...adalah ia yang terjebak lakuna. Mendekap semesta dengan cinta. Mengudara rasa dengan aksara. Temanmu bercerita. -Senandika, 17 warsa.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Di Balik Psikologi: Nisrina di Sepanjang Usia Anak dan Remajanya
We were young and wild and free... -Bryan Adams, Heaven.
...
Aku pernah menuliskan di sebuah postingan pada tahun 2019 lalu tentang pengalaman yang kudapatkan selama menjadi mahasiswa psikologi semester dua. Time flies so fast hingga saat ini aku sudah berstatus sebagai mahasiswi semester enam. Wow, semester enam.
Semakin lama aku mempelajari ilmu psikologi, semakin aku menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat luar biasa. Belajar psikologi membantuku untuk melatih dan menahan diri untuk tidak bersikap judgemental terlalu cepat terhadap keputusan orang lain -meskipun susah. Anggaplah sebuah contoh sederhana. Dahulu, aku bisa dengan mudah menganggap bahwa orangtuaku terlalu begini dan kurang begitu. Aku merasa bahwa aku tahu segalanya yang terbaik bagi diriku hanya karena aku --seperti potongan lirik lagu yang kutuliskan sebagai pembuka-- was young and wild and free. Memang betul, setiap orang di masa mudanya mendambakan kebebasan, aku pun demikian.
Hingga aku mempelajari tentang stimulasi.
Okay, so here we go. It would be a pretty long note, I assume.
Siapa yang setuju bahwa manusia memiliki pola dan timeline perkembangan masing-masing?
Yup, pada dasarnya, manusia memang memiliki timeline perkembangan masing-masing. Namun, secara garis besar, manusia melalui fase perkembangan yang relatif serupa antara satu dengan lainnya. Dulu, aku mengira bahwa setiap fase perkembangan itu dapat dengan serta-merta diperoleh individu ketika ia tiba di usia tersebut. Hingga aku menyadari bahwa setiap orang mungkin memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, tetapi tidak semuanya mampu memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik mungkin.
Sepanjang kuliah di psikologi, aku dibuat takjub oleh sebuah teori, namanya teori psychosocial development stage yang dikembangkan oleh Erik Erikson. Singkatnya, Erikson menjelaskan bahwa proses perkembangan manusia terjadi di sepanjang rentang usia, bukan hanya pada tahun-tahun awal saja (Santrock, 2018).
(Verywellmind, 2021 July 18)
Berdasarkan psychosocial stages tersebut, diketahui bahwa manusia memiliki tugas-tugas yang perlu ia capai pada setiap rentang perkembangan. Lalu, bagaimana cara agar tugas-tugas tersebut dapat tercapai secara optimal?
Menurut de Jong dkk. (2018), perkembangan fungsi kognitif anak dapat dipengaruhi oleh kemampuan atensi anak serta perilaku ibu untuk menjaga atensi anak. Kelekatan dengan keluarga dan teman sebaya dapat mengurangi kondisi rentan individu dan mengoptimalkan pembentukan identitas (Gandhi dkk., 2016). Selain itu, sekolah juga memegang peran penting agar anak dapat mengetahui berbagai ranah ilmu pengetahuan yang dapat memperkaya perspektif mengenai identitas yang nantinya terbentuk (Verhoeven dkk., 2019). Dari sini, kita jadi tahu kalau peran lingkungan terdekat anak sangat penting untuk membantu perkembangannya.
Kehadiran orangtua, guru, maupun orang dewasa lain di sekitar individu dapat membantu proses scaffolding agar ia berhasil mengoptimalkan zona perkembangannya. Konsep tersebut berakar pada teori dari Lev Vygotsky yang menyatakan bahwa sejatinya, anak mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara aktif melalui adanya aksi dan interaksi dengan dunia sekitar (Santrock, 2018). Vygotsky juga menyatakan tentang keberadaan zone of proximal development (ZPD), yaitu sebuah area perkembangan berisi tugas-tugas yang dapat dikuasai oleh anak dengan bimbingan dari orang dewasa ataupun orang lain yang lebih berpengalaman. Di sinilah peran scaffolding sangat dibutuhkan.
Peran dari lingkungan terhadap perkembangan anak juga dijabarkan oleh Urie Bronfenbrenner melalui konsep bioecological. Konsep tersebut berfokus pada pengaruh sosial dan institusional dalam perkembangan anak, mulai dari keluarga, sekolah, tempat ibadah, lingkungan, hingga pengaruh sosial dan politik yang lebih luas, seperti media massa dan pemerintah (Slavin, 2018). Nah, jadilah semakin terlihat bahwa keluarga, guru, hingga lingkup lingkungan yang lebih luas menjadi sangat memengaruhi stimulasi perkembangan anak.
Seluruh ilmu pengetahuan baru yang kudapat sebagai hasil belajar psikologi membuatku terkadang mencoba merefleksikan seluruh teori tersebut ke dalam diriku sendiri. Dalam konteks ini, aku mencoba mengidentifikasi tentang stimulasi apa, sih, yang sebenarnya sudah/belum aku dapatkan dari orangtua maupun orang dewasa lain di sekitarku ketika aku masih anak-anak hingga remaja?
Demi melancarkan refleksi tersebut, aku membuka ulang album foto di laptop dan menemukan beberapa foto yang menarik.
(Nisrina, 3 tahun)
Ketika itu, Nisrina berusia tiga tahun. Di usia yang semuda itu, ia sudah masuk TK. Suatu hari, sekolahnya hendak mengadakan pawai busana dalam rangka merayakan kemerdakaan. Setiap anak diminta untuk mengajukan kostum yang ingin mereka gunakan masing-masing. Tema kostum yang harus dikenakan ketika itu -aku masih sangat ingat- adalah cita-cita.
Ketika aku ditanya, aku menjawab dengan suara perlahan bahwa cita-citaku adalah menjadi...
...pengantin.
Ya, seorang pengantin. Ketika itu, aku tidak punya bayangan apapun tentang pernikahan. Aku hanya memahami bahwa setiap perempuan akan tampil cantik ketika menjadi pengantin, sehingga aku ingin menjadi pengantin.
Apa yang dilakukan orangtua dan guruku ketika mendengar jawabanku? Sepertinya, foto di atas (dengan senyum ceria itu) tidak akan ada jika orangtua atau guru memarahiku. Dalam kata lain, mungkin mereka tertawa karena keinginanku yang terdengar absurd, tetapi di sisi lain, aku bersyukur karena mereka menyadari bahwa ketika itu, aku hanyalah seorang anak berusia tiga tahun yang bahkan belum bisa memakai baju sendiri dengan benar. Alih-alih memarahi atau melarang, mereka justru memberi ruang terhadap impian sederhanaku. Bahkan, aku tidak tahu apakah ini termasuk false memory atau memang aku bisa mengingat kejadiannya dengan baik, tapi aku ingat betul ketika orangtuaku berkeliling mencari tempat persewaan baju yang dapat menyewakan baju pengantin adat jawa untuk anak usia tiga tahun. Di tahun 2006, pawai budaya belum semeriah beberapa tahun belakangan ini sehingga kostum tersebut tentu sangat sulit ditemukan.
But, they made it and look at that bright face of mine on that photo! Haha, cheers!
(Nisrina ketika tampil di acara perpisahan TK tahun 2006)
Lanjut, aku menemukan foto di atas. Keluargaku sangat mendukung setiap hal positif yang tengah kukerjakan. Tidak hanya mendukung, mereka benar-benar mengupayakan hal tersebut. Termasuk ketika aku hendak tampil di acara perpisahan TK. Aku diberi kesempatan untuk tampil membaca puisi. Ya, namanya puisi anak TK, akan sebagus apa, sih? Namun, tetap saja, kesempatan ini kurasa merupakan salah satu stimulasi besar bagi kepercayaan diriku.
Ketika itu, usiaku baru tiga tahun. Mengutip pada teori psychosocial, pada tahap tersebut, aku tengah berada pada fase autonomy versus shame and doubt. Aku belajar mengembangkan rasa percaya diri, termasuk salah satunya dengan tampil di hadapan publik. Aku merasa bahwa orangtua, keluarga, guru, bahkan orangtua murid lain yang menyaksikan pun turut serta memberikan stimulasi positif bagi perkembangan rasa percaya diriku.
