tilotama
tilotama
Kelana Menyala
191 posts
Catatan Perjalanan dalam Menjadi Manusia
Don't wanna be here? Send us removal request.
tilotama · 1 year ago
Text
Farewell
Aku kira adulting itu soal pusing, stres ngurusin kerjaan demi bisa membeli apa yang kita ngga bisa beli di masa muda.
Ternyata, salah satu bentuk adulting adalah menemukan pace dan arena diri sendiri. Kalo kemudian dalam perjalanannya ketemu orang yang bisa diajak kerja sama, kita akan berbagi peran dengan orang itu.
Terus maju ke depan, sampe kadang rindu sama apa yang di belakang. Tapi adulting mengajarkanku untuk rindu aja nggakpapa, tapi jangan memaksakan apa yang di belakang untuk ada juga di samping kita saat ini.
Ada bagian dari adulting dimana membuat kita sadar bahwa ritme kehidupan kita dengan teman yang lain sudah berbeda. Beberapa teman memilih bekerja di luar pulau, sekolah di luar negeri, ikut suami di propinsi lain, atau merintis usaha di ibukota. Setiap perpisahan udah ngga bisa lagi dirayakan dengan farewell yang sama seperti saat muda. Tapi perayaan-perayaan di masa muda juga bukan perayaan terbaik sampe pengen banget balik kesana. Sepertinya orang dewasa juga punya momen perayaannya sendiri, dengan cara yang berbeda.
Tapi gimana ya?
0 notes
tilotama · 1 year ago
Text
Atas Nama Matahari di Bulan April
Dari mana keberanian itu datang? Dari proses-proses yang tidak dipaksakan.
Suatu malam aku ditanya Amira, “apa yang membuatmu berani menikah?” Hmm apa ya? Seingatku, di usiaku yang ke 13 tahun, aku berani justru punya keberanian untuk tidak menikah. Hal yang pasti akan dipertanyakan gadis remaja lainnya seusiaku, karena mereka memimpikan menikahi Justin Bieber, Greyson Change atau Kim Ki Bum.
Tapi sekarang, memutuskan menikah di usia 27 tahun justru membuahkan pertanyaan dari teman 27 tahunku yang lain, pertanyaan kenapa kok berani menikah.
Bagiku, sejak usia 13 tahun, menikah adalah peristiwa mengerikan; antara menundukkan atau ditundukkan. Bicara penundukan, adalah kata kerja yang sangat politis; arena yang aku hindari seumur hidup. Sama halnya hati-hati jangan terlalu benci, nanti jadi cinta, di usia ke 18 aku sah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Di usiaku yang ke 25 aku bertemu laki-laki setinggi 198cm ini, yang membawa narasi bahwa pernikahan adalah peristiwa politik, penjelasannya sangat rumit, ngga cocok untukku yang ber-IQ 114 ini. Oh, ga heran, dia IQnya 135.
Aku dan laki-laki ini sering berdiskusi esensi pernikahan. Seperti orang yang jijik tau mau. Seperti orang yang benci jadi cinta. Kami membenci konsep berbagi dan kompromi dalam berpasangan, tapi kami tau kami butuh saling menemani dengan satu orang saja.
Meskipun beda tahun, kami sama-sama lahir saat matahari sedang berada di rasi Aries, katanya bikin orang sradak sruduk. Aries punya planet asli, yaitu Mars sang dewa perang. Komunikasiku dan laki-laki ini terkesan selalu menantang dunia, memerangi kehidupan, tapi sebenarnya kami sedang menantang dan memerangi diri sendiri.
Aku bahkan ngga ingat kapan keberanian untuk tidak menikah berubah jadi keberanian untuk tidak menikah. Aku bahkan ngga tau, kalau di sisi kehidupan lainnya, kehidupan laki-laki ini, ia diyakini orang-orang akan menjadi biksu, tapi kemudian memutuskan menikahiku.
Aku ngga ingat karena tidak ada satu hal pun yang aku paksakan di antara kami. Kami berpasangan tanpa proses saling menggoda dan memamerkan bulu merak, kami berpasangan secara tiba-tiba.
