thesagittariuspoetry
thesagittariuspoetry
Robin
6 posts
Only on X: @ruxmors
Don't wanna be here? Send us removal request.
thesagittariuspoetry · 2 days ago
Text
Tumblr media
️TW: heretical sect, psychopath behaviour, profanities, murder, blood.
Suatu hari terdapat sebuah perkumpulan rohaniawan yang rutin menggelar kegiatan peribadatan.
Mereka akan selalu mengenakan pakaian serba merah dan menyanyikan lagu puja-pujian yang tak kumengerti.
Engkau pasti bertanya mengapa iblis sepertiku mengikuti kegiatan ibadah, kan? Aku hanya diseret oleh kelompok mereka untuk bergabung dan setelah bergabung kupikir kelompok ini unik juga.
Namun dibandingkan unik, aku lebih suka menyebut mereka kelompok orang-orang bodoh.
Nyanyian dan pujaan yang ditujukan kepada Tuhan yang tidak jelas asal-usulnya serta pakaian mereka yang mengingatkanku akan badut di pertunjukkan sirkus.
Aku pun tak paham mengapa ada yang bisa bergabung ke sekte aneh ini.
Namun karena saking lucunya ini, aku menganggap mereka sebagai hiburan di sebuah sirkus. Bukannya sudah cocok, kan? Baju mereka yang berwarna merah dan eksentrik itu sudah berkata demikian.
Saat ini, mereka sedang mengadakan sesi bertukar cerita antar anggota. Katanya untuk makin mendekatkan satu sama lain namun rasanya aku hampir tertawa mendengarnya.
Ini sebetulnya sebuah sekte apa perkumpulan anggota pramuka sih?
Kami sekarang berkeliling mengelilingi sebuah api unggun dengan baju norak ini.
Beberapa sedang membakar ikan dan beberapa lagi sedang asyik bermain musik.
Aku tidak kaget jika nanti ada yang pergi untuk menjual kukis ke tetangga.
Sang pemimpin yang dimana pakaiannya berwarna merah dengan hiasan megah itu datang untuk memimpin acara.
Saat itu aku hampir saja tertawa karena penampilannya sudah tampak seperti pohon natal.
Singkat cerita, dirinya membuka sesi kali ini dengan khotbah yang sedemikian panjangnya (yang tidak akan aku ceritakan disini karena rasanya pasti sudah melebihi buku series yang berjilid-jilid).
Lalu satu persatu dari kami mulai berbagi cerita kami layaknya domino.
Dan disaat giliranku, aku berdiri seperti saat yang lain bercerita karena kini giliranku menghantarkan khotbah milikku.
"Tuan dan Nyonya sekalian." Begitulah aku membuka khotbah dihadapan belasan orang berpakaian ala pohon natal itu.
"Saya sampaikan puja dan puji syukur kepada Tuhan Nan Agung sehingga kita bisa berkumpul disini dalam keadaan sehat."
Saat aku mengucap Tuhan Nan Agung, semua orang langsung membuat tanda segitiga yang berawal dari perut hingga puncaknya ke dada tengah.
Pembuatan tanda itu dimaknai sebagai bentuk pemujaan terhadap Tuhan mereka.
"Izinkan saya menceritakan kisah saya.... Ah tidak, lebih tepatnya pengalaman saya sendiri."
Aku berhenti sejenak sembari melihat wajah-wajah yang antusias mendengar kisahku itu.
"Sebetulnya.... Saya ini seorang pembunuh."
Terdapat wajah kaget dan tidak percaya dari mereka. Namun mari kita menebak wahai para pembaca, kira-kira apa yang akan mereka lakukan?
Pasti salah satu hal yang terlintas di pikiran Anda sekalian adalah menelepon polisi, kan?
Namun sayang sekali jawabannya salah. Karena mereka itu bodoh jadi mereka justru makin tertarik mendengar ceritaku.
Dengan manik mata yang semakin tertuju padaku, mau tak mau aku harus menghibur para pendengarku, kan?
"Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah membunuh seorang nenek-nenek di apartemen tempatnya tinggal."
Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatku, "Karena itu pembunuhan pertamaku, aku amat ketakutan dan aku ingat badanku merinding seharian. Namun, saat kembali ke saat itu dimana aku perlahan membunuh sang nenek entah kenapa ada letupan endorfin dari tubuhku."
Tanpa sadar aku mengubah penggunaan orang pertama dari saya menjadi aku saking gugupnya menceritakan kejadian waktu itu.
"Semenjak itu, saya mulai membunuh satu orang, dua orang, tiga puluh orang, empat puluh orang, lima puluh orang...."
Tatapan antusias mereka kini berubah menjadi kengerian. Alasannya mungkin karena belum pernah mereka bertemu dengan iblis kejam di kerajaan khayalan mereka ini yang penuh dengan permen dan gulali.
"Enam puluh orang, tujuh puluh orang, delapan puluh orang..."
Aku bisa melihat seseorang mencoba untuk berdiri dan berusaha untuk menghentikan hitunganku.
Aku dapat melihatnya hanya dari tatapan matanya yang nampak ketakutan layaknya hitunganku ini adalah hitung mundur bom yang akan meledak.
️"Sembilan puluh orang, seratus orang..."
Aku tetap melanjutkan hitunganku karena peduli setan dengan mereka!
"Yah... Kurang lebih ada segitu banyak korban yang melayang." Ucapku dengan santai.
Sang ketua kini menggenggam secangkir air dan siap menyipratkannya kepadaku.
Beliau pikir mungkin aku dirasuki iblis. Padahal aku sendiri iblis tersebut.
️"Pasti Anda sekalian bertanya mengapa saya membunuh, bukan? Alasannya sederhana, awalnya saya pikir itu adalah pekerjaan yang unik namun makin kesini kegiatan saling membunuh itu terbawa sampai pembuluh nadi saya."
"Yang menyebabkan kegiatan keseharian saya menjadi suram jika saya tidak membunuh."
Aku mengambil jeda sebelum lanjut bercerita karena aku ini manusia yang tidak bisa bercerita tanpa jeda untuk bernafas. Aku ini bukan robot.
"Jadi para hadirin sekalian, sejatinya alasan saya membunuh adalah menghilangkan rasa bosan."
Bisik-bisik mulai terdengar layaknya menghakimi sang penyihir sebelum dirinya dibakar hidup-hidup. Sang ketua sudah siap disana seperti pemimpin pembakaran ini dengan obornya.
"Saya menggunakan berbagai macam taktik dalam melakukan pembunuhan. Sudah saya coba semuanya dalam hal mengenyangkan rasa bosan saya yang seperti lingkaran setan ini."
️"Dan sekarang permasalahannya adalah lingkaran setan itu tak kunjung berhenti. Jika terus demikian, maka perlahan saya akan dimakan oleh iblis di dalam diri saya."