Ketika itu, usiaku baru tiga tahun. Mengutip pada teori psychosocial, pada tahap tersebut, aku tengah berada pada fase autonomy versus shame and doubt. Aku belajar mengembangkan rasa percaya diri, termasuk salah satunya dengan tampil di hadapan publik. Aku merasa bahwa orangtua, keluarga, guru, bahkan orangtua murid lain yang menyaksikan pun turut serta memberikan stimulasi positif bagi perkembangan rasa percaya diriku.
(Nisrina, 4 tahun, bersama komputer kesayangan -dan satu-satunya)
Keberadaan scaffolding akan membantu anak untuk mengembangkan diri secara lebih optimal sesuai fase perkembangannya. Hal tersebut aku rasakan ketika aku memilih untuk memulai bersekolah di usia yang lebih muda. Aku baru berusia 4 tahun ketika memasuki jenjang sekolah dasar. Sepanjang proses belajar, orangtuaku selalu berusaha mendampingi serta memberikan dukungan fasilitas belajar seperti melalui bimbingan belajar.
Pada fase ini, orangtuaku memberi stimulasi untuk melalui tahap initiative versus guilt. Aku tidak pernah dimarahi karena nilai jelek, tapi aku diberi pengertian tentang akibat yang bisa terjadi jika aku tidak mau belajar. Aku tidak dilarang bermain komputer, tapi aku diberi syarat apabila aku ingin bermain komputer, maka aku harus sudah belajar dan sudah mandi. Wow, mirip prinsip delayed gratification!
(Nisrina, 8 tahun, ketika ikut lomba bersama teman-temannya)
Ketika berusia 8 tahun, aku sudah duduk di kelas 5 SD. Orangtuaku mulai aktif untuk mengajakku ikut dalam berbagai kegiatan perlombaan. Ketika itu, aku paling suka aktivitas menulis. Jadilah, aku ikut berbagai kompetisi menulis. Tidak semuanya berakhir dengan kemenangan, tapi dari sana, rasa cintaku terhadap dunia kepenulisan semakin bertambah seiring dengan perkembangan kemampuan menulisku.
Setelah belajar psikologi, barulah aku menyadari. Oh, apakah itu yang dinamakan industry versus inferority? Orangtuaku berhasil mengembangkan jiwa kompetensi dan profesionalitas dalam diriku. Hal ini menjadi bekal pondasi yang luar biasa kuat hingga ke tahun-tahun berikutnya.
Ketika beranjak remaja, aku memasuki fase krisis identitas. Kalau menurut Erikson, sih, namanya identity versus role confusion. Aku kebingungan menentukan jurusan kuliah, jenjang karir yang akan kurencanakan, dan berbagai ketakutan lain. Hal ini wajar, mengingat bahwa remaja memang masa pencarian jati diri yang sering kali ditandai dengan pertanyaan “Siapakah aku?” agar kita bisa mulai membangun identitas diri (Upreti, 2017).
Demi membuatku menghadapi krisis identitas tersebut, orangtuaku memberikan stimulasi berupa dukungan untuk mengeksplorasi diri. Orangtuaku turut mendukung segala kesempatan untuk aku mengembangkan diri, termasuk melepasku (yang ketika itu baru berusia 14 tahun) pergi ke Malaysia sendirian guna menghadiri model united nations. Meski setelahnya, aku masih ingat bahwa aku justru menghabiskan satu minggu di Malaysia untuk menangisi keputusan yang kubuat (karena aku ternyata gak nyaman dengan suasananya), orangtuaku tetap memberi ruang eksplorasi tersebut.
Bersyukurnya aku, kedua orangtuaku tidak pernah memaksa agar aku jadi begini atau begitu. Mereka berusaha mengenali minat dan potensiku untuk kemudian memberikan fasilitas yang sesuai. Aku suka menulis, jadi orangtuaku memberi dukungan penuh dengan membantu memberi masukan terhadap hasil karyaku, mendaftarkanku di berbagai komunitas menulis, mendukungku di setiap perlombaan, hingga akhirnya aku berhasil menerbitkan buku pertamaku.
(Nisrina, 15 tahun, bersama kelima bukunya)
Berawal dari buku-buku inilah, orangtuaku mengajakku untuk berdiskusi tentang jurusan kuliah yang kuinginkan. Terjadilah dialog yang kurang lebih menyebutkan bahwa orangtuaku bertanya tentang minat. Ketika kujawab “menulis”, mamaku berkata bahwa aku harus punya sesuatu hal lain untuk kutekuni, karena selama ini, aku menjadikan menulis sebagai refreshing, sebagai hobi. Mamaku khawatir aku justru akan terbebani oleh aktivitas yang kusukai apabila aku mengambil studi di jurusan yang terkait kepenulisan.
Wow, what an insight!
Setelah diskusi dan pencarian jati diri yang panjang, di pertengahan masa remajaku, aku memutuskan untuk memilih psikologi sebagai tempat berlabuh, ceileh. Meski perjuangannya tidak mudah (bisa baca di sini), aku belajar sangat banyak di sepanjang prosesnya. Semua hal itu tidak lepas dari peran orangtua yang luar biasa dalam mendampingi dan memberikan stimulasi sepanjang hidupku.
Wow, sudah panjang sekali.
Aku jadi berpikir, “Apakah aku bisa memberikan hal yang setidaknya sama baiknya dengan yang orangtuaku lakukan kepadaku?”. Ternyata menjadi orangtua juga merupakan sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Semoga aku benar-benar bisa memahami dan meresapi semua pengetahuan yang kudapat dari proses belajar di psikologi agar kelak aku dapat menerapkan itu dengan baik ketika menjadi orangtua.
Satu hal yang aku merasa kurang mendapat stimulasi dari lingkungan sekitarku adalah tentang keterampilan sosial. Aku memulai pendidikan di usia yang masih sangat muda, jauh terpaut dengan teman-teman seangkatan. Orangtuaku memberi stimulasi sangat baik terhadap perkembangan kognitif dan intrapersonal, tetapi kurang pada interpersonal. Aku jadi canggung secara sosial, kurang bisa beradaptasi dengan mudah, dan kurang bisa menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain dalam jangka waktu panjang. Karena memang sejak kecil, aku terbiasa untuk beraktivitas dengan lebih berfokus pada diri sendiri sehingga aku kurang bisa mengembangkan kegiatan sosial.
Bisa jadi juga karena alasan itulah aku tidak terlalu memiliki banyak teman.
Keterampilan sosial perlu dikembangkan sejak anak masih berusia dini karena merupakan suatu pondasi agar anak dapat bersikap secara layak di masyarakat nantinya (Maleki dkk., 2019). Untuk memberikan stimulasi terhadap keterampilan sosial anak, memang sudah seharusnya anak diajak banyak berdiskusi, mengobrol, Menurut UNESCO, terdapat tiga keterampilan sosial yang perlu diasah oleh anak, yaitu kemampuan komunikasi interpersonal, empati, dan kerja tim (Budyartati, 2015). Keterampilan sosial yang baik akan dapat menyempurnakan seluruh stimulasi terhadap diri anak.
Akhir kata, tidak ada individu yang sempurna, begitu pula dalam relasi orang tua dengan anak. Mungkin memang enggak semua aspek perkembanganku bisa terstimulasi optimal, tapi aku sangat mengapresiasi setiap usaha stimulasi yang dilakukan oleh orangtuaku hingga saat ini.
Yuk, kita jadi orangtua yang baik bagi anak-anak kita kelak! Tidak hanya sebagai orangtua, sih. Kita juga bisa memberi pengaruh positif buat semua anak, dimulai dari lingkungan terdekat kita.
Sincerely, Nisrina.