Memutuskan menikah pun secara tiba-tiba. Dan di luar dugaan, kami melalui semua hambatan tanpa paksaan. Kami tidak memaksa untuk tertawa, kami tidak menahan untuk menangis atau pun marah-marah. Semua hanya kami lalui, dengan harapan yang sama: kami memiliki kebahagiaan kami masing-masing.
Aku menjawab pertanyaan Amira, “dalam kepercayaanku, tujuan kelahiran adalah untuk menemukan kebahagiaan sejati, pun tujuan berpasangan. Kebahagiaan sejati dalam berpasangan bentuknya bisa beragam; pembagian peran yang jelas, pengakuan publik, sampai memiliki keturunan. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilakukan secara maksimal tanpa diakui negara. Maka di sini aku merasa butuh adanya pernikahan.”
0 notes
tilotama · 1 year ago
Text
Ge: "Aku iri dengan mereka, orang-orang yang bekerja denganmu, bisa membuat tulisan genit dan foto-foto indah."
Firman: "Struktur kerja membuat mereka ada di bawahku, jadi mereka harus mengikutiku, harus meniru aku. Kamu ngapain pengen di bawahku? Sini lho di sebelahku. Jangan ikuti aku, ayo mikir sama aku, cari jalan sama aku."
Am I talked with Albert Camus?
Bukan.
Dunia, perkenalkan, dia pasanganku yang pikirannya secerah langit di musim kemarau, yang bikin aku tidak mengeluh meskipun kulit kering, karena aku bisa melihat banyak bintang, dan benda langit besar menyala, dalam kepalanya.
0 notes
tilotama · 1 year ago
Text
Puan Kelana: Temu Kangen dengan Identitas yang Ternyata Ada
Tumblr media
Berawal dari kemarahan pada satu orang yang misoginisnya naudzubillah, lalu keinginan untuk masukin radio ke perutnya karena saking dendamnya. Siapa sangka jawabannya adalah puasa kapitan weton?
Adalah mengunjungi kembali peristiwa lahir, yang kata sebagian orang adalah duka pertama karena terpisah dari tempat super nyaman; rahim ibu. Juga pertama kali kita punya ketakutan akan mati; sumber dari segala ketakutan2 kita tiap hari.
Momen puasa kapitan weton ini, aku lepas dari konsep paling nyaman yang ibuku tanamkan buat aku. Konsep soal menjadi perempuan yang dikenalkan sejak aku umur 0 tahun. Konsep menjadi perempuan yang surprisingly, tidak ada, never existed. Selama ini ternyata aku tidak melihat perempuan sebagai subordinat, kelas dua, second sex; tapi ternyata: perempuan adalah lawan dari laki2. Maka perlu menjadi laki2 dulu, jika ia lemah, maka ia perempuan.
Memalukan dan menyedihkan (jika dilihat dari kaca mata maskulin). Tapi begitulah konsep itu tertanam dan aku nyaman menghidupinya selama ini. Sampe aku merasa terancam dengan konsep2 feminin yang datang ke aku: ketika aku dikasihi, ketika aku diberi kelembutan, ketika aku memiliki emosi.
Bertahun2 struggle dengan issue emosi, berbagai diagnosa dari psikolog klinis sampe psikiater juga pernah aku dengarkan. Hari ini aku memahami kembali dengan cara yang baru, bahwa punya emosi itu normal.
Setelah buka puasa, rasanya seperti bangun tidur setelah mimpi sangat panjang; rasanya seperti tersadar dari koma berbulan2; rasanya seperti keluar dari goa pertapaan; rasanya seperti pemuda Al-Kahfi yang keluar bertemu peradaban. Rasanya sadar penuh, sangat terang dan sangat semestinya.
Semoga, aku tidak melekatkan diriku pada ketenangan ini. Semoga, aku memahami bahwa pendewasaan adalah setiap saat dan waktu, tidak bergantung pada puasa dan tidak puasa. Semoga, aku mau terus mengizinkan diriku untuk menemukan kesejatian diri. Semoga, aku punya keluasan hati untuk mengizinkan diriku mencoba terus, mencoba lagi, mencoba sekali lagi.