Setelahnya, aku mulai berpidato dengan nada sedih seperti pemeran utama yang kehilangan kekasihnya.
"Saya sendiri juga tertekan dengan perasaan ini. Lama-lama darah melebur menjadi tulang bersamaan dengan mengalirnya oksigen di dalam jantung."
️"Oleh karenanya..." Kini aku merentangkan tangan lebar-lebar seolah hendak mendapatkan wahyu.
"Saya akan menbunuh diri saya sendiri disini. Di depan para jemaah sekalian yang berbahagia."
Kukeluarkan sebuah pistol yang sudah sedari tadi berteriak ingin digunakan dan kuarahkan ke daguku.
Aku menoleh keatas melihat ke atap yang berhiaskan banyak ayat-ayat akan Tuhan.
Seolah mengejek Tuhan akan pemberian nyawa yang telah diberikan oleh-Nya.
Semua orang di ruangan kini berdiri dengan panik, pergerakan tubuh mereka seperti memberitahuku untuk tidak bergerak dan menarik pelatuk pistol.
Tapi aku sudah membulatkan tekadku karena aku akan mati disini dengan ditonton oleh para orang-orang bodoh ini, saat ini, di waktu ini!
Beberapa detik sebelum pelatuknya kutekan, sang pemimpin berkata kepada semua orang.
"Sudah cukup!"
Raut wajahnya marah, seakan muak dengan segala hal yang sedang terjadi di depannya.
️"Kau!" Ucapnya sambil menunjuk kepadaku, aku hanya melirik biasa kepada si pemimpin itu.
"Tuhan memang tidak suka orang yang berbuat dosa dan karena kau adalah sang pendosa, maka aku sang penghubung Tuhan itu sendiri yang akan menghukummu."
Tidak disangka dibalik pakaian pohon natalnya itu, si pemimpin menyimpan pistol miliknya dan ia arahkan padaku.
Yah memang ini negara yang melegalkan hal demikian jadinya aku tidak kaget.
Dirinya membidik bagian dadaku. Dilihat dari postur tubuhnya, kuyakin orang itu mahir menggunakan pistol.
Lalu.... 𝘋𝘰𝘳!
Peluru pun segera datang dan mengenai dadaku. Aku terjatuh ke belakang dan pistolku terlepas dari genggaman.
Sekarang tubuhku terbaring di lantai dengan darah yang mengalir keluar dari dada yang dibidik.
Pandanganku hanya fokus melihat kembali tulisan ayat-ayat Tuhan di atap.
Saat ini rasanya Tuhan berbalik mengejek dirinya.
Seiring berjalannya waktu, pandanganku yang menatap lurus ke atap perlahan memudar. Sebentar lagi aku akan menutup mataku.
Tertembak di bagian dada adalah suatu hal yang hanya mempunyai satu jawaban yaitu mati.
Namun, apakah benar demikian?
Karena setelah aku menutup mataku, aku kembali membukanya dan berkedip melihat kesana-kemari sebelum bangkit.
Para jemaah yang ada disana menatapku dengan tatapan tak percaya terlebih lagi sang penembak.
Kuyakin pasti dirimu juga ternganga sekarang.
Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Aku perlu berterima kasih kepada baju pohon natal yang kukenakan kali ini.
Ternyata tak hanya bodoh, baju ini ada gunanya juga.
Aku sudah memasang suatu papan yang kubuat sedemikian rupa untuk menghambat laju peluru.
Jadi kostum ini kudesain menjadi baju anti peluru, dan kenapa kupasangkan di dada?
Karena aku tahu mayoritas orang pasti akan menembak di sekitaran dada.
Mengenai darah yang berkucuran itu tentunya bukan milikku. Aku memakai darah tiruan yang kutempel di depan papan.
Karena kini pertunjukkan sudah selesai, maka sang badut izin mengundurkan diri dari sirkus ini.
️"Sayang sekali nyatanya aku masih hidup. Pertunjukkan kali ini bertujuan hanya untuk menghibur Anda sekalian karena lihatlah kalian sekarang! Dengan baju yang sedemikian rupanya itu, Anda semua sudah mengalahkan para badut di sirkus."
️"Dan di tempat ini, dimana pertunjukkan sirkus itu diadakan, para badut satu per satu menunjukkan kebodohan mereka masing-masing. Aku bahkan sampai mati-matian untuk menahan tawa dari mulutku."
Tawa lepas mulai keluar dari mulutku, sebab aku tak sanggup untuk terus menahan.
"Sekian dari saya. Jika ada pertunjukkan lain disini. Mohon hubungi saya ya!"
Aku beranjak pergi meninggalkan gerombolan sirkus yang diam mematung.
Kisah ini sudah selesai ditulis.
Tertanda,
𝓔𝓭𝓮𝓷.
0 notes
thesagittariuspoetry · 2 days ago
Text
Tumblr media
TW: murder, psychopath behaviour, profanities, suicide
Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang gila. Betul, sesuatu yang mungkin bisa membuat kalian berpikir bahwa aku sudah tak waras.
Saat itu, aku menemukan brosur mengenai apartemen yang dapat disewakan. Namun, bukan disitu letak serunya.
Apartemen itu berhantu.
Bagaimana, seru bukan?
Apakah sekarang kalian berpikir bahwa aku sudah tidak waras?
Mungkin saja aku sudah kehilangan kewarasanku apalagi akhir-akhir ini aku belum mendapat pekerjaan untuk dilakukan.
Mari kita balik membahas apartemen itu lagi karena aku senang bukan main sekarang.
Katanya di ruang apartemen tertentu sudah ada dua kasus bunuh diri yang ganjil sebab mana ada orang yang bunuh diri di tempat yang sama kan?
Desas-desus pun berhamburan mengatakan bahwa sebelum meninggal, mereka yang tinggal di ruangan itu berdelusi seolah berbicara dengan seseorang dan akhirnya ditarik kesimpulan bahwa ruangan itu dihuni oleh arwah pendendam.
Mendengarnya aku hanya bisa tertawa sebab aku tahu itu tidak benar. Orang bodoh macam apa yang percaya ruangan angker?
Jelas-jelas itu adalah pembunuhan.
Sejatinya, alasanku memilih untuk menyewa ruang apartemen itu dan menghabiskan waktu disana hanyalah untuk bertemu dengan si kematian itu sendiri yang orang-orang juluki sebagai "hantu".
Aku ingin beradu dengan orang itu dan mencemoohnya saat nanti aku masih hidup.
Bisa dibilang ini adalah pertaruhan, aku disini mempertaruhkan nyawaku sendiri kepada sang kematian penghuni ruang apartemen itu.
Gila? Memang. Tapi orang sepertiku yang selalu berurusan dengan kematian amatlah tertarik dengan permainan sang hantu.