Catatan: Tulisan dibuat untuk memenuhi ujian tengah semester mata kuliah Stimulasi Perkembangan Anak dan Remaja. Nama mahasiswa: Nur Nisrina Hanif Rifda NIM: 19/442901/PS/07955
Referensi:
Budyartati, S. (2015). Development of social skill scale for early childhood. Premiere Educandum, 5(1), 139-154. de Jong, M., Verhoeven, M., Hooge, I. T. C., Maingay-Visser, A. P. G. F., Spanjerberg, L., & van Baar, A. L. (2018). Cognitive functioning in toddlerhood: The role of gestational age, attention capacities, and maternal stimulation. Developmental Psychology, 54(4), 648–662. https://doi.org/10.1037/dev0000446 Gandhi, A., Claes, L., Bosmans, G., Baetens, I., Wilderjans, T. F., Maitra, S., Kiekens, G., & Luyckx, K. (2016). Non-suicidal self-injury and adolescents attachment with peers and mother: The mediating role of identity synthesis and confusion. Journal of Child and Family Studies, 25(6), 1735–1745. https://doi.org/10.1007/s10826-015-0350-0 Maleki, M., Mardani, A., Chehrzad, M., Dianatinasab, M., & Vaismoradi, M. (2019). Social skills in children at home and in preschool. Behavioral Sciences, 9(7). Santrock, J. W. (2018). A topical approach to life-span development. McGraw-Hill Education. Upreti, R. (2017). Identity construction: An important issue among adolescents. IOSR Journal Of Humanities And Social Science, 22(6), 54-57. Verhoeven, M., Poorthuis, A. M. G., & Volman, M. (2019). The role of school in adolescents’ identity development. A literature review. Educational Psychology Review, 31(1). DOI:10.1007/s10648-018-9457-3 Verywellmind (2021, July 18). Erik Erikson’s stages of psychosocial stages. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/erik-eriksons-stages-of-psychosocial-development-2795740
4 notes
·
View notes
Text
Partner
Beberapa bulan terakhir ini, aku mendadak menemukan partner. Even if I can say, the best partner ever. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan seseorang yang benar-benar nyambung denganku dalam berbagai hal. Mulai dari kegiatan profesional, organisasi, akademik, nonakademik, hingga kegiatan-kegiatan receh sesederhana selera musik. Kami sama-sama tertawa ketika tahu bahwa kami menyukai lagu-lagu Westlife dan Michael Learns to Rock. Kami bisa bertukar komentar tentang suatu makanan tertentu karena kami memiliki selera makan yang sama. Bahkan, in another not-so-good context, kami bisa saling bercerita (baca : bergosip) tentang seseorang atau sesuatu yang tidak kami sukai. With a very clear and connected thoughts, hahahaha.
Dia pendengar yang sangat luar biasa. Ketika pertama kali kami berbincang panjang tentang suatu hal, aku tidak menyangka bahwa aku menemukan seseorang yang benar-benar paham jalan pikiranku. Perbincangan kami mencapai topik-topik serius seperti kesetaraan gender, quarter life crisis, mental disorder, hingga the meaning of life. Every discussions and differences of our thoughts really broaden my view towards anything. Pemikiran kami tidak selalu sama, tapi aku bisa paham pola pikirnya, begitu pula dia. We reconstructed our opinions and tried to learn from each other’s point of view.
Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan orang yang benar-benar sejalan denganku. Bahkan mungkin belum pernah ada. Aku kurang tahu pasti. Namun, all the conversations that we had, the thoughts that we shared, those little things... mean the world to me.
Hahahaha, tapi perbincangan pertama kami sudah dimulai dengan love story. Puppy love story. Meskipun anggaplah semua cerita itu adalah cerita cinta monyet, cukuplah membuatku seperti sadar diri, “Wake up, sist. You are just that little,” sembari diam-diam menyeiipkan rasa iri terhadap perempuan yang pernah menempati (mungkin) posisi paling penting dalam hidupnya.
Terlepas dari semua itu, I’m beyond grateful to know him. Hal lain yang sangat kusuka dari dia adalah hubungannya dengan keluarganya. Hati siapa yang tidak terharu ketika sedang berbincang tentang masa depan setelah lulus kuliah, the very first thing he mentioned was about “paying forward” to his family, then he shared a little fragment of his family background. Hal yang mendadak membuatku malu karena sebelum itu, aku menjawab dengan pasti, “Setelah lulus kuliah, aku mau lanjut sekolah lagi, ambil profesi psikolog pendidikan, lalu kerja di blablabla...,” sedangkan dia hanya tertawa kecil sambil berkata, “Target hidupku sederhana, sih, Na (he called me “Na” which means “Nisrina”). Aku juga pernah punya keinginan ini-itu, tapi untuk sampai sekarang, aku pengen lulus dan bantu orangtuaku blablabla...,”. Eh, bukan berarti aku tidak ada niatan untuk membantu orangtua, tapi maksudku, setiap ditanya tentang rencana masa depan setelah lulus kuliah, hal pertama yang terbersit di pikiranku pasti masih berorientasi pada diri sendiri. Aku paham bahwa konteks ini bukanlah sesuatu yang hitam-putih, tapi berkat percakapan tersebut, then I know how wise he is. Pernah juga sekali waktu, ketika aku sedang berjumpa dengan dia, keluarganya menelepon. Aku menahan senyum di balik masker ketika melihat dia mengobrol dan berinteraksi dengan orangtua, adik-adiknya, kakaknya... Sebuah cuplikan momen yang kemudian membuatku “berani” menelepon orangtuaku, setelah selama ini, aku lebih suka menghubungi lewat pesan chat. Bisa dibilang, tanpa ia sadari, dia membuat perubahan yang begitu signifikan dalam hidupku.
Semua perbincangan kami sering kali membuatku bermuara pada perenungan di ujung malam sambil berkali-kali bergumam, “iya juga, ya...,”. Dia membuatku berani kembali memeluk semua impianku. Dia mendengarkan semua ceritaku dan memahami semua cerita tersebut dengan baik. Tidak pernah sekalipun kudengar dia menghujat atau sekadar me-”ya udah gitu doang”-kan ceritaku.
Dia juga cerdas dan berwawasan luas (hahahaha sudah seperti RPUL atau finalis seleksi duta pendidikan, tapi beneran). Aku benar-benar bisa cerita apapun dan bahkan se-random aku bertanya plat nomor kendaraan ke dia, dia tahu. Bagian yang paling menyebalkan adalah setiap dia pura-pura bertanya sesuatu ke aku, lalu aku sok tau menjelaskan panjang-lebar, eh ternyata sebenarnya dia sudah tahu, malah dia melengkapi jawabanku. KAN AKU MALU. Ya tapi gakpapa, sih. Aku yakin kecerdasan dia berpengaruh besar untuk mengantarkan kami meraih beberapa kemenangan dalam kompetisi yang kami ikuti berdua.
Hal lain yang membuatku sangat takjub adalah karena dia bisa memahami selera humorku dan ikut tertawa karena humor tersebut (yang mana, selama ini, sepertinya cuma mamaku yang bisa begitu). Ketika itu kami pernah bertemu untuk membahas sesuatu. Sambil menunggu, kami duduk di pinggir jalan menghadap jalan raya. Lewatlah seorang pengumpul sampah dengan karung penuh sampah di punggungnya, disusul dengan gerobak sampah penuh muatan, kemudian mobil pickup kecil yang juga mengangkut sampah. Aku tertawa meski tidak ada yang lucu dan kejadian itu. Ketika mendengarku tertawa, dia menoleh dan menggeleng-gelengkan kepala. Hingga tiba-tiba, sebuah truk besar bermuatan penuh sampah melintas di depan kami. Dia sontak menoleh ke arahku dan kami tertawa lepas bersama. Aku tidak bisa menjelaskan sisi lucunya, tapi aku senang karena dia paham dan ikut tertawa.
Lain waktu, kami bertemu karena diajak makan bersama-sama dengan teman-teman lain. Aku tertawa karena melihat seekor kucing berlari. Tiba-tiba, dia nyeletuk, “Nis, coba bayangin kalau kucing pas jalan, kakinya gak gerak ke depan-belakang, tapi ke samping kanan-kiri, jadi begini (sambil merentangkan tangan untuk menirukan gerakan kucing yang ia maksud),”. Mendengar hal tersebut, aku tertawa karena kalimat yang ia ucapkan sama persis dengan imajinasi di kepalaku yang akhirnya membuatku tertawa ketika melihat kucing tersebut berlari. Melihatku tertawa, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. Sementara teman-teman lain juga ikut menggeleng-gelengkan kepala karena tidak memahami jokes yang kami tertawakan.
Bonus : salah satu chat pertama yang dia lontarkan sambil ketawa-ketawa saat menanggapi ceritaku, tapi deep meaning juga.
