#writingsjourney
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Selamat hari Sumpah Pemuda! Wahai pemuda Indonesia, yuk tetap kobarkan semangat untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Salah satunya di bidang literasi misalnya, Selasa depan aku akan berbagi tentang dunia kepenulisan di acara Gebyar Bulan Bahasa dan Seni 2017 di SMAN 1 Cisarua, Kabupaten Bandung Barat @osissmancis ! Sampai jumpa di sana 👋
21 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #6 - Hujan Bahagia yang Membahagiakan
Hallo again! Gimana kabarnya? Ketemu lagi di series WJ nih, kali ini mau bahas apa ya, hmm…
Gimana kalo bahas tentang bukuku lagi? Tapi, bahas Sebatas Mimpi udah pernah. Bahas KALA juga udah. Kalo sekarang bahas bukuku yang lagi dibuka penjualan Special Offer-nya gimana?
Buku apa tuh? Buku karya kakak juga?
Yak, judulnya adalah “Hujan Bahagia” terbitan @qultummedia. Iya dong, pastinya buku karyaku juga. Bukan kolaborasi lagi, bukan prosa lagi, juga bukan novel.
Trus apa dong?
Makanya, yuk mari mulai kita bahas, hehe :)))
Mungkin bagi yang liat penerbitnya akan langsung berpikir wah isinya dakwah nih dan nuansa agamisnya kentel banget. Kuyakinkan dan pastikan bahwa aku belum seberani itu untuk menuliskan hal tersebut. Naskah Hujan Bahagia sendiri jenis tulisannya seperti series YOLO-ku di Tumblr. Lebih ke self reminder atau mungkin self motifesyen.
Mari kesampingkan dulu tentang isinya, sekarang bahas dulu tentang proses menulisnya.
Hujan Bahagia sendiri terbit 4 bulan setelah buku keduaku; KALA. Mungkin buat temen-temen, aku dikiranya ngebut bikin buku ini, padahal kenyataannya engga gitu. Karena, naskah Hujan Bahagia sendiri selesainya justru lebih dulu daripada naskah KALA.
Jadi, di awal Februari, berbarengan dengan finishing buku pertamaku; Sebatas Mimpi, aku kembali mendapatkan tawaran untuk menerbitkan buku. Yaitu di Qultummedia ini. Jujur, di awal pertama kali ditawarkan untuk menulis di @qultummedia aku sampe berhari-hari mikir iya engga iya engga untuk bilang “yuk digarap!” Karena ya itu tadi yang aku bilang, dari nama penerbitnya dan track record buku-buku yang sudah diterbitkan, genre tulisanku kayaknya engga sanggup untuk berada di ranah itu, ilmuku juga tidak semumpuni itu.
Hingga akhirnya dimulailah diskusi dengan Mas Agung (Redpel Qultummedia), mulai dari nyari konsep bareng-bareng, nyari tema juga, menentukan fiksi atau nonfiksi, terus ditanya udah ada naskah yang jadi atau mau mulai dari nol. Bahkan sampe dikirimin buku-buku terbitan Qultummedia sebagai bahan referensiku juga dalam menentukan isi buku.
Aku sampe nanya ke kanan kiri, ambil atau tolak, iya atau engga, berkali-kali kayak gitu. Sampe ke Mas Agung-nya sendiri aku selalu bilang, “Mas udah baca tulisanku? Emangnya bisa ya? Cocok fiksi apa nonfiksi, Mas?” atau “Mas ini engga harus yang berat, kan? Aku belum seberani itu soalnya.” Sampe kemudian Mas Agung bilang, “Iya aku udah baca. Engga harus, cukup dengan nilai-nilai kemanusiaan atau motivasi yang sifatnya general aja.”
Akhirnya aku sampe di titik, Allah sedang beri kesempatan, kenapa aku engga ambil aja? Masih muda, explore diri itu kan perlu, toh? Itung-itung ladang amal juga, toh dari pihak penerbitnya tidak memaksakan apa-apa ke aku. Mereka bahkan sebebas itu membiarkan aku menuliskan sesuatu yang menurutku cukup dalam porsiku.
Maka akhirnya, di awal Maret mulailah proses penulisan bab per babnya. Jujur dalam penulisannya sendiri, buku ini adalah buku yang sangat amat minim keluhan dari mulutku. Ngerjainnya bisa semenyenangkan itu, bisa sebahagia itu, bisa sesantai itu. Aku bahkan gatau alasan pastinya kenapa bisa demikian. Bahkan kalo sekarang ditanya, aku ngerasa kayak engga nyadar sudah merampungkan naskah Hujan Bahagia ini.
Jadi, naskah ini selesai tepat di pertengahan April, sedikit molor karena bab akhirnya itu dikerjakan bareng sama naskah KALA dan kebetulan kondisiku saat itu sering banget tepar sampe harus bedrest. Di tengah kekacauan isi kepala yang kebagi antara kerja, promo buku Sebatas Mimpi dan juga nulis naskah KALA, mengerjakan naskah Hujan Bahagia semacam pelipur dan pelepas penat.
Nah, mengenai isi, Hujan Bahagia sendiri berisi kisah dan tulisan pendek tentang kehidupan dalam cara pandang yang positif. Ada tentang cinta, patah hati, kebahagiaan, duka serta rasa syukur atas segala hal di dunia.
Seperti hujan, kadang kita memaknainya sebagai keberkahan, kadang menganggapnya sebagai kondisi yang merepotkan. Begitu pun bahagia, tergantung perspektif kita dalam melihatnya. Ada yang merasa bahagia tinggal di rumah yang sederhana, ada juga yang tersiksa karena hanya itu yang menjadi miliknya.
Allah memberikan sesuatu pada kita sesuai dengan porsinya. Dia uga telah menentukan siapa untuk peristiwa apa. Semuanya tentu saja yang terbaik untuk kita. Masalahnya, kita tak pernah tahu apa yang terbaik untuk kita. Kita lebih mudah menerima apa yang kita inginkan, tapi tidak untuk sesuatu yang kita butuhkan.
Bahagia bukan melulu tentang meminta yang belum kita punya. Tapi lebih dari itul menerma apa yang Dia berikan dan bersyukur dengan ketetapan-Nya itu. Beragam cerita di dalam buku ini semoga bisa menjadi penyejuk jiwa kita, sebagaimana hujan membasahi bumi dan segala isinya.
Naskahnya mengandung nilai-nilai bermakna akan kehidupan; kesadaran tentang menemukan jati diri kita sebagai hamba, menerima kehilangan dan kekecewaan bukan dengan drama air mata, tapi lewat doa dan keyakinan hati bahwa setiap apa pun yang Allah beri adalah yang terbaik untuk kita.
Yak, itulah sedikit blurb yang bisa menggambarkan isi Hujan Bahagia. Jangan dikira berat, percayalah, tulisannya tetap lekat dengan karakter Janpi :)))
Genre ketiga buku kakak isinya sama semua?