Kutarik koperku menemui Ny. Patricia, sang pemilik apartemen. Beliau adalah seorang perempuan berusia sekitar 40 tahunan dengan warna rambut cokelat yang ia gulung dan kacamata hijau tua bertengger diwajahnya. Tingginya proporsional namun gaya pakaiannya sedikit kuno.
Ny. Patricia memberikanku kunci. Ya, kunci. Di zaman modern yang pengamannya menggunakan kata sandi itu, disini masih menggunakan kunci. Bukankah ini sangat menunjukkan betapa kunonya Ny. Patricia?
Oh coba kutebak, pasti pintunya memakai gerendel.
Betul saja, sistem pengaman disini mengenakan gerendel. Yang benar saja!
Aku heran kenapa tidak ada penghuni yang protes sama sekali atau mereka memang tidak peduli dengan keselamatan masing-masing.
Pantas saja kasusnya belum terpecahkan.
Tempat yang kuhuni adalah sebuah ruangan tipe studio dengan satu kamar tidur dan kamar mandi serta jendela yang menghadap keluar.
Tipikal apartemen umum yang memiliki 𝘧𝘪𝘳𝘦 𝘦𝘴𝘤𝘢𝘱𝘦 diluar bangunan.
Tumblr media
Bekas penghuni lain juga terlihat di berbagai sudut ruangan, dari bekas noda perabotan yang lama berdiam sampai 𝘸𝘢𝘭𝘭𝘱𝘢𝘱𝘦𝘳 dinding yang menguning.
Namun itu semua tidak membuatku risih, justru rasanya seperti mereka menemaniku layaknya tiap noda punya ceritanya tersendiri.
Kutaruh semua barang bawaanku dan setelah dirasa semua sudah beres, aku memutuskan untuk pergi keluar untuk melihat-lihat apa saja yang ada di bangunan ini.
Hingga tibalah aku di atap apartemen.
Atap apartemen diisi oleh berbagai macam tumbuhan. Sepertinya penghuni apartemen disini amat menyukai bercocok tanam.
Semua bisa engkau temui diatas sini mulai dari sayuran hingga buah namun yang menarik perhatianku adalah sebuah bunga yang ditanam disana.
Tumblr media
Namun belum sempat aku melihat lebih dekat, diriku dipanggil oleh seseorang.
"Hey!" Lelaki yang sedang berjongkok dengan peralatan berkebun yang lengkap dengan topinya itu memanggilku.
Alhasil pergilah aku untuk mendekat padanya.
"Jadi engkau ya, si orang gila yang menyewa kamar terkutuk itu?"
Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas setelah mendekat, aku bisa melihat bekas cukuran masih menempel di wajah Asia miliknya itu.
"Mau bagaimana lagi, saya tidak punya cukup uang. Yang penting saya punya tempat untuk singgah."
Ucapku dengan penuh kebohongan.
Tangannya kini bergerak mengelus dagu miliknya itu. Seolah mempertanyakan jawabanku.
️"Hey, kuberi tahu sesuatu. Kamar itu aneh, gila! Aku sering mendengar penghuni sebelumnya meracau aneh tiap harinya. Mereka juga terkadang berteriak tak jelas. Awalnya kupikir mungkin mereka adalah pengguna tapi rasanya aneh untuk dibilang pengguna."
Lelaki itu menatapku dengan serius seolah aku adalah anaknya yang perlu dinasehati mengenai kejamnya dunia.
"Kami semua berpikir mungkin ruangan tersebut angker. Kau tahu kan seperti di film-film horror? Sebaiknya banyak-banyak berdoa disana."
Percakapan kami berakhir seperti itu lalu aku berpamitan dan beranjak pergi.
Aku menyelusuri lorong koridor sampai akhirnya aku bertemu dengan Ny. Patricia yang dengan ramahnya mengajakku untuk bertamu ke tempatnya.
️"Silakan masuk." Ucap Ny. Patricia kepadaku.
Aku pikir bukan hanya gaya pakaiannya yang kuno namun ruangannya juga, itulah kesan pertamaku saat mengijakkan kaki ke ruang apartemen Ny. Patricia.
️Jika kalian perlu gambaran singkat, ruangannya persis seperti milik Dolores Umbridge, seorang professor di film Harry Potter yang gayanya amat eksentrik jika perlu kubilang.
Akupun duduk di kursi dengan bantalan empuk super 𝘱𝘪𝘯𝘬 selagi Ny. Patricia menyiapkan teh.
️"Mari silakan dinikmati tehnya selagi hangat." Ny. Patricia menyodorkan teh buatannya yang uapnya masih membubung tinggi.
Perlu kuakui bahwa tehnya harum dan saat kucicipi ternyata manis. Manis yang pas dan kupikir bahkan mereka yang tak suka manis akan menyukai teh ini.
️"Sebetulnya saya mohon maaf, mungkin sebelumnya Anda sudah mendengar mengenai rumor apartemen saya namun saya jamin hal serupa tidak akan terjadi lagi."
Ucap Ny. Patricia selagi menyeruput teh miliknya.
"Jika nanti ada masalah, jangan sungkan untuk bicara, ya?"
Layaknya pemilik yang profesional, Ny. Patricia menawarkan bantuan dan tidak acuh dengan para penghuni. Ia memperhatikan kami sebanyak ia memperhatikan bangunan miliknya.
Pembicaraan kami tidaklah lama lalu kemudian aku pamit untuk beristirahat di ruanganku.
Aku balik ke ruanganku dan merebahkan diri di kasur tapi wajar sih karena memang jam istirahat juga.
Alhasil aku memejamkan mata dan seperti yang orang-orang katakan, pergi ke dunia mimpi.
Saat aku bangun di pagi hari, aku merasa kepalaku amat pusing.
𝘚𝘈𝘒𝘐𝘛, 𝘚𝘈𝘒𝘐𝘛, 𝘒𝘌𝘗𝘈𝘓𝘈𝘒𝘜 𝘈𝘔𝘈𝘛 𝘚𝘈𝘒𝘐𝘛.
Argh, apa ini... Rasanya kepalaku berputar.
𝘗𝘈𝘕𝘈𝘚, 𝘗𝘈𝘕𝘈𝘚, 𝘈𝘗𝘈𝘒𝘈𝘏 𝘚𝘌𝘒𝘈𝘙𝘈𝘕𝘎 𝘈𝘒𝘜 𝘋𝘐 𝘕𝘌𝘙𝘈𝘒𝘈?
Saking pusingnya sampai rasanya ingin kujedotkan kepalaku ke dinding berkali-kali sampai meninggalkan retakan disana.
Aku terbangun sambil memegang kepalaku dan berpikir bagaimana bisa aku sepusing ini.
Aku berpikir apakah aku tadi malam meminum alkohol? Kucoba mengingat-ingat lagi namun kupikir jika aku meminum alkohol pun juga tak pernah sepusing ini.