Oh dan ternyata menghadapi misoginis ga perlu dengan masukin radio ke perutnya. What’s misogynist anyway? Dia sama sepertiku, hanya sebentuk energi yang terbungkus materi.
0 notes
tilotama · 1 year ago
Text
Catatan Perubahan (yang ngga megah megah banget)
Tumblr media
Perubahan itu mengerikan ya?
Misal ketika bulan purnama berubah jadi wanning gibbous, dimana bulan udah ga bulet sempurna lagi tapi juga tidak lonjong. Seperti terpotong, tidak utuh.
Atau ketika kita harus pindah dari kafe super nyaman sebagai tempat bekerja, ke burjo buat makan, karena ga bisa afford harga makanan di cafe tempat kerja.
Atau ketika harus kembali ke Jogja setelah 5 hari hidup di Bali, dimana matahari di Jogja ga bikin kulit jadi eksotis malah cenderung njanges, juga dimana makanan jogja minim rempah dan serba manis.
Bahkan ketika detik ke 59 dari jam 22.33 berubah menjadi 22.34. Kenapa waktu berjalan begitu cepat????
Apalagi ketika tidur 7 jam, dimana selama itu kita tidak sadar, sementara banyak hal berubah; gelap menjadi terang, sedih menjadi tenang, senang menjadi netral, saldo akan berkurang untuk makan hari itu, bensin akan berkurang untuk pergi ke indomaret beli Rinso cair.
Perubahan mengerikan, apalagi untuk yang terobsesi memegang kendali.
No wonder aku sering insomnia, bukan susah tidur, tapi ga rela melepas kontrol selama 7 jam.
Untung sadar, biar ga minum decolgen hanya untuk bisa bobok.
Kehidupan yang sangat welech welech. Tapi puji syukur masih bisa bobok.
0 notes
tilotama · 2 years ago
Text
Kaku dan Lebur
Aku memiliki tumpukan perasaan yang sulit aku alirkan. Mereka mengendap dan mengerak di ulu hati.
Malam pertama, kerak itu membuat otot dadaku kaku. Malam kedua, kedua tanganku mengepal saat tidur. Malam ketiga dan seterusnya ujung kakiku mengejang. Hingga kini merambat pada kedua rahangku yang sering mengatup keras-keras, mengekang lidahku dan mencekat tenggorokanku.
Apalagi jika bukan sesuatu yang selalu ingin aku teriakkan di pinggir pantai, terkait betapa takutnya diriku karena aku sangat rapuh selayaknya manusia. Ironi melihat diriku takut menjadi manusia. Takut memiliki kekurangan dan sisi lemah. Takut apapun yang di luarku terlalu keras dan perkara waktu bisa membunuhku.
Namun, kini samudra terbentang luas dengan ombaknya yang tenang berada di depan mataku. Buih-buih halus membelai ujung kakiku. Angin lembut membelai rambut, wajah, dan dadaku. Pasir-pasir berbisik memberikan kenyamanan. Tanah tenang menopang diriku. Awan permen kapas menaungiku. Bintang bersinar menerangi jalanku. 
Dirimu sebentang alam dalam satu tubuh manusia hadir membuka diri untukku yang selalu khawatir, namun aku selalu khawatir akan kematian, sekaligus merasa tidak layak untuk melanjutkan nafas yang ironinya selalu diberi meskipun aku berkali-kali hampir mati.
Dirimu bukan bunga yang mekar, layu, mati. Dirimu bukan pasar malam dengan keriuhan dan kelap kelip yang memaksa untuk hanyut dalam hiruk pikuknya. DIrimu adalah sebentang alam dalam satu tubuh manusia. Yang merentangkan tangannya untuk menyambut diriku jatuh dalam kepasrahan. 
Tapi aku berdiri kaku di tepi pantai, gigiku saling menggigit satu sama lain, aku tidak menangis, karena aku takut tangisanku berubah jadi arus sungai yang terlalu deras dan bisa menghanyutkanku.