Sebagai jawaban dari pertanyaan itu aku cuma mau ngomong gini,
Jika aku sebagai pembaca maka, Sebatas Mimpi akan berulang kali aku baca lagi saat aku stuck nulis dan ngerasa hopeless untuk ngeraih impian-impianku. Akan aku baca terus ketika banyak denger hal-hal yang tidak meng-enak-kan di sekitar.
Nah kalo KALA akan berulang kali aku baca saat aku pengen ngerasain manisnya hubungan dengan lawan jenis. Akan aku baca ketika aku butuh sesuatu hal yang sarat emosi dan bisa bikin nangis. Akan aku baca ketika aku butuh pemahaman tentang jarak dan penerimaan.
Sedangkan Hujan Bahagia akan berulang kali aku baca saat isi kepalaku sedang penuh, engga tau harus ngapain dan harus cerita sama siapa. Akan aku baca saat aku berada di titik terbawah hidup, saat self-esteemku sedang rendah sekali. Dan saat aku merasakan bahagia dengan semua hal yang sudah kualami dan penerimaanku akan hidup, kebahagiaan yang sampe bikin gabisa berkata-kata.
So, udah paham kan gimana isi ketiga bukuku? Hehe. Nah, akhir dari tulisan ini aku hanya ingin berkata bahwa…
Special Offer Hujan Bahagia edisi ttd + diskon 20% + bonus sedang dibuka mulai dari hari ini tanggal 8 September 2017 – 17 September 2017. Di mana? Mari cek postinganku di sini
Atau kalo mau beli barengan sama bukuku yang lain (Sebatas Mimpi dan KALA) biar dapet diskon dan tanda tangan sama quote, monggo beli Special Promo Paket Bundlingnya langsung klik di sini
Salam Sejuk, Hujan Mimpi
Tangerang, 8 September 2017
59 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #5 - Kayak Gini Sombong Ga?
Hai ketemu lagi! Sebelumnya saya ingin meminta maaf karena keterlambatan memposting WJ kali ini. Sebetulnya tulisan ini sudah ada di draft, tapi belum sempat saya edit, dan di tanggal 19 kemarin saya masih ada di Jogja serta tidak membawa laptop sama sekali. Hehe.
Well, tulisan kali ini adalah hasil dari kegelisahan yang dialami oleh diri sendiri beberapa waktu ke belakang. Kalo series ke-empat kemarin isinya lumayan berfaeda, entah jika yang ini hehe. So, mari langsung disimak saja, dan semoga tida bosen dengan saya yang doyan blabbering hehe.
Jadi, semenjak hadirnya buku Sebatas Mimpi dan novel KALA saya punya kewajiban baru, yaitu promosiin buku-buku itu. Entah di Tumblr ini, di Instagram, di Twitter, pokoknya baik online ataupun offline promosi jangan dikasih kendor.
Apakah saya dituntut penerbit untuk melakukan kegiatan itu? Engga sama sekali, itu pure karena saya mau punya kontribusi ke karya saya yang dengan baik hatinya ada penerbit yang bersedia mencetak dan memasarkannya. Kasarnya sih saya selalu mikir gini,
Lo mau dikenal orang sebagai penulis? Mau ada orang yang baca karya lo? Trus apa yang lo lakuin biar bisa kayak gitu? Diem aja? Ya jangan salahin siapa-siapa kalo engga pernah ada yang ngeh lo punya karya. Lagian penerbit major emang nerbitin karya lo doang sampe mereka fokus akan terus mempromosikan karya lo aja? Emangnya lo siapa sampe bisa dengan pedenya engga ada kontribusi untuk memasarkan karya lo sendiri? Kalo besok engga laku ya gausah nyalahin penerbit, toh mereka udah usaha sebaik mungkin mempromosikan karya lo. Ini masih untung lo dibantu promosi karena bisa sama penerbit major, coba lo di penerbit indie, lo harus promo lebih gencar lagi. Segini doang gamau? Segini doang malu?
Bahkan beberapa waktu lalu akun Instragram saya udah macem online shop buku, yak karena isinya adalah hasil regram saya tentang ulasan pembaca mengenai buku saya itu dan atau kutipan-kutipan tentang isi buku itu. Apalagi pas PO, gausah ditanya lagi, igstories bahkan feeds isinya jualan dan setelah PO selesai isinya kembali berhiaskan info tentang talkshow tok. Padahal awalnya saya sedang belajar mengatur feeds (sok mau seperti millenials emang wk).
Saya seneng pake banget malah bisa promosiin buku saya, bahkan bisa main-main ke sana-sini. Ketemu orang-orang baru yang kenal saya dari Tumblr bahkan bisa berbagi cerita tentang gimana saya akhirnya bisa menerbitkan buku. Tapi di lain sisi ada perasaan yang ngebuat saya selalu mikir, takut bahkan gelisah. Di setiap saya mau promosiin buku atau mau post tentang acara yang terkait promosi, katakanlah talkshow, saya selalu mikir berhari-hari. Tau kenapa?
Gini, orang-orang kenal saya kan awalnya hanya karena saya suka nulis di Tumblr. Belum punya karya, belum punya sesuatu yang harus saya promoin. Orang-orang yang nge-follow saya pun pasti adalah orang-orang yang suka baca tulisan saya. Bukan suka ngeliat saya spam jualan tentang buku atau review orang-orang setelah ngebeli dan baca buku saya. I know it perfectly. Saya ngerti banget itu.
Maka dari itu di setiap saya mau post apa pun yang berkaitan dengan buku, saya selalu mikir, takut dan gelisah.
Ini sombong engga sih? Ini jadi terkesan sok ngartis engga sih? Ini yakin post ini engga akan bikin orang-orang mikir gue sekarang lagi kena star syndrome? Ini beneran harus gue post engga ya? Ini lebay engga sih? Ini yang bener ngomongnya gimana ya, struktur kalimatnya keliatan berlebihan engga ya, ntar dibilang sok banget engga? Duh ada yang ilfeel engga ya kalo ngepost ginian, ntar malah dibilang gimana-gimana?
Itu adalah sebagian kecil dari kegelisahan saya kalo saya mau post sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan promosi. Sampe sekarang bahkan saya masih sering mikirin itu. Jujur saya capek kadang. Saya selalu usaha untuk engga mikirin apa kata orang, tapi kadang tau kan suka ada aja yang nyinyir tentang kelakuan orang lain dan itu termasuk orang-orang yang kita kenal.
Yak mereka berpendapat hanya atas apa yang mereka liat tanpa mikirin imbasnya ke psikis orang lain gimana. Kalo orang yang engga kita kenal yang nyinyir kemungkinan kita jadi tau kan emang kecil, tapi kalo yang kita kenal? Gatau gimana caranya, tapi pasti akan sampe ke kita. Entah denger dari orang, entah dengan menemukannya sendiri, right?