Akhirnya aku meminum obat yang ada dan memakan sarapanku.
Setelahnya kuputuskan untuk keluar dan menghirup udara segar karena rasa pusing itu masih membekas.
Aku membuka pintu dan berjalan melewati koridor seperti mayat hidup karena aku berjalan sempoyongan dengan wajah yang pucat.
Sepanjang jalan, aku melewati para penghuni yang berlalu lalang di koridor yang melihatku dengan aneh.
Aku juga sudah menebak isi dari pikiran mereka saat melihatku.
"Berapa botol minuman yang orang itu minum?"
Atau
"Sudah kuduga, baru sehari dia sudah tidak waras."
️Aku yang sempoyongan ini bertemu dengan Ny. Patricia di lobi.
"Ah Ya Tuhan! Ada apa denganmu?" Ny. Patricia berlari kearahku dan menggotongku (tentunya tidak digendong) ke ruangan apartemennya.
Ya, selamat datang kembali 𝘱𝘪𝘯𝘬𝘺 𝘱𝘪𝘯𝘬𝘺.
️"Duduklah dulu." Ucap Ny. Patricia sembari menuntunku ke kursi yang kemarin aku duduki lalu dirinya beranjak pergi ke dapur dan membawa segelas teh.
"Silakan diminum. Semoga saja bisa meredakan sakit yang sedang melanda."
Kuteguk teh yang disajikan. Rasanya masih sama seperti sebelumnya.
"Coba katakan, apa ada sesuatu yang terjadi? Apakah dirimu sedang sakit?"
"Aku sakit kepala namun tak tahu penyebabnya, bahkan aku juga tidak minum-minum tadi."
️Ny. Patricia melihatku dengan seksama seakan aku adalah bahan penelitiannya di bawah mikroskop.
"Aku ada obat sakit kepala, coba minumlah. Kalau perlu sesuatu jangan sungkan untuk mampir sebab saya dulu pernah bekerja sebagai perawat."
Aku berterima kasih dan mengambil obat itu lalu lekas pamit dari ruangan Ny. Patricia.
Obat itu aku masukkan ke saku celanaku dan aku berjalan menuju atap. Berusaha mencari udara segar.
Disana, kutemui orang yang kemarin mengobrol denganku sedang berjongkok sibuk mengurusi tanamannya. Dirinya memakai atribut perang yang lengkap seperti biasa.
Belum sempat aku mulai membuka mulut, orang itu sudah duluan menyapaku.
"Hey!"
Aku membalas sapaannya dengan mengangkat tangan dan melambaikan tangan kearahnya lalu berjalan menuju orang itu.
"Wajahmu pucat, engkau tidak apa-apa?"
"Aku tak apa, barusan Ny. Patricia memberiku obat."
"Ah! Memang Beliau bisa diandalkan dalam situasi sepertimu ini."
️Lelaki tersebut menatapku dibalik topi perangnya yang terlihat seperti topi perempuan disaat pergi ke pantai.
"Maksudku... Situasi sakit sepertimu. Ny. Patricia banyak membantu kami disaat kami sakit dan kuyakin engkau sudah mencicipi tehnya, kan?"
️"Ah... Teh buatan Beliau yang manis itu ya? Sudah kucoba dan perlu kubilang bahwa rasanya luar biasa enak untuk disajikan di apartemen seperti ini."
"Kau juga sependapat kan?" Ujar sang lelaki layaknya memiliki sekutu di pihaknya, "Aku penasaran dengan bahannya."
Begitulah kami menghabiskan waktu mengobrol sebelum akhirnya aku berpamitan pulang.
Disana, aku hanya duduk di sofa sembari menonton acara di televisi. Kupencet remot untuk mengganti saluran televisi mulai dari acara berita, siaran olahraga hingga acara kartun kulewati.
Ah, tidak ada yang seru. Alhasil kulempar remot itu di sofa yang entah dimana keberadaannya sekarang.
Aku menyenderkan kepalaku dan mendongak ke atas lalu memenjamkan mata sebentar.
Beberapa menit kemudian, aku membuka mata dan melihat balik kearah televisi yang mati.
Televisi yang mati itu kini kupandangi dengan seorang perempuan berdiri di depannya.
Tunggu... Seorang perempuan?
Aku langsung menggosok mataku dengan tangan dan melihat kearah televisi lagi.
Perempuan itu sudah tidak ada.
Aneh, aku yakin tidak salah lihat.
Apa sekarang aku mulai gila?
Persetan! Persetan dengan perempuan yang tadi kulihat! Lebih baik aku mencuci wajahku dengan air agar kembali waras.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi dan menyalakan keran. Air terus mengalir namun pandanganku tak lepas dari pantulan wajahku di cermin.
𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚
Butiran demi butiran tetap mengalir namun sang pemilik ruang masih enggan memalingkan diri dari cermin.
𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚
Air yang tak berwarna itu makin lama memenuhi wastafel kamar mandi.
️𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚, 𝘛𝘌𝘚
Akhirnya sang tuan membasuh wajahnya dengan air berwarna merah itu.
Dirinya kini melihat pantulannya kembali di cermin sembari membasahi wajahnya dengan air merah yang semerah darah itu.
Bukannya ngeri tapi ia tetap melanjutkan membasuh wajah.
Mungkin di tahapan ini Anda sekalian berpikir apakah orang yang bernama Robin itu betulan gila? Atau dia sekarang masuk sekte pemuja setan?
Apakah saat ia duduk di sofa tersebut, dirinya bertemu dengan sang iblis dan terbuai rayuannya?
Semenjak kejadian itu, dirinya terus melihat sang perempuan dan mengonsumsi air yang berwarna merah.
Dari hitungan hari menjadi minggu. Dirinya mengurung diri di dalam kamar miliknya.
Sehingga menimbulkan tanda tanya dari penghuni apartemen tersebut. Mereka dengan antusias berkata bahwasannya mungkin saja dia sudah mati di dalam.
Oleh karena itu, Ny. Patricia selaku pemilik apartemen yang mempunyai kunci cadangan memutuskan untuk masuk kedalam.
Ny. Patricia membawa beberapa bawaan lain untuk penghuni yang entah masih hidup atau mati itu. Ia membawa perlengkapan teh beserta gula dan madu (untuk menyesuaikan dengan selera) serta bunga putih berbentuk terompet (untuk meningkatkan mood).
Dibukanya pintu tersebut dan dirinya disuguhi pemandangan manusia setengah teler duduk di sebuah kursi.
Alangkah menyedihkannya pemandangan sang lelaki itu! Dengan matanya yang berkantung dan hitam serta wajahnya yang pucat membuatmu tak ingin memandangnya lama-lama.
"Robin! Kau kenapa?" Ny. Patricia mendekati si lelaki teler yang mengerikan itu, ya lelaki itu adalah aku.