Sincerely, Nisrina.
0 notes
Text
Bahagiaku di Awal 2021
Bulan Agustus 2020 lalu, aku mengemban tugas sebagai salah satu staf pemandu PPSMB Psikologi Rumah Kita. Sebuah program orientasi untuk mahasiswa baru Fakultas Psikologi UGM. Sebagai pemandu, salah satu hal yang harus kulakukan adalah ikut mengerjakan penugasan Gamada (Gadjah Mada Muda) plus latihan penilaian penugasan.
Salah satu penugasan yang perlu diselesaikan adalah membuat life plan. Sebuah aktivitas yang selalu bikin aku puyeng. Iya, puyeng. Karena Nisrina akan berusaha sekuat tenaga untuk menyeimbangkan antara idealisme dengan reliatas yang ada di dunia, hehe. Begitupula untuk urusan penugasan ini. Meskipun aku tahu betul kalau sebenernya life plan buatanku enggak akan berpengaruh apapun terhadap PRK (alias cuma dipakai buat simulasi penilaian), aku tetep aja mengerjakannya dengan sepenuh hati. Bener-bener sepenuh hati.
Target pertama yang kutulis di life plan buatanku adalah...
Yups. “Menerbitkan buku lagi di tahun 2021″.
Aku ingat betul betapa di waktu itu, target yang kutuliskan masih sama sekali tanpa persiapan. Aku punya beberapa naskah on-going yang kebanyakan bener-bener stuck, enggak bisa (atau belum) kulanjutkan karena begini dan begitu. Satu-satunya alasan yang mendasari keputusanku untuk menulis target tersebut adalah murni karena keinginan kuat di dalam hati.
Hingga, entah bagaimana awalnya, semua hal terjadi begitu saja. Tiba-tiba aku menulis sebuah naskah baru (yang kuselesaikan dalam waktu kurang dari satu bulan), mengirim naskah tersebut ke kompetisi di sebuah penerbit mayor, lolos sepuluh besar, terpilih jadi salah satu naskah favorit juri, dan... akan diterbitkan.
Proses tersebut berlalu begitu cepat dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Tiba-tiba saja, naskah itu sudah masuk ke dapur revisi. Melalui serangkaian pemolesan di sana-sini. Hingga, InsyaAllah akan siap terbit di awal tahun 2021.
Lagi-lagi, aku dibuat takjub oleh cara kerja takdir. Di tengah segala kekalutan dan ketakutanku akan dunia perkuliahan, masa depan, juga perasaan bersalah karena merasa sangat enggak produktif dalam satu tahun ini, Yang Mahakuasa menunjukkan kuasaNya sekali lagi. Meyakinkanku bahwa memang Dia tidak pernah lepas tangan atas hambaNya.
Lagi-lagi, aku dibuat percaya pada impian. Meskipun kalau ditelusuri ulang, sepertinya impian yang enggak tercapai tuh banyak juga, entah kenapa, setiap ada satuuuu aja yang kesampaian, rasanya... fulfilled. Bahagia, terharu, dan lagi-lagi... takjub.
Teruntuk semua pembaca Sparkle, dengan segenap kerendahan hati, Nisrina mohon do’anya, ya. Semoga dilancarkan dalam proses rilis buah pikir terbaru ini. Spoiler dikit, cerita ini nanti akan mengangkat tema seputar kebahagiaan. Semoga, ketika buah pikir ini udah rilis nanti, dia bisa jadi media Nisrina untuk menyalurkan kebahagiaan dan manfaat buat banyak orang, seluas-luasnya, aamiinn.
Salam, Nisrina.
1 note
·
View note
Text
Untuk Sebuah Dunia yang Fana
Akhir-akhir ini, aku sedang mencoba memberikan perhatian lebih banyak kepada diriku sendiri.
Aku melihat begitu banyak gemerlap di sekelilingku. Sering kali, aku menjumpai diriku seakan duduk termenung di salah satu sudut sembari menatap ke luar jendela. Menatap ingar-bingar dunia. Menatap manusia-manusia yang begitu sibuk berlalu lalang. Manusia yang melangkap mantap menuju tujuan. Manusia yang dielu-elukan karena memiliki ini dan itu. Karena mereka berhasil menjadi begini dan begitu.
Sebuah perasaan yang sungguh membuat tidak nyaman. Membuatku menatap kedua telapak tangan dengan gelisah. Sungguh, apa yang sudah kuperbuat? Sudahkah aku melakukan suatu hal yang benar? Apakah aku sudah mengambil keputusan yang tepat?
Di saat-saat seperti itu, satu-satunya hal yang bisa kulakukan ialah memeluk diriku erat-erat. Karena sungguh, tidak ada seorang pun yang mampu mengertinya selain aku.
Meski jika boleh jujur, aku pulalah yang melukainya begitu dalam dengan mengatakan bahwa betapa aku telah bosan. Aku sedang bosan karena terus-terusan berada di fase hidup yang lambat.
Sebagai seseorang yang terbiasa berpetualang ke sana ke mari untuk mengeksplorasi banyak hal, situasi saat ini menjadi sangat sulit buatku. Seberapapun keras aku mencoba, selalu ada celah yang menyisakan cukup ruang bagi pemikiran-pemikiran jahat entah dari mana. Yang mengatakan bahwa aku tidak cukup baik, tidak cukup berusaha, tidak cukup kuat. Yang mengatakan bahwa aku terlalu lambat, terlalu lemah.
Padahal, yang kutahu, semua orang berada di jalannya masing-masing.
...dan dunia hanyalah sebuah tempat yang fana, yang tidak mengharuskan siapapun untuk berlomba-lomba meraihnya.
Namun, aku seperti mendadak tidak punya cukup kuasa untuk menyatakannya.
...
Lagi-lagi, aku melihat begitu banyak gemerlap di sekelilingku. Gemerlap yang menyilaukan. Ketika aku harus berjalan pulang menyusuri trotoar kala malam hari dengan ditingkahi sorot lampu-lampu kendaraan. Gemerlap yang menakutkan. Gemerlap yang membuatku ingin mempercepat langkah agar segera tiba di rumah.
Gemerlap yang membuatku bertanya-tanya, “Sungguhkah hanya aku yang berjalan kaki di sini?”
Ya Tuhan...
Apakah memang keadaanku sebegitu menyedihkan
ataukah
aku yang terlampau kalap untuk bergegas menutup mata agar tidak melihat segala gemerlap tersebut?
Apakah mungkin, selama ini, dirikulah yang kufur dan egois atas setiap karuniaMu?
...
Kling!
Aku berhenti berjalan dan menengok sebentar ke layar ponsel. Ada sebuah notifikasi muncul di sana. Sebuah ungkapan cinta. Dari mereka, teman-teman kecilku. Kami pernah melewati bahagia bersama-sama. Teman-teman kecilku yang sungguh dari segi (duniawi) manapun, aku jauh lebih beruntung daripada mereka. Namun, mengapa sepertinya mereka selalu tampak lebih bahagia?
Apakah mungkin, karena mereka selalu paham bahwa dunia ini memang sebuah hal yang fana? Apakah karena mereka selalu paham bahwa mengejar kesempurnaan dunia adalah sebuah hal yang mustahil untuk diwujudkan? Apakah karena mereka selalu mampu merendahkan hati setiap bersimpuh sujud di hadapanNya?
Jadi, apakah sebenarnya, bahagia adalah sebuah perasaan yang fana juga? Yang hanya bisa dinyatakan melalui doa?
...karena hanya kepadaNya lah, segala perasaan manusia bermuara...
...seperti itukah?
Aku tersenyum dan mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru. Sungguh, Yang Mahakuasa memang sesuai dengan prasangka hambaNya. Jika beberapa saat lalu, aku hanya termenung kalut sembari sibuk mengutuk nasib, kini rasanya, duniaku menjadi jauh lebih baik. Hanya dalam beberapa menit, aku dapat bernapas lebih lega dan menjadi lebih... bahagia.