Dan pendapat-pendapat itulah yang kadang bikin saya gelisah dan ngelus dada. Engga, saya engga berniat untuk bikin orang lain selalu suka liat saya, ngebikin orang lain selalu mandang saya ini baik, rendah hati, dan segala macem hal-hal yang baik lainnya. Karena saya juga engga gitu-gitu amat. Tapi saya khawatir sama diri saya sendiri.
Saya takut kalo akhirnya saya akan berubah untuk jadi orang lain hanya untuk bisa diterima. Saya takut apa yang saya jalanin dan lakuin itu sebenernya karena saya ikutin apa kata orang, bukan apa kata hati saya sendiri.
Pun saya jadi takut untuk promosiin karya saya lagi, karena saya gamau sampe temen saya sendiri akan komen saya berlebihan dengan tersirat bukan langsung ngomong di depan muka atau langsung nge-chat saya. Atau saya takut ada temen saya yang berpikiran sekarang saya kena star syndrome. Padahal semata yang saya lakukan cuma ya menjalankan kegiatan promosi tanpa maksud apa-apa. Terlepas dari itu semua saya ya tetap saya yang biasanya, malu-maluin kalo diajak ketemu, berisik, bawel, dan segala hal lainnya lagi.
Iya sih emang, kontrolnya ada di diri saya sendiri, mau sebodo amat atau mau dengerin apa kata orang. Tapi meeennnn itu engga gampang, karena saya selalu punya keinginan untuk engga ganggu ketentraman hidup siapa-siapa. Saya engga mau apa yang saya lakukan berakibat sesuatu ke orang lain.
Dari awal saya memutuskan untuk akhirnya serius di nulis saya selalu bilang ke orang terdekat saya, bahkan ke Mba Tia @karenapuisiituindah sama Teu Nyt @aksarannyta juga, saya selalu bilang, “tolong kalo saya udah terlalu berlebih atau sampe songong, tegur aja, katain kalo perlu, gapapa. Tapi langsung ke saya, gausah diumbar di mana-mana, gausah negur pake cara-cara tersirat yang seolah gamau bikin saya ngerasa tersindir atau tersinggung, tapi pada akhirnya bikin saya merasakan hal itu.”
Bahkan nih ya, setiap saya mau posting apa aja, missal kayak kemarin itu yang saya nanya tentang domisili temen-temen di Jogja, itu saya berpuluh-puluh kali nanya sama sahabat-sahabat saya hanya untuk make sure itu baik atau engga untuk di-post.
Coba aja tanya Kak @coretangaje entah berapa kali saya bilang ke dia, “duh bingung, bener nih gapapa dipost? Yakin nih kayak gini engga sombong?Alamak ini kok keliatannya lebay ya, ntar pada ngira aku sok belagu. Duh Kak aku gausah post aja deh ya, tapi ntar kasian penerbitnya juga udah ngadain acara tapi aku engga kasih tau apa-apa ke pembacaku. Kalo dipost ntar ada yang gasuka, tapi kalo ga dipost ntar sepi yang dateng, ntar ada yang emang bener-bener mau ketemu tapi mereka kecewa karena aku engga kasih tau aku ada di Jogja. Duh Kak bingung.”
Asli saya berhari-hari mikirin itu, bahkan dari seminggu sebelum nge-post. Saya takut sendiri untuk dianggep mendewa, saya takut kalo ternyata saya beneran udah berubah jadi sombong. Saya takut kalo nanti temen-temen saya engga ngeliat saya seperti biasanya mereka ngeliat saya.
Kalo mereka ngomong langsung ke saya, “jir macem seleb coy sekarang” itu engga masalah. Malah itu bikin saya mawas diri dan selalu inget buat menjejak. Tapi kalo mereka ngomong di belakang saya dan akhirnya hal itu sampe ke saya, itu yang bikin saya jadi males lagi untuk ngelakuin hal-hal yang tadinya saya seneng-seneng aja ngelakuinnya. Iya, saya se-sensitive itu orangnya, saya tau mana yang ditujuin buat saya mana yang bukan, bahkan saya tau orang itu nyaman di deket saya atau engga.
Jadi, tulisan ini anggaplah ungkapan hati, pengingat untuk diri saya sendiri agar selalu ngelakuin hal apa pun itu atas keputusan saya sendiri dan kebahagiaan saya asal engga merugikan bahkan melukai orang lain, sekaligus sebagai warning awal untuk temen-temen yang akan serius di dunia nulis. Engga di nulis aja sih, di apa pun itu kegiatan yang membutuhkan temen-temen untuk kasarnya ‘menjual diri’ kalian, mempromosikan karya kalian.
Bahwasanya ketika kita melakukan sesuatu hal, sebaik apa pun caranya, setulus apa pun niatnya. Akan selalu ada orang-orang yang berkomentar negative akan sikap kita tersebut, akan selalu ada orang-orang yang menilai kita ini dan itu. Mereka salah? Engga, mereka hanya menyuarakan pendapat mereka. Tapi mungkin mereka lupa bahwa berprasangka baik terhadap orang lain adalah perlu. Mungkin mereka lupa bahwa apa yang seseorang lakukan selalu memiliki alasan dan banyak pertimbangan yang dibutuhkan untuk melakukannya. Dan semoga kita selalu inget untuk tidak melakukan hal serupa yang kemudian bikin orang lain menjadi kepikiran dengan komentar dan penilaian kita.
Jadi, maaf kalo postingan-postingan saya sebelum ini bahkan dari awal tahun sampe dengan saat ini isinya promosi atau bahkan terkesan sok nyeleb dan blablabla lainnya. Pahamilah bahwa ini cara saya untuk mengapresiasi diri dan karya sendiri. So, jika memang tidak ingin melihat hal-hal tersebut, feel free for click unfollow button :)
Dan untuk teman-teman yang sekarang sedang tekun menulis dan memilih untuk serius di dunia menulis, semoga semangat selalu ! Apa yang saya tulis ini semoga membuat teman-teman jauh lebih percaya diri dan membuat teman-teman semakin prepare dengan hal-hal yang di depan sana akan dihadapi. Selamat berjuang dalam dunia literasi!
Untuk yang lain yang mau bertanya atau mengajukan saran tulisan boleh cek infonya di bawah ini:
Salam Sejuk (biar hati tak panas), Hujan Mimpi
Tangerang, 29 Agustus 2017
67 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #4 - Premis dan Outline yang Memudahkan
Dari kemarin kayaknya kebanyakan curhat seputar buku Sebatas Mimpi dan KALA yak. Hehe. Maka, kali ini mungkin akan sedikit ada ‘sesuatu’ yang diulas. Biar lebih berfaedah ~
Apa sih yang pertama kali dikerjakan kalo ingin menyelesaikan satu naskah buku?
Kalo pertanyaan itu diajukan ke saya saat ini, maka jawabannya adalah premis dan outline. Percayalah saya engga lagi sedang sok keren dengan jawab kayak gitu, tapi emang kedua hal itu yang bikin saya bisa nyelesaiin naskah saya. Tapi kalo pertanyaan itu diajukannya dulu, sewaktu saya hanya iseng nulis di socmed maka saya engga akan pernah mengeluarkan jawaban itu.