Aku belum juga berlari menuju kedua lenganmu yang terbuka lebar. Jari kakiku mencengkeram pasir kuat-kuat. 
Kemana aku harus lebur? DItarik pasir pantai yang terus tergerus dan bisa menguburku pelan-pelan? Tersapu ombak yang bisa membentu gelombang besar sewaktu-waktu? Atau menjatuhkan diriku lebur dalam pelukan sebentang alam dalam satu tubuh manusia?
3 notes · View notes
tilotama · 2 years ago
Text
Catatan Peralihan Bulan
Aku baru menyadari ternyata banyak sekali ketakutan yang dibuat oleh pikiranku sendiri. Mulai dari takut presentasi jelek, padahal bikin aja belum, Sampe takut nggak diterima keluarga pacar, padahal kami membicarakan ke sana aja belum. 
Banyak kekhawatiran yang dianggap nyata, seolah-olah itu sudah terjadi, padahal baru dipikirin tapi udah bikin putus asa. 
Belum lagi, ego “semua bisa aku lakukan dengan baik tanpa cela” membuatku marah karena merasa takut. Akhirnya, nggak jarang jadi takut mencoba, self sabotaging kalo kata anak-anak jaman sekarang.
Padahal, terkadang, bahkan sering kali, kita cukup untuk ngelakuin aja, nggak perlu mikir outcomenya gimana. Kenyataannya, kita masih dikasih kesempatan buat mencoba.
Ya nggak papa sih kalo masih takut. Nyoba sambil takut-takut dan degdegan juga nggakpapa. Nyoba sambil nangis karena ketakutan makin meronta ronta juga nggak papa. Nangis yang lama sampe es coklatnya cair, atau sampe lavender lemon tea yang dipesen panas-panas jadi anyep juga nggak papa.
Namanya juga belajar jadi manusia. Meskipun lucu juga, terlahir jadi manusia, tapi nggak ada batas waktunya kapan dinyatakan lulus belajar sebagai manusia.
Namanya juga belajar hidup selaras dengan makhluk-makhluk setengah debu bintang lainnya, pasti banyak benturan dan nyeri-nyeri karena kena kerikil. 
Tapi aku percaya, jika masih dikasih hidup, berarti masih dikasih kesempatan untuk belajar cara menghidupi hidup.
Selamat datang di bulan Oktober. Di bulan Ber-ber yang banyak hujannya, kita boleh nangis, marah-marah atau putus asa, tapi jangan lupa bobo sambil baluran minyak kayu putih dan selimutan. Meskipun sedih, amrah dan takut, setidaknya terselamatkan dari masuk angin dan pilek.
0 notes
tilotama · 2 years ago
Text
Suatu Selasa sore di musim kemarau aku menangis haru.
Belum pernah aku dicintai dengan cara paling liar, tapi justru menjadi yang paling jujur dan puitis dari yang pernah aku rasakan.
0 notes
tilotama · 2 years ago
Text
Di antara semua racau yang pernah aku tumpahkan di hadapanmu
Di antara semua rayuan-rayuan paling jujur sampai paling membual yang pernah kamu terima dariku
Di antara semua guyonan dari paling lucu sampai paling tidak ada artinya tapi justru bisa membuat perut keram di lampu merah
Ada satu perasaan aneh yang belum pernah aku bagi ke kamu
Jika kamu bertanya seperti biasa, "aku perlu tau ngga?", aku rasa kamu perlu tau
Ada masa dimana sekelilingku sepi sekali, bahkan tidak ada suara jangkrik atau cicak, sehingga aku bisa mendengar diriku menangis pelan-pelan.
Dengan lemas aku menangis sambil setengah berbisik, "aku khawatir aku tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kehadiranmu yang agung."
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Monoton dan Tidak
Aku selalu membayangkan, kalau ibarat film, aku adalah anak perempuan yang lahir dan tumbuh di area kumuh. sehari-hari pergi berjalan kaki melewati trotoar yang jalannya berlubang, di bawah sinar matahari yang terik dan gempuran asap kenalpot bus tua yang reyot. Malamnya aku pulang melewati jalan yang sama, melompati lubang-lubang trotoar agar tidak terkena lumpur sisa hujan, dengan bantuan cahaya lampu merkuri yang redup hampir putus.