Aku menunduk menatap kedua kakiku yang entah sudah kuajak berkelana ke mana saja. Baiklah. Entah berjalan, berlari, atau berbekal menaiki kendaraan apapun, mari kita terus menapak dan menjejakkan langkah di bumi luas ini, kakiku. Karena sesungguhnya, dunia ini fana. Oleh sebab itu pulalah, Yang Mahakuasa tidak meminta kita menjadi pemenang. Dia meminta kita menjadi pemimpin, khalifah. Untuk menebar manfaat seluas-luasnya, membagikan cinta setulus-tulusnya, dan menyalurkan energi positif sebanyak-banyaknya.
Benar.
Dan demikianlah, cerita tentang bagaimana aku menemukan alasanku untuk terus melangkah dan berjuang.
Bukan hanya semata-mata untuk menjadi pemenang, melainkan juga untuk menunaikan tugas penciptaan yang Dia titipkan.
0 notes
Text
“Sshh, here is a cup of tea for you!”
It was already midnight when I started to pour my contemplation into words. Then, I decided to stratch a little note, capturing what my mind was currently thinking about. And here it goes...
I am 17. And I was 16 while entering the reality of college life. The age people called as young and wild and free (oh no, it’s a line of excerpt of Taylor Swift’s song -if you know what I mean). Starting from that point of view, some people out of there formed an attribution about Nisrina and who she is. They frequently says good judgements, admirations, and whatever you name it, the positive words.
Regardless of those positive words they frequently says, deep down inside my soul, sometimes I can hear a singing of sorrow. The dilemma I experienced about earlier school-starting age was never easy. I struggled a lot to build my social skills with friends (not cohort, of course), to shift my point of view a bit “older”, to puzzle the un-puzzled things out about academic stuffs, to hone and develop my skills to the same degree as what the society expects (...or perhaps, it was my own perfectionist side doing that?). I mean, it was really from the significant ones to the trivial others (the trivials were like something about puppy love tales, taste of music, and so on). Which I have no bigsure if that was a good decision or not to experience those kind of things.
And if you read this note from the top until the upcoming finish line, you may realize about how messy the way I wrote this note is.
But, still, everyone faces different struggles. Here is a cup of tea about mine. How about yours?
0 notes
Text
Dari Bayangan Yang Berada di Masa Lalu
Eits, ini bukan soal romansa.
Tapi, kalau dibilang romansa tentang diriku, yaaa benar juga.
...
Ada beberapa masa ketika aku terdiam dan membiarkan pikiranku berbicara sesukanya. Membawaku berlari menuju ingatan-ingatan di masa lampau. Satu tahun... dua... lima... sepuluh tahun ke belakang. Menjadi pengamat dari setiap fragmen-fragmen kisah yang hanya mampu diputar secuilnya. Menyaksikan secara sedikit demi sedikit, setiap kepingan itu tersusun menjadi utuh dan sempurna. Demikianlah, dari hari ke hari.
Hingga, pikiranku berlari kencang begitu saja menuju masa depan (yang entah sesungguhnya sudah tercipta atau belum, aku enggak pernah sepenuhnya tahu). Menuju satu tahun... dua... lima... sepuluh tahun ke depan. Menyapa Nisrina yang kadang kala kubayangkan sedang duduk tenang di balik jendela menatap matahari terbit yang bersinar malu-malu. Sekali waktu, aku juga menjumpai Nisrina yang terisak sendirian dan berusaha mendekap segala sesak sekuat tenaga agar berhasil meyakinkan dunia kalau dia baik-baik saja. Di lain waktu, aku berkesempatan menyapa Nisrina yang tersenyum lebar, senang, riang berbagi kebaikan dengan orang-orang entah siapa -mungkin aku akan kenal mereka beberapa tahun lagi.
Begitulah. Aku suka membiarkan pikiranku berkelana. Melintasi waktu ke waktu yang semu, bahkan belum tentu akan menjadi nyata. Membiarkannya bercengkerama dan menciptakan kisah romansa intra-Nisrina (diksi yang agak aneh, tapi semoga bisa ditangkap maknanya, ya, haha).
Kepada Nisrina di masa lalu, masa kini, dan masa depan, aku mengerti betapa dunia terkadang menjadi sangat mengerikan. Aku mengerti betapa terkadang kita hanya ingin menjalani hidup layaknya negeri dongeng dambaan masa kecil. Aku mengerti betapa terkadang rasanya kita ingin menyerah saja, pasrah saja, membiarkan segala hal yang kita sebut sebagai beban itu menang begitu saja.
Namun, sebelum memutuskan untuk menyerah, aku ingin kita sama-sama memahami bahwa memang begitulah adanya menjadi manusia. Manusia yang tidak sempurna, tapi entah mengapa senantiasa disebut sebagai makhluk istimewa. Manusia yang lemah, tapi entah mengapa dipercaya untuk mengemban amanah luar biasa.
Aku ingin kita sama-sama mengerti bahwa memang seperti itulah dinamika kita. Terus bergerak, mengumpulkan keping-keping tidak utuh yang terlihat tidak berguna pada awalnya. Namun, yaaa memang seperti itulah adanya. Karena kita diciptakan untuk sebuah tujuan penciptaan. Menjadi bermakna. Menemukan arti dari hidup yang sedang kita jalani bersama. Menjadi manusia yang terus belajar demi bisa selangkah lebih dekat menuju sempurna.
Sebelum memutuskan untuk menyerah, aku ingin kita sama-sama menyadari bahwa situasi yang saat ini kita hadapi akan membawa kita pada satu keping baru. Keping yang sama tidak utuhnya dengan keping-keping sebelumnya. Namun, ia juga adalah keping yang sama dengan yang akan membawa kita selangkah lebih dekat pada diterimanya pertanggungjawaban atas tujuan awal mula penciptaan kita di dunia.
Karena sesungguhnya, dunia ini bukan hanya tentang kita, Nisrina. Dunia ini juga tentang mereka, tentang ini dan itu, tentang alasan dan tujuan.
Dunia ini bukan hanya tentang gemerlap pencapaian, Nisrina. Dunia ini juga tentang kesempatan untuk terus memperbaiki diri, tentang berbagi, tentang kerendahan hati, tentang keikhlasan diri.
Kuharap, ketika membaca tulisan ini dalam beberapa waktu mendatang, kamu dapat kembali menemukan bara yang mampu menghidupkan semangatmu.
Salam dari aku, Dirimu.
0 notes
Text
Catatan di Ujung Tahun
Beberapa tahun terakhir ini, aku punya kebiasaan khusus menjelang tahun baru. Aku selalu menghabiskan waktu untuk merenung sendirian. Menguraikan satu demi satu ingatan tentang berbagai peristiwa yang sudah terjadi selama satu tahun. Berusaha menerka tentang kejutan-kejutan di hari esok, sebuah hari baru yang telah berada dalam deret tahun yang berbeda dari hari ini.
Begitupula tahun ini.
Tanpa perlu kujabarkan secara lengkap, semua orang tentu sudah mampu mengira sendiri dalam benak masing-masing. Betapa 2020 ini telah menjadi tahun yang berat. Sangat berat. Menjadi sebuah tahun ketika kita perlu senantiasa meluaskan hati untuk berpasrah, menerima, dan kembali berjuang meski berhadapan dengan berbagai situasi yang tidak pasti.
Sebelum merangkai tulisan ini, aku beberapa kali membuka file-file dokumentasi foto yang kuabadikan tahun lalu. Rasanya, begitu cepat. Rasanya, seperti baru kemarin. Rasanya, 2020 hanya berlalu sekedip mata. Namun, jika diingat lagi, ah tidak, 2020 sudah sangat melelahkan.
Kontemplasi malam ini tiba pada satu titik temu. Pada satu simpul yang menyatukan seluruh tanya di dalam pikiranku.
Manusia memang sungguh hanya bisa berencana. Terkadang, kita merencanakan dengan sangat matang, terlalu matang hingga tidak menyisakan ruang pada kesadaran bahwa akan selalu ada campur tangan dan kuasa Tuhan atas segalanya.
Dulu, aku merasa bahwa hidup ini sangat melelahkan. Tahun lalu, aku berkali-kali mengeluh tentang betapa padatnya rutinitas sehari-hari. Barulah kemudian 2020 menyadarkanku bahwa nikmat kebebasan, kesehatan, keleluasaan, kelapangan itu sungguh nyata adanya. Bahwa ternyata, sesuatu yang tampak tidak mungkin terjadi, justru sangat mungkin jika itu berkaitan dengan kuasaNya.