Well, seperti yang temen-temen tau, tulisan-tulisan saya di Tumblr ini berdiri begitu aja. Engga ada namanya mikirin premisnya apa, cara penyampaiannya gimana, bahkan engga mikir tentang outlinenya seperti apa. Intinya kalo lagi ada ide dan ngerasa ada sesuatu yang mau disampaikan dan dibagi ya langsung aja nulis.
Tapi kemudian ketika pertama kali kenal sama Kak Ry—editor Sebatas Mimpi—dan ditawarin bikin naskah untuk dibukukan saya langsung ditodong, “kamu bisa mulai memikirkan konsep bukumu seperti apa? Outline-nya seperti apa? Temanya tentang apa? Kamu bisa kirim ke emailku ya.”
Saya sih waktu itu langsung jawab oke oke aja, tapi di balik itu semua sejujurnya saya agak sedikit pening. Ya gimana dong ya, kebiasaan nulis asal jadi gitu aja, trus diminta sesuatu yang lebih structural. Dan sejujurnya saya bahkan belum ada bayangan untuk awal dan akhirnya kayak gimana, eh ndilalah langsung disuruh bikin perencanaan. Udah macem nulis skripsi aja huff.
Awal kali dikasih tau kayak gitu saya langsung googling tentang outline buku dan langsung nge-pm teh Nyta yang waktu itu sudah lebih dulu persiapan nulis naskah RyT. Karena jujur, saya sama sekali gatau seperti apa isi outline yang harus saya kasih ke penerbit. Yak, pengetahuan saya tentang dunia tulis menulis masih cetek banget emang, sampe sekarang bahkan, makanya saya sharing beginian biar bisa sama-sama belajar.
Yang selama ini saya tau hanya saya suka nulis, udah itu aja. Masalah tulisan saya masuk genre apa, diksinya bener apa engga, dan seluruh komponen lainnya saya engga pernah mikirin sama sekali.
Pun pendukung saya belajar juga paling dari novel yang saya baca. Mengkhususkan diri dengan ikut acara kepenulisan? Kayaknya engga pernah selain dateng ke launching buku Dee Lestari. Baca buku tentang kepenulisan? Pernah sih, tapi dulu saya gampang bosen baca sesuatu yang lumayan ‘berat’.
Oke balik ke topik, masalah outline kelar dengan saya yang menggunakan waktu seminggu untuk merenungkan itu buku akan seperti apa dan mau bikin outline macem apa. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk melengkapi outline itu dengan; Judul sementara, nama penulis, genre buku, target pembaca, isi buku secara keseluruhan, jumlah bab, isi per-bab, judul per-bab, dan estimasi halaman.
Saya engga mikirin itu bener apa engga, yang waktu itu ada di kepala saya adalah pokoknya dengan outline yang saya tulis itu harus bisa menggambarkan isi kepala dan buku saya nantinya akan seperti apa.
Outline selesai, semula saya kira semuanya udah selesai sampe itu aja dulu, tapi waktu itu Kak Ry pernah bilang, “premisnya sekalian ya.”
Selesai satu kepeningan, ternyata masih berlanjut lagi, saya bingung banget buat nentuin premis. Di situ rasanya mau nyerah aja, mikirnya adalah yaelah mau nulis aja kok ya jadi ribet, padahal biasanya saya bebas-bebas aja.
Karena menurut hasil bertanya pada yang maha tau di dunia maya (re:googling), premis itu intisari cerita dalam satu kalimat. Nahloh, saya kelabakan, secara saya paling bisa jelasin sesuatu hal dengan dipanjang-panjangin. Kalo singkat rasanya engga pernah asik, tapi ini diminta buat satu kalimat aja.
Waktu itu outline saya engga dilengkapi dengan premis yang singkat. Saya bahkan gabisa bilang itu premis, karena yang saya tulis adalah intisari buku saya dalam beberapa kalimat. Tapi dengan kepedean yang entah ada di tingkatan ke berapa, saya kirim aja outline itu. Dengan harap-harap cemas saya cuma berdoa semoga editor saya paham maksud outline saya dan beliau berbaik hati untuk mengajarkan saya di kemudian hari kalo sekiranya saya salah.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, saya dikasih beberapa bacaan yang sangat amat membantu dari Kak Ry. Dari buku-buku itu juga saya paham kalo premis itu rumusnya; Premis = Karakter Utama + Tujuan + Halangan.
Jadi, kalo dulu dibayangan saya nulis buku akan terasa nyaman ketika sebebas nulis satu prosa di Tumblr yang engga perlu mikirin outline, nah kalo sekarang beda, setiap memulai satu naskah baru saya lebih nyaman kalo ada outline dan punya premis. Even saya akan selalu pusing untuk memulai membuatnya. Tapi itu lebih enak, daripada saya harus pusing di tengah jalan.
Karena mennn nulis buku dan nulis buat di Tumblr tuh beda banget. Nulis buku itu berlembar-lembar, nulis buku itu ada tanggung jawab yang lebih besar dan ada bab-bab yang engga mungkin engga ada kaitannya, terutama ketika bikin novel. Yakali alurnya engga sesuai, ntar malah bikin bingung pembaca. Eh engga sampe pembaca juga sih, karena editor pasti udah komen duluan pas editing haha.
Saya dulu pernah bikin cecerpenan, tapi setiap di tengah jalan saya selalu ngerasa punya ide-ide baru, bahkan yang awalnya saya berencana bikin akhir A malah bisa jadi D akhirnya. Engga jarang cerpen saya berakhir di draft karena saya gatau harus ngelanjutin kayak apa. Karena di tengah jalan suka stuck, kayak engga punya arah mau sampe di akhir cerita yang begini begitu harus gimana ngerangkai alurnya. Tapi, kalo ada outline tuh saya engga ngerasa kehilangan arah, jadi selalu tau ke mana arah pulang (?) ehehe. Karena itu tadi, saya udah nyiapin semuanya dari awal, saya udah pusing-pusing ngerencanain semuanya dari awal banget.
Buat saya pribadi, outline itu udah kayak peta yang isinya adalah; titik di mana saya mulai jalan sampe titik akhir tujuan saya. Dan di sepanjang perjalanan itu saya punya rambu-rambu yang akan selalu ingetin saya biar engga nyasar, engga salah jalur dengan memperlama waktu tempuh dan bikin saya bisa sampe di tujuan dengan selamat.