Aku tidak menggubris pertanyaan Ny. Patricia, aku hanya terdiam sembari menatap kosong kearah sembarang.
️Ny. Patricia mulai mengecek suhu badanku dan bertingkah layaknya seorang dokter.
"Kau tak apa? Apa yang ingin kau lakukan? Berbaring?"
"Tidak, Nyonya. Aku rindu tehmu." Ucapku sambil tetap menatap ke sembarang arah dengan kosong.
Mendengar permintaanku, Ny. Patricia segera menyajikan teh untuk kuminum namun aku bersikeras untuk minum bersama dengan sang penyaji teh.
Sehingga kini kami terlihat seperti dua orang yang sedang asyik pesta teh dengan Ny. Patricia yang duduk di seberangku.
Kulihat Ny. Patricia mulai meminum teh tersebut lalu untuk pertama kalinya aku tersenyum sehingga membuat lawan bicaraku bingung.
"Jadi, bagaimana rasanya?" Tanyaku kepada Ny. Patricia dengan mantap.
Yang ditanya kebingungan, "Apa maksudmu?"
"𝘽𝙖𝙜𝙖𝙞𝙢𝙖𝙣𝙖 𝙧𝙖𝙨𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣-𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙘𝙪𝙣𝙞 𝙨𝙚𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙝𝙢𝙪?"
Yang ditanya kebingungan.
"A-apa maksudmu?" Tanya si tertuduh dengan gugup.
"Kau datang kemari untuk membunuhku, kan?"
Tentu Ny. Patricia akan menganggapku gila karena siapa yang percaya dengan perkataan lelaki teler sepertiku, kan?
Namun aku tidak berbohong.
Aku membenarkan gaya dudukku sebelum mulai berdeduksi layaknya Sherlock Holmes.
"Kau tahu alasanku menyewa apartemen ini? Yang kata orang berhantu dan tidak akan pernah disewa oleh siapapun itu? Aku menyewanya untuk bertemu dengan𝙢𝙪."
Layaknya sudah pasti menang, aku mulai tersenyum yang mungkin senyuman telerku terlihat mengerikan bagi Ny. Patricia.
"Aku akhirnya bertemu dengan sang hantu itu sendiri dengan mengorbankan nyawaku."
Ucapku sambil menunjuk-nunjuk diriku sendiri.
️"Kau gila." Satu kata yang terucap oleh Ny. Patricia membuatku tak gentir.
"Memang." Kujawab demikian sebab memang aku sudah gila.
Sejak kapan aku waras?
️"Aku selama ini datang kemari mencari sang pembunuh dengan mempertaruhkan nyawaku. Kupikir, pertaruhan seperti itu dengan sang maut sendiri itu seru lho, Anda harus mencobanya suatu saat nanti." Ucapku sebelum memulai deduksi hebatku.
️"Saat datang, aku melihat ke perkebunan di atap apartemen. Sungguh kuakui betapa indahnya kebun itu apalagi salah satu bunga yang ditanam."
Aku mendekatkan diri kepada Ny. Patricia seolah berbisik.
"...𝙗𝙪𝙣𝙜𝙖 𝙠𝙚𝙘𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜 𝙥𝙪𝙩𝙞𝙝."
Aku bisa melihat Ny. Patricia merinding dari jarak sedekat ini.
"Bunga itu bahkan sedang kau bawa kemari. Saat itu aku bertanya-tanya siapakah gerangan sang pemilik kebun bunga tersebut. Namun melihat Anda yang memetik dalam jumlah banyak, aku tak perlu bertanya lagi."
"Bunga tersebut bisa menjadi racun dan menyebabkan halusinasi. Itulah mengapa penghuni sebelumnya meracau tak jelas karena mereka melihat halusinasi sama sepertiku. Itu semua bukan hantu karena hantu itu tak ada. Justru Anda lah hantu itu sendiri!"
Aku mengangkat tanganku sembari menjelaskan ibarat sedang bertempur di meja hijau melawan si hantu apartemen ini.
"Apakah teknik yang Anda gunakan? Tentu saja dengan teh yang Anda sajikan. Anda mencampurkan teh buatan Anda dengan bunga beracun itu. Sungguhlah keji!"
️"Ini semua sangatlah keji hanya untuk menaikkan pamor apartemen Anda, Anda menggunakan nyawa orang untuk hal tersebut."
Ny. Patricia hanya terdiam di kursinya sambil menyeruput teh tersebut.
"Memangnya kau punya buktinya?"
Disaat sang hantu berbicara, semuanya menjadi diam.
"Memangnya kau punya bukti jika aku membunuhnya? Omonganmu itu tidak berdasar dan tidak bisa dibuktikan di pengadilan sedangkan yang sudah mati tidak bisa berbicara lagi."
️Ny. Patricia menyunggingkan senyum layaknya sudah menang dalam pertarungan. Namun dirinya tak tahu bahwa lelaki teler di depannya ini punya rencana gila lain.
"Oleh karena itu, Nyonya. Saya sudah bilang tujuan saya sebenarnya adalah bertaruh dengan sang hantu."
Aku mengambil dua bunga kecubung putih dan mengaduknya di gelas Ny. Patricia lalu kuaduk dua bunga lain ke gelasku.
"Nyonya, mari kita bersulang atas segala ketidakwarasan kita! Mari angkat gelas tinggi-tinggi ke langit lalu meminumnya dan lihat siapa yang bertahan."
"Dasar kau lelaki gila. Namun apa boleh buat toh tiada untungnya untukmu."
Lalu kedua iblis itu meminum racun mereka masing-masing. Aku yang setengah teler melihat lawan dudukku mulai menengadah dan mengeluarkan busa putih seiring dengan buyarnya penglihatanku.
Bangun-bangun aku sudah di tempat berbeda dengan infus mengalir ke tubuhku.
Nyatanya aku masih hidup, berarti....
"Minuman yang kau minum itu beracun, sayangnya Ny. Patricia meninggal."
Aku tahu arah pembicaraan ini kemana dan kugiring mereka ke rencanaku.
"Saat itu Ny. Patricia menawarkan saya teh karena saya tidak fit lalu karena saya tidak mau meminumnya sendiri alhasil saya meminta Beliau untuk turut meminum bersama saya."
Dua orang yang mendengar penjelasanku mengangguk sembari mencatat penjelasanku.
".... Ah jadi itu bunga beracun ya? Sungguh saya tidak tahu. Bisa-bisanya Ny. Patricia menanam bunga seperti itu.... Baik, terima kasih banyak atas bantuannya."
Dua orang itu pun pergi, aku sekarang bisa menghela nafas lega dan tersenyum.
Hariku saat ini sungguhlah senang karena aku sudah menghilangkan rasa bosanku. Ny. Patricia adalah penghilang bosan terbaik di tahun ini!
Kisah ini sudah selesai ditulis.