Terima kasih, 2020. Terima kasih juga kepada setiap orang yang telah hadir dalam hidupku hingga saat ini. Terima kasih kepada semua cerita dan pengalaman hidup luar biasa yang sungguh pastinya akan sangat bermakna untuk hari-hariku mendatang.
Kuharap, di 2021 dan seterusnya nanti, kita tidak lupa bahwa kita telah belajar begitu banyak tentang kesabaran dan keikhlasan dari 2020. Kuharap, kita tidak terlena dan selalu ingat untuk menyisakan ruang bagi kuasa Tuhan di atas segalanya. Begitu seterusnya, sehingga seluruh simpul dan peluk yang telah dijalin begitu erat di 2020 ini, dapat tetap terjaga. Menjadikan kita semua terkoneksi sebagai manusia. Saling menguatkan, saling menjaga, saling menopang.
Sekali lagi, terima kasih.
Dan...
...salam kenal, 2021. Semoga kita bisa berteman baik, ya.
1 note
·
View note
Text
Tentang Aku dan Hadiah Bumi
Aku takjub.
Sebelum cerita lebih lanjut tentang ketakjubanku, akan kuceritakan dulu tentang Hadiah Bumi.
Hadiah Bumi adalah online shop yang kurintis di pertengahan tahun 2019 bersama seorang sepupu jauhku. Ketika itu, aku sedang mengalami masa kegamangan dan kegelisahan hati karena belum dapat kejelasan tentang kampus idaman. Jadi, ya sudah, daripada aku diem aja, terus jadi overthinking, terwujudlah si Hadiah Bumi ini.
Selama proses merintis Hadiah Bumi, Nisrina being Nisrina, yang sangat idealis dan berprinsip kalau, “Pokoknya aku cuma mau jual barang yang enggak hanya bermanfaat buat pembeli, tapi juga memberi dampak positif buat orang-orang di sekitarnya!”. Akhirnya, jadilah si Hadiah Bumi ini menyediakan perintilan berupa eco-friendly stuffs yang sangat cakep (setidaknya menurutku, heheheheh). Ada reusable cutleries sets, reusable straw, tas belanja, reusable snack bag, pouch, dan wheat box. Alhamdulillaah, ketika itu berhasil dapet supplier yang bener-bener super-duper baik (alias sering ngasih diskonan yang gede banget, bantu pilihin ekspedisi yang paling oke, sampai aku dibantu untuk penyediaan konten promosi barang).
Berawal dari modal Rp200.000 untuk pesen stok awal, alhamdulillaah dapet untung bersihnya sekitar Rp500.000 di minggu pertama. Hahahahaha, jangan ketawa, dong. Bagiku, itu udah BANYAK BANGET dan bener-bener pencapaian besar. Apalagi ketika di bulan pertama akhirnya untung bersih itu menyentuh ke angka jutaan, karena bahkan ada yang pesen banyak untuk suvenir acara pernikahan *huhu terharu, nangis.
Namun, sayangnya, Hadiah Bumi harus vakum sementara waktu ketika aku dan sepupuku masuk kuliah. Penyesuaian menuju masa kuliah memang bener-bener menguras tenaga, pikiran, dan waktu kami. Imbasnya? Tentu aja kasihan banget, si Hadiah Bumi ini terbengkalai.
Hingga akhirnya...
Seminggu terakhir ini, aku lagi sering mengobrol dengan seorang teman lewat chat. Percakapan kami selama sekitar satu minggu terakhir ini sungguhan membuka mataku. Aku terkejut sekaligus takjub sama cara dia berpikir dan betapa detail target-target hidup yang dia kemukakan. Ninis pun jadi dapat pelajaran baru juga kalau setiap orang memang punya struggles masing-masing. Punya perjuangan masing-masing. Punya cerita masing-masing, Yang aduhhh, ternyata sangat luar biasa.
Akhirnya, percakapan kami sampai pada ceritaku tentang Hadiah Bumi. Dia stalking akun Instagram Hadiah Bumi sebentar sebelum kemudian aku bilang kalau aku pengen balik jualan lagi, tapi terkendala kemalasan kesibukan. Eh, aku tidak menyangka dia merespons dengan sangat positif, dengan kalimat yang sungguhan bikin aku terharu. Karena biasanya setiap aku cerita ke temen-temen lain, tanggapannya pasti cuma, “Iya, sih, kuliah tuh sibuk banget,” atau “Yah, sayang gak dilanjutin,”
Setelah mendapat suntikan semangat tadi, aku pun buru-buru chat saudaraku, “Yukkitaharushidupkanhadiahbumilagi,” (tanpa spasi biar kesan dramatisnya nyampe, hihi). Akhirnya, kami ngobrol sebentar, membahas inovasi-inovasi baru untuk Hadiah Bumi.
Malam tadi, bener-bener seriang tu ketika akhirnya aku berhasil menyelesaikan kreasi masker kain 3ply pertamaku, hahahahaha. Eh, tapi belum rapi, akhirnya aku memutuskan buat eksplorasi dulu sembari menunggu liburan akhir tahun nanti. Doakan semoga akhir tahun nanti, Hadiah Bumi bener-bener bisa hidup lagi dengan semangat baru, ya!
Salam, Nisrina.
0 notes
Text
2020 (2)
Hai. Apa kabar?
Di awal 2020 lalu, aku menuliskan tentang betapa aku sangat bersemangat menyambut tahun baru. Aku menyapa sparkle dan semua pembaca (yang semoga masih tetap setia) dengan penuh riang. Tidak sabar menanti kejutan yang akan disajikan oleh 2020. Tidak sabar menyambut petualangan baru di sepanjang 2020.
Namun, sungguh di luar dugaan. Tahun 2020 benar-benar menjadi sebuah tahun yang mengejutkan.
Pandemi.
Aku tidak pernah menyangka jika seluruh aktivitas di berbagai penjuru dunia dapat dilumpuhkan dalam sekejap oleh makhluk kecil mungil yang bahkan tidak mampu ditangkap oleh indera penglihatan telanjang. Sebuah kejutan yang mengerikan. Membuat semua orang terpaksa harus mampu berdamai. Dengan banyak keterkejutan, ketidakpastian, kesedihan, kekecewaan, dan... kehilangan.
Ada banyak hati yang terluka dan patah di tahun ini. Terlalu banyak.
Bahkan, aku pun merasakannya.
Aku kehilangan salah seorang teman dekat yang bahkan belum genap kukenal satu tahun. Seorang teman yang teramat baik. Yang tidak pernah terpikir di benakku bahwa percakapan singkat kami di selasar kala itu akan menjadi percakapan terakhirku dengannya. Yang tidak pernah terlintas barang sebersit pun bahwa kala itu adalah kali terakhir aku bisa mencurahkan isi hati padanya. Yang awalnya kukira bahwa ucapan sampai jumpa kali itu hanyalah sampai jumpa yang sesaat -karena nantinya kami akan bertemu lagi saat kuliah luring kembali berlangsung. Namun, ternyata tidak. Ia pergi di akhir semester. Menyisakan selembar surat dan buku catatan bersampul tugu Jogja yang ia hadiahkan untukku. Wah iya, benar katanya ketika itu. Kamu bilang, Jogja punya banyak kenangan buruk, tapi semoga, buku ini bisa bikin kamu inget Jogja, inget kalau kamu selalu punya tempat di Jogja, dan ada aku.
Ya.
So, here it goes...
The wound...
...and the undropable tears...
Hampir genap sepuluh bulan 2020 berjalan. Ia melangkah di antara begitu banyak kesedihan, kegamangan, kekacauan, dan kegelisahan. Ia menjadi awal dari begitu banyak cerita baru. Yang lagi-lagi, terlalu banyak. Melaluinya, Tuhan memanggil begitu banyak jiwa baik untuk pulang.
Bagaimanapun itu, hari esok masih ada. Bukan salahnya 2020. Tidak ada yang perlu dikutuk, diratapi, ataupun disesali.
Semoga, kita masih punya banyak ruang dan waktu. Untuk terus bergerak, untuk terus menebar kebaikan, untuk terus saling menerbitkan senyuman. Semoga, 2020 benar-benar berakhir dengan sembuhnya setiap luka.
Iya, semoga...