Jadi, buat temen-temen yang sering nanya ke saya biar engga kehabisan ide di tengah nulis buku gimana caranya? Gimana cara biar engga bingung nyambungin alur? Dan gimana cara nyelesaiin satu buku yang isinya bisa beratus-ratus halaman. Jawabannya saya adalah mulai siapkan premis dan outline sebaik, semateng dan selengkap mungkin. Biar bisa punya pedoman yang lebih asik~~
Di akhir tulisan ini saya cuma mau bilang, yuk mulai berkarya dengan sejujur dan sebaik yang bisa kita lakukan. Semangat dan teruslah menulis :)
Untuk yang lain yang mau bertanya atau mengajukan saran tulisan boleh cek infonya di bawah ini:
Salam, Janpi aka Stefani Bella
Tangerang, 8 Agustus 2017
64 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #2 - Hidup Ini Tidak Seperti Makanan Cepat Saji
Kak, kaka sejak kapan punya tumblr? Waktu awal awal nulis di tumblr kan pasti masih sepi ya kak, ngga ada yg like atau komen apalagi reblog. Trus skrg tumblr nya jadi rame gini gimana caranya kak? Pakai hashtag kah? Btw kaka org sunda ya? Sama atuh hehe
Pertanyaan dari @vivirianii dan kebetulan juga banyak yang bertanya hal seperti ini, baik di inbox Tumblr pun pernah diajukan beberapa kali oleh Kak Ry ketika Talkshow #LetsPublishYourBook bareng GagasMedia beberapa waktu yang lalu. Dan yak, maka sekalian saja aku jadikan pembahasan di Writing’s Journey #2 kali ini!
Kalo Writing’s Journey #1 kemarin seputar kisah perjalanan Sebatas Mimpi yang masih terlalu luas bahasannya, maka sekarang mulai dikerucutkan, semoga engga meluas hehe.
Aku sendiri aktif di Tumblr itu sejak November 2014, yang seperti sebelumnya aku ceritakan bahwa aku nulis pindah-pindah platform mulai dari Facebook Notes, Blogspot, Wordpress dan berakhirlah di Tumblr sampai dengan saat ini.
Awal aku nulis di Tumblr mah iya Tumblrku sepi. Engga kenal siapa-siapa, gatau kalo pengguna Tumblr di Indonesia tuh banyak, gatau istilah macem seleb Tumblr, apalagi tulisanku sampe di-likes, di reply comment lebih-lebih di-reblog. Intinya kosong dan bersih pertama kali aku main Tumblr.
Trus gimana caranya sekarang Tumblrnya jadi rame?
Kalo sedikit ngeliat ke belakang, jawabanku adalah… ini semua karena Writing Project @gowithepict! Thank you buat admin-adminnya, hehe much love untuk kalian (gausah dimention ya haha)
Jadi dulu, setelah merasakan kelegaan yang luar biasa seusai menyalurkan apa yang dirasa dan dipikirkan, menulis tuh jadi kebiasaan bahkan kebutuhan. Pelarian yang amat menyenangkan ternyata, jika dan hanya jika dilakukan terus-menerus.
Sampai akhirnya aku ngerasa kalo sehari aja engga nulis ada yang beda, ada yang bikin gelisah karena yang dialami engga tersalurkan. Nah dari situ akhirnya nyari-nyari Writing Project yang bisa bikin makin semangat nulis. Setidaknya biar satu hari ada yang bikin mikir dan bisa menghasilkan tulisan.
Dari konsistensi ikut WP itulah aku punya pembaca, ya meskipun pembacanya admin @gowithepict sama peserta lain yang ikutan WP tersebut. Tapi, lambat laun followers bertambah dengan sendirinya, alasannya beragam. Ada yang karena suka tulisannya, ada yang karena mengalami hal serupa tapi gabisa mengungkapkan dan merasa terwakilkan, dan alasan-alasan lainnya.
Jadi, untuk pertanyaan gimana biar Tumblrnya rame, jawabannya adalah…
Jadikan menulis sebagai sebuah kebiasaan.
Kalo ngeluhnya lagi gatau mau nulis apa, coba ikutan Writing Project. Gausah yang full 30 hari kalo belum sanggup, cari aja WP yang seminggu atau 2 minggu, yang penting inget untuk konsisten.
Pakai hastag-kah kak?
Woyajelas! Pakai hastag itu penting, sepenting pake hastag di Instagram. Hemm millenials pasti pahham deh. Kalo dulu, aku pake hastag tuh yang memang familiar dan engga kayak sekarang. Misal nulis prosa tentang keluarga, hastag-nya #keluarga #family #prosa, ya semacam itulah. Pun untuk macem tulisan lainnya juga pakai hastag yang menggambarkan si tulisan. Intinya, dulu aku selalu pake gitu, sampe kemudian aku ngerasa bosen dan kayaknya lucu kalo punya hastag sendiri. Maka jadilah #hanyaberujar #untaianmimpi #writingsjourney #TRIF dan semacamnya.
Pertanyaannya terjawab sudah kan ya? Hehehe. Kalo gitu aku mau tambahan~
Nah, kalo kalian yang menulis di Tumblr ini memang berkeinginan untuk jadi penulis yang sesungguhnya, jangan ngerasa minder hanya karena followers sedikit. Jangan jadi males-malesan nulis karena engga ada yang baca!
Mau nerbitin buku tapi nulis masih males-malesan? Apa kabar kalo dikasih deadline terbit sama editor? Males itu kebiasaan manusia yang emang paling nikmat untuk dijalanin, yakan? Sebetulnya rasa males nulis itu bisa banget untuk dihilangkan. Caranya?
Punya komitmen dan memiliki rasa tanggung jawab!
Coba renungkan lagi, komitmen kalian menulis di laman biru ini apa? Jadi penulis, misalnya.
Kalo gitu kita coba mulai studi kasusnya (lah ini ngomongin apaan deh haha), ini berandai-andai ya. Kalian ingin banget jadi penulis tapi karena sekarang belum punya pembaca dan followers maka kalian memutuskan untuk nyoba ikut Writing Project.
Maka, nanti ketika kalian sedang ikut Writing Project trus pas pertengahan jalan mulai males, inget lagi kalo kalian mau jadi penulis. Mana ada buku yang bisa jadi kalo nulis aja kalian males? Buku kan halamannya engga hanya 10 lembar, tapi bisa ratusan, mana ada buku yang bisa jadi kalo nulis satu paragraf aja kalian males dan banyak alesan, yegak?
Penulis mau dijadiin profesi serius, boleh dong. Tapi inget, kalo setiap pekerjaan ada tanggung jawabnya. Penulis juga punya, tanggung jawab ke pembacanya, ke penggemar tulisannya, terlebih tanggung jawab ke editor yang kalian janjikan naskah kapan selesai. Nah itung-itung latian menghadapi tanggung jawab itu, kalian bisa mulai dengan menjadikan Writing Project itu tanggung jawab kalian ke si pembuat tantangan WP, sekalian kasih punishment ke diri sendiri juga boleh.
Keluhan yang sering mampir lagi adalah, engga ada ide, belum inspirasi, engga mood.
Mau nerbitin buku tapi nunggu ide, inspirasi dan mood muncul? Mau sampe kapan satu buku yang isinya bisa beratus halaman itu selesai kalo masih nunggu aja? Yelah, nungguin jodoh aja katanya capek, kok ya ditambah dengan nunggu yang lain. Buatku, mood, ide, inspirasi tuh engga muncul gitu aja, tapi dicari, ditemukan.