Aku bukan karakter utama di film itu, karena tidak terlalu menarik juga kehidupanku. Disapa genit oleh pekerja bangunan atau supir angkutan umum sudah terlalu familiar untukku. Hidupku juga monoton, bekerja dari pagi hingga malam untuk bertahan hidup, dan pulang ke rumah mendengar pertikaian rumah suami-istri yang menjadi lantunan sehari-hari dari orang tuaku. Setiap hari berputar seperti itu, terlalu monoton.
Tapi siapa menduga beberapa produser film kadang suka membuat sekuel yang mengambil sudut pandang bukan karakter utama. Itu adalah saat dimana si-bukan-karakter-utama mengambil sikap-sikap tidak biasa, lalu penulis naskah akan menyoroti perjalanan hidup si-bukan-karakter-utama.
Ada suatu momen dimana aku perlu menjalani hidup yang berbeda dari yang aku alami sehari-hari. Kekerasan, konflik, tragedi adalah hal yang terlalu familiar buatku, sangat monoton dan membosankan. Aku ingin mencoba hal yang sedikit berbeda; mencari bahagia.
Apakah itu soal aku mendapatkan pekerjaan yang kesibukannya lebih teratur? Apakah itu soal aku akan berpakaian lebih bermartabat? Apakah itu soal aku memiliki tempat tinggal yang lebih sunyi? Apakah itu soal aku akan berjalan kaki tanpa seorang pun memperhatikanku? Aku tidak pernah benar-benar tahu.
Sampai tiba-tiba di antara semua proses itu, ada seorang laki-laki yang terus-terusan duduk dan berjalan di sampingku. Menjadi redam bagi semua keriuhan yang bukan bagianku, sehingga aku hanya perlu mendengar dan meredam riuh di kepalaku sendiri. Menjadi air bagi pohon-pohon besar di luar rumahku, sehingga aku hanya perlu mengairi tanaman-tanaman kecilku sendiri. Menjadi tenang bagi hiruk pikuk di sekililingku, sehingga aku hanya perlu mengatasi perkelahian antara aku dan diriku sendiri.
Adalah hidup yang tidak pernah kubayangkan akan kulalui, karena aku pikir aku akan mati membusuk karena pembunuhan, sakit keras atau hal tragis lainnya. tapi, ternyata di usia muda, aku bisa mengenali hal tidak monoton, yang itu bernama rasa aman.
1 note · View note
tilotama · 3 years ago
Text
Berawal dari niat manembah sendiri-sendiri tapi bareng-bareng. Dari makan pisang rebus selama seminggu, lalu tahu-tahu pengen nepi ke Bantul mencari khusyuk. Dari kemurungsung sampai nangis-nangis di kali, memohon agar kekotoran hati, pikiran dan tubuh bisa lebur. Dari teman merokok setelah puja purnama sampai dia melihatku wiridan sebelum tidur. Dari kopi susu di Awor hingga Americano tiap hari di Haia. Dari "Mas bajumu lucu" sampai dua minggu kemudian baju itu jadi punyaku. Dari "I like you" dijawab "yo wes", sampai "aku akan melatih otot tanganku untuk menyapu rumah latar ombo" lalu dijawab dengan tersipu malu. Dari duduk menyiku di ruang tamu hingga tahu-tahu "nyender nyaman ya?". Dari lagu Ada di Sana, Moon Song, hingga Something Between My Room and Yours. Dari cari beras ke Muntilan, lalu mimpi berdoa bersama di satu Lingga Yoni di halaman belakang candi. Dari tos kepal tangan yang berubah jadi side hug pas lagi kerja. Dari aku insomnia terus dikasi Alastu rokok jinten hitam, sampai tiba-tiba "aku ga bantuin masak ya, tugasku masuk angin dan yang ngerokin kudu kamu".