1 note
·
View note
Text
2020
Wah, tidak terasa.
2019 was such a wonderful year...
Ada banyak hal yang terjadi di sepanjang tahun 2019 lalu. Banyak sekali peristiwa yang rasanya sungguh terlalu panjang jika diceritakan, ah atau bahkan aku pun tidak bisa menceritakannya, karena memang dalam hidup ini selalu ada hal-hal yang hanya dapat dirasakan bahagianya oleh kita.
Di tahun 2019, ada perubahan besar yang terjadi dalam hidupku, yaitu menjadi mahasiswa. Seperti sebagian peristiwa yang kadangkala kubagikan ceritanya melalui sparkle ini, aku menyadari ada banyak hal yang kupelajari selama transformasiku tersebut. Lebih dari sekadar berganti status dan jenjang pendidikan. Aku belajar banyak tentang ketulusan, pengorbanan, perjuangan, ketekunan, keikhlasan, dan banyak hal lain yang tidak bisa kusebutkan satu demi satu. Hahaha, bahkan ketika aku menulis ini, masih terbersit sedikit perasaan bahwa aku sesungguhnya belum pantas untuk lulus dari pelajaran-pelajaran hidup itu. Aku masih perlu remedial untuk memperbaiki nilai. Senantiasa memperbaiki nilai.
Lalu, aku ingin mengulang seluruh pelajaran hidup itu di tahun ini, 2020. Semoga di tahun ini, akan lebih banyak maaf yang mengajarkanku ketulusan dan kelapangan hati. Semoga akan ada lebih banyak terima kasih yang mengajarkanku tentang betapa indahnya sebuah kerendahan hati. Semoga akan ada lebih banyak sapa dan peluk yang mengajarkanku tentang betapa hangatnya hidup jika kita tak memberi perhitungan khusus terhadap seberapa banyak cinta yang kita bagi.
...dan semoga, 2020 akan menjadi tahun yang mampu membasuh luka. Ya, semoga semua luka lama tidak akan menjadi radang. Semuanya akan pulih, mendewasakan, memberi cerita lebih lanjut melalui bekasnya. Hingga suatu hari nanti, di tahun yang berbeda, kita bisa berkata, “Hei, lihatlah! Aku pernah mendapatkan luka ini dan berhasil menyembuhkannya di 2020!”
1 note
·
View note
Text
Ternyata
Baru saja scrolling seluruh konten yang ada di Sparkle sampai habis dan menyadari betapa diriku telah banyak berkembang #semoga wkwk. Jujur, aku terharu ketika melihat betapa Sparkle telah menjadi tempat bertumbuhku, tempatku mencurahkan segala isi hati dan pikiran sejak tahun 2015! Ya, 2015! Empat tahun sudah berlalu.
Dulu, aku menuliskan tentang keresahan sebagai siswi usia 12 tahun berseragam putih-biru. Kutulis semuanya tentang ketakutan menghadapi Ujian Nasional, kekecewaanku terhadap suatu ajang perlombaan yang pernah secara aktif kuikuti, dan keresahan-keresahan lain. Lalu kini, empat tahun setelahnya, aku dengan bangga mempersembahkan....diriku yang sekarang!
Ternyata, semuanya bisa kulalui dengan baik hingga saat ini. Ternyata, semua keresahan itu telah dijawab sempurna oleh waktu. Hal-hal yang dulu kuanggap tidak mungkin terjadi, ternyata mungkin saja. Hal-hal yang dulu kuanggap sebagai masalah besar, kini aku sudah bisa memandangnya sebagai, “ternyata tidak serumit itu. Aku bisa! Aku berhasil melaluinya!”
Ketika empat hingga tiga tahun lalu aku menuliskan tentang betapa cemasnya diriku akan kehidupan di masa SMA, kini justru di hadapanku telah terbentang masa kuliah dengan segala romantikanya. Masa yang membuatku tersadar ketika menoleh ke belakang dan menemukan fakta bahwa, “ternyata apa yang aku keluhkan dulu belum ada apa-apanya dibanding masalah-masalah lain. Tapi, aku saat itu menganggap bahwa hidupku adalah hidup paling menderita sedunia,”
Ternyata, benar bahwa kehidupan itu sangat dinamis dan kita hanya perlu memainkan alurnya sebaik mungkin untuk mengetahui keindahan apa yang sedang berusaha ditunjukkan oleh waktu. Bahagia ketika aku menyadari bahwa ternyata aku telah berkembang dibanding diriku yang lalu.
Semoga, kalian juga, ya! Semoga kita bisa senantiasa berkembang ke arah yang lebih baik :)
Salam, Nisrina
0 notes
Text
Energi (1)
Jalanan masih menyisakan genangan rintik air hujan. Aku menatap dari sudut persimpangan yang asing. Ada kendaraan berlalu datang dan pergi, silih berganti. Di sisi lain, lampu jalan berpendar kekuningan menerangi beberapa titik, membiarkan titik yang lain tetap gelap.
...
“Ada energi yang disimpan oleh dunia ini’
Begitu ucapmu ketika itu. Jauh sebelum dunia menjebakku di suatu tempat yang tidak kukenali.
“Energi?”
“Ya,”
“Untuk apa energi itu disimpan?”
“Untuk disalurkan kepada manusia-manusia yang bergerak seirama dengannya,”
“Ya?”
“Kamu harus hati-hati, tapi tidak boleh takut. Dunia ini selalu punya simpanan energi yang cukup besar untuk menguatkanmu kapanpun kamu membutuhkannya,”
“Caranya bagaimana?”
“Tersenyum, tarik napas dalam-dalam, dan hirup udara yang bergerak di sekitarmu. Lalu sesudahnya, kamu akan merasa lebih kuat,”
...
Aku disini tersenyum, menarik napas dalam-dalam, dan menghirup udara yang bergerak di sekitarku. Ada hawa menenangkan yang merasuk seusainya. Benar katamu, dunia ini selalu punya energi untuk menguatkan. Tidak ada alasan untuk merasa takut.
...
“Melangkahlah. Aku percaya orang-orang baik akan selalu digerakkan untuk seiring denganmu,”
0 notes
Text
Halo!
Tulisan kali ini adalah pengingat untuk diriku di hari esok yang mungkin akan menemui rintangan, kesulitan, dan bahkan mungkin kehilangan harapan untuk bertahan.
Untuk Nisrina yang mungkin esok hari akan menemukan tantangan baru yang berat dan membuatnya terseok, percayalah bahwa segalanya akan baik-baik saja. Kehidupan bergerak, dan setiap manusia akan berproses. Kamu akan menemukan rasa syukur di balik setiap airmata dan luka-luka meradang. Perjuanganmu tidak hanya untuk kamu, tapi juga untuk mereka yang berdiri di belakangmu, berjalan di sampingmu, dan menjaga di depanmu.
Kuatlah! :)
0 notes
Text
Afternoon’ Thoughts
Kadangkala, muncul kegelisahan di hati yang berebut tempat dengan berbagai tanya, “kok perempuan-perempuan di luar sana cantik sekali, ya?”
It has been years.. Aku sudah pernah berada pada fase dimana aku sibuk mempertanyakan beauty standard yang dibuat oleh society di sekitarku. Juga fase yang sempat membuat aku hidup dalam dunia tanpa cermin dan kamera, hingga I finally decided to stop those toxic thoughts.
Jadi, bisa dibilang belakangan ini ada yang aneh, karena aku kembali dibuat penasaran tentang bagaimana bisa perempuan-perempuan itu menjadi sebagaimana layaknya seorang perempuan. Tampil cantik, fashionable, dan yaaa aku melihat orang-orang justru sibuk dibuat kagum dan terkesima oleh mereka yang notabenenya sangat capable dan ahli dalam tampil di catwalk untuk urusan-urusan modelling dan sebagainya.
Instead of filling the standard about what beauty actually is (in a same way with how people define it), aku justru sibuk bertanya pada diriku sendiri, “sebenernya, salah gak sih kalau aku memilih jalan yang berbeda untuk bisa ‘dianggap’ oleh society?”
Tapi yaaa, girls, kalau kalian punya pikiran dan kegelisahan yang sama seperti yang aku rasain, tenang aja, you are not alone and we are unique with our own ways..