Tertanda,
𝓔𝓭𝓮𝓷.
0 notes
thesagittariuspoetry · 13 days ago
Text
Tumblr media Tumblr media
0 notes
thesagittariuspoetry · 29 days ago
Text
Tumblr media
TW: blood, murder, sadistic behaviour, profanities, suicide.
Hujan kini turun membasahi daerah Forks, Amerika Serikat. Ya, mungkin sebagian dari kalian familiar dengan tempat ini karena menonton film karya Stephenie Meyer dan berpikir apakah tempat itu nyata?
Tempat ini sungguhlah ada di Amerika Serikat.
Semua yang disebutkan di film itu sungguhlah nyata seperti Pantai La Push, Treaty Line, sampai Forks High School namun yang tidak nyata adalah Edward Cullen dan Jacob Black.
Siapa juga yang mempercayai makhluk fiktif itu nyata?
Selain dikenal dengan julukan kota Twillight, sejatinya kota ini mempunyai tempat khusus bagi pecinta ikan karena salmon dan trout pelangi dapat dijumpai disini.
Namun kedatanganku kemari bukanlah untuk mengenang Twillight maupun memancing, aku kemari untuk menghabisi targetku yang sedang berada disini.
Pak Anderson namanya, seorang dokter yang memiliki reputasi cukup baik di Amerika.
Aku mendapat misi untuk menghabisi Pak Anderson yang sedang berlibur di Forks. Jika ditanya alasan mengapa Beliau harus dihabisi pun aku akan menjawab tidak tahu, lebih tepatnya aku tidak peduli.
️Dan disinilah aku, mengemudi melewati tempat singgah Pak Anderson dan melihat dirinya bersama dengan dua anak yang kuyakini sebagai cucunya.
Kasihan sekali, dalam liburan kali ini mereka kehilangan sesosok kakek.
Aku segera menjalankan kembali mobilku, tak ingin menimbulkan kecurigaan apalagi di dunia berteknologi ini semua bisa direkam jadi aku tidak bisa tak terlihat.
Setidaknya aku harus menjadi orang yang tidak diingat.
Aku memarkirkan mobilku di tempat yang masih bisa dijangkau dari target. Aku melihatnya dari kaca spion tengah bagaimana dirinya sedang bermain dengan cucu-cucunya.
Berlarian kesana-kemari sambil tertawa. Tak pernah kubayangkan akulah perenggut tawa bahagia mereka kelak.
Yah tapi begitulah kehidupan, ibarat rantai makanan. Jika tidak ingin diterkam maka engkau harus menerkam.
Sepertinya bahkan sekarang manusia menerapkan konsep hidup hewan untuk bertahan hidup.
Selama seharian ini, aku memantau target dari dalam mobil. Kegiatannya dari pagi siang sampai malam juga sudah kuketahui.
Sekarang tinggal memilih waktu yang bagus untuk melancarkan aksi.
Keesokan harinya, dari kaca spion aku melihat kedua cucu target pergi sehingga hanya menyisakan dirinya saja di tempat.
Bagus, tidak ada kesempatan lain selain saat ini.
Aku berjalan masuk ke dalam, melihat Pak Anderson yang tengah menyiapkan perlengkapan memancing.
Beliau amat tenang, mungkin tidak menyadari keberadaanku sebelum akhirnya ia berbalik dan melihatku berdiri di belakangnya.
Dengan senapan berlaras pendek yang cocok digunakan untuk penembakan jarak dekat, aku menembak target di bagian dada.
Tidak sampai mengenai bagian vital namun apabila tidak segera ditangani maka korban dapat dinyatakan meninggal dunia.
Tubuh korban langsung jatuh dan darah mengalir begitu cepat membasahi permukaan lantai.
Dengan perhitunganku dilihat dari umur korban, hanya perlu waktu beberapa menit sebelum korban menemui ajal.
Aku tak menaruh banyak perhatian kepada korban, toh untuk apa? Aku bergerak mengacak-acak seluruh rumah dan mengambil harta benda milik korban.
Sehingga dengan ini bisa disimpulkan bahwa Pak Anderson adalah korban rampok dimana perampok tersebut tidak ahli dalam menggunakan senapan. Sayang sekali, korban tidak bisa diselamatkan bahkan saat paramedis datang.
Aku pergi lewat pintu belakang dan memasuki mobilku. Disana aku melihat cucu dari target masuk ke dalam rumah dan menjerit.
Aku hanya bisa menancapkan gas dan pergi dari lokasi.
Dalam perjalananku pergi, aku memikirkan jeritan dari sang cucu tersebut. Betul, akulah yang menimbulkan trauma pada anak sekecil itu.
Aku adalah seorang pembunuh juga bibit trauma yang kutanam pada orang terdekat korban. Akulah juga air yang menyirami bibit itu.
Namun mau tidak mau, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan seperti sedia kala dan akupun tetap mengendarai mobilku untuk pergi ke tempat selanjutnya.
Aku berhenti di sebuah tempat pencucian mobil, jujur saja ini bukanlah mobil milikku namun aku menyewanya atas nama Howard, identitas palsuku yang lain. Ini adalah hal wajar bagi kriminal sepertiku untuk memiliki banyak identitas.
Mobil itu kucuci bersih dan setelahnya aku lanjut mandi untuk membersihkan badan. Beberapa pakaian yang kupakai termasuk sarung tangan kubuang di tempat sampah yang ada.
Selanjutnya, aku pergi menuju New York.
New York, dikenal sebagai kota yang tidak pernah tidur karena kota ini adalah pusat perdagangan dan bisnisnya Amerika Serikat.
Dari pagi hingga malam seakan manusia yang berada disini tak pernah lelah kesana-kemari bahkan di bandara sekalipun.
️️"Tuan Alexander." Seorang staff bandara memanggil namaku (yang lain). Aku berjalan mendekat sembari menerima paspor milikku dari sang petugas.
Aku menunduk sebagai tanda terima kasih lalu berjalan pergi. Lagian di kota sibuk ini tak ada yang peduli entah kau berbicara atau tidak kepada petugas yang berjaga.
Aku segera berjalan menuju sebuah tempat untuk melakukan panggilan telepon.
️"Klien sangat senang dengan pekerjaanmu di Forks, semoga kau bisa melakukan kinerja yang sama di New York. Semua yang diperlukan sudah kukirim padamu."
Begitulah telepon itu berakhir sebelum aku berjalan ke toilet yang sepi lalu menghancurkan ponselku dan membuangnya.
Aku memutuskan untuk menginap selama sehari di sebuah hotel yang ada di dekat bandara karena seorang pembunuh pun jugalah seorang manusia yang perlu beristirahat.
Aku juga memesan layanan kamar yang membawa makanan lengkap dengan tudung saji dan trolinya.
