkan dan tidak enak, atau memilih untuk pergi dengan segala risikonya. Kadang, pilihan ini tidak sesederhana itu. Karena mungkin dari tempat ini kita mendapatkan uang untuk bertahan hidup, kita mendapatkan beberapa hal yang kita perlukan.
Tapi, apakah benar tidak ada tempat lain - yang sevalue - yang menghargai value kita - dan juga tetap mencukupi apa yang kita butuhkan? Pasti ada. Pasti. Hanya rasa takut kita mungkin mengalahkan keberanian kita untuk membuat keputusan.
(c)kurniawangunadi
351 notes
·
View notes
Text
Kejujuran yang Bohong
Barangkali kamu akan sulit mendapatkan kejujuran dari seseorang yang selama ini terus menerus berbohong pada dirinya sendiri. Orang yang terus menerus mengatakan bahwa dirinya kuat ternyata adalah orang yang selama ini menangisi kehidupannya sendiri ketika sendirian di kamar. Orang yang bilang bahwa ia baik-baik saja ternyata adalah orang yang selama ini traumanya tak kunjung sembuh.
Kalau kebetulan kamu bertemu dengan mereka, kamu mungkin tidak akan bisa membedakan apakah mereka jujur atau tidak. Kecuali, kamu sendiri yang ternyata mengalaminya.
279 notes
·
View notes
Text
Apakah Sesuatu Akan Menjadi Lebih Baik Saat Aku Tetap Tinggal?
Aku ingin sekali memiliki kesempatan untuk bisa melangkahkan kaki lebih jauh dari langkah-langkah yang kumiliki saat ini. Selama ini, semacam ada garis batas hidup yang tak mungkin kulewati, izin orang tua. Tapi apa yang terjadi selama beberapa tahun belakang ini, hidup berasa jalan di tempat. Langkahku tak bisa lebih luas lagi karena kesempatan-kesempatan yang kucari, ada di luar batasku selama ini. Apa yang menjadi batasan, semakin tidak berdasar. Tapi, aku pun tak memiliki keberanian untuk menyampaikan. Sehingga, segala sesuatunya hanya berputar-putar di dalam pikiranku. Bagaimana caranya kamu bisa memiliki langkah sejauh itu? Apakah segala sesuatunya akan menjadi lebih baik saat kamu melangkah lebih jauh? Atau sebaliknya? Aku bahkan tidak bisa merasakan rindunya pulang ke rumah, karena justru rumah adalah tempat yang ingin aku tinggalkan. Bagaimana rasanya bisa rindu buat pulang, bahkan sampai memperjuangkan agar bisa pulang menempuh jarak ribuan kilometer? Bagaimana rasanya menjadi dirimu?
139 notes
·
View notes
Text
Apa yang kamu pikirkan dulu?
Kita mungkin menganggap diri kita tidak pernah tumbuh sebagaimana kita melihat orang lain. Bahkan saat ini, hidup di badan yang mungkin sudah berumur 30-an, rasanya pikiran ini masih kemarin sore menjadi anak-anak atau remaja tanggung yang lagi mencari jati diri.
Rasanya seperti belum layak untuk menanggung semua tanggungjawab. Dipaksa hidup mandiri. Dianggap mampu oleh keadaan. Dan juga dinilai sudah cukup berumur untuk menjadi lebih bijak.
Tapi rasanya, masih seperti anak anak yang tak tahu apa-apa. Kini harus berhadapan pada urusan-urusan yang melelahkan. Bekerja untuk membayar biaya hidup. Memikirkan masa depan. Mengurus keluarga. Dan juga hal-hal lain yang membuat kehidupan saat ini, rasanya semakin berat.
Dulu kupikir menjadi dewasa itu seru. Bisa punya motor sendiri dan jalan-jalan sesuka hati. Apa yang pernah kamu pikiran saat dulu anak-anak tentang menjadi dewasa? Apakah apa yang kamu pikirkan terjadi sekarang?
188 notes
·
View notes
Text
Meski Tidak Siap
Sudah beberapa kali mungkin kita merasa tidak siap dalam hidup. Tapi, meski tidak siap, kita tetap memilih buat menjalaninya hingga tak terasa sudah berlalu sekian lama. Apakah setelah sekian lama kita jadi merasa siap? Rasanya enggak juga. Tetap dengan rasa khawatirnya tapi juga diiringi dengan keyakinan, ternyata kita bisa menjalaninya meski dengan beragam rasa yang naik turun.
Sudah banyak hal yang berlalu seperti itu. Tapi setiap kali hal baru ditemui di usia ini, rasanya masih sama, ragu. Berusaha kuat untuk terus meyakinkan diri, "nggak apa-apa, ada Allah."
Jika pun kita tidak mendapatkan apa yang kita cari, berarti apa yang kita jalani saat ini memang yang terbaik. Susah sekali memang mengatakan hal itu ke pikiran sendiri, berulang-ulang. Agar tak menjadi putus asa.
Semoga kita dikuatkan sembari meyakini bahwa semua keyakinan kita tak akan menjadi sia-sia.
Jadi, apa hal yang akhirnya tetap kamu jalani meski dulu kamu tidak siap? Bagaimana kabarmu saat ini?
311 notes
·
View notes
Text
Jangan Sampai Sesal
Mau sampai kapan kamu akan terus berpaling dari hal-hal penting di hidupmu, ialah mimpimu sendiri. Terus menerus mengabaikannya, berlaku seolah semuanya baik-baik saja, tidak kenapa-kenapa.
Mimpi-mimpimu yang melambung tinggi di dalam benakmu, menjadi ini dan itu, bepergian ke sana dan kesini, membangun keluarga yang dicita, menjalani kehidupan dengan jalan yang leluasa kamu tentukan. Tapi kamu terus menerus berpaling darinya. Tenggelam dalam rutinitas yang tiada habisnya. Mengejar harta hingga terasa uang adalah segalanya, karena segalanya butuh uang, menurutmu. Lupa bahwa yang mencukupkan kita di dunia ini adalah rezeki-Nya. Lalu, kehidupan bergulir dan kamu telah menua. Mimpi-mimpi itu telah menjelma menjadi penyesalan yang tiada habisnya. (c)kurniawangunadi
256 notes
·
View notes