Caranya? Bisa dengan lebih peka terhadap sekitar; sedikit bicara tapi buka mata dan telinga lebar-lebar. Atau kalo kata Bang Raditya Dika, temukan kegelisahan!
Dalam satu hari kita yang profesinya pelajar, mahasiswa atau juga karyawan pasti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pasti bertemu dengan banyak orang—entah yang dikenal atau hanya orang asing yang berpapasan di jalan—betul? Rasanya mustahil kalo dalam satu hari itu kita engga nemu atau mengalami kejadian yang bikin kita engga mikir atau merenung.
Ambillah contoh, seharian ada temen kantor yang bawel banget curhat panjang lebar karena abis diputusin. Karena kita mau melatih kebiasaan menulis, kejadian itu bisa digunakan sebagai ide awal tulisan, curhatan temen kita itu bisa diumpamakan kita yang mengalaminya langsung. Atau bisa juga karena ngerasa gerah denger ceritanya yang seolah merasa paling tersakiti, kita bisa bikin opini tentang hal itu, bahwa masing-masing pihak bisa menjadi yang tersakiti.
Banyak, banyak hal yang bisa kita jadiin tulisan, bahkan macet sekalipun atau tersedak makanan juga bisa dijadiin tulisan. Balik lagi, mau engganya kalian menemukan ide-ide tersebut. Mau atau engga kalian meluangkan waktu untuk nulis ide itu. Nah ini juga penting, punya ide, tapi ngerasa engga ada waktu luang, jadi idenya keburu ilang. Bisa diatasin kok tenang, tulis ide yang bersliweran itu di buku catatan atau mudahnya di HP!
Kalo buku catatan kegedean dan ribet bawa-bawanya, nah gawai dipegang terus kan tuh, manfaatkanlah gawai itu untuk menulis ide yang bersliweran. Mau satu kalimat atau satu paragraf juga gapapa. Pokoknya, jadikan gawai atau buku catatan kalian sebuah bank ide. Yang nanti ketika ngerasa gatau mau nulis apa, bisa kalian buka lagi dan akhirnya menghasilkan satu tulisan utuh.
Akhir kata, udah punya komitmen tapi tanggung jawab untuk menulis masih kurang kalo cuma Writing Project aja (manusia mah gitu, selalu aja punya alesan hehe). Tenang, ada lagi cara mengatasinya. Gimana? Kolaborasi! Yegak mas @eleftheriawords, sependapat hehe? Jangan salah loh, kolaborasi bisa banget jadi karya, tuh novel KALA contohnya~
Engga percaya? Nanti, kita bahas di Writing’s Journey #3 ya, guys! Semoga semakin semangat menulis dan berkarya. Inget aja, setiap karya itu bertumbuh dan berproses.
Untuk yang lain yang mau bertanya atau mengajukan saran tulisan boleh cek infonya di bawah ini:
Salam, Janpi aka Stefani Bella
Tangerang, 8 Juli 2017
118 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #3 – “KALA-borasi”
Kemarin saya ada bilang kalo kolaborasi bisa jadi salah satu alterrnatif ketika udah punya komitmen tapi tanggung jawab untuk menulis masih kurang hanya dengan ikut Writing Project.
Yak, kolaborasi! Kebetulan partner saya dalam menulis KALA juga udah membahas tentang kolaborasi dan sudah sempat saya reblog juga (hayooo jangan males stalk ke bawah dikit). So, kali ini saya mau cerita-cerita aja tentang gimana akhirnya KALA bisa lahir~
Jadi, akhir tahun 2016 lalu, saya diajak nulis buku bareng sama si partner nulis saya ini. Iya ini sekalian klarifikasi soalnya dia suka ngomong saya yang ngajak duluan, mungkin lupa, manusya emang tempatnya lupa yekan (dih dibahas Bell--“). Kemudian saya mengiyakan dengan niatan akan nyoba untuk masukin di penerbit major atau kalo emang engga memungkinkan yaudah di indie aja.
Intinya sih yang penting beneran jadi sebuah karya, biar isi chat setidaknya jadi lebih berfaeda hehe. Tapi, Tuhan selalu punya rencana indah emang buat hamba-Nya yang mau saling membantu menggapai mimpi, cielah. Beberapa bulan semenjak Sebatas Mimpi lahir, ada penerbit major lagi yang nawarin nulis buku. Trus keidean untuk nawarin konsep duet atau kolaborasi tersebut.
Dimulailah dengan dimintai outline yang bikinnya ngebut sekalehhh, abis itu ketemulah dengan pemrednya dan yak disetujuin donggggggg naskah duet! Kyaaa senang, maka dimulailah perjalanan KALA. Ohya fyi aja sih KALA sebenernya diawal outline itu akan menjadi sebuah buku prosa, tapi pas eksekusinya berubah total jadi novel. Iya jauh banget emang melencengnya haha >.<
Jangan dibilang karena saya cukup dekat dan lumayan kenal dengan mas Iid maka semua proses menulis berjalan lancar-lancar aja. Nulis novel buat saya itu engga gampang, susah banget iya, ngendaliin isi kepala sendiri aja susah apalagi harus nyocokin dengan isi kepala orang lain. Untuk KALA sendiri, saya bahkan dengan jujur berani bilang hampir sering banget nangis selama proses pengerjaannya. Iya saya memang secengeng itu :(
Nangisnya kadang karena hal sepele. Mulai dari apa yang saya sampein engga diterima sesuai dengan maksud saya. Trus saya yang bahas bab 7 sampe ngeyel-ngeyelan ternyata dia lagi ngomongin bab 8. Trus juga mengenai bagian mana yang mau dihapus dan mana yang perlu ditambah (awal sekali, KALA berjumlah 500 halaman, iya dipotong banyak makanya nangis haha). Sampe dengan menyamakan ritme keaktifan menulis, iya di beberapa waktu saya yang ketika malam udah tiba, maunya manja-manjaan sama kasur karena udah lelah dengan kerjaan kantor, tapi dia lagi aktif-aktifnya mau bahas isi buku tersebut.
Kenapa nangis? Karena saya susah banget untuk marah-marah sama orang, jadi emosinya tersalurkan ke sana hehe. Tapi dibalik semua tangisan itu saya belajar banyak hal. Salah dua hal yang saya pelajari adalah mengendalikan ego dan bertanggung jawab.
Ya, saya belajar untuk mengendalikan ego, karena bisa saja ketika saya menuruti ego saya justru hal itu akan melukai ego orang lain. Saya belajar untuk bertanggung jawab, ya tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai meski di perjalanannya banyak tantangan yang bikin niat jadi goyah. Tanggung jawab ke penerbit dan tanggung jawab ke partner menulis saya juga tentunya.
Kan kakak sering nangis tuh, apakah kapok untuk kolaborasi lagi dengan mas Id? Haha, engga kok, sans, pokoknya nantikan karya kami selanjutnya, insyaa Allah KALA bukan kolaborasi terakhir (ini bukan kode, ini pemberitahuan aja gengs, doakan yes!)