Setelah mempersilakan staff hotel masuk dan menaruh troli makanan di tempat yang kuminta, pintu kamar segera kututup. Kuambil tudung saji itu dan kutaruh dibawah pintu, lebih tepatnya dekat sela-sela bawah pintu dan gelas kosong kutaruh di lubang kunci pintu.
Aku duduk dan membaca berkas mengenai target selanjutnya, keluarga Briggs. Mereka adalah keluarga yang berperan di dunia pendidikan. Keluarga kaya raya dimana anggota keluarganya meraih banyak penghargaan dan menulis banyak jurnal.
Sampai sekarang jurnal keluarga Briggs masih dipakai di banyak universitas. Namun dibalik kesuksesan keluarga mereka itu, ternyata mereka adalah keluarga yang cukup tertutup.
Tak ada yang tahu banyak soal masing-masing dari keempat anggota yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak itu.
Setelah selesai membaca, aku segera membakar dokumen itu dan membuang abunya kedalam tong sampah.
Karena hari sudah malam, aku mengisi perutku dengan makanan yang tadi dibawakan oleh sang petugas sebelum akhirnya aku tertidur di kursi yang kududuki sedari tadi.
Tentunya dengan pisau makan disampingku.
️"Terima kasih banyak, Tuan Harry. Terima kasih telah memilih penginapan kami dan sampai jumpa di lain waktu."
Orang yang bernama Harry itu tersenyum dan lagi-lagi itu aku.
Setelah pergi dari hotel, aku memutuskan untuk mengendarai mobil menuju kediaman Briggs.
Ternyata kediaman mereka cukuplah besar, aku tidak boleh sembarangan mengeksekusi rencanaku.
Akupun bergegas menuju sebuah gudang penyimpanan yang ada disana. Sebetulnya aku sangat menyukai adanya persewaan gudang seperti ini di Amerika Serikat karena cukup praktis untuk menyimpan beberapa barangku.
Aku sendiri memiliki enam gudang di Amerika.
Menurut kalian, apa gunanya gudang penyimpanan? Pastinya untuk menyimpan barang, bukan?
Namun, beberapa orang menggunakan fasilitas ini untuk menyimpan kejahatan mereka. Sama halnya dengan topeng yang menyembunyikan muka manusia sesungguhnya.
Aku hanya mengambil beberapa barang yang diperlukan, salah satunya adalah teropong sebelum aku beranjak dan pergi ke apartemen yang "khusus" disewa untuk pekerjaanku.
Sesampainya disana, aku mengambil teropong dan mengamati rumah tersebut.
Dari sekian rumah yang pernah kukunjungi, hanya rumah ini saja yang tiap hari tertutup oleh tirai.
Aku hanya bisa mengamati penjaga keamanan yang berada di posnya dekat pintu masuk atau seorang pelayan yang kesana-kemari mengerjakan pekerjaannya.
Jujur saja aku cukup bersyukur tugas kali ini tidak dilakukan dengan senjata seperti sniper.
Bayangkan betapa lelahnya aku harus menggunakan sniper di tempatku sekarang untuk membunuh empat anggota keluarga di kediaman yang besar dengan posisi yang berbeda-beda.
Mungkin sekarang aku hanya perlu memantau, layaknya seekor predator yang memantau mangsanya.
Satu hari, dua hari dan tiga hari. Sepertinya memang rumah ini tidak berpenghuni.
Tidak mungkin informasi yang diberikan padaku salah.
Karena frustasi, aku memutuskan untuk pergi keluar dan memantau dari jarak dekat.
Selama berjalan keluar, aku selalu menggunakan topi karena aku tidak boleh diingat. Aku membuka ponselku dan menelepon.
"Seharusnya mereka sudah berada di tempat antara besok atau lusa. Tunggulah sedikit lagi."
Telepon dimatikan begitu saja dan aku menoleh untuk melihat apakah kondisi sudah aman barulah aku menjatuhkan ponselku dan menginjaknya serta kubuang ke saluran pembuangan.
Aku berjalan ke sebuah gerai makanan cepat saji. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Amerika menyukai jenis makanan ini.
Menurut survei di Amerika, orang yang banyak memakan makanan cepat saji lebih mudah terkena obesitas.
Saat melihat antriannya yang panjang, kupikir memang masyarakat disini tidak menyayangi diri mereka sendiri.
Namun lihatlah aku, memesan sebuah hamburger dan cola.
Sambil duduk di sebuah kursi dan melihat kediaman Briggs dari kejauhan, aku berpikir sembari memakan makananku.
Jika mereka semua sudah sampai, bagaimana caranya mengeksekusi keempat orang tersebut?
Tak kusangka dengan lamanya aku berpikir, makananku sudah habis. Kini sudah saatnya aku menyeruput colaku dan beristirahat.
Menjadi seorang pembunuh harus memiliki waktu istirahat yang cukup dan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Namun disisi lain, waktu adalah emas.
Saat beristirahat diatas kasur, aku selalu menyalakan alarm setiap 30 menit agar membuatku tetap tersadar dan memantau situasi agar tidak kehilangan kesempatan.
Pagi haripun datang bersamaan dengan alarm jamku, aku terbangun dan tak lama kemudian sebuah mobil memasuki kawasan rumah keluarga Briggs.
Apakah ini kesempatanku?
Aku mengamati menggunakan teropongku dan melihat masing-masing anggota keluarga memasuki rumah.
Namun entah mengapa, aku merasakan hawa tidak enak. Seperti macan yang ditipu oleh kancil.
Di sore hari, aku berusaha menyelinap ke dalam rumah untuk lebih memperhatikan kegiatan keempat anggota tersebut dan disinilah aku akan memberitahu kalian mengenai prinsipku dalam bekerja.
Jangan pernah meninggalkan bukti, seorang pembunuh serta pembersih handal tidak akan meninggalkan bukti sehelai rambut pun.
Aku mengenakan sarung tanganku dan topi serta membawa pisau serta pistol untuk berjaga-jaga.
Setelah persiapan sudah selesai, aku perlahan menyusup dari halaman belakang namun belum sampai ke pintu aku sudah mendengar banyak teriakan.
Sepertinya penghuni rumah sedang beradu argumen dengan satu sama lain.
Prinsip kedua adalah tetap dalam rencana. Ingat, tidak boleh teralihkan.
Aku perlahan masuk kedalam dan menutup pintu. Setelahnya bersembunyi di dapur.
️"Sudah kubilang berapa kali? Masa begini saja nggak bisa." Suara tamparan yang cukup keras mengisi ruangan yang hening itu.
Aku mendengar suara tangisan, sisi lain aku mendengar seseorang bersumpah serapah.
"Bajingan sialan, aku membesarkanmu bukan untuk ini."
Suara kaca pecah pun terdengar sebelum seseorang menyahut balik.
"Bajingan? Bukannya ayah yang harusnya dibilang bajingan? Bajingan yang memanipulasi jurnal dan mempublikasikannya atas namanya sendiri."