Aku mencatat semua memori dengan baik, berusaha mengarsipkannya secara rapi, menelusuri perjalananku dari selalu kabur hingga menerima kebutuhan dan kewajibanku untuk simpuh berbakti.
Aku menyerahkan diriku, tubuhku, hidupku kepada Gusti untuk dibimbing kembali setia menjadi Bhakta-Nya.
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Konsekuensi
Sebagai pengingat, kalau kita meminta sesuatu maka harus bertanggung jawab atas permintaan itu.
Ketika minta uang yang banyak, maka kalau dapat pekerjaan yang bertubi-tubi harus dikerjakan semua.
Ketika minta rumah yang nyaman, maka kalau sudah dapat tempat tinggal harus dirawat dan rajin dibersihkan.
Ketika minta semua dosa dan kekotoran pikiran dilebur agar bisa berbakti pada Gusti, maka harus mau mengalami momen-momen peleburan yang menyakitkan.
Bertanggung jawab sering kali (jika tidak bisa dibilang selalu) terasa tidak nyaman, tapi itu tidak pernah bisa dihindarkan.
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Ujian Praktek
Dari dulu, mamaku adalah ibu yang sangat manis dan lembut, tapi kalo soal belajar dia jadi anggota militer yang sangat kejam. Maka ngga heran kalo aku terobsesi sama belajar. Kenapa kubilang terobsesi? Karena aku suka banget belajar, tapi sekalinya aku memutuskan belajar, aku langsung stres. Karena takut salah. Padahal kan tujuan belajar mana yang benar, mana yang salah, bagaimana identifiksi keduanya, memilih dan mengaplikasikannya.
Anyway...
Karena suka belajar, aku sangat suka berbagai aktivitas belajar, seperti sekolah, workshop, kajian, membaca buku, mendengar ceramah, ikut forum diskusi dan sebagainya. Aku sangat suka dengan pengalaman aku mempelajari sesuatu yang baru secara verbal dan visual. Tapi, ketika aku harus mempelajarinya secara lebih practical, rasa stres karena takut salah langsung membanjiriku.
Aku ingat sekali ketika masih SMA, aku sangat suka pelajaran Fisika. Aku suka menghitung arus listrik, bahkan ketika guruku memberi soal yg sangat susah aku akan membuat rumus untuk menyelesaikannya. Tapi, ketika aku harus menghadapi ujian praktek rangkaian listrik, aku mulas.
Sebenernya guruku baik. Dia sadar dia jarang mengajari rangkaian listrik, jadi bukan masalah kalau muridnya tidak bisa merangkai listrik. Seperti semua orang, rangkaian listrikku tidak menyala. Guruku tidak marah sama sekali, tapi aku menangis sampai rumah karena merasa gagal.
Atau momen ketika pertama kali turun lapangan dan mewawancarai orang. Proses wawancaranya lancar, data yang dibutuhkan bisa kudapatkan, tapi ketika perjalanan pulang aku ragu dan takut, apakah aku sudah mengaplikasikan materi di kelas atau belum.
Sampai sekarang aku masih suka belajar, termasuk belajar cara hidup. Salah satu tema dalam hidup yang sampai sekarang masih aku kenali baik-baik adalah relasi romantis. Bagaimana kemudian kita bisa menerima rasa dan pikiran jadi satu, lalu berinteraksi dengan orang yang pengaruhnya sangat signifikan bagi kita tanpa membuat kita kehilangan diri sendiri?
Diskusi bermalam-malam, belasan buku, beberapa workshop kuikuti untuk memahami bagaimana membangun relasi romantis yang menumbuhkan diri sendiri. Semua terasa menyenangkan sampai aku menyadari aku jatuh cinta dengan teman belajarku sendiri. Dan semua terasa makin mengerikan justru ketika kami memiliki rasa dan keinginan yang sama untuk berada dalam relasi romantis.
Ini seperti ujian praktek, bikin stress dan ngga jarang meragukan kemampuan diri.
Tapi katanya, "Tidak ada juga yang menjamin aku murni dan tulus. But im tryin to. All you have to do juga sama, trying to."