Selama masa penulisan KALA, saya banyak berkontemplasi dengan diri saya sendiri, tentang hidup, tentang kepenulisan itu sendiri, tentang memilih penerbit, tentang pembaca dan banyak lagi hal lainnya. Pun hal itu jadi bahan perbincangan yang menarik untuk saya dengan mas Id.
Bisa dibilang selama satu bulan menulis KALA, waktu kami hanya seputar laptop, internet, dropbox, dan chat line. Ya, engga ada telpon dan tatap muka selama kami mengerjakan KALA, gausah heran dan jangan lagi kalian bilang jarak menghalangi terciptanya sebuah karya. Selama ada niat dan usaha, semuanya akan berjalan lancar insyaa Allah.
Dan ah ya jangan ditanya soal enek apa engganya selama nulis 300 halaman yang udah menjadi buku itu, karena rasa bahagia atas apresiasi teman-teman yang membeli buku KALA-lah yang membuat saya dan mungkin juga mas Iid lupa dengan seluruh rasa engga enaknya kemarin. So thank you guys karena sudah mengadopsi KALA dan mengapresiasi sampe sebegitunya. Saya sangat berterima kasih untuk itu *kecup atu-atu*
Maka, di akhir tulisan yang udah cukup panjang ini saya cuma mau bilang, lets wake up! Berkaryalah, kalo merasa belum sanggup sendirian, mencoba bareng orang lain bukanlah sebuah kesalahan.
Untuk yang lain yang mau bertanya atau mengajukan saran tulisan boleh cek infonya di bawah ini:
Salam, Janpi aka Stefani Bella
Tangerang, 19 Juli 2017 (iya dipostnya 20 Juli hehe)
35 notes
·
View notes
Text
Writing’s Journey #1 - Sekelumit Kisah Sebatas Mimpi
Hai teman-teman semuanya! Selamat berjumpa di edisi perdana Writing’s Journey. Sesuai janji, hari ini aku mau sedikit cerita-cerita tentang pengalaman menulis. Agak bingung sih mau mulai darimana saking banyaknya yang ada di kepala. Tapi, mari diurai sedikit demi sedikit.
Pertanyaan pertama yang sering banget diajuin ketika temen-temen mulai tau kalo aku sudah punya buku “Sebatas Mimpi” yang nangkring di rak Gramedia adalah, “gimana caranya bisa tembus ke penerbit major atau GagasMedia?” dan satu-satunya jawaban yang aku bisa utarakan hanya, “aku ditemukan oleh editornya—yang sekarang jadi editor+teman kesayangan—karena konsisten nulis di Tumblr ini”
Ditemukan? Yaps, aku memang ditemukan dan dichat duluan oleh Kak Ry (editor GagasMedia). Hal pertama yang aku rasain pas itu tuh super duper excited, mau nangis bahagia sekaligus dilemma takut-takut kalo itu boongan *enggalebaytapibenerandeg-degan*. Inget banget waktu itu doi perkenalan nama dan ngasih tau kalo doi dari penerbit GagasMedia. Trus doi bilang, “sudah pernah nerbitin buku? Aku mau ngajak kamu nulis di GagasMedia.”
Selama beberapa menit aku cuma ngeread doang saking gataunya harus bereaksi apa. Karena gamau diboongin dengan percaya gitu aja *astagfirullahmaafkankesuudzonanku* akhirnya aku stalking buat nyari tau ini beneran engga sih? Asli orang GagasMedia engga sih? Karena yang aku tau mereka tuh salah satu penerbit yang udah punya nama di Indonesia, secara ya teenlit bahkan novelnya aku sering banget bacain pas SMP, dan mereka teh ngehubungin aku? Da aku mah siapa sih, masa iya ujug-ujug mereka nawarin aku nulis.
Sampe kemudian aku nemu twitternya dan langsung ngeadd line officialnya Kak Ry, lalu aku menemukan dia pernah nulis tentang Ditawari Editor untuk Bikin Buku. Kubaca tulisan itu sampe akhir dan merasa yakin bahwa ini bukan tipu-tipu. Kemudian pembicaraan berlanjutlah dengan konsep dan outline (ini akan aku bahas di sesi lainnya ya hehe).
Setelah aku cerita kayak gitu, mungkin saja muncul pernyataan dan pertanyaan, “enak banget bisa kayak gitu! Caranya gimana kak?”
Aku pribadi percaya, setiap tulisan akan menemukan pembaca dan jalannya masing-masing, tapi yang pasti untuk menjadi seseorang yang pada akhirnya bisa menerbitkan buku yang diperlukan itu adalah konsisten. Yak, konsisten untuk terus menulis!
Mungkin banyak yang mengira aku enak banget bisa ditawarin nulis gitu aja, engga perlu susah-susah untuk nunggu 1-3 bulan yang belum tentu naskahnya diterima. Wajar, komentar yang sudah lumrah akan timbul di masyarakat kita zaman sekarang. Mungkin, teman-teman yang berkomentar gitu lupa untuk melihat prosesnya. Seringkali kita memang lebih suka melihat hasil tanpa mengetahui prosesnya.
Percaya atau tidak, aku butuh waktu kurang lebih 9 tahun hingga akhirnya bisa menerbitkan buku. Yak, 9 tahun kalo punya anak udah kelas berapa tuh? Hmmm engga kode kok engga, hehe. Aku sudah suka sekali membaca dari SD (anaknya doyan minjem buku di perpustakaan tapi lupa dibalikin) dan jatuh cinta dengan kegiatan menulis sejak SMP.
Awal mulanya tuh karena dipilih sama guru mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk ikut lomba puisi di Dinas Kota Yogyakarta (iye aku SMP di Jogja hehe). Padahal mah engga jago-jago amat nulisnya da:( Nah tapi dari situ ketagihan untuk terus-terusan menulis, mulailah nulis-nulis di platform yang beragam—sengaja engga nulis diary karena takut dibaca orangtua haha—mulai dari nyerpen di facebook note (sampe dengan belagunya ngetag editor-editor majalah yang kalo jaman dulu gampang banget tuh buat temenan sama seleb-seleb atau orang terkenal di facebook yang penggunanya masih itungan jari) trus pindah ke blogspot, wordpress sampe akhirnya di 2014 jatuh hati sama Tumblr.
Jangan dikira selama 9 tahun perjalanan aku nulis-nulis tuh mulus dan dapet dukungan dari banyak pihak, karena itu sangat amatlah salah. Tau engga kenapa aku sampe akhirnya engga menggunakan nama asli di Tumblr ini? Karena oh karena aku ingin melarikan diri dari orang-orang yang bilang, “apasih nulisnya mellow banget? Galau mulu deh! Itu tulisan kenapa melankolis banget dah?” dan segala macam ejekan lainnya.