Karena pada akhirnya, kalian akan menemukan seseorang (except your parents of course wkwkw) yang mencintai kalian dengan segenap rasa yang ia miliki. Ia yang akan membuatmu selalu merasa menjadi perempuan paling cantik di dunia.
You are beautiful, girls!
4 notes
·
View notes
Text
Mengapa dan Bagaimana
"Hidup adalah perihal mengapa dan bagaimana,”
begitu ucapmu, ketika itu.
Ketika itu, aku tidak mengerti dan tidak mau tahu apa alasanmu berkata begitu. Kupikir, sebagaimana biasanya, kamu hanya menyuarakan tentang kalimat-kalimat tak beralasan yang kerapkali berdesing di kepalamu, berebut tempat di pikiranmu.
Lalu kali ini, kamu datang lagi.
Dengan kalimat yang sama.
“Hidup adalah perihal mengapa dan bagaimana,”
“Apa maksudmu?” tanyaku pada akhirnya. Menyerah, lebih karena jengah mendengarmu terus berkata demikian tanpa kuketahui apa maksudmu.
“Jangan sibuk menyalahkan apa yang tidak menjadi bagianmu. Suatu hari nanti, kamu akan temui hal-hal yang lebih pahit dbandingkan kopi hitam kesukaanku yang kamu benci itu. Suatu hari nanti, kamu akan jumpai hal-hal yang mungkin bisa membuat hari-harimu lebih muram seusainya. Tidak apa-apa. Bukan salahmu jika hidup terasa berliku. Bukan kewajibanmu untuk merengkuh semua hal dalam pelukanmu,”
“Lalu?”
“Bertanyalah mengapa pada dirimu. Ia akan membantumu untuk tidak mengulang lagi kesalahan yang sama. Bertanyalah bagaimana kepada semesta yang kau jumpai di sekitarmu. Mereka akan membantumu melangkah lebih ringan untuk hari-hari sesudahnya,”
Aku tersenyum.
Jadi seperti itu,
maksudmu.
1 note
·
View note
Text
A Little Note to My Future-Self
Dear, my future-self...
I wrote it when I was 15 year-old and I’ve gotten an unpredictable news. I failed. I failed to get my university on target by a system which they called as SNMPTN. Yea, it might be a long journey before finally you understand what I mean. But, please, let me tell you, I just want to write down this note as my self-healing theraphy.
I told you, it was an unpredictable news. Becuase, I’ve prepared it since a long time before. I always try to keep my scores up. I always try to get any any certificates from every events and competitions. And the most important thing is, I always try to hold tight my integrity, when there were a lot of people who not...
But sadly, this world always becomes very unfair, you know.. I never knew why the reason is, even until I wrote this note. I’ve tried to give the best version of me (and it always be..) but I don’t know why, Allah puts me in this condition. When my other friends can happily make their status via social media about their new groupchats as a new prestigious title, “MABA”.
Dear, Self. I’m sorry..
I’m sorry for making regrets on you. I also still can’t believe it. When in the other hand, I know a lot of our friends (who also deserve it enough), they didn’t got it, too. I know it’s not the end. I know what should I do, but oh, self... May you simply tell me what’s happened in there with ourselves?
But, inside the depth of my heart, inside the deepest depth of my soul, I know the reason. Maybe, I would be un-grateful enough if Allah gave it to me as easy as that. Maybe, He wants me to come closer, work harder, and also pray more sincere to Him. Maybe, He wants to show me how amazing the fate is, how beautiful His plan is...
I repeatedly asking why. I repeatedly getting doubt and insecure about how life will be, with all of these -so many- crazy toxic around me. Maybe, this is how Allah replying my questions. Maybe, this is how He making sure on me, He never sleep, He is the One Who Knows Anything. He knows I’m strong and tough enough to face it, and maybe this is how He shows His love for me, if I can still holding tight my faith on Him. Bismillah...
So, I’m going on our way, right now. But, I still can’t deal with this situation. I wish you for a happy life, tight faith, good people around you, and being surrounded by any positivities. I promise to hug you whenever this world tries to bring you down. I’ll always be yourself, whenever you need someone to bring you up again, and also sparkling again..
Actually, I’m really confused, panic, and don’t really know what will I do for my next plan, but my goal will always be same. I really hope, I can heal my soul, as soon as possible.
Let me embrace all of these feelings, no matter how crazy they are. Let me try to keep myself on learning to love and accept it as a little step of my progress, getting closer with you on future, which I’m sure, someday, I would be very grateful for what’s happened today...
Sincerely, Regards, With a bundle of love...
Nisrina, your present-self who still being sad, but always try to keep our-promise to be okay and shinning again..
1 note
·
View note
Text
Di Balik Naskah Senandika (part 1) -curhat :(
Assalamu’alaikum!
Seperti yang kalian semua ketahui, saat ini aku sudah kelas 3 SMA semester akhir, yang mana artinya, (seharusnya) hari-hariku saat ini dipenuhi kesibukan akan pikiran dan kegiatan untuk menyiapkan masa depan, ceileh masa depan... Mulai dari ujian-ujian yang mengantre, tugas-tugas yang meminta untuk segera ditunaikan, kegiatan-kegiatan menjelang akhir sekolah, persiapan demi mengejar kampus idaman, hingga iuran-iuran yang belum terbayarkan, haha. Semuanya berebut meminta tempat di pikiranku.
Tapi, di saat yang bersamaan, aku sedang ada project yang aku buat perjanjian penuh dengan diriku sendiri untuk menyelesaikan naskah Senandika, novel remaja pertama yang akan aku selesaikan. Ya, di tengah padatnya kegiatan kelas 3 SMA semester akhir.
Jadi, saat ini aku sudah menyelesaikan halaman ke-101 dari target maksimal 150 halaman. Sebuah pencapaian besar karena mulai halaman 87 hingga halaman 101 ini aku tulis di tengah-tengah jadwal pelaksanaan simulasi Ujian Nasional Berbasis Komputer. Yap! Dan aku tengah mencekoki pikiranku dengan target-target selain lulus ujian.
Karena aku lelah mengetik sesuai dengan draft, maka kuputuskan untuk memberi sedikit penyegaran kepada pikiranku dengan bercengkrama dengan sparkle disini! Apa kabar kalian semua, pembaca setia sparkle?
Sedikit bocoran, Senandika ini sebenarnya adalah project yang aku rancang sejak awal SMA dan dulu sempat aku tulis beberapa bab di sebuah laman yang berlambang huruf W. Tapi, setelah sekitar dua bulan berjalan, aku mulai paham bahwa genre tulisanku tidak cocok dengan selera pengguna laman tersebut. Cerita-cerita yang menjadi booming di laman itu adalah cerita remaja tentang anak muda yang masih SMA, awalnya benci dan musuhan, lama-lama bikin baper, jadian, terus ternyata ada hal yang bikin mereka putus, nyerah sama takdir, wkwk.
Sementara si Senandika ini genrenya gak remaja banget juga, ada masalah-masalah kehidupan dan beberapa masalah psikologis macam ‘Borderline Personality Disorder’ (bisa klik tulisannya kalau mau tahu penjelasan tentang BPD itu apa, atau baca aja di Senandika yang coming soon, ya! wkwk). Jadi entah deh, aku merasa kalau si Senandika bakal jauh lebih lama berkembang kalau masih kubiarkan di laman itu, soalnya gak ada yang mau baca, cuy! Hehe.
Akhirnya, aku berinisiatif untuk melanjutkan naskah Senandika di word aja dan alhamdulillah dia lumayan berkembang pesat, mulai dari segi berat badan, tinggi badan, kecerdasan isi cerita, pembangunan konflik, alur, dan lain-lain.
Yaaa intinya diriku senang sekali sudah bisa klop dengan si Senandika ini. Ditunggu saja, deh pokoknya, yaaa! InsyaAllah naskahnya selesai minggu ini dan tahun ini terbit, laahh. Just wait for any announcement about Senandika’s pre-sale in my social media, yaaaa! :)
Doakan juga agar aku tetap sehat baik fisik maupun psikis buat menghadapi sederet kegiatan yang tiada ujungnya ini.
Ah iya, semoga kalian juga sehat dan sukses selalu, yaaa :)
Wassalamu’alaikum
Salam, Nisrina
0 notes