Aduh mulas.
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Kalo soal aku mengagumimu, anjing-anjing kampung itu juga sudah hapal.
Kalo soal aku suka ngelihatin kamu, americano setengah gelas yang esnya sudah mencair juga sudah sangat paham.
Kalo soal aku punya jurnal khusus mimpi yang ada kamunya, bantalku bisa jadi saksi bisu paling terpercaya.
Tapi, untuk menyadari bahwa mengagumi semua hal yang ada di kamu mengajariku banyak hal, itu persoalan lain.
Bagaimana setiap aku berhadapan denganmu, aku malah berhadapan dengan banyak pertanyaan soalku. Sepertinya kancing bajuku pun tidak tahu hal itu.
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Penyihir Favorit
Awalnya aku mengira kamu seperti air, begitu tenang dan menyejukkan
Tapi, ada yang bilang kamu seperti angin, tidak pasti kemana arahmu bertiup, tidak ada yang menduga kemana kamu membawa awan pergi
Ayah ibumu bilang kamu seperti tanah, tak tergoyahkan, tapi mampu meruntuhkan harapan mereka dalam satu langkahmu bergerak
Katamu kamu adalah api yang meletup-letup dengan liar dan tidak dapat dikendalikan.
Tapi, ternyata kamu adalah keempatnya. Kesatuan sempurna dari air, api, tanah dan udara dengan satu titik suci di tengah yang menjadi tempat dimana kamu selalu kembali.
Kamu adalah air dimana kasih mengalir deras dari setiap lakumu
Kamu adalah angin dimana kabar darimu menjadi selalu penting
Kamu adalah tanah dimana kebajikan dan kebijakan tumbuh subur dirawat dengan penuh kasih
Kamu adalah pemantik yang menyalakan api-api kecil di setiap orang di sekitarmu
Kehidupanmu penting, kehadiranmu karunia.
Tumbuhlah, mekarlah, berbahagialah 🤍
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Nyala
Biasanya memang aku ke sini. Duduk di pinggir pantai, gelap-gelap dan sendirian. Telanjang kaki. Telapak kakiku bisa merasakan lembut pasir pantai, basahnya, kerikil karangnya, bangkai kepiting atau pipis anjing.
Pernah aku ke sini dengan sebatang korek kayu kecil tapi selalu menyala selama belasan tahun. Aku duduk melipat lutut, rokku basah dijilat ombak-ombak kecil. Aku menangis sendirian.
Pernah sekali aku menghampirinya, si gadis dengan korek kayu yang menyala selama belasan tahun. Memeluknya, menunjukkan ada api unggun untuk kami berdua. Api unggun yang nyalanya abadi, yang jika korek kayu mati, kami bisa menghidupkannya kembali di api abadi.
Belakangan aku jarang ke pantai malam-malam. Aku tersesat di antara lautan manusia yang berjejal di tengah kota. Susah payah aku keluar dari kerumunan hingga aku bisa ke pantai lagi, tapi aku lupa jalan ke pantai.
Hingga mercusuar menyorotkan lampunya ke pinggir pantai, menunjukkanku si gadis dengan korek kayu sedang duduk menggigil, ia ketakutan dalam gelap. Tangisnya pecah saat si mercusuar memberinya cahaya, bahwa ternyata gelap dunianya bukan pertanda hidupnya sudah berakhir, tapi si gadis dan aku yang tersesat sedang lupa bahwa ada api unggun yang nyalanya tidak pernah habis.
Mercusuar, aku yang tersesat dan aku yang memegang korek kayu memiliki nyala. Kami berbagi nyala untuk kembali menemukan api kehidupan yang hangat dan abadi.
0 notes
tilotama · 3 years ago
Text
Kepada tanah dimana apiku bisa padam tanpa paksaan
Namun juga kepada angin yang turun merayakan nyalaku
Pada setiap kecanggungan di antara sesaji dan harum dupa
Pada setiap kekhawatiran namun juga penasaran akan siapa Tuhan
Aku berterima kasih karena telah lahir dan hadir
Oh, love is in the air
0 notes