Bahkan orangtuaku dan orang lain yang umurnya jauh di atasku dari dulu bahkan sampe detik ini masih aja bisa ngomong, “emang kalo nulis bisa jadi apa? Emang nulis itu pekerjaan?” Ya, aku tidak menyalahkan siapa pun atas hal tersebut, karena memang profesi sebagai penulis sampe detik ini di Indonesia masih dipandang sebelah mata, belum didambakan oleh orangtua-orangtua, seperti mereka mendambakan anak-anaknya menjadi dokter, polisi, insinyur dan sederet pekerjaan lainnya.
Tapi dengan perkataan teman bahkan orang-orang terdekatku yang seperti itulah aku jadi semakin yakin untuk merubah pandangan mereka. Bahwa manusia terlahir dengan hobi dan kesukaan yang sebetulnya bisa untuk dijadikan sebuah karya kalo mereka serius mau menekuninya. Apa pun itu, engga hanya menulis tentunya.
Dari situ aku mikir, kalo aku engga bisa sebebas itu menulis dengan menggunakan nama Stefani Bella kenapa aku engga mencari cara lain untuk tetap bebas menulis? Maka, begitulah nama tumblr HujanMimpi ini tercipta~
Sembilan tahun aku juga pasti jenuh dan sempat bosen untuk nulis, sempet males untuk berjuang sama kesukaanku ini. Tapi, bener apa kata orang-orang zaman dulu, Tuhan selalu bersama dengan hamba-Nya yang sabar dan mau berusaha. Di setiap kebosanan selalu ada aja cara yang Tuhan berikan untuk ngasih semangat, salah satunya respon dari orang-orang yang menemukan dan membaca tulisanku. Pembaca itu teman baik! Respon pembaca adalah asupan motivasi tertinggi buatku pribadi.
Nah kalo habis ini masih ada yang nanya, “jadi kak kalo aku mau nerbitin buku enaknya gimana? Nunggu ditawarin atau gimana nih?”
Jawabanku adalah…Konsisten nulis dulu aja! Untuk menerbitkan buku banyak jalannya, betul? Bisa lewat penerbit indie, bisa juga di major, semua balik lagi ke usaha dan jalan yang sudah Tuhan pilihkan untuk kita.
Yang memilih menerbitkan buku di penerbit indie banyak loh yang sukses. Sebut saja mas @kurniawangunadi atau mbak @karenapuisiituindah yang buku KPII nya bisa sampe 3 di indie atau mas @azharnurunala. Mereka adalah contoh orang-orang ketje yang berhasil menemukan pembacanya sampe ke pelosok negeri seberang dengan jalur penerbitan indie. Keren? Iya banget!
Atau mau ke penerbit major? Langsung print naskahmu, kirimkan ke alamat redaksinya. Tapi, pintar-pintarlah memilih penerbit. Kalo naskahmu genrenya romance-komedi, kamu cari buku yang serupa dengan naskahmu, lalu lihat penerbitnya apa. Barulah kamu memasukkan naskahmu ke sana. Jangan sampe penantian 3 bulanmu sia-sia hanya karena kamu memasukkan genre romance ke penerbit yang hanya menerima naskah-naskah komedi atau horror. Ya atuh gimana mau diterima –“
Tapi kalo kamu masih belum seberani itu untuk memasukkan naskah ke penerbit, mulailah dengan menggunakan social media yang kamu miliki. Bisa di tumblr, facebook notes, twitter, ask.fm, Instagram, blogspot, wordpress, medium, wattpad, atau bahkan storial dan segala macam media lainnya. Konsistenlah untuk menulis, jadwalkan missal sehari harus ada 1 tulisan, atau seminggu harus ada minimal 2 tulisan yang mengudara.
Social media adalah cara tercepat untuk kamu memiliki pembaca dan mendapatkan respon dari pembaca untuk semakin memperbaiki tulisanmu. Dan percayalah, banyak penerbit yang mencari karya-karya popular dari social media. Jadi, jangan pernah takut bersuara apalagi jadi jiper hanya karena satu dua orang yang meremehkan. Dunia engga lantas runtuh hanya karena satu dua orang yang berbeda pendapat atau selera denganmu :)
Aku aja berjuang 9 tahun sambil jatuh bangun dan tertatih-tatih untuk kemudian bisa menerbitkan buku. Kamu, yakin gamau ngotot memperjuangkan mimpimu sampe akhirnya bisa membuktikan ke dunia bahwa cita-cita dan mimpimu bukan hanya Sebatas Mimpi?
*tulisan ini sekaligus menjawab pertanyaan dari Nur Azizah Zainal, terima kasih banyak atas pertanyaannya dear :)
Untuk yang lain yang mau bertanya atau mengajukan saran tulisan boleh cek infonya di bawah ini
Salam, Hujan Mimpi aka Stefani Bella
Tangerang, 19 Juni 2017
97 notes
·
View notes
Photo
Kemarin siapa yang ingin aku cerita-cerita tentang pengalamanku menulis??? Nah, aku buatkan tulisan berseries terkait hal itu ya! Biar lebih mudah dibaca oleh kalian juga tentunya. Sebentar lagi ~~~ Super coming soon!
55 notes
·
View notes
Photo
》#writingsjourney《 °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°° Hai-hai semuanya, selamat menikmati liburan bagi yang sudah mendapat jatah libur. THR nya jangan langsung dihabiskan beli ini itu yang sebenarnya cuma lapar mata, ditabung buat modal nikah lumayan loh *ehgmn
Hari ini sudah tanggal 18, menjelang hari libur aku mau share info tentang Writing’s Journey nih~~~
○ Apa sih Writing’s Journey? 》Yak, WJ ini adalah series khusus yang akan aku buat di tumblr hujanmimpi untuk berbagi pengalamanku seputar menulis–i’m not an expert, i’m always a learner–mulai dari diremehkan, dianggap sebelah mata hingga akhirnya aku bisa berada di titik “Alhamdulillah aku bahagia sudah berani memilih jalanku sendiri” Bukan tulisan yang akan menggurui bahkan berniat menyombongkan diri dan isinya sepenuhnya tidak wajib untuk diikuti, kembali lagi ini sekadar pengalaman yang ingin aku bagikan, siapa tahu bisa membuat yang membaca jadi semangat lagi. Based on my experience yang belum tentu benar menurut kalian :)
○ Di mana dan kapan dipostnya? 》Untuk membuat aku tetap konsisten menulis, maka aku hanya akan mengunggahnya di laman hujanmimpi.tumblr.com. Tepat pukul 19.00 wib, dan hanya setiap tanggal 8 dan 19 di setiap bulannya (2 kali dalam sebulan). Biar engga bosen, biar akunya juga konsisten ~~~
○ Boleh kirim saran, usul, pertanyaan engga? 》Tentu boleh dong! Bisa via email, dm ig atau ask langsung di tumblr. Feel free chat me~
Akhir kata, gamau banyak-banyak prakata karena sedang kurang fit juga, sampai jumpa di edisi perdana Writing’s Journey besok malam! Stay tune di tumblr :)
46 notes
·
View notes