Setelahnya terdengar suara tinju yang keras.
️"Ayah!" Suara seorang perempuan yang terdengar sedih menggantikan suara amukan kedua pria itu.
Untuk sesaat semua tenang sebelum tiba-tiba aku mendengar suara sesuatu yang dipukulkan dengan kasar.
️"Kak! Hentikan kak!" Suara sang saudara perempuan terdengar seiringan dengan suara pukulan itu.
"Ah berisik." Kudengar suara benturan yang cukup keras dan suara sang saudara perempuan tidak terdengar lagi.
Aku kaget dengan apa yang kudengar, nyatanya ada predator lain dirumah ini.
Tidak biasanya aku bertemu dengan sesama iblis seperti ini.
Sang ayah sudah tidak bersuara dan kudengar suara seseorang menggeret sesuatu naik keatas.
Samar-samar kudengar suara permintaan tolong dari sesuatu yang diseret yang ternyata adalah sang saudara perempuan.
Ingat dengan prinsip selanjutnya, jangan percaya siapapun.
Mempercayai seseorang adalah kelemahan terutama di keadaan seperti ini. Bisa-bisa dirimulah yang diterkam selanjutnya.
Jadi ada prinsip yang berhubungan dengan prinsipku ini yaitu harus berantisipasi, tidak boleh berimprovisasi.
Untuk melihat keadaan, kulangkahkan kakiku kedalam dan melihat sang ayah sudah tewas dengan darah yang bercucuran dari kepalanya.
Sepertinya sang anak lelaki memukul kearah wajah sang ayah karena lihatlah, wajahnya kini pun tidak bisa dikenali.
Pukulannya pasti sangat keras karena tengkoraknya sampai terlihat dan bola matanya hampir keluar. Akupun bisa melihat otaknya menyundul keluar.
Perlahan aku berjalan ke lantai atas. Kulihat kamar orang tua terbuka dan tangisan terdengar dari kamar mandi di dalamnya.
Suaranya berbeda dengan suara yang kudengar dibawah. Apakah mungkin ini sang ibu?
Aku memutuskan untuk masuk dan bersembunyi di bilik pakaian tepat di depan kamar mandi. Untungnya pintu kamar mandi tertutup sehingga yang di dalam tidak mengetahui keberadaanku.
Tak lama setelah aku bersembunyi, sang predator datang dan membuka paksa pintu kamar mandi, memperlihatkan sang ibu yang meringkuk ketakutan.
Sedangkan predator lainnya yaitu aku, memantau kejadian yang terjadi di depan mataku.
Prinsip terakhir adalah hanya melawan dalam pertarungan yang memang pantas dipertaruhkan.
Layaknya macan yang mengintai mangsanya, aku melihat sang ibu yang berkali-kali dihabisi oleh buah hatinya.
️"Hentikan, nak. Maafkan ibu." Sang ibu terus-menerus mengucapkan kata maaf kepada anaknya.
Jika kalian bertanya ada apa di kediaman ini? Akupun juga tak tahu karena ini semua diluar kuasaku. Mana kutahu kan jika sang anak mempermudah pekerjaanku?
Yang kupikir saat itu adalah pasti mereka ada masalah entah sebelum maupun saat perjalanan pulang kerumah yang berkaitan dengan reputasi mereka karena sang ayah ketahuan menjiplak dan kuyakin masih banyak kebusukan lain yang menunggu untuk dibuka.
Jika aku berbicara lebih banyak mengenai kebusukan keluarga Briggs maka sang ibu yang sebelumnya menjadi pusat perhatian sudah tidak berbentuk lagi.
Mari kita fokus kepadanya dulu sebelum dirinya menjadi tinggal nama saja.
Hantaman demi hantaman diarahkan kepada ibunya sebelum sang ibu akhirnya tersungkur tanpa tanda kehidupan, namun layaknya predator buas yang belum puas, ia segera pergi ke tempat saudara perempuannya itu.
Aku diam-diam mengikutinya dari belakang.
Sang predator langsung menampar mangsanya sampai tak sadarkan diri lalu memukulnya dengan benda keras bertubi-tubi.
Berhentinya nafas sang saudara perempuan membuat si pelaku menjadi waras kembali.
Dirabanya saku miliknya lalu ia mengambil sebuah kepingan kaca yang sedari tadi dirinya simpan.
"Maafkan aku, namun kebusukan keluarga kita harus dipendam jauh dari masyarakat. Sungguh, aku meminta maaf."
Sang predator kini terlihat seperti macan yang lemas. Payah.
Dipotongnya urat nadi di pergelangan kirinya itu dan darah mulai mengalir seiring dengan terjatuhnya badan miliknya itu ke lantai.
Dan disitu, aku, sang predator yang sesungguhnya datang dan berjalan menatapnya yang sedang sakaratul maut.
Orang tersebut terbelalak melihatku, mungkin tidak menyangka bahwa selama ini ada seseorang yang melihat semua aksinya namun apa daya kini dia tidak bisa berbuat apa-apa dan kulihat luka di pergelangan kirinya itu.
"️Bukan begitu caranya, jika ingin mati dengan cepat maka begini yang betul." Layaknya guru yang mengajari muridnya, aku menuntun tangannya yang masih memegang serpihan kaca itu dan menggores lukanya makin dalam, seolah mengajarinya cara menemui kematian dengan cepat.
Aku menemaninya disamping, secara tak sadar kulanggar prinsipku sebab aku ingin pekerjaanku berakhir dan tak lama kemudian, tidak ada tanda kehidupan di dalam dirinya.
Lantas, aku pun berjalan pergi seolah tak terjadi apa-apa.
Dari cerita yang kujalani ini aku ingin menyampaikan bahwasannya manusia yang dicap iblis sekalipun bisa menemukan sesama iblis walau menggunakan topeng sekalipun dan begitulah dengan kemanusiaan yang sudah berantakan ini.
Menurutmu, apakah engkau sendiri adalah manusia?
Engkau yakin dengan kemanusiaan yang berdiam diri di dalam dirimu?
Mungkin saja 'kemanusiaan' yang engkau maksud akan meledak dan engkau juga berubah menjadi iblis seperti aku dan mereka.
Kisah ini sudah selesai ditulis.
Tertanda,
𝓔𝓭𝓮𝓷.
0 notes
thesagittariuspoetry · 2 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media
0 notes
thesagittariuspoetry · 2 months ago
Text
Tumblr media
When Hope Dies, That's When Robin Born
No one knows where he came from or what is his real name. What they know is his name is Robin, the one that will come to you like a nightmare and bring you death. Remember, when you meet him then it means that your life is over.
The Library
I Look Through People's Windows
The Chaos in Humanity
Desember
Melawan sang Kematian
Sirkus Tiada Henti
